Tugas Khusus 8

Unduh sebagai pdf atau txt
Unduh sebagai pdf atau txt
Anda di halaman 1dari 22

LAPORAN STUDI KASUS

PROGRAM STUDI PENDIDIKAN PROFESI APOTEKER


DIRUMAH SAKIT UMUM DAERAH (RSUD) PADANG PANJANG
“Dema Tifoid Di Rawat Inap Interne RSUD Kota Padang Panjang”
Periode : 02 Desember – 10 Desember 2022

Preseptor :

dr. Sri Angraeni, Sp. PD

apt. Lora Somisko, S.Farm

Disusun Oleh :

Rismawati, S.Farm (22021013)

PROGRAM STUDI PENDIDIKAN PROFESI APOTEKER


SEKOLAH TINGGI ILMU FARMASI
YAYASAN PERGURUAN TINGGI ILMU FARMASI ILMU KESEHATAN
PADANG
2022
KATA PENGANTAR

Assalaamu’alaikum Wr. Wb.


Alhamdulillahirabbil’alamin, puji syukur penulis ucapkan kehadirat Allah
SWT atas segala rahmat dan hidayah Nya sehingga penulis dapat menyelesaikan
Case Report Study Bangsal Interne mengenai “Demam Tifoid” yang dilakukan pada
tanggal 02 Desember – 10 Desember 2022. Laporan ini dibuat untuk melengkapi
tugas mahasiswa/i Profesi Apoteker Sekolah Tinggi Ilmu Farmasi (STIFARM)
Padang.
Dalam proses penyelesaian laporan kasus ini penulis banyak mendapatkan
bantuan dan dukungan dari berbagai pihak, oleh sebab itu pada kesempatan ini
penulis menyampaikan ucapan terima kasih kepada :
1. Orang tua dan keluarga tercinta atas segala supportnya.
2. Ibu apt. Rezlie Bellatase, M.Farm. Klin selaku preseptor yang telah meluangkan
waktu untuk memberikan bimbingan, petunjuk, arahan sehingga laporan Case
Study ini dapat diselesaikan.
3. Ibu apt. Rahmi Safyanty, M.Farm selaku Kepala Instalasi Farmasi Rumah Sakit
Umum Daerah Padang Panjang, serta seluruh apoteker yang telah memberikan
kesempatan, bimbingan, ilmu, pengalaman dan bantuan kepada penulis untuk
melaksanakan Praktek Kerja Profesi Apoteker (PKPA) di Rumah Sakit Umum
Daerah Padang Panjang.
4. Ibu dr. Sri Angreani, Sp.PD selaku preseptor di Bangsal Interne Rumah Sakit
Umum Daerah Padang Panjang yang telah memberikan bimbingan dan waktu
kepada penulis untuk menyelesaikan Case Study ini.
5. Ibu apt. Lora Somisko, S.Farm selaku preseptor di Bangsal Interne Rumah Sakit
Umum Daerah Padang Panjang yang telah memberikan bimbingan dan waktu
kepada penulis untuk menyelesaikan Case Study ini.
6. Staf tenaga kefarmasian di Instalasi Farmasi Rumah Sakit Umum Daerah Padang
Panjang yang telah memberikan bantuan kepada penulis sehingga dapat
menyelesaikan Case Study ini.
Terimakasih atas semua bimbingan, bantuan dan dukungan yang telah
diberikan kepada penulis, semoga dapat bermanfaat bagi kita semua untuk
perkembangan ilmu pengetahuan pada masa mendatang.
Penulis menyadari laporan kasus ini memiliki banyak kekurangan dan jauh
dari sempurna. Oleh karena itu, penulis mengharapkan kritik dan saran yang
membangun dari semua pihak.

Padang Panjang, 8 Desember 2022

Penulis
BAB I

TINJAUAN PUSTAKA

2.2. Demam Tifoid

2.2.1 Definisi

Demam tifoid adalah penyakit yang bersifat akut tetapi tetap berpotensi untuk
mengancam keselamatan jiwa seseorang. Demam tifoid adalah penyakit yang
disebabkan adanya infeksi dari bakteri Salmonella Enterica Serotype Typhi yang bisa
masuk ke tubuh manusia lalu menginfeksi melalui jalur Penyakit ini hampir sulit
dibedakan dengan demam lainnya, akan tetapi biasanya demam pada penyakit ini
diikuti oleh sakit kepala dan sakit perut juga demam yang terjadi biasanya naik dan
turun bergantian pada waktu-waktu tertentu (seperti tinggi saat malam hari)
(Bhandari et al., 2020).

2.2.2. Epidemiologi

Demam tifoid adalah penyakit musiman, dimana kasus terbanyak ditemukan


pada musim hujan dengan sekitar 45% kejadian dari total kejadian tiap tahunnya.
Misal di Asia Selatan curah hujan tinggi di bulan Juni hingga Oktober, sehingga
banyak kasus yang ditemukan pada periode tersebut (Paul and Bandyopadhyay,
2017). Umumnya demam tifoid banyak ditemukan di negara-negara berkembang dan
berpenghasilan rendah, juga negara yang beriklim tropis (WHO, 2018).

Dari data WHO (World Health Organisation), pada tahun 2018 diperkirakan
bahwa setiap tahun diseluruh dunia terjadi antara 11 - 21 juta kasus demam tifoid
dengan insiden kematian sebanyak 128.000 hingga 161.000 (WHO, 2018).

2.2.3. Etiologi

Salmonella Typhi dan Salmonella Paratyphi adalah bakteri penyebab utama


terjadinya demam tifoid, dimana keduanya merupakan anggota dari famili
Enterobacteriaceae sehingga demam tifoid dikenal juga dengan demam enterik
(Bhandari et al., 2020). Satu-satunya yang menjadi reservoir dari Salmonella Typhi
adalah manusia, dimana jalur penularannya bisa melalui feses – oral yang
maksudnya jika ada makanan, minuman atau apapun yang telah terkontaminasi feses
manusia (yang mengandung Salmonella Typhi) lalu dikonsumsi oleh manusia itu
sendiri, maka penularan bisa terjadi (Radhakrishnan et al., 2018).

Selain penyebab diatas, disebutkan juga bahwa penggunaan antibiotik


spektrum luas (seperti streptomisin) dan terjadinya kondisi nutrisi yang buruk bisa
menjadi penyebab dan memperkuat kejadian dari demam tifoid. Hal ini terjadi
karena adanya kerusakan dari flora normal didalam usus, yang seharusnya bisa
berfungsi sebagai pelindung terhadap infeksi (Bhandari et al., 2020).

2.2.4. Faktor Resiko

Menurut Pedoman Pengendalian Demam Tifoid (2006) yang dikeluarkan oleh


Kementerian Kesehatan RI, beberapa faktor resiko tersebut adalah
(KementerianKesehatan RI, 2006) :
a. Higiene perorangan yang rendah,

b. Higiene makanan dan minuman yang rendah. Faktor ini paling berperan
dalam penularan tifoid.
c. Sanitasi lingkungan yang kumuh, dimana pengelolaan air limbah, kotoran
dan sampah yang tidak memenuhi syarat-syarat kesehatan.
d. Penyediaan air bersih untuk warga yang tidak memadai.

e. Jamban keluarga yang tidak memenuhi syarat.

f. Pasien atau karier tifoid yang tidak diobati secara sempurna.

g. Belum membudaya program imunisasi untuk tifoid


2.2.5. Patofisiologi

Patofisiologi terjadinya demam tifoid melibatkan 4 proses yang bersifat kompleks,


yaitu :
(1) Sel M dari Peyer’s patch akan menempel lalu melakukan invasi kesalam
sel;
(2) Selanjutnya bakteri akan bertahan hidup dan dilanjutkan melakukan
multiplikasi di makrofag Peyer’s patch, nodus limfatikus mesenterikus, dan di
organ-organ
ekstra intestinal sistem retikuloendotelial;
(3) Bakteri-bakteri tersebut juga masuk kedalam pembuluh darah dan
bertahan hidup disana; dan

(4) kadar cAMP yang ada dalam kripta usus akan meningkat akibat dari
produksi enterotoksin sehingga keluar elektrolit dan air kedalam lumen intestinal
(Soedarmo et al., 2008).

2.2.6. Manifestasi Klinis

Demam Tifoid adalah salah satu penyakit menular yang memiliki gejala
nonspesifik (Bhandari et al., 2020), mulai dari gejala ringan (yang kadang terjadi
misdiagnosis), gejala khas hingga gejala berat yang disertai dengan komplikasi.
a. Demam

Demam atau panas adalah gejala utama Tifoid (sekitar 96% kasus). Demam
tifoid dimulai 7-14 hari setelah menelan organisme.
b. Gangguan saluran pencernaan

Penderita awalnya datang dengan mual dan muntah yang jika terus berlanjut
akan mengeluh nyeri perut difus. Sering juga terjadi meteorismus (kembung),
anoreksia, ataupun diare (dengan kasus sekitar 66%) yang bisa bervariasi mulai dari
diare ringan hingga diare berat dengan atau tanpa darah.
c. Hepatosplenomegali Saat dilakukan palpasi, bisa didapatkan pembesaran dari
hatidan limfa. Hati terasa kenyal dan ada nyeri tekan.

d. Bradikardia relatif Selama minggu kedua, bisa terjadi bradikardia relatif


sekalipunjarang ditemukan, mungkin karena teknis pemeriksaan yang sulit
e. Gambaran klinis lain Gambaran klinis lain yang dapat ditemukan pada demam
tifoid adalah rose spot atau bintik-bintik mawar biasanya pada region abdomen
keatas, bentuk batang , pucat, warna salmon, efflorosensi makulopapula dengan
lebar sekitar 1-4 cm dan hilang dalam 2-5 hari.

2.2.7. Diagnosis

Anamnesis

- Demam naik secara bertahap tiap hari , mencapai suhu tertinggi pada
akhir minggu pertama , minggu kedua demam terus menerus tinggi
- delirium, malaise, letargi , anoreksia , nyeri kepala , nyeri perut . diare
ataukonstipasi , muntah . perut kembung
- Pada demam tifoid berat dapat dijumpai penurunan kesadaran , kejang , dan
ikterus
Pemeriksaan fisis

Gejala klinis bervariasi dari yang ringan sampai berat dengan komplikasi .
Kesadaran menurun, delirium, sebagian besar anak mempunyai lidah tifoid
yaitu di bagian tengah kotor dan bagian pinggir hiperemis, meteorismus,
hepatomegali lebih sering dijumpai daripada splenomegali . Kadang - kadang
terdengar ronki pada pemeriksaan paru.
Pemeriksaan radiologik :

- Foto toraks , apabila diduga terjadi komplikasi pneumonia

- Foto abdomen , apabila diduga terjadi komplikasi intraintestinal


seperti perforasiusus atau perdarahan saluran cerna
- Pada perforasi usus tampak :

- distribusi udara tak merata .

- airfluid level

– bayangan radiolusen di daerah hepar

- udara bebas pada abdomen

2.2.8. Tatalaksana

Antibiotik

- Kloramfenikol ( drug of choice ) 50-100 mg / kgbb / hari , oral atau IV


, dibagidalam 4 dosis selama 10-14 hari
- Amoksisilin 100 mg / kgbb / hari , oral atau intravena , selama 10 hari

- Kotrimoksasol 6 mg / kgbb / hari , oral , selama 10 hari

- Seftriakson 80 mg / kgbb / hari , intravena atau intramuskular , sekali


sehari , selama 5 hari
- Sefiksim 10 mg / kgbb / hari . oral . dibagi dalam 2 dosis , selama 10 hari

- Kortikosteroid diberikan pada kasus berat dengan gangguan kesadaran

- Deksametason1-3mg / kgbb / hari intravena . dibagi 3 dosis hingga


kesadaranmembaik
Terapi Suportif

- Demam tifoid ringan dapat dirawat di rumah

- Tirah baring

- Isolasi memadai Kebutuhan cairan dan kalori dicukupi


BAB II
PROFIL KASUS

STUDI KASUS
BANGSAL DEMAM TIFOID “INTERNE”

2.1 Identitas Pasien

No. RM 74xxxx

Nama Pasien Ny. Mxxxxxx

Jenis Kelamin Perempuan

Umur 29 Tahun 10 Bulan

Agama Islam

Ruangan Bangsal Interne

Dokter yang merawat dr. Sri Angraeni, Sp.PD

Farmasis apt. Lora Somisko, S.Farm

Mulai Perawatan 26 November 2022

2.2 Subyektif

1. Keluhan Utama
 Demam sejak 1 minggu yang lalu
 Nyeri ulu hati menyesak kedada
 Tidak mau makan sejak 1 minggu yang lalu
 Dada terada sesak
 Batuk (-)
2. Riwayat Penyakit Sekarang
 Napas terasa sesak
 Nyeri ulu hati
 Demam 1 minggu yang lalu

3. Riwayat Penyakit Dahulu


 Tidak ada

4. Riwayat pengobatan
-
5. Riwayat Penyakit Keluarga
 Tidak ada
6. Riwayat Pekerjaan dan social
 Tidak ada

2.3 Obyektif
a. Pemeriksaan Umum
Kulit kemerahan,
b. Monitoring Vital Sign/Tanda Vital

Parameter Tanggal
26/11 27/11 28/11 29/11 30/11

TD (mmHg) 139/79 125/70 110/70 - -


Nadi 91
(beat/menit)
Suhu (°C) 38 37,5 36,7 - -
Nafas 24 - - - -
(x/menit)

c. Hasil Pemeriksaan Laboratorium

26/11/22 27/11/22 28/11/22 29/11/ Unit Normal


Tanggal
HEMATOLOGI

Hb 12, 6g/Dl g/dL


HCT
Leukosit 3,590/uL /uL 5.000-
10.000
Eritrosit 1

Trombosit 208.000/uL /uL 150-400


103
Limfosit 36% % 20-40
Monosit 8% % 2-8
Net 55
segmen
Net 55 % 2-6
batang
KIMIA KLINIK
10/12/22 11/12/22 12/12/22 13/12/22 Nilai
Rujukan
GDP 108 mg/dL <126
mg/dL
GD 2 jam <200
pp mg/dL
GDS <200
mg/dL

d. Penatalaksanaan
No Nama Obat Dosis 26/11 27/11 28/11 29/11 30/11

1. IVFD RL 8 jm/kolf √ √ Stop Stop Stop

2. Ceftriaxone Injeksi 2x1 √ √ √ √ Stop

3. Ranitidine injeksi 2 x1 ampul √ √ √ √ Stop

4. Paracetamol 3x500 mg √ √ √ √ √

5. Curcuma 2x1 Stop Stop √ √ √

6. Sucralfat 3x 1tab √ √ √ √

7. RL Aminofluid Infus Stop Stop √ √ Stop


Keterangan terapi obat:

1. IVFD RL

Indikasi: “Fluid and electrolyte”, penambah volume darah (secara temporer),


systemic alkalizer dan secara spesifik digunakan pada keadaan asidosis yang disertai
dehidrasi.

Kontraindikas: Lactic acidosis”, tidak digunakan untuk menimbulkan emesis.

Efek Samping : Hypernatremia, pemberian berlebihan dapat menyebabkan


hipokalemia.

2. Ceftriaxone

Indikaksi: untuk mengatasi infeksi bakteri gram negatif maupun gram positif

Dosis : Dosis ceftriaxone yang diberikan biasanya berkisar antara 1–2 gram per 12
atau 24 jam, tergantung pada penyakit dan tingkat keparahan infeksi.

3. Ranitidine
Indikasi : ukak lambung dan tukak duodenum, refluks esofagitis, dispepsia episodik
kronis, tukak akibat AINS, tukak duodenum karena H.pylori, sindrom Zollinger-
Ellison, kondisi lain dimana pengurangan asam lambung akan bermanfaat.
Dosis : Injeksi intramuskuler: 50 mg setiap 6-8 jam. Injeksi intravena lambat: 50 mg
diencerkan sampai 20 mL dan diberikan selama tidak kurang dari 2 menit; dapat
diulang setiap 6-8 jam.
4. Paracetamol

Indikaksi : nyeri ringan sampai sedang, nyeri sesudah operasi cabut gigi,
pireksia.

Dosis : oral 0,5–1 gram setiap 4–6 jam hingga maksimum 4 gram per hari; anak–
anak umur 2 bulan 60 mg untuk pasca imunisasi pireksia, sebaliknya di bawah umur
3 bulan (hanya dengan saran dokter) 10 mg/kg bb (5 mg/kg bb jika jaundice), 3
bulan–1 tahun 60 mg–120 mg, 1-5 tahun 120–250 mg, 6–12 tahun 250– 500 mg,
dosis ini dapat diulangi setiap 4–6 jam jika diperlukan (maksimum 4 kali dosisdalam
24 jam), infus intravena lebih dari 15 menit, dewasa dan anak–anak dengan berat
badan lebih dari 50 kg, 1 gram setiap 4–6 jam, maksimum 4 gram per hari, dewasa
dan anak–anak dengan berat badan 10 -50 kg, 15 mg/kg bb setiap 4–6 jam,
maksimum 60 mg/kg bb per hari.
5. Curcuma
Indikasi : membantu menambah atau meningkatkan nafsu makan, membantu
menjaga daya tahan tubuh serta membantu memelihara fungsi hati

Kontra indikasi : Memiliki hipersensitif atau alergi terhadap kandungan


suplemen ini., Tidak ditemukan data bahwa suplemen ini tidak baik dikonsumsi oleh
wanita hamil atau ibu menyusui.
6. Sucralfat
Indikasi : obat untuk mengatasi tukak lambung, ulkus duodenum, atau gastritis
kronis
Dosis : Terapi untuk gastritis kronis dan ulkus peptikum adalah: Dosis 1 gram
diberikan 4 kali sehari, atau 2 gram diberikan 2 kali sehari. Dosis maksimal 8
gram/hari.
F. SOAP

Tanggal S O A P

26/11/22 - Demam Diagnose tiroid fever Tidak Ada DRP Informasi


sejak 1 pemakaian obat
TD: 139/79 mmHg
minggu
yang lalu HR: 91 x/m

- Nyeri ulu RR: 24 x/m


hati
Suhu: 38
menyesak
kedada Terapi yang diberikan;
- Tidak mau
IVFD RL 8 jam
makan
inj Ceftriaxon 1 x 2 gr
sejak 1
inj ranitidine 2 x 1 ampul
minggu
paracetamol 3 x 500 mg
yang lalu
curcuma 2 x 1 tab
- Batuk (-)

27/11/22 - Badan letih TD : 125/70 Tidak Ada DRP Informasi


- Demam (+) Nadi :91 pemakaian obat
- Nyeri ulu Suhu : 37,5
hati Terapi
- Batuk IVFD RL 8 jam
berdahak inj Ceftriaxon 1 x 2 gr
(+) inj ranitidine 2 x 1 ampul
paracetamol 3 x 500 mg
curcuma 2 x 1 tab

28/11/22 - Nyeri TD: 126/95 mmHg Tidak Ada DRP Informasi


perut(+) Terapi pemakaian obat
- Batuk (+) Aminofluid :RL 1: 8J/K
- Letih (+) Inj Ceftriaxon 1 x 2 gr
Inj ranitidine 2 x 1 ampul
Paracetamol 3 x 500 mg
Curcuma 2 x 1 tab
Sucralfat syr 3 x 2 cth
Asetilsistein 3 x 200 g
29/11/22 - Nyeri Terapi Tidak Ada DRP Informasi
perut(-) Aminofluid :RL 1: 8J/K pemakaian obat
- Batuk (+) Inj Ceftriaxon 1 x 2 gr
Letih (+) Inj ranitidine 2 x 1 ampul
Paracetamol 3 x 500 mg
Curcuma 2 x 1 tab
Sucralfat syr 3 x 2 cth
Asetilsistein 3 x 200 g

30/11/22 Keluhan Aminofluid :RL 1: 8J/K Tidak ada DRP Informasi


menurun Inj Ceftriaxon 1 x 2 gr pemakaian obat
(pulang) Inj ranitidine 2 x 1 ampul
Paracetamol 3 x 500 mg
Curcuma 2 x 1 tab
Sucralfat syr 3 x 2 cth

Asetilsistein 3 x 200 g
2.4 ANALISIS KASUS

KERTAS KERJA FARMASI

MASALAH YANG TERKAIT DENGAN OBAT

JENIS
NO. ANALISA MASALAH ASSESMENT PLAN KOMENTAR
PERMASALAHAN

1. Korelasi antara 1. Adakah obat tanpa indikasi Tidak Tidak Ada Tidak Ada
terapi obat-dengan medis? Ada
penyakit 2. Adakah pengobatan yang tidak Tidak Tidak Ada Tidak Ada
dikenal? Ada
3. Adakah kondisi klinis yang
tidak diterapi?
dan apakah kondisi tersebut Tidak Tidak Ada Tidak Ada
membutuhkan terapi obat ? Ada
Pemilihan obat yang 1. Bagaimana pemilihan obat?
2.
sesuai Apakah sudah efektif dan
Sudah Efektif Tidak Ada Tidak Ada
merupakan obat terpilih pada
kasus ini?
2. Apakah pemilihan obat tersebut Aman Tidak Ada Tidak Ada
relative aman?
3. Apakah terapi obat dapat Tidak Tidak Ada Tidak Ada
ditoleransi oleh pasien?
3. Regimen dosis 1. Apakah dosis, frekwensi dan
cara pemberian sudah
Tidak Tidak Ada
mempertimbangkan efektifitas
Sudah Ada
keamanan dan kenyamanan
serta sesuai dengan kondisi
pasien?
2. Apakah jadwal pemberian dosis
bisa memasikmalkan efek
Tidak Ada Tidak Ada
terapi, kepatuhan , Bisa
meminimaIkan efek
samping,interaksi obat, dan
regimen yang komplek?
3. Apakah lama terapi sesuai Tidak Tidak Ada
Sesuai
dengan indikasi ? Ada

4. Duplikasi terapi 1. Apakah ada duplikasi terapi Tidak Ada Tidak Ada Tidak Ada
5. Alergi obat atau 1. Apakah pasien alergi atau
intoleran intoleran terhadap salah satu obat
Tidak Ada Tidak Ada
(atau bahan kimia yang Tidak Ada
berhubungan dengan
pengobatanya)?
2. Apakah pasien telah tahu Tidak Ada Tidak Ada
yang harus dilakukan jika terjadi Tidak Tau
alergi serius?
6. Efek merugikan obat 1. Apakah ada gejala / Tidak Ada Tidak Ada
permasaalahan medis yang Tidak Ada
diinduksi obat?
7. Interaksi dan 1. Apakah ada interaksi obat Tidak Ada Tidak Ada
Kontraindikasi dengan obat? Apakah signifikan Tidak Ada
secara kilnik?
2. Apakah ada interaksi obat Tidak Ada Tidak Ada
dengan makanan? Apakah Tidak Ada
bermakna secara klinis?
3. Apakah ada interaksi obat
dengan data laboratorium?Apakah
Tidak Ada Tidak Ada Tidak Ada
ber-makna secara klinis?
4. Apakah ada pemberian obat Tidak Tidak Ada
yang kontra indikasi dengan Tidak Ada Ada
keaadaan pasien?
DAFTAR PUSTAKA

Dipiro, J. T., Dipiro, C.V., Wells, B.G., & Scwinghammer, T.L. 2008.
Pharmacoteraphy Handbook Seventh Edition. USA : McGraw-Hill
Company.

Dipiro, J.T et al. Pharmacotherapy Handbook. sixth edit. USA: The Mc., Graw
Hill Company.; 2005.
Ditjen PPM dan PL

World Health Organization. DENGUE Guidelines for diagnosis, treatment,


prevention andcontrol. New Edition 2009.
Sodikin. Asuhan Keperawatan anak Gangguan Sistem Gastrointestinal dan
Hepatobiler.
2011.Jakarta:Salemba Medika.
Sri Rezeki H. Hadinegoro, Soegeng Soegijanto, Suharyono Wuryadi, Thomas
Suroso, 2004. Tatalaksana Demam Dengue/ Demam Berdarah Dengue
pada anak.. Jakarta: Balai Penerbit FKUI. Hal 82, 88, 99- 100.

Anda mungkin juga menyukai