In Vitro Anau
In Vitro Anau
In Vitro Anau
Oleh :
NAMA : MUHAMMAD AULIA SYAFRIAWAN
NIM : D1A021151
KELOMPOK : 2B
ASISTEN : PRIA PERDANA ABDI NEGARA
3.1 Materi
3.1.1 Alat
3.1.1.1 Kecernaan Bahan Kering (KBK)
1. Sentrifuge 5. Shaker waterbath
3.1.2.4 N-NH3
1. Cairan Rumen 4. Asam borat
3. Vaseline
Tabung glass berisi substrat dialiri CO2 untuk menjaga suasana anaerob.
b. Percobaan hidrolitis
Setelah tahap fermentatif, kemudian tabung berisi substrat ditetesi H2SO4,
ditambah larutan pepsin sebanyak 4 ml.
Tabung glass berisi substrat dialiri CO2 untuk menjaga suasana anaerob.
b. Percobaan hidrolitis
Setelah tahap fermentatif, kemudian tabung berisi substrat ditetesi H2SO4,
ditambah larutan pepsin sebanyak 4 ml.
3.2.4 N-NH3
Olesi cawan conway dan tutupnya dengan vaselin agar dapat tertutup
rapat.
Setelh 24 jam, N-NH3 rumen yang diikat oleh ion hidrogen dari asam borat
dititar H2SO4 0,01 N sampai terjadi perubahan warna dari biru menjadi
warna merah jambu.
4.1 Hasil
4.1.1 KBK (Kecernaan Bahan Kering)
Diketahui:
BK asal: 2
Berat setelah oven sampel (A): 18,6093
Berat cawan sebelum oven sampel (B): 16,7400
Berat setelah oven blanko (a): 13,6800
Berat cawan sebelum oven blanko (b): 13,6092
Jawab:
BK asal−( A−B )−(a−b)
%KBK : x 100 %
BK asal
2−( 18,6093−16,7400 )−(13,6800−13,6092)
: x 100 %
2
2−( 1,8693 ) −(0,0708)
: x 100 %
2
2−(1,7985)
: x 100 %
2
0,2015
: x 100 %
2
: 10,075%
4.1.2 KBO (Kecernaan Bahan Organik)
Diketahui:
BO asal: 1,60
BO residu sampel(A): 1,8693
Berat sampel setelah ditanur (B): 22,1693
Berat sampel cawan sebelum ditanur (C): 21,7493
BO residu blanko (a): 0,0708
Berat blanko setelah tanur (b): 15,2818
Berat blanko cawan sebelum tanur (c): 15,2793
Jawab:
%KBO : BO asal−¿ ¿
: 1 , 60−¿ ¿
1, 60−(0 ,1,8693−0 , 42)−(0,0708−0,0023)
: x 100 %
1 , 60
1, 60−(1,4493)−(0,0685)
: x 100 %
1 , 60
1, 60−1,3808
: x 100 %
1 , 60
1, 60−1,3808
: x 100 %
1 , 60
: 13,7%
4.1.3 VFA
Diketahui:
ml titran blanko : 4,9 ml
ml titran sampel : 4,7 ml
N HCl : 0,5 N
Jawab:
1000
VFA : (ml titran blanko – ml titran sampel) X N HCl X
5
1000
: (4,9 – 4,7) X 0,5 X
5
: 0,2 X 0,5 X 200
: 20 mM
4.1.4 N-NH3
Diketahui:
ml titran : 2,72 ml
N H2SO4 : 0,01 N
Jawab:
1000
N-NH3 : ml titran X N H2SO4 X
1
1000
: 2,72 X 0,01 X
1
: 27,2 mM
4.1.5 Gas Test
Diketahui:
V24 = produksi akhir gas setelah 24 jam: 34
V0 = produksi piston awal: 34
Gb0 = rataan produksi gas selama 24 jam: 1
FH = faktor koreksi hijauan:1
W = berat sampel: 0,2 gram: 200 mg
Jawab:
( V 24−V 0−Gb0 ) X 200 X (FH + FC )/2
Gas test :
W
( 34−34−1 ) X 200 X 2/2
:
200
−1 X 200 X 1
:
200
: 1 ml
4.2 Pembahasan
4.2.1 KBK (Kecernaan Bahan Kering)
Kecernaan merupakan indikator dalam menentukan kualitas bahan pakan.
Penyediaan hijauan pakan untuk ternak ruminansia masih mengalami beberapa masalah
seperti fluktuasi jumlah produksinya sepanjang tahun, ketersediaan hijauan pada saat
musim kemarau lebih sedikit dibandingkan pada saat musim hujan yang melimpah. Hal
tersebut sesuai dengan pernyataan Suardin dan Sandiah (2014) yang menyatakan bahwa,
hijauan untuk pakan ternak pada saat musim hujan dapat tumbuh dengan baik dan
kebutuhan hijauan pakan dapat tercukupi, tetapi pada saat musim kemarau hijauan
pakan sulit diperoleh. Menurut Anggorodi (1994) menyebutkan bahwa fluktasi pakan
hijauan sangat terasa pada musim kemarau karena tanaman terganggu pertumbuhannya
sehingga hijauan yang dihasilkan akan sangat berkurang kuantitas dan kualitasnya.
Metode percobaan pencernaan ada 3 macam antara lain in vitro, in vivo dan in sacco.
Hal tersebut sesuai dengan pendapat Zubaili dan Usman (2017) menyebutkan bahwa
terdapat tiga cara untuk menentukan nilai kecernaan khususnya ruminansia, yaitu dengan
teknik in vivo, in sacco dan in vitro. Teknik evaluasi yang relatif sederhana dan efisiensi
adalah melalui teknik pengukuran kecernaan secara in vitro. In vitro merupakan metode
percobaan pencernaan yang dilakukan diluar tubuh ternak dengan menyediakan
lingkungan seperti pada ternak hidup. Hal tersebut sesuai dengan pendapat Wulandari
dan Agus (2014) menyebutkan bahwa metode in vitro adalah metode percobaan
pencernaan diluar tubuh ternak atau secara semu di laboratorium dengan menggunakan
sampel pakan dan cairan rumen. Analisis yang dilakukan pada praktikum metode in vitro
antara lain Kecernaan Bahan Kering (KBK) dan Kecernaan Bahan Organik (KBO).
Prinsip dari KBK dan KBO adalah mengukur kecernaan dengan anggapan bahwa
proses pencernaan telah berjalan sempurna selama 24 jam pencernaan fermentatif dan
24 jam pencernaan hidrolitis. Metode yang digunakan adalah Tilley and Terry (1963).
Kelebihan dari metode in vitro antara lain dapat diamati secara langsung, dapat
menggunakan banyak sampel dan lebih mudah, murah serta efisien. Hal tersebut sesuai
dengan pernyataan Dewi et al., (2015) yang menyatakan bahwa, metode in vitro memiliki
kelebihan, yaitu waktu yang lebih singkat, biaya yang lebih murah, dan dapat dikerjakan
dengan menggunakan banyaksampel pakan sekaligus, serta daya cerna bahan pakan yang
tidak dapat diberikansecara tunggal pada ternak. Kelemahan pada metode in vitro yaitu
human error. Nilai kecernaan KBK dan KBO dapat dilakukan dengan dua tahap yaitu
pencernaan fermentatif dan pencernaan hidrolitis.
4.2.2 Kecernaan Bahan Organik (KBO)
Perbedaan yang terdapat pada pencernaan fermentatif dan pencernaan hidrolitis
adalah pada residu dan supernatan. Pencernaan fermentatif dibantu oleh mikroba dan
residu digunakan untuk degradasi Bahan Kering (BK), sedangkan supernatan untuk
N−NH 3 dan VFA. Hal tersebut sesuai dengan pernyataan Paulina et al., (2020) yang
menyatakan bahwa, Pencernaan fermentatif terjadi di lambung depan dibantu oleh
mikoorganisme dengan memecah selulosa dan hemiselulosa menjadi karbohidrat
sederhana dan volatile fatty acid (VFA) yang terdiri dari asam propionat, asam asetat dan
asam butirat yang nantinya akan diserap di lambung ditransportasikan ke jaringan tubuh
sebagai sumber energi. Pencernaan hidrolitis bersifat aerob dan residu digunakan untuk
KBK dan KBO, untuk supernatan dibuang. Hal tersebut sesuai dengan pernyataan Syapura
et al., (2013) yang menyatakan bahwa, pencernaan hidrolitis dalam suasana aerob
(tabung tidak di tutup), setelah diinkubasi selama 24 jam dalam suasana aerob.
Berdasarkan hasil praktikum, perhitungan KBK yang diperoleh adalah 10,075%,
sedangkan hasil perhitungan KBO diperoleh sebesar 13,7%. Tabel hasil yang menunjukkan
hasil KBK dan KBO dari kelompok 1, dapat disimpulkan bahwa apabila presentase KBO
mengalami peningkatan sejalan dengan peningkatan presentase KBK. Hal tersebut sesuai
dengan pernyataan Pinasih (2013) yang menyatakan bahwa faktor yang mempengaruhi
kecernaan bahan organik juga mempengaruhi kecernaan bahan kering. Menurut Soejono
(1991) menyatakan bahwa kecernaan bahan kering yang tinggi pada ternak ruminansia
menunjukkan tingginya zat nutrisi yang dicerna terutama yang dicerna oleh mikroba
rumen.
Nilai presentase kecernaan bahan pakan yang semakin tinggi, maka kualitas bahan
pakan yang dimiliki semakin baik. Faktor yang menyebabkan turunnya kandungan bahan
kering karena adanya proses fermentasi yang merombak bahan organik yang dijadikan
sebagai sumber energi bagi pertumbuhan dan aktivitas mikroorganisme. Nilai kecernaan
bahan organik suatu pakan dapat menentukan kualitas pakan. Hal tersebut susai denga
pernyataan Hartono (2015) yang menyatakan bahwa, faktor yang mempengaruhi KBO
adalah kandungan serat kasar dan mineral dari bahan pakan. KcBO berkaitan sangat erat
dengan KcBK, karena sebagian dari bahan kering terdiri atas bahan organik.
4.2.3 Volatile Fatty Acid (VFA)
Berdasarkan hasil praktikum pengukuran kadar VFA total dengan sampel bahan
pakan Gliricide, diperoleh sebesar 20 mM maka dari hasil tersebut dinyatakan sapi
mengalami kekurangan energi tidak sesuai dengan standar. Hal tersebut sesuai dengan
pernyataan Muchlas dan Kusmartono (2019) menyatakan bahwa, standar kadar total VFA
diantara 60-180 mM, untuk kadar VFA pada ternak ruminansia adalah 80-160 mM dengan
kadar VFA ideal 120 mM. Menurut Dhia dan Kamil (2019) menyebutkan bahwa
konsentrasi VFA yang mencukupi untuk pertumbuhan mikroba rumen yaitu antara 80-180
mM. Kadar VFA apabila < 80 mM maka ternak akan kekurangan energi dan apabila kadar
VFA > 160 mM maka ternak mengalami kelebihan karbohidrat serta dapat menyebabkan
kembung (blood). Kandungan VFA adalah hasil dari aktivitas bakteri yang telah melakukan
fermentasi di dalam rumen. Bakteri yang berada di dalam rumen yang melakukan
aktivitas bakteri apabila semakin banyak, maka dapat menghasilkan kadar VFA yang
tinggi.
VFA (Volatile Fatty Acid) merupakan produk fermentasi berasal dari bahan yang
mengandung karbohidrat dan protein. Prinsip dari VFA adalah menguapkan asam lemak
atsiri (VFA) dengan teknik penyulingan dan mengikat dengan larutan basa sehingga
terbentuk garam. Kelebihan basa yang tidak terbentuk garam akan dititrasi dengan asam.
Metode yang digunakan dalam pengukuran konsentrasi VFA total adalah penyulingan uap
(Krooman, 1967). Hal tersebut sesuai dengan pernyataan Syapura et al., (2013)
menyebutkan bahwa konsentrasi VFA total dapat diukur menggunakan metode destilasi
uap (Krooman, 1967).
Faktor-faktor yang mempengaruhi pengukuran kadar VFA antara lain jumlah mikroba
di dalam rumen, proses fermentasi oleh mikroba dan konsumsi pakan. Hal tersebut sesuai
dengan pendapat Arora (1995) menyebutkan bahwa konsentrasi VFA dipengaruhi oleh
tipe pakan, pengolahan, komposisi pakan dan keberadaan mikroba dalam rumen. Proses
fermentasi oleh mikroba berkaitan dengan kondisi rumen. Apabila pH rumen tidak
normal, maka aktivitas mikroba akan terganggu. Kualitas dan kuantitas bahan pakan
berkaitan dengan konsumsi pakan. Pemberian pakan sumber energi yang tinggi, maka
produksi VFA akan semakin tinggi.
Komponen utama dari VFA (Volatile Fatty Acid) terdiri dari asetat (C 2), propionat (C 3)
dan butirat (C 4). Hal tersebut sesuai dengan pendapat Widodo dan Wahyono (2012)
menyebutkan bahwa VFA merupakan sumber energi utama bagi ternak ruminansia yang
dihasilkan dari pemecahan karbohidrat dalam rumen, yaitu asam asetat, asam propionat
dan asam butirat. Asetat (C 2) berfungsi untuk membentuk asam lemak susu 60 mlmol
dengan komposisi 50-60%. Propionat (C 3) berfungsi untuk pembentukan daging (20
mlmol) dengan konsentrasi 18-24%. Butirat (C 4) berfungsi untuk mensintesis benda-
benda keton (10 mlmol) dengan konsentrasi 16%. Perbedaan dari asetat, propionat dan
butirat adalah pada bagian ikatan karbon (C).
4.2.4 N−NH 3
Berdasarkan hasil praktikum pengukuran kadar nitrogen-amonia (N −NH ¿¿ 3)¿
dengan sampel bahan pakan Gliricide, diperoleh hasil sebesar 27,2 mM. Kadar normal
N−NH 3 yaitu 4-14 mM untuk mikroba, maka dapat dikatakan bahwa dari hasil praktikum
diperoleh sebesar 27,2 mM tidak memenuhi kadar normal N−NH 3. Hal tersebut sesuai
dengan pernyataan Probowati (2012) yang menyatakan bahwa, amonia berfungsi sebagai
sumber nitrogen (N) yang digunakan dalam sintesis protein mikroba, sehingga
membutuhkan 5-17,65 mM amonia untuk mendukung pertumbuhan mikroba. Apabila
kadar N−NH 3 < 4 mM maka tidak terjadi SPM (Sintesis Protein Mikroba). Apabila
kelebihan N−NH 3 maka terjadi overflow urea, sehingga urea dalam urin dan susu akan
tinggi.
Peningkatan konsentrasi N−NH 3 rumen dipengaruhi oleh peningkatan pemberian
urea. Prinsip dari pengukuran nitrogen-amonia (N −NH ¿¿ 3)¿ adalah menangkap uap
N−NH 3 dengan asam borat sehingga terbentuk NH 4, kemudian dititrasi dengan H 2 SO4 .
Metode yang digunaka dalam pengukuran kadar N−NH 3 adalah metode teknik
mikrodifusi Conway. Hal tersebut sesuai dengan pendapat Wati dan Achmadi (2012)
menyebutkan bahwa N−NH 3 diukur dengan teknik Mikro Difusi Conway, sedangkan
pengukuran konsentrasi VFA total diukur menggunakan metode destilasi uap.
Bahan-bahan yang digunakan antara lain asam borat, Na2 CO 3 , supernatan, H 2 SO4
0,01 N dan vaselin. Komposisi asam borat berindikator yaitu Bcg dan Methyl red. Setiap
bahan memiliki fungsi yang berbeda. Asam borat berfungsi untuk menangkap N−NH 3 .
Larutan Na2 CO 3 jenuh untuk menguapkan N−NH 3. Hal tersebut sesuai dengan
pendapat Mariani dan Suryani (2016) menyebutkan bahwa Na2 CO 3 jenuh untuk
menguapkan N−NH 3, sedangkan asam borat memiliki fungsi untuk menangkap N−NH 3 .
Vaselin digunakan sebagai perekat atau pelicin agar udara dari luar tidak masuk dan
H 2 SO4 0,01 N sebagai titran.
Hubungan VFA dengan N−NH 3 berbanding terbalik. Komponen N−NH 3 terjadi
perubahan warna yaitu dari warna biru kehijauan menjadi berwarna pink. Menurut
pendapat Zahera dan Anggraeni (2020) menyebutkan bahwa proses inkubasi selama 24
jam maka asam borat berindikator dititrasi dengan menggunakan H 2 SO4 0,01 N sampai
berubah warna menjadi merah muda. Menurut Arora (1995) menyebutkan bahwa
protein bahan pakan dalam ransum akan dihidrolisis menjadi peptida dan asam amino
oleh mikroba rumen serta beberapa asam amino akan didegradasi menjadi asam organik,
CO 2 dan amonia.
4.2.5 Gas Test
Berdasarkan hasil praktikum pengukuran teknik gas in vitro dengan sampel bahan
pakan Gliricide, diperoleh hasil sebesar 1 ml/200 mg, maka dikatakan bahwa hasil
tersebut tidak normal karna kadar normal gas test adalah 18,96 ml/200 mg – 23,50
ml/200 mg. Hal tersebut sesuai dengan pendapat Sajati dan Surono (2012) menyebutkan
bahwa produksi gas total antara 18,96 ml/200 mg – 23,50 ml/200 mg. Gas test
merupakan cerminan dari terfermentasinya substrat dalam bahan pakan, dimana di
dalam rumen terdapat mikroba yang mencerna bahan organik dalam bahan pakan
sehingga menghasilkan VFA dan gas test. Prinsip dari pengukuran gas test adalah estimasi
kecernaan bahan organik berdasarkan hubungannya dengan produksi gas ( CO 2 dan CH 4)
in vitro bila bahan pakan diinkubasi dengan cairan rumen selama 24 jam.
Tujuan dari pengukuran gas test adalah untuk mengukur produksi total gas
fermentasi oleh mikroba rumen dari bahan pakan atau ransum yang diuji. Metode yang
digunakan dalam pengukuran gas test adalah metode Menke, 1979. Hal tersebut sesuai
dengan pernyataan Windyasmara (2015) yang menyatakan bahwa Tingginya produksi gas
merupakan indikator ter-bentuknya VFA terutama asam asetat dan propionat
menggunakan metode Menke et al., 1979. Hubungan gas test dengan VFA berbanding
lurus. Kandungan bahan organik dalam bahan pakan semakin tinggi, maka kadar VFA total
dan gas test semakin besar.
Cara kerja pengukuran gas test yaitu pertama piston diolesi menggunakan vaselin
dan dimasukkan 0,2 gram BK sampel ke tabung Menke. Tabung ditutup menggunakan
piston sampai menunjukkan skala 30. Cairan rumen ditambahkan sebanyak 10 ml dan 20
ml cairan medium, kemudian di inkubasi selama 24 jam dengan suhu 39°C menggunakan
oven. Setiap 4 jam sekali diamati dan pertambahan gasnya selama 24 jam lalu dicatat. Hal
tersebut sesuai dengan pendapat Hariyani (2019) menyebutkan bahwa sampel pakan
yang akan diteliti di inkubasi dalam fermentor (syringe glass atau botol serum) pada suhu
39°C dalam medium anaerob yang diinokulasi dengan mikroba rumen. Aktivitas
fermentasi oleh mikroba rumen akan menghasilkan gas.
Kelebihan pengukuran gas test yaitu dapat menggambarkan kualitas bahan pakan
berdasarkan bahan organik, menggambarkan aktivitas mikroba dalam mendegradasi
pakan dan dapat menggambarkan aktivitas zat antinutrisi dalam menghambat
pencernaan. Hal tersebut sesuai dengan pendapat Mukmin dan Soetanto (2014)
menyebutkan bahwa kelebihan gas test dengan metode ini adalah dapat mengetahui
aktivitas zat antinutrisi yang dapat menghambat pada proses pencernaan zat makanan.
Proses pencernaan, tanin menghambat proses penguraian bahan-bahan yang
mengandung protein tinggi. Hal tersebut didukung oleh pernyataan Sajati dan Surono
(2014) menyebutkan bahwa kelebihan gas test dapat menghitung kecernaan bahan,
dapat menentukan besarnya energi yang termetabolis dan dapat menghitung produksi
asam lemak atsiri atau VFA.
Faktor-faktor yang mempengaruhi antara lain cairan rumen yang berhubungan
dengan jumlah mikroba, jenis pakan dengan pakan fermentable lebih banyak
memproduksi gas dan lama inkubasi. Hal tersebut sesuai dengan pendapat Tillman (1991)
menyebutkan bahwa pembentukan gas-gas di dalam rumen dipengaruhi oleh jenis bahan
pakan yang diberikan pada ternak tersebut. Lama inkubasi, apabila semakin lama maka
laju gas semakin rendah. Menurut pendapat Sutardi (1980) menyebutkan bahwa produksi
gas yang merupakan hasil fermentasi di dalam rumen dapat menggambarkan banyaknya
bahan organik yang tercerna. Produksi gas yang semakin tinggi maka bahan pakan
semakin baik.
V. PENUTUP
5.1 Kesimpulan
1. Berdasarkan hasil praktikum, perhitungan KBK yang diperoleh adalah 65,675%,
sedangkan hasil perhitungan KBO diperoleh sebesar 64,1925%., dapat disimpulkan
bahwa apabila presentase KBO mengalami peningkatan sejalan dengan
peningkatan presentase KBK.
2. Berdasarkan hasil praktikum pengukuran kadar VFA total dengan sampel bahan
pakan Gliricide, diperoleh sebesar 176 mM maka hasil tersebut sudah sesuai
dengan standar. karena standar kadar total VFA diantara 60-180 mM.
3. Berdasarkan hasil praktikum pengukuran kadar nitrogen-amonia (N −NH ¿¿ 3)¿
dengan sampel bahan pakan Gliricide, diperoleh hasil sebesar 60.5 mM. Kadar
normal N−NH 3 yaitu 4-14 mM untuk mikroba, maka kadar nitrogen ammonia
dikatakan tidak normal.
4. Berdasarkan hasil praktikum pengukuran teknik gas in vitro dengan sampel bahan
pakan Gliricide, diperoleh hasil sebesar 1 ml/200 mg, maka dikatakan bahwa hasil
tersebut tidak normal karna kadar normal gas test adalah 18,96 ml/200 mg –
23,50 ml/200 mg.
5.2 Saran
Acara sudah berjalan dengan sangat baik.
DAFTAR PUSTAKA
Aka, R., dan Sandiah, N. 2014. Kecernaan Bahan Kering Dan Bahan Organik Campuran
Rumput Mulato (Brachiaria Hybrid. cv. mulato) Dengan Jenis Legum Berbeda
Menggunakan Cairan Rumen Sapi. Jurnal Ilmu dan Teknologi Peternakan
Tropis.1(1):16-22.
Alia, L. S. 2015. Pengaruh Umur Pemotongan Tanaman Rami (Boehmeria nivea) Terhadap
Kecernaan Bahan Kering dan Bahan Organik (In vitro). Students e-Journal. 4(3):10-
16.
Anggorodi, R. 1994. Ilmu Makanan Ternak Umum. PT Gramedia Pustaka Utama. Jakarta.
Arora, S. P. 1995. Pencernaan mikroba pada ruminansia. Cetakan Kedua. Gadjah Mada
University Press. Yogyakarta
Dewi, S. P., M. Ridla, dan A. Jayanegara. 2015. Fraksinasi Dan Utilisasi Protein Sejumlah
Kacang-Kacangan Lokal Menggunakan Metode In Vitro. Prosiding Seminar Hasil-
Hasil PPM IPB, 1(1):1-14.
Dhia, K. S., dan Kamil K. A. 2019. Kecernaan dan Fermentabilitas Substrat Kombinasi
Mineral-Fungi dalam Rumen. Jurnal Ilmiah Peternakan Terpadu, 7(2):217-222.
Hartono, R. 2015. Uji In Vitro Kecernaan Bahan Kering. Bahan Organik dan Produksi
N−NH 3 pada Kulit Buah Durian (Durio zibethinus) yang Difermentasi Jamur Tiram
Putih (Pleurotus ostreatus) dengan Perbedaan Waktu Inkubasi. Jurnal Sain
Peternakan Indonesia., 10(2):87-94.
Haryani, O. 2019. Pengaruh Lama Waktu Fermentasi Ampas Putak (Corypha gebanga)
terhadap Produksi Gas dan Nilai Kecernaan secara In Vitro Menggunakan
Aspergillus oryzae. Jurnal Nutrisi Ternak Tropik. 2(1):53-62.
Mariani, N. P., dan Suryani N. N. 2016. Kecernaan dan Produk Fermentasi Rumen In Vitro
Ransum Sapi Bali Induk dengan Level Energi Berbeda. Majalah Ilmiah Peternakan,
19(3):93-96.
McDonald, P., R. A. Edward, and J. F. O. Greenhalgh. 2002. Animal Nutrition. 6th Ed.
Longman Scientific & Technical. John Willey & Sons. Inc. New York.
Moran, J. 1996. Forage Conserevation: Making Quality Silage and Hay in Australia.
Agmedia. Melbourne.
Muchlas, M., dan Kusmartono. 2019. Pengaruh Penambahan Daun Pohon terhadap Kadar
VFA dan Kecernaan Secara In Vitro Ransum Berbasis Ketela Pohon. Jurnal Ilmu Ilmu
Peternakan, 24(2): 8-19.
Mukmin, A., dan Soetanto H. 2014. Produksi Gas In Vitro Asam Amino Metionin
Terproteksi dengan Serbuk Mimosa sebagai Sumber Condensed Tannin (CT). Jurnal
Ternak Tropika. 15(2):36-43.
Paulino, T. B., Filphin A. A., dan Inggrid T. M. 2020. Kajian Histokimia Sebaran Karbohidrat
Asam Pada Lambung Depan Sapi Sumba Ongole (Bos indicus). Jurnal Kajian
Veteriner, 8(2):202-210.
Pinasih, C. 2013. Kecernaan Bahan Kering dan Bahan Organik Rumput Benggala (Panicum
maximum) Secara In Vitro pada Berbagai Upaya Perbaikan Tanah Salin. Animal
Agriculture Journal, 2(4):73-88.
Probowati, R. C. 2012. Kadar VFA dan NH3 Secara In Vitro Pakan Sapi Potong Berbasis
Limbah Pertanian dan Hasil Samping Pertanian Difermentasi dengan A niger. Animal
Agriculture Journal, 1(2):258-265.
Rafleliawati, P., Surahmanto, dan Joelal A. 2016. Efek Pemanasan pada Molases yang
Ditambahkan Urea Terhadap Ketersediaan NH3, Volatile Fatty Acid dan Protein
Total Secara In Vitro. Jurnal Ilmu-Ilmu Peternakan, 26(2):24-29.
Sairullah, P., Siti C., dan Herni S. 2016. Effect Of Flour And Papaya Leaf Extract (Carica
papaya L) In Feed To Ammonia Concentration, Volatile Fatty Acid And Microbial
Protein Synthesis In Vitro. Jurnal Ternak Tropika, 17(2):66-73.
Sajati, G., B. W. H. E. Prasetyo dan Surono. 2014. Pengaruh Ekstruksi Dan Proteksi Dengan
Tanin Pada Tepung Kedelai Terhadap Produksi Gas Total Dan Metan Secara In Vitro.
Animal Agricultural Journal, 1(1):241-256.
Soejono, M. 1991. Analisis dan Evaluasi Pakan. Pusat Antar Universitas Bioteknologi.
Fakultas Peternakan UGM. Yogyakarta.
Suardin, dan Sandiah N. 2014. Kecernaan Bahan Kering dan Bahan Organik Campuran
Rumput Mulato (Brachiaria hybrid.cv.mulato) dengan Jenis Legum Berbeda
Menggunakan Cairan Rumen Sapi. JITRO, 1(1): 16-22.
Sutardi, T. 1980. Landasan Ilmu Nutrisi. Fakultas Peternakan. Institut Pertanian Bogor.
Bogor.
Sutardi, T., N. A. Sigit, dan T. Toharmat. 1983. Standarisasi Mutu Protein Bahan Makanan
Ternak Ruminansia Berdasarkan Parameter Metabolisme oleh Mikroba Rumen.
Proyek Pengembangan Ilmu dan Teknologi Dirjen Pendidikan Tinggi. Jakarta.
Syapura, M. Bata, dan Wardhana S. P. 2013. Peningkatan Kualitas Jerami Padi dan
Pengaruhnya Terhadap Kecernaan Nutrien dan Produk Fermentasi Rumen Kerbau
dengan Feces Sebagai Sumber Inokulum. Agripet, 13(2):59-67.
Tulung, Y. L. R., A. F. Pendong, dan B. Tulung. 2020. Evaluasi Nilai Biologis Pakan Lengkap
Berbasis Tebon Jagung dan Rumput Campuran Terhadap Kinerja Produksi Sapi
Peranakan Ongole (PO). Zootec, 40(1):363–379.
Van Soest, P. J. 1994. Nutritional Ecology of the Ruminant second edition. Cornell
University Press. Ithaca, New York.
Wati, N. E. dan Achmadi J. 2012. Degradasi Nutrien Bahan Pakan Limbah Pertanian dalam
Rumen Kambing secara In Sacco. Animal Agriculture Journal, 1(1):485-498.
Widodo, dan Wahyono F. 2012. Kecernaan Bahan Kering, Kecernaan Bahan Organik,
Produksi VFA dan NH3 Pakan Komplit dengan Level Jerami Padi Berbeda secara In
Vitro. Indonesian Jurnal of Food Technology, 1(1):1-15.
Windyasmara, Ludfia. 2015. Pengaruh Jenis Kotoran Ternak Sebagai Substrat Dan
Penambahan Serasah Daun Jati (Tectona grandis) Terhadap Produksi Total VFA Pada
PROSES Fermentasi Biogas. Buletin Peternakan, 39(3):199-204.
Woolford, M. K. 1984. The Silage Fermentation. Marcel Dekker Inc., New York.
Wulandari, S., dan Agus, A. 2014. Performa Produksi Domba yang Diberi Complete Feed
Fermentasi Berbasis POD Kakao Serta Nilai Nutrien Tercernanya Secara In Vitro.
Buletin Peternakan, 38(1):42-50.
Zahera, R., dan Anggraeni D. 2020. Pengaruh Kandungan Protein Ransum yang Berbeda
terhadap Kecernaan dan Fermentabilitas Rumen Sapi Perah secara In Vitro. Jurnal
Ilmu Nutrisi dan Teknologi Pakan, 18(1):1-6.
Zubaili dan Usman, Y. 2017. Evaluasi Kecernaan In Vitro Pakan Komplit Fermentasi
Berbahan Dasar Ampas Sagu dengan Lama Pemeraman Berbeda. Jurnal Ilmiah
Mahasiswa Pertanian Unsyiah, 2(2):350-358.