In Vitro Anau

Unduh sebagai docx, pdf, atau txt
Unduh sebagai docx, pdf, atau txt
Anda di halaman 1dari 28

LAPORAN PRAKTIKUM

PAKAN DAN NUTRISI RUMINANSIA


“IN VITRO”

Oleh :
NAMA : MUHAMMAD AULIA SYAFRIAWAN
NIM : D1A021151
KELOMPOK : 2B
ASISTEN : PRIA PERDANA ABDI NEGARA

LABORATRIUM ILMU NUTRISI DAN MAKANAN TERNAK


FAKULTAS PETERNAKAN
UNIVERSITAS JENDERAL SOEDIRMAN
PURWOKERTO
2023
I. PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang


Ternak ruminansia pada umumnya diberi pakan hijauan dan konsentrat. Pakan
tambahan seperti molases dan yodium juga sering ditambahan ke pakan utama dengan
tujuan meningkatkan palatabilitas ternak tersebut sehingga konsumsi pakannya menjadi
lebih tinggi. Kualitas pakan dapat diketahui dengan melakukan percobaan pencernaan,
misalnya in vitro, in vivo, dan in sacco. Metode in vitro merupakan metode percobaan
pencernaan yang dilakukan diluar tubuh ternak dengan menciptakan lingkungan yang
sesuai dengan tubuh ternak tersebut. Metode in vivo merupakan metode percobaan
pencernaan yang dilakukan di dalam tubuh ternak. Metode in sacco merupakan gabungan
dari in vitro dan in vivo.
Kecernaan in vitro merupakan teknik pengukuran degradabilitas dan kecernaan
evaluasi ransum secara biologis dapat dilakukan secara laboratorium dengan meniru
seperti kondisi sebenarnya. Metode in vitro adalah proses metabolisme yang terjadi di
luar tubuh ternak. Prinsip dan kondisinya sama dengan proses yang terjadi di dalam
tubuh ternak yang meliputi proses metabolisme dalam rumen dan abomasum. Teknik
kecernaan in vitro memiliki keuntungan lebih singkat, lebih ekonomis, tidak adanya resiko
kematian pada ternak, dan prediksi yang tidak berbeda jauh dengan metode in vivo.
Metode in vitro dapat digunakan untuk mengetahui konsentrasi produk akhir
fermentasi. Metode in vitro yang digunakan dalam penelitian ada 3 macam antara lain
metode in vitro Tilley and Terry (1963), metode in vitro produksi gas dan metode rusitec.
Metode yang digunakan pada acara praktikum in vitro (KBK dan KBO) adalah metode in
vitro Tilley and Terry (1963). Pengukuran kecernaan secara in vitro terdiri dari dua tahap
yaitu tahap pencernaan fermentatif di dalam rumen oleh mikroba dan tahap pencernaan
hidrolitis di dalam pascarumen dengan kondisi aerob.
Metode in vitro sering digunakan karena mudah dilakukan, biaya nya murah, dan
lebih efisien. Metode in vitro juga dapat menggunakan beberapa sampel dalam sekali
analisis serta prosesnya dapat diamati secara langsung karena dilakukan di laboratorium.
Pakan yang dimakan oleh ternak akan dicerna secara fermentatif didalam rumen,
sehingga kadar VFA, N-NH3 dan gas yang terbentuk dapat diketahui dengan melakukan
percobaan in vitro. Hal inilah yang melatar belakangi pelaksanaan praktikum mata kuliah
Pakan dan Nutrisi Ruminansia acara In Vitro (VFA, N-NH3, dan Gas Test).
1.2 Tujuan
1. Mahasiswa dapat mengevaluasi kualitas bahan pakan ternak ruminansia
berdasarkan nilai hilangnya/kecernaan bahan kering dan organik.
2. Mahasiswa dapat mengevaluasi kualitas bahan pakan ternak ruminansia
berdasarkan pengukuran konsentrasi VFA total secara in vitro.
3. Mahasiswa dapat mengevaluasi kualitas bahan pakan ternak ruminansia
berdasarkan pengukuran nitrogen-amonia ( N−NH 3) secara in vitro.
4. Mahasiswa dapat mengevaluasi kualitas bahan pakan ternak ruminansia
berdasarkan teknik pengukuran Gas In Vitro.
1.3 Waktu dan Tempat
Praktikum Pakan dan Nutrisi Ruminansia acara “In Vitro” dilaksanakan pada hari
Senin, 18 September 2023 pukul 18.30 WIB s/d Jumat, 22 September 2023 pukul 21.30
WIB di Laboratorium Ilmu Nutrisi Dan Makanan Ternak, Fakultas Peternakan, Universitas
Jenderal Soedirman, Purwokerto.
II. TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Kecernaan Bahan Kering (KBK)


Kecernaan merupakan serangkaian proses yang terjadi di dalam saluran pencernaan
sampai memungkinkan terjadinya penyerapan nutrien (Anggorodi, 1994). Kecernaan
pakan dapat diartikan sebagai jumlah bahan pakan yang tidak diekskresikan melalui feses
denganasumsi zat pakan tersebut terserap di dalam saluran pencernaan ternak yang
biasanya dinyatakan dalam persentase BK (McDonald et al., 2002). Beberapa faktor yang
mempengaruhi tinggi rendahnya kecernaan, seperti komposisi bahan pakan, komposisi
ransum, bentuk fisik ransum, penyiapan pakan, daya cerna semu PK, jumlah pakan dan
faktor yang berasal dari ternak (Tillman et al., 1998).
Kecernaan bahan kering (KcBK) merupakan pengukuran kecernaan untuk
menentukan jumlah nutrien pakan yang diserap dalam gastrointestinalis dengan
membebaskan nutrien sehingga dapat diserap dan diekskresikan dalam feses. Komposisi
pakan berhubungan erat dengan komposisi kimiawinya terutama komposisi serat, yaitu
selulosa, hemiselulosa dan lignin pada pakan hijauan (Tillman et al., 1998). Kandungan SK
yang tinggi dalam pakan merupakan faktor pembatas lamanya waktu pencernaan
sehingga mempengaruhi kecernaan dan akhirnya menurunkan konsumsi pakan. Hal
tersebut dapat dikarenakan kandungan lignin yang sulit dicerna, sehingga mempengaruhi
nilai kecernaan karbohidrat melalui pembentukan ikatan hidrogen pada sisi kritis
sehingga membatasi aktivitas selulase (Arora, 1995).
Kecernaan bahan organik dalam saluran pencernaan ternak meliputi kecernaan zat-
zat pakan berupa komponen bahan organik seperti karbohidrat, protein, lemak, dan
vitamin. Bahan-bahan organik yang terdapat dalam pakan tersedia dalam bentuk tidak
larut, oleh karena itu diperlukan adanya proses pemecahan zat-zat tersebut menjadi zat-
zat yang mudah larut. Faktor yang mempengaruhi kecernaan bahan organik adalah
kandungan serat kasar dan mineral dari bahan pakan. Kecernaan bahan organik erat
kaitannya dengan kecernaan bahan kering, karena sebagian dari bahan kering terdiri dari
bahan organik. Komponen BO terdiri dari protein, lemak dan karbohidrat. Nilai kecernaan
bahan organik (KcBO) didapatkan melalui selisih kandungan BO awal sebelum inkubasi
dan setelah inkubasi (Tillman et al., 1998).
2.2 Kecernaan Bahan Organik (KBO)
Bahan organik merupakan bagian dari bahan kering kecuali abu, sehingga apabila
bahan kering meningkat akan mengakibatkan terjadinya peningkatan kandungan bahan
organik pada bahan atau sebaliknya. Kecernaan bahan organik adalah banyaknya nutrien
yang terkandung dalam suatu bahan pakan seperti karbohidrat, protein, lemak dan
vitamin yangdapat dicerna oleh tubuh ternak. Nilai kecernaan bahan organik dan bahan
kering pakan yang semakin tinggi diikuti dengan tingginya kandungan nutrien dalam
pakan. Semakin tinggi yang nilai kecernaan bahan organik dan bahan kering maka pakan
yang dikonsumsi akan kebutuhan ternak. Semakin tinggi fermentabilitas pakan akan
memudahkan mikrobia rumen dalam mencerna pakan sehingga kecernaan bahan
organiknya akan tinggi (Rahmawati et al., 2021).
Kecernaan bahan organik menggambarkan ketersedian nutrien dari pakan.
Kecernaan bahan organik dalam saluran pencernaan ternak meliputi kecernaan zat-zat
makanan berupa komponen bahan organik seperti karbohidrat, protein, lemak dan
vitamin. Bahan-bahan organik yang terdapat dalam pakan tersedia dalam bentuk tidak
larut, oleh karena itu diperlukan adanya proses pemecahan zat-zat tersebut menjadi zat-
zat yang mudah larut. Degradasi bahan organik erat kaitannya dengan degradasi bahan
kering, karena sebagian bahan kering terdiri dari bahan organik. Kecernaan makanan
tergantung pada aktifitas mikroorganisme rumen karena mikroorganisme rumen
berperan dalam proses fermentasi, sedangkan aktifitas mikroorganisme rumen itu sendiri
dipengaruhi oleh zat-zat makanan yang terdapat dalam bahan makanan (Aka, 2014)
Kecernaan bahan organik diukur karena komponen dari bahan organik sangat
dibutuhkan ternak yaitu untuk memenuhi energi hidup pokok dan produksi. Kecernaan
bahan organik erat kaitannya dengan kecernaan bahan kering, karena sebagian dari BK
terdiri dari bahan organik, sehingga penurunan kecernaan bahan kering akan
mengakibatkan kecernaan bahan organik akan menurun atau sebaliknya. Peningkatan
kecernaan bahan organik selalu diiringi dengan meningkatnya kecernaan bahan kering
pakan karena sebagian besar komponen bahan kering terdiri atas bahan organik sehingga
faktor-faktor yang mempengaruhi tinggi rendahnya kecernaan bahan kering akan
mempengaruhi juga kecernaan bahan organik (Alia, 2015).
2.3 Volatile Fatty Acid (VFA)
Volatile Fatty Acids (VFA) merupakan kumpulan dari berbagai macam asam organik
yang dihasilkan oleh mikroorganisme dalam kondisi anaerob melalui proses fermentasi
karbohidrat. Komponen penyusun bahan pakan tentu akan memproduksi panas
metabolisme terutama pakan berserat kasar tinggi (>60%) (Woolford, 1984), dimana
dalam prosesnya akan lebih cenderung mengarah pada produksi VFA terutama asetat dan
butirat yang cenderung memiliki panas metabolisme yang lebih tinggi dibandingkan
propionat serta meningkatkan produksi gas metan (Moran, 1996). Pemilihan bahan pakan
ternak ruminansia yang tepat dibutuhkan guna memberikan produksi propionat terbaik
dengan produksi panas yang rendah yakni pemberian pakan berupa hasil fermentasi. VFA
dibutuhkan oleh ternak ruminansia sebagai energi utama yang masing-masing digunakan
dalam prosesnya (Parakkasi, 1999).
Konsentrasi VFA pada cairan rumen dapat digunakan sebagai salah satu tolok ukur
fermentabilitas pakan dan sangat erat kaitannya dengan aktifitas mikroba rumen
(Parakkasi, 1999). Kadar VFA yang dibutuhkan untuk menunjang pertumbuhan optimal
rumen adalah 80-160 mM (Sutardi, 1979). Banyaknya VFA yang ada dalam rumen
dicirikan oleh aktivitas mikroba, jumlah VFA yang diserap atau keluar dari rumen
(Rafleliawati et al., 2016)
Produk akhir dari fermentasi karbohidrat di dalam rumen adalah Volatile Fatty Acid
(VFA) dengan komponen utama terdiri dari asam asetat, asam propionat dan asam
butirat, yang merupakan sumber energi bagi ternak ruminansia (McDonald et al., 2002).
Protein di dalam rumen akan mengalami perombakan secara hidrolisis oleh enzim
protease menjadi peptida dan asam-asam amino, yang sebagian besar akan didegradasi
dan dideaminasi menjadi asam-asam organik yaitu VFA, amonia, CO2, dan CH4. Komposisi
VFA didalam rumen berubah dengan adanya perbedaan bentuk fisik, komposisi pakan,
taraf, dan frekuensi pemberian pakan, serta pengolahan (Sairullah et al., 2016).
2.4 N−NH 3
Pencernaan protein di dalam rumen terjadi ketika protein memasuki rumen dan
mengalami hidrolisis oleh enzim proteolitis menjadi oligopeptida. Sebagian mikroba
rumen mampu memanfaatkan oligopeptida untuk membentuk protein tubuh, sisa
oligopeptida yang tidak dapat dimanfaatkan mikroba rumen akan mengalami hidrolisis
menjadi asam amino yang mengalami deaminasi sehingga membentuk NH3 serta asam
alfa keto, dimana asam alfa keto digunakan sebagai bahan pembentuk VFA (Tulung et al.,
2020).
Amonia adalah sumber nitrogen utama dan sangat penting untuk sintesis protein
mikroba rumen. Amonia hasil perombakan protein pakan di dalam rumen akan digunakan
sebagai sumber nitrogen utama untuk sintesis protein mikroba. Faktor utama yang
mempengaruhi penggunaan N-amonia adalah ketersediaan karbohidrat dalam ransum
yang berfungsi sebagai sumber energi untuk pembentukan protein mikroba (Sairullah et
al., 2016).
Sumbangan N bagi ternak ruminansia sangat penting mengingat bahwa prekursor
protein mikroba adalah amonia dan senyawa sumber karbon. Semakin tinggi kadar NH3
didalam rumen maka kemungkinan semakin banyak protein mikroba yang terbentuk
sebagai sumber protein tubuh (Arora, 1995). Konsentrasi NH3 dalam cairan rumen yang
dapat menunjang pertumbuhan mikroba rumen secara optimal berkisar antara 3,27-7,14
mM, dengan puncak sintesis mikroba pada konsentrasi 3,27 dan akan berpengaruh buruk
terhadap penampilan produksi dan efisiensi penggunaan N pada konsentrasi lebih dari
7,14 mM (Sutardi et al., 1983).
2.5 Gas Test
Metanogenesis pada sistem pencernaan rumen hewan ruminansia merupakan salah
satu alur reaksi fermentasi makromolekul yang menghasilkan gas CH₄ melalui reduksi CO₂
dengan gas hidrogen yang dikatalisis oleh enzim yang dihasilkan bakteri metanogenik.
Pembentukan gas metan di dalam rumen berpengaruh terhadap pembentukan produk
akhir fermentasi di dalam rumen, terutama jumlah mol ATP, yang pada gilirannya
mempengaruhi efisiensi produksi mikrobia rumen. Penurunan produksi gas metan (CH₄)
dari ternak ruminansia merupakan sarana untuk meningkatkan efisiensi pakan (Sajati et
al., 2013).
Produksi gas merupakan indikasi adanya aktivitas metabolisme mikroba di dalam
rumen yang mampu menggambarkan proses fermentasi substrat pakan menjadi produk
berupa VFA dan biomassa mikroba rumen. Gas yang dihasilkan merupakan hasil
fermentasi pakan, terutama bahan organik menjadi VFA yang dilakukan oleh mikroba
rumen. Gas yang terbentuk adalah CO2 64%, CH4 25–27%, N 27% dan sedikit O2, H2, dan
H2S. Jumlah gas yang diproduksi menunjukkan tinggi rendahnya kecernaan pakan
(Kusumaningrim et al., 2018).
Produksi gas yang terlalu tinggi menunjukkan ketidakefisienan pemakaian pakan
sehingga menimbulkan kembung dan meningkatkan gas rumah kaca. Jumlah gas yang
sedikit menunjukkan bahwa bahan organik terfermentasi digunakan untuk sintesis
protein mikroba (Van Soest, 1994). Pola peubah produksi gas berkaitan erat dengan
pengaruh pertumbuhan mikroba yang ada di dalam cairan rumen (Kusumaningrim et al.,
2018).
III. MATERI DAN CARA KERJA

3.1 Materi
3.1.1 Alat
3.1.1.1 Kecernaan Bahan Kering (KBK)
1. Sentrifuge 5. Shaker waterbath

2. Cawan porselin tidak berpori 6. Cawan porselin berpori

3. Oven 7. Tanur listrik

4. Glasswool 8. Timbangan analitik

3.1.1.2 Kecernaan Bahan Organik (KBO)


1. Sentrifuge 5. Shaker waterbath

2. Cawan porselin tidak berpori 6. Cawan porselin berpori

3. Oven 7. Tanur listrik

4. Glasswool 8. Timbangan analitik

3.1.1.3 Volatil Fatty Acid (VFA)


1. Pipet
2. Satu set alat desikator uap
3. Labu erlenmeyer
4. Buret makro
3.1.1.4 N−NH 3
1. Cawan conway
2. Pipet
3.1.1.5 Gas Test
1. Oven
2. Timbangan analitik
3. Dispenser
4. Tabung menke
5. Piston
6. Penjepit
3.1.2 Bahan
3.1.2.1 Kecernaan Bahan Kering (KBK)
1. Cairan Rumen 4. Gas CO2

2. Larutan McDougalls 5. Larutan H2SO4 pekat

3. Larutan pepsin HCl 0,5 % 6. Sample

3.1.2.2 Kecernaan Bahan Organik (KBO)


1. Cairan Rumen 4. Gas CO2

2. Larutan McDougalls 5. Larutan H2SO4 pekat

3. Larutan pepsin HCl 0,5 % 6. Sample

3.1.2.3 Volatile Fatty Acid (VFA)


1. Cairan Rumen 4. NaOH 0,5 N

2. H2SO4 15% 5. Aquadest

3. HCl 0,5% 6. ndikator PP

3.1.2.4 N-NH3
1. Cairan Rumen 4. Asam borat

2. Na2CO3 jenuh 5. H2SO4 0,01 N

3. Vaseline

3.1.2.5 Gas Test


1. Sample
2. Cairan rumen
3. Larutan medium

3.2 Cara Kerja


3.2.1 Kecernaan Bahan Kering (KBK)
a. Percobaan fermentatif
Siapkan 4 tabung glass dan penutup tabung yang disayat.

Sampel bahan pakan ditimbang sebanyak 2 gram, kemudian dimasukkan


ke dalam tabung glass.
Larutan McDougalls sebanyak 24 ml dimasukkan ke dalam tabung glass
berisi sampel bahan pakan.

Tabung glass berisi substrat dimasukkan ke dalam shaker waterbath


dengan kecepatan 60-70 rpm.

Tabung glass berisi substrat dialiri CO2 untuk menjaga suasana anaerob.

Sampel diinkubasi selama 24 jam, setiap 4 jam sekali sampel berisi


substrat dialiri larutan CO2.

Setelah diinkubasi 24 jam, tutup tabung dibuka kemudian ditambah H 2SO4


sebanyak 2 tetes untuk membunuh mikroba.

Tabung glass kemudian disaring pada cawan berporselin berpori yang


telah dilapisi glasswoll.

Supernatan yang diperoleh kemudian digunakan untuk analisis VFA total


dan N-NH3.

Residu yang ada di cawan porselin berpori kemudian dikeringkan dalam


oven bersuhu 105oC selama 8 jamatau lebih untuk menghitung degradasi
BK di dalam rumen

b. Percobaan hidrolitis
Setelah tahap fermentatif, kemudian tabung berisi substrat ditetesi H2SO4,
ditambah larutan pepsin sebanyak 4 ml.

Tabung berisi substrat kemudian diinkubasi selama 24 jam sehingga


terjadi pencernaan hidrolitis dalam suasana anaerob dan shaker
waterbath tetap pada suhu 39oC dan tidak digoyang,
Setelah pencernaan hidrolitis 24 jam, 2 tabung berisi substrat disaring
pada cawan porselin berpori yang telah dilapisi glasswoll dan diketahui
beratnya.

Supernatan dapat dbuang dan residu yang diperoleh dikeringkan dalam


oven 105oC selama 8-12 jam, selanjutnya dimasukkan ke dalam desikator 1
jam setelah dingin ditimbang untuk menetapkan berat kering residu.

Cawan dan residu dimasukkan ke dalam tanur 600oC hingga berubah


menjadi abu. Setelah menjadi abu dikeluarkan pada saat suhu sekitar
100oC masukkan dalam desikator 1 jam setelah dingin ditimbang untuk
menetapkan kadar bahan organik.

3.2.2 Kecernaan Bahan Organik (KBO)


a. Percobaan fermentatif
Siapkan 4 tabung glass dan penutup tabung yang disayat.

Sampel bahan pakan ditimbang sebanyak 2 gram, kemudian dimasukkan


ke dalam tabung glass.

Larutan McDougalls sebanyak 24 ml dimasukkan ke dalam tabung glass


berisi sampel bahan pakan.

Tabung glass berisi substrat dimasukkan ke dalam shaker waterbath


dengan kecepatan 60-70 rpm.

Tabung glass berisi substrat dialiri CO2 untuk menjaga suasana anaerob.

Sampel diinkubasi selama 24 jam, setiap 4 jam sekali sampel berisi


substrat dialiri larutan CO2.

Setelah diinkubasi 24 jam, tutup tabung dibuka kemudian ditambah H 2SO4


sebanyak 2 tetes untuk membunuh mikroba.

Tabung glass kemudian disaring pada cawan berporselin berpori yang


telah dilapisi glasswoll.

Supernatan yang diperoleh kemudian digunakan untuk analisis VFA total


dan N-NH3.

Residu yang ada di cawan porselin berpori kemudian dikeringkan dalam


oven bersuhu 105oC selama 8 jamatau lebih untuk menghitung degradasi
BK di dalam rumen

b. Percobaan hidrolitis
Setelah tahap fermentatif, kemudian tabung berisi substrat ditetesi H2SO4,
ditambah larutan pepsin sebanyak 4 ml.

Tabung berisi substrat kemudian diinkubasi selama 24 jam sehingga


terjadi pencernaan hidrolitis dalam suasana anaerob dan shaker
waterbath tetap pada suhu 39oC dan tidak digoyang,

Setelah pencernaan hidrolitis 24 jam, 2 tabung berisi substrat disaring


pada cawan porselin berpori yang telah dilapisi glasswoll dan diketahui
beratnya.

Supernatan dapat dbuang dan residu yang diperoleh dikeringkan dalam


oven 105oC selama 8-12 jam, selanjutnya dimasukkan ke dalam desikator 1
jam setelah dingin ditimbang untuk menetapkan berat kering residu.

Cawan dan residu dimasukkan ke dalam tanur 600oC hingga berubah


menjadi abu. Setelah menjadi abu dikeluarkan pada saat suhu sekitar
100oC masukkan dalam desikator 1 jam setelah dingin ditimbang untuk
menetapkan kadar bahan organik.
3.2.3 Volatile Fatty Acid (VFA)
Setelah alat destilat uap pada labu didih airnya telah mendidih, cuci
tempat sampel dengan aquades.

Pipetlah cairan rumen sebanyak 5 ml, masukkan ke tempat sampel daari


alat destilasi uap dan ditambah 1 ml H2SO4 15 %.

Tampunglah destilat dalam labu erlenmeyer 250 ml yang telah berisi 5 ml


NaOH 0,5 N hingga volume destilat mencapai 100 ml.

Tambahkan indikator PP ke dalam destilat sebanyak 2 tetes.

Titerlah destilat dengan HCl 0,5 % N sampai terjadi perubahan warna.

Sebagai blanko titerlah 5 ml NaOH 0,5N dengan HCl 0,5 N.

3.2.4 N-NH3
Olesi cawan conway dan tutupnya dengan vaselin agar dapat tertutup
rapat.

Pipetlah 1 ml asam borat berindikator dan masukkanlah ke dalam cawan


kecil yang ada di tengah cawan conway.

Pipetlah cairan rumen 1 ml dan di teteskan pada sekat sebelah kanan


cawan.

Miringkan sedikit cawan, kemudian masukkan 1 ml Na2CO3 jenuh pada


bagian kiri sekat dan diusahakan jangan tercampur sebelum cawan
tertutup.

Tutuplah cawan conway.


Cawan digerakkan atau dihomogenkan membentuk angka 8 sehingga
cairan rumen bercampur dengan Na2CO3 jenuh, biarkan selama 24 jam
pada suhu ruang.

Setelh 24 jam, N-NH3 rumen yang diikat oleh ion hidrogen dari asam borat
dititar H2SO4 0,01 N sampai terjadi perubahan warna dari biru menjadi
warna merah jambu.

3.2.5 Gas Test


Piston dioleskan oleh vaselin sebelum dimasukkan ke dalam tabung
supaya tidak terjadi kebocoran dan tetap dalam keadaan anaerob selama
proses fermentasi berlangsung.

Sebanyak 200 mg BK dimasukkan ke dalam tabung menke menggunakan


sendok khusus untuk menghindari tercecernya sampel pada dinding.

Masukkan larutan medium ke dalam tabung menke, kemudian


digoyangkan perlahan agar substrat tercampur rata.

Masukkan cairan rumen ke dalam tabung menke. Cairan rumen harus


berapa pada temperatur 39oC.

Sampel kemudian diinkubasi selama 24 jam, amati dan catat pertambahan


gas setiap 6 jam sekali.
IV. HASIL DAN PEMBAHASAN

4.1 Hasil
4.1.1 KBK (Kecernaan Bahan Kering)
Diketahui:
 BK asal: 2
 Berat setelah oven sampel (A): 18,6093
 Berat cawan sebelum oven sampel (B): 16,7400
 Berat setelah oven blanko (a): 13,6800
 Berat cawan sebelum oven blanko (b): 13,6092
Jawab:
BK asal−( A−B )−(a−b)
%KBK : x 100 %
BK asal
2−( 18,6093−16,7400 )−(13,6800−13,6092)
: x 100 %
2
2−( 1,8693 ) −(0,0708)
: x 100 %
2
2−(1,7985)
: x 100 %
2
0,2015
: x 100 %
2
: 10,075%
4.1.2 KBO (Kecernaan Bahan Organik)
Diketahui:
 BO asal: 1,60
 BO residu sampel(A): 1,8693
 Berat sampel setelah ditanur (B): 22,1693
 Berat sampel cawan sebelum ditanur (C): 21,7493
 BO residu blanko (a): 0,0708
 Berat blanko setelah tanur (b): 15,2818
 Berat blanko cawan sebelum tanur (c): 15,2793
Jawab:
%KBO : BO asal−¿ ¿
: 1 , 60−¿ ¿
1, 60−(0 ,1,8693−0 , 42)−(0,0708−0,0023)
: x 100 %
1 , 60
1, 60−(1,4493)−(0,0685)
: x 100 %
1 , 60
1, 60−1,3808
: x 100 %
1 , 60
1, 60−1,3808
: x 100 %
1 , 60
: 13,7%
4.1.3 VFA
Diketahui:
 ml titran blanko : 4,9 ml
 ml titran sampel : 4,7 ml
 N HCl : 0,5 N
Jawab:
1000
VFA : (ml titran blanko – ml titran sampel) X N HCl X
5
1000
: (4,9 – 4,7) X 0,5 X
5
: 0,2 X 0,5 X 200
: 20 mM
4.1.4 N-NH3
Diketahui:
 ml titran : 2,72 ml
 N H2SO4 : 0,01 N
Jawab:
1000
N-NH3 : ml titran X N H2SO4 X
1
1000
: 2,72 X 0,01 X
1
: 27,2 mM
4.1.5 Gas Test
Diketahui:
 V24 = produksi akhir gas setelah 24 jam: 34
 V0 = produksi piston awal: 34
 Gb0 = rataan produksi gas selama 24 jam: 1
 FH = faktor koreksi hijauan:1
 W = berat sampel: 0,2 gram: 200 mg
Jawab:
( V 24−V 0−Gb0 ) X 200 X (FH + FC )/2
Gas test :
W
( 34−34−1 ) X 200 X 2/2
:
200
−1 X 200 X 1
:
200
: 1 ml
4.2 Pembahasan
4.2.1 KBK (Kecernaan Bahan Kering)
Kecernaan merupakan indikator dalam menentukan kualitas bahan pakan.
Penyediaan hijauan pakan untuk ternak ruminansia masih mengalami beberapa masalah
seperti fluktuasi jumlah produksinya sepanjang tahun, ketersediaan hijauan pada saat
musim kemarau lebih sedikit dibandingkan pada saat musim hujan yang melimpah. Hal
tersebut sesuai dengan pernyataan Suardin dan Sandiah (2014) yang menyatakan bahwa,
hijauan untuk pakan ternak pada saat musim hujan dapat tumbuh dengan baik dan
kebutuhan hijauan pakan dapat tercukupi, tetapi pada saat musim kemarau hijauan
pakan sulit diperoleh. Menurut Anggorodi (1994) menyebutkan bahwa fluktasi pakan
hijauan sangat terasa pada musim kemarau karena tanaman terganggu pertumbuhannya
sehingga hijauan yang dihasilkan akan sangat berkurang kuantitas dan kualitasnya.
Metode percobaan pencernaan ada 3 macam antara lain in vitro, in vivo dan in sacco.
Hal tersebut sesuai dengan pendapat Zubaili dan Usman (2017) menyebutkan bahwa
terdapat tiga cara untuk menentukan nilai kecernaan khususnya ruminansia, yaitu dengan
teknik in vivo, in sacco dan in vitro. Teknik evaluasi yang relatif sederhana dan efisiensi
adalah melalui teknik pengukuran kecernaan secara in vitro. In vitro merupakan metode
percobaan pencernaan yang dilakukan diluar tubuh ternak dengan menyediakan
lingkungan seperti pada ternak hidup. Hal tersebut sesuai dengan pendapat Wulandari
dan Agus (2014) menyebutkan bahwa metode in vitro adalah metode percobaan
pencernaan diluar tubuh ternak atau secara semu di laboratorium dengan menggunakan
sampel pakan dan cairan rumen. Analisis yang dilakukan pada praktikum metode in vitro
antara lain Kecernaan Bahan Kering (KBK) dan Kecernaan Bahan Organik (KBO).
Prinsip dari KBK dan KBO adalah mengukur kecernaan dengan anggapan bahwa
proses pencernaan telah berjalan sempurna selama 24 jam pencernaan fermentatif dan
24 jam pencernaan hidrolitis. Metode yang digunakan adalah Tilley and Terry (1963).
Kelebihan dari metode in vitro antara lain dapat diamati secara langsung, dapat
menggunakan banyak sampel dan lebih mudah, murah serta efisien. Hal tersebut sesuai
dengan pernyataan Dewi et al., (2015) yang menyatakan bahwa, metode in vitro memiliki
kelebihan, yaitu waktu yang lebih singkat, biaya yang lebih murah, dan dapat dikerjakan
dengan menggunakan banyaksampel pakan sekaligus, serta daya cerna bahan pakan yang
tidak dapat diberikansecara tunggal pada ternak. Kelemahan pada metode in vitro yaitu
human error. Nilai kecernaan KBK dan KBO dapat dilakukan dengan dua tahap yaitu
pencernaan fermentatif dan pencernaan hidrolitis.
4.2.2 Kecernaan Bahan Organik (KBO)
Perbedaan yang terdapat pada pencernaan fermentatif dan pencernaan hidrolitis
adalah pada residu dan supernatan. Pencernaan fermentatif dibantu oleh mikroba dan
residu digunakan untuk degradasi Bahan Kering (BK), sedangkan supernatan untuk
N−NH 3 dan VFA. Hal tersebut sesuai dengan pernyataan Paulina et al., (2020) yang
menyatakan bahwa, Pencernaan fermentatif terjadi di lambung depan dibantu oleh
mikoorganisme dengan memecah selulosa dan hemiselulosa menjadi karbohidrat
sederhana dan volatile fatty acid (VFA) yang terdiri dari asam propionat, asam asetat dan
asam butirat yang nantinya akan diserap di lambung ditransportasikan ke jaringan tubuh
sebagai sumber energi. Pencernaan hidrolitis bersifat aerob dan residu digunakan untuk
KBK dan KBO, untuk supernatan dibuang. Hal tersebut sesuai dengan pernyataan Syapura
et al., (2013) yang menyatakan bahwa, pencernaan hidrolitis dalam suasana aerob
(tabung tidak di tutup), setelah diinkubasi selama 24 jam dalam suasana aerob.
Berdasarkan hasil praktikum, perhitungan KBK yang diperoleh adalah 10,075%,
sedangkan hasil perhitungan KBO diperoleh sebesar 13,7%. Tabel hasil yang menunjukkan
hasil KBK dan KBO dari kelompok 1, dapat disimpulkan bahwa apabila presentase KBO
mengalami peningkatan sejalan dengan peningkatan presentase KBK. Hal tersebut sesuai
dengan pernyataan Pinasih (2013) yang menyatakan bahwa faktor yang mempengaruhi
kecernaan bahan organik juga mempengaruhi kecernaan bahan kering. Menurut Soejono
(1991) menyatakan bahwa kecernaan bahan kering yang tinggi pada ternak ruminansia
menunjukkan tingginya zat nutrisi yang dicerna terutama yang dicerna oleh mikroba
rumen.
Nilai presentase kecernaan bahan pakan yang semakin tinggi, maka kualitas bahan
pakan yang dimiliki semakin baik. Faktor yang menyebabkan turunnya kandungan bahan
kering karena adanya proses fermentasi yang merombak bahan organik yang dijadikan
sebagai sumber energi bagi pertumbuhan dan aktivitas mikroorganisme. Nilai kecernaan
bahan organik suatu pakan dapat menentukan kualitas pakan. Hal tersebut susai denga
pernyataan Hartono (2015) yang menyatakan bahwa, faktor yang mempengaruhi KBO
adalah kandungan serat kasar dan mineral dari bahan pakan. KcBO berkaitan sangat erat
dengan KcBK, karena sebagian dari bahan kering terdiri atas bahan organik.
4.2.3 Volatile Fatty Acid (VFA)
Berdasarkan hasil praktikum pengukuran kadar VFA total dengan sampel bahan
pakan Gliricide, diperoleh sebesar 20 mM maka dari hasil tersebut dinyatakan sapi
mengalami kekurangan energi tidak sesuai dengan standar. Hal tersebut sesuai dengan
pernyataan Muchlas dan Kusmartono (2019) menyatakan bahwa, standar kadar total VFA
diantara 60-180 mM, untuk kadar VFA pada ternak ruminansia adalah 80-160 mM dengan
kadar VFA ideal 120 mM. Menurut Dhia dan Kamil (2019) menyebutkan bahwa
konsentrasi VFA yang mencukupi untuk pertumbuhan mikroba rumen yaitu antara 80-180
mM. Kadar VFA apabila < 80 mM maka ternak akan kekurangan energi dan apabila kadar
VFA > 160 mM maka ternak mengalami kelebihan karbohidrat serta dapat menyebabkan
kembung (blood). Kandungan VFA adalah hasil dari aktivitas bakteri yang telah melakukan
fermentasi di dalam rumen. Bakteri yang berada di dalam rumen yang melakukan
aktivitas bakteri apabila semakin banyak, maka dapat menghasilkan kadar VFA yang
tinggi.
VFA (Volatile Fatty Acid) merupakan produk fermentasi berasal dari bahan yang
mengandung karbohidrat dan protein. Prinsip dari VFA adalah menguapkan asam lemak
atsiri (VFA) dengan teknik penyulingan dan mengikat dengan larutan basa sehingga
terbentuk garam. Kelebihan basa yang tidak terbentuk garam akan dititrasi dengan asam.
Metode yang digunakan dalam pengukuran konsentrasi VFA total adalah penyulingan uap
(Krooman, 1967). Hal tersebut sesuai dengan pernyataan Syapura et al., (2013)
menyebutkan bahwa konsentrasi VFA total dapat diukur menggunakan metode destilasi
uap (Krooman, 1967).
Faktor-faktor yang mempengaruhi pengukuran kadar VFA antara lain jumlah mikroba
di dalam rumen, proses fermentasi oleh mikroba dan konsumsi pakan. Hal tersebut sesuai
dengan pendapat Arora (1995) menyebutkan bahwa konsentrasi VFA dipengaruhi oleh
tipe pakan, pengolahan, komposisi pakan dan keberadaan mikroba dalam rumen. Proses
fermentasi oleh mikroba berkaitan dengan kondisi rumen. Apabila pH rumen tidak
normal, maka aktivitas mikroba akan terganggu. Kualitas dan kuantitas bahan pakan
berkaitan dengan konsumsi pakan. Pemberian pakan sumber energi yang tinggi, maka
produksi VFA akan semakin tinggi.
Komponen utama dari VFA (Volatile Fatty Acid) terdiri dari asetat (C 2), propionat (C 3)
dan butirat (C 4). Hal tersebut sesuai dengan pendapat Widodo dan Wahyono (2012)
menyebutkan bahwa VFA merupakan sumber energi utama bagi ternak ruminansia yang
dihasilkan dari pemecahan karbohidrat dalam rumen, yaitu asam asetat, asam propionat
dan asam butirat. Asetat (C 2) berfungsi untuk membentuk asam lemak susu 60 mlmol
dengan komposisi 50-60%. Propionat (C 3) berfungsi untuk pembentukan daging (20
mlmol) dengan konsentrasi 18-24%. Butirat (C 4) berfungsi untuk mensintesis benda-
benda keton (10 mlmol) dengan konsentrasi 16%. Perbedaan dari asetat, propionat dan
butirat adalah pada bagian ikatan karbon (C).
4.2.4 N−NH 3
Berdasarkan hasil praktikum pengukuran kadar nitrogen-amonia (N −NH ¿¿ 3)¿
dengan sampel bahan pakan Gliricide, diperoleh hasil sebesar 27,2 mM. Kadar normal
N−NH 3 yaitu 4-14 mM untuk mikroba, maka dapat dikatakan bahwa dari hasil praktikum
diperoleh sebesar 27,2 mM tidak memenuhi kadar normal N−NH 3. Hal tersebut sesuai
dengan pernyataan Probowati (2012) yang menyatakan bahwa, amonia berfungsi sebagai
sumber nitrogen (N) yang digunakan dalam sintesis protein mikroba, sehingga
membutuhkan 5-17,65 mM amonia untuk mendukung pertumbuhan mikroba. Apabila
kadar N−NH 3 < 4 mM maka tidak terjadi SPM (Sintesis Protein Mikroba). Apabila
kelebihan N−NH 3 maka terjadi overflow urea, sehingga urea dalam urin dan susu akan
tinggi.
Peningkatan konsentrasi N−NH 3 rumen dipengaruhi oleh peningkatan pemberian
urea. Prinsip dari pengukuran nitrogen-amonia (N −NH ¿¿ 3)¿ adalah menangkap uap
N−NH 3 dengan asam borat sehingga terbentuk NH 4, kemudian dititrasi dengan H 2 SO4 .
Metode yang digunaka dalam pengukuran kadar N−NH 3 adalah metode teknik
mikrodifusi Conway. Hal tersebut sesuai dengan pendapat Wati dan Achmadi (2012)
menyebutkan bahwa N−NH 3 diukur dengan teknik Mikro Difusi Conway, sedangkan
pengukuran konsentrasi VFA total diukur menggunakan metode destilasi uap.
Bahan-bahan yang digunakan antara lain asam borat, Na2 CO 3 , supernatan, H 2 SO4
0,01 N dan vaselin. Komposisi asam borat berindikator yaitu Bcg dan Methyl red. Setiap
bahan memiliki fungsi yang berbeda. Asam borat berfungsi untuk menangkap N−NH 3 .
Larutan Na2 CO 3 jenuh untuk menguapkan N−NH 3. Hal tersebut sesuai dengan
pendapat Mariani dan Suryani (2016) menyebutkan bahwa Na2 CO 3 jenuh untuk
menguapkan N−NH 3, sedangkan asam borat memiliki fungsi untuk menangkap N−NH 3 .
Vaselin digunakan sebagai perekat atau pelicin agar udara dari luar tidak masuk dan
H 2 SO4 0,01 N sebagai titran.
Hubungan VFA dengan N−NH 3 berbanding terbalik. Komponen N−NH 3 terjadi
perubahan warna yaitu dari warna biru kehijauan menjadi berwarna pink. Menurut
pendapat Zahera dan Anggraeni (2020) menyebutkan bahwa proses inkubasi selama 24
jam maka asam borat berindikator dititrasi dengan menggunakan H 2 SO4 0,01 N sampai
berubah warna menjadi merah muda. Menurut Arora (1995) menyebutkan bahwa
protein bahan pakan dalam ransum akan dihidrolisis menjadi peptida dan asam amino
oleh mikroba rumen serta beberapa asam amino akan didegradasi menjadi asam organik,
CO 2 dan amonia.
4.2.5 Gas Test
Berdasarkan hasil praktikum pengukuran teknik gas in vitro dengan sampel bahan
pakan Gliricide, diperoleh hasil sebesar 1 ml/200 mg, maka dikatakan bahwa hasil
tersebut tidak normal karna kadar normal gas test adalah 18,96 ml/200 mg – 23,50
ml/200 mg. Hal tersebut sesuai dengan pendapat Sajati dan Surono (2012) menyebutkan
bahwa produksi gas total antara 18,96 ml/200 mg – 23,50 ml/200 mg. Gas test
merupakan cerminan dari terfermentasinya substrat dalam bahan pakan, dimana di
dalam rumen terdapat mikroba yang mencerna bahan organik dalam bahan pakan
sehingga menghasilkan VFA dan gas test. Prinsip dari pengukuran gas test adalah estimasi
kecernaan bahan organik berdasarkan hubungannya dengan produksi gas ( CO 2 dan CH 4)
in vitro bila bahan pakan diinkubasi dengan cairan rumen selama 24 jam.
Tujuan dari pengukuran gas test adalah untuk mengukur produksi total gas
fermentasi oleh mikroba rumen dari bahan pakan atau ransum yang diuji. Metode yang
digunakan dalam pengukuran gas test adalah metode Menke, 1979. Hal tersebut sesuai
dengan pernyataan Windyasmara (2015) yang menyatakan bahwa Tingginya produksi gas
merupakan indikator ter-bentuknya VFA terutama asam asetat dan propionat
menggunakan metode Menke et al., 1979. Hubungan gas test dengan VFA berbanding
lurus. Kandungan bahan organik dalam bahan pakan semakin tinggi, maka kadar VFA total
dan gas test semakin besar.
Cara kerja pengukuran gas test yaitu pertama piston diolesi menggunakan vaselin
dan dimasukkan 0,2 gram BK sampel ke tabung Menke. Tabung ditutup menggunakan
piston sampai menunjukkan skala 30. Cairan rumen ditambahkan sebanyak 10 ml dan 20
ml cairan medium, kemudian di inkubasi selama 24 jam dengan suhu 39°C menggunakan
oven. Setiap 4 jam sekali diamati dan pertambahan gasnya selama 24 jam lalu dicatat. Hal
tersebut sesuai dengan pendapat Hariyani (2019) menyebutkan bahwa sampel pakan
yang akan diteliti di inkubasi dalam fermentor (syringe glass atau botol serum) pada suhu
39°C dalam medium anaerob yang diinokulasi dengan mikroba rumen. Aktivitas
fermentasi oleh mikroba rumen akan menghasilkan gas.
Kelebihan pengukuran gas test yaitu dapat menggambarkan kualitas bahan pakan
berdasarkan bahan organik, menggambarkan aktivitas mikroba dalam mendegradasi
pakan dan dapat menggambarkan aktivitas zat antinutrisi dalam menghambat
pencernaan. Hal tersebut sesuai dengan pendapat Mukmin dan Soetanto (2014)
menyebutkan bahwa kelebihan gas test dengan metode ini adalah dapat mengetahui
aktivitas zat antinutrisi yang dapat menghambat pada proses pencernaan zat makanan.
Proses pencernaan, tanin menghambat proses penguraian bahan-bahan yang
mengandung protein tinggi. Hal tersebut didukung oleh pernyataan Sajati dan Surono
(2014) menyebutkan bahwa kelebihan gas test dapat menghitung kecernaan bahan,
dapat menentukan besarnya energi yang termetabolis dan dapat menghitung produksi
asam lemak atsiri atau VFA.
Faktor-faktor yang mempengaruhi antara lain cairan rumen yang berhubungan
dengan jumlah mikroba, jenis pakan dengan pakan fermentable lebih banyak
memproduksi gas dan lama inkubasi. Hal tersebut sesuai dengan pendapat Tillman (1991)
menyebutkan bahwa pembentukan gas-gas di dalam rumen dipengaruhi oleh jenis bahan
pakan yang diberikan pada ternak tersebut. Lama inkubasi, apabila semakin lama maka
laju gas semakin rendah. Menurut pendapat Sutardi (1980) menyebutkan bahwa produksi
gas yang merupakan hasil fermentasi di dalam rumen dapat menggambarkan banyaknya
bahan organik yang tercerna. Produksi gas yang semakin tinggi maka bahan pakan
semakin baik.
V. PENUTUP

5.1 Kesimpulan
1. Berdasarkan hasil praktikum, perhitungan KBK yang diperoleh adalah 65,675%,
sedangkan hasil perhitungan KBO diperoleh sebesar 64,1925%., dapat disimpulkan
bahwa apabila presentase KBO mengalami peningkatan sejalan dengan
peningkatan presentase KBK.
2. Berdasarkan hasil praktikum pengukuran kadar VFA total dengan sampel bahan
pakan Gliricide, diperoleh sebesar 176 mM maka hasil tersebut sudah sesuai
dengan standar. karena standar kadar total VFA diantara 60-180 mM.
3. Berdasarkan hasil praktikum pengukuran kadar nitrogen-amonia (N −NH ¿¿ 3)¿
dengan sampel bahan pakan Gliricide, diperoleh hasil sebesar 60.5 mM. Kadar
normal N−NH 3 yaitu 4-14 mM untuk mikroba, maka kadar nitrogen ammonia
dikatakan tidak normal.
4. Berdasarkan hasil praktikum pengukuran teknik gas in vitro dengan sampel bahan
pakan Gliricide, diperoleh hasil sebesar 1 ml/200 mg, maka dikatakan bahwa hasil
tersebut tidak normal karna kadar normal gas test adalah 18,96 ml/200 mg –
23,50 ml/200 mg.
5.2 Saran
Acara sudah berjalan dengan sangat baik.
DAFTAR PUSTAKA

Aka, R., dan Sandiah, N. 2014. Kecernaan Bahan Kering Dan Bahan Organik Campuran
Rumput Mulato (Brachiaria Hybrid. cv. mulato) Dengan Jenis Legum Berbeda
Menggunakan Cairan Rumen Sapi. Jurnal Ilmu dan Teknologi Peternakan
Tropis.1(1):16-22.

Alia, L. S. 2015. Pengaruh Umur Pemotongan Tanaman Rami (Boehmeria nivea) Terhadap
Kecernaan Bahan Kering dan Bahan Organik (In vitro). Students e-Journal. 4(3):10-
16.
Anggorodi, R. 1994. Ilmu Makanan Ternak Umum. PT Gramedia Pustaka Utama. Jakarta.

Arora, S. P. 1995. Pencernaan mikroba pada ruminansia. Cetakan Kedua. Gadjah Mada
University Press. Yogyakarta

Dewi, S. P., M. Ridla, dan A. Jayanegara. 2015. Fraksinasi Dan Utilisasi Protein Sejumlah
Kacang-Kacangan Lokal Menggunakan Metode In Vitro. Prosiding Seminar Hasil-
Hasil PPM IPB, 1(1):1-14.

Dhia, K. S., dan Kamil K. A. 2019. Kecernaan dan Fermentabilitas Substrat Kombinasi
Mineral-Fungi dalam Rumen. Jurnal Ilmiah Peternakan Terpadu, 7(2):217-222.

Hartono, R. 2015. Uji In Vitro Kecernaan Bahan Kering. Bahan Organik dan Produksi
N−NH 3 pada Kulit Buah Durian (Durio zibethinus) yang Difermentasi Jamur Tiram
Putih (Pleurotus ostreatus) dengan Perbedaan Waktu Inkubasi. Jurnal Sain
Peternakan Indonesia., 10(2):87-94.

Haryani, O. 2019. Pengaruh Lama Waktu Fermentasi Ampas Putak (Corypha gebanga)
terhadap Produksi Gas dan Nilai Kecernaan secara In Vitro Menggunakan
Aspergillus oryzae. Jurnal Nutrisi Ternak Tropik. 2(1):53-62.

Kusumaningrum, C. E., I. Sugoro, dan P. Aditiawati. 2018. Pengaruh Silase Sinambung


Jerami Jagung Terhadap Fermentasi Dalam Cairan Rumen Secara In Vitro. Jurnal
Ilmu Ternak, 18(1):26-33.

Mariani, N. P., dan Suryani N. N. 2016. Kecernaan dan Produk Fermentasi Rumen In Vitro
Ransum Sapi Bali Induk dengan Level Energi Berbeda. Majalah Ilmiah Peternakan,
19(3):93-96.

McDonald, P., R. A. Edward, and J. F. O. Greenhalgh. 2002. Animal Nutrition. 6th Ed.
Longman Scientific & Technical. John Willey & Sons. Inc. New York.

Moran, J. 1996. Forage Conserevation: Making Quality Silage and Hay in Australia.
Agmedia. Melbourne.

Muchlas, M., dan Kusmartono. 2019. Pengaruh Penambahan Daun Pohon terhadap Kadar
VFA dan Kecernaan Secara In Vitro Ransum Berbasis Ketela Pohon. Jurnal Ilmu Ilmu
Peternakan, 24(2): 8-19.
Mukmin, A., dan Soetanto H. 2014. Produksi Gas In Vitro Asam Amino Metionin
Terproteksi dengan Serbuk Mimosa sebagai Sumber Condensed Tannin (CT). Jurnal
Ternak Tropika. 15(2):36-43.

Parakkasi, A. 1999. Ilmu Makanan Ternak Ruminansia. Cetakan pertama. Penerbit


Universitas Indonesia. Jakarta.

Paulino, T. B., Filphin A. A., dan Inggrid T. M. 2020. Kajian Histokimia Sebaran Karbohidrat
Asam Pada Lambung Depan Sapi Sumba Ongole (Bos indicus). Jurnal Kajian
Veteriner, 8(2):202-210.

Pinasih, C. 2013. Kecernaan Bahan Kering dan Bahan Organik Rumput Benggala (Panicum
maximum) Secara In Vitro pada Berbagai Upaya Perbaikan Tanah Salin. Animal
Agriculture Journal, 2(4):73-88.

Probowati, R. C. 2012. Kadar VFA dan NH3 Secara In Vitro Pakan Sapi Potong Berbasis
Limbah Pertanian dan Hasil Samping Pertanian Difermentasi dengan A niger. Animal
Agriculture Journal, 1(2):258-265.

Rafleliawati, P., Surahmanto, dan Joelal A. 2016. Efek Pemanasan pada Molases yang
Ditambahkan Urea Terhadap Ketersediaan NH3, Volatile Fatty Acid dan Protein
Total Secara In Vitro. Jurnal Ilmu-Ilmu Peternakan, 26(2):24-29.

Rahmawati, P. D., E. Pangestu, L. K. Nuswatara, And M. Christiyanto. 2021. Kecernaan


Bahan Kering, Bahan Organik, Lemak Kasar Dan Nilai Total Digestible Nutrient
Hijauan Pakan Kambing. Jurnal Agripet, 21(1) : 71-77.

Sairullah, P., Siti C., dan Herni S. 2016. Effect Of Flour And Papaya Leaf Extract (Carica
papaya L) In Feed To Ammonia Concentration, Volatile Fatty Acid And Microbial
Protein Synthesis In Vitro. Jurnal Ternak Tropika, 17(2):66-73.

Sajati, G., B. W. H. E. Prasetyo dan Surono. 2014. Pengaruh Ekstruksi Dan Proteksi Dengan
Tanin Pada Tepung Kedelai Terhadap Produksi Gas Total Dan Metan Secara In Vitro.
Animal Agricultural Journal, 1(1):241-256.

Soejono, M. 1991. Analisis dan Evaluasi Pakan. Pusat Antar Universitas Bioteknologi.
Fakultas Peternakan UGM. Yogyakarta.

Suardin, dan Sandiah N. 2014. Kecernaan Bahan Kering dan Bahan Organik Campuran
Rumput Mulato (Brachiaria hybrid.cv.mulato) dengan Jenis Legum Berbeda
Menggunakan Cairan Rumen Sapi. JITRO, 1(1): 16-22.

Sutardi, T. 1980. Landasan Ilmu Nutrisi. Fakultas Peternakan. Institut Pertanian Bogor.
Bogor.

Sutardi, T., N. A. Sigit, dan T. Toharmat. 1983. Standarisasi Mutu Protein Bahan Makanan
Ternak Ruminansia Berdasarkan Parameter Metabolisme oleh Mikroba Rumen.
Proyek Pengembangan Ilmu dan Teknologi Dirjen Pendidikan Tinggi. Jakarta.
Syapura, M. Bata, dan Wardhana S. P. 2013. Peningkatan Kualitas Jerami Padi dan
Pengaruhnya Terhadap Kecernaan Nutrien dan Produk Fermentasi Rumen Kerbau
dengan Feces Sebagai Sumber Inokulum. Agripet, 13(2):59-67.

Tillman, A. D., H. Hartadi, S. Reksohadiprodjo, S. Prawirokusumo dan S. Lebdosoekojo.


1998. Ilmu Makanan Ternak Dasar. Gadjah Mada University Press. Yogyakarta.

Tillman. 1991. Ilmu Makanan Ternak Dasar. UGM Press. Yogyakarta.

Tulung, Y. L. R., A. F. Pendong, dan B. Tulung. 2020. Evaluasi Nilai Biologis Pakan Lengkap
Berbasis Tebon Jagung dan Rumput Campuran Terhadap Kinerja Produksi Sapi
Peranakan Ongole (PO). Zootec, 40(1):363–379.

Van Soest, P. J. 1994. Nutritional Ecology of the Ruminant second edition. Cornell
University Press. Ithaca, New York.

Wati, N. E. dan Achmadi J. 2012. Degradasi Nutrien Bahan Pakan Limbah Pertanian dalam
Rumen Kambing secara In Sacco. Animal Agriculture Journal, 1(1):485-498.

Widodo, dan Wahyono F. 2012. Kecernaan Bahan Kering, Kecernaan Bahan Organik,
Produksi VFA dan NH3 Pakan Komplit dengan Level Jerami Padi Berbeda secara In
Vitro. Indonesian Jurnal of Food Technology, 1(1):1-15.

Windyasmara, Ludfia. 2015. Pengaruh Jenis Kotoran Ternak Sebagai Substrat Dan
Penambahan Serasah Daun Jati (Tectona grandis) Terhadap Produksi Total VFA Pada
PROSES Fermentasi Biogas. Buletin Peternakan, 39(3):199-204.

Woolford, M. K. 1984. The Silage Fermentation. Marcel Dekker Inc., New York.

Wulandari, S., dan Agus, A. 2014. Performa Produksi Domba yang Diberi Complete Feed
Fermentasi Berbasis POD Kakao Serta Nilai Nutrien Tercernanya Secara In Vitro.
Buletin Peternakan, 38(1):42-50.

Zahera, R., dan Anggraeni D. 2020. Pengaruh Kandungan Protein Ransum yang Berbeda
terhadap Kecernaan dan Fermentabilitas Rumen Sapi Perah secara In Vitro. Jurnal
Ilmu Nutrisi dan Teknologi Pakan, 18(1):1-6.

Zubaili dan Usman, Y. 2017. Evaluasi Kecernaan In Vitro Pakan Komplit Fermentasi
Berbahan Dasar Ampas Sagu dengan Lama Pemeraman Berbeda. Jurnal Ilmiah
Mahasiswa Pertanian Unsyiah, 2(2):350-358.

Anda mungkin juga menyukai