Laporan Praktikum in Vitro Nura

Unduh sebagai pdf atau txt
Unduh sebagai pdf atau txt
Anda di halaman 1dari 29

LAPORAN PRAKTIKUM

PAKAN DAN NUTRISI RUMINANSIA


“In Vitro”

OLEH :
NAMA : R. NURAINI ISTIQOMAH
` NIM : D1B024014
KELOMPOK : 4D
ASISTEN : AZIZ SETIA ARDANU

LABORATORIUM ILMU NUTRISI DAN MAKANAN TERNAK


FAKULTAS PETERNAKAN
UNIVERSITAS JENDERAL SOEDIRMAN
PURWOKERTO
2024
I. PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang


Sistem pencernaan merupakan organ yang sangat penting kegunaannya dalam
kehidupan. Tanpa adanya sistem pencernaan proses keberlangsungan hidup
kemungkinan tidak akan terjadi. Pengamatan in vitro merupakan salah satu metode yang
digunakan dalam penelitian gizi dan pencernaan terutama pada hewan ruminansia.
Metode in vitro ini memberikan gambaran yang lebih terkontrol karena dapat diamati
secara langsung mengenai proses pencernaan pakan dalam saluran pencernaan tanpa
harus melibatkan hewan secara langsung.
Pengamatan in vitro berfungsi untuk menilai kualitas pakan secara langsung,
efektivitas rumen dalam mencerna bahan pakan, serta interaksi antara mikroorganisme
rumen dan pakan. Pengamatan ini melibatkan lima analisis yaitu KBK, KBO, VFA, N-NH3,
dan gas test. Analisis tersebut merupakan parameter penting dalam pengamatan in vitro
karena memberikan hasil terkait kualitas dan proses pencernaan pada rumen.
KBK dan KBO digunakan untuk menilai seberapa banyak bahan kering dan bahan
organik yang terkandung dalam pakan yang diuji dan berhubungan langsung dengan
potensi energi juga protein yang dapat dicerna. Pengukuran VFA dan N-NH3 memberikan
hasil tentang proses fermentasi di dalam rumen, di mana VFA adalah produk utama dari
fermentasi karbohidrat dan digunakan sebagai sumber energi oleh hewan, sedangkan N-
NH3 berkaitan dengan ketersediaan nitrogen yang dibutuhkan oleh mikroorganisme
rumen. Gas test yang sering dilakukan dalam penelitian in vitro digunakan untuk
mengukur volume gas yang dihasilkan selama proses fermentasi pakan oleh
mikroorganisme rumen. Gas yang terbentuk seperti gas metan (CH4) dan karbon dioksida
(CO2) dapat memberikan petunjuk tentang efisiensi pencernaan serta jenis-jenis
mikroorganisme yang berperan dalam fermentasi tersebut.
1.2 Tujuan
1. Praktikan dapat mengetahui persentase analisis KBK dan KBO pada sampel bungkil
kelapa.
2. Praktikan dapat mengetahui kadar VFA dan N-NH3 pada sampel bungkil kelapa.
3. Praktikan dapat mengetahui produksi gas melalui analisis gas test pada sampel
bungkil kelapa.
1.3 Waktu dan Tempat
Praktikum “In Vitro” dilaksanakan hari Senin, 28 Oktober 2024 – Jumat, 1 November
2024 di Laboratorium Ilmu Nutrisi dan Makanan Ternak, Fakultas Peternakan, Universitas
Jenderal Soedirman, Purwokerto.
II. TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Kecernaan Bahan Kering (KBK)


Pengukuran dan evaluasi daya cerna pakan pada hewan ruminansia dapat dilakukan
secara langsung maupun tidak langsung. Pengukuran nilai kecernaan secara langsung
dapat dilakukan dengan menggunakan metode in vitro, in vivo, dan in sacco. Metode in
vitro adalah suatu teknik simulasi keadaan lingkungan rumen sebenarnya dengan
menginkubasi cairan rumen pada media buffer secara anaerob pada suhu 390C dengan
variasi periode inkubasi (Ulandari, 2017).
Kecernaan pakan adalah kemampuan tubuh hewan untuk mencerna pakan yang
dikonsumsi dan menyerap nutrisinya. Bahan kering adalah total zat-zat pakan yang sudah
dikurangi kandungan airnya dalam suatu bahan pakan. Bahan kering terdiri dari bahan
organik seperti protein, lemak, serat kasar, dan BETN. Kandungan bahan kering dalam
pakan ternak dapat dievaluasi untuk mengetahui kecernaan bahan kering pakan hijuauan
maupun konsentrat. Kecernaan bahan kering dan bahan organik suatu pakan digunakan
untuk mengukur kemampuan hewan dalam mencerna dan menyerap nutrisi dari pakan
tersebut (Surbakti et al. 2014).
Kecernaan bahan kering merupakan salah satu indikator untuk menentukan kualitas
ransum. Semakin tinggi kecernaan bahan kering maka semakin tinggi pula peluang nutrisi
yang dapat dimanfaatkan ternak untuk pertumbuhannya. Prinsip teknik kecernaan in vitro
adalah meniru proses in vivo didalam rumen ternak. Penentuan kecernaan pakan secara
in vitro dapat dijadikan sebagai asumsi seberapa besar nutrien yang diserap oleh tubuh
ternak (Suardin et al. 2014).
2.2 Kecernaan Bahan Organik (KBO)
Nilai kecernaan bahan organik sejalan dengan nilai kecernaan bahan kering, hal ini
disebabkan karena bahan organik merupakan bagian dari bahan kering. Tingginya
kecernaan bahan organik juga diakibatkan karena adanya kandungan protein kasar tinggi,
yang mengakibatkan peningkatan perkembangan mikroorganisme yang mencerna bahan
pakan tersebut (Sofiani, 2015). Prinsip dari analisis kecernaan bahan organik adalah
menghilangkan semua bahan-bahan organik dari sampel dengan cara memijarkan dalam
tanur listrik pada suhu 400-600oC selama 4-6 jam. Prosedur dari analisis kecernaan bahan
organik yang pertama adalah menyaring sisa pencernaan dengan kertas saring (bebas abu
dan sudah diketahui bobotnya) dengan bantuan pompa vakum dan dibilas dengan
aquades secukupnya (Septianto et al. 2019).
Percobaan pencernaan untuk mengetahui kualitas bahan pakan berdasarkan
kecernaan bahan organik yang dianalogikan dengan proses pencernaan hidrolitis. Pakan
yang tidak dicerna dilewatkan ke abomasum dan dicerna secara hidrolitis oleh enzim
pencernaan. Abomasum merupakan organ dalam sistem pencernaan yang mencerna
makanan secara kimiawi dengan bantuan enzim-enzim pencernaan. Pencernaan hidrolitis
pada percobaan ditandai dengan penambahan pepsin HCl diawal percobaan. Lingkungan
asam dalam saluran pencernaan yang diciptakan oleh HCl akan mengaktivkan pepsiogen
menjadi pepsin dan membunuh bakteri (Larasati et al. 2017).
Analogi metode percobaan secara in vitro dan in vivo pada kecernaan bahan kering
dan bahan organik dibagi menjadi empat bagian yaitu dimulut, rumen, omasum dan
abomaum. Mulut terjadi proses mastikasi yang dianalogi dengan memblender sampel,
proses deglutisi dengan cara sampel dituang kedalam tabung glass, dan salivasi dengan
penambahan larutan McDougalls sebanyak 24 ml. Larutan McDougalls berfungsi sebagai
pengatur kestabilan pH selama proses fermentasi berlangsung (Suningsih et al. 2017).
2.3 Volatile Fatty Acids (VFA)
Komposisi VFA didalam rumen berubah dengan adanya perbedaan bentuk fisik,
komposisi pakan, taraf, dan frekuensi pemberian pakan, serta pengolahan. Semakin
sedikit produksi VFA yang dihasilkan maka semakin sedikit pula protein dan karbohidrat
yang mudah larut. Volatile Fatty Acids (VFA) merupakan kumpulan dari berbagai macam
asam organik yang dihasilkan oleh mikroorganisme dalam kondisi anaerob melalui proses
fermentasi karbohidrat (Christi et al. 2014). Penurunan VFA diduga berhubungan dengan
kecernaan nutrien, VFA tersebut digunakan sebagai sumber energi mikroba untuk
mensintesis protein mikroba dan digunakan untuk pertumbuhan sel tubuhnya (Sairullah
et al. 2017).
Pengukuran VFA menggunakan prinsip menguapkan asam lemak atsiri (VFA) dengan
teknik penyulingan dan mengikat dengan larutan basa sehingga terbentuk garam.
Kelebihan basa yang tidak terbentuk garam dititrasi dengan asam, menggunakan metode
penyulingan uap. VFA merupakan produk utama fermentasi mikroba rumen yang terdiri
atas asam-asam organik yang mudah menguap atau atsiri, mulai dari rantai karbon satu
sampai dengan rantai karbon lima, yaitu asam asetat, propionat, butirat dan valerat. VFA
dihasilkan oleh bakteri tertentu dan jumlahnya tergantung pada jenis bahan pakan yang
digunakan serta jumlah bakteri di dalam rumen (Afriska et al., 2020). Imbangan pakan
hijauan dengan konsentrat berpengaruh terhadap imbangan asetat dan propionat di
dalam rumen yang nantinya berpengaruh pula terhadap komponen susu, yaitu lemak dan
bahan kering tanpa lemak susu (Setiyaningtyas et al. 2016).
Konsentrasi VFA yang dihasilkan oleh mikroba rumen pada kondisi yang normal yaitu
berkisar antara 80 – 160 mM. Tinggi rendahnya konsentrasi VFA dipengaruhi oleh tingkat
fermentabilitas pakan, jumlah karbohidrat yang mudah larut, pH rumen, kecernaan bahan
pakan, jumlah pakan, serta jenis bakteri yang ada di dalam rumen. Karbohidrat non
struktural (pati, pektin, dan gula sederhana) sangat cepat difermentasi dibandingkan
dengan karbohidrat non struktural yaitu selulosa, hemiselulosa dan lignin (Rahayu et al.
2018).
2.4 N-NH3
Amonia (NH3) adalah produk utama dari hasil fermentasi protein pakan di dalam
rumen oleh mikroba rumen, di mana semakin tinggi konsentrasi NH3 semakin tinggi
protein pakan mengalami fermentasi di dalam rumen. Produk NH3 ini di dalam rumen
akan dimanfaatkan oleh mikroba rumen untuk sintesis tubuhnya (Hartono et al. 2016).
Kadar N-NH3 yang meningkat di dalam rumen akan mempengaruhi kenaikan sintesis
protein mikroba. Konsentrasi N-NH3 yang tidak jauh berbeda juga disebabkan karena
jumlah protein kasar yang dirombak mikroba pun sama (Bansae et al. 2022).
NH3 merupakan sumber nitrogen utama dan penting untuk sintesis protein mikroba.
Protein bahan pakan yang masuk ke dalam rumen pada awalnya akan mengalami
proteolisis oleh enzim-enzim protease menjadi peptida, lalu dihidrolisis menjadi asam
amino yang kemudian secara cepat dideaminasi menjadi amonia. Asam amino akan
digunakan oleh mikroba rumen dalam pembentukan protein mikroba. Pengukuran NH 3
secara in vitro dapat digunakan untuk mengestimasi degradasi protein dan
penggunaannya oleh mikroba. Kelebihan NH3 akan diserap melalui dinding rumen dan
dibawa ke hati untuk sintesis urea, sebaliknya apabila kekurangan N dapat menurunkan
produksi mikroba per unit karbohidrat tercerna (Muakhiroh et al. 2016).
Amonia adalah sumber nitrogen yang utama dan sangat penting untuk sintesis
mikroba rumen. Konsentrasi amonia di dalam rumen merupakan suatu unsur penting
untuk dikendalikan karena sangat menentukan optimasi pertumbuhan mikroba rumen.
Amonia merupakan zat antara dalam proses degradasi nitrogen dan asimilasinya dalam
rumen (Sondakh et al. 2017).
2.5 Gas Test
Produksi gas erat kaitannya dengan nilai degradasi bahan organik pakan oleh mikroba
dalam cairan rumen. Semakin tinggi populasi mikroba dalam cairan rumen, maka semakin
tinggi pula bahan organik pakan yang mampu didegradasi dan gas yang dihasilkan akan
semakin meningkat. Perbedaan komponen kimia gas yang dihasilkan oleh mikroba sangat
tergantung dari jenis pakan dan jenis mikroba yang mendegradasinya (Ramdani dan
Chuzaemi, 2017).
Gas hasil akhir proses pencernaan pada ruminansia dalah metan dan karbondioksida
yang dikeluarkan melalui proses eruktasi. Gas metan pada hewan-hewan ruminansia
berasal dari dua sumber yaitu dari hasil fermentasi saluran pencernaan (enteric
fermentation) dan kotoran (feses). Fermentasi dari pencernaan ternak menyumbang
sebagian besar emisi gas metan yang dihasilkan peternakan. Pembentukan gas metan di
dalam rumen merupakan hasil akhir dari fermentasi pakan. Metan diproduksi di saluran
pencernaan ternak, sebesar 80% - 95% dalam rumen dan 5% - 20% dalam usus besar (Nur
et al. 2015).
Gas Metan adalah gas yang mengandung satu atom karbon (C) dan empat atom
hydrogen (H) yang berbentuk gas dengan rumus kimia CH4, serta memiliki sifat mudah
terbakar (Fatah et al. 2023). Prinsip teknik pengukuran gas dilakukan untuk estimasi
kecernaan bahan organik berdasarkan hubungannya dengan produksi gas (CH 4 dan CO2).
Pengukuran dilakukan dengan metode percobaab In vitro yaitu bahan pakan akan
dicampurkan dengan cairan rumen selama 24 jam. Tujuan pengukuran gas test untuk
mengukur total gas fermentasi oleh mikroba rumen dari bahan pakan atau ransum yang
diuji. Gas metan dan karbondioksida adalah produk sampingan dari proses pencernaan
ruminansia yang produksinya dalam tubuh ternak perlu ditekan (Hikmawan, 2019).
III. MATERI DAN CARA KERJA

3.1 Materi
3.1.1 Alat
3.1.1.1 Kecernaan Bahan Kering (KBK)
1. Shaker waterbath
2. Cawan porselen tidak berpori
3. Cawan porselen berpori
4. Timbangan analitik
5. Glass woll
6. Tabung glass dan penutup karet
7. Magnetic stirrer
8. Becker glass
9. Pipet tetes
10. Pipet volume dan filler
11. Tanur
12. Oven
13. Desikator
14. Penjepit
3.1.1.2 Kecernaan Bahan Organik (KBO)
1. Shaker waterbath
2. Cawan porselen tidak berpori
3. Cawan porselen berpori
4. Timbangan analitik
5. Glass woll
6. Tabung glass dan penutup karet
7. Magnetic stirrer
8. Becker glass
9. Pipet tetes
10. Pipet volume dan filler
11. Tanur
12. Oven
13. Desikator
14. Penjepit
3.1.1.3 Volatile Fatty Acids (VFA)
1. Pipet volume dan filler
2. Destilator
3. Pipet tetes
4. Buret makro dan statif
5. Labu erlenmeyer
3.1.1.4 N-NH3
1. Cawan Conway
2. Pipet volume 1 ml dan filler
3. Buret makro dan statif
3.1.1.5 Gas Test
1. Tabung menke dan piston
2. Dispenser dan selang
3. Klip penjepit
4. Labu erlenmeyer
5. Magnetic stirrer
6. Timbangan analitik
7. Termos
8. Kain saring
9. Oven isothermal
10. Loyang
11. Spatula
3.1.2 Bahan
3.1.2.1 Kecernaan Bahan Kering (KBK)
1. Bahan pakan 2 gr
2. Cairan rumen 16 ml
3. Gas CO2
4. Larutan McDougalls 24 ml
5. Larutan HgCl2 jenuh dua tetes
6. Aquadest
3.1.2.2 Kecernaan Bahan Organik (KBO)
1. Bahan pakan 2 gr
2. Cairan rumen 16 ml
3. Gas CO2
4. Larutan McDougalls 24 ml
5. Larutan HgCl2 jenuh dua tetes
6. Pepsin HCl 0,5% 4 ml
7. Aquadest
3.1.2.3 Volatile Fatty Acids (VFA)
1. H2SO4 15%
2. NaOH 0,5N
3. Indikator PP
4. HCl 0,5N
5. Supernatan sumber VFA
6. Aquadest
3.1.2.4 N-NH3
1. Supernatan sumber N-NH3
2. Asam borat indikator MR (Methyl Red) 0,0033 gr dan BCG (Bromo Cresol Green)
0,0066 gr
3. Na2CO3 jenuh 1 ml
4. H2SO4 0,1N
5. Vaseline
3.1.2.5 Gas Test
1. Vaseline
2. Cairan rumen 10ml
3. Bahan pakan 0,2 gr
4. CO2
5. Air panas
6. Larutan medium 20ml
3.2 Cara Kerja
3.2.1 Kecernaan Bahan Kering (KBK)
Dikeringkan bahan pakan menggunakan oven suhu 60°C selama 48 jam lalu sampel di
blender

Disiapkan dua tabung glass dan penutup karet

Ditimbang sampel bahan pakan sebanyak 2 gr dan dimasukkan ke dalam masing-masing


tabung glass

Ditambahkan larutan MCDougalls 24 ml ke dalam masing-masing tabung glass, diinkubasi


10 menit di shaker waterbath

Ditambahkan cairan rumen 16 ml ke dalam masing-masing tabung glass, dialiri gas CO2
dan di tutup, lalu diinkubasi 6 jam di shaker waterbath suhu 38-39°C kecepatan 60-70
rpm.

Dialiri gas CO2 10 detik setiap 4 jam sekali

Ditambahkan HgCl2 jenuh pada tabung 1 setelah selesai inkubasi, dihomogenkan dan
diinkubasi 10 menit

Dipisahkan residu dan supernatan menggunakan cawan porselen berpori yang telah
dilapisi glass woll

Digunakan residu untuk degradasi BK dan supernatan untuk analisis VFA dan N-NH3

3.2.2 Kecernaan Bahan Organik (KBO)


Ditambahkan dua tetes HgCl2 jenuh pada tabung glass 2, dihomogenkan dan diinkubasi
10 menit
Ditambahkan pepsin HCl 0,5% 4 ml, diinkubasi 10 menit untuk memulai pencernaan
hidrolitis lalu diinkubasi 24 jam secara aerob pada suhu 38-39°C di shaker waterbath
tanpa digoyang

Dipisahkan residu dan supernatan menggunakan cawan porselen berpori yang telah
dilapisi glass woll

Dibuang supernatan, ditimbang residu dan dicatat, di oven residu 8-12 jam suhu 105°C, di
desikator 15 menit dan dicatat untuk perhitungan KBK

Dipindahkan residu di cawan porselen tidak berpori yang telah ditimbang sebelumnya,
ditanur 4-6 jam suhu 600°C, didinginkan di oven suhu 105°C 1 jam, di desikator 15 menit,
dicatat untuk perhitungan KBO

3.2.3 Volatile Fatty Acids (VFA)


Ditutup katup, labu didih dipanaskan

Dimasukkan aquadest sampai mendidih

Dibuka katup setelah aquadest mendidih, dijepit selang untuk mengeluarkan aquadest

Dibuka penjepit selang

Dimasukkan supernatan 5 ml

Dimasukkan 1 ml H2SO4 15% ke dalam destilator

Ditutup katup

Dimasukkan NaOH 5 ml ke dalam erlenmeyer


Ditampung destilat menggunakan erlenmeyer berisi NaOH 5 ml, ditunggu volume destilat
mencapai 100 ml dan selang destilator harus menyentuh dasr erlenmeyer

Ditambah indikator PP dua tetes hingga berwarna pink

Dititrasi destilat menggunakan HCl 0,5N hingga bening lalu dicatat hasil titrasi

3.2.4 N-NH3
Dilapisi cawan conway menggunakan vaseline

Dimiringkan cawan conway sebelum diberi larutan agar tidak tercampur

Ditambahkan 1 ml asam borat di tengah, ditambahkan 1 ml supernatan di bagian kanan,


dan ditambahkan 1 ml Na2CO3 jenuh di bagian kiri

Ditutup cawan conway secara perlahan dari ata

Diputar cawan conway membentuk angka 8 agar homogen

Diinkubasi 24 jam di suhu ruang

Dititrasi menggunakan H2SO4 0,1N dari biru kehijauan menjadi pink

3.2.5 Gas Test


Ditimbang sampel bahan pakan 0,2 gr

Dilapisi piston menggunakan vaseline tidak melebihi garis merah

Dimasukkan sampel bahan pakan ke dalam tabung menke menggunakan spatula


Ditutup tabung menke menggunakan piston hingga skala 30

Diinkubasi 10 menit dengan suhu 38-39°C

Ditambahkan 10 ml cairan rumen dan 20 ml larutan medium ke dalam labu erlenmeyer


dan direndam menggunakan air panas untuk menyesuaikan suhu

Dicampur cairan rumen dan larutan medium, dimasukkan campuran larutan tersebut ke
dalam tabung menke menggunakan dispenser hingga skala 30

Dijepit pipa silikon tabung menke menggunakan penjepit

Diinkubasi 24 jam dengan suhu 38-39°C, diamati pertambahan gas 4 jam sekali dan
dicatat
IV. HASIL DAN PEMBAHASAN

4.1 Hasil
4.1.1 Kecernaan Bahan Kering (KBK)
Diketahui :
 Sampel = Bungkil kelapa
 BK asal = 2,0014
 BK residu = 1,2407
 BK residu blangko = 0,1145
Ditanya : %KBK?
Jawab :

%KBK =

= 0,4373
= 43,73%
4.1.2 Kecernaan Bahan Organik (KBO)
Diketahui :
 Sampel = Bungkil kelapa
 BK asal = 1,7914
 BK residu = 1,1371
 BK residu blangko = 0,1081
Ditanya : %KBO?
Jawab :

%KBO =

= 0,4256
= 42,56%
4.1.3 Volatile Fatty Acids (VFA)
Diketahui :
 ml titran blangko = 5,04 ml
 ml titran sampel = 3,96 ml
 N HCl = 0,5 ml
Ditanya : Kadar VFA total?
Jawab :

) )

= )
= 108 mM (normal)
4.1.4 N-NH3
Diketahui :
 ml titran = 0,06 ml
 N H2SO4 = 0,1 ml
Ditanya : Kadar N-NH3?
Jawab :

Kadar N-NH3 )

= )

= 6 mM (normal)
4.1.5 Gas Test
Diketahui :
 V0 = 27
 V24 = 42
 Gb0 = 0,5
 FH =1
 FC =1
 W = 0,2 gram = 200 mg
Ditanya : Gb (ml/200 mg DM 24)?
Jawab :
) )
)

) )
=

= 14,5 mM
4.2 Pembahasan
4.2.1 Kecernaan Bahan Kering (KBK)
Kecernaan Bahan Kering (KBK) merupakan salah satu analisis yang dilakukan saat
melakukan metode percobaan pencernaan in vitro. In vitro merupakan metode
percobaan pencernaan yang dilakukan diluar tubuh ternak dengan menyediakan
lingkungan sesuai seperti pada ternak hidup. Hal tersebut sesuai dengan pernyataan
Ulandari (2017) bahwa metode in vitro adalah suatu teknik simulasi keadaan lingkungan
rumen sebenarnya dengan menginkubasi cairan rumen pada media buffer secara anaerob
pada suhu 390C dengan variasi periode inkubasi. Kecernaan bahan kering digunakan
sebagai indikator untuk menilai kualitas ransum yang diberikan pada ternak. Hal tersebut
sesuai dengan pernyataan Rizka (2023) bahwa kecernaan bahan kering merupakan salah
satu indikator kualitas.
Kecernaan juga dilakukan untuk mengetahui kandungan zat dalam pakan yang
diberikan pada ternak untuk memenuhi kebutuhan hidup pokok ternak. Hal tersebut
sesuai dengan pernyataan Thaariq (2018) bahwa peningkatan daya cerna bahana kering
ransum akibat bertambahnya jumlah pemberian konsentrat disebabkan karena
konsentrat mempunyai nilai kecernaan yang tinggi dalam saluran pencernaan ternak
ruminansia. Kecernaan merupakan kemampuan ternak untuk mencerna pakan yang
dikonsumsi. Hal tersebut sesuai dengan pendapat Ati et al. (2018) bahwa kecernaan
merupakan gambaran ternak untuk memanfaatkan pakan. Efisiensi pemberian pakan
dapat dilihat melalui pengukuran kecernaan, kandungan yang zat tinggi pada pakan
apabila kecernaannya rendah tetap dikatakan tidak efisien.
Analisis kecernaan bahan kering yang telah dilakukan perhitungan menggunakan
sampel bungkil kelapa memperoleh hasil sebesar 43,73%. Persentase kecernaan bahan
kering menunjukan bahwa sampel bungkil kelapa memiliki kecernaan yang rendah. Hal
tersebut sesuai dengan pendapat Ati et al. (2018) bahwa kecernaan suatu bahan pakan
dikatakan tinggi apabila nilainya melebihi 70% dan rendah apabila nilainya lebih rendah
dari 50%. Kecernaan bahan pakan dipengaruhi oleh beberapa faktor seperti cara
pengolahan, penyimpanan, cara pemberian, jenis, jumlah, juga komposisi yang diberikan.
Hal tersebut sesuai dengan pernyataan Klau et al. (2020) bahwa ditinjau dari segi pakan
kecernaan dipengaruhi oleh perlakuan terhadap pakan (pengolahan, penyimpanan, dan
cara pemberian) jenis, jumlah, dan komposisi pakan yang diberikan.
4.2.2 Kecernaan Bahan Organik (KBO)
Prinsip dari mengukur kecernaan bahan kering dan organik yaitu mengukur
kecernaan dengan anggapan bahwa proses pencernaan telah berjalan secara sempurna
yaitu 24 jam pencernaan fermentatif dan 24 jam secara hidrolitis. Pengukuran kecernaan
bahan organik dapat terjadi karena melalui pencernaan secara enzimatis secara aerob
yang diawali dengan penambahan pepsin HCl dan diinkubasi selama 24 jam. Kecernaan
bahan organik dihasilkan melalui proses penanuran selama 4-6 jam menggunakan tanur
dengan suhu 600C. Hal tersebut sesuai dengan pernyataan Septianto et al. (2019) bahwa
prinsip dari analisis kecernaan bahan organik adalah menghilangkan semua bahan-bahan
organik dari sampel dengan cara memijarkan dalam tanur listrik pada suhu 400-600C
selama 4-6 jam. Hasil residu dari pencernaan hidrolitis dilakukan untuk analisis kecernaan.
Nutrien yang terkandung dalam bahan pakan merupakan komponen kecernaan
bahan organik. Hal tersebut sesuai dengan pernyataan Rahmawati et al. (2021) bahwa
kecernaan bahan organik adalah banyaknya nutrien yang terkandung dalam suatu bahan
pakan. Komponen bahan organik pada pakan ternak berupa karbohidrat, protein, lemak,
dan vitamin. Hal tesebut sesuai dengan pernyataan Sari et al. (2024) bahwa zar-zat
makanan berupa komponen bahan organik seperti karbohidrat, protein, lemak, dan
vitamin. Kecernaan bahan kering dan bahan organik saling berkaitan dan saling
mempengaruhi. Hal tersebut sesuai dengan pernyataan Amtiran et al. (2018) bahwa
konsumsi bahan kering dan konsumsi bahan organik saling berkaitan erat,sebab bahan
pakan berdasarkan komposisi bahan kimianya dibedakan menjadi bahan organik dan
bahan anorganik (abu).
Analisis kecernaan bahan organik yang telah dilakukan perhitungan menggunakan
sampel bungkil kelapa memperoleh hasil sebesar 42,56%. Selisih perhitungan kecernaan
bahan kering dan organik yaitu 1,17% atau dapat dikatakan selisih kecil. Perbedaan selisih
antara analisis KBK dan KBO terjadi karena tinggi rendahnya bahan organik dipengaruhi
oleh kecernaan bahan kering yang tinggi. Hal tersebut sesuai dengan pernyataan Andika
(2019) bahwa semakin rendah persentase bahan anorganik maka diikuti pula oleh
penurunan persentase bahan organik atau sebaliknya.
4.2.3 Volatile Fatty Acids (VFA)
Volatile Fatty Acids (VFA) merupakan asam lemak rantai pendek yang merupakan
komponen penting dalam proses fermtasi dengan keadaan anaerob. Hal tersebut sesuai
dengan pendapat Ranja et al. (2021) bahwa VFA merupakan produk akhir fermentasi
karbohidrat dan merupakan sumber energi utama bagi ternak ruminansia. Komponen
VFA penting karena merupakan sumber energi bagi ternak ruminansia. Komponen VFA
dihasilkan dari proses pencernaan karbohidrat oleh mikroba di dalam rumen. Hal tersebut
sesuai dengan pernyataan Muakhiroh et al. (2016) bahwa produk akhir pencernaan
karbohidrat pada ruminansia yaitu VFA. Komponen VFA terdiri dari asetat (C2) yang
membentuk asam lemak susu dengan proporsi 50-60%, propionate (C3) yangmembentuk
daging dengan proporsi 18—24%, dan butirat (C4) untuk mensintesis benda-benda keton
dengan proporsi 16%. Hal tersebut sesuai dengan pernyataan Susilo et al. (2019) bahwa
komponen konsentrasi VFA (asetat, propionate, butirat).
Faktor yang mempengaruhi kadar VFA yaitu jumlah mikroba, kondisi pH rumen, dan
konsumsi pakan. Jumlah mikroba dengan keadaan normal akan menghasilkan jumlah VFA
normal. Kekurangan mikroba dalam rumen dapat dirangsang dengan memberikan pakan
konsentrat. Keadaan pH rumen yang tidak normal dapat mempengaruhi proses
fermentasi di dalam rumen. Hal tersebut sesuai dengan pernyataan Maharani et al.
(2015) bahwa kondisi pH rendah akan menghambat pertumbuhan bakteri selulolitik,
sehingga akan menghambat pencernaan hijauan, namun demikian pH rumen yang
dihasilkan masih dalam ambang batas pH rumen untuk pertumbuhan dan aktivitas
mikrobia rumen atau untuk proses fermentasi di dalam rumen. Pemberian bahan pakan
dengan kecernaan tinggi juga akan mempengaruhi hasil akhir VFA di dalam rumen.
Kadar VFA normal yang dihasilkan melalui proses fermentasi oleh mikroba yaitu 80-
160 mM dengan rata-rata 120 mM. Kadar VFA kurang dari 80 mM menyebabkan ternak
kekurangan energi. Kadar VFA lebih dari 120 mM menyebabkan ternak mengalami
asidosis dan bloat. Analisis VFA dengan sampel bahan pakan bungkil kelapa menunjukan
hasil sebesar 108 mM dan dikatakan normal. Hal tersebut sesuai dengan pendapat
Bansae et al. (2022) bahwa VFA optimal yang dibutuhkan untuk pertumbuhan mikroba
adalah 70-130 mM.
4.2.4 N-NH3
Analisis N-NH3 dilakukan dengan prinsip menangkap uap N-NH3 dengan asam borat
sehingga terbentuk NH4, lalu dititrasi menggunakan H2SO4. Hal tersebut seuai dengan
pernyataan Fajarwati et al. (2021) bahwa asam borat berfungsi sebagai penangkap NH3
untuk selanjutnya dititrasi menggunakan larutan H2SO4. Mekanisme kerja analisis N-NH3
menggunakan in vitro yaitu ketika N-NH3 dari supernatan diuapkan oleh larutan NaCo2
jenuh lalu ditangkap oleh asam borat, asam borat yang berwarna gelap berubah menjadi
biru kehijauan lalu dititrasi menggunakan H2SO4 0,1 N sehingga berubah warna menjadi
pink. Analisis N-NH3 dilakukan menggunakan metode pengukuran mikrodifusi conway
yang menggunakan cawan conway. Hal tersebut sesuai dengan pernyataan Susilo et al.
(2019) bahwa analisis konsentrasi N-NH3 dan bahan kimia analisis secara in vitro
menggunakan alat mikrodifusi conway untuk mengukur NH3.
N-NH3 (Nitrogen Amonia) merupakan hasil akhir dari proses degradasi protein oleh
mikroba di dalam rumen. Hal tersebut sesuai dengan pernyataan Akbar et al. (2023)
bahwa kadar NH3 dalam cairan rumen merupakan petunjuk adanya proses degradasi
protein yang masuk dalam rumen dan proses sintesis protein oleh mikroba rumen.
Protein yang masuk ke dalam rumen terbagi menjadi dua yaitu Rumen Undegradable
Protein (RUD) dengan persentase 40% dan Rumen Degradable Protein (RDP) dengan
persentase 60%. Protein yang tidak terdegradasi di dalam rumen langsung masuk ke
dalam abomasum sementara protein yang didegradasi oleh mikroba di dalam rumen di
sintesis menjadi protein mikroba lalu masuk ke abomasum dan diserap oleh usus halus
dalam bentuk asam amino. Hal tersebut sesuai dengan pernyataan Mukminah et al.
(2015) bahwa protein yang tidak mengalami pencernaan di rumen akan dicerna di
abomasum dan usus halus, protein yang terdegradasi di dalam rumen sebagaian akan
dimanfaatkan oleh mikroba rumen menjadi protein mikroba.
Kadar normal N-NH3 yaitu 4-14 mM, jika kurang dari 4 mM dapat menyebabkan
tidak terjadinya sintesis protein mikroba dan jika lebih dari 14 mM menyebabkan
overflow urea. Hal tersebut sesuai dengan pernyataan Joseph (2020) bahwa kadar
ammonia yang mendukung pertumbuhan mikroba dalam rumen adalah 4-14 mM dan
apabila nilai amonia kurang dari 4 mM makan proses fermntasi akan terganggu. Cara
mencegah overflow yaitu dengan melakukan sinkronisasi pakan dengan cara
menyeimbangkan pakan sumber energi dan protein. Kadar N-NH3 menggunakan sampel
bungkil kelapa yaitu 6 mM dan dikatakan normal.
4.2.5 Gas Test
Gas test merupakan cerminan terfermentasinya susbstrat bahan pakan, di dalam
rumen mikroba mencerna bahan organik dalam bahan pakan sehingga menghasilkan VFA
dan gas. Prinsip pengukuran gas test yaitu untuk estimasi kecernaan bahan organik
berdasarkan hubungannya dengan produksi gas (CH4 dan CO2). Hal tersebut sesuai
dengan pernyataan Kurniawati (2014) bahwa gas yang terbentuk merupakan hasil dari
proses fermentasi (CO2 dan CH4) dan secara tidak langsung dari CO2 yang dilepaskan dari
buffer bikarbonat setiap menghasilkan VFA. Produksi karbondiosida dan gas metan
merupakan produk sampingan yang dihasilkan dari proses pencernaan ternak ruminansia.
Hal tersebut sesuai dengan pernyataan Hasana (2020) bahwa metana dan CO2 adalah
produk sampingan alami. Tujuan dilakukannya analisis gas test yaitu mengukur produksi
total gas fermentasi oleh mikroba rumen dari bahan pakan atau ransum yang di uji.
Kelebihan dari analisis gas test yaitu dapat menggambarkan kualitas bahan pakan
berdasarkan bahan organik, menggambarkan aktivitas mikroorganisme dalam
mendgradasi pakan, menggambarkan aktivitas zat antinutrisi dalam menghambat proses
pencernaan. Faktor yang mempengaruhi analisis gas test yaitu cairan rumen, jenis pakan,
dan lama inkubasi. Cairan rumen berkaitan dengan jumlah mikroba, apabila jumlah
mikroba banyak maka gas yang dihasilkan akan semakin banyak karena mendegradasi
bahan pakan organik. Hal tersebut sesuai dengan pendapat Ramdani et al. (2017) bahwa
populasi mikroba di dalam rumen apabila semakin tinggi, maka akan semakin tinggi
bahan organik pakan yang mampu di degradasi dan akan semakin tinggi pula gas yang
dihasilkan.
Analisis gas test menggunakan sampel bahan pakan bungkil kelapa yaitu sebesar
14,5. Analisis ini dilakukan dengan proses inkubasi selama 24 jam dan melakukan
pengamatan setiap empat jam sekali untuk melihat pertambahan gas. Lama inkubasi
mempengaruhi hasil pertambahan gas karena semakin lama proses inkubasi substrat
akan habis tergunakan sehingga pertambahan gas semakin sedikit. Hal tersebut sesuai
dengan pendapat Cahyaningtyas et al. (2019) bahwa produksi gas pada 24 jam terakhir
akan tetap mengalami peningkatan tetapi lebih sedikit dibandingkan pada 24 jam
pertama. Hal tersebut juga didukung oleh Sajati et al. (2014) bahwa laju produksi gas in
vitro akan semakin berkurang seiring dengan meningkatnya waktu inkubasi.
V. PENUTUP

5.1 Kesimpulan
1. Analisis kecernaan bahan kering yang telah dilakukan perhitungan menggunakan
sampel bungkil kelapa memperoleh hasil sebesar 42,56%, kecernaan bahan organik
memperoleh hasil sebesar 42,56%. Selisih perhitungan kecernaan bahan kering dan
organik yaitu 1,17% atau dapat dikatakan selisih kecil.
2. Analisis VFA dengan sampel bahan pakan bungkil kelapa menunjukan hasil sebesar
108 mM dan dikatakan normal. Kadar N-NH3 menggunakan sampel bungkil kelapa
yaitu 6 mM dan dikatakan normal.
3. Analisis gas test menggunakan sampel bahan pakan bungkil kelapa yaitu sebesar
14,5.
5.2 Saran
Acara praktikum sudah berjalan dengan baik dan kondusif, semoga setiap acara
praktikum selalu berjalan dengan kondusif.
DAFTAR PUSTAKA

Akbar, M., R. Islamiyati., J. Mustabi., dan I. Indrawirawan. 2023. Kandungan Tanin, VFA
dan Amonia pada Sistem Rumen in Vitro Daun Maja (Aegle marmelos) dan Daun
Gamal (Gliricidia sepium). Buletin Nutrisi dan Makanan Ternak. 17(1) : 28-40.

Amtiran, A. L., I. M. S. Aryanta., dan G. Maranatha. 2018. Penggunaan tepung kulit pisang
terfermentasi terhadap konsumsi, kecernaan bahan kering dan bahan organik
pada ternak babi. Jurnal Nukleus Peternakan. 5(2) : 92-98.

Andika, B. 2019. Pemberian Kulit Ubi Kayu Fermentasi Dengan Berbagai Bioaktivator
Terhadap Kecernaan lemak Bahan Organik dan Anorganik Ayam Buras. Kumpulan
Karya Ilmiah Mahasiswa Fakultas sains dan Tekhnologi. 1(1) : 428-428.

Ati, A. R. A., Y. H. Manggol, dan D. B. Osa. 2018. Kecernaan Bahan Kering dan Bahan
Organik Secara In Vitro Hijauan Padang Penggembalaan Batu Beringin Desa Sumlili
Kecamatan Kupang Barat , Kabupaten Kupang. Jurnal Nukleus Peternakan. 5(2):
155–162.

Bansae, D., M. Nenobais., I. G. Y. Lestari, dan E. Hartat. 2022. Penggantian Jagung dengan
Bekatul Sorgum dalam Ransum terhadap Konsentrasi Total VFA , N- NH 3 dan pH
In Vitro. Jurnal Peternakan Lahan Kering. 4(4): 2493–2498.

Cahyaningtyas, Z., Kusmartono, dan Marjuki. 2019. Sintesis Protein Mikroba Rumen dan
Produksi Gas in Vitro Pakan yang Ditambah Urea Molasses Block (UMB) yang
Mengandung Ragi Tape Sebagai Sumber Probiotik. Jurnal Nutrisi Ternak Tropis.
2(2): 38–46.

Christi, R. F., A. B. L. Hakim. Inggriani, dan A. Budiman. 2014. Uji karakteristik kandungan
vfa dan ph hasil fermentasi aaerob (ensilase) batang pisang (musa paradisiaca val.)
dengan penambahan molases sebagai bahan aditif. Jurnal Ilmu Pertanian dan
Peternakan. 2(1) : 1-6.

Fajarwati, F. I., A. T. Hermawati., dan S. Widada. 2021. Analisis Kadar Nitrogen Total pada
Pupuk Padat dengan Metode Kjedahl di Balai Pengkajian Teknologi Pertanian
(BPTP) Yogyakarta. Indonesian Journal of Chemical Research. 3(1) : 80-91.

Fatah, A. N., P. Yulianto, dan S. A. Pramono. 2023. Analisis methane gas detector dengan
sensor catalytic dan sensor infrared di maintenance area ii pt kilang pertamina
internasional RU IV Cilacap. Jurnal Kajian Ilmiah dan Teknologi Teknik Mesin. 8(1) :
53-63.

Hartono, R., Y. Fenita, dan E. Sulistyowati. 2016. Uji In Vitro Kecernaan Bahan Kering,
Bahan Organik dan Produksi N-NH3 pada Kulit Buah Durian (Durio zibethinus) yang
Difermentasi Jamur Tiram Putih (Pleurotus ostreatus) dengan Perbedaan Waktu
Inkubasi. Jurnal Sain Peternakan Indonesia. 10(2) : 87–94.
Hasan P, M., dan S. Sudarno. 2020. Strategi Mitigasi Gas Rumah Kaca Di Sektor
Peternakan Sapi Perah Di Kecamatan Boyolali, Kabupaten Boyolali. Universitas
Diponegoro, Semarang.

Hikmawan, D. 2019. Pengaruh substitusi rumput laut eucheuma cottonii dalam pakan
rumput gajah (pennisetum purpureum) terhadap konsentrasi VFA parsial dan
estimasi produksi gas metana secara in-vitro. Universitas Lampung, Lampung.

Joseph, G. 2020. Evaluasi kecernaan in-vitro dan kandungan nutrien pada lamtoro mineral
blok (lmb) sebagai pakan suplemen untuk ternak ruminansia. Jurnal Hutan Pulau-
Pulau Kecil. 4(2) : 196-203.

Klau, M. Y., A. F. Pendong., R. A. V. Tuturoong., dan M. R. Waani. 2020. Kecernaan Energi


Dan Kecernaan Nutrien Total Pada Ternak Sapi Perah Yang Diberikan Pakan
Lengkap Berbasis Tebon Jagung. Zootec. 40(2) : 561-569.

Kurniawati, A. 2014. Teknik Produksi Gas In-Vitro Untuk Evaluasi Pakan Ternak: Volume
Produksi Gas dan Kecernaan Bahan Pakan. Jurnal Ilmiah Aplikasi Isotop Dan
Radiasi. 3(1) : 40–49

Larasati, H., M. Hartono, and S. Siswanto. 2017. Prevalensi cacing saluran pencernaan sapi
perah periode juni˗juli 2016 pada peternakan rakyat di provinsi lampung. Jurnal
Riset dan Inovasi Peternakan. 1(1) : 8-15.

Maharani, N., J. Achmadi., dan S. Mukodiningsih. 2015. Uji biologis konsumsi pakan,
populasi bakteri rumen dan pH pellet complete calf starter pada pedet Friesian
Holstein pra sapih. Jurnal Agripet. 15(1) : 61-65.

Muakhiroh, U. W., A. Muktiani., dan S. Surono. 2016. Fermentabilitas Pakan Komplit


dengan Berbagai Sumber Protein secara In Vitro. Universitas Diponegoro,
Semarang.

Mukminah, N., E. Rianto., dan E. Purbowati. 2015. Pemanfaatan Protein pada Kambing
Kacang Muda dan Dewasa dengan Aras Pemberian Pakan yang Berbeda (Protein
Utilization of Kids and Growth Kacang Goat with Different Feeding Level).
Universitas Diponegoro, Semarang.

Nur, K., A. Atabany., M. Muladno, and A. Jayanegara. 2015. Produksi gas metan
ruminansia sapi perah dengan pakan berbeda serta pengaruhnya terhadap
produksi dan kualitas susu. Jurnal Ilmu Produksi Dan Teknologi Hasil Peternakan
3(2): 65-71.

Rahayu, R. I., A. Subrata, dan J. Achmadi. 2018. Fermentabilitas ruminal in vitro pada
pakan berbasis jerami padi amoniasi dengan suplementasi tepung bonggol pisang
dan molases. Jurnal Peternakan Indonesia. 20(3) : 166-174.

Rahmawati, P. D., E. Pangestu., L. K. Nuswatara., dan M. Christiyanto. 2021. Kecernaan


bahan kering, bahan organik, lemak kasar dan nilai total digestible nutrient hijauan
pakan kambing. Jurnal Agripet. 21(1) : 71-77.
Ramdani, D., dan S. Chuzaemi. 2017. Pengaruh perbedaan jenis pelarut dalam proses
ekstraksi buah mengkudu (Morinda citrifolia L.) pada pakan terhadap viabilitas
protozoa dan produksi gas in-vitro. Jurnal Ilmu-Ilmu Peternakan Universitas
Brawijaya. 27(2) : 54-62.

Ranja, E. P., M. A. Sudarma., dan M. Hambakodu. 2021. Nilai VFA dan NH3 Rumput Alam
Padang Penggembalaan Kecamatan Haharu Kabupaten Sumba Timur. Jurnal Ilmu
Peternakan Terapan. 5(1) : 8–12.

Rizka, N. S. 2023. Inkorporasi Produk Suplemen Multi Nutrien Saos Ke Dalam Konsentrat
Sapi Potong Dan Pengaruhnya Terhadap Kecernaan Bahan Kering Dan Kecernaan
Bahan Organik Ransum. Universitas Lampung, Lampung.

Sairullah, P., S. Chuzaemi, dan H. Sudarwati. 2017. Effect of flour and papaya leaf extract
(Caricapapayal) in feed to ammonia concentration, volatile fatty acids and
microbial protein synthesis in vitro. Ternak Tropika Journal of Tropical Animal
Production. 17(2) : 66-73.

Sajati, G., B. W. Prasetyo., dan Surono. 2014. Pengaruh Ekstrusi dan Proteksi dengan
Tanin pada Tepung Kedelai terhadap Produksi Gas Total dan Metan Secara In
Vitro. Journal Animal Agriculture. 1(1): 32.

Sari, R. N., E. Erwanto., L. Liman., dan M. Muhtarudin. 2024. Inkorporasi Produk Suplemen
Multi Nutrien Saos Ke Dalam Konsentrat Sapi Potong Dan Pengaruhnya Terhadap
Kecernaan Bahan Kering Dan Kecernaan Bahan Organik Ransum. Jurnal Riset dan
Inovasi Peternakan. 8(1) : 83-90.

Septianto, R., B. I. M. Tampoebolon, dan B. W. H. E. Prasetiono. 2019. Pengaruh


perbedaan aras starter dan lama pemeramanterhadap kecernaan bahan kering
dan kecernaan bahan organik secara in vitro fermentasi kelobot jagung (Zea mays)
teramoniasi. Jurnal Sain Peternakan Indonesia. 14(4) : 411-417.

Setiyaningtyas, R. W., S. Sudjatmogo, and T. H. Suprayogi. 2016. Tampilan lemak dan


bahan kering tanpa lemak pada susu sapi perah akibat pemberian ransum dengan
imbangan hijauan dan konsentrat yang berbeda (the display of fat and solid non
fat of milk lactation dairy cattle because of the rationing feed by the differen.
Animal Agriculture Journal. 3(2) : 121-129.

Sofiani, A. 2015. Pengaruh Penambahan Nitrogen dan Sulfur Pada Ensilase Jerami Ubi
Jalar (Ipomoea Batatas L.) terhadap Kecernaan Bahan Kering dan Bahan Organik
(In Vitro). Students e-Journal. 4(3) : 1-9.

Suardin, N. Sandiah, dan R. Aka. 2014. Kecernaan bahan kering dan bahan organik
campuran rumput mulato (Brachiaria hybrid. cv. mulato) dengan jenis legum
berbeda menggunakan cairan rumen sapi. Jurnal Ilmu dan Teknologi Peternakan
Tropis. 1(1) : 16-22.

Suningsih, N., S. Novianti, and J. Andayani. 2017. Level larutan mcdougall dan asal cairan
rumen pada teknik in vitro. Jurnal Sain Peternakan Indonesia. 12(3) : 341-352.
Surbakti, T. J. V., M. R. Tafsin, and A. H. Daulay. 2014. Kecernaan bahan kering dan bahan
organik ransum yang mengandung pelepah daun kelapa sawit dengan perlakuan
fisik, kimia, biologi dan kombinasinya pada domba: digestibility dry matter and
organic matter of oil palm frond with treated physical, chemical, biological and
there combination on sheep. Jurnal Peternakan Integratif. 3(1) : 62-70.

Susilo, E., L. K. Nuswantara., dan Pangestu, D. E. 2019. Evaluasi bahan pakan hasil samping
industri pertanian berdasarkan parameter fermentabilitas ruminal secara in
vitro. Jurnal Sain Peternakan Indonesia. 14(2) : 128-136.

Thaariq, S. H. 2018. Pengaruh pakan hijauan dan konsentrat terhadap daya cerna pada
sapi aceh jantan. Jurnal Ilmiah Pendidikan. 8(2) : 78-89.

Ulandari, S. 2017. Karakteristik Fermentabilitas Pakan Isi Rumen Sebagai Konsentrat


Untuk Ternak Ruminansia In-Vitro. Universitas Islam Negri Syarif Hidayatullah,
Jakarta.
LAMPIRAN

Anda mungkin juga menyukai