Qowaidul Fiqhiyah
Qowaidul Fiqhiyah
Qowaidul Fiqhiyah
Hudūd merupakan jamak dari kata Had yang secara etimologi berarti
menengah, dan secara terminoliogi maknanya adalah hukuman yang telah
ditentukan batas kadarnya, karena melanggar larangan yang merupakan hak Allah,
seperti hukuman potong tangan bagi pencuri, hukuman dera atau rajam bagi pezina.
Memandang dari sisi bentuk hukumannya, Syaikh Abi Zakariya Al-Anshary membagi
Hudud (hukuman) menjadi tiga bagian:
1. Hukuman mati
2. Hukuman potong anggota tubuh
3. Hukuman dalam bentuk pukul
1. Murtad (keluar dari Islam), dihukum pancung apabila tersangka tidak mau
Kembali ke Agama Islam setelah dibujuk dan dipaksa oleh hakim
2. Zina muhsan (orang yang sudah menikah), dirajam dengan dilempari batu-batu
kecil yang menyakitkan sampai mati
3. Orang yang meninggalkan sholat 5 waktu karena malas
4. Perampok yang mengambil harta serta membunuh korbannya, maka dihukumi
mati juga
Adapun hukuman potong anggota tubuh berlaku pada dua kasus perkara, yaitu:
2. Syubhat
Hal ini sesuai dengan apa yang disampaikan oleh Imam As-Suyuthi dalam
sebuah karangannya sebagai berikut:
َ ِبَأنْ َي ُك، َك َمنْ َوطِ َئ امْ َرَأة َظ َّن َها َحلِيلَ َت ُه َأ ْو فِي ْال َم َحل،ت فِي ْال َفاعِ ل
ون ل ِْل َواطِ ِئ ْ ِط ْال َحد َس َوا ٌء َكا َن ُ ال ُّش ْب َهة ُتسْ ق
َ يق ِبَأنْ َي ُك
ون َحاَل اًل عِ ْن َد َق ْو ٍم َّ َو ْال ُم َكا َت َب ِة َأ ْو فِي،ِ َكاَأْل َم ِة ْال ُم ْش َت َر َكة،ش ْب َه ٌة
ِ الط ِر ُ ك َأ ْو
ٌ فِي َها م ِْل
Artinya: “Syubhāt (ketidakjelasan perkara) dapat menggugurkan Had/hukuman,
baik itu pada pelakunya, seperti seorang laki-laki yang menyetubuhi seorang
perempuan yang disangka istrinya, atau Syubhāt pada objek perkara, seumpama
pada wanita yang disetubuhi tersebut terdapat hak milik bagi si pelaku atau
terdapat ke-Syubhāt-an, seperti hamba sahaya yang dikongsikan kepemilikanya
dan juga seperti hamba sahaya mukatabah, atau Syubhāt pada status hukum
perkara tersebut, yaitu terdapat sebagian ulama yang membolehkan perkara
tersebut.”
B. Sumber Qaidah
Salah satu esensi hukum yang terkandung dalam Qā’idah asasi berkenaan
dengan keyakinan dan keraguan adalah keharusan untuk menjalan-kan syari’at
Islam diatas keyakinan dan meninggalkan keraguan. Pemahaman qā’idah tersebut
kiranya juga mencakup kepada permasalahan Qā’idah “Al-Hudūd Tasquthu bi Al-
Syubhāt”, dimana seorang hakim tidak boleh menegakkan dan menerapkan suatu
hukuman atas tindak kriminal apabila terdapat ketidak jelasan perkara. Rasulullah
dalam sebuah Hadis menyatakan bahwa dalam masalah mengambil keputusan atas
hukuman tindak pidana, hendaklah seseorang berpegang kepada hal yang
meyakinkan dan membuang hal yang meragukan, sehingga tidak boleh diberlakukan
suatu hukuman apabila terdapat ketidak jelasan perkara, karena seorang hakim lebih
baik salah dalam keputusan untuk memaafkan perkara dari pada salah dalam
menetapkan hukuman perkara, demikian Rasulullah bersabda:
َفِإنَّ اِإْل َما َم َأَلنْ ي ُْخطِ َئ فِي،ُ َف َخلُّوا َس ِبيلَه، َفِإنْ َو َج ْد ُت ْم ل ِْلمُسْ ل ِِم َم ْخ َرجً ا،ِين َما اسْ َت َطعْ ُت ْم َ ْاد َرءُوا ْال ُح ُدو َد َعنْ ْالمُسْ لِم
ْال َع ْف ِو َخ ْي ٌر مِنْ َأنْ ي ُْخطِ َئ فِي ْال ُعقُو َب ِة
Seorang hakim lebih baik memaafkan dari pada memberi hukuman karena
memandang resiko kesalah yang terdapat pada memaafkan, dimana kesalahan
dalam memberi kemaafan sama sekali tidak memudharatkan orang lain, berbeda
dengan kesalahan dalam mengambil keputusan menghukum seseorang yang
kemudian akan memudharatkan orang tersebut.
Menjadi salah satu sumber dalil pula sebuah Hadis yang mengisahkan
tentang seorang Sahabat yang mengaku telah berbuat zina di hadapan Nabi.
Sahabat ini ingin agar Nabi menegakkan hukuman Had kepadanya. Nabi tidak serta
merta langsung menegakkan Had. Beliau shallallahu ‘alaihi wasallam malah
mengajukan beberapa kemungkinan kepada Sahabat tersebut. Beliau bersabda:
“mungkin engkau hanya sekedar mencium, atau meraba, atau sekedar melihat (tidak
sampai berzina)”. Namun Sahabat tersebut terus menerus menyampaikan
pengakuannya dan menolak kemungkinan-kemungkinan yang dipaparkan oleh Nabi.
Pada akhirnya, Nabi harus menegakkan Had tersebut karena sudah tidak ada lagi
kesamaran atau ketidak pastian.
Yang menjadi sisi pendalilan dalam kisah tersebut adalah bagaimana Nabi
berusaha mencari kemungkinan-kemungkinan yang bisa mencegah penegakan Had
tersebut. Itu terlihat jelas dari pertanyaan-pertanyaan yang diajukan oleh Nabi
kepada Sahabat yang mengaku berzina tersebut.