Qowaidul Fiqhiyah

Unduh sebagai docx, pdf, atau txt
Unduh sebagai docx, pdf, atau txt
Anda di halaman 1dari 4

NAMA : FRISKA DESTA SETIA (503220096)

ُّ ‫ا ْل ُحدُو ُد َت ْسقُط ِبال‬


ِ ‫شب َها‬
‫ت‬
HUKUMAN-HUKUMAN ITU GUGUR KARENA SYUBHAT

A. Pengertian Hudūd dan Syubhāt


1. Hudud

Hudūd merupakan jamak dari kata Had yang secara etimologi berarti
menengah, dan secara terminoliogi maknanya adalah hukuman yang telah
ditentukan batas kadarnya, karena melanggar larangan yang merupakan hak Allah,
seperti hukuman potong tangan bagi pencuri, hukuman dera atau rajam bagi pezina.

Kesesuaian makna Had (hukuman/denda) dalam syara’ dengan makna al-


man’u (tegah) yaitu karena dengan adanya Had-Had tersebut dapat menegah
seseorang untuk melakukan dosa-dosa tertentu, dan dengan adanya Had tersebut
pula dapat membantu seseorang dalam menghindari perbuatan dosa tersebut.
Adapun kesesuaian Had dengan makna ukuran, karena Had adalah denda/hukuman
yang sudah ditentukan oleh Allah ukurannya dan tidak boleh dilebihkan.

Memandang dari sisi bentuk hukumannya, Syaikh Abi Zakariya Al-Anshary membagi
Hudud (hukuman) menjadi tiga bagian:

1. Hukuman mati
2. Hukuman potong anggota tubuh
3. Hukuman dalam bentuk pukul

Hukuman mati berlaku pada 4 kasus perkara, yaitu:

1. Murtad (keluar dari Islam), dihukum pancung apabila tersangka tidak mau
Kembali ke Agama Islam setelah dibujuk dan dipaksa oleh hakim
2. Zina muhsan (orang yang sudah menikah), dirajam dengan dilempari batu-batu
kecil yang menyakitkan sampai mati
3. Orang yang meninggalkan sholat 5 waktu karena malas
4. Perampok yang mengambil harta serta membunuh korbannya, maka dihukumi
mati juga

Adapun hukuman potong anggota tubuh berlaku pada dua kasus perkara, yaitu:

1. Pencuri, yang dihukum dengan potong tangan


2. Perampok yang hanya merampas harta saja tanpa membunuh korbannya,
dihukum dengan cara potong tangan juga. Ketentuan ini apabila harta curian dan
rampasan tersebut mencapai Batasan yang telah ditentukan syara’.

Sedangkan hukuman pukul berlaku pada tiga kasus perkara, yaitu:


1. Pemabuk/peminum khamar, dihukum dengan cara dicambuk sebanyak 40 kali
2. Tuduhan, dihukum dengan cara dicambuk sebanyak 80 kali
3. Zina ghairu muhsan (orang yang belum menikah), dihukum dengan cara
dicambuk sebanyak 100 kali

2. Syubhat

Ibn Syuraih menjelaskan dalam kitab Al-Wada’I bahwa syubhat adalah


sesuatu yang tidak diketahui dengan pasti kehalalan maupun keharamannya.
Sementara Ibn Nujaym menyatakan bahwa syubhat adalah sesuatu yang harus
ditunda sehingga menjadi tiada ada kepastian lagi.

Berdasarkan penjelasan diatas dapat dipahami makna qā’idah “Al-Hudūd


Tasquthu bi Al-Syubhāt” adalah segala hukum/denda yang telah ditetapkan
dalam syariat karena kasus pidana, digugurkan dengan sebab adanya tidak
kejelasan perkara, maka hukuman-hukuman tersebut tidak boleh ditegakkan.
Ketidak jelasan perkara tersebut meliputi tiga aspek yaitu:
1. Ketidakjelasan pada sang pelaku pidana, karena pelaku pidana tidak
menganggap perkara tersebut dibolehkan/halal
2. Ketidakjelasan pada objek terjadinya perkara
3. Ketidakjelasan pada status hukum, karena ada pendapat yang membolehkan
perkara tersebut.

Hal ini sesuai dengan apa yang disampaikan oleh Imam As-Suyuthi dalam
sebuah karangannya sebagai berikut:

َ ‫ ِبَأنْ َي ُك‬،‫ َك َمنْ َوطِ َئ امْ َرَأة َظ َّن َها َحلِيلَ َت ُه َأ ْو فِي ْال َم َحل‬،‫ت فِي ْال َفاعِ ل‬
‫ون ل ِْل َواطِ ِئ‬ ْ ‫ِط ْال َحد َس َوا ٌء َكا َن‬ ُ ‫ال ُّش ْب َهة ُتسْ ق‬
َ ‫يق ِبَأنْ َي ُك‬
‫ون َحاَل اًل عِ ْن َد َق ْو ٍم‬ َّ ‫ َو ْال ُم َكا َت َب ِة َأ ْو فِي‬،ِ‫ َكاَأْل َم ِة ْال ُم ْش َت َر َكة‬،‫ش ْب َه ٌة‬
ِ ‫الط ِر‬ ُ ‫ك َأ ْو‬
ٌ ‫فِي َها م ِْل‬
Artinya: “Syubhāt (ketidakjelasan perkara) dapat menggugurkan Had/hukuman,
baik itu pada pelakunya, seperti seorang laki-laki yang menyetubuhi seorang
perempuan yang disangka istrinya, atau Syubhāt pada objek perkara, seumpama
pada wanita yang disetubuhi tersebut terdapat hak milik bagi si pelaku atau
terdapat ke-Syubhāt-an, seperti hamba sahaya yang dikongsikan kepemilikanya
dan juga seperti hamba sahaya mukatabah, atau Syubhāt pada status hukum
perkara tersebut, yaitu terdapat sebagian ulama yang membolehkan perkara
tersebut.”

B. Sumber Qaidah

Salah satu esensi hukum yang terkandung dalam Qā’idah asasi berkenaan
dengan keyakinan dan keraguan adalah keharusan untuk menjalan-kan syari’at
Islam diatas keyakinan dan meninggalkan keraguan. Pemahaman qā’idah tersebut
kiranya juga mencakup kepada permasalahan Qā’idah “Al-Hudūd Tasquthu bi Al-
Syubhāt”, dimana seorang hakim tidak boleh menegakkan dan menerapkan suatu
hukuman atas tindak kriminal apabila terdapat ketidak jelasan perkara. Rasulullah
dalam sebuah Hadis menyatakan bahwa dalam masalah mengambil keputusan atas
hukuman tindak pidana, hendaklah seseorang berpegang kepada hal yang
meyakinkan dan membuang hal yang meragukan, sehingga tidak boleh diberlakukan
suatu hukuman apabila terdapat ketidak jelasan perkara, karena seorang hakim lebih
baik salah dalam keputusan untuk memaafkan perkara dari pada salah dalam
menetapkan hukuman perkara, demikian Rasulullah bersabda:
‫ َفِإنَّ اِإْل َما َم َأَلنْ ي ُْخطِ َئ فِي‬،ُ‫ َف َخلُّوا َس ِبيلَه‬،‫ َفِإنْ َو َج ْد ُت ْم ل ِْلمُسْ ل ِِم َم ْخ َرجً ا‬،‫ِين َما اسْ َت َطعْ ُت ْم‬ َ ‫ْاد َرءُوا ْال ُح ُدو َد َعنْ ْالمُسْ لِم‬
‫ْال َع ْف ِو َخ ْي ٌر مِنْ َأنْ ي ُْخطِ َئ فِي ْال ُعقُو َب ِة‬

Artinya: “Hindarilah hukuman-hukuman dari pada kaum muslim sedapat mungkin,


jika ada jalan keluar bagi tersangka (untuk bebas dari hukuman) maka bebaskanlah.
Sesungguhnya kesalahan imam (hakim) dalam memberi pemaafan itu lebih baik
disbanding dengan kesalahannya dalam memberikan hukuman.”

Syaikh Muhammad Yasin Al-Fadaniy memberikan penjelasan tentang Hadis


tersebut, bahwa Imam yang dimaksudkan dalam Hadis di atas adalah hakim yang
mengadili sebuah perkara pidana, dan menjadi suatu kewajiban bagi hakim dalam
mengadili kaum muslimin untuk mencari jalan keluar agar dapat membebaskan
kaum muslimin dari hukuman-hukuman, kecuali fakta dan bukti-bukti sudah jelas dan
tidak mungkin dipungkiri lagi. 

Seorang hakim lebih baik memaafkan dari pada memberi hukuman karena
memandang resiko kesalah yang terdapat pada memaafkan, dimana kesalahan
dalam memberi kemaafan sama sekali tidak memudharatkan orang lain, berbeda
dengan kesalahan dalam mengambil keputusan menghukum seseorang yang
kemudian akan memudharatkan orang tersebut.

Menjadi salah satu sumber dalil pula sebuah Hadis yang mengisahkan
tentang seorang Sahabat yang mengaku telah berbuat zina di hadapan Nabi.
Sahabat ini ingin agar Nabi menegakkan hukuman Had kepadanya. Nabi tidak serta
merta langsung menegakkan Had. Beliau shallallahu ‘alaihi wasallam malah
mengajukan beberapa kemungkinan kepada Sahabat tersebut. Beliau bersabda:
“mungkin engkau hanya sekedar mencium, atau meraba, atau sekedar melihat (tidak
sampai berzina)”. Namun Sahabat tersebut terus menerus menyampaikan
pengakuannya dan menolak kemungkinan-kemungkinan yang dipaparkan oleh Nabi.
Pada akhirnya, Nabi harus menegakkan Had tersebut karena sudah tidak ada lagi
kesamaran atau ketidak pastian.

Yang menjadi sisi pendalilan dalam kisah tersebut adalah bagaimana Nabi
berusaha mencari kemungkinan-kemungkinan yang bisa mencegah penegakan Had
tersebut. Itu terlihat jelas dari pertanyaan-pertanyaan yang diajukan oleh Nabi
kepada Sahabat yang mengaku berzina tersebut.

C. Penerapaan Qaidah pada Fiqh


Ketika kadar hukuman Hudūd yang ditentukan oleh Allah Subhanahu wa
Ta’ala sangat keras dan diharuskan untuk dikerjakan, maka itu merupakan tuntutan
yang harus dilaksanakan. Namun, jika terdapat Syubhāt (perkara yang tidak jelas),
maka hukuman Hudūd digugurkan atau diringankan. Atas dasar keringanan hukum
tersebut, maka Syubhāt yang dapat menggugurkan Had itu pun disyaratkan haruslah
Syubhāt yang kuat dan pasti, sehingga dengan Syubhāt yang ada menjadi sebuah
pertimbangan besar untuk terhindar dari Hudūd, namun apabila Syubhāt yang ada
tidak kuat dalilnya, maka Syubhāt tersebut tidak bisa menggugurkan Had yang ada
dan Had harus tetap ditegakkan.  Ketidak jelasan perkara tersebut meliputi tiga
aspek, yaitu:
1. Syubhat Fa’il
Syubhāt Fā’il adalah Ketidak jelasan perkara yang terjadi pada sang pelaku
pidana, karena sang pelaku tindak pidana menganggap perkara tersebut
dibolehkan/halal.
Contoh kasus:
Seorang laki-laki berzina dengan seorang wanita yang menurut anggapannya
wanita tersebut adalah istri sahnya ataupun hamba sahayanya yang halal untuk
disetubuhi, maka dalam hal ini laki-laki tersebut tidak bisa dikenakan Had karena
dalam kejadian, sang lelaki tersebut melakukannya beserta berkeyakinan halal,
walau pada kenyataannya adalah wanita lain.
2. Syubhat Mahal
Syubhāt mahal adalah Ketidak jelasan yang terjadi pada objek terjadinya
perkara, karena pada objek yang menjadi korban tersebut terdapat hal yang
kiranya membolehkan perkara.
Contoh kasus:
Terjadi perzinaan dengan wanita hamba sahaya yang pada diri hamba
perempuan tersebut terdapat hak kepemilikan bagi si pelaku, seumpama hamba
sahaya yang dikongsikan antara beberapa pemilik.
Begitu juga tidak ditegakkan Had terhadap seseorang yang mencuri harta yang
status harta tersebut masih diragukan kepemilikannya. Apakah itu millik dia
sendiri, ayahnya ataukah saudaranya.
3. Syubhat Khilaf
Syubhāt khilaf adalah Ketidak jelasan pada status Hukum, karena ada pendapat
yang membolehkan perkara tersebut.
Contoh kasus:
Meminum khamar dengan tujuan sebagai obat penyakit kronis, dikarenakan ada
sebagian ulama yang membolehkan minum khamar disaat kondisi demikian
maka atas hukum yang masih terjadi khilafiah tersebut tidak boleh ditegakkan
hukum Had. Digugurkannya hukum Had pada kasus perzinaan yang diatas
namakan dengan akan nikah yang menurut pendapat sebagian ulama dianggap
sah, seperti nikah mut’ah, nikah tanpa wali dan saksi.

Anda mungkin juga menyukai