Penyimpangan - Penyimpangan Dalam Penafsiran Al-Qur'An A. Penyimpangan Dalam Tafsir Sejarawan
Penyimpangan - Penyimpangan Dalam Penafsiran Al-Qur'An A. Penyimpangan Dalam Tafsir Sejarawan
Penyimpangan - Penyimpangan Dalam Penafsiran Al-Qur'An A. Penyimpangan Dalam Tafsir Sejarawan
PENYIMPANGAN DALAM
PENAFSIRAN AL-QUR’AN
Ayat ini ditafsirkan menurut qiraat Hafs, kata kerja atau fi’ilnya
dibaca zayyana dalam bentuk aktif atau mabni lilma’lum dan pelaku atau
fa’ilnya syurakauhum. Sedangkan menurut qiraat lain, kata kerjanya dibaca
zuyyina dalam bentuk pasif atau mabni lilmajhul, dan objeknya adalah kata
qatla yang digabungkan dengan lafal auladihim, sedangkan kata
syurakauhum dibaca dhammah, dikaitkan dengan sebuah kata kerja yang
tersembunyi (yaitu zayyana). Jadi seakan-akan ada pertanyaan: “Siapakah
yang menyebabkan mereka menganggap baik?” Kemudian dijawab: “Yang
menyebabkan adalah para pemimpin mereka”.
Menurut Az-Zamakhsyari penafsiran dengan dua macam qiraat di
ataslah yang dapat dibenarkan, sedangkan bacaan (qiraat) Ibnu ‘Amir yang
berbunyi dengan mendhomahkan lafal qatl, memfathahkan lafal aulad dan
mengkasrahkan lafal suraka’, dengan mengidhafahkan kata qatl kepada
syuraka’, dan memisahkan keduanya tidak dengan keterangan (dzharf)
melainkan dengan maf’ul “auladahum” jelas salah, meskipun untuk menjaga
kecocokan sajak dalam syair misalnya.
Dengan demikian jelaslah bahwa dalam kitab Al-Kasysyaf terdapat
banyak pendapat Az-Zamakhsyari yang bertentangan dengan beberapa jenis
bacaan (qiraat) yang benar, karena di terpengaruh oleh madzhab nahwu yang
dianutnya. Az-Zamakhsyari dan orang-orang seperti dia tidak berhak
menghakimi kitab suci dengan madzhabnya. Al-Qur’an adalah kitab yang asli
yang menjadi acuan kita dan sekaligus menjadi argument terakhir untuk
menyeleseikan perselisihan yang terjadi di kalangan para Ahli Nahwu.
C. Penyimpangan dalam Tafsir Orang-orang yang tidak
Menguasai Kaidah-kaidah Bahasa Arab
Ada sekelompok orang yang berbicara tentang dan menulis tafsir
al-Qur’an padahal mereka tidak memiliki pengetahuan yang memadai tentang
kaidah-kaidah dan aturan Bahasa Arab, termasuk pengetahuan tentang pola
pembentukan kata dan konjungsi (tasrif)nya. Karena itu, mereka cenderung
melakukan penyimpangan dalam menafsirkan al-Qur’an dan memberikan arti
etimologis suatu lafal al-Qur’an dengan arti lain yang tidak sesuai, baik dalam
arti yang hakikinya maupun dalam arti kiasannya.
Kami tidak menemukan buku-buku tafsir khusus yang ditulis oleh
orang-orang yang berkualitas seperti ini. Kami dapati hanyalah pendapat-
pendapat orang yang dikutip oleh beberapa orang mufassir dalam buku-buku
atau karangan mereka yang membicarakan tafsir.
Adapun contoh penafsiran yang disebabkan oleh ketidak pahaman
terhadap konjugasi (tasrif) kata adalah yang dikutip Az-Zamakhsyari ke
dalam tafsirnya Al-Kasysyaf dari orang yang berorientasi seperti ini ketika
menafsirkan firman Allah SWT. Dalam surat al-Isra’: 71 yang berbunyi:
“(Ingatlah) suatu hari (yang di hari itu) kami panggil
tiap umat dengan pemimpinnya . . . .”
Az-Zamakhsyari mengatakan: termasuk penyimpangan penafsiran
yang paling besar adalah bahwa kata imam dianggap sebagai bentuk jamak
dari kata um yang berarti Ibu. Jadi pada hari kiamat orang akan dipanggil
dengan disertai nama ibunya. Pemanggialn nama ibu bukan nama ayah ini
dimaksudkan untuk menjaga perasaan Nabi Isa dan untuk memperlihatkan
kemulian Hasan dan Husein, bila tidak dengan cara demikian maka anak-anak
zina akan merasa dipermalukan.
Penafsiran ini menyebabkan Az-Zamakhsyari melemparkan kata-
kata kasar kepada penafsirannya: “Amboi! Mana yang lebih mengherankan,
kebenaran kata-katanya ataukah ketinggian ilmunya?”.
Memanng pernyataan Az-Zamakhsyari benar, bahwa pendapat di
atas termasuk penyimpangan pnafsiran yang paling tercela. Penafsiran seperti
ini jelas salah dan menunjukkan ketidaktahuan penafsirnya terhadap tasrif
kata (Arab). Bentuk jamak dari kata um bukanlah imam melainkan
ummahaat. Apa yang disebut dalam tafsir ini tidak lebih daripada
kepercayaan orang awam yang tidak bisa dipercayai untuk memahami al-
Qur’an, kitab Allah SWT.
D. Penyimpangan dalam Tafsir Mu’tazilah
Adanya berbagai madzhab keagamaan, sangat mempengaruhi
Tafsir Al-Qur’an. Hal itu terjadi karena al-Qur’an merupakan acuan pertama
bagi kaum Muslimin pendukung madzhab-madzhab tersebut. Mereka
berusaha mencari dalil untuk mendukung madzhabnya masing-masing,
meskipun dengan cara mencocokkan teks (nash) al-Qur’an dengan pandangan
madzhabnya itu. Mereka menafsirkannya sesuai dengan jalan pikiran dan
keinginannya serta mena’wilkan ayat yang berbeda dengan pendapat
madzhabnya sehingga tidak tampak berlawanan dan bertentangan dengan
madzhab serta kepercayaannya.
Keadaan telah berkembang begitu parah, para penganut madzhab-
madzhab itu berusaha keras untuk mempertahankan dan menyebarluaskan
madzhab-madzhab itu keluar lingkungannya sendiri dengan menggunakan
berbagai macam penafsiran yang cenderung menyimpangkan makna firman
Allah SWT. sesuai dengan keinginan dan madzhab yang mereka anut.
Di antara kelompok-kelompok madzhab itu, Mu’tazilah merupakan
kelompok yang banyak mena’wilkan ayat-ayat al-Qur’an secara tidak
proporsional dan menyimpangkan makna teks-teks al-Qur’an dari makna
yang sebenarnya dalam rangka mendukung prinsip-prinsip yang diyakininya.
Di sini cukup kami sebut beberapa contoh pena’wilan yang
memberikan gambaran tentang betapa pintarnya orang Mu’tazilah
menyimpangkan makna suatu ayat sesuai dengan pandangan mereka dan
menjadikannya tidak cocok sebagai dalil bagi lawan-lawannya.
Contoh dari penyimpangan yang terdapat dalam tafsir Mu’tazilah
adalah penafsiranmereka terhadap firman Allah SWT. dalam surat An-Nisaa:
164 yang berbunyi:
“. . . . Allah Telah berbicara kepada Musa dengan
langsung”
Menurut mereka ayat tersebut bertentangan dengan pendapat
mereka tentang sifat Allah Al-Kalam. Dalam ayat itu terdapat masdar taklima
untuk menguatkan kata kerja kallama dan untuk menghilangkan
kemungkinan masuknya arti yang tidak sebenarnya (majaz). Dengan serta
merta untuk menyesuaikannnya dengan pendapat mereka, bacaan ayat itu
mereka ubah menjadi:
Ran dengan Allah”. Sebagian orang Mu’tazilah tidak mengubah
bacaan mutawatir dari ayat tersebut, tetap menakwulkannya dengan arti lain
sehingga tidak bertentangan dengan madzhab mereka. Mereka menyatakan
bahwa kata kallama berasal dari al-kalimu yang berartu luka (al-Jarahu),
karena itu makna ayat tersebut adalah “Allah melukai Musa dengan kuku-
kuku ujian dan cobaan-cobaan hidup”. Penafsiran ini dilakukan untuk
menghindari arti lahiriah ayat yang berbenturan dengan kepercayaan
danmadzhab mereka.
Yang saya sebutkan ini adalah penafsiran yang dikemukakan oleh
Az-Zamakhsyari dalam tafsirnya al-Kasyaf juz I halaman 397-398. Dikatakan
bahwa pendapat yang pertama tadi berasal dari sebagian tokoh mu’tazilah
tetapi tidak dikoreksinya sehingga seakan-akan Az-Zamakhsyari menerima
dan membenarkannya. Padahal sebenarnya penafsiran itu tidak bisa disetujui
orang yang berpikir netral dan ia hanya dapat dibenarkan oleh orang-orang
sesame mazhab. Bacaan (qiraah) yang merafa’kan kata Allah sebagai fa’il
atau pelaku dan menashabkan kata Musa sebagai maf’ul atau objek
merupakan bacaan yang mutawatir. Orang yang berpikir netral tidak akan
mau meninggalkan qira’at yang mutawatir dan mengambil qira’ah yang
tidak sampai tingkatan itu, apalagi yang tidak diketahui urutan sanadnya yang
benar sampai kepada Rasulullah saw.
Sedangkan penafsiran yang ke dua menyimpang dari makna
langsung kata kallama dan tidak didukung oleh konteksnya. Oleh karena itu
Az-Zamakhsyari tanpa melepaskan dirinya dari komitmennya dengan aliran
mu’tazilah meremehkannya dan menganggapnya sebagai penafsiran yang
menyimpang. Ibnu Munir menanggapi sikap Az-Zamakhsyari ini: “Az-
Zamakhsyari benar dan adil. Penafsiran itu memang tercela dan makna
membingungkan dan meragukan”.