الأمور بمقاصدها

Unduh sebagai docx, pdf, atau txt
Unduh sebagai docx, pdf, atau txt
Anda di halaman 1dari 14

‫الأمور بمقاصدها‬

SEGALA PERKARA TERGANTUNG NIAT

MATA KULIAH : QAWA’ID FIQHIYAH


DOSEN PENGAMPU : AMINUDIN, S.H.I, M.Sy

OLEH :

GADIS KURNIA PUTRI

PUTRI ANANDA

PROGRAM STUDI S1- HUKUM KELUARGA ISLAM


FAKULTAS SYARIAH
INSTITUT AGAMA ISLAM DAAR AL ULUM ASAHAN
TA. 2023-2024
KATA PENGANTAR

Puji dan Syukur kita panjatkan ke Hadirat Tuhan Yang Maha Esa, karena
berkat limpahan Rahmat dan Karunia-Nya sehingga Penulis dapat menyusun
makalah ini dengan baik dan tepat pada waktunya. Dalam makalah ini Penulis
membahas mengenai ‫( ِبَم َقاِصِد َھا ُر ُألُم ْو َا‬segala perkara tergantung niat).
Makalah ini dibuat dengan menggunakan referensi dari berbagai sumber.
Makalah disusun untuk memenuhi tugas matakuliah Fikih Mawaris. Selain itu,
makalah ini bertujuan menambah wawasan tentang Fikih bagi para pembaca dan
juga bagi penulis.
Penulis menyadari bahwa masih banyak kekurangan yang mendasar pada
makalah ini. Oleh karena itu penulis mengundang pembaca untuk memberikan
saran serta kritik yang dapat membangun. Kritik konstruktif dari pembaca sangat
di harapkan untuk penyempurnaan makalah selanjutnya.

Kisaran, 17 Oktober 2023

i
DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR......................................................................................... i
DAFTAR ISI........................................................................................................ ii
BAB I PENDAHULUAN............................................................................... 1
A. Latar Belakang...................................................................................... 1
B. Rumusan Masalah................................................................................. 2
C. Tujuan................................................................................................... 3
BAB II PEMBAHASAN.................................................................................. 3
A. Makna Kaidah Pertama Dalam Qowaid Fiqhiyah…………………………….. 3
B. Sumber Pengambilan Kaidah............................................................... 7
C. Aplikasi Kaidah Pertama...................................................................... 9
BAB III PENUTUP.......................................................................................... 10
A. Kesimpulan........................................................................................... 10
B. Saran..................................................................................................... 10
DAFTAR PUSTAKA.......................................................................................... 11

ii
BAB I
PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
Kaidah fiqh adalah suatu ilmu yang berkaitan penjelasan tentang hukum-
hukum yang umum. Kaidah fiqh boleh di ta’rehkan sebagai hkum syara’ secara
keseluruhan yang erangkumi berbagai masalah hukum fiqh. Terdapat berbagai
kaidah fiqh yang telah diperkenalkan oleh para ulama untuk menyelesaikan
permasalahan-permasalahan yang baru timbul dalam sehari-hari.

Kaidah-kaidah yang diperkenalkan jelas dapat memberi dampak positif dalam


memelihara kemaslahatan ummat sekarang. Terdapat lima kaidah utama yang
disepakati dikalangan fiqaha. Salah satunya adalah‫( اآلمور بمقاصدها‬segala sesuatu
tergantung pada niatnya).

Kaidah ini berasal dari banyak materi fiqh, karena di dalam fiqh, nilai suatu
perbuatan tergantung pada niatnya. Di dalam ibadah, apakah niat ibadah itu wajib
atau sunnah, adāan atau qadhāandalam muamalah, apakah niat member atau
meminjamkan, dalam jinayat apakah kesengajaan (dengan niat) atau kesalahan
(tanpa niat) dan seterusnya.

Ada enam kaidah dasar dalam al-Qawaid al-Fiqhiyah, salah satunya adalah
semua perkara tergantung pada maksudnya.1 Kaidah ini menempati peranan
pokok dalam hukum islam. Sebab, seluruh tindakan manusia bergantung pada niat
dan maksudnya. Karena itulah, peran‘ulama memberikan perhatian besar terhadap
kaidah ini. Kata niat menurut pengertian etimologis adalah “Maksud melakukan
sesuatu dan ketetapan hati untuk melakukannya”. Sedangkan menurut istilah
berarti kemantapan mengorientasikan keta’atan dan pendekatan diri kepada Allah
SWT dalam mewujudkan tindakan2.2 Menurut ‘ulama niat mempunyai dua arti:
Pertama, dari kalangan Syafi’iyah “Bermaksud kepada sesuatu beriringan dengan
mengerjakannya”;3 dan Kedua, yang dikemukakan oleh Hanafiyah “Bermaksud
mendekatkan diri atau mematuhi perintah”.

1
Moh. Kurdi Fadal, Kaidah-Kaidah Fikih, (Jakarta Barat: CV Artha Rivera, th), hal. 17.
2
Ibid, h. 29.
3
Jalaluddin Suyuthi, Jalaluddin Suyuthi, al-Asybah wa an-Nadzair. (Semarang : Toha
Putra, t.th). hal. 47
1
Rumusan Masalah
Adapun perumusan masalah pada makalah ini adalah sebagai berikut:
1. Apa Makna Kaidah Pertama Dalam Qowaid Fiqhiyah?
2. Bagaimana Sumber Pengambilan Kaidah?
3. Bagaimana Aplikasi Kaidah Pertama?

C. Tujuan
Adapun tujuan dari penulisan makalah ini adalah:
1. Mengetahui Makna Kaidah Pertama Dalam Qowaid Fiqhiyah.
2. Mengetahui Sumber Pengambilan Kaidah.
3. Mengetahui Aplikasi Kaidah Pertama.

2
BAB II
PEMBAHASAN

A. Makna Kaidah Pertama Dalam Qowaid Fiqhiyah

Kaidah dasar pertama yaitu niat dan maksud dalam perbuatan.


‫األمور بمقاصدها‬
Artinya: Semua perkara bergantung pada maksudnya.
Kaidah ini menempati peran pokok dalam hukum islam. Sebab, seluruh
tindakan manusia bergantung pada niat dan maksudnya. Karenanya, para ulama
memberikan perhatian besar terhadap kaidah ini.
Secara bahasa, niat berarti maksud atau tujuan. Adapun secara istilah niat
adalah sebuah maksud untuk melakukan sesuatu yang bersamaan dengan
perbuatannya. Niat atau tujuan seseorang dalam melakukan sesuatu sangat
menentukan status hukum dari sesuatu dilakukannya4.
Niat merupakan hal yang memiliki kedudukan penting dalam kajian Islam,
khususnya kajian hukum Islam. Dengan sebab niat, seseorang bisa mendapatkan ganjaran
pahala atau justru terjatuh dalam perbuatan dosa, bahkan seseorang bisa dikategorikan
sebagai orang berdosa meskipun melakukan ibadah, Misalnya seseorang yang melakukan
shalat, seharusnya ia mendapatkan pahala dari ibadahnya, tapi dengan sebab niatnya ingin
dipuji oleh orang lain maka justru ia diklaim sebagai orang yang melakukan syirik.
Sebaliknya pula, seseorang akan dapat mendapatkan pahala hanya dengan berniat,
meskipun ia belum sempat melakukan suatu pekerjaan. Seperti seorang yang berniat ingin
shalat tengah malam, tapi ia tertidur sampai pagi, maka ia mendapatkan pahala shalat
malam.
‫ِإَّنَم ا ْاَألْع َم اُل ِبالِّنَّياِت‬.

“Sesungguhnya segala amal perbuatan ditentukan oleh niat.”


An-Nasa-i dan lainnya meriwayatkan, bahwa Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam
bersabda:
‫ َو َك اَن َنْو ُم ُه‬،‫ ُك ِتَب َلُه َم ا َنَو ى‬، ‫ َفَغ َلَبُه الَّنْو ُم َح َّتى ُيْص ِبَح‬، ‫ َو ُهَو َيْنِو ي َأْن َيُقْو َم ُيَص ِّلي ِم َن الَّلْيِل‬،‫َم ْن َأَتى ِفَر اَش ُه‬
‫َص َد َقًة ِم ْن َر ِّبِه َع َّز َو َج َّل‬.

4
Moh. Kurdi Fadal, Kaidah-kaidah Fikih, (Jakarta: Artha Rivera, 2008), hlm. 17-18.
3
“Barangsiapa yang naik ke atas ranjangnya sedang ia telah berniat untuk
bangun melakukan shalat di malam hari, namun ia tertidur hingga waktu Shubuh,
maka ditulis baginya pahala apa yang ia niatkan dan tidurnya itu adalah sedekah
dari Rabb-nya.”

Dari urgensi niat tersebut, maka lahirlah kaidah-kaidah fikih yang dirumuskan para ulama
tentang kedudukan niat, Ibnu Nujaim merumuskan sebuah kaidah

‫ َو َك اَن َنْو ُم ُه‬،‫ ُك ِتَب َلُه َم ا َنَو ى‬، ‫ َفَغ َلَبُه الَّنْو ُم َح َّتى ُيْص ِبَح‬، ‫ َو ُهَو َيْنِو ي َأْن َيُقْو َم ُيَص ِّلي ِم َن الَّلْيِل‬،‫َم ْن َأَتى ِفَر اَش ُه‬
‫َص َد َقًة ِم ْن َر ِّبِه َع َّز َو َج َّل‬

“Barangsiapa yang naik ke atas ranjangnya sedang ia telah berniat untuk


bangun melakukan shalat di malam hari, namun ia tertidur hingga waktu Shubuh,
maka ditulis baginya pahala apa yang ia niatkan dan tidurnya itu adalah sedekah
dari Rabb-nya.”

Dari urgensi niat tersebut, maka lahirlah kaidah-kaidah fikih yang dirumuskan para ulama
tentang kedudukan niat, Ibnu Nujaim merumuskan sebuah kaidah ‫“ َال َثَو اَب ِإَّال ِبالِّنَّيِة‬Tidak
ada pahala kecuali dengan niat” Kemudian kaidah fikih yang paling populer tentang
niat ‫“ األمور بمقاصدها‬Sesuatu itu tergantung niat dan tujuannya”

a. Fungsi Niat:
1. Untuk membedakan ibadah dan adat kebiasaan
2. Untuk membedakan kualitas pebuatan, baik kebaikan ataupun kejahatan.
3. Untuk menentukan sah tidaknya suatu perbuatan ibadah tertentu serta
membedakan yang wajib dari yang sunnat.

b. Waktu pelaksanaan niat


Pelaksanaan niat secara umum adalah pada awal ibadah. Hal ini di dasarkan
penelitian ulama yang mengatakan bahwa huruf “ba” yang terletak pada kata bi
Al-Niyyati mempunyai makna mushahabah (membersamakan). Hal ini memberi
sebuah pengertian bahwa niat merupakan bagian dari amal itu sendiri, oleh
4
kerenanya niat tidak boleh diakhirkan dari amal yang akan dikerjakan, apalagi
didahulukan. Namun aturan main ini tidaklah bersifat kaku. Ulama masih
memberikan toleransi dalam beberapa ritual ibadahdi sesuaikan dengan kondisi
dan faktor kesulitan pelaksanaannya. Disamping ini, kemampuan pelaksanaan
niatpun masih dipertimbangkan. Faktor lain yang menjadi pertimbangan fuqaha
adalah permulaan suatu ibadah bersifat nisbi dan relatif, artinya permulaan amal
ibadah yang satu dengan yang lainnya tidak lah sama.

Berikut ini adalah beberapa contoh niat yang boleh didahulukan karena faktor
kesulitan membersamakan dengan permulaan pekerjaan.
a. Puasa wajib
Niat dalam puasa bisa dilakukan sebelum fajar, bahkan jauh sebelum terbit
fajar. Tetapi, apabila niat dalam puasa dilakukan setelah fajar, maka puasanya
tidak sah. Kecuali puasa sunah yang menurut sebagian ulama niatnya boleh
dilakukan setelah fajar hingga waktu zuhur tiba.
b. Pembagian zakat
Niat untuk mengeluarkan zakat juga bisa didahulukan sebelum menyerahkan
harta zakat kepada fakir miskin, termasuk zakat fitrah. Sebab, niat sulit disertakan
pada saat menyerahkan harta zakat.
c. Sholat jamak
Dalam pelaksanaan sholat jamak bagi mufasir, niat jamak boleh diucapkan
pada waktu mengerjakan sholat yang pertama. Jadi, niat jamak untuk sholat yang
kedua boleh diucapkan ketika hendak mengerjakan sholat yang pertama. Misalnya
sholat ashar hendak dijamak dengan sholat zuhur, maka niat jamak untuk sholat
ashar bisa diucapkan pada saat mengerjakan sholat zuhur.
d. Penyembelihan Qurban
Langsung Niat dalam berkurban boleh diucapkan sebelum hewan disembelih,
dan tidak wajib diucapkan bersamaan dengan awal penyembelihan. Bahkan,
ketika penyembelihan hewan kurban dimulai, pemilik kurban hendaknya
mewakilkannya kepada orang lain. Niat berkurban boleh diucapkan pada saat
penyerahan hewan kurban kepada pihak wakil, meskipun tidak disembelih5.

5
Moh. Kurdi Fadal, Kaidah-kaidah Fikih, (Jakarta: Artha Rivera, 2008), hlm. 31.
5
e. Tempat Niat
Tempat niat adalah di dalam hati, tetapi niat juga boleh diucapkan dengan
lisan. Namun jika antara lisan dan niat dalam hati tidak sama, maka yang
dijadikan pedoman adalah niat dalam hati.
Dalam setiap ibadah, niat hanya dibutuhkan dalam hati tanpa harus diucapkan
dengan lisan. Namun, dalam persoalan-persoalan tertentu niat dalam hati tidak
cukup tanpa ditegaskan dengan ucapan lisan dan bahasa yang jelas. Diantara
persoalan tersebut adalah:
1. Perceraian
Dalam perceraian, antara niat dalam hati dan pernyataan secara lisan sama-
sama dibutuhkan. Apabila seseorang hendak menceraikan istrinya tetapi ia hanya
membersitkannya di dalam hati tanpa dinyatakan dengan lisan, maka niat tersebut
tidak langsung memutuskan hubungan perkawinan.
2. Nazar
Nazar yang dilakukan seseorang bisa diperhitungkan dan berdampak pada
hukum tertentu apabila diungkapkan dengan lisan dan diniatkan dalam hati.
Karenanya jika nazar hanya dibersitkan dalam hati, tetapi tidak ditegaskan dengan
lisan, maka tidak ada status hukumnya6.

a. Hal-hal yang membatalkan niat


1. Riddah atau murtad, yaitu terputusnya agama islam seseorang. Baik yang
ditimbulkan dari niat, ucapan atau perbuatan yang menyebabkan kuffur.
2. Berniat memutus atau tidak melanjutkan ibadah yang sedang di jalankan,
semisal orang melakukan shalat, kemudian berniat memutuskan shalatnya, maka
shalatnya menjadi batal. Hukum batalnya shalat dengan niat memutus ini
merupakan qiyas dengan masalah iman, dimana iman sendiri bisa putus hati
seorang muslim.
3. Niat mengganti atau memindah suatu ibadah di klasifikasikan dan
digambarkan dengan contoh berikut:

6
Moh. Kurdi Fadal, Kaidah-kaidah Fikih, (Jakarta: Artha Rivera, 2008), hlm. 32-33.
6
a. Mengganti sebuat shalat fardhu dengan shalat fardhu yang lain, maka
kedua-duanya menjadi tidak sah.
b. Mengganti shalat sunat dengan fardhu juga tidak sah kedua-
duanya7.

B. Sumber Pengambilan Kaidah

Kaidah ‫ األمور بمقاصدها‬ketika di rujukkan kepada Al-Quran dan Hadits, antara


lain:

Artinya: Padahal mereka tidak disuruh kecuali supaya menyembah Allah


dengan memurnikan ketaatan kepada-Nya dalam (menjalankan) agama yang
lurus........(Q. S Al- Bayyinah [98]: 5)

Artinya: Dan tidak ada dosa atasmu terhadap apa yang kamu khilaf padanya,
tetapi (yang ada dosanya) apa yang disengaja oleh hatimu (Q. S Al-Ahzab [33]:
5).

Artinya: Allah tidak menghukum kamu disebabkan sumpahmu yang tidak


dimaksud (untuk bersumpah), tetapi Allah menghukum kamu disebabkan
(sumpahmu) yang disengaja (untuk bersumpah) oleh hatimu. dan Allah Maha
Pengampun lagi Maha Penyantun (Q. S Al-Baqarah[2]: 225)

Dalam hadist nabi antara lain:


‫وله فهجرته الى هللا و‬Š‫ا نوى فمن كانت هجرته الى هللا و رس‬Š‫انما االعمال بالنيات وانما لكل امرئ م‬
‫رسوله ومن كانت هجرته لدنيا يصيبها او امرأة ينكحها فهجرته الى ما هجر اليه‬.
Artinya: Setiap perbuatan itu bergantung kepada niatnya dan bagi setiap
orang sesuai dengan niatnya, barang siapa berhijrah karena Allah dan RasulNya
maka hijrahnya kepada Allah dan Rasul-Nya, dan barang siapa berhijrah karena

7
KH. Maimoen Zubair, Formulasi Nalar Fiqh, Kiadah Fiqh Konseptual, ( Surabaya:
Khalista, 2006), hlm. 101.
7
mengharap kepentingan dunia atau karena wanita yang dinikahinya, maka
hijrahnya kepada yang diniatkannya (HR.Bukhari dari Umar bin Khatab)8.
‫من قاتل ليكون كلمة هللا هي العليا فهو في سبيل هللا عز و جل‬
Artinya: Barangsiapa berperang dengan maksud meninggikan kalimat Allah
swt, Maka dia ada dijalan Alah. (HR. Bukhari dari Abu Musa)
‫انك لن تنفق نفقة تبتغى بها وجه هللا اال أجرن عليها حتى ما يجعل في فم امرأتك‬
Artinya: Sesungguhnya tidaklah kamu menafkahkan sesuatu dengan maksud
mencari keridhaan Allah swt diberi fahala walaupun sekedar sesuap kedalam
mulut istrimu. (HR. Bukhari).
‫من اتى فراشه وهو ينوى ان تقوم يصلى من الليل فغلبته عيناه حتى اصبح كتب له ما نوى‬
Artinya: Barang siapa yang tidur berniat shalat malam, kemudian dia
tertidur sampai subuh maka di tulis baginyapahala sesuai dengan niatnya. (HR.
Al-Nasai dari Abi Dzar.

Artinya: Barang siapa menghendaki pahala dunia kami berikan pahala itu
dan barang siapa menghendaki pahala akhirat, kami berikan pahala itu. Dan
kami akan memberikan balasan kepada orang yang bersyukur (Q.S. Ali Imran
[3]:145)

‫نية المؤمن خير من عمله‬


Artinya: Niat orang mukmin itu lebih baik daripada amal perbuatannya saja
(yang kosong dari niat) (RW. Ath-Thabrani)
Imam Ahmad sependapat dengan iamam syafi’i bahwa hadist niat itu adalah
salah satu dari tiga hadist yang menjadi tempat pengembalian seluruh hukum
islam. Menurut beliau tiga buah hadist yang menjadi tempat pengembalian hukum
itu adalah:
Pertama hadist yang telah tersebut di atas.
Hadist kedua.
‫من احدث في أمرنا هذا ما ليس منه فهو رد‬
Artinya: Barang siapa mengada-adakan dalam agama ku ini sesuatau yang
bukan termasuk agama, maka tertolakkan, (RW. Bukhari Muslim).

8
Syeh Ahmad bin Syeh Hijazi Al-Fasyani, Al-Majalisussaniyah, (ttp: tt), hal. 3
8
‫انما بعث الناس على نياتهم‬
Artinya: Sesungguhnya manusia itu di bangkitkan menurut niatnya.

C. Aplikasi Kaidah Pertama


1. Dalam shalat tidak disyaratkan niat menyebutkan jumlah raka’at, maka
bila seseorang muslim berniat melaksanakan shalat magrib 4 raka’at tetapi ia tetap
dalam melaksanakan 3 raka’at, maka shalatnya tetap sah9.
2. Seseorang yang akan melaksanakan shalat zuhur tetapi niatnya
melaksanakan shalat ashar, maka shalatnya tidak sah.
3. Seseorang bersumpah untuk tidak berbicara dengan seseorang, dan
maksudnya dengan Ridwan. Maka sumpahnya hanya berlaku pada ridwan saja.
4. Seseorang niat shalat zuhur, kemudian setelah satu raka’at dia
berpindah kepada shalat tahiyyatal-masjid, maka batal shalat zuhurnya.
5. Seseorang berniat bahwa tujuan dari memakan sesuatu makanan
ataupun minuman yaitu untuk bisa beribadah kepada Allah swt, maka
perbuatannya tersebut diberi pahala10.
6. Seorang suami yang mentalak istrinya dengan menggunakan lafat
kinayah, maka apabila suami tidak meniatkan lafaz kinayah tersebut kepada talak
maka talaknya itu tidak sah. Tetapi bila dikasadkan sebagai lafaz talak maka
talaknya sah.
7. Seseorang yang tidur dan berniat supaya bisa kuat untuk beribadah,
maka perbuatan tidurnya itu diberi pahala.
8.Seseorang perempuan yang sedang berhaid tidak melaksanakan shalat
atau pun puasa dengan niat menjunjung perintah syar’i, maka niatnya tersebut
akan diberi pahala.
9. Seseorang yang belajar pelajaran metematika yang berniat supaya bisa
memecahkan masalah yang terdapat dalam faraiz, maka niatnya itu diberi pahala.

BAB III

9
Prof. DR. Rachmat Syafe’i, MA, Ilmu Ushul Fiqh, Cet. III, (Bandung: Pustaka Setia,
2007) Hal. 279.
10
Abdul Hamid Hakim, Mabadi Awwaliyah, Ushul Fiqh Wal Kawaid Fiqhiyyah, (Jakarta:
Sa’diyyah Fitran, tt) hal. 22.
9
PENUTUP

A. Kesimpulan

Ada enam kaidah dasar dalam al-Qawaid al-Fiqhiyah, salah satunya adalah
semua perkara tergantung pada maksudnya. Kaidah ini menempati peranan pokok
dalam hukum islam. Sebab, seluruh tindakan manusia bergantung pada niat dan
maksudnya. Karena itulah, peran‘ulama memberikan perhatian besar terhadap
kaidah ini. Kata niat menurut pengertian etimologis adalah “Maksud melakukan
sesuatu dan ketetapan hati untuk melakukannya”. Sedangkan menurut istilah
berarti kemantapan mengorientasikan keta’atan dan pendekatan diri kepada Allah
SWT dalam mewujudkan tindakan.

B. Saran
Semoga makalah ini dapat menambah wawasan bagi para pembacanya.
Penulis mengetahui bahwa banyak kekurangan yang ada di makalah ini, untuk itu
penulis berharap kritik dan saran yang membangun dari para pembaca.

10
DAFTAR PUSTAKA

Amir Syarifuddin. 2003. Garis-Garis Besar Fiqh. Jakarta: Prenada Media

Amir Syarifuddin. 1997. Usul Fiqh, Jilid 1. Jakarta: PT. Logos Wacana Ilmu

Al-Asyqar, U. S. (2005). Fiqih Niat Dalam Ibadah, terj.

Asjmuni A. Rahman. 1976. Qaidah-Qaidah Fiqh. Jakarta Bulan Bintang

Djazuli, A. (2006). Kaidah-Kaidah Fikih: Kaidah-Kaidah Hukum Islam dalam


Masalah-Masalah yang Praktis. Jakarta: Kencana.

Hasbi As-Siddiqy. 1975. Pengantar Hukum Islam. Jakarta Bulan Bintang

Kurdi Fadal, M. (2008). Kaidah-kaidah fikih. Jakarta Barat: CV Artha Rivera, th.

Muflikhudin, A. (2020). Akad As-Sulhu Sebagai Induk Penyelesaian Sengketa


Dalam Mu’amalah Menurut Imam Jalaludin As-Suyuti. As-Salam: Jurnal
Studi Hukum Islam & Pendidikan, 9(1), 107-122.

Satria Effendi dan M. Zaeni. 2005. Usul Fikih. Jakarta: Prenada Media

Syafe’i Rachmat. 2004. Fikih Mu’amalat. Bandung: Pustaka Setia

Totok Jumantoro dan Samsul Munir Amin. 2005. Kamus Ilmu Usul Fikih. Jakarta:
Amzah

11

Anda mungkin juga menyukai