Hadis Mutawatir Dan Ahad

Unduh sebagai docx, pdf, atau txt
Unduh sebagai docx, pdf, atau txt
Anda di halaman 1dari 23

HADIS MUTAWATIR DAN AHAD

Makalah ini dibuat guna memenuhi persyaratan tugas


mata kuliah
“Ulumul Hadis”
Dosen Pengampu :
Dr. H. M Akib, M.Ag
Oleh :
1. Lailatun Nikmah(933408114)
2. Dian Octavia Ningtyas (933408914)
3. Moh. Fahris Wafa(933409014)
4. Zahrotin Fajriah(933409214)
5. Reza Nur Fadillah(933410614)
Kelas : C
JURUSAN USHULUDDIN DAN ILMU SOSIAL
PRODI PSIKOLOGI ISLAM
SEKOLAH TINGGI AGAMA ISLAM NEGERI (STAIN)
KEDIRI
2014
HADIS MUTAWATIR DAN AHAD

A.Pendahuluan
Hadits dilihat dari segi kuantitas perawinya dibagi menjadi
dua, yakni hadis mutawatir dan hadis ahad.
Hadis Mutawatir adalah berita hadis yang bersifat indriawi
(didengar atau dilihat) yang diriwayatkan oleh banyak
orang yang mencapai maksimal di seluruh tingkatan
sanad dan akal menghukumi mustahil menurut tradisi
(adat) jumlah yang maksimal itu berpijak untuk
kebohongan.
Keberadaan hadis mutawatir memiliki syarat-syarat begitu
ketat untuk dipenuhi, yakni: Diriwayatkan Oleh Banyak
Perawi, Adanya Keseimbangan Antar Perawi Pada
Thabaqat Pertama Dengan Thabaqat Berikutnya, Mustahil
Bersepakat Bohong, Berdasarkan Tanggapan
Pancaindera.
Hadis Ahad adalah hadis yang tidak memenuhi beberapa
persyaratan hadis mutawatir.
Dalam makalah ini penulis memaparkan penjelasan
tentang pegertian hadis mutawatir dan hadis ahad,
pembagian hadis mutawatir dan ahad, faedah hadis
mutawatir dan hadis ahad, korelasi hadis mutawatir dan
hadis ahad. Di dalam makalah ini juga kami sertakan
kitab-kitab yang membahas tentang hadis mutawatir dan
hadis ahad, dan pendapat para ulama tentang hadis
mutawatir.
B.Setting Historis Munculnya Hadis Mutawatir dan Hadis
Ahad
Dikotomi hadits mutawatir dan ahad hanyalah ditinjau dari
segi kuantitas atau jumlah rawinya saja, tidak dilihat dari
segi kualitas rawinya. Keduanya mempunyai perbedaan
dalam jumlah periwayatan hadis nabi, perbedaan ini
muncul karena ketika nabi bersabda kepada para sahabat
ataupun generasi selanjutnya sampai pada sanad yang
terakhir tidak sama jumlah pendengarnya.
Sebelum pertengahan abad ke-3 H / 9 M, para ahli kalam
mempunyai pemahaman bahwa sebuah hadis tidak pada
teori isnad, melaikan rasionalitas mereka yang lebih
ditekankan dan melihat hadis sebagai sunnah yang hidup
yakni lebih melihat pada perilaku Rasulullah. Akan tetapi
metode yang diungkapkan para ahli kalam tersebut sudah
mulai hilang ketika sunnah beralih menjadi hadis yang
lebih lengkap lagi dengan sanad dan matan. Para ahli
ushul dari ahli kalam tidak mempermasalahkan tentang
kualitas para perawi hadis, yang terpenting adalah
permasalahan tentang jumlah orang yang meriwayatkan
hadis tersebut.
C.Pengertian dari Hadits Mutawatir dan Hadits Ahad
1.Hadis mutawatir
a.Pengertian Hadis Mutawatir
Mutawatir menurut bahasa berarti ‫(المتتابع‬al-mutatabi) yakni
yang datang berikutnya atau beriring-iringan yang antara
satu dengan yang lain tidak ada jaraknya. Menurut
beberapa ulama’ salah satunya adalah Mahmud at-
Tahhan dalam bukunya Tafsir fii Mustalah al-Hadits,
menyatakan:
‫مارواه عدد كثر تحيل العادة توا طؤهم على الكذب‬
“Hadits yang diriwayatkan oleh sejumlah perawi secara
tradisi”
Sedangkan menurut Abuu Ya’laa al-Muusilli at-Tamimi,
hadits mutawatir adalah:
‫فالخير المتوا تر هو خبر عن محسوس أخبر به جماعة بلغوا في الكثيرة مبلغا تحيل‬
‫العا دة تواطؤهم على لكذب فيه‬
“Suatu hadits hasil tanggapan dari panca indera, yang
diriwayatkan oleh sejumlah rawi, yang menurut adat
kebiasaan mustahil mereka berkumpul dan bersepakat
dusta”
Jadi menurut istilah hadis mutawatir adalah hadis yang
diriwayatkan oleh sejumlah perowi yang banyak pada tiap
tingkatan (thabaqat) sehingga mustahil mereka sepakat
untuk berbohong, dan proses tersebut dapat di indera oleh
panca indera. Dari pemaparan definisi tersebut, dapat
dikatakan bahwa terdapat kriteria atau syarat-syarat hadis
ditetapkan sebagai hadis mutawatir, yakni apabila:
1.Diriwayatkan Oleh Banyak Perawi
Para perawi hadis mutawatir syaratnya harus berjumlah
banyak. Para ulama hadis mempunyai perbedaan
pendapat tentang menentukan seberapa banyak perawi
yang harus meriwayatkan sebuah hadis sehingga
dikatakan sebagai hadis mutawatir. Ada yang
berpendapat 3 orang, 4 orang, 5 orang, 10 orang, bahkan
ada yang berpendapat 300 orang lebih. Dengan adanya
jumlah perawi yang banyak inilah yang akan
memungkinkan bahwa hadis yang disampaikan tidak
memiliki keraguan terhadap kebenaran hadis tersebut.

2.Adanya Keseimbangan Antar Perawi Pada Thabaqat


Pertama Dengan Thabaqat Berikutnya
Terdapat berbagai pendapat mengenai keseimbangan
perawi pada thabaqat pertama dengan thabaqat
berikutnya. Ada yang berpendapat bahwa, apabila jumlah
perawi pada tingkatan awalnya tidak sama dengan
tingkatan selanjutnya maka hadis tersebut tidak dapat
digolongkan sebagai hadis mutawatir. Namun, pendapat
lain menyatakan bahwa adanya perbedaan perawi pada
setiap Thabaqat bukanlah menjadi masalah karena pada
dasarnya hadis yang disampaikan sama banyaknya. Dan
hal tersebut bisa dikategorikan sebagai hadis mutawatir.
3.Mustahil Bersepakat Bohong
Berdasarkan jumlah perawi yang banyak, maka
periwayatan suatu hadis ini secara logika sangat sulit
untuk bersepakat berbohong dalam periwayatannya,
karena mengingat bahwa hadis yang diriwayatkan
tersebut dalam jumlah yang banyak. Namun tidak dapat
dipungkiri bahwa kuantitas bukan merupakan suatu hal
yang mutlak ketika hadis dikatakan mutawatir atau bukan,
karena realitas yang ada sekarang ini para periwayat
hadispun masih ada kemungkinan untuk berbohong dalam
periwayatannya.

4.Berdasarkan Tanggapan Pancaindera


Maksudnya adalah berita yang disampaikan itu
merupakan hasil dari sesuatu yang didengar dengan
telinga, dilihat dengan mata, dan bukan merupakan hasil
yang disandarkan pada logika atau akal belaka. Sehingga,
apabila berita tersebut merupakan hasil dari pemikiran
atau logika suatu peristiwa dan bukan merupakan hasil
istinbath, maka hadis tersebut tidak dapat dikatakatan
sebagai hadis mutawatir. Hadis itu berdasarkan
tanggapan pancaindera, misalnya ungkapan periwayatan
:
‫ =سمعنا‬Kami mendengar (dari Rasulullah bersabda begini)
‫ =راينا او لمسنا‬Kami sentuh atau Kami melihat (Rasulullah
melakukan begini dan seterusnya)

Baca Juga

 Contoh Makalah Ikhlas dalam Beramal (Pentingya Kejujuran)


 Contoh makalah ikhlas dalam beramal
 Contoh Makalah Takhrij Hadis Keutamaan Mencari Ilmu
b.Pembagian Hadis Mutawatir
Dalam pembagiannya, sebagian ulama membagi hadis
mutawatir menjadi dua, yakni mutawatir lafdzi dan
mutawatir ma’nawi. Namun ada pula yang membaginya
menjadi tiga, yakni dengan menambahkan hadis
mutawatir ‘amali.
a.Mutawatir Lafdzhi
Yang dimaksud dengan hadis mutawatir lafdzhi menurut
Mahmud at-Tahhan ialah :
‫المتواتراللفظي هوماتواترلفظه ومعنه‬
“Hadis yang mutawatir lafaz dan maknanya”.
Maksudnya adalah bahwa hadis mutawatir Lafdzhi ini
merupakan hadis yang periwayatannya masih dalam satu
lafaz.
Beberapa ulama ada yang berpendapat dan menetapkan
bahwa hadis mutawatir lafdzhi itu tidak ada atau sedikit
sekali, karena kurang mengetahui tentang perawinya,
apakah dalam meriwayatkan tersebut telah bersepakat
untuk tidak berdusta atau hanya kebetulan saja.
Sedangkan menurut pendapat ulama yang menetapkan
adanya hadis mutawatir lafdzhi ialah menilai dari segi
sedikit atau banyak jumlahnya, atau melihat dari segi
makna beberapa lafaz yang sama.
Perbedaan pendapat tersebut dapat dimaklumi karena
mengingat bahwa terdapat perbedaan pula dalam hal
jumlah perawi hadis mutawatir. Berikut adalah contoh dari
hadis mutawatir lafdzhi :
‫ي متعمدًا ف ْليتب َّوأْ م ْقعده من النَّار‬
َّ ‫م ْن كذب عل‬
“Barangsiapa berbuat dusta terhadap diriku, hendaklah ia
menempati neraka”.
Dalam periwayatan hadis tersebut, muncul berbagai
pendapat tentang jumlah periwayat yang
meriwayatkannya, diantaranya adalah :
a.Abu Bakar al-Sairiy menyatakan bahwa hadis ini
diriwayatkan secara marfu’ oleh 40 (empat puluh)
sahabat.
b.Ibnu al-Shalkah berpendapat bahwa hadis ini
diriwayatkan oleh 62 (enam puluh dua) sahabat, dimana
10 (sepuluh) diantaranya dijamin masuk surga.
c.Ibrahim al-Harabi dan Abu Bakar al-Bazariy
mengatakan, hadis ini diriwayatkan oleh 40 (empat puluh)
sahabat.
d.Abu Qasim ibn Manduh berpendapat bahwa hadis ini
diriwayatkan oleh lebih dari 80 (delapan puluh) sahabat.
e.Sebagian lagi mengatakan bahwa hadis ini diriwayatkan
oleh lebih dari 100 (seratus) bahkan 200 (duaratus)
sahabat.

b.Mutawatir Ma’nawi
Yang dimaksud dengan hadis mutawatir ma’nawi adalah :
‫ماتواترم ْعنه د ْون ل ْفظه‬
“Hadis yang mutawatir maknanya, bukan lafalnya”.
Ada pula yang mengatakan hadis mutawatir ma’nawi ialah
:
‫هوأ ْن ي ْنقل جماعة ي ْستحيْل تواطؤه ْم على ْالكذب ووق ْوعه م ْنه ْم مصادفةً في ْنتقل ْوا‬
‫وقائع م ْختلفةً ت ْشترك كلَّه َّن فى أ ْمر معيَّن‬
“Hadis yang dinukilkan oleh sejumlah orang yang mustahil
mereka sepakat berdusta atau karena kebetulan. Mereka
menukilkan dalam berbagai bentuk, tetapi dalam satu
masalah atau mempunyai titik persamaan”
Contoh dari hadis mutawatir ma’nawi :
‫كان النبي صلى للا عليْه وسلَّم ل ي ْرفع يديْه في ش ْيءم ْن دعائه إل فى ْاْل ْست ْسقاء‬
‫وإنَّه ي ْرفع حتَّى يرى بياض إبْطيْه‬
“Nabi SAW tidak mengangkat kedua tangannya dalam
doa-doa beliau, kecuali dalam shalat istisqa, dan beliau
mengangkat tangannya hingga tampak putih-putih kedua
ketiaknya” (H.R. Bukhari)
Hadis-hadis yang semakna dengan hadis tersebut banyak
sekali, lebih dari 100 (seratus) hadis.
c.Hadis Mutawatir ‘Amali
Perbuatan dan pengamalan syari’ah islamiyah yang
dilakukan Nabi SAW secara terbuka atau terang-terangan
yang kemudian disaksikan dan diikuti oleh para sahabat
adalah pengertian dari mutawatir ‘amali, sebagaimana
pendapat para ulama yang mengatakan bahwa:
َّ ‫ما علم من الديْن باالضر ْورةوتواتربيْن ْالم ْسلميْن أ ْن النَّب‬
‫ي صلَّى للا عليْه وسلَّم فعله‬
‫أ ْو أمربه أ ْو غيْر ذلك‬
“Sesuatu yang diketahui dengan mudah bahwa ia dari
agama dan telah mutawatir dikalangan umat muslim
(orang islam) bahwa Nabi SAW mengajarkannya atau
menyuruhnya atau selain itu”.
Contoh hadis mutawatir ‘amali adalah hadits yang
menjelaskan tentang shalat baik waktu maupun
rakaatnya, tentang haji, tentang zakat dan lain-lain.
Semua itu bersifat terbuka dan disaksikan oleh banyak
sahabat dan kemudian diriwayatkan oleh sejumlah besar
kaum muslim dari masa ke masa.

c.Faedah Hadis Mutawatir


Hadis mutawatir itu memberi faedah ilmu dharuriy atau
yakin, artinya yakni suatu keharusan untuk meyakini
kebenaran suatu berita dari Nabi SAW yang diriwayatkan
secara mutawatir tanpa ada keraguan sedikitpun.
Para perawi hadis mutawatir tidak perlu lagi diselidiki
tentang keadilan dan kedhabitannya (kuatnya
hafalan/ingatan), karena kuantitas para perawi hadis
sudah menjamin tidak mungkin terjadi kesepakatan
bohong.
Ibnu Thaimiyah mengatakan bahwa suatu hadis dianggap
mutawatir oleh sebagian golongan lain dan kadang-
kadang telah membawa keyakinan bagi suatu golongan
tetapi tidak bagi golongan lain. Barang siapa yang telah
meyakini akan kemutawatiran suatu hadis, wajib baginya
mempercayai kebenarannya dan mengamalkan sesuai
tuntutannya. Sedang bagi orang yang belum mengetahui
dan meyakini akan kemutawatirannya, wajib baginya
mempercayai dan mengamalkan suatu hadis mutawatir
yang disepakati oleh para ulama sebagaimana kewajiban
mereka mengikuti ketentuan-ketentuan hukum yang
disepakati oleh imam.

d.Pendapat ulama’ tentang Hadits Mutawatir


Di kalangan para ulama’ terdapat berbagai macam
pendapat mengenai hadits mutawatir ini. Mereka berbeda-
beda dalam memberikan tanggapan, sesuai dengan
disiplin ilmu yang mereka miliki, diantaranya adalah :
1.Ahli hadits mutaqaddimin, tidak terlalu mendalam dalam
memberikan bahasan, sebab hadits mutawatir itu pada
hakikatnya tidak dimasukkan ke dalam pembahasan
masalah-masalah, seperti:
a.Ilmu Isnad yaitu ilmu matarantai sanad, artinya sebuah
disiplin ilmu yang hanya membahas masalah shahih dan
tidaknya, diamalkan dan tidaknya suatu hadits.
b.Ilmu Rijal Al-Hadits, artinya semua pihak yang terkait
dengan persoalan periwayatan hadits dan metode
penyampaiannya.
Oleh sebab itu, jika status hadits itu mutawatir, maka
kebenaran didalamnya wajib diyakini dan semua isi yang
terkandung didalamnya wajib diamalkan, sekalipun
diantara para perawinya orang kafir.
2.Ahli hadits mutaakhirin dan ahli Ushul berpendapat
bahwa hadits dapat disebut dengan mutawatir jika
memiliki kriteria-kriteria atau syarat-syarat sebagaimana
yang telah dijelaskan diatas.

e.Korelasi hadits mutawatir dengan kualitas hadits


Sebagian ulama mengatakan bahwa hadits mutawatir
hanya dikaji dari segi jumlah perawinya saja dan tidak
tertuju pada kajian kualitas dari perawi tersebut. Sehingga
hadits mutawatir tidak termasuk ke dalam pembahasan
ilmu hadits, ini disebabkan bahwa ilmu hadits menilai
shahih atau tidaknya suatu hadits dilihat dari para perawi
dan cara penyampaian periwayatannya. Sedangkan
dalam hadits mutawatir, kualitas pribadi para perawinya
tidak dijadikan acuan atau sasaran pembahasan. Dengan
demikian, maka hadits mutawatir tidak membutuhkan
kajian tentang isnad dikarenakan yang dibutuhkan hadits
mutawatir hanya jumlah atau kuantitas bukan kualitas
perawinya. Oleh karena itu, bukan berarti karena hadits
mutawatir memiliki banyak perawi hadits sehingga bisa
disebut sebagai hadits shahih. Hadits mutawatir bisa saja
berstatus shahih, hasan, maupun dha’if dikarenakan
kualitas dari hadits tersebut itu sendiri.Sehingga “bisa
saja” dikatakan, bahwa hadits mutawatir itu tidak melihat
dari segi jumlah atau kuantitas melainkan kualitas pribadi
dari perawi hadits tersebut.
Ada beberapa riwayat yang ditunjukkan untuk
membuktikan bahwa hadits mutawatir tidak berdasarkan
pada kualitas perawi, yaitu riwayat tentang hadits berdusta
atas nama Nabi :
‫وحدثنا محمدبن عبيد الغبري حدثنا أبو عوانة عن أبي حصين عن ابي صالح عن‬
ْ‫ي متعمدًا ف ْليتب َّوأ‬
َّ ‫أبي هريرة قال قال رسول للا صلى للا عليه وسلمم ْن كذب عل‬
‫م ْقعده من النَّار‬
“Imam Muslim menyatakan, telah menyampaikan kepada
kami (dengan menggunakan metode sama) dari
Muhammad bin Ubaid al-Ghobiri, telah menyampaikan
kepada kami dari Abu ‘Awanah dari Husain dari Abi Salih
dari Abu Hurairah, dia berkata: Rasulullah SAW bersabda:
Barang siapa berdusta atas namaku secara sengaja,
maka bersiap-siaplah menduduki kedudukannya di dalam
neraka” (HR. Muslim)
Hadits tersebut merupakan hadits mutawatir dan
berstatus shahih.
f.Kitab-kitab yang membahas tentang hadits mutawatir
Sebagian ulama telah mengumpulkan hadits-hadits
mutawatir dalam sebuah kitab tersendiri. Diantara kitab-
kitab tersebut adalah :
1.Al-Azhar Al-Mutanatsirah fi Al-Akbar Al-Mutawatirah,
karya As-Suyuthi. Dalam kitab tersebut, As Suyuthi
menyusun bab demi bab dan setiap hadits diterangkan
sanad-sanadnya yang dipakai oleh pentakhrijnya.
2.Qathf Al-Azhar, karya As-Suyuthi, ringkasan dari kitab
diatas.
3.Al-La’ali’ Al-Mutanasirah fi Al-Hadits Al-Mutawatirah,
karya Abu Abdillah Muhammad bin Thulun Ad-Dimasyqi.
4.Nazm Al-Mutanasirah min Al-Hadits Al-Mutawatirah,
karya Muhammad bin Ja’far Al-Kattani.
5.Ithaf Dzawil Fadha’il al-Musythahirah bi Maa Waqaa’
min Ziyadah ‘Alaa al-AzharAl-Mutanasirah min Al-Hadits
Al-Mutawatirah, karya ustadz Syeikh Abdul ‘Aziz al-
Ghammari.
6.Luqt al-Liaalii Al-Mutanasirah fi Al-Hadits Al-
Mutawatirah, karya Abii al-Faidh Muhammad Murtadhaa
al-Husainii az-Zubaidii al-Misri.

2.Hadis Ahad
a.Pengertian hadits Ahad
Hadits ahad yaitu hadits yang para rawinya tidak melebihi
jumlah rawi hadits mutawatir, tidak memenuhi persyaratan
mutawatir serta tidak mencapai derajat mutawatir
sebagaimana dinyatakan dalam kaidah ilmu hadits :
‫مال ْم تبْلغ ن ْقلته فى ْالكثرة مبْلغ ْالخبر ْالمتوات ْر سواء كان ْالم ْخبر واحدًا أ ْو اثْنيْن أ ْو‬
‫ثَلثًا ا ْو ا ْربعةً ا ْو خ ْمسة ا ْو إلى غيْر ذلك من ْاْلعْداد الَّتى ل ت ْشعر بأ َّن ْالخبر دخ َّل‬
‫بها فى خبر ْالمتواتر‬
“Khabar yang jumlah perawinya tidak mencapai batasan
jumlah perawi hadis mutawatir, baik perawi itu satu, dua,
tiga, empat, lima dan seterusnya yang tidak memberikan
pengertian bahwa jumlah perawi tersebut tidak sampai
kepada jumlah perawi hadits mutawatir”
Adapula yang meriwayatkan hadits ahad sebagai :
‫هوما لي ْنتهى إلى التَّواتر‬
“Hadits yang tidak mencapai derajat mutawatir”
b.Pembagian hadits ahad
Berdasarkan jumlah rawi dari tiap-tiap thabaqah, Hadits
ahad dibagi menjadi 3 macam, yaitu: masyhur, ‘aziz, dan
gharib.
a.Hadits Masyhur
Hadits Masyhur menurut bahasa, yaitu (al-intisyar wa al-
dzuyu’) sesuatu yang sudah tersebar dan populer. Hadits
ini dinamakan Masyhur karena telah tersebar luas
dikalangan masyarakat. Kemudian maksud dari hadits
Masyhur, ialah :
‫مارواه الثََّلثة فأ ْكثرول ْم يص ْل درجة التَّواتر‬
“Hadits yang diriwayatkan oleh tiga orang atau lebih, serta
belum mencapai derajat mutawatir.”
Hadits masyhur ini ada yang berstatus shahih, hasan, dan
dhaif . Yang dimaksud dengan hadits masyhur shahih
adalah hadits masyhur yang telah memenuhi ketentuan-
ketentuan hadits shahih, baik pada sanad maupun
matannya, seperti hadits Ibnu ‘Umar:
‫)إذاجاءأحدكم ْالجمعة ف ْلي ْغتس ْل(رواه البخارى‬
“Bagi siapa yang hendak pergi melaksanakan shalat
jum’at, hendaknya ia mandi”. (HR. Bukhari)
Sedangkan yang dimaksud dengan hadits masyhur hasan
adalah hadits masyhur yang telah memenuhi ketentuan-
ketentuan hadis hasan, baik mengenai sanad maupun
matannya, seperti sabda Rasulullah SAW :

‫لضررولضرار‬
“Jangan melakukan perbuatan yang berbahaya (bagi diri
sendiri dan orang lain)”
Kemudian yang dimaksud dengna hadits masyhur dha’if
ialah hadits masyhur yang tidak mempunyai syarat-syarat
hadits shahih dan hasan, baik sanand maupun matannya,
seperti halnya hadis berikut:
‫طلب ْالع ْلم فريْضةعلى كل م ْسلم وم ْسلمة‬
“Menuntut ilmu merupakan kewajiban bagi muslim laki-laki
dan perempuan”
Dalam istilah, hadits masyhur terbagi menjadi dua macam.
Macam-macam hadits masyhur tersebut antara lain :
1)Masyhur Ishthilahi
Yang dimaksud dengan Masyhur Ishthilahi yakni :
‫سندمال ْم يبْل ْغ حدَّالتَّواتر‬َّ ‫ما رواه ثَلثة فأ ْكثر فى كل طبقة م ْن طبقات ال‬
“Hadits yang diriwayatkan oleh tiga orang atau lebih pada
setiap tingkatan (thabaqah) pada beberapa tingkatan
sanad tetapi tidak mencapai kriteria mutawatir”
Contoh hadits Masyhur Ishthilahi :
‫عا ي ْنتزعه من ْالعباد‬ ً ‫إ َّن للا ل ي ْقبض ْالع ْلم ا ْنتزا‬...
Hadits diatas diriwayatkan 3 orang sahabat, yaitu Ibnu
Amru, Aisyah, dan Abu Hurairah. Dengan demikian, hadits
ini masyhur di kalangan sahabat karena terdapat 3
sahabat yang meriwayatkan hadits tersebut.
2)Masyhur Ghayr Ishthilahi
Istilah Masyhur Ghayr Ishthilahi, berarti:
‫ماا ْشتهرعلى اْل ْلسنةم ْن غيْر شر ْوط ت ْعتبر‬
“Hadits yang populer pada ungkapan lisan (para ulama)
tanpa ada persyaratan yang definitif”
Hadits Masyhur Ghayr Ishthilahi adalah hadits yang
populer atau terkenal dikalangan kelompok tertentu,
sekalipun jumlah periwayatnya tidak mencapai 3 orang
atau lebih. Popularitas hadits ini tidak dilihat dari jumlah
banyaknya perawi yang meriwayatkan, melainkan
popularitas hadits itu sendiri dikalangan ulama dalam
bidang ilmu tertentu.
Misalkan hadis yang populer dikalangan ulama fiqih saja :
َّ ‫أبْغض ْالحَلل إلى للا‬
‫الطَلق‬
“Sesuatu yang halal yang paling dimurkai oleh Allah
adalah talak” (HR. Al-Hakim)
Hadits tersebut populer dikalangan ulama fiqih dan juga
diriwayatkan oleh satu perawi saja, sehingga hadits
tersebut bisa dikatakan sebagai hadits masyhur ghayr
ishthilahi.

b.Hadits ‘Aziz
‘Aziz berasal dari kata ‘Azza-Ya’izzu yang berarti sedikit
atau jarang adanya, dan juga bisa berasal dari kata ‘Azza-
Ya’azzu yang berarti kuat.
Sedangkan menurut istilah, Hadits ‘Aziz adalah :
‫مارواه اثْنان ول ْوكان فى طبقةواحدةث َّم رواه ب ْعدذلك جماعة‬
“Hadits yang diriwayatkan oleh dua orang, sekalipun dua
orang ini ditemukan masih dalam satu generasi, kemudian
setelah itu ada banyak orang yang sama meriwayatkan”
Contoh hadits ‘aziz:
Hadits yang ditakhrijkan oleh Bukhari dari Anas r.a :
‫قال رس ْول للا صلَّى للا عليْه وسلَّم ليؤْ من أحدك ْم حتَّى اك ْون أحبَّ إليْه م ْن ن ْفسه‬
‫ووالده وولده والنَّاس أ ْجمعيْن‬
“Rasulullah SAW, bersabda: Tidak sempurna iman salah
satu diantara kamu sekalian sampai aku lebih dicintainya
daripada ia mencintai dirinya sendiri, orang tuanya, anak-
anaknya, dan semua manusia”

c.Hadits Gharib
Dari segi bahasa kata Gharib berarti sendirian, terisolir
jauh dari kerabat, asing, sulit dipahami. Sedangkan dari
segi istilah adalah :
‫سند‬
َّ ‫ي م ْوضع وقع التفرد به ال‬ َّ ‫ما تف َّردبروايته ش ْخص واحد فى أ‬
“Hadits yang dalam sanadnya terdapat seorang yang
menyendiri dalam meriwayatkannya, dimana saja
penyendirian dalam sanad itu terjadi”
Bisa juga dikatakan bahwa hadits Gharib adalah hadis
yang periwayatannya dilakukan oleh seorang perawi yang
menyendiri tanpa ada orang lain lagi yang
meriwayatkannya.
Ada dua macam Hadits Gharib, antara lain :
1)Gharib Mutlak, yaitu:
‫صحا بي‬ َّ ‫سند هوطرفه الَّذي فيْه ال‬ َّ ‫صل ال‬ ْ ‫هوما كانت ْالغربة في أ‬
ْ ‫صل سنده وأ‬
“Hadits yang Gharabah-nya (perawinya satu orang)
terletak pada pokok sanad. Pokok sanad adalah ujung
sanad yaitu seorang sahabat.”
Contoh hadits Nabi Saw. :
‫إنَّما ْاْلعْمال باالنيات وإنَّما لكل ْامرئ ما نوى‬
Hadits diatas diriwayatkan oleh sahabat Umar bin Khattab
langsung dari Nabi saw., dan dari Umar diriwayatkan oleh
Alqamah bin Waqqash Al-Laitsi, kemudian Muhammad bin
Ibrahim, kemudian Yahya bin Sa’id Al-Khudri. Dengan
demikian hadits diatas dikatakan Hadits Gharib Mutlak
dikarenakan hanya sahabat Umar bin Khattab yang
meriwayatkannya.
2)Gharib Nisby (Relatif), yaitu :
‫ما كانت ْالغربة في أثْناء سنده‬
“Hadits yang terjadi gharabah (perawinya satu orang)
ditengah sanad.”
Misalkan hadits yang diriwayatkan Anas r.a :
‫ع ْن أنس رضي للا ع ْنه أ َّن النَّبي صلَّى للا عليْه وسلَّم دخل م َّكة وعلى رأْسه ْالم ْغفر‬
“Dari Anas r.a bahwa Nabi Saw masuk ke kota Makkah
diatas kepalanya mengenakan igal.” (HR. Al-Bukhari dan
Muslim)
Hadits tersebut dikalangan tabi’in hanya Malik yang
meriwayatkannya dari Az-Zuhri. Boleh jadi pada awal
sanad dan akhir sanad lebih dari satu orang, namun
ditengah-tengahnya terjadi gharabah, artinya hanya
seorang saja yang meriwayatkannya. Gharabah Nisbi ini
terbagi menjadi 3 macam, yakni sebagai berikut :

a)Muqayyad bi ats-tsiqah
Ke-gharib-an perawi hadits dibatasi pada sifat ke-tsiqah-
an (kepercayaan) seorang atau beberapa orang perawi
saja, misalnya:
‫طرى‬ْ ‫ي صلَّى للا عليْه وسلَّم كان ي ْقرأ في ْاْلضْحى و ْالف‬
َّ ‫ع ْن ابي واقد ا َّن النَّب‬
“Dari Abu Waqid bahwa Nabi Saw membaca surah Qaf
dan Iqtarabat As-Sa’ah pada shalat Idul adha dan Idul
Fitri.”
Hadits diatas hanya diriwayatkan oleh Dhamrah bin Sa’id
secara gharabah (sendirian) dari Ubaidillah bin Abdullah
dari Abu Waqid. Dikalangan para perawi yang tsiqah tidak
ada yang meriwayatkannya selain dia.

b)Muqayyad bil al-balad


Disebut sedemikian rupa karena suatu hadits diriwayatkan
oleh penduduk tertentu ysedang penduduk lain tidak
meriwayatkannya. Misalkan hadis yang diriwayatkan oleh
rawi-rawi yang berasal dari Basrah saja :
َّ ‫أم ْرنا أ ْن ن ْقرأ بفا تحة ْالكتاب وما تي‬
‫سر‬
“Kami diperintahkan agar membaca Al-Fatihah dan surah
yang mudah dari Al-Qur’an.”
Hadits tersebut diriwayatkan oleh Abu Dawud dari Ath-
Thayalisi dari Hamman dari Abu Qatadah dari Abu
Nadhrah dari Abu Sa’id yang mana mereka adalah
penduduk yang berasal dari Basrah.

c)Muqayyad al-rawi
Maksudnya adalah bahwa periwayatan suatu hadits
dibatasi dengan perawi hadits tertentu, misalnya hadits
dari Sufyan bin Uyaynah dari Wa’il bin Dawud dari
putranya Bakar bin Wa’il dari Az-Zuhri dari Anas, bahwa:
‫ي صلَّى للا عليْه وسلَّم أ ْو ل ْم على صفيَّة بسويْق وت ْمر‬
َّ ‫ا َّن النَّب‬
Hadits diatas diriwayatkan oleh Abu Dawud, At Tirmidzi,
An Nasa’i dan Ibnu Majah. Tidak ada yang
meriwayatkannya dari Bakar selain Wa’il dan tidak ada
yang meriwayatkannya dari Wa’il kecuali Ibnu Uyaynah.

c.Faedah Hadits Ahad


Hadits-hadits ahad memiliki faedah-faedah sebagai
berikut:
Pertama, menunjukkan dugaan kuat (zhann), yaitu
dugaan terkuat akan keabsahan penisbatan hadits
tersebut kepada orang yang menjadi sumber penukilan.
Hal itu berbeda-beda sesuai dengan derajatnya. Hadits
ahad bisa juga memberikan faedah ilmu (yaqiin) jika
memiliki berbagai indikasi (qaraa’in) yang menguatkan hal
itu dan dikuatkan oleh dalil pokok (yaitu Al-Qur’an atau
hadits shahih).
Kedua, mengamalkan kandungannya, yaitu dengan
membenarkannya jika berupa berita dan menerapkannya
(melaksanakannya) jika berupa tuntutan.

d.Kriteria Hadits Ahad


Adapun yang berkaitan dengan perawi hadits (sanad)
adalah bahwa mereka harus adil, dhabit, paham dengan
hadits yang disampaikan, melakukan apa yang telah
diriwayatkannya, menyampaikan hadits dengan huruf-
hurufnya, serta mengetahui perubahan makna hadits dari
lafal hadits yang sebenarnya.
Sedangkan persyaratan yang berkaitan dengan substansi
hadits, yakni:
1.Sanadnya bersambung dengan Rasulullah.
2.Terhindar dari Syuzuz (kejanggalan-kejanggalan) dan
‘Illat (cacat).
3.Tidak bertentangan dengan as-Sunnah al-Masyhurah
serta tidak bertentangan dengan prilaku sahabat dan
tabi’in.
4.Sebagian ulama’ salaf tidak mencela hadits tersebut.
5.Tidak terdapat penambahan dalam sanad dan
matannya.
e.Korelasi hadits ahad dengan kualitas hadits
Pembagian hadits ahad yang dibedakan menjadi
masyhur, ‘aziz dan gharib tidak bertentangan dengan
pembagian hadits ahad pada shahih, hasan dan dha’if.
Sebab pembagian hadits ahad pada 3 macam tersebut,
bukan bertujuan untuk menentukan makbul dan
mardudnya suatu hadits, tetapi bertujuan untuk
mengetahui banyak sedikitnya sanad. Sedangkan
pembagian hadits ahad pada shahih, hasan dan dha’if
adalah bertujuan untuk menentukan dapat diterima atau
ditolaknya suatu hadits.
Dengan demikian hadits ahad ini ada yang berkualitas
shahih, hasan dan dha’if. Maka dari itu, tidak setiap hadits
ahad berkualitas dha’if. Adakalanya berkualitas shahih,
apabila memenuhi syarat-syarat yang dapat diterima dan
tidak bertentangan dengan hadits-hadits terdahulu. Hanya
saja, pada umumnya, apabila ada hadits ahad
berkedudukan shahih itu sangat jarang bahkan sangat
sedikit jumlahnya.
Ali bin al-Husain berpendapat bahwa yang dikatakan
hadits yang baik itu, ialah yang telah dikenal dan
dipopulerkan dalam pembicaraan oleh masyarakat.
f.Kitab-kitab yang membahas tentang hadits ahad
Berikut ini kitab-kitab yang didalamnya berisi tentang
hadits mayhur:
1.Al-Maqasid al-Hasanah fi ma Isytahara ‘ala al-Alsinah,
karya As-Sakhawi.
2.Kasyf Al-Khafa’ wa Muzill al-Ibbas fi ma Isytahara min
al-Hadits ‘ala Alsinah an-Nas, karya Al-Ajaluni.
3.Tamyiz Ath-Thayyib min Al-Khabits fi ma Yadur ‘ala
Alsinah An-Nas min Al Hadits, karya Ibnu ad-Daiba Asy-
Syaibani.
Kitab-kitab yang didalamnya terdapat banyak hadits
Gharib, yakni :
1.Athraf al-Gharaib wa Al-Afrad, karya Muhammad bin
Thahir Al-Maqsidi.
2.Al-Afrad, karya Ad-Daruquthni
3.Al-Hadits ash-Shihah wa al-Gharaib, karya Yusuf bin
Abdurrahman Al-Mizzi Asy-Syafi’i.
4.Musnad al-Bazzar.
5.Al-Mu’jam Al-Awsath, karya Ath-Thabarani.

PENUTUP
A.KESIMPULAN
Dari penjelasan di atas kita dapat menyimpulkan bahwa
jika hadist ditinjau dari segi jumlah perawi atau sumber
berita, hadist dapat dibagi menjadi dua bagian yaitu hadist
mutawatir dan hadist ahad.
Hadist mutawatir adalah hadist yang diriwayatkan oleh
banyak rawi baik dari thabaqat pertama (sahabat) sampai
kepada thabaqat yang terakhir (thabi’it thabi’in). Dilihat
dari cara periwayatannya, hadist mutawatir dapat dibagi
menjadi dua bagian yakni:
1)Hadist mutawatir lafdzi yaitu Hadis yang mutawatir lafaz
dan maknanya.
2)Hadist mutawatir ma’nawi adalah Hadis yang mutawatir
maknanya, bukan lafalnya.
3)Hadits mutawatir ‘amali adalah Sesuatu yang diketahui
dengan mudah bahwa ia dari agama dan telah mutawatir
dikalangan umat muslim (orang islam) bahwa Nabi SAW
mengajarkannya atau menyuruhnya atau selain itu.
Lawan dari hadits mutawatir adalah hadist ahad yakni
hadist yang dilihat dari perawinya tidak mencapai tingkat
mutawatir atau terkadang mendekati jumlah hadist
mutawatir. Berbeda dengan hadist mutawatir, hadist ahad
mengalami pencabangan. Pencabangan ini dilatar
belakangi oleh jumlah perawi dalam masing-masing
thabaqat. Dalam hadist ahad dikenal dengan istilah hadist
masyhur, hadist aziz, dan hadist gharib.
1.Hadist masyhur adalah hadist yang diriwayatkan oleh
tiga orang atau lebih perawi hadist tetapi belum mencapai
tingkat mutawatir.
2.Hadist aziz adalah hadist yang diriwayatkan oleh dua
orang walaupun jumlah dimaksud hanya terdapat dalam
satu thabaqat.,kemudian setelah itu orang-orang
meriwayatkannya.
3.Hadist gharib adalah hadist yang dalam sanadnya
hanya terdapat seorang perawi hadist.
DAFTAR PUSTAKA

1.Suparta, Munzier. 2014. Ilmu Hadis. (Jakarta: Rajawali


Pers.)
2.Khon, Abdul Majid.2008. Ulumul Hadis. (Jakarta:
AMZAH)
3.Zein, Muhamad Ma’shum.2008.Ulumul Hadist dan
Mustholah Hadist, (Jombang: Darul Hikmah)
4.Suyadi, M. Solahudin dan Agus. 2008. Ulumul Hadis.
(Bandung: Pustaka Setia)
5.Rahman, Fathur. 1974. Ikhtisar Mushthalahul
Hadits.(Bandung: PT. Al Ma’arif)
6.Muslim, Moh. Akib. 2010. Ilmu Mustalahul Hadis.
(Yogyakarta: Nadi Offset)
7.http://dirasat-hadits-dan-
tarikh.blogspot.com/2013/02/beberapa-faedah-hadits-
ahad.html

Anda mungkin juga menyukai