Uts. HK Pajak
Uts. HK Pajak
Uts. HK Pajak
DOSEN :
Hj.WIWI YUHAENI , S.H,.M.H
UNIVERSITAS PASUNDAN
BANDUNG
Jl. Lengkong Besar No.68, Cikawao, Kec.
Lengkong, Kota Bandung, Jawa Barat 40261
SMT / KELAS : IV / J
SOAL
2. Apa yang dimakasud dengan hukum pajak material dan hukum pajak formil ?
Jelaskan !
(Kewenangannya)? Jelaskan !
4. Apa yang dimaksud dengan perlawanan terhadap pajak (TAX A VOIDANCE) dan
Disebut asas rechtsfilosofis karena asas ini mencari dasar pembenar terhadap pengenaan
pajak oleh negara. Oleh karena itu pertanyaan mendasar yang harus dicari jawabannya dari
asas ini adalah: mengapa negara mengenakan pajak terhadap rakyat? Atau, atas dasar apa
negara mempunyai kewenangan memungut pajak dari rakyat? Terhadap permasalahan
tersebut beberapa teori memberikan jawabannya
1. Teori Asuransi
Menurut Teori Asuransi, pajak diibaratkan sebagai suatu premi asuransi yang harus dibayar
oleh setiap orang karena orang mendapatkan perlindungan atas hak-haknya dari pemerintah
(Soemitro, 1992: 29). Teori ini menyamakan pajak dengan premi asuransi, di mana pembayar
pajak (wajib pajak) disamakan dengan pembayar premi asuransi, yakni pihak tertanggung.
Adapun negara disamakan dengan pihak penanggung dalam perjanjian asuransi. Dalam
perjanjian asuransi, hubungan antara prestasi dan kontraprestasi itu terjadi secara langsung.
Adanya pembayar premi yang merupakan kewajiban tertanggung berhubungan langsung
dengan haknya untuk menerima ganti rugi bila terjadi evenement. Sebaliknya, hak
sipenanggung untuk menerima pembayaran premi itu diimbangi dengan adanya kewajiban
untuk membayar ganti rugi bila terjadi evenement. Dalam kenyataannya negara tidak
memberikan ganti rugi begitu saja bila seseorang meninggal, mengalami musibah, dan
sebagainya, dan menerima klaim kerugian dari rakyat atas kerugian yang dideritanya bila
terjadi evenement. Justru untuk pajak, tidak diterima suatu imbalan yang secara langsung
dapat ditunjuk. Oleh karena mengandung banyak kelemahan, teori ini kemudian ditinggalkan.
Teori ini mengatakan bahwa negara mengenakan pajak terhadap rakyat karena negara telah
melindungi kepentingan rakyat. Teori ini mengukur besarnya pajak sesuai dengan besarnya
kepentingan wajib pajak yang dilindungi. Jadi semakin besar kepentingan yang dilindungi
maka semakin besar pula pajak yang harus dibayar (Soemitro, 1992: 30). Teori ini
menunjukkan bahwa dasar pembenar mengapa negara mengenakan pajak adalah karena
negara telah berjasa kepada rakyat selaku wajib pajak, di mana pembayaran pajak itu
besarnya ekuivalen (setara) besarnya jasa yang sudah diberikan oleh negara kepadanya. Teori
tersebut kiranya dapat menimbulkan pertanyaan: apakah hanya terhadap mereka yang
membayar pajak saja negara memberikan perlindungan ataupun jasanya? Bukankah semua
rakyat, termasuk yang tidak termasuk wajib pajak, juga memperoleh perlindungan? Apabila
besar kecilnya jasa yang diberikan oleh negara didasarkan pada besar kecilnya pajak yang
dibayar oleh orang yang bersangkutan, bukankah hal tersebut dapat menimbulkan
diskriminasi? Dalam kenyataan tidak seperti itu. Teori ini menyamakan pajak dengan
retribusi, di mana hubungan antara prestasi dan kontraprestasi terjadi secara langsung.
Fakultas Hukum
UNPAS
Bandung
3. Teori Kewajiban Pajak Mutlak
Teori ini sering disebut juga Teori Bakti. Teori tersebut didasarkan pada orgaan teory dari
Otto Von Gierke, yang menyatakan bahwa negara merupakan suatu kesatuan yang di
dalamnya setiap warga terikat. Tanpa ada “organ” atau lembaga, individu tidak mungkin
dapat hidup. Lembaga tersebut, oleh karena memberi hidup kepada warganya, dapat
membebani setiap anggota masyarakatnya dengan kewajiban-kewajiban, antara lain
kewajiban membayar pajak, kewajiban ikut mempertahankan hidup/negara dengan
milisi/wajib militer (Soemitro, 1992: 31). Dengan demikian negara dibenarkan membebani
warganya karena memang negara begitu berarti bagi warganya, sementara bagi rakyat,
membayar pajak merupakan sesuatu yang menunjukkan adanya bakti kepada negara
(Pudyatmono, 2009: 39).
Menurut teori ini pajak diibaratkan sebagai pompa yang menyedot daya beli
seseorang/anggota masyarakat yang kemudian dikembalikan lagi kepada masyarakat. Jadi
sebenarnya uang yang berasal dari rakyat dikembalikan lagi kepada masyarakat melalui
saluran lain. Pajak yang berasal dari rakyat kembali lagi kepada masyarakat tanpa dikurangi,
sehingga pajak hanya berfungsi sebagai pompa, menyedot uang dari rakyat yang akhirnya
dikembalikan lagi kepada masyarakat untuk kesejahteraan masyarakat sehingga pajak pada
hakikatnya tidak merugikan rakyat. Oleh sebab itu, pungutan pajak dapat dibenarkan
(Soemitro, 1992: 31). Logika berpikir teori ini adalah oleh karena pajak digunakan untuk
kepentingan umum maka baik mereka yang membayar pajak maupun tidak membayar pajak
memperoleh manfaat daripadanya. Jadi bukan dari satu pihak dibayar untuk pihak lain, di
mana pembayar tidak mendapatkan apa-apa. Dalam pajak pembayar pajak juga ikut
menikmati hasilnya (Pudyatmono, 2009: 40).
Pancasila mengandung sifat kekeluargaan dan gotong royong. Gotong royong dalam pajak
tidak lain daripada pengorbanan keluarga (anggota masyarakat) untuk kepentingan keluarga
(bersama) tanpa mendapatkan imbalan. Jadi berdasarkan Pancasila pemungutan pajak dapat
dibenarkan karena pembayaran pajak dipandang sebagai uang yang tidak keluar dari
lingkungan masyarakat tempat wajib pajak hidup. Akhirnya uang pajak digunakan untuk diri
sendiri, untuk kesejahteraan sendiri, untuk masyarakat sendiri. Individu, dalam hubungan ini,
tidak dapat dilihat terlepas dari keluarganya, dan anggota masyarakat tidak pula dapat
dipandang terlepas dari masyarakat dan lingkungannya. Hak asasi individu dihormati dan
hanya dapat dikurangi demi kepentingan umum (Soemitro, 1992: 31). Dari sisi hubungan
antara seseorang sebagai pribadi dengan sebagai anggota masyarakat semestinya
mendapatkan perlakuan selaras. Pajak merupakan wujud kebersamaan. Tidak terlalu sulit
kiranya memberikan contoh mengenai hal ini. Kalau pajak digunakan untuk membangun
sarana kesehatan berupa Puskemas maka dapat dibayangkan bahwa yang paling banyak
mendapatkan manfaat dari keberadaan Puskesmas adalah masyarakat golongan ekonomi
tidak/kurang mampu. Sementara itu kelompok masyarakat mampu yang notabene merupakan
pembayar pajak terbesar, umumnya tidak mau menggunakan Puskesmas tersebut sebagai
sarana untuk memenuhi kebutuhan kesehatannya. Fungsi subsidiaritas dan solidaritas sangat
diperlukan apabila kita sepakat untuk mempertahankan hubungan dan kesatuan dalam
berbangsa dan bernegara, disitulah peran pajak.
Fakultas Hukum
UNPAS
Bandung
Hukum pajak formal merupakan sekumpulan peraturan yang memuat tata cara untuk
mewujudkan hukum material menjadi kenyataan. Hukum pajak formil berisi ketentuan yang
memuat antara lain ;
1. Sistem dan prosedur pemungutan pajak
2. Ketentuan tentang pendaftaran/ registrasi
3. Ketentuan tentang pemberitahuan pelaksanaan kewajiban perpajakan
4. Tata cara pembayaran perpajakan
5. Tata cara pengembalian kelebihan pembayaran pajak
6. Penetapan dan surat ketetapan pajak
7. Kewajiban menyelenggarakan pembukuan dan/ atau pencatatan
8. Kewenangan Instansi perpajakan untuk melakukan pemeriksaan
9. Penagihan pajak dengan surat paksa
10. Sanksi administrasi di bidang perpajakan
11. Ketentuan tentang penyelenggaraan sengketa pajak
12. Tindak pidana di bidang perpajakan, dan
13. Penyidikan tindak pidana perpajakan.
Ketentuan hukum pajak formil terdapat dalam ;
a. Sistem dan prosedur pemungutan pajak secara umum diatur dalam UU no 6 tahun
1983 stdd UU no 28 th 2007 tentang ketentuan umum dan tata Cara perpajakan dan
juga secara khusus diatur dalam UU perpajakan terkait;
b. UU nomor 19 tahun 1997 stdd UU nomor 19 tahun 2000 tentang penagihan pajak dan
surat paksa, dan
c. UU nomor 14 tahun 2002 tentang pengadilan pajak
Berdasarkan golongan
•Pajak Langsung :
Pajak yang bebannya harus ditanggun sendiri oleh Wajib Pajak yang bersangkutan dan
tidak boleh dialihkan kepada orang lain. Contoh : Pajak Penghasilan.
•Pajak Tidak Langsung :
Pajak yang bebannya dapat dialihkan kepada pihak lain. Contoh : Pajak Pertambahan
Nilai dan Pajak Penjualan atas Barang Mewah.
Berdasarkan Sifat :
Fakultas Hukum
UNPAS
Bandung
• Pajak Subjektif :
Pajak yang memperhatikan keadaan Wajib Pajak. Dalam menentukan pajaknya, harus
ada alasan objektif yang berhubungan erat dengan keadaan materialnya. Contoh : Pajak
Penghasilan Oranf Pribadi.
• Pajak Objektif :
Pajak yang pada awalnya memerhatikan objek yang menyebabkan timbulnya kewajiban
membayar, kemudian baru dicari subjeknya.
Berdasarkan Wewenang :
Pajak Pusat / Pajak Negara :
Pajak yang wewenang pemungutannya ada pada pemerintah pusat yang pelaksanaannya
dilakukan oleh Departemen Keuangan melalui Direktorat Jenderal Pajak. Contoh : Pajak
Penghasilan, Pajak Pertambahan Nilai dan Pajak Penjualan atas Barang Mewah, Pajak
Bumi dan Bangunan, Bea Meterai, Bea Perolehan Hak atas Tanah dan Bangunan.
Pajak Daerah :
Pajak yang wewenang pemungutannya ada pada Pemerintah Daerah yang
pelaksanaannya dilakukan oleh Dinas Pendapatan Daerah. Pajak Daerah Tingkat I: Pajak
Kendaraan Bermotor dan Kendaraan diatas Air, Bea Balik Nama Kendaraan Bermotor
dan Kendaraan diatas Air, Pajak Bahan Bakar Kendaraan Bermotor dan Kendaraan
diatas Air, Pajak Pengambilan dan Pemanfaatan Air Bawah Tanah dan Air Permukaan.
Pajak Daerah Tingkat II : Pajak Hotel, Pajak Restoran, Pajak Hiburan, Pajak Reklame,
Pajak Penerangan Jalan, Pajak Pengambilan dan Pengolahan Bahan Galian Golongan C,
Pajak Parkir.
> Khusus jenis pajak Pajak Bumi dan Bangunan (PBB) mulai tahun 2012
pengelolaannya disebagian dialihkan kepada Pemerintah Daerah (Pemda)
Pengusaha dan pelaku UMKM yang memiliki pendapatan kurang dari Rp4,8 miliar dalam
satu tahun pajak dapat membayar pajak sebesar 0,5 persen dari peredaran brutonya.
Pengusaha nakal dapat saja menggunakan fasilitas ini bila wajib pajak tersebut memiliki
usaha pribadi dan badan dengan cara memecah-mecah laporan keuangan dari semua usaha
wajib pajak tersebut.
Contoh kasus bila Tn. A memiliki usaha pribadi dengan peredaran bruto sebesar lima miliar
rupiah dan perusahaan CV. TXN yang dimiliki Tn. A dengan peredaran bruto sebesar satu
miliar rupiah. Tn. A memecah peredaran bruto usaha pribadinya sebesar dua miliar rupiah ke
CV. TXN yang dimiliki Tn.A.