Uts. HK Pajak

Unduh sebagai pdf atau txt
Unduh sebagai pdf atau txt
Anda di halaman 1dari 8

UTS HK PAJAK - J

DOSEN :
Hj.WIWI YUHAENI , S.H,.M.H

ACEP BAMBANG NURJAMAN


181000243
Fakultas Hukum
UNPAS
Bandung

UNIVERSITAS PASUNDAN
BANDUNG
Jl. Lengkong Besar No.68, Cikawao, Kec.
Lengkong, Kota Bandung, Jawa Barat 40261

SOAL UJIAN TENGAH SEMESTER (UTS)


TAHUN AKADEMIK 2020/2021

MATA KULIAH : Hukum Pajak

Hari / Tanggal : Jum’at, 26,Maret 2021

SMT / KELAS : IV / J

WAKTU : 13.00 – 14.40

DOSEN : Hj. Wiwi Yuhaeni, SH., M.H.

SOAL

1. Bagaimana teori pembenaran pengungutan pajak ? Jelaskan !

2. Apa yang dimakasud dengan hukum pajak material dan hukum pajak formil ?

Jelaskan !

3. Bagaimana pembagian pajak menurut golongan, sifat dan pemungutannya

(Kewenangannya)? Jelaskan !

4. Apa yang dimaksud dengan perlawanan terhadap pajak (TAX A VOIDANCE) dan

ada berapa macam ? jelaskan !


Fakultas Hukum
UNPAS
Bandung

Nama : Acep Bambang Nurjaman


NRP : 181000243
Kelas : Hk Pajak - J
Pengampu : Hj. Wiwi Yuhaeni, S.H,.M.H

1. Asas Pembenaran Pemungutan Pajak oleh Negara (Rechtsfilosofis)

Disebut asas rechtsfilosofis karena asas ini mencari dasar pembenar terhadap pengenaan
pajak oleh negara. Oleh karena itu pertanyaan mendasar yang harus dicari jawabannya dari
asas ini adalah: mengapa negara mengenakan pajak terhadap rakyat? Atau, atas dasar apa
negara mempunyai kewenangan memungut pajak dari rakyat? Terhadap permasalahan
tersebut beberapa teori memberikan jawabannya

1. Teori Asuransi

Menurut Teori Asuransi, pajak diibaratkan sebagai suatu premi asuransi yang harus dibayar
oleh setiap orang karena orang mendapatkan perlindungan atas hak-haknya dari pemerintah
(Soemitro, 1992: 29). Teori ini menyamakan pajak dengan premi asuransi, di mana pembayar
pajak (wajib pajak) disamakan dengan pembayar premi asuransi, yakni pihak tertanggung.
Adapun negara disamakan dengan pihak penanggung dalam perjanjian asuransi. Dalam
perjanjian asuransi, hubungan antara prestasi dan kontraprestasi itu terjadi secara langsung.
Adanya pembayar premi yang merupakan kewajiban tertanggung berhubungan langsung
dengan haknya untuk menerima ganti rugi bila terjadi evenement. Sebaliknya, hak
sipenanggung untuk menerima pembayaran premi itu diimbangi dengan adanya kewajiban
untuk membayar ganti rugi bila terjadi evenement. Dalam kenyataannya negara tidak
memberikan ganti rugi begitu saja bila seseorang meninggal, mengalami musibah, dan
sebagainya, dan menerima klaim kerugian dari rakyat atas kerugian yang dideritanya bila
terjadi evenement. Justru untuk pajak, tidak diterima suatu imbalan yang secara langsung
dapat ditunjuk. Oleh karena mengandung banyak kelemahan, teori ini kemudian ditinggalkan.

2. Teori Kepentingan (Aequivalentie)

Teori ini mengatakan bahwa negara mengenakan pajak terhadap rakyat karena negara telah
melindungi kepentingan rakyat. Teori ini mengukur besarnya pajak sesuai dengan besarnya
kepentingan wajib pajak yang dilindungi. Jadi semakin besar kepentingan yang dilindungi
maka semakin besar pula pajak yang harus dibayar (Soemitro, 1992: 30). Teori ini
menunjukkan bahwa dasar pembenar mengapa negara mengenakan pajak adalah karena
negara telah berjasa kepada rakyat selaku wajib pajak, di mana pembayaran pajak itu
besarnya ekuivalen (setara) besarnya jasa yang sudah diberikan oleh negara kepadanya. Teori
tersebut kiranya dapat menimbulkan pertanyaan: apakah hanya terhadap mereka yang
membayar pajak saja negara memberikan perlindungan ataupun jasanya? Bukankah semua
rakyat, termasuk yang tidak termasuk wajib pajak, juga memperoleh perlindungan? Apabila
besar kecilnya jasa yang diberikan oleh negara didasarkan pada besar kecilnya pajak yang
dibayar oleh orang yang bersangkutan, bukankah hal tersebut dapat menimbulkan
diskriminasi? Dalam kenyataan tidak seperti itu. Teori ini menyamakan pajak dengan
retribusi, di mana hubungan antara prestasi dan kontraprestasi terjadi secara langsung.
Fakultas Hukum
UNPAS
Bandung
3. Teori Kewajiban Pajak Mutlak

Teori ini sering disebut juga Teori Bakti. Teori tersebut didasarkan pada orgaan teory dari
Otto Von Gierke, yang menyatakan bahwa negara merupakan suatu kesatuan yang di
dalamnya setiap warga terikat. Tanpa ada “organ” atau lembaga, individu tidak mungkin
dapat hidup. Lembaga tersebut, oleh karena memberi hidup kepada warganya, dapat
membebani setiap anggota masyarakatnya dengan kewajiban-kewajiban, antara lain
kewajiban membayar pajak, kewajiban ikut mempertahankan hidup/negara dengan
milisi/wajib militer (Soemitro, 1992: 31). Dengan demikian negara dibenarkan membebani
warganya karena memang negara begitu berarti bagi warganya, sementara bagi rakyat,
membayar pajak merupakan sesuatu yang menunjukkan adanya bakti kepada negara
(Pudyatmono, 2009: 39).

4. Teori Daya Beli

Menurut teori ini pajak diibaratkan sebagai pompa yang menyedot daya beli
seseorang/anggota masyarakat yang kemudian dikembalikan lagi kepada masyarakat. Jadi
sebenarnya uang yang berasal dari rakyat dikembalikan lagi kepada masyarakat melalui
saluran lain. Pajak yang berasal dari rakyat kembali lagi kepada masyarakat tanpa dikurangi,
sehingga pajak hanya berfungsi sebagai pompa, menyedot uang dari rakyat yang akhirnya
dikembalikan lagi kepada masyarakat untuk kesejahteraan masyarakat sehingga pajak pada
hakikatnya tidak merugikan rakyat. Oleh sebab itu, pungutan pajak dapat dibenarkan
(Soemitro, 1992: 31). Logika berpikir teori ini adalah oleh karena pajak digunakan untuk
kepentingan umum maka baik mereka yang membayar pajak maupun tidak membayar pajak
memperoleh manfaat daripadanya. Jadi bukan dari satu pihak dibayar untuk pihak lain, di
mana pembayar tidak mendapatkan apa-apa. Dalam pajak pembayar pajak juga ikut
menikmati hasilnya (Pudyatmono, 2009: 40).

5. Teori Pembenaran Pajak Menurut Pancasila

Pancasila mengandung sifat kekeluargaan dan gotong royong. Gotong royong dalam pajak
tidak lain daripada pengorbanan keluarga (anggota masyarakat) untuk kepentingan keluarga
(bersama) tanpa mendapatkan imbalan. Jadi berdasarkan Pancasila pemungutan pajak dapat
dibenarkan karena pembayaran pajak dipandang sebagai uang yang tidak keluar dari
lingkungan masyarakat tempat wajib pajak hidup. Akhirnya uang pajak digunakan untuk diri
sendiri, untuk kesejahteraan sendiri, untuk masyarakat sendiri. Individu, dalam hubungan ini,
tidak dapat dilihat terlepas dari keluarganya, dan anggota masyarakat tidak pula dapat
dipandang terlepas dari masyarakat dan lingkungannya. Hak asasi individu dihormati dan
hanya dapat dikurangi demi kepentingan umum (Soemitro, 1992: 31). Dari sisi hubungan
antara seseorang sebagai pribadi dengan sebagai anggota masyarakat semestinya
mendapatkan perlakuan selaras. Pajak merupakan wujud kebersamaan. Tidak terlalu sulit
kiranya memberikan contoh mengenai hal ini. Kalau pajak digunakan untuk membangun
sarana kesehatan berupa Puskemas maka dapat dibayangkan bahwa yang paling banyak
mendapatkan manfaat dari keberadaan Puskesmas adalah masyarakat golongan ekonomi
tidak/kurang mampu. Sementara itu kelompok masyarakat mampu yang notabene merupakan
pembayar pajak terbesar, umumnya tidak mau menggunakan Puskesmas tersebut sebagai
sarana untuk memenuhi kebutuhan kesehatannya. Fungsi subsidiaritas dan solidaritas sangat
diperlukan apabila kita sepakat untuk mempertahankan hubungan dan kesatuan dalam
berbangsa dan bernegara, disitulah peran pajak.
Fakultas Hukum
UNPAS
Bandung

2. Hukum pajak material adalah peraturan perundang-undangan yang mengatur tentang


keadaan, perbuatan, peristiwa hukum yang menjadi syarat untuk dapat dikenai pajak atau
menjadi objek pajak (syarat tatbestand pajak), siapa yang dikenakan pajak (sebjek pajak),
berapa besar pajak yang dikenakan (tarif), hal yang menjadi syarat timbul dan hapusnya
utang pajak, dan hubungan hukum antara pemerintah dan wajib pajak dalam pemenuhan hak
dan pelaksanaan perpajakan. Pajak materil dibagi menjadi bebarapa yaitu :
a. Pajak penghasilan
b. Pajak bumi dan bangunan

Hukum pajak formal merupakan sekumpulan peraturan yang memuat tata cara untuk
mewujudkan hukum material menjadi kenyataan. Hukum pajak formil berisi ketentuan yang
memuat antara lain ;
1. Sistem dan prosedur pemungutan pajak
2. Ketentuan tentang pendaftaran/ registrasi
3. Ketentuan tentang pemberitahuan pelaksanaan kewajiban perpajakan
4. Tata cara pembayaran perpajakan
5. Tata cara pengembalian kelebihan pembayaran pajak
6. Penetapan dan surat ketetapan pajak
7. Kewajiban menyelenggarakan pembukuan dan/ atau pencatatan
8. Kewenangan Instansi perpajakan untuk melakukan pemeriksaan
9. Penagihan pajak dengan surat paksa
10. Sanksi administrasi di bidang perpajakan
11. Ketentuan tentang penyelenggaraan sengketa pajak
12. Tindak pidana di bidang perpajakan, dan
13. Penyidikan tindak pidana perpajakan.
Ketentuan hukum pajak formil terdapat dalam ;
a. Sistem dan prosedur pemungutan pajak secara umum diatur dalam UU no 6 tahun
1983 stdd UU no 28 th 2007 tentang ketentuan umum dan tata Cara perpajakan dan
juga secara khusus diatur dalam UU perpajakan terkait;
b. UU nomor 19 tahun 1997 stdd UU nomor 19 tahun 2000 tentang penagihan pajak dan
surat paksa, dan
c. UU nomor 14 tahun 2002 tentang pengadilan pajak

3. Pembagian pajak dapat dilihat berdasarkan golongan, sifat dan pemungutannya.


Berdasarkan Golongan seperti Pajak Langsung dan Pajak tak Langsung, berdasarkan
Wewenang seperti Pajak Pusat dan Pajak daerah, dan berdasarkan Sifat seperti Pajak
Subjektif dan Pajak Objektif. Berikut uraiannya :

Berdasarkan golongan
•Pajak Langsung :
Pajak yang bebannya harus ditanggun sendiri oleh Wajib Pajak yang bersangkutan dan
tidak boleh dialihkan kepada orang lain. Contoh : Pajak Penghasilan.
•Pajak Tidak Langsung :
Pajak yang bebannya dapat dialihkan kepada pihak lain. Contoh : Pajak Pertambahan
Nilai dan Pajak Penjualan atas Barang Mewah.

Berdasarkan Sifat :
Fakultas Hukum
UNPAS
Bandung
• Pajak Subjektif :
Pajak yang memperhatikan keadaan Wajib Pajak. Dalam menentukan pajaknya, harus
ada alasan objektif yang berhubungan erat dengan keadaan materialnya. Contoh : Pajak
Penghasilan Oranf Pribadi.
• Pajak Objektif :
Pajak yang pada awalnya memerhatikan objek yang menyebabkan timbulnya kewajiban
membayar, kemudian baru dicari subjeknya.

Berdasarkan Wewenang :
Pajak Pusat / Pajak Negara :
Pajak yang wewenang pemungutannya ada pada pemerintah pusat yang pelaksanaannya
dilakukan oleh Departemen Keuangan melalui Direktorat Jenderal Pajak. Contoh : Pajak
Penghasilan, Pajak Pertambahan Nilai dan Pajak Penjualan atas Barang Mewah, Pajak
Bumi dan Bangunan, Bea Meterai, Bea Perolehan Hak atas Tanah dan Bangunan.

Pajak Daerah :
Pajak yang wewenang pemungutannya ada pada Pemerintah Daerah yang
pelaksanaannya dilakukan oleh Dinas Pendapatan Daerah. Pajak Daerah Tingkat I: Pajak
Kendaraan Bermotor dan Kendaraan diatas Air, Bea Balik Nama Kendaraan Bermotor
dan Kendaraan diatas Air, Pajak Bahan Bakar Kendaraan Bermotor dan Kendaraan
diatas Air, Pajak Pengambilan dan Pemanfaatan Air Bawah Tanah dan Air Permukaan.
Pajak Daerah Tingkat II : Pajak Hotel, Pajak Restoran, Pajak Hiburan, Pajak Reklame,
Pajak Penerangan Jalan, Pajak Pengambilan dan Pengolahan Bahan Galian Golongan C,
Pajak Parkir.

> Khusus jenis pajak Pajak Bumi dan Bangunan (PBB) mulai tahun 2012
pengelolaannya disebagian dialihkan kepada Pemerintah Daerah (Pemda)

4. Tax Avoidance dalam bahasa Indonesia merupakan penghindaran pajak. Penghindaran


Pajak ini ialah perlawanan aktif yang berasal dari wajib pajak, hal ini dilakukan ketika
SKP (Surat Ketetapan Pajak) belum dikeluarkan ,Tax Avoidance ini dilakukan untuk
mengindari kewajiban perpajakan atau untuk mengurangi kewajiban perpajakan. Tax
Avoidance ini belum diatur secara gamblang dalam perundang-undangan di Indonesia
• Dalam penghindaran pajak ini, wajib pajak tidak secara jelas melanggar
undang-undang sekalipun kadang-kadang dengan jelas menafsirkan
undang-undang tidaksesuai dengan maksud dan tujuan pembuat
undang-undang.Penghindaran pajakdilakukan dengan 3 cara, yaitu:
1. Menahan DiriYang dimaksud dengan menahan diri yaitu wajib pajak
tidak melakukansesuatu yang bisa dikenai pajak. Contoh: Tidak
merokok agar terhindar daricukai tembakau
2. Pindah LokasiMemindahkan lokasi usaha atau domisili dari lokasi yang tarif
pajaknya tinggike l oka si yang t ari f paj akn ya rendah. C ont oh: Di
Indon esi a, di beri kan keringanan bagi investor yang ingin
menanamkan modalnya di IndonesiaTimur.
3. Penghindaran Pajak secara YuridisPerbuatan dengan cara sedemikian rupa
sehingga perbuatan-perbuatan yangdilakukan tidak terkena pajak.
Biasanya dilakukan dengan memanfaatkankekosongan atau ketidak
jelasan undang-undang
• Karakteristik Wajib Pajak yang melakukan Praktik Tax Avoidance
Fakultas Hukum
UNPAS
Bandung
Karakteristik ini dapat dibedakan menurut golongan wajib pajak , mulai dari wajib pajak
besar dan wajib pajak biasa. Wajib pajak besar cenderung memanfaatkan sektor keuangannya
yang besar untuk menyewa ahli hukum dan konsultan yang handal dan tau celah-celah di
dalam undang-undang perpajakan sedangkan wajib pajak biasa biasanya menahan untuk
membeli , mempergunakan , bekerja pada sesuatu hal untuk menghindari terkena pajak baik
PPN maupun PPh.
• Bagaimana praktik Tax Avoidance yang sering terjadi di Indonesia?
Praktik Tax Avoidance Wajib Pajak masih dilakukan karena adanya pepatah kuno yang
menyatakan “ Tak seorang pun suka membayar Pajak “. Banyak cara dilakukan wajib pajak
dalam menghindari pajak. Cara yang dilakukan sebagai berikut
1. Pinjaman ke Bank yang nominalnya besar
Pasal 6 ayat (1) huruf a Undang- Undang Pajak Penghasilan memasukan bunga
menjadi biaya yang secara langsung atau tidak langsung berkaitan dengan kegiatan
usaha. Wajib Pajak meminjam ke bank dengan nominal yang besar sehingga bunga
pinjaman semakin besar pula, bunga pinjaman ini dibebankan dalam laproan
keuangan fiskal Wajib Pajak tetapi pinjaman tersebut bukan untuk menambah modal
wajib pajak sehingga penjualan tidak berkembang dan membuat keuntungan tidak
bertambah.

2. Pemberian natura dan kenikmatan


Pasal 9 ayat 1e menjelaskan pemberian natura (kecuali penyediaan makanan dan
minuman bagi seluruh pegawai serta penggantian atau imbalan dalam bentuk natura
dan kenikmatan di daerah tertentu tidak boleh dibebankan menjadi biaya yang dapat
dikurangkan. Praktik ini misalnya pegawai diberi tunjangan beras (natura) di daerah
yang bukan daerah tertentu dalam bentuk beras utuh. Praktik ini sebenarnya tidak
boleh dibiayakan dalam laproan keuangan fiskal perusahaan karena beras tersebut
bukan merupakan penghasilan bagi karyawannya. Perusahaan mencari cara agar
pemberian natura tersebut dapat dibiayakan dengan cara memberi tunjangan beras
dalam bentuk uang sehingga bagi karyawan tunjangan tersebut merupakan
penghasilan yang menjadi obyek pajak sedangkan bagi perusahaan tunjangan tersebut
merupakan beban yang dapat dibiayakan dalam laproan keuangan fiskal tetap
dibiayakan karena perusahaan memberi uang kepada yayasan penyalur beras (hal ini
Fakultas Hukum
UNPAS
Bandung
bisa menjadi biaya yang dapat dikurangkan dari penghasilan bruto perusahaan sesuai
Pasal 6 ayat (1) huruf b)
3. Hibah
Hibah yang terdapat dalam Pasal 4 ayat (3) huruf a angka 2 UU No.36 tahun 2008
mengatur bahwa harta hibahan yang diterima oleh keluarga sedarah dalam garis
keturunan lurus satu derajat dikecualikan dari objek Pajak. Harta hibahan seperti
tanah , bangunan yang diberikan oleh kakek kepada cucunya merupakan obyek pajak
karena harta hibahan yang diterima bukan dalam garis keturunan lurus satu derajat.
Wajib Pajak seperti kakek tersbeut mencari celah agar tidak dikenakan PPh dengan
cara memberi harta hibahan misalnya tanak ke Tn.A yang merupakan anak dari sang
kakek , kemudian harta yang secara sah sudah Hak milik Tn.A diberikan lagi ke Tn. B
yang merupakan anak dari Tn. A yang merupakan cucu sang kakek

4. Pemanfaatan PP Nomor 23 tahun 2018

Pengusaha dan pelaku UMKM yang memiliki pendapatan kurang dari Rp4,8 miliar dalam
satu tahun pajak dapat membayar pajak sebesar 0,5 persen dari peredaran brutonya.
Pengusaha nakal dapat saja menggunakan fasilitas ini bila wajib pajak tersebut memiliki
usaha pribadi dan badan dengan cara memecah-mecah laporan keuangan dari semua usaha
wajib pajak tersebut.

Contoh kasus bila Tn. A memiliki usaha pribadi dengan peredaran bruto sebesar lima miliar
rupiah dan perusahaan CV. TXN yang dimiliki Tn. A dengan peredaran bruto sebesar satu
miliar rupiah. Tn. A memecah peredaran bruto usaha pribadinya sebesar dua miliar rupiah ke
CV. TXN yang dimiliki Tn.A.

Reference: Ruang Baca Virtual UT

Anda mungkin juga menyukai