Pajak

Unduh sebagai pdf atau txt
Unduh sebagai pdf atau txt
Anda di halaman 1dari 130

1

BAB I
DASAR-DASAR PERPAJAKAN

DEFINISI DAN UNSUR PAJAK


Definisi atau pengertian pajak menurut Prof. Dr. Rochmat Soemitro, SH:
Pajak adalah iuran rakyat kepada kas Negara berdasarkan undang-undang (yang dapat
dipaksakan) dengan tiada mendapat jasa timbale (kontraprestasi) yang langsung dapat
ditunjukkan dan yang digunakan untuk membayar pengeluaran umum.
Dari definisi tersebut, dapat disimpulkan bahwa pajak memiliki unsure-unsur:
1. Iuran dari rakyat kepada Negara
Yang berhak memungut pajak hanyalah Negara. Iuran tersebut berupa uang (bukan
barang)
2. Berdasarkan undang-undang
Pajak dipungut berdasarkan atau dengan kekuatan undang-undang serta aturan
pelaksanaannya.
3. Tanpa jasa timbal atau kontraprestasi dari Negara yang secara langsung dapat ditunjuk.
Dalam pembayaran pajak tidak dapat ditunjukkan adanya kontraprestasi individual oleh
pemerintah.
4. Digunakan untuk membiayai rumah tangga Negara, yakni pengeluaran-pengeluaran yang
bermanfaat bagi masyarakat luas.
FUNGSI PAJAK
Ada dua fungsi pajak, yaitu:
1. Fungsi budgetair
Pajak sebagai sumber dana bagi pemerintah untuk membiayai pengeluaranpengeluarannya.
2. Fungsi mengatur (regulrend)
Pajak sebagai alat untuk mengatur atau melaksanakan kebijaksanaan pemerintah dalam
bidang social dan ekonomi.

UNIBA | Perpajakan Anjar Wibisono

SYARAT PEMUNGUTAN PAJAK


Agar pemungutan pajak tidak menimbulkan hambatan atau perlawanan,maka pemungutan pajak
harus memenuhi syarat:
1. Pemungutan pajak harus adil (Syarat keadilan)
Sesuai dengan tujuan hokum, yakni mencapai keadilan, undang-undang dan pelaksanaan
pemungutan harus adil. Adil dalam perundang-undangan diantaranya mengenakan pajak
secara umum dan merata, serta disesuaikan dengan kemampuan masing-masing. Sedang
adil dalam pelaksanaannya yakni dengan memberikan hak bagi wajib pajak untuk
mengajukan keberatan, penundaan dalam pembayaran dan mengajukan banding kepada
Majelis Pertimbangan Pajak.
2. Pemungutan pajak harus berdasarkan undang-undang (Syarat Yuridis)
Di Indonesia, pajak diatur dalam UUD 1945 pasal 23 ayat 2. Hal ini memberikan jaminan
hokum untuk menyatakan keadilan, baik bagi Negara maupun warganya.
3. Tidak mengganggu perekonomian (Syarat Ekonomis)
Pemungutan tidak boleh mengganggu kelancaran kegiatan produksi maupun
perdagangan, sehingga tidak menimbulkan kelesuan perekonomian masyarakat.
4. Pemungutan pajak harus efisien (Syarat Finansiil)
Sesuai fungsi budgetair, biaya pemungutan pajak harus dapat ditekan sehingga lebih
rendah dari hasil pemungutannya.
5. System pemungutan pajak harus sederhana
System pemungutan yang sederhanan akan memudahkan dan mendorong masyarakat
dalam memenuhi kewajiban perpajakannya. Syarat ini telah dipenuhi oleh undangundang perpajakan yang baru.

TEORI-TEORI YANG MENDUKUNG PEMUNGUTAN PAJAK


Terdapat beberapa teori yang menjelaskan atau memberikan justifikasi pemberian hak kepada
Negara untuk memungut pajak. Teori tersebut adalah:
1. Teori Asuransi
Negara melindungi keselamatan jiwa,harta benda dan hak-hak rakyatnya. Oleh karena
itu rakyat harus membayar pajak yang diibaratkan sebagai suatu premi asuransi karena
memperoleh jaminan perlindungan tersebut.
2. Teori Kepentingan
Pembagian beban pajak kepada rakyat didasarkan pada kepentingan (misalnya
perlindungan) masing-masing orang. Semakin besar kepentingan seseorang terhadap
Negara, makin tinggi pajak yang harus dibayar.

UNIBA | Perpajakan Anjar Wibisono

3. Teori Daya Pikul


Beban pajak untuk semua orang harus sama beratnya, artinya pajak harus dibayar sesuai
dengan daya pikul masing-masing orang. Untuk mengukur daya pikul dapat digunakan 2
pendekatan yaitu:
Unsur objektif, dengan melihat besarnya penghasilan atau kekayaan yang
dimiliki oleh seseorang.
Unsur subjektif, dengan memperhatikan besarnya kebutuhan materiil yang harus
dipenuhi.
4. Teori Bakti
Dasar keadilan pemungutan pajak terletak pada hubungan rakyat dengan negaranya.
Sebagai warga Negara yang berbakti, rakyat harus selalu menyadari bahwa pembayaran
pajak adalah sebagai suatu kewajiban.
5. Teori Asas daya Beli
Dasar keadilan terletak pada akibat pemungutan pajak. Maksudnya memungut pajak
berarti menarik daya beli dari rumha tangga masyarakat untuk rumah tangga Negara.
Selanjutnya Negara akan menyalurkannya kembali ke masayarakat dalam bentuk
pemeliharaan kesejahteraan masayarakat. Dengan demikian kepentingan seluruh
masayarakat lebih diutamakan.

KEDUDUKAN HUKUM PAJAK


Menurut Prof. Dr. Rochmat Soemitro, SH., Hukum Pajak mempunyai kedudukan di antara
hukum-hukum sebagai berikut:
1. Hukum Perdata, mengatur hubungan antara satu individu dengan individu lainnya.
2. Hukum Publik, mengatur hubungan antara emerintah dengan rakyatnya. Hokum ini
dirinci lagi sebagai berikut:
Hukum Tata Negara
Hukum Tata Usaha (Hukum Administratif)
Hukum Pajak
Hukum Pidana
Dengan demikian kedudukan hukum pajak merupakan bagian dari hukum public.
Dalam mempelajari bidang hukum, berlaku apa yang disebut Lex Specialis derogat Lex
Generalis, yang artinya peraturan khusus lebih diutamakan dari pada peraturan umum atau jika
sesuatu ketentuan belum atau tidak diatur dalam peraturan khusus maka akan berlaku ketentuan
yang diatur dalam peraturan umum. Dalam hal ini, peraturan khusus adalah hukum pajak,
sedangkan peraturan umum adalah hukum public atau hukum lain yang sudah ada sebelumnya.
Hukum pajak menganut paham imperative, yakni pelaksanaannya tidak dapat ditunda. Misalnya
dalam hal pengajuan kebaratan, sebelum ada keputusan dari Direktur Jenderal Pajak bahwa
UNIBA | Perpajakan Anjar Wibisono

keberatan tersebut diterima, maka Wajib Pajak yang mengajukan keberatan terlebih dahulu
membayar pajak, sesuai dengan yang telah ditetapkan. Berbeda dengan hukum pidana yang
manganut paham oportunitas, yakni pelaksanaannya dapat ditunda setelah ada keputusan lain.
HUKUM PAJAK MATERIIL DAN HUKUM PAJAK FORMIL
Hukum Pajak mengatur hubungan antara pemerintah (fiscus) selaku pemungut pajak dengan
rakyat sebagai Wajib Pajak. Ada 2 macam hukum pajak yakni:
1. Hukum pajak materiil, memuat norma-norma yang menerangkan antara lain keadaan,
perbuatan, peristiwa hukum yang dikenai pajak (objek pajak), siapa yang dikenakan
pajak (subjek), berapa besar pajak yang dikenakan (tariff), segala sesuatu tentang timbul
dan hapusnya utang pajak da hubungan hukum antara pemerintah dan wajib pajak.
2. Hukum pajak formil, memuat bentuk/tata cara untuk mewujudkan hukum materiil
menjadi kenyataan (cara melaksanakan hokum pajak materiil). Hukum ini memuat antara
lain:
a. Tata cara penyelenggaraan (prosedur) penetapan suatu utang pajak.
b. Hak-hak fiskus untuk mengadakan pengawasan terhadap para wajib pajak mengenai
keadaan, perbuatan dan peristiwa yang menimbulkan utang pajak.
c. Kewajiban wajib pajak misalnya menyelenggarakan pembukuan/pencatatan dan hakhak wajib pajak misalnya mengajukan keberatan dan banding.
PENGELOMPOKAN PAJAK
1. Menurut golongannya
a. Pajak langsung, yaitu pajak yang harus dipikul sendiri oleh wajib pajak dan tidak
dapat dibebankan atau dilimpahkan kepada orang lain.
b. Pajak tidak langsung, yaitu pajak yang pada akhirnya dapat dibebankan atau
dilimpahkan kepada orang lain.
2. Menurut sifatnya
a. Pajak Subjektif, yaitu pajak yang berpangkal atau berdasarkan pada subjeknya, dalam
arti memperhatikan keadaan diri wajib pajak.
b. Pajak Objektif, yaitu pajak yang berpangkal pada okjeknya, tanpa memperhatikan
keadaan diri wajib pajak.
3. Menurut lembaga pemungutnya
a. Pajak pusat, yaitu pajak yang dipungut oleh pemerintah pusat dan digunakan untuk
membiayai rumah tangga Negara.
b. Pajak daerah, yaitu pajak yang dipungut oleh pemerintah daerah dan digunakan untuk
membiayai rumha tangga daerah.
Pajak daerah terdiri dari:
Pajak propinsi, contoh: Pajak kendaraan bermotor dan Pajak bahan bakar
kendaraan bermotor
Pajak kabupaten/kota, contoh: Pajak hotel, Pajak restoran dan Pajak hiburan.

UNIBA | Perpajakan Anjar Wibisono

TATA CARA PEMUNGUTAN PAJAK


1. Stelsel Pajak
Pemungutan pajak dapat dilakukan berdasarkan 3 stelsel:
a. Stelsel nyata (riel stelsel)
Pengenaan pajak didasarkan pada objek (penghasilan yang nyata), sehingga
pemungutannya baru dapat dilakukan pada akhir tahun pajak yakni setelah
penghasilan yang sesungguhnya diketahui. Stelsel nyata mempunyai kelebihan atau
kebaikan dan kekurangan. Kebaikan stelsel ini adalah pajak yang dikenakan lebih
realistis. Sedangkan kelemahannya adalah pajak baru dapat dikenakan pada akhir
periode (setelah penghasilan riil diketahui).
b. Stelsel anggapan (fictieve stelsel)
Pengenaan pajak didasarkan pada suatu anggapan yang diatur oleh undang-undang.
Misalnya, penghasilan suatu tahun dianggap sama dengan tahun sebelumnya,
sehingga pada awal tahun pajak sudah dapat ditetapkan besarnya pajak yang terutang
untuk tahun pajak berjalan. Kebaikan stelsel ini adalah pajak dapat dibayar selama
tahun berjalan, tanpa harus menunggu pada akhir tahun. Sedangkan kelemahannya
adalah pajak yang dibayar tidak berdasarkan pada keadaan yang sesungguhnya.
c. Stelsel campuran
Stelsel ini merupakan kombinasi antara stelsel nyata dan stelsel anggapan. Pada awal
tahun, besarnya pajak dihitung berdasarkan suatu anggapan, kemudian pada akhir
tahun besarnya pajak disesuaikan dengan keadaan yang sebenarnya. Bila besarnya
pajak menurut kenyataan lebih besar dari pada pajak menurut anggapan, maka wajib
pajak harus menambah. Sebaliknya, jika lebih kecil kelebihannya dapat diminta
kembali.
2. Asas Pemungutan Pajak
a. Asas domisili (asas tempat tinggal)
Negara berhak mengenakan pajak atas seluruh penghasilan wajib pajak yang
bertempat tinggal di wilayahnya, baik penghasilan yang berasal dari dalam maupun
dari luar negeri. Asas ini berlaku untuk wajib pajak dalam negeri.
b. Asas sumber
Negara berhak mengenakan pajak atas penghasilan yang bersumber di wilayahnya
tanpa memperhatikan tempat tinggal wajib pajak.
c. Asas kebangsaan
Pengenaan pajak dihubungkan dengan kebangsaan suatu Negara.
3. System pemungutan pajak
a. Official assessment system
Adalah suatu system pemungutan yang member wewenang kepada pemerintah
(fiskus) untuk menentukan besarnya pajak yang terutang oleh wajib pajak.
Ciri-cirinya:
1. Wewenang untuk menentukan besarnya pajak terutang ada pada fiskus
2. Wajib pajak bersifat pasif
3. Utang pajak timbul setelah dikeluarkan surat ketetapan pajak oleh fiskus

UNIBA | Perpajakan Anjar Wibisono

b. Self assessment system


Adalah suatu system pemungutan pajak yang member wewenang kepada wajib pajak
untuk menentukan sendiri besarnya pajak yang terutang.
Ciri-cirinya:
1. Wewenang untuk menentukan besarnya pajak terutag ada pada wajib pajak
sendiri
2. Wajib pajak aktif, mulai dari menghitung, menyetor dan melaporkan sendiri pajak
yang terutang
3. Fiskus tidak ikut campur dan hanya mengawasi
c. With holding system
Adalah suatu system pemungutan pajak yang memberi wewenang kepada pihak
ketiga (bukan fiskus dan bukan wajib pajak yang bersangkutan) untuk menentukan
besarnya pajak yang terutang oleh wajib pajak
Ciri-ciri: wewenang menentukan besarnya pajak yang terutang ada pada pihak ketiga,
pihak selain fiskus dan wajib pajak
TIMBUL DAN HAPUSNYA UTANG PAJAK
Ada dua ajaran yang mengatur timbulnya utang pajak:
1. Ajaran formil
Utang pajak timbul karena dikeluarkannya surat ketetapan pajak oleh fiskus. Ajaran ini
diterapkan pada official assessment system.
2. Ajaran materiil
Utang pajak timbul karena berlakunya undang-undang. Seseorang dikenai pajak karena
suatu keadaan dan perbuatan. Ajaran ini diterapkan pada self assessment system.
Hapusnya utang pajak dapat disebabkan beberapa hal:
1. Pembayaran
2. Kompensasi
3. Daluwarsa
4. Pembebasan dan penghapusan

HAMBATAN PEMUNGUTAN PAJAK


Hambatan terhadap pemungutan pajak dapat dikelompokkan menjadi:
1. Perlawanan pasif
Masyarakat enggan (pasif) membayar pajak, yang dapat disebabkan antara lain:
a. Perkembangan intelektual dan moral masyarakat
b. System perpajakan yang (mungkin) sulit dipahami masyarakat
c. System control tidak dapat dilakukan atau dilaksanakan dengan baik

UNIBA | Perpajakan Anjar Wibisono

2. Perlawanan aktif
Perlawanan aktif meliputi semua usaha dan perbuatan yang secara langsung ditujukan
kepada fiskus dengan tujuan untuk menghindari pajak.
Bentuknya antara lain:
a. Tax avoidance, usaha meringankan beban pajak dengan tidak melanggar undangundang
b. Tax evasion, usaha meringankan beban pajak dengan cara melanggar undang-undang
(menggelapkan pajak)

TARIF PAJAK
Ada 4 macam tariff pajak:
1. Tariff sebanding/proporsional
Tariff berupa persentase yang tetap, terhadap berapapun jumlah yang dikenai pajak
sehinga besarnya pajak yang terutang proporsional terhadap besarnya nilai yang dikenai
pajak
2. Tariff tetap
Tariff berupa jumlah yang tetap (sama) terhadap berapapun jumlah yang dikenai pajak
sehingga besarnya pajak yang terutang tetap
3. Tariff progresif
Persentase tariff yang digunakan semakin besar bila jumlah yang dikenai pajak semakin
besar.
Menurut kenaikan persentase tarifnya, tariff progresif dibagi:
a. Tariff progresif progresif
: kenaikan persentase semakin besar
b. Tariff progresif tetap
: kenaikan persentase tetap
c. Tariff progresif degresif
: kenaikan persentase semakin kecil
4. Tariff degresif
Persentase tariff yang digunakan semakin kecil bila jumlah yang dikenai pajak semakin
besar.

UNIBA | Perpajakan Anjar Wibisono

BAB II
PAJAK NEGARA DAN PAJAK DAERAH
Pengenaan pajak di Indonesia dapat dikelompokkan menjadi 2 bagian yaitu Pajak Negara dan
Pajak Daerah.
PAJAK NEGARA
Pajak Negara yang sampai saat ini masih berlaku adalah:
1. Pajak Penghasilan (PPh)
Dasar hukum pengenaan pajak penghasilan adalah Undang-undang No.7 tahun 1984
sebagaimana telah diubah terakhir dengan undang-undang No.17 tahun 2000. Undangundang pajak penghasilan berlaku mulai tahun 1984 dan merupakan pengganti UU Pajak
Perseroan 1925, UU Pajak Pendapatan 1944, UU PBDR 1970.
2. Pajak pertambahan nilai dan pajak penjualan atas barang mewah (PPN & PPn BM)
Dasar hukum pengenaan PPN & PPn BM adalah Undang-undang No.8 tahun 1983
sebagaimaa telah diubah terkahir dengan undang-undang no.18 tahun 2000. Undangundang PPN & PPn BM efektif mulai berlaku sejak tanggal 1 April 1985 dan merupakan
pengganti UU Pajak Penjualan 1951.
3. Bea materai
Dasar hukum pengenaan Bea materai adalah Undang-undang No.13 tahun 1985. Undangundang Bea materai berlaku mulai tanggal 1 Januari 1986 menggantikan peraturan dan
undang-undang bea materai yang lama (Aturan Bea materai 1921)
4. Pajak bumi dan bangunan (PBB)
Dasar hukum pengenaan pajak bumi dan bangunan adalah undang-undang No.12 tahun
1985 sebagaimana telah diubah dengan Undang-undang No.12 tahun 1994. Undangundang PBB berlaku mulai tanggal 1 Januari 1986 dan merupakan pengganti:
a. Ordonansi pajak rumah tangga tahun 1908
b. Ordonansi verponding Indonesia tahun 1923
c. Ordonansi pajak kekayaan tahun 1932
d. Ordonansi verponding tahun 1928
e. Ordonansi pajak jalan tahun 1942
Tariff pajak sebagaimana dimaksud pada angka 1 s/d 4 ditetapkan seragam di seluruh Indonesia
dan diatur dengan Peraturan Pemerintah
Tariff pajak sebagaimana dimaksud pada angka 5 s/d 11 ditetapkan dengan Peraturan daerah

UNIBA | Perpajakan Anjar Wibisono

TATA CARA PELAKSANAAN PEMUNGUTAN PAJAK DAN TATA CARA


PENGHAPUSAN PIUTANG PAJAK YANG KADALUWARSA
Tata cara pelaksanaan pemungutan pajak ditetapkan oleh Kepala Daerah. Piutang Pajak yang
tidak mungkin ditagih lagi karena hak untuk melakukan penagihan sudah kadaluwarsa dapat
dihapuskan. Penghapusan piutang pajak propinsi dan penghapusan piutang pajak kabupaten atau
kota yang sudah kadaluwarsa dilakukan dengan keputusan yang masing-masing ditetapkan oleh
Gubernur dan Bupati atau Walikota. Tata cara penghapusan piutang pajak yang sudah
kadaluwarsa diatur dengan Peraturan Daerah.
RETRIBUSI DAERAH
Beberapa pengertian istilah yang terkait dengan Retribusi Daerah antara lain;
1. Retribusi Daerah, yang selanjutnya disebut Retribusi, adalah pungutan Daerah sebagai
pembayaran atas jasa atau pemberian izin tertentu yang khusus disediaakn dan/atau
diberikan oleh Pemerintah Daerah untuk kepentingan orang pribadi atau badan.
2. Jasa, adalah kegiatan Pemerintah
Daerah berupa usaha dan pelayanan yang
menyebabkan barang, fasilitas atau kemanfaatan lainnya yang dapat dinikmati oleh orang
pribadi atau badan.
3. Jasa umum, adalah jasa yang disediakan atau diberikan oleh pemerintah daerah untuk
tujuan kepentingan dan kemanfaatan umum serta dapat dinikmati oleh orang pribadi atau
badan.
4. Jasa usaha, adalah jasa yang disediakan oleh pemerintah daerah dengan menganut
prinsip-prinsip komersil karena pada dasarnya dapat pula disediakan oleh sector swasta.
5. Perizinan tertentu, adalah kegiatan tertentu pemerintah daerah dalam rangka pemberian
izin kepada orang pribadi atau badan yang dimaksudkan untuk pembinaan, pengaturan,
pengendalian dan pengawasan atas kegiatan, pemanfaatan ruang, penggunaan sumber
daya alam, barang, prasarana, sarana atau fasilitas tertentu guna melindungi kepentingan
umum dan menjaga kelestarian lingkungan.
JENIS RETRIBUSI DAERAH
Dibagi menjadi tiga golongan, yaitu:
1. Retribusi jasa umum
Retribusi jasa umum ditetapkan dengan Peraturan pemerintah dengan kriteria-kriteria
berikut:
a. Retribusi jasa umum bersifat bukan pajak dan bersifat bukan retribusi jasa usaha atau
retribusi perizinan tertent;
b. Jasa yang bersangkutan merupakan kewenangan daerah dalam rangka pelaksanaan
desentralisasi;
c. Jasa tersebut memberi manfaat khusus bagi orang pribadi atau bada yang diharuskan
membayar retribusi , disamping untuk melayani kepentingan dan kemanfaatan umum;
d. Jasa tersebut layak untuk dikenakan retribusi;
e. Retribusi
tidak
bertentangan
dengan
kebijakan
nasional
mengenai
penyelenggaraannya;

UNIBA | Perpajakan Anjar Wibisono

10

f. Retribusi dapat dipanggul secara efektif dan efisien, serta merupakan salah satu
sumber pendapatan daerah yang potensial; dan
g. Pemungutan retribusi memungkinkan penyediaan jasa tersebut dengan tingkat dan
atau kualitas pelayanan yang lebih baik.
Jenis-jenis retribusi jasa umum adalah:
a. Retribusi pelayanan kesehatan;
b. Retribusi pelayanan persampahan/kebersihan;
c. Retribusi penggantian biaya cetak kartu tanda penduduk dan akte catatan sipil;
d. Retribusi pelayanan pemakaman dan pengabuan mayat;
e. Retribusi pelayanan parker di tepi jalan umum;
f. Retribusi pelayanan pasar;
g. Retribusi pengujian kendaraan bermotor;
h. Retribusi pemeriksaan alat pemadam kebakaran;
i. Retribusi penggantian biaya cetak peta;
j. Retribusi pengujian kapal perikanan.
2. Retribusi jasa usaha
Retribusi jasa usaha ditetapkan dengan peraturan pemerintah dengan kriteria-kriteria
berikut:
a. Retribusi jasa usaha bersifat bukan pajak dan bersifat bukan retribusi jasa umum atau
retribusi perizinan tertentu; dan
b. Jasa yang bersangkutan adalah jasa yang bersifat komersil yang seyogyanya
disediakan oleh sector swasta tetapi belum memadai atau terdapatnya harta yang
dimiliki/dikuasai daerah yang belum dimanfaatkan secara penuh oleh pemerintah
daerah
Jenis retribusi jasa usaha adalah:
a. Retribusi pemakaian kekayaan daerah;
b. Retribusi pasar grosir dan/atau pertokoan;
c. Retribusi tempat pelelangan;
d. Retribusi terminal;
e. Retribusi tempat khusus parkir;
f. Retribusi tempat penginapan/pesanggrahan/villa;
g. Retribusi penyedotan kakus;
h. Retribusi rumah potong hewan;
i. Retribusi pelayanan pelabuhan kecil;
j. Retribusi tempat rekreasi dan olah raga;
k. Retribusi penyeberangan diatas air;
l. Retribusi pengolahan limbah cair;
m. Retribusi penjualan produksi daerah.
3. Retribusi perizinan tertentu
Retribusi perizinan tertentu ditetapkan dengan peraturan pemerintah dengan criteriakriteria berikut:
a. Perizinan tersebut termasuk kewenangan pemerintahan yang diserahkan kepada
daerah dalam rangka asas desentralisasi;
UNIBA | Perpajakan Anjar Wibisono

10

11

b. Perizinan tersebut benar-benar diperlukan guna melindungi kepentingan umum; dan


c. Biaya yang menjadi beban daerah dalam penyelenggaraan izin tersebut dan biaya
untuk menanggulangi dampak negative dari perizinan tersebut cukup besar sehingga
layak dibiayai dari retribusi perizinan.
Jenis retribusi perizinan tertentu adalah:
a. Retribusi izin mendirikan bangunan;
b. Retribusi tempat penjualan minuman beralkohol;
c. Retribusi izin gangguan;
d. Retribusi izin trayek.
OBJEK RETRIBUSI DAERAH
Objek retribusi daerah terdiri dari:
1. Jasa umum, yaitu berupa pelayanan yang disediakan atau diberikan pemerintah daerah
untuk tujuan kepentingan dan kemanfaatan umum serta dapat dinikmati oleh orang
pribadi atau badan.
2. Jasa usaha, yaitu berupa pelayanan yang disediakan oleh pemerintah daerah dengan
menganut prinsip komersil.
3. Perizinan tertentu, yaitu kegiatan tertentu pemerintah daerah dalam rangka pemberian
izin kepada orang pribadi atau badan yang dimaksudkan untuk pembinaan, pengaturan,
pengendalian dan pengawasan atas kegiatan pemanfaatan ruang, penggunaan sumber
daya alam, barang, prasarana, sarana atau fasilitas tertentu guna melindungi kepentingan
umum dan menjaga kelestarian lingkungan.
SUBJEK RETRIBUSI DAERAH
Subjek retribusi daerah sebagai berikut:
1. Retribusi jasa umum adalah orang pribadi atau badan yang menggunakan/menikmati
pelayanan jasa umum yang bersangkutan
2. Retribusi jasa usaha adalah orang pribadi atau badan yang menggunakan/menikmati
pelayanan jasa usaha yang bersangkutan
3. Retribusi perizinan tertentu adalah orang pribadi atau badan yang memperoleh izin
tertentu dari pemerintah daerah.

11

UNIBA | Perpajakan Anjar Wibisono

12

PRINSIP DAN SASARAN PENETAPAN TARIF RETRIBUSI DAERAH


Prinsip dan sasaran penetapan tariff jenis retribusi daerah sebagai berikut:
1. Retribusi jasa umum, berdasarkan kebijakan daerah dengan mempertimbangkan biaya
penyediaan jasa yang bersangkutan, kemampuan masyarakat dan aspek keadilan;
2. Retribusi jasa usaha, berdasarkan pada tujuan untuk memperoleh keuntungan yang layak
sebagaimana keuntungan yang pantas diterima oleh pengusaha swasta sejenis yang
beroperasi secara efisien dan berorientasi pada harga pasar;
3. Retribusi perizinan tertentu, berdasarkan pada tujuan untuk menutup sebagian atau
seluruh biaya penyelenggaraan pemberian izin yang bersangkutan
Penetapan tarif retribusi dapat ditinjau kembali paling lama 5 (lima) tahun sekali.
TATA CARA PELAKSANAAN PEMUNGUTAN RETRIBUSI DAN TATA CARA
PENGHAPUSAN PIUTANG RETRIBUSI YANG KADALUWARSA
Tata cara pelaksanaan pemungutan retribusi ditetapkan oleh Kepala Daerah. Piutang retribusi
yang tidak mungkin ditagih lagi karena hak untuk melakukan penagihan sudah kadaluwarsa
dapat dihapuskan. Penghapusan piutang retribusi daerah propinsi dan piutang retribusi daerah
kabupaten/kota yang sudah kadaluwarsa dilakukan dengan keputusan yang masing-masing
ditetapkan oleh Gubernur dan Bupati/Walikota. Tata cara penghapusan piutang retribusi yang
sudah kadaluwarsa diatur dengan Peraturan pemerintah.

12

UNIBA | Perpajakan Anjar Wibisono

13

BAB III
KETENTUAN UMUM DAN TATA CARA PERPAJAKAN

PENDAHULUAN
Sistem perpajakan yang lama ternyata sudah tidak sesuai lagi dengan tingkat kehidupan
social ekonomi masyarakat Indonesia, baik dari segi kegotongroyongan nasioal maupun dari laju
pembangunan nasional yang telah dicapai. Di samping itu, system perpajakan yang lama tersebut
belum dapat menggerakkan peran dari semua lapisan subjek pajak yang besar peranannya dalam
menghasilkan penerimaan dalam negeri yang sangat diperlukan guna mewujudkan kelangsungan
dan peningkatan pembangunan nasional. Oleh karena itu, pemerintah menciptakan system
perpajakan yang baru yaitu dengan lahirnya Undang-undang perpajakan baru; yang terdiri atas:
UU No.6 tahun 1983 tentang Ketentuan umum dan tata cara perpajakan, UU No.7 tahun 1983
tentang Pajak Penghasilan dan UU No.8 tahun 1983 tentang pajak Pertambahan Nilai barang dan
jasa dan pajak Penjualan atas barang mewah, UU No.12 tahun 1985 tentang Pajak Bumi dan
bangunan dan UU No.13 tahun 1985 tentang Bea Materai.
Undang-undang tentang Ketentuan Umum dan Tata cara Perpajakan dilandasi falsafah
Pancasila dan Undang-undang dasar 1945, yang didalamnya tertuang ketentuan yang
menjunjung tinggi hak warga Negara dan menempatkan kewajiban perpajakan sebagai
kewajiban kenegaraan. Undang-undang ini memuat ketentuan umum dan tata cara perpajakan
yang pada prinsipnya diberlakukan bagi undang-undang pajak materiil, kecuali dalam undangundang pajak yang bersangkutan telah mengatur sendiri mengenai ketentuan umum dan tata cara
perpajakannya.
Sejalan dengan perkembangan ekonomi, teknologi informasi, social dan politik disadari
bahwa perlu dilakukan perubahan Undang-undang tentang Ketentuan umum dan Tata cara
Perpajakan. Perubahan tersebut bertujuan untuk lebih memberikan keadilan, meningkatkan
pelayanan kepada wajib pajak, meningkatkan kepastian dan penegakan hukum, serta
mengantisipasi kemajuan di bidang teknologi informasi dan perubahan ketentuan material di
bidang perpajakan. Selain itu, perubahan tersebut juga dimaksudkan untuk meningkatkan
profesionalisme aparatur perpajakan, meningkatkan keterbukaan administrasi perpajakan dan
meningkatkan kepatuhan sukarela wajib pajak.
System, mekanisme dan tata cara pelaksanaan hak dan kewajiban perpajakan yang sederhana
menjadi ciri dan corak dalam perubahan Undang-undang ini dengan tetap menganut system self
assessment. Perubahan tersebut khususnya berkaitan dengan peningkatan keseimbangan hak dan
kewajiban bagi masyarakat Wajib pajak sehingga masyarakat wajib pajak dapat melaksanakan
hak dan kewajiban perpajakannya dengan lebih baik.
Dengan berpegang teguh pada prinsip kepastian hukum, keadilan dan kesederhanaan, arah dan
tujuan perubahan Undang-undang tentang ketentuan umum dan tata cara perpajakan ini mengacu
pada kebijakan pokok sebagai berikut:

UNIBA | Perpajakan Anjar Wibisono

13

14

1. Meningkatkan efisiensi pemungutan pajak dalam rangka mendukung penerimaan Negara;


2. Meningkatkan pelayanan, kepastian hukum dan keadilan bagi masyarakat guna
meningkatkan daya saing dalam bidang penanaman modal, dengan tetap mendukung
pengembangan usaha kecil dan menengah;
3. Menyesuaikan tuntutan perkembangan social ekonomi masyarakat serta perkembangan di
bidang teknologi informasi;
4. Meningkatkan keseimbangan antara hak dan kewajiban;
5. Menyederhanakan prosedur administrasi perpajakan;
6. Meningkatkan penerapan prinsip self assessment secara akuntabel dan konsisten; dan
7. Mendukung iklim usaha ke arah yang lebih kondusif dan kompetitif.
Dengan dilaksanakannya kebijakan pokok tersebut diharapkan dapat meningkatkan penerimaan
Negara dalam jangka menengah dan panjang seiring dengan meningkatnya kepatuhan sukarela
dan membaiknya iklim usaha.
DASAR HUKUM
Dasar hukum ketentuan umum dan tata cara perpajakan adalah undang-undang No.6 tahun 1983
sebagaimana telah diubah terakhir dengan Undang-undang No.28 tahun 2007
PENGERTIAN-PENGERTIAN
Dalam pembahasan ketentuan umum dan tata cara perpajakan akan dijumpai pengertianpengertian atau istilah-istilah yang sudah baku, antara lain:
1. Pajak adalah kontribusi wajib kepada Negara yang terutang oleh orang pribadi atau badan
yang bersifat memaksa berdasarkan undang-undang, dengan tidak mendapatkan imbalan
secara langsung dan digunakan untuk keperluan Negara bagi sebesar-besarnya
kemakmuran rakyat.
2. Wajib pajak adalah orang pribadi atau badan, meliputi pembayaran pajak, pemotong
pajak dan pemungut pajak, yang mempunyai hak dan kewajiban perpajakan sesuai
dengan ketentuan peraturan perundang-undangan perpajakan.
3. Badan adalah sekumpulan orang dan/atau modal yang merupakan kesatuan baik yang
melakukan usaha maupun yang tidak melakukan usaha yang meliputi perseroan terbatas,
perseroan komanditer, perseroan lainnya, badan usaha milik Negara atau badan usaha
milik daerah dengan nama dan dalam bentuk apa pun, firma, kongsi, koperasi, dana
pensiun, persekutuan, perkumpulan, yayasan, organisasi massa, organisasi social politik
atau organisasi lainnya, lembaga dan bentuk badan lainnya termasuk kontrak investasi
kolektif dan bentuk usaha tetap.
4. Masa pajak adalah jangka waktu yang menjadi dasar bagi wajib pajak untuk menghitung,
menyetor dan melaporkan pajak yang tertuang dalam suatu jangka waktu tertentu
sebagaimana ditentukan dalam undang-undang KUP. Masa pajak sama dengan 1 (satu)
bulan kalender atau jangka waktu lain yang diatur dengan Peraturan Menteri Keuangan
paling lama 3 (tiga) bulan kalender.
UNIBA | Perpajakan Anjar Wibisono

14

15

5. Tahun pajak adalah jangka waktu 1 (satu) tahun kalender kecuali bila wajib pajak
menggunakan tahun buku yang tidak sama dengan tahun kalender.
6. Bagian tahun pajak adalah bagian dari jangka waktu 1 (satu) tahun pajak.
7. Pajak yang terutang adalah pajak yang harus dibayar pada suatu saat, dalam masa pajak,
dalam tahun pajak, atau dalam bagian tahun pajak sesuai dengan ketentuan peraturan
perundang-undangan perpajakan.
8. Surat paksa adalah surat perintah membayar utang pajak dan biaya penagihan pajak.
9. Kredit pajak untuk pajak penghasilan adalah pajak yang dibayar sendiri oleh wajib pajak
ditambah dengan pokok pajak yang terutang dalam surat tagihan pajak karena pajak
penghasilan dalam tahun berjalan tidak atau kurang dibayar, ditambah dengan pajak yang
dipotong atau dipungut, ditambah dengan pajak atas penghasilan yang dibayar atau
terutang di luar negeri, dikurangi dengan pengembalian pendahuluan kelebihan pajak,
yang dikurangkan dari pajak yang terutang.
10. Kredit pajak untuk pajak pertambahan nilai adalah pajak masukan yang dapat dikreditkan
setelah dikurangi dengan pengembalian pendahuluan kelebihan pajak atau setelah
dikurangi dengan pajak yang telah dikompensasikan, yang dikurangkan dari pajak yang
terutang.
11. Pemeriksaan adalah serangkaian kegiatan menghimpun dan mengolah data, keterangan,
dan/atau bukti yang dilaksanakan secara objektif dan professional berdasarkan suatu
standar pemeriksaan untuk menguji kepatuhan pemenuhan kewajiban perpajakan
dan/atau untuk tujuan lain dalam rangka melaksanakan ketentuan peraturan perundangundangan perpajakan.
12. Bukti permulaan adalah keadaan, perbuatan, dan/atau bukti berupa keterangan tulisan,
atau benda yang dapat memberikan petunjuk adanya dugaan kuat bahwa sedang atau
telah terjadi suatu tindak pidana di bidang perpajakan yang dilakukan oleh siapa saja
yang dapat menimbulkan kerugian pada pendapatan Negara.
13. Pemeriksaan bukti permulaan adalah pemeriksaan yang dilakukan untuk mendapatkan
bukti permulaan tentang adanya dugaan telah terjadi tindak pidana di bidang perpajakan.
14. Penanggung jawab adalah orang pribadi atau badan yang bertanggung jawab atas
pembayaran pajak, termasuk wakil yang menjalankan hak dan memenuhi kewajiban
wajib pajak sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan perpajakan.
15. Penelitian adalah serangkaian kegiatan yang dilakukan untuk menilai kelengkapan
pengisian Surat Pemberitahuan dan lampiran-lampirannya termasuk penilaian tentang
kebenaran penulisan dan penghitungannya.
UNIBA | Perpajakan Anjar Wibisono

15

16

TAHUN PAJAK
Pada umumnya tahun pajak sama dengan tahun takwim atau tahun kalender. Akan tetapi wajib
pajak dapat menggunakan tahun pajak tidak sama dengan tahun takwim dengan syarat konsisten
(taat asas) selama 12 bulan dan melapor/memberitahukan kepada Kantor Pelayanan Pajak
Pratama setempat. Cara menentukan suatu tahun pajak adalah:
1. Tahun Pajak sama dengan tahun Takwim
Pembukaan dimulai 1 januari 2007 dan berakhir 31 desember 2007, disebut tahun pajak
2007.
2. Tahun pajak tidak sama dengan tahun Takwim
a. Pembukuan dimulai 1 juli 2007 dan berakhir 30 juni 2008. Disebut tahun pajak 2007
karena 6 bulan pertama jatuh pada tahun 2007.
b. Pembukuan dimulai 1 april 2006 dan berakhir 31 maret 2007. Disebut tahun pajak
2006.
c. Pembukuan dimulai 1 oktober 2006 dan berakhir 30 september 2007. Disebut tahun
pajak 2007.
NOMOR POKOK WAJIB PAJAK (NPWP)
1. PENGERTIAN
Nomor pokok wajib pajak adalah nomor yang diberikan kepada wajib pajak sebagai
sarana dalam administrasi perpajakan yang dipergunakan sebagai tanda pengenal diri atau
identitas wajib pajak dalam melaksanakan hak dan kewajiban perpajakannya.
2. Fungsi NPWP
a. Sebagai tanda pengenal diri atau identitas wajib pajak
b. Untuk menjaga ketertiban dalam pembayaran pajak dan dalam pengawasan
administrasi perpajakan.
3. Pencantuman NPWP
Dalam hal berhubungan dengan dokumen perpajakan, wajib pajak diwajibkan
mencantumkan Nomor Pokok Wajib pajak yang dimilikinya.
4. Pendaftaran NPWP
Semua wajib pajak yang telah emenuhi persyaratan subjektif dan objektif sesuai dengan
ketentuan peraturan perundang-undangan perpajakan berdasarkan system self assessment,
wajib mendaftarkan diri pada kantor Direktorat Jenderal Pajak untuk dicatat sebagai
wajib pajak dan sekaligus untuk mendapatkan Nomor Pokok Wajib Pajak.
Persyaratan subjektif adalah persyaratan yang sesuai dengan ketentuan mengenai subyek
pajak dalam undang-undang Pajak penghasilan 1984 da perubahannya.
UNIBA | Perpajakan Anjar Wibisono

16

17

Persyaratan objektif adalah persyaratan bagi subyek pajak yang menerima atau
memperoleh penghasilan atau diwajibkan untuk melakukan pemotongan pemungutan
sesuai dengan ketentuan undang-undang pajak penghasilan 1984 dan perubahannya.
Tempat pendaftaran dilakukan pada kantor Direktorat Jenderal Pajak yang wilayah
kerjanya meliputi tempat tinggal dan kantor Direktorat Jenderal Pajak yang wilayah
kerjanya meliputi tempat kegiatan usaha dilakukan bagi wajib pajak orang pribadi
pengusaha tertentu.
Kewajiban mendaftarkan diri tersebut berlaku pula terhadap wanita kawin yang dikenai
pajak secara terpisah karena hidup terpisah berdasarkan keputusan hukum atau
dikehendaki secara tertulis berdasarkan perjanjian pemisahan penghasilan dan harta.
Wanita kawin selain tersebut diatas dapat mendaftarkan diri untuk memperoleh Nomor
Pokok wajib pajak atas namanya sendiri agar wanita kawain tersebut dapat melaksanakan
hak dan kewajiban perpajakannya terpisah dari hak dan kewajiban perpajakan suaminya.
Direktur Jenderal pajak meneribitkan Nomor Pokok wajib Pajak secara jabatan apabila
wajib pajak yang memenuhi persyaratan subjektif dan objektif tidak mendaftarkan diri
untuk mendapatkan NPWP. Kewajiban perpajakan bagi wajib pajak yang diterbitkan
nomor Pkok Wajib Pajak secara jabatan dimulai sejak saat wajib pajak memenuhi
persyaratan subjektif dan objektif sesuai dengan ketentuan peraturan perundangundangan perpajakan, paling lama 5 (lima) tahun sebelum diterbitkannya nomor pokok
Wajib pajak.
Kewajiban mendaftarkan diri untum memperoleh NPWP dibatasi jangka waktunya,
karena hal ini berkaitan dengan saat pajak terutang dan kewajiban mengenakan pajak
terutang. Jangka waktu pendaftaran NPWP adalah:
Bagi wajib pajak orang pribadi yang menjalankan usaha atau pekerjaan bebas dan
wajib pajak badan, wajib mendaftarkan diri paling lambat 1 (satu) bulan setelah
saat usaha mulai dijalankan.
Wajib pajak orang pribadi yang tidak menjalankan usaha atau tidak melakukan
pekerjaan bebas apabila jumlah penghasilannya sampai dengan suatu bulan yang
disetahunkan telah melebihi penghasilan tidak kena pajak, wajib mendaftarkan
diri paling lambat pada akhir bulan berikutnya.
Terhadap wajib pajak yang tidak mendaftarkan diri untuk mendapatkan NPWP akan
dikenakan sanksi perpajakan.
5. Sanksi
Setiap orang yang dengan sengaja tidak mendaftarkan diri untuk diberikan Nomor pokok
wajib pajak , atau menyalahgunakan atau menggunakan tanpa hak NPWP sehingga dapat
menimbulkan kerugian pada pendapatan Negara dipidana dengan pidana penjara paling
singkat 6 (enam) bulan dan paling lama 6 (enam) tahun dan denda paling sedikit 2 (dua)
kali jumlah pajak terutang yang tidak atau kurang dibayar dan paling banyak 4 (empat)
kali jumlah pajak terutang yang tidak atau kurang dibayar.
UNIBA | Perpajakan Anjar Wibisono

17

18

Pidana tersebut ditambahkan 1 (satu) kali menjadi 2 (dua) kali sanksi pidana apabila
seseorang melakukan lagi tindak pidana di bidang perpajakan sebelum lewat 1 (satu)
tahun, terhitung sejak selesainya menjalani pidana penjara yang dijatuhkan.
Setiap orang yang melakukan percobaan untuk melakukan tindak pidana
menyalahgunakan atau menggunakan tanpa hak Nomor Pokok Wajib dalam rangka
mengajukan permohonan restitusi atau melakukan kompensasi pajak atau pengkreditan
pajak, dipidana dengan pidana penjara paling singkat 6 (enam) bulan dan paling lama 2
(dua) tahun dan denda paling sedikit 2 (dua) kali jumlah restitusi yang dimohonkan
dan/atau kompensasi atau pengkreditan yang dilakukan dan paling banyak 4 (empat) kali
jumlah restitusi yang dimohonkan dan/atau kompensasi atau pengkreditan yang
dilakukan.
6. Penghapusan NPWP
Penghapusan Nomor Pokok Wajib Pajak dilakukan oleh Direktur Jenderal pajak apabila:
a. Diajukan permohonan penghapusan Nomor Pokok Wajib pajak `oleh wajib pajak
dan/atau ahli warisnya apabila wajib pajak sudah tidak memenuhi persyaratan
subjektif dan/atau objektif sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan
perpajakan;
b. Wajib pajak badan dilikuidasi karena penghentian atau penggabungan usaha;
c. Wanita yang sebelumnya telah memiliki Nomor Pokok Wajib Pajak dan menikah
tanpa membuat perjanjian pemisahan harta dan penghasilan dalam hal suami dari
wanita tersebut telah terdaftar sebagai wajib pajak;
d. Wajib pajak bentuk usaha tetap menghentikan kegiatan usahanya di Indonesia; atau
e. Dianggap perlu oleh Direktur Jenderal Pajak untuk menghapuskan Nomor Pokok
Wajib Pajak dari wajib pajak yang sudah tidak memenuhi persyaratan subjektif
dan/atau objektif sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan perpajakan.
Direktur Jenderal pajak setelah melakukan pemeriksaan harus memberikan keputusan atas
permohonan penghapusan Nomor Pokok Wajib Pajak dalam jangka waktu 6 (enam) bulan untuk
wajib pajak orang pribadi atau 12 (dua belas) bulan untuk wajib pajak badan, sejak tanggal
permohonan diterima secara lengkap. Apabila jangka waktu sebagaimana dimaksud telah lewat
dan Direktur Jenderal Pajak tidak member suatu keputusan, permohonan penghapusan Nomor
Pokok Wajib Pajak dianggap dikabulkan.
7. Format NPWP
NPWP terdiri dari 15 digit, yaitu 9 (Sembilan) digit pertama merupakan Kode wajib
pajak dan 6 (enam) digit berikutnya merupakan Kode adiministrasi perpajakan.
Formatnya: XX. XXX. XXX. X- XXX. XXX
Catatan:
a. Wajib pajak yang tidak diwajibkan mendaftarkan diri apabila memerlukan NPWP,
dapat mendaftarkan diri dan kepadanya akan diberikan NPWP.
b. Setiap wajib pajak hanya mempunyai satu NPWP untuk semua jenis pajak.
UNIBA | Perpajakan Anjar Wibisono

18

19

c. Untuk perusahaan perseorangan, NPWP atas nama pemiliknya.


d. Untuk badan (misalnya PT) yang baru berdiri sebaiknya tetap mempunyai NPWP
karena apabila rugi dapat dikompensasi dengan tahun berikutnya.
e. Warisan yang belum terbagi dalam kedudukannya sebagai subyek pajak
menggunakan Nomor Pokok Wajib Pajak dari wajib pajak orang pribadi yang
meninggalkan warisan tersebut.
PENGUKUHAN PENGUSAHA KENA PAJAK
Pengusaha adalah orang pribadi atau badan dalam bentuk apapun yang dalam kegiatan usaha
atau pekerjaannya menghasilkan barang, mengimpor barang, mengekspor barang, melakukan
usaha perdagangan, memanfaatkan barang tidak berwujud dari luar daerah pabean, melakukan
usaha jasa atau memanfaatkan jasa dari luar daerah pabean.
Pengusaha Kena Pajak (PKP) adalah pengusaha yang melakukan penyerahan barang kena pajak
dan/atau penyerahan jasa kena pajak yang dikenai pajak berdasarkan undang-undang pajak
pertambahan nilai 1984 dan perubahannya.
Setiap wajib pajak sebagai pengusaha yang dikenai pajak pertambahan nilai berdasarkan undangundang pajak pertambahan nilai 1984 dan perubahannya wajib melaporkan usahanya untuk
dikukuhkan sebagai pengusaha kena pajak.
Pengusaha kecil sebagaimana dimaksud dalam undang-undang pajak pertambahan nilai 1984
yang:
Memilih sebagai pengusaha kena pajak; atau
Tidak memilih sebagai pengusaha kena pajak tetapi sampai dengan suatu bulan dalam
suatu tahun buku jumlah nilai peredaran bruto atas penyerahan barang kena pajak atau
jasa kena pajak telah melampaui batasan yang ditentukan sebagai pengusaha kecil, wajib
melaporkan usahaya untuk dikukuhkan sebagai pengusaha kena pajak paling lama akhir
bulan berikutnya.
Kewajiban melaporkan untuk dikukuhkan sebagai pengusaha kena pajak dilakukan sebelum
melakukan penyerahan barang kena pajak dan atau jasa kena pajak. Terhadap pengusaha yang
telah memenuhi syarat sebagai PKP tetapi tidak melaporkan usahanya untuk dikukuhkan sebagai
PKP akan dikukuhkan sebagai PKP secara jabatan dan dikenakan sanksi perpajakan.
1. Fungsi pengukuhan PKP
a. Sebagai identitas PKP yang bersangkutan
b. Melaksanakan hak dan kewajiban di bidang Pajak pertambahan nilai dan Pajak
penjualan atas barang mewah
c. Pengawasan adiministrasi perpajakan
2. Tempat pengukuhan PKP
Bagi wajib pajak sebagaimana yang memenuhi syarat sebagai PKP wajib melaporkan
usahanya ke Kantor Pelayanan pajak yang wilayah kerjanya meliputi tempat kegiatan
usaha wajib pajak atau ke kantor Pelayanan pajak tertentu sesuai dengan ketentuan
UNIBA | Perpajakan Anjar Wibisono

19

20

Peraturan perundang-undangan perpajakan. Dalam hal tempat tinggal, tempat kedudukan


atau tempat kegiatan usaha. Wajib pajak berada dalam 2 (dua) atau lebih wilayah kerja
kantor pelayanan pajak, Direktur Jenderal Pajak dapat menetapka Kantor Pelayanan
pajak tempat wajib pajak terdaftar.
3. Pencabutan pengukuhan PKP
Direktur Jenderal Pajak karena jabatan atau atas permohonan wajib pajak dapat
melakukan pencabutan pengukuhan pengusaha kena pajak. Pencabutan pengukuhan
pengusaha kena pajak dapat dilakukan dalam hal:
a. Pengusaha kena pajak pindah alamat ke wilayah kerja Kator Pelayan Pajak lain; atau
b. Sudah tidak memenuhi persyaratan sebagai pengusaha kena pajak termasuk
pengusaha kena pajak yang jumlah peredaran dan/atau penerimaan bruto untuk suatu
tahun buku tidak melebihi batas jumlah peredaran dan/atau penerimaan bruto untuk
pengusaha kecil (Rp 600.000.000,- setahun)
Atas permohonan wajib pajak untuk melakukan pencabutan pengukuhan pengusaha kena pajak.
Direktur Jenderal Pajak setelah melakukan pemeriksaan harus memberikan keputusan dalam
jangka waktu 6 (enam) bulan sejak tanggal permohonan diterima secara lengkap. Apabila jangka
waktu tersebut telah lewat, direktur Jenderal Pajak tidak memberi suatu keputusan, maka
permohonan pencabutan pengukuhan pengusaha kena pajak dianggap dikabulkan dan surat
keputusan mengenai pencabutan pengukuhan pengusaha kena pajak harus diterbitkan dalam
jangka waktu paling lama 1 (satu) bulan setelah jangka waktu 6 (enam) bulan terakhir.
4. Sanksi
Setiap orang yang dengan sengaja tidak melaporkan usahanya untuk dikukuhkan sebagai
pengusaha kena pajak atau menyalahgunakan atau menggunakan tanpa hak pengukuhan
pengusaha kena pajak, sehingga dapat menimbulkan kerugian pada pendapatan Negara
dipidana dengan pidana penjara paling singkat 6 (enam) bulan dan paling lama 6 (enam)
tahun dan denda paling sedikit 2 (dua) kali jumlah pajak terutang yang tidak atau kurang
dibayar dan paling banyak 4 (empat) kali jumlah pajak terutang yang tidak atau kurang
dibayar.
Pidana tersebut ditambahkan 1 (satu) kali menjadi 2 (dua) kali sanksi pidana apabila
seseorang melakukan lagi tindak pidana di bidang perpajakan sebelum lewat 1 (satu)
tahun, terhitung sejak selesainya menjalani pidana penjara yang dijatuhkan.
Setiap orang yang melakukan percobaan untuk melakukan tindak pidana
menyalahgunakan atau menggunakan tanpa hak Pengukuhan Pengusaha Kena Pajak
dalam rangka mengajukan permohonan restitusi atau melakukan kompensasi pajak atau
pengkreditan pajak, dipidana dengan pidana penjara paling singkat 6 (enam) bulan dan
paling lama 2 (dua) tahun dan denda paling sedikit 2 (dua) kali jumlah restitusi yang
dimohonkan dan/atau kompensasi atau pengkreditan yang dilakukan dan paling banyak 4
(empat) kali jumlah restitusi yang dimohonkan dan/atau kompensasi atau pengkreditan
yang dilakukan.

UNIBA | Perpajakan Anjar Wibisono

20

21

SURAT PEMBERITAHUAN (SPT)


1. Pengertian SPT
Surat Pemberitahuan (SPT) adalah surat yang oleh wajib pajak digunakan untuk
melaporkan penghitungan dan/atau pembayaran pajak, objek pajak dan/atau bukan objek
pajak, dan/atau harta dan kewajiban sesuai dengan ketentuan peraturan perundangundangan perpajakan.
2. Fungsi SPT
Fungsi Surat Pemberitahuan bagi wajib pajak Pajak penghasilan adalah sebagai sarana
untuk melaporkan dan mempertanggungjawabkan penghitungan jumlah pajak yang
sebenarnya terutang dan untuk melaporka tentang:
a. Pembayaran atau pelunasan pajak yang telah dilaksanakan sendiri da/atau melalui
pemotongan atau pemungutan pihak lain dalam 1 (satu) tahun pajak atau bagian tahun
pajak;
b. Penghasilan yang merupakan objek pajak dan/atau bukan objek pajak;
c. Harta dan kewajiban; dan/atau
d. Pembayaran dari pemotong atau pemungut tentang pemotongan atau pemungutan
pajak orang pribadi atau badan lain dalam 1 (satu) Masa Pajak sesuai dengan
ketentuan peraturan perundang-undangan perpajakan.
Bagi pengusaha kena pajak, fungsi Surat Pemberitahuan adalah sebagai sarana untuk melaporkan
dan mempertanggungjawabkan penghitungan jumlah pajak pertambahan nilai dan pajak
penjualan atas barang mewah yang sebenarnya terutang dan untuk melaporkan tentang:
a. Pengkreditan pajak masukan terhadap pajak keluaran; dan
b. Pembayaran atau pelunasan pajak yang telah dilaksanakan sendiri oleh pengusaha kena
pajak dan/atau melalui pihak lain dalam satu masa pajak, sesuai dengan ketentuan
peraturan perundang-undangan perpajakan.
Bagi pemotongan atau pemungut pajak, fungsi surat pemberitahuan adalah sebagai sarana untuk
melaporkan dan mempertanggungjawabkan pajak yang dipotong atau dipungut dan
disetorkannya.
3. Prosedur penyelesaian SPT
a. Wajib pajak sebagaimana mengambil sendiri Surat Pemberitahuan di tempat yang
ditetapkanoleh Direktur Jenderal pajak atau mengambil dengan cara lain yang tata
cara pelaksanaannya diatur dengan atau berdasarkan Peraturan Menteri Keuangan.
Wajib pajak juga dapat mengambil Surat Pemberitahuan dengan cara lain, misalnya
dengan mengakses situs Direktorat Jenderal Pajak untuk memperoleh formulir Surat
Pemberitahuan tersebut.
b. Setiap wajib pajak wajib mengisi surat pemberitahuan dengan benar, lengkap dan
jelas dalam bahasa Indonesia dengan menggunakan huruf Latin, angka Arab, satuan
mata uang Rupiah dan menandatangani serta menyampaikannya ke kantor Direktorat
Jenderal pajak tempat wajib pajak terdaftar atau dikukuhkan atau tempat lain yang
ditetapkan oleh Direktur Jenderal Pajak.
UNIBA | Perpajakan Anjar Wibisono

21

22

c. Wajib pajak yang telah mendapat izin Menteri keuangan untuk menyelenggarakan
pembukuan dengan menggunakan bahasa asing dan mata uang selain Rupiah, wajib
menyampaikan surat pemberitahuan dalam bahasa Indonesia dengan menggunakan
satuan mata uang selain Rupiah yang diizinkan.
d. Penandatanganan SPT dapat dilakukan secara biasa, dengan tanda tangan stempel,
atau tanda tangan elektronik atau digital, yang semuanya mempunyai kekuatan
hukum yang sama.
e. Bukti-bukti yang harus dilampirkan pada SPT, antara lain:
Untuk wajib pajak yang mengadakan pembukuan: Laporan Keuangan berupa
neraca dan laporan rugi laba serta keterangan-keterangan lain yang diperlukan
untuk menghitung besarnya penghasilan kena pajak.
Untuk SPT Masa PPN sekurang-kurangnya memuat jumlah Dasar Pengenaan
Pajak, jumlah pajak keluaran, jumlah pajak masukan yang dapat dikreditkan
dan jumlah kekurangan atau kelebihan pajak.
Untuk wajib pajak yang menggunakan norma perhitungan: Perhitungan
jumlah peredaran yang terjadi dalam tahun pajak yang bersangkutan.
4. Pembetulan SPT
Wajib pajak dengan kemauan sendiri dapat membetulkan Surat Pemberitahuan yang telah
disampaikan dengan menyampaikan pernyataan tertulis, dengan syarat Direktur Jenderal
Pajak belum melakukan tindakan pemeriksaan. Dalam hal pembetulan Surat
pemberitahuan menyatakan rugi atau lebih bayar, pembetulan Surat Pemberitahuan harus
disampaikan paling lama 2 (dua) tahun sebelum daluwarsa penetapan.
Dalam hal wajib pajak membetulkan sendiri Surat Pemberitahuan Tahunan maupun
Surat Pemberitahuan Masa yang mengakibatkan utang pajak menjadi lebih besar,
kepadanya dikenai sanksi administrasi berupa bunga sebesar 2% (dua persen) per bulan
atas jumlah pajak yang kurang dibayar, dihitung sejak jatuh tempo pembayaran sampai
dengan tanggal pembayaran, dan bagian dari bulan dihitung penuh 1 (satu) bulan.
Walaupun telah dilakukan tindakan pemeriksaan, tetapi belum dilakukan tindakan
penyidikan mengenai adanya ketidakbenaran yang dilakukan wajib pajak, terhadap
ketidakbenaran perbuatan wajib pajak tersebut tidak akan dilakukan penyidikan apabila
wajib pajak tersebut tidak akan dilakukan penyidikan apabila wajib pajak dengan
kemauan sendiri mengungkapkan ketidakbenaran perbuatannya tersebut dengan disertai
pelunasan kekurangan pembayaran jumlah pajak yang sebenarnya terutang beserta sanksi
administrasi berupa denda sebesar 150% (seratus lima puluh persen) dari jumlah pajak
yang kurang dibayar.
Walaupun Direktur Jenderal Pajak telah melakukan pemeriksaan, dengan syarat Direktur
Jenderal Pajak belum menerbitkan surat ketetapan pajak, wajib pajak dengan kesadaran
sendiri dapat mengungkapkan dalam laporan tersendiri tentang ketidakbenaran pengisian
Surat Pemberitahuan yang telah disampaikan sesuai keadaan yang sebenarnya, yang
dapat mengakibatkan:
a. Pajak-pajak yang masih harus dibayar menjadi lebih besar atau lebih kecil;
b. Rugi berdasarkan ketentuan perpajakan menjadi lebih kecil atau lebih besar;
UNIBA | Perpajakan Anjar Wibisono

22

23

c. Jumlah harta menjadi lebih besar atau lebih kecil; atau


d. Jumlah modal menjadi lebih besar atau lebih kecil
Pajak yang kurang dibayar yang timbul sebagai akibat dari pengungkapan ini beserta sanksi
administrasi berupa kenaikan sebesar 50% (lima puluh persen) dari pajak yang kurang dibayar,
harus dilunasi oleh wajib pajak sebelum laporan tersendiri dimaksud disampaikan.
Wajib pajak dapat membetulkan surat pemberitahuan tahunan yang telah disampaikan, dalam hal
wajib pajak menerima ketetapan pajak, surat keputusan keberatan, surat keputusan pembetulan,
putusan banding, atau putusan peninjauan kembali tahun pajak sebelumnya atau beberapa tahun
pajak sebelumnya, yang menyatakan rugi fiscal yang berbeda dengan rugi fiscal yang telah
dikompensasikan dalam surat pemberitahuan tahunan yang akan dibetulkan tersebut, dalam
jangka waktu 3 (tiga) bulan setelah menerima surat ketetapan pajak, surat keputusan keberatan,
surat keputusan pembetulan, putusan banding atau putusan peninjauan kembali, dengan syarat
Direktur Jenderal pajak belum melakukan tindakan pemeriksaan.
5. Jenis SPT
Secara garis besar SPT dibedakan menjdai dua, yaitu:
a. Surat Pemberitahuan Masa adalah surat pemberitahuan untuk suatu masa pajak.
b. Surat Pemberitahuan tahunan adalah surat pemberitahuan untuk suatu tahun pajak
atau bagian tahun pajak.
SPT meliputi:
a. SPT tahunan pajak penghasilan;
b. SPT masa yang terdiri dari:
1. SPT masa pajak penghasilan;
2. SPT masa pajak pertambahan nilai; dan
3. SPT masa pajak pertambahan nilai bagi pemungut pajak pertambahan nilai
SPT dapat berbentuk:
a. Formulir kertas (hardcopy); atau
b. e-SPT
6. Batas waktu penyampaian SPT
Batas waktu penyampaian Surat Pemberitahuan adalah;
a. Untuk surat pemberitahuan masa, paling lama 20 (dua puluh) hari setelah akhir masa
pajak;
b. Untuk surat pemberitahuan tahunan pajak penghasilan wajib pajak orang pribadi,
paling lama 3 (tiga) bulan setelah akhir tahun pajak; atau
c. Untuk surat pemberitahuan tahunan pajak penghasilan wajib pajak badan, paling lama
4 (empat) bulan setelah akhir tahun pajak.
7. Perpanjangan jangka waktu penyampaian SPT
Wajib pajak dapat memperpanjang jangka waktu penyampaian SPT tahunan sebagaimana
dimaksud untuk paling lama 2 (dua) bulan sejak batas waktu penyampaian SPT tahunan
dengan cara menyampaikan pemberitahuan perpanjangan SPT tahunan.

UNIBA | Perpajakan Anjar Wibisono

23

24

Pemberitahuan perpanjangan SPT tahuan dibuat secara tertulis dan disampaikan ke


Kantor Palayanan pajak, sebelum batas waktu penyampaian SPT tahunan berakhir,
dengan dilampiri:
a. Penghitungan sementara pajak terutang dalam 1 (satu) tahun pajak yang batas waktu
penyampaiannya diperpanjang;
b. Laporan Keuangan sementara; dan
c. Surat setoran pajak sebagai bukti pelunasan kekurangan pembayaran pajak yang
terutang.
Pemberitahuan perpanjangan SPT tahunan wajib ditandatangani oleh wajib pajak atau kuasa
wajib pajak. Dalam hal pemberitahuan perpanjangan SPT SPT Tahunan ditandatangani oleh
Kuasa wajib pajak, pemberitahuan perpanjangan SPT tahunan harus dilampiri dengan Surat
Kuasa Khusus.
Pemberitahuan perpanjangan SPT tahunan dapat disampaikan:
a. Secara langsung;
b. Melalui pos dengan bukti pengiriman surat; atau
c. Dengan cara lain, yang meliputi:
Melalui perusahaan jasa ekspedisi atau jasa kurir dengan bukti pengiriman surat;
atau
e-Filing melalui ASP
pemberitahuan perpanjangan SPT tahunan yang tidak memenuhi ketentuan sebagaimana
dianggap bukan merupakan pemberitahuan perpajangan SPT Tahunan.
8. Sanksi terlambat atau tidak menyampaikan SPT
Apabila surat pemberitahuan tidak disampaikan dalam jangka waktu yang telah
ditentukan atau batas waktu perpanjangan penyampaian surat pemberitahuan , dikenai
sanksi administrasi berupa denda sebesar:
a. Rp 500.000,- (lima ratus ribu rupiah) untuk surat pemberitahuan masa pajak
pertambahan nilai,
b. Rp 100.000,- (seratus ribu rupiah) untuk surat pemberitahuan masa lainnya,
c. Rp 1.000.000,- (satu juta rupiah) untuk surat pemberitahuan tahunan pajak
penghasilan wajib pajak badan,
d. Rp 100.000,- (seratus ribu rupiah) untuk surat pemberitahuan tahunan pajak
penghasilan wajib pajak orang pribadi.
Wajib pajak karena kealpaannya tidak menyampaika surat pemberitahuan atau menyampaikan
surat pemberitahuan, tetapi isinya tidak benar atau tidak lengkap, atau melampirkan keterangan
yang isinya tidak benar sehingga menimbulkan kerugian pada pendapatan Negara, tidak dikenal
sanksi pidana apabila kealpaan tersebut pertama kali dilakukan oleh wajib pajak dan wajib pajak
tersebut wajib melunasi kekurangan pembayaran jumlah pajak yang terutang beserta sanksi
administrasi berupa kenaikan sebesar 200% (dua ratus persen0 dari jumlah pajak yang kurang
dibayar yang ditetapkan melalui penerbitan surat ketetapan pajak kurang bayar.

UNIBA | Perpajakan Anjar Wibisono

24

25

Kealpaan
Setiap orang yang karena kelapaannya:
a. Tidak menyampaikan surat pemberitahuan; atau
b. Menyampaikan surat pemberitahuan, tetapi isinya tidak benar atau tidak lengkap, atau
melampirkan keterangan yang isinya tidak benar sehingga dapat menimbulkan kerugian
pada pendapatan Negara dan perbuatan tersebut merupakan perbuatan setelah perbuatan
yang pertama kali, didenda paling sedikit 1 (satu) kali jumlah pajak terutang yang tidak
atau kurang dibayar, atau dipidana kurungan paling singkat 3 (tiga) bulan atau paling
lama 1 (satu) tahun.
Kesengajaan
Setiap orang yang dengan sengaja tidak menyampaikan surat pemberitahuan atau menyampaikan
surat pemberitahuan dan/atau keterangan yang isinya tidak benar atau tidak lengkap sehingga
dapat menimbulkan kerugian pada pendapatan Negara dipidana dengan pidana penjara paling
singkat 6 (enam) bulan dan paling lama 6 (enam) tahun dan denda paling sedikit 2 (dua) kali
jumlah pajak terutang yang tidak atau kurang dibayar dan paling banyak 4 (empat) kali jumlah
pajak terutang yang tidak atau kurang dibayar.
Pidana tersebut ditambahkan 1 (satu) kali menjadi 2 (dua) kali sanksi pidana apabila seseorang
melakukan lagi tindak pidana di bidang perpajakan sebelum lewat 1 (satu) tahun, terhitung sejak
selesainya menjalani pidana penjara yang dijatuhkan.

25

UNIBA | Perpajakan Anjar Wibisono

26

SURAT SETORAN PAJAK (SSP) DAN PEMBAYARAN PAJAK


1. Pengertian
Surat setoran pajak adalah bukti pembayaran atau penyetoran pajak yang telah dilakukan
dengan menggunakan formulir atau telah dilakukan dengan cara lain ke kas Negara
melalui tempat pembayaran yang ditunjuk oleh Menteri keuangan.
2. Fungsi SSP
SSp berfungsi sebagai bukti pembayaran pajak apabila telah disahkan oleh Pejabat kantor
penerima pembayaran yang berwenang atau apabila telah mendapatkan validasi.
3. Tempat pembayaran dan penyetoran pajak
a. Bank ditunjuk oleh Menteri keuangan
b. Kantor pos
4. Batas waktu pembayaran atau penyetoran pajak
Batas waktu pembayaran atau penyetoran pajak diatur sebagai berikut:
a. Pembayaran masa
1. Pph Pasal 4 ayat (2) yang dipotong oleh pemotong Pajak penghasilan harus
disetor paling lama tanggal 10 (sepuluh) bulan berikutnya setelah masa pajak
berakhir.
2. PPh Pasal 4 ayat (2) yang harus diabayar sendiri oleh wajib pajak harus disetor
paling lama tanggal 15 (lima belas) bulan berkiutnya setelah masa pajak berakhir
kecuali ditetapkan lain oleh Menteri Keuangan.
3. Pph pasal 15 yang dipotong oleh pemotong PPh harus disetor paling lama tanggal
10 (sepuluh) bulan berikutnya setelah masa pajak berakhir.
4. Pph pasal 15 yang harus dibayar sendiri harus disetor paling lama tanggal 15
(lima belas) bulan berikutnya setelah masa pajak berakhir.
5. PPh pasal 21 yang dipotong oleh pemotong PPh harus disetor paling lama tanggal
10 (sepuluh) bulan berikutnya setelah masa pajak berakhir.
6. PPh pasal 23 dan PPh pasal 26 yang dipotong oleh pemotong PPh harus disetor
paling lama tanggal 10 (sepuluh) bulan berikutnya setelah masa pajak berakhir.
7. PPh pasal 25 harus dibayar paling lama tanggal 15 (lima belas) bulan berikutnya
setelah masa pajak berakhir.
8. PPh pasal 22, PPN atau PPN dan PPnBM atas impor harus dilunasi bersamaan
dengan saat pembayaran Bea masuk dan dalam hal Bea masuk ditunda atau
dibebaskan, PPh pasal 22 PPN atau PPN dan PpnBM atas impor harus dilunasi
pada saat penyelesaian dokumen pemberitahuan pabean impor.
9. PPh pasal 22, PPN atau PPN dan PPnBM atas impor yang dipungut oleh
Direktorat Jenderal Bea dan Cukai, harus disetor dalam jangka waktu 1 (satu) hari
kerja setelah dilakukan pemungutan pajak.
10. PPh pasal 22 yang dipungut oleh bendahara harus disetor pada hari yang sama
dengan pelaksanaan pembayaran atas penyerahan barang yang dibiayai dari
belanja Negara atau belanja daerah , dengan menggunakan surat setoran pajak
atas nama rekanan dan ditandatangani oleh bedahara.

UNIBA | Perpajakan Anjar Wibisono

26

27

11. PPh pasal 22 atas penyerahan bahan bakar minyak, gas, dan pelumas kepada
penyalur/agen atau industry yang dipungut oleh wajib pajak badan yang bergerak
dalam bidang produksi bahan bakar minyak, gas dan pelumas harus disetor paling
lama tanggal 10 (sepuluh) bulan berikutnya setelah masa pajak berakhir.
12. PPh pasal 22 yang pemungutannya dilakukan oleh wajib pajak badan tertentu
sebagai pemungut pajak harus disetor paling lama tanggal 10 (sepuluh) bulan
berikutnya setelah masa pajak berakhir.
13. PPN atau PPN dan PPnBM yang terutang dalam satu masa pajak, harus disetor
paling lama tanggal 15 (lima belas) bulan berikutnya setelah masa pajak berakhir.
14. PPN atau PPN dan PPnBM yang pemungutannya dilakukan oleh pemungut PPN
selain bendahara pemerintah atau instansi pemerintah yang ditunjuk, harus disetor
paling lama tanggal 15 (lima belas) bulan berikutnya setelah masa pajak berakhir.
15. PPN atau PPN dan PPnBM yang pemungutannya dilakukan oleh pemugut PPN
selain bendahara pemerintah atau instansi pemerintah yang ditunjuk, harus disetor
paling lama tanggal 15 (lima belas) bulan berikutnya setelah masa pajak berakhir.
16. PPh pasal 25 bagi wajib pajak dengan kriteria tertentu sebagaimana dimaksud
dalam pasal 3 ayat (3b) undang-undang KUP yang melaporkan beberapa masa
pajak dalam satu surat pemberitahuan masa, harus dibayar paling lama pada akhir
masa pajak terakhir.
17. Pembayaran masa selain PPh pasal 25 bagi wajib pajak dengan kriteria tertentu
sebagaimana dimaksud dalam pasal 3 ayat (3b) undang-undang KUP yang
melaporkan beberapa masa pajak dalam satu surat pemberitahuan masa, harus
dibayar paling lama sesuai dengan batas waktu untuk masing-masing jenis pajak.
b. Surat Tagihan Pajak, Surat ketetapan Pajak kurang bayar, serta surat ketetapan pajak
kurang bayar tambahan dan surat keputusan keberatan, surat keputusan pembetulan,
putusan banding, serta putusan peninjauan kembali, yang menyebabkan jumlah pajak
yang harus dibayar bertambah, harus dilunasi dalam jangka waktu 1 (satu) bulan
sejak tanggal diterbitkan.
c. Kekurangan pembayaran pajak yang terutang berdasarkan surat pemberitahuan
tahunan pajak penghasilan harus dibayar lunas sebelum surat pemberitahuan pajak
penghasilan disampaikan.
Dalam hal jatuh tempo pembayaran atau penyetoran pajak bertepatan dengan hari libur termasuk
hari sabtu atau hari libur nasional, pembayaran atau penyetoran pajak dapat dilakukan pada hari
kerja berikutnya. Hari libur nasional sebagaimana dimaksud termasuk hari yang diliburkan untuk
penyelenggaraan pemilihan umum yang ditetapkan oleh pemerintah dan cuti bersama secara
nasional yang ditetapkan oleh pemerintah. Setiap ketelambatan pembayaran dikenakan bunga
sebsar 2% sebulan, yang dihitung dari tanggal jatuh tempo pembayaran sampai dengan tanggal
pembayaran dan bagian dari bulan dihitung penuh 1 (satu) bulan.
5. Tata cara menunda atau mengangsur pembayaran atas ketetapan pajak
Wajib pajak dapat mengajukan permohonan secara tertulis untuk mengangsur atau
menunda pembayaran pajak yang masih harus dibayar dalam surat tagihan pajak, surat
ketetapan pajak kurang bayar, surat ketetapan pajak kurang bayar tambahan dan surat
UNIBA | Perpajakan Anjar Wibisono

27

28

keputusa pembetulan, surat keputusan keberatan, putusan banding serta putusan


peninjauan kembali yang menyebabkan jumlah pajak yang terutang bertambah, serta
pajak penghasilan pasal 29, kepada Direktur Jenderal Pajak.
Permohonan harus diajukan paling lama 9 (Sembilan) hari kerja sebelum saat jatuh tempo
pembayaran utang pajak berakhir disertai alasan dan jumlah pembayaran pajak yang
dimohon diangsur atau ditunda. Apabila ternyata batas waktu 9 (Sembilan) hari kerja
tidak dapat dipenuhi oleh wajib pajak karena keadaan di luar kekuasaannya, permohonan
wajib pajak masih dapat dipertimbangkan oleh Direktur Jenderal Pajak sepanjang wajib
pajak dapat membuktikan kebenaran keadaan di luar kekuasaannya tersebut.
Direktur Jenderal Pajak menerbitkan surat keputusan atas permohonan tersebut berupa
menerima seluruhnya, menerima sebagian atau menolak.
Surat keputusan diterbitkan paling lama 7 (tujuh) hari kerja setelah tanggal diterimanya
permohonan. Apabila jangka waktu tersebut telah lewat, direktur Jenderal Pajak tidak
memberi suatu keputusan, permohonan wajib pajak dianggap diterima.
Jangka waktu masa angsuran atau penundaan tidak melebihi 12 (dua belas) bulan dengan
mempertimbangkan kesulitan likuiditas atau keadaan di luar kekuasaan wajib pajak dan
tidak dapat diperpanjang lagi.

SURAT KETETAPAN PAJAK


Surat ketetapan pajak adalah surat ketetapan yang meliputi surat ketetapan pajak kurang bayar,
surat ketetapan pajak kurang bayar tambahan, surat ketetapan pajak nihil atau surat ketetapan
pajak lebih bayar.
SURAT KETETAPAN PAJAK KURANG BAYAR (SKPKB)
1. Pengertian
Surat ketetapan pajak kurang bayar (SKPKB) adalah surat ketetapan pajak yang menentukan
besarnya jumlah pokok pajak, jumlah kredit pajak, jumlah kekurangan pembayaran pokok
pajaka, besarnya sanksi administrasi dan jumlah pajak yang masih harus dibayar.
2. Penerbitan SKPKB
SKPKB diterbitkan apabila:
a. Berdasarkan hasil pemeriksaan atau keterangan lain pajak yang terutang tidak atau
kurang dibayar;
b. Surat pemberitahuan tidak disampaikan dalam jangka waktu yang telah ditentukan dan
setelah ditegur secara tertulis tidak disampaikan pada waktunya sebagaimana ditentukan
dalam surat teguran;

UNIBA | Perpajakan Anjar Wibisono

28

29

c. Berdasarkan hasil pemeriksaan atau keterangan lain mengenai pajak pertambahan nilai
dan pajak penjualan atas barang mewah ternyata tidak seharusnya dikompensasikan
selisih lebih pajak atau tidak seharusnya dikenai tariff 0% (nol persen);
d. Kewajiban menyelenggarakan pembukuan atau pencatatan tidak dipenuhi sehingga tidak
dapat diketahui besarnya pajak yang terutang; atau
e. Kepada wajib pajak dterbitkan Nomor Pokok Wajib Pajak dan/atau dikukuhkan sebagai
Pengusaha Kena Pajak secara jabatan.
SKPKB hanya dapat diterbitkan terhadap wajib pajak yang berdasarkan hasil pemeriksaan atau
keterangan lain tidak memenuhi kewajiba formal dan/atau kewajiban material. Keterangan lain
tersebut adalah data konkret yang diperoleh atau dimiliki oleh Direktur Jenderal Pajak, berupa
hasil konfirmasi faktur pajak da bukti pemotongan pajak penghasilan.
3. Sanksi Administrasi
a. Apabila SKPKB dikeluarkan karena alasan pada poin 2a dan 2c, maka jumlah
kekurangan pajak terutang ditambah dengan sanksi adiministrasi berupa bunga sebesar
2% (dua persen) per bulan paling lama 24 (dua puluh empat) bulan, dihitung sejak saat
terutangnya pajak atau berakhirnya masa pajak, bagian tahun pajak atau tahun pajak
sampai dengan diterbitkannya surat ketetapan pajak kurang bayar.
b. Apabila SKPKB dikeluarkan karena alasan pada poin 2b, 2c dan 2d, maka dikenakan
sanksi administrasi berupa kenaikan sebesar:
50% dari PPh yang tidak atau kurang dibayar dalam satu tahun pajak.
100% dari PPh yang tidak atau kurang dipotong, tidak atau kurang dipungut, tidak
atau kurang disetor dan dipotong atau dipungut tetapi tidak atau kurang
disetorkan.
100% dari PPN dan PPnBM yang tidak atau kurang dibayar.
4. Fungsi SKPKB
a. Koreksi atas jumlah yang terutang menurut SPT-nya
b. Sarana untuk mengenakan sanksi
c. Alat untuk menagih pajak
5. Jangka waktu penerbitan SKPKB
Dalam jangka waktu 5 (lima) tahun setelah saat terutangnya pajak atau berakhirnya masa pajak,
bagian tahun pajak, atau tahun pajak, Direktur Jenderal Pajak dapat menerbitkan SKPKB.
Walaupun jangka waktu 5 (lima) tahun telah lewat, surat keputusan pajak kurang bayar tetap
dapat diterbitkan ditambah sanksi administrasi berupa bunga sebesar 48% (empat puluh delapan
persen) dari jumlah pajak yang tidak atau kurang dibayar, apabila wajib pajak setelah jangka
waktu tersebut dipidana karena melakukan tindak pidana di bidang perpajakan atau tindak pidana
lainnya yang dapat menimbulkan kerugian pada pendapatan Negara berdasarkan putusan
pengadilan yang telah mempunyai kekuatan hukum tetap.

UNIBA | Perpajakan Anjar Wibisono

29

30

SURAT KETETAPAN PAJAK KURANG BAYAR TAMBAHAN (SKPKBT)


1. Pengertian
Surat ketetapan pajak kurang bayar tambahan (SKPKBT) adalah surat ketetapan pajak yang
menentukan tambahan atas jumlah pajak yang telah ditetapkan.

2. Penerbitan SKPKBT
SKPKBT diterbitkan apabila ditemukan data baru yang mengakibatkan penambahan jumlah
pajak yang terutang setelah dilakukan tindakan pemeriksaan dalam rangka penerbitan surat
ketetapan pajak kurang bayar tambahan.
3.
a.
b.
c.

Fungsi SKPKBT
Koreksi atas jumlah yang terutang menurut SPT-nya
Sarana untuk mengenakan sanksi
Alat untuk menagih pajak

4. Sanksi SKPKBT
Jumlah kekurangan pajak yang terutang dalam SKPKBT, ditambah dengan sanksi administrasi
berupa kenaikan sebesar 100% dari jumlah kekurangan pajak tersebut.
Sanksi administrasi berupa kenaikan tidak dikenakan apabila SKPKBT diterbitkan berdasarkan
keterangan tertulis dari wajib pajak atas kehendak sendiri, dengan syarat Direktur Jenderal Pajak
belum mulai melakukan tindakan pemeriksaan dalam rangka penerbitan surat ketetapan pajak
kurang bayar tambahan.
5. Jangka waktu penerbitan SKPKBT
Dalam jangka waktu 5 (lima) tahun setelah saat terutangnya pajak atau berakhirnya masa pajak,
bagian tahun pajak atau tahun pajak apabila ditemukan data baru yang mengakibatkan
penambahan jumlah pajak yang terutang setelah dilakukan tindakan pemeriksaan dalam rangka
penerbitan surat ketetapan pajak kurang bayar tambahan, direktur jenderal pajak dapat
menerbitkan SKPKBT.
Apabila dalam jangka waktu 5 (lima) tahun telah lewat, surat ketetapan pajak kurang bayar
tambahan tetap dapat diterbitkan ditambah sanksi administrasi berupa bunga sebesar 48% (empat
puluh delapan persen) dari jumlah pajak yang tidak atau kurang dibayar, dalam hal wajib wajib
pajak setelah jangka waktu 5 (lima) tahun tersebut dipidana karena melakukan tindak pidana di
bidang perpajaka atau tindak pidana lainnya yang dapat menimbulkan kerugian pada pendapatan
Negara berdasarkan putusan pengadilan yang telah mempunyai kekuatan hukum tetap.

30

UNIBA | Perpajakan Anjar Wibisono

31

SURAT KETETAPAN PAJAK LEBIH BAYAR (SKPLB)


1. Pengertian
Surat ketetapan pajak lebih bayar (SKPLB) adalah surat ketetapan pajak yang menentukan
jumlah kelebihan pembayaran pajak karena jumlah kredit pajak lebih besar daripada pajak yang
terutang atau seharusnya tidak terutang.
2. Penerbitan SKPLB
SKPLB diterbitkan setelah dilakukan pemeriksaan, jumlah kredit pajak atau jumlah pajak yang
dibayar lebih besar daripada jumlah pajak yag terutang. Surat ketetapan pajak lebih bayar
diterbitkan untuk:
a. Pajak penghasilan apabila jumlah kredit pajak lebih besar daripada jumlah pajak yang
terutang;
b. Pajak pertambahan nilai apabila jumlah kredit pajak lebih besar daripada jumlah pajak
yang terutang. Jika terdapat pajak yang dipungut oleh pemungut pajak pertambahan nilai,
jumlah pajak yang terutang dihitung dengan cara jumlah pajak keluaran dikurangi dengan
pajak yang dipungut oleh pemungut pajak pertambahan nilai tersebut; atau
c. Pajak penjualan atas barang mewah apabila jumlah pajak yang dibayar lebih besar
daripada jumlah pajak yang terutang.
3. Fungsi SKPLB
Sebagai alat atau sarana untuk mengembalikan kelebihan pembayaran pajak.

SURAT KETETAPAN PAJAK NIHIL (SKPN)


1. Pengertian
Surat ketetapan pajak nihil (SKPN) adalah surat ketetapan pajak yang menentukan jumlah pokok
pajak sama besarnya dengan jumlah kredit pajak atau pajak tidak terutang dan tidak ada kredit
pajak.
2. Penerbitan SKPN
SKPN diterbitkan apabila setelah dilakukan pemeriksaan jumlah kredit pajak atau jumlah pajak
yang dibayar sama dengan jumlah pajak yang terutang, atau pajak tidak terutang dan tidak ada
kredit pajak atau tidak ada pembayaran pajak.
SURAT TAGIHAN PAJAK (STP)
1. Pengertian
Surat tagihan pajak (STP) adalah surat untuk melakukan tagihan pajak dan/atau sanksi
administrasi berupa bunga dan/atau denda.
2. Penerbitan STP
STP dikeluarkan apabila:
a. Pajak penghasilan dalam tahun berjalan tidak atau kurang dibayar
b. Dari hasil penelitian terdapat kekurangan pembayaran pajak sebagai akibat salah tulis
dan/atau salah hitung
c. Wajib pajak dikenai sanksi administrasi berupa denda dan/atau bunga
UNIBA | Perpajakan Anjar Wibisono

31

32

d. Pengusaha yang telah dikukuhkan sebagai pengusaha kena pajak, tetapi tidak membuat
faktur pajak atau membuat faktur pajak, tetapi tidak tepat waktu
e. Pengusaha yang telah dikukuhkan sebagai pengusaha kena pajak yang tidak mengisi
faktur pajak secara lengkap (selain: identitas pembeli, nama dan tandatangan)
f. Pengusaha kena pajak melaporkan faktur pajak tidak sesuai dengan masa panerbitan
faktur pajak; atau
g. Pengusaha kena pajak yang gagal berproduksi dan telah diberikan pengembalian pajak
masukan sebagaimana dimaksud dalam pasal 9 ayat (6a) undang-undang pajak
pertambahan nilai 1984 dan perubahannya.
3. Fungsi STP
a. Sebagai koreksi atas jumlah pajak yang terutang menurut SPT wajib pajak
b. Sarana mengenakan sanksi administrasi berupa bunga atau denda
c. Alat untuk menagih pajak
4. Sanksi administrasi STP
a. Jumlah kekurangan pajak yang terutang (poin 2a dan 2b) ditambah dengan sanksi
administrasi berupa bunga sebesar 2% (dua persen) perbulan untuk paling lama 24
(dua puluh empat) bulan, dihitung sejak saat terutangnya pajak atau berakhirnya masa
pajak, bagian tahun pajak atau tahun pajak sampai dengan diterbitkannya surat
tagihan pajak
b. Terhadap pengusaha atau pengusaha kena pajak (poin 2d, 2e atau 2f), selain wajib
menyetor pajak yang terutang, dikenai sanksi administrasi berupa denda sebesar 2%
(dua persen) dari dasar Pengenaan pajak
c. Terhadap pengusaha kena pajak (poin 2g) dikenai sanksi administrasi berupa bunga
sebesar 2% (dua persen) per bulan dari jumlah pajak yang ditagih kembali, dihitung
dari tanggal penerbitan surat keputusan pengembalian kelebihan pembayaran pajak
sampai dengan tanggal penerbitan surat tagihan pajak dan bagian dari bulan dihitung
penuh 1 (satu) bulan
5. Kekuatan Hukum STP
STP (Surat tagihan pajak) mempunyai kekuatan hukum yang sama dengan surat ketetapan pajak,
sehingga dalam hal penagihannya dapat juga dilakukan dengan surat paksa.

32

UNIBA | Perpajakan Anjar Wibisono

33

KEBERATAN DAN BANDING


1 Tata Cara Penyelesaian Keberatan
a. Wajib pajak dapat mengajukan keberatan hanya kepada Direktur Jenderal Pajak atas
suatu:
1. Surat ketetapan pajak kurang bayar (SKPKB)
2. Surat ketetapan pajak kurang bayar tambahan (SKPKBT)
3. Surat ketetapan pajak lebih besar (SKPLB)
4. Surat ketetapa pajak nihil (SKPN)
5. Pemotongan atau pemungutan oleh pihak ketiga berdasarkan ketentuan peraturan
perundang-undangan perpajakan
b. Pengajuan keberatan yang dituangkan dalam bentuk surat keberatan sebagaimana dan
harus memenuhi syarat sebagai berikut:
1. Diajukan secara tertulis dalam bahasa Indonesia;
2. Mengemukakan jumlah pajak yang terutang atau jumlah pajak yang dipotong atau
dipungut atau jumlah rugi menurut penghitungan wajib pajak dengan disertai alasanalasan yang menjadi dasar penghitungan;
3. 1 (satu) surat keberatan diajukan hanya untuk 1 (satu) surat ketetapan pajak, untuk 1
(satu) pemotongan pajak atau untuk 1 9satu) pemungutan pajak;
4. Wajib pajak telah melunasi pajak yang masih harus dibayar paling sedikit sejumlah
yang telah disetujui wajib pajak dalam pembahasan akhir hasil pemeriksaan;
5. Diajukan dalam jangka waktu 3 (tiga) bulan sejak tanggal dikirim surat ketetapan
pajak atau sejak tanggal pemotongan atau pemungutan pajak oleh pihak ketiga
kecuali wajib pajak dapat menunjukkan bahwa jangka waktu tersebut tidak dapat
dipenuhi karena keadaan di luar kekuasaan wajib pajak (force majeur); dan
6. Surat keberatan ditandatangani oleh wajib pajak dan dalam hal surat keberatan
ditandatangani oleh bukan wajib pajak, surat keberatan tersebut harus dilampiri
dengan surat kuasa khusus
c. Dalam hal wajib pajak mengajukan keberatan atas surat ketetapan pajak, wajib pajak
wajib melunasi pajak yang masih harus dibayar paling sedikit sejumlah yang telah
disetujui wajib pajak dalam pembahasan akhir hasil pemeriksaan, sebelum surat
keberatan disampaikan.
d. Dalam hal surat keberatan yang disampaikan oleh wajib pajak belum memenuhi
persyaratan, wajib pajak dapat menyampaikan perbaikan surat keberatan dengan
melengkapi persyaratan yang belum dipenuhi sebelum jangka waktu 3 (tiga) bulan.
e. Surat keberatan yang tidak memenuhi persyaratan bukan merupakan surat keberatan
sehingga tidak dipertimbangkan dan tidak diterbitkan surat keputusan keberatan
f. Pembukuan, catatan, data, informasi atau keterangan lain yang tidak diberikan pada saat
pemeriksaan tidak dipertimbangkan dalam penyelesaian keberatan, kecuali pembukuan,
catatan, data, informasi atau keterangan lain tersebut berada di pihak ketiga dan belum
diperoleh wajib pajak pada saat pemeriksaan

UNIBA | Perpajakan Anjar Wibisono

33

34

g. Direktorat Jenderal Pajak dalam jangka waktu 12 (dua belas) bulan sejak tanggal surat
keberatan diterima, harus memberi keputusan.
Keputusan Direktorat jenderal pajak dapat berupa;
Mengabulkan seluruhnya
Mengabulkan sebagian
Menolak
Menambah besarnya jumlah pajak yang masih harus dibayar
h. Apabila dalam jangka waktu 12 (dua belas) bulan telah terlampaui dan Direktur Jenderal
Pajak tidak menerbitkan surat keputusan keberatan, keberatan yang diajukan wajib pajak
dianggap dikabulkan dan Direktur Jenderal Pajak wajib menerbitkan surat keputusan
keberatan sesuai dengan keberatan wajib pajak.
i. Apabila pengajuan keberatan dikabulkan sebagian atau seluruhnya kelebihan pembayaran
pajak dikembalikan dengan ditambah imbalan bunga sebesar 2% (dua persen) per bulan
untuk paling lama 24 (dua puluh empat) bulan dengan ketentuan:
1. Untuk surat ketetapan pajak kurang bayar dan surat ketetapan pajak kurang bayar
tambahan dihitung sejak tanggal pembayaran yang menyebabkan kelebihan
pembayaran pajak sampai dengan diterbitkannya surat keputusan keberatan
2. Untuk surat ketetapan pajak nihil dan surat ketetapan pajak lebih bayar dihitung sejak
tanggal penerbitan surat ketetapan pajak sampai dengan diterbitkannya surat
ketetapan keberatan
j. Dalam hal keberatan wajib pajak ditolak atau dikabulkan sebagian wajib pajak dikenai
sanksi administrasi berupa denda sebesar 50% (lima puluh persen) dari jumlah pajak
berdasarkan keputusan keberatan dikurangi dengan pajak yang telah dibayar sebelum
mengajukan keberatan.
k. Tetapi apabila kemudian wajib pajak mengajukan permohonan banding atas surat
keputusan keberatan, sanksi tersebut tidak dikenakan
l. Apabila pengajuan keberatan dikabulkan sebagian atau seluruhnya, yang menyebabkan
kelebihan pembayaran pajak, kelebihan pembayaran tersebut dikembalikan dengan
ditambah imbalan bunga sebesar 2% (dua persen) per bulan untuk paling lama 24 (dua
puluh empat) bulan dengan ketentuan sebagai berikut:
Untuk surat ketetapan pajak kurang bayar dan surat ketetapan pajak kurang bayar
tambahan dihitung sejak tanggal pembayaran yang menyebabkan kelebihan
pembayaran pajak sampai dengan diterbitkannya surat keputusan keberatan, atau
Untuk surat ketetapan pajak nihil dan surat ketetapan pajak lebih bayar dihitung
sejak tanggal penerbitan surat ketetapan pajak sampai dengan diterbitkannya surat
keputusan keberatan
34

UNIBA | Perpajakan Anjar Wibisono

35

Tata Cara Penyelesaian Banding


a. Wajib pajak dapat mengajukan permohonan banding hanya kepada badan peradilan pajak
atas surat keputusan keberatan
b. Putusan pengadilan pajak merupakan putusan pengadilan khusus di lingkungan peradilan
tata usaha Negara
c. Permohonan banding diajukan paling lama 3 (tiga) bulan sejak surat keputusan keberatan
diterima, dengan cara:
1. Tertulis dalam bahasa Indonesia
2. Mengemukakan alasan-alasan yang jelas
3. Melampirkan salinan surat keputusan keberatan
d. Jumlah pajak yang belum dibayar pada saat pengajuan permohonan banding belum
merupakan pajak yang terutang sampai dengan putusan banding diterbitkan.
e. Apabila permohonan banding ditolak atau dikabulkan sebagian wajib pajak dikenai
sanksi administrasi berupa denda sebesar 100% (seratus persen) dari jumlah pajak
berdasarkan putusan banding dikurangi dengan pembayaran pajak yang telah dibayar
sebelum mengajukan keberatan
f. Apabila pengajuan keberatan atau banding dikabulkan sebagian atau seluruhnya, yang
menyebabkan kelebihan pembayaran pajak, kelebihan pembayaran tersebut dikembalikan
dengan ditambah imbalan bunga sebesar 2% (dua persen) per bulan untuk paling lama 24
(dua puluh empat) bulan dengan ketentuan :
Untuk surat ketetapan pajak kurang bayar dan surat ketetapan pajak kurang bayar
tambahan dihitung sejak tanggal pembayaran yang menyebabkan kelebihan
pembayaran pajak sampai dengan diterbitkannya surat keputusan keberatan
putusan banding, atau
Untuk surat ketetapan pajak nihil dan surat ketetapan pajak labih bayar dihitung
sejak tanggal penerbitan surat ketetapan pajak sampai dengan diterbitkannya surat
keputusan keberatan, putusan banding.

35

UNIBA | Perpajakan Anjar Wibisono

36

PEMBETULAN, PENGURANGAN, PENGHAPUSAN ATAU PEMBATALAN


Pembetulan
Atas permohonan wajib pajak, atau karena jabatannya, Direktur jenderal pajak dapat
membetulkan:
a. Surat ketetapan pajak (SKPKB, SKPKBT, SKPN, SKPLB),
b. Surat tagihan pajak,
c. Surat keputusan pembetulan,
d. Surat keputusan keberatan,
e. Surat keputusan pengurangan sanksi administrasi,
f. Surat keputusan penghapusan sanksi administrasi,
g. Surat keputusan pengurangan ketetapan pajak,
h. Surat keputusan pembatalan ketetapan pajak,
i. Surat keputusan pengembalian pendahuluan kelebihan pajak, atau
j. Surat keputusan pemberian imbalan bunga.
Yang dalam penerbitannya terdapat kesalahan tulis, kesalahan hitung dan/atau kekeliruan
penerapan ketentuan tertentu dalam peraturan perundang-undangan perpajakan.
Pengurangan, penghapusan atau pembatalan
Direktur Jenderal Pajak karena jabatan atau atas permohonan wajib pajak dapat:
a. Mengurangkan atau menghapuskan sanksi administrasi berupa bunga, denda dan
kenaikan yang terutang sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan
perpajakan dalam hal sanksi tersebut dikenakan karena kekhilafan wajib pajak atau bukan
karena kesalahannya.
b. Mengurangkan atau membatalkan surat ketetapan pajak atau surat tagihan pajak yang
tidak benar; atau
c. Membatalkan hasil pemeriksaan atau surat ketetapan pajak dari hasil pemeriksaan yang
dilaksanakan tanpa:
1. Penyampaian surat pemberitahuan hasil pemeriksaan; atau
2. Pembahasan akhir hasil pemeriksaan dengan wajib pajak
Wajib pajak dapat mengajukan pengurangan atau pembatalan surat ketetapan pajak apabila:
a. Wajib pajak tidak mengajukan keberatan atas surat ketetapan pajak; atau
b. Wajib pajak mengajukan keberatan tetapi keberatannya tidak dipertimbangkan oleh
Direktur Jenderal Pajak karena tidak memenuhi persyaratan
Permohonan pengurangan atau pembatalan surat ketetapan pajak yang tidak benar tidak dapat
diajukan dalam hal wajib pajak mencabut pengajuan keberatan yang telah disampaikan kepada
Direktur Jenderal Pajak.
36

UNIBA | Perpajakan Anjar Wibisono

37

DALUWARSA PENAGIHAN PAJAK


Hak untuk melakukan penagihan pajak, termasuk bunga, denda, kenaikan dan biaya penagihan
pajak, daluwarsa setelah melampaui waktu 5 (lima) tahun terhitung sejak penerbitan surat
tagihan pajak, surat ketetapan pajak kurang bayar, serta surat ketetapan pajak kurang bayar
tambahan dan surat keputusan pembetulan, surat keputusan keberatan, putusan banding serta
putusan peninjauan kembali.
Daluwarsa penagihan pajak tertangguh apabila:
a. Diterbitkan surat paksa
b. Ada pengakuan utang pajak dari wajib pajak baik langsung maupun tidak langsung
c. Diterbitkan surat ketetapan pajak kurang bayar atau surat ketetapan pajak kurang bayar
tambahan sebagaimana dimaksud dalam; atau
d. Dilakukan penyidikan tindak pidana di bidang perpajakan
PEMERIKSAAN
UU Perpajakan yang baru memberikan wewenang melaksanakan penelitian serta penyidikan
terhadap wajib pajak yang diduga kurang/tidak melaksanakan kewajiban perpajakannya atau
terhadap wajib pajak yang meminta kelebihan pembayaran pajak
1 Pengertian
Pemeriksaan adalah serangkaian kegiatan untuk mencari, mengumpulkan, mengolah data dan
atau keterangan lainnya untuk menguji kepatuhan pemenuhan kewajiban perpajakan dan untuk
tujuan lain dalam rangka melaksanakan ketentuan peraturan perundang-undangan perpajakan.
2 Sasaran Pemeriksaan
Yang menjadi sasaran pemeriksaan maupun penyelidikan adalah untuk mencari adanya:
a. Interpretasi UU yang tidak benar
b. Kesalahan hitung
c. Penggelapan secara khusus dari penghsilan
d. Pemotongan dan pengurangan tidak sesungguhnya, yang dilakukan wajib pajak dalam
melaksanakan kewajiban perpajakannya.
3 Tujuan Pemeriksaan
a. Menguji kepatuhan pemenuhan kewajiban perpajakan dalam rangka memberikan
kepastian hukum, keadilan dan pembinaan kepada wajib pajak, yang dapat dilakukan
dalam hal:
1. Surat pemberitahuan menunjukkan kelebihan pembayaran pajak, termasuk yang telah
diberikan pengembalian pendahuluan kelebihan pajak
2. Surat pemberitahuan tahunan pajak penghasilan menunjukkan rugi
3. Surat pemberitahuan tidak disampaikan atau disampaikan tidak pada waktu yang
telah ditetapkan
4. Surat pemberitahuan yang memenuhi kriteriaa seleksi yang ditentukan oleh Direktur
Jenderal Pajak
5. Ada indikasi kewajiban perpajakan selain kewajiban tersebut pada poin 3) tidak
dipenuhi
UNIBA | Perpajakan Anjar Wibisono

37

38

b. Tujuan lain dalam rangka melaksanakan ketentuan peraturan perundang-undangan


perpajakan, yang dapat dilakukan dalam hal:
1. Pemberian Nomor Pokok Wajib Pajak (NPWP) secara jabatan
2. Penghapusan Nomor Pokok Wajib Pajak
3. Pengukuhan atau pencabutan pengukuhan pengusaha kena pajak
4. Wajib pajak mengajukan keberatan
5. Pengumpulan bahan guna penyusunan norma penghitungan penghasilan Netto
6. Pencocokan data dan atau alat keterangan
7. Penentuan wajib pajak berlokasi di daerah terpencil
8. Penentuan satu atau lebih tempat terutang pajak pertambahan nilai
9. Pelaksanaan ketentuan peraturan perundang-undangan perpajakan untuk tujuan lain
selain angka (1) sampai dengan angka (8)
Wewenang Memeriksa
Direktur Jenderal Pajak berwenang melakukan pemeriksaan untuk mnguji kepatuhan pemenuhan
kewajiban perpajakan dan tujuan lain dalam rangka melaksanakan ketentuan peraturan
perundang-undangan perpajakan.
Prosedur Pemeriksaan
a. Petugas pemeriksa harus dilengkapi dengan surat perintah pemeriksaan dan harus
memperlihatkan kepada wajib pajak yang diperiksa
b. Wajib pajak yang diperiksa harus:
1. Memperlihatkan dan atau meminjamkan buku atau catatan dokumen yang menjadi
dasarnya dan dokumen lain yang berhubungan dengan penghasilan yang diperoleh,
kegiatan usaha, pekerjaan bebas wajib pajak atau objek yang terutang pajak
2. Memberikan kesempatan untuk memasuki tempat atau ruang yang dipandang perlu
dan memberi bantuan guna kelancaran pemeriksaaan
3. Memberi keterangan yang diperlukan
c. Apabila dalam mengungkapkan pembukuan, pencatatan, atau dokumen serta keterangan
yang diminta, wajib pajak terikat oleh suatu kewajiban untuk merahasiakan, maka
kewajiban untuk merahasiakan itu ditiadakan
d. Direktur Jenderal Pajak berwenang melakukan penyegelan tempat atau ruangan tertentu,
bila wajib pajak tidak memenuhi kewajiban huruf b diatas.

38

UNIBA | Perpajakan Anjar Wibisono

39

PENYIDIKAN
Pengertian
Penyidikan tindak pidana di bidang perpajakan adalah serangkaian tindakan yang dilakukan oleh
penyidik untuk mencari serta mengumpulkan bukti yang dengan bukti itu membuat terang tindak
pidana yang terjadi serta menemukan tersangkanya.
Penyidikan tindak pidana ini dilaksanakan menurut ketentuan yang diatur dalam UU no.8/1091
tentang KUHAP
Penyidik
Penyidik dalam tindak pidana perpajakan adalah pejabat Pegawai Negeri Sipil tertentu di
lingkungan Direktorat Jenderal Pajak yang diberi wewenang khusus sebagai penyidik untuk
melakukan peyidikan tindak pidana perpajakan sesuai dengan ketentuan peraturan perundangundangan.
Wewenang Penyidik
a. Menerima, mencari, mengumpulkan dan meneliti keterangan atau laporan berkenaan
dengan tindak pidana perpajakan agar keterangan atau laporan tersebut menjadi lebih
lengkap dan jelas;
b. Meneliti, mencari dan mengumpulkan keterangan mengenai orang pribadi atau badan
tentang kebenaran perbuatan yang dilakukan sehubungan dengan tindak pidana di bidang
perpajakan;
c. Meminta keterangan dan bahan bukti dari orang pribadi atau badan sehubungan dengan
tindak pidana di bidang perpajakan;
d. Memeriksa buku, catatan dan dokumen lain berkenaan dengan tindak pidana di bidang
perpajakan;
e. Melakukan pengeledahan untuk mendapatkan bahan bukti pembukuan, pencatatan dan
dokumen lain serta melakukan penyitaan terhadap bahan bukti tersebut;
f. Meminta bantuan tenaga ahli dalam rangka pelaksanaan tugas penyidikan tindak pidana
di bidang perpajakan;
g. Menyuruh berhenti dan/atau melarang seseorang meninggalkan ruangan atau tempat pada
saat pemeriksaan sedang berlangsung dan memeriksa identitas orang, benda, dan/atau
dokumen yang dibawa;
h. Memotret seseorang yang berkaitan dengan tindak pidana di bidang perpajakan;
i. Memanggil orang untuk didengar keterangannya dan diperiksa sebagai tersangka atau
saksi;
j. Menghentikan penyidikan; dan/atau
k. Melakukan tindakan lain yang perlu untuk kelancaran penyidikan tindak pidana di bidang
perpajakan menurut ketentuan peraturan perundang-undangan
Kewajiban Penyidik
Penyidik sebagaimana memberitahukan dimulainya penyidikan dan menyampaikan hasil
penyidikannya kepada penuntut umum melalui penyidik pejabat Polisi Negara RI sesuai dengan
ketentuan yang diatur dalam UU Hukum Acara Pidana

UNIBA | Perpajakan Anjar Wibisono

39

40

KEWAJIBAN DAN HAK WAJIB PAJAK


Kewajiban wajib pajak
1. Mendaftarkan diri untuk mendapatkan NPWP
2. Melaporkan usahanya untuk dikukuhkan sebagai PKP
3. Menghitung dan membayar sendiri pajak dengan benar
4. Mengisi dengan benar SPT (SPT diambil sendiri) dan memasukkan ke Kantor Pelayanan
Pajak dalam batas waktu yang telah ditentukan
5. Menyelenggarakan pembukuan/pencatatan
6. Jika diperiksa wajib:
a. Memperlihatkan dan/atau meminjamkan buku atau catatan, dokumen yang menjadi
dasarnya dan dokumen lain yang berhubungan dengan penghasilan yang diperoleh,
kegiatan usaha, pekerjaan bebas wajib pajak atau objek yang terutang pajak
b. Memberikan kesempatan untuk memasuki tempat atau ruangan yang dipandang perlu
dan member bantuan guna kelancaran pemeriksaan
7. Apabila dalam waktu mengungkapkan pembukuan, pencatatan atau dokumen serta
keterangan yang diminta, wajib pajak terikat oleh suatu kewajiban untuk merahasiakan
maka kewajiban untuk merahasiakan itu ditiadakan oleh permintaan untuk keperluan
pemeriksaan
Hak-hak wajib pajak
1. Mengajukan surat keberatan dan surat banding
2. Menerima tanda bukti pemasukan SPT
3. Melakukan pembetulan SPT yang telah dimasukkan
4. Mengajukan permohonan penundaan penyampaian SPT
5. Mengajukan permohonan penundaan atau pengangsuran pembayaran pajak
6. Mengajukan permohonan perhitungan pajak yang dikenakan dalam surat ketetapan pajak
7. Meminta pengembalian kelebihan pembayaran pajak
8. Mengajukan permohonan penghapusan dan pengurangan sanksi, serta pembetulan surat
ketetapan pajak yang salah
9. Memberi kuasa kepada orang untuk melaksanakan kewajiban pajaknya
10. Meminta bukti pemotongan atau pemungutan pajak
11. Mengajukan keberatan dan banding

KEWAJIBAN PEMBUKUAN/PENCATATAN
1. Pembukuan adalah suatu proses pencatatan yang dilakukan secara teratur untuk
mengumpulkan data dan informasi keuangan yang meliputi harta, kewajiban, modal,
penghasilan dan biaya serta jumlah harga perolehan dan penyerahan barang atau jasa,
yang ditutup dengan menyusun laporan keuangan berupa neraca dan laporan laba rugi
untuk periode tahun pajak tersebut.
Sedangkan pencatatan terdiri atas data yang dikumpulkan secara teratur tentang
peredaran atau penerimaan bruto dan/atau penghasilan bruto sebagai dasar untuk
menghitung jumlah pajak yang terutang, termasuk penghasilan yang bukan objek pajak
dan/atau yang dikenai pajak yang bersifat final.
UNIBA | Perpajakan Anjar Wibisono

40

41

2. Wajib pajak orang pribadi yang melakukan kegiatan usaha atau pekerjaan bebas dan
wajib pajak badan di Indonesia wajib menyelenggarakan pembukuan
3. Wajib pajak yang dikecualikan dari kewajiban menyelenggarakan pembukuan tetapi
wajib melakukan pencatatan, adalah wajib pajak orang pribadi yang melakukan kegiatan
usaha atau pekerjaan bebas yang sesuai dengan ketentuan peraturan UU perpajakan
diperbolehkan menghitung penghasilan neto dengan menggunakan norma penghitungan
penghasilan neto dan wajib pajak orang pribadi yang tidak melakukan kegiatan usaha
atau pekerjaan bebas
4. Pembukuan atau pencatatan:
a. Diselenggarakan dengan itikad baik dan mencerminkan keadaan atau kegiatan usaha
yang sebenarnya
b. Harus diselenggarakan di Indonesia dengan menggunakan huruf Latin, angka Arab,
satuan mata uang Rupiah dan disusun dalam bahasa Indonesia atau bahasa asing yang
diizinkan oleh Mentri Keuangan
c. Pembukuan diselenggarakan dengan prinsip taat asas dan dengan stelsel akrual atau
stelsel kas. Perubahan terhadap metode pembukuan dan/atau tahun buku harus
mendapat persetujuan dari Direktur Jenderal Pajak
d. Pembukuan sekurang-kurangnya terdiri atas catatan mengenai harta, kewajiban,
modal, penghasilan dan biaya serta penjualan dan pembelian sehingga dapat dihitung
besarnya pajak yang terutang
e. Pembukuan dengan menggunakan bahasa asing dan mata uang selain Rupiah dapat
diselenggarakan oleh wajib pajak setelah mendapat izin menteri keuangan
f. Buku, catatan dan dokumen yang menjadi dasar pembukuan atau pencatatan dan
dokumen lain termasuk hasil pengolahan data dari pembukuan yang dikelola secara
elektronik atau secara program aplikasi on-line wajib disimpan selama 10 (sepuluh)
tahun di Indonesia, yaitu di tempat kegiatan atau tempat tinggal wajib pajak orang
pribadi atau tempat kedudukan wajib pajak badan.

41

UNIBA | Perpajakan Anjar Wibisono

42

BAB IV
PENAGIHAN PAJAK DENGAN SURAT PAKSA
DASAR HUKUM
UndaNg-undang nomor 19 tahun 1997 tentang Penagihan Pajak dengan Surat Paksa
sebagaimana telah diubah dengan Undang-undang nomor 19 tahun 2000
PENGERTIAN-PENGERTIAN
1. Penanggung Pajak, adalah orang pribadi atau bada yang bertanggung jawab atas pembayaran
pajak, termasuk wakil yang menjalankan hak dan memenuhi kewajiban Wakil Pajak menurut
ketentuan peraturan perundang-undangan perpajakan
2. Penagihan Pajak, adalah serangkaian tindakan agar Penangging Pajak melunasi Utang Pajak
dan biaya penagihan pajak dengan menegur atau memperingatkan, melaksanakan penagihan
seketika dan sekaligus, memberitahukan Surat Paksa, mengusulkan pencegahan,
melaksanakan penyitaan, melaksanakan penyanderaan, menjual barang yang telah disita
3. Biaya penagihan pajak, adalah biaya pelaksanaan surat paksa. Surat perintah melaksanakan
penyitaan, pengumuman lelang, pembatalan lelang, jasa penilai dan biaya lainnya
sehubungan dengan penagihan pajak.
PEJABAT DAN JURU SITA PAJAK
Pejabat adalah pejabat yang berwenang mengangkat dan memberhentikan jurusita pajak,
menerbitkan surat perintah penagihan seketika dan sekaligus, surat paksa, surat perintah
melaksanakan penyitaan, surat pencabutan sita, pengumuman lelang, surat penentuan harga limit,
pembatalan lelang, surat perintah penyanderaan dan surat lain yang diperlukan untuk penagihan
pajak sehubungan dengan penanggung jawab tidak melunasi sebagian atau seluruh utang pajak
menurut UU dan peraturan daerah.
Menteri Keuangan berwenang menunjuk pejabat untuk penagihan pajak pusat, Kepala daerah
berwenang menunjuk pejabat untuk penagihan pajak daerah.
Jurusita pajak adalah pelaksana tindakan penagihan pajak yang meliputi penagihan seketika dan
sekaligus, pemberitahuan surat paksa, penyitaan dan penyanderaan.
Tugas jurusita pajak:
1. Melaksanakan surat perintah penagihan seketika dan sekaligus
2. Memberitahukan surat paksa
3. Melaksanakan penyitaan atas barang penanggung jawab berdasarkan surat perintah
melaksanakan penyitaan; dan
4. Melaksanakan penyenderaan berdasarkan surat perintah penyanderaan
Dalam melaksanakan penyitaan, jurusita pajak berwenang memasuki dan memeriksa semua
ruangan termasuk membuka lemari, laci dan tempat lain untuk menemukan objek sita di tempat
usaha, di tempat kedudukan atau tempat tinggal penanggung pajak, atau tempat lain yang dapat
diduga sebagai tempat penyimpanan objek sita.
UNIBA | Perpajakan Anjar Wibisono

42

43

PENAGIHAN SEKETIKA DAN SEKALIGUS


Penagihan seketika dan sekaligus adalah tindakan penagihan yang dilaksanakan oleh jurusita
pajak kepada penggung pajak tanpa menunggu tanggal jatuh tempo pembayaran yang meliputi
seluruh utang pajak dari semua jenis pajak, masa pajak dan tahun pajak. Jurusita pajak
melaksanakan penagihan seketika dan sekaligus berdasarkan surat perintah penagihan seketika
dan sekaligus. Surat perintah penagihan seketika dan sekaligus diterbitkan apabila:
1. Penanggung pajak akan meninggalkan Indonesia untuk selama-lamanya atau berniat
untuk itu;
2. Penanggung pajak memindahtangankan barang yang dimiliki atau yang dikuasai dalam
rangka menghentikan atau mengecilkan kegiatan perusahaan, atau pekerjaan yang
dilakukannya di Indonesia;
3. Terdapat tanda-tanda bahwa penanggung pajak akan membubarkan badan usahanya, atau
menggabungkan usahanya, atau memekarkan usahanya, atau memindahtangankan
perusahaan yang dimiliki atau dikuasainya atau melakukan perubahan bentuk lainnya;
4. Badan usaha akan dibubarkan oleh Negara; atau
5. Terjadinya penyitaan atas barang penanggung pajak oleh pihak ketiga atau terdapat
tanda-tanda kepailitan.
Surat perintah penagihan seketika dan sekaligus sekurang-kurangnya memuat:
1. Nama wajib pajak, atau nama wajib pajak da penanggung pajak;
2. Besarnya utang pajak;
3. Perintah untuk membayar;
4. Saat pelunasan pajak
Surat perintah penagihan seketika dan sekaligus diterbitkan sebelum penerbitan surat paksa.

SURAT PAKSA
Surat paksa adalah surat perintah membayar utang pajak dan biaya penagihan pajak. Surat paksa
mempunyai kekuatan eksekutorial dan kedudukan hukum yang sama dengan putusan pengadilan
yang telah mempunyai kekuatan hukum tetap.
Surat paksa sekurang-kurangnya meliputi:
1. Nama wajib pajak, atau nama wajib pajak dan penanggung pajak;
2. Dasar penagihan;
3. Besarnya utang pajak;
4. Perintah untuk membayar.
Surat paksa diterbitkan apabila:
1. Penanggung pajak tidak melunasi utang pajak dan kepadanya diterbitkan surat teguran
atau surat peringatan atau surat lain yang sejenis;
2. Terhadap penanggung pajak telah dilaksanakan penagihan seketika dan sekaligus;
3. Penanggung pajak tidak memenuhi ketentuan penagihan tercantum dalam keputusan
persetujuan angsuran atau penundaan pembayaran pajak.

UNIBA | Perpajakan Anjar Wibisono

43

44

Surat paksa terhadap orang pribadi diberitahukan oleh jurusita pajak kepada:
1. Penanggung pajak
2. Orang dewasa yang bertempat tinggal bersama ataupun bekerja di tempat usaha
penanggung pajak, apabila penanggung pajak yang bersangkutan tidak dapat dijumpai
3. Salah satu ahli waris atau pelaksana wasiat atau yang mengurus harta peninggalannya
apabila wajib pajak telah meninggal dunia dan harta warisan belum dibagi
4. Para ahli waris apabila wajib pajak telah meninggal dunia dan harta warisan telah dibagi
Surat paksa terhadap badan diberitahukan oleh jurusita pajak kepada:
1. Pengurus, kepala perwakilan, kepala cabang, penanggung jawab, pemilik modal.
2. Pegawai tetap di tempat kedudukan atau tempat usaha badan, apabila jurusita pajak tidak
dapat menjumpai salah seorang sebagaimana dimaksud dalam huruf 1.
Dalam hal wajib pajak dinyatakan pailit, surat paksa diberitahukan kepada curator, hakim
pengawas atau balai harta peninggalan. Sedangkan dalam hal wajib pajak dinyatakan bubar atau
dalam likuidasi, surat paksa diberitahukan kepada orang atau badan yang dibebani untuk
melakukan pemberesan atau likuidator.
PENYITAAN
Penyitaan adalah tindakan jurusita pajak untuk menguasai barang penanggung pajak, guna
dijadikan jaminan untuk melunasi utang pajak menurut peraturan perundang-undangan. Apabila
utang pajak tidak dilunasi penanggung pajak dalam jangka waktu 2 (dua) kali 24 (dua puluh
empat) jam setelah surat paksa diberutahukan, pejabat menerbitkan surat perintah melaksanakan
penyitaan. Penyitaan dilakukan oleh jurusita pajak disaksikan oleh sekurang-kurangnya 2 (dua)
orang yang telah dewasa, penduduk Indonesia, dikenal oleh jurusita pajak dan dapat dipercaya.
Setiap melaksanakan penyitaan, jurusita membuat berita acara pelaksanaan sita yang
ditandatangani oleh jurusita pajak, penanggung pajak dan saksi-saksi.
Barang yang disita dapat berupa:
1. Barang bergerak termasuk mobil, perhiasan, uang tunai dan deposito berjangka,
tabungan, saldo rekening Koran, giro atau bentuk lainnya yang dipersamakan dengan itu,
obligasi, saham atau surat berharga lainnya, piutang dan penyertaan modal pada
perusahaan lain, dan atau
2. Barang tidak bergerak termasuk tanah, bangunan dan kapal dengan isi kotor tertentu.
Barang bergerak yang dikecualikan dari penyitaan adalah:
1. Pakaian dan tempat tidur beserta perlengkapannya yang digunakan oleh penanggung
pajak dan keluarga yang menjadi tanggungannya
2. Persediaan makanan dan minuman untuk keperluan satu bulan beserta peralatan memasak
yang berada di rumah
3. Perlengkapan penanggung pajak yang bersifat dinas yang diperoleh dari Negara
4. Buku-buku yang bertalian dengan jabatan atau pekerjaan penanggung pajak dan alat-alat
yang dipergunakan untuk pendidikan, kebudayaan dan keilmuan
5. Peralatan dalam keadaan jalan yang masih digunakan untuk melaksanakan pekerjaan atau
usaha sehari-hari dengan jumlah seluruhnya tidak lebih dari Rp 20.000.000,- (dua puluh
UNIBA | Perpajakan Anjar Wibisono

44

45

juta). Besarnya nilai peralatan ditetapkan dengan keputusan menteri keuangan atau
keputusan kepala daerah.
6. Peralatan penyandang cacat yang digunakan oleh penanggung pajak dan keluarga yang
menjadi tanggungannya.
Penyitaan tidak dapat dilaksanakan terhadap barang yang telah disita oleh pengadilan negeri atau
instansi lain yang berwenang. Terhadap barang yang telah disita, jurusita pajak menyampaikan
surat paksa kepada pengadilan negeri atau instansi lain yang berwenang. Pengadilan negeri
dalam siding berikutnya menetapkan barang tersebut sebagai jaminan pelunasan utang pajak.
Sedangkan instansi lain yang berwenang, setelah menerima surat paksa menjadikan barang
tersebut sebagai jaminan pelunasan utang pajak. Pengadilan negeri atau instansi lain yang
berwenang menentukan pembagian hasil penjualan barang tersebut berdasarkan ketentuan hak
mendahulu Negara untuk tagihan pajak.
Hak mendahulu untuk tagihan pajak melebihi segala hak mendahulu lainnya, kecuali terhadap:
1. Biaya perkara yang semata-mata disebabkan sutau penghukuman untuk melelang suatu
barang bergerak dan atau barang tidak bergerak.
2. Biaya-biaya yang telah dikeluarkan untuk menyelamatkan barang tersebut.
3. Biaya perkara yang semata-mata disebabkan pelelangan dan penyelesaian suatu warisan.
Penyitaan tambahan dapat dilaksanakan apabila:
1. Nilai barang yang disita tidak cukup untuk melunasi biaya penagihan pajak dan utang
pajak, atau
2. Hasil lelang barang yang telah disita tidak cukup untuk melunasi biaya penagihan pajak
dan atau pajak.
Pencabutan sita dilaksanakan apabila penanggung pajak telah melunasi biaya penagihan dan
utang pajak atau berdasarkan putusan pengadilan atau putusan pengadilan pajak atau ditetapkan
lain dengan keputusan menteri keuangan atau kepala daeran.

LELANG
Lelang adalah setiap penjualan barang di muka umum dengan cara penawaran harga secara lisan
dan atau tertulis melalui usaha pengumpulan peminat atau calon pembeli. Apabila utang pajak
dan atau biaya penagihan pajak tidak dilunasi setelah dilaksanakan penyitaan. Pejabat berwenang
melaksanakan penjualan secara lelang terhadap barang yang disita melalui kantor lelang.
Penjualan secara lelang terhadap barang yang disita dilaksanakan paling singkat 14 (empat belas)
hari setelah pengumuman lelang melalui media massa. Pengumuman lelang dilaksanakan paling
singkat 14 hari setelah penyitaan. Pengumuman lelang untuk barang bergerak dilakukan 1 kali
dan untuk barang tidak bergerak dilakukan 2 kali. Pengumuman lelang terhadap barang dengan
nilai paling banyak Rp 20.000.000,- (dua puluh juta rupiah) tidak harus diumumkan melalui
media massa.
Hasil lelang dipergunakan terlebih dahulu untuk membayar biaya penagihan pajak yang belum
dibayar dan sisanya untuk membayar utang pajak. Dalam hal penjualan secara lelang, biaya
penagihan pajak ditambah 1% dari pokok lelang dan secara tidak lelang biaya penagihan pajak
UNIBA | Perpajakan Anjar Wibisono

45

46

ditambah 1% dari hasil penjualan. Besarnya biaya penagihan pajak adalah Rp 50.000,- (lima
puluh ribu rupiah) untuk setiap pemberitahuan surat paksa dan Rp 100.000,-(seratus ribu rupiah)
untuk setiap pelaksanaan surat perintah melaksanakan penyitaan.
Apabila hasil lelang sudah mencapai jumlah yang cukup untuk melunasi biaya penagihan pajak
dan utang pajak, pelaksanaan lelang dihentikan oleh pejabat walaupun barang yang akan dilelang
masih ada. Sisa barang beserta kelebihan uang hasil lelang dikembalikan oleh pejabat kepada
penanggung pajak segera setelah pelaksanaan lelang.

PENCEGAHAN DAN PENYANDERAAN


Pencegahan adalah larangan yang bersifat sementara terhadap penanggung pajak tertentu untuk
keluar dari wilayah RI berdasarkan alasan tertentu sesuai dengan ketentuan peraturan perundangundangan. Pencegahan hanya dapat dilakukan terhadap penanggung pajak yang mempunyai
jumlah utang pajak sekurang-kurangnya sebesar Rp 100.000.000,- (seratus juta rupiah) dan
diragukan itikad baiknya dalam melunasi utang pajak. Pencegahan dapat dilakukan berdasarkan
keputusan pencegahan yang diterbitkan oleh Menteri Keuangan atas permintaan pejabat atau
atasan pejabat yang bersangkutan. Jangka waktu pencegahan paling lama 6 bulan dan dapat
diperpanjang selama-lamanya 6 bulan. Pencegahan terhadap penanggung pajak tidak
mengakibatkan hapusnya utang pajak dan terhentinya pelaksanaan penagihan pajak.
Penyanderaan adalah pengekangan sementara waktu kebebasan penanggung pajak dengan
menempatkannya di tempat tertentu. Penyanderaan hanya dapat dilakukan terhadap penanggung
pajak yang mempunyai jumlah utang pajak sekurang-kurangnya sebesar Rp 100.000.000,(seratus juta rupiah) dan diragukan itikad baiknya dalam melunasi utang pajak. Penyanderaan
hanya dapat dilakukan berdasarkan surat perintah penyanderaan yang diterbitkan oleh pejabat
setelah mendapat izin tertulis dari Menteri Keuangan atau Gubernur Kepala daerah propinsi.
Masa penyanderaan paling lama 6 bulan dan dapat diperpanjang selama-lamanya 6 bulan.
Penyanderaan tidak boleh dilaksanakan dalam hal penanggung pajak sedang beribadah atau
sedang mengikuti siding resmi atau sedang mengikuti Pemilu.
Penanggung pajak yang disandera dilepas:
1. Apabila utang pajak dan biaya penagihan pajak telah dibayar lunas
2. Apabila jangka waktu yang ditetapkan dalam surat perintah penyanderaan itu telah
terpenuhi
3. Berdasarkan putusan pengadilan yang telah mempunyai kekuatan hukum tetap
4. Berdasarkan pertimbangan tertentu dari Menteri Keuangan atau Gubernur
Penanggung pajak yang disandera dapat mengajukan gugatan terhadap pelaksanaan
penyanderaan hanya kepada Pengadilan negeri. Dalam hal gugatan penanggung pajak
dikabulkan dan putusan pengadilan telah mempunyai kekuatan hukum tetap, penanggung pajak
dapat memohon rehabilitasi nama baik dan ganti rugi atas masa penyanderaan yang telah
dijalaninya sebesar Rp 100.000,- (seratus ribu rupiah) setiap hari. Perubahan besarnya ganti rugi
ditetapkan oleh Menteri Keuangan. Penanggung pajak tidak dapat mengajukan gugatan terhadap
pelaksanaan penyanderaan setelah masa penyanderaan berakhir. Penyanderaan terhadap

UNIBA | Perpajakan Anjar Wibisono

46

47

penanggung pajak tidak mengakibatkan hapusnya utang pajak dan terhentinya pelaksanaan
penagihan pajak.
GUGATAN
Gugatan penanggung pajak terhadap pelaksanaan surat paksa, surat perintah melaksanakan
penyitaan atau pengumuman lelang hanya dapat diajukan kepada Pengadilan Pajak. Dalam hal
gugatan penanggung pajak dikabulkan, penanggung pajak dapat memohon pemulihan nama baik
dang anti rugi kepada pejabat paling banyak Rp 5.000.000,- (lima juta rupiah). Perubahan
besarnya ganti rugi ditetapkan dengan keputusan menteri keuangan atau kepala daerah.
Gugatan diajukan dalam jangka waktu 14 hari sejak surat paksa, surat perintah melaksanakan
penyitaan, atau pengumuman lelang dilaksanakan.
PERMOHONAN PEMBETULAN ATAU PENGGANTIAN
Penanggung pajak dapat mengajukan permohonan pembetulan atau penggantian kepada pejabat
terhadap surat teguran atau surat peringatan atau surat lain yang sejenis, surat perintah penagihan
seketika dan sekaligus, surat paksa, surat perintah melaksanakan penyitaan, surat perintah
penyanderaan, pengumuman lelang dan surat penentuan harga limit yang dalam penerbitannya
terdapat kesalahan atau kekeliruan. Dalam jangka waktu 7 hari sejak tanggal diterima
permohonan tersebut. Pejabat harus member keputusan atas permohonan yang diajukan. Apabila
dalam jangka waktu tersebut pejabat tidak memberikan keputusan, permohonan penanggung
pajak dianggap dikabulkan dan penagihan ditunda setelah kesalahan atau kekeliruan dibetulkan
oleh pejabat. Dalam hal permohonan tersebut ditolak, tindakan pelaksanaan penagihan pajak
dilanjutkan sesuai jangka waktu semula.
KETENTUAN PIDANA
Penanggung pajak dilarang:
1. Memindahkan
hak,
memindah
tangankan,
menyewakan,
meminjamkan,
menyembunyikan, menghilangkan atau merusak barang yang telah disita;
2. Membebani barang tidak bergerak yang telah disita dengan hak tanggungan untuk
pelunasan utang tertentu;
3. Membebani barang bergerak yang telah disita dengan fiducia atau diagunkan untuk
pelunasan utang tertentu;
4. Merusak, mencabut atau menghilangkan segel sita atau salina berita acara pelaksanaan
sita yang telah ditempel pada barang sitaan.
Penanggung pajak yang melanggar ketentuan ini dipidana dengan pidana penjara paling lama 4
tahun dan denda paling banyak Rp 12.000.000,- (dua belas juta rupiah)
Setiap orang yang dengan sengaja tidak menuruti perintah atau permintaan yang dilakukan
menurut UU, atau dengan sengaja mencegah, menghalangi atau menggagalkan tindakan dalam
melaksanakan ketentuan UU yang dilakukan oleh jurusita pajak, dipidana dengan pidana penjara
paling lama 4 bulan 2 minggu dan denda paling banyak Rp 10.000.000,- (sepuluh juta rupiah).

UNIBA | Perpajakan Anjar Wibisono

47

48

BAB V
PAJAK PENGHASILAN PASAL 22
PENGERTIAN
Merupakan pembayaran Pajak Penghasilan dalam tahun berjalan yang dipungut oleh:
Bendahara pemerintah, termasuk bendahara pada Pemerintah Pusat, Pemerintah Daerah,
instansi atau lembaga pemerintah, dan lembaga-lembaga Negara lainnya,berkenaan dengan
pembayaran atas penyerahan barang, termasuk juga dalam pengertian bendahara adalah
pemegang kas dan pejabat lain yang menjalankan fungsi yang sama;
Badan-badan tertentu, baik badan pemerintah maupun swasta, berkenaan dengan kegiatan di
bidang impor atau kegiatan usaha di bidang lain, seperti kegiatan usaha produksi barang
tertentu antara lain otomotif dan semen;
dan
Wajib Pajak badan tertentu untuk memungut pajak dari pembeli atas penjualan barang yang
tergolong sangat mewah. Pemungutan pajak oleh Wajib Pajak badan tertentu ini akan
dikenakan terhadap pembelian barang yang memenuhi kriteria tertentu sebagai barang yang
tergolong sangat mewah baik dilihat dari jenis barangnya maupun harganya, seperti kapal
pesiar, rumah sangat mewah, apartemen dan kondominium sangat mewah, serta kendaraan
sangat mewah.
PEMUNGUT PAJAK
Pemungut PPh Pasal 22 adalah:
1. Bank Devisa dan Direktorat Jenderal Bea dan Cukai, atas impor barang;
2. Direktorat Jenderal Perbendaharaan, Bendahara Pemerintah baik di tingkat Pusat ataupun di
tingkat Daerah, yang melakukan pembayaran atas pembelian barang;
3. Badan Usaha milik Negara dan Badan Usaha Milik Daerah yang melakukan pembelian
barang dengan dana yang bersumber dari belanja Negara (APBN) dan/atau belanja daerah
(APBD), kecuali badan-badan tersebt pada butir 4;
4. Bank Indonesia (BI), PT Perusahaan Pengelola Aset (PPA), Perum Badan Urusan Logistik
(BULOG), PT Telekomunikasi Indonesia (Telkom), PT Perusahaan Listrik Negara (PLN), PT
Garuda Indonesia, PT Indosat, PT Krakatau Steel, PT Pertamina dan bank-bank BUMN yang
melakukan pembelian barang yang dananya bersumber dari APBN maupun non-APBN;
5. Badan usaha yang bergerak dalam bidang usaha industry semen, industry kertas, industry
baja, dan industry otomotif, yang ditunjuk oleh Kepala Kantor Pelayanan Pajak, atas
penjualan hasil produksinya didalam negeri;
6. Produsen atau importer bahan bakar minyak, gas dan pelumas atas penjualan bahan bakar
minyak, gas dan pelumas;
7. Industri dan eksportir yang bergerak dalam sector perhutanan, perkebunan, pertanian dan
perikanan yang ditunjuk oleh Direktur Jenderal Pajak atas pembelian bahan-bahan untuk
keperluan industry atau ekspor mereka dari pedagang pengumpul;
8. Wajib Pajak badan yang melakukan penjualan barang yang tergolong sangat mewah.
48

UNIBA | Perpajakan Anjar Wibisono

49

OBJEK PEMUNGUTAN PPh PASAL 22


Yang merupakan objek pemungutan PPh pasal 22 adalah:
1. Impor barang
2. Pembayaran atas pembelian barang yang dilakukan oleh Direktorat Jenderal Anggaran,
Bendaharawan Pemerintah baik di tingkat Pusat maupun Pemerintah Daerah.
3. Pembayaran atas pembelian barang yang dilakukan Badan Usaha Milik Negara dan
Badan Usaha Milik Daerah yang dananya dari belanja Negara dan atau belanja daerah.
4. Penjualan hasil produksi di dalam negeri yang dilakukan oleh badan usaha yang bergerak
di bidang industry semen, industry rokok, industry kertas, industry baja dan industry
otomotif.
5. Penjualan hasil produksi yang dilakukan oleh Pertamina dan badan usaha selain
Pertamina yang bergerak di bidang bahan bakar minyak jenis premix dan gas.
6. Pembelian bahan-bahan untuk keperluan industry atau ekspor industry dan eksportir yang
bergerak dalam sector perhutanan, perkebunan, pertanian dan perikanan dari pedagang
pengumpul.
7. Penjualan barang yang tergolong sangat mewah. Yang dimaksud barang yang tergolong
sangat mewah adalah:
a. Pesawat udara pribadi dengan harga jual lebih dari Rp. 20.000.000.000.000,00 (dua
puluh miliar rupiah);
b. Kapal pesiar dan sejenisnya dengan harga jual lebih dari Rp. 10.000.000.000.000,00
(sepuluh miliar rupiah);
c. Rumah beserta tanahnya dengan harga jual atau harga pengalihannya lebih dari Rp.
10.000.000.000.000,00 (sepuluh miliar rupiah) dan luas bangunan lebih dari 500m2
(lima ratus meter persegi);
d. Apartemen, kondominium dan sejenisnya dengan harga jual atau pengalihannya lebih
dari Rp. 10.000.000.000.000,00 (sepuluh miliar rupiah) dan/atau luas bangunan lebih
dari 400m2 (empat ratus meter persegi);
e. Kendaraan bermotor roda empat pengangkutan orang kurang dari 10 orang berupa
sedan, jeep, sport utility vehicle (SUV), multipurpose vehicle (MPV), minibus dan
sejenisnya dengan harga jual lebih dari Rp. 5.000.000.000.000,00 (lima miliar rupiah)
dan dengan kapasitas silinder lebih dari 3.000 cc.
Dikecualikan dari pemungutan PPh pasal 22 adalah:
1. Impor barang dan atau penyerahan barang yang berdasarkan ketentuan peraturan
perundang-undangan tidak terutang Pajak Penghasilan. Pengecualian ini harus dinyatakan
dengan Surat Keterangan Bebas (SKB) Pajak Penghasilan Pasal 22 yang diterbitkan oleh
Direktur Jenderal Pajak.
2. Impor barang yang diterbitkan dari bea masuk:
a. Barang perwakilan Negara asing beserta para pejabatnya yang bertugas di Indonesia
berdasarkan asas timbale balik.
b. Barang untuk keperluan badan internasional yang diakui dan terdaftar pada
Pemerintah Indonesia beserta pejabatnya yang bertugas di Indonesia dan tidak
memegang paspor Indonesia.
c. Barang kiriman hadiah untuk keperluan ibadah umum, amal, social atau kebudayaan.
d. Barang untuk keperlua museum, kebun binatang dan tempat lain semacam itu yang
terbuka untuk umum.
UNIBA | Perpajakan Anjar Wibisono

49

50

e.
f.
g.
h.
i.
j.
k.
l.
m.
n.
o.

p.

q.
r.

Barang untuk keperluan penelitian dan pengembangan ilmu pengetahuan.


Barang untuk keperluan khusus tuna netra dan penyandang cacat lainnya.
Peti atau kemasan lain yang berisi jenazah atau abu jenazah.
Barang pindahan
Barang pribadi penumpang, awak sarana pengangkut, pelintas batas dan barang
kiriman sampai batas nilai pabean dan atau jumlah tertentu.
Barang yang diimpor oleh Pemerintah Pusat atau Pemerintah Daerah yang ditujukan
untuk kepentingan umum.
Persenjataan, amunisi dan perlengkapan militer, termasuk suku cadang yang
diperuntukkan bagi keperluan pertahanan dan keamanan Negara.
Barang dan bahan yang dipergunakan untuk menghasilkan barang bagi keperluan
pertahanan dan keamanan Negara.
Vaksin polio dalam rangka pelaksanaan program Pekan Imunisasi Nasional (PIN).
Buku-buku pelajaran umum, kitab suci dan buku-buku pelajaran agama.
Kapal laut, kapal angkutan sungai, kapal angkutan danau dan kapal angkutan
penyebrangan, kapal pandu, kapal tunda, kapal penangkap ikan, kapal tongkang, dan
suku cadang serta alat keselamatan pelayaran atau alat keselamatan manusia yang
diimpor dan digunakan oleh Perusahaan Pelayaran Niaga Nasional atau perusahaan
penangkapan ikan nasional.
Pesawat udara dan suku cadang serta alat keselamatan penerbangan atau alat
keselamatan manusia, peralatan untuk perbaikan atau pemeliharaan yang diimpor dan
digunakan oleh Perusahaan Angkutan Udara Niaga Nasional.
Kereta api dan suku cadang serta peralatan untuk perbaikan atau pemeliharaan serta
prasarana yang diimpor dan digunakan oleh PT Kereta Api Indonesia.
Peralatan yang digunakan untuk penyediaan data batas dan foto udara wilayah Negara
Kesatuan Republik Indonesia yang dilakukan oleh Tentara Nasional Indonesia.

3. Dalam hal impor sementara jika pada waktu impornya nyata-nyata dimaksudkan untuk
diekspor kembali.
4. Pembayaran yang jumlahnya paling banyak Rp. 1.000.000,- (satu juta rupiah) dan tidak
merupakan pembayaran yang terpecah-pecah.
5. Pembayaran untuk pembelian bahan bakar minyak, listrik, gas, air minum/PDAM dan
benda-benda pos.
6. Atas impor emas batangan yang akan diproses untuk menghasilkan barang perhiasan dari
emas untuk tujua ekspor. Pengecualian ini harus dinyatakan dengan Surat Keterangan
Bebas (SKB) Pajak Penghasilan pasal 22 yang diterbitkan oleh Direktur Jenderal Pajak.
7. Pembayaran/pencairan dana Jaring Pengaman Sosial (JPS) oleh Kantor Perbendaharaan
dan Kas Negara.
8. Impor kembali (re-impor), yang meliputi barang-barang yang telah diekspor kemudian
diimpor kembali dalam kualitas yang sama atau barang-barang yang telah diekspor untuk
keperluan perbaikan, pengerjaan dan pengujian yang telah memenuhi syarat yang
ditentukan oleh Direktur Jenderal Bea dan Cukai.
9. Pembayaran untuk pembelian gabah dan/atau beras oleh BULOG.

UNIBA | Perpajakan Anjar Wibisono

50

51

PAJAK PENGHASILAN PASAL 23


PENGERTIAN
Ketentuan dalam pasal 23 UU PPh mengatur pemotongan pajak atas penghasilan yang diterima
atau diperoleh Wajib Pajak dalam negeri dan Bentuk Usaha Tetap yang berasal dari modal,
penyerahan jasa, atau penyelenggaraan kegiatan selain yang telah dipotong Pajak Penghasilan
Pasal 21, yang dibayarkan, disediakan untuk dibayarkan, atau telah jatuh tempo pembayarannya
oleh badan pemerintah, subjek pajak dalam negeri, penyelenggara kegiatan, bentuk usaha tetap,
atau perwakilan perusahaan luar negeri lainnya.
PEMOTONG PPh PASAL 23
Pemotong PPh Pasal 23 adalah pihak-pihak yang membayarkan penghasilan, yang terdiri atas:
1. Badan pemerintah.
2. Subjek Pajak badan dalam negeri.
3. Penyelenggara kegiatan.
4. Bentuk usaha tetap.
5. Perwakilan perusahaan luar negeri lainnya.
6. Orang pribadi sebagai Wajib pajak dalam negeri yang telah mendapat penunjukkan dari
Direktur Jenderal Pajak untuk memotong pajak PPh Pasal 23, yang meliputi:
a. Akuntan, arsitek, dokter, notaries, Pejabat Pembuat Akta Tanah (PPAT) kecuali
PPAT tersebut adalah Camat, pengacara dan konsultan yang melakukan pekerjaan
bebas.
b. Orang pribadi yang menjalankan usaha yang menyelenggarakan pembukuan.
YANG DIKENAKAN PEMOTONGAN PPh PASAL 23
Yang dikenakan pemotongan PPh pasal 23 adalah wajib pajak dalam negeri atau Bentuk usaha
tetap yang menerima atau memperoleh penghasilan yang berasal dari modal, penyerahan jasa,
atau penyelenggaraan kegiatan selain yang telah dipotong Pajak Penghasilan Pasal 21.
OBJEK PEMOTONGAN PPh PASAL 23
Penghasilan yang dipotong PPh Pasal 23 adalah:
1. Dividen, dengan nama dan dalam bentuk apapun, termasuk dividen dari perusahaan
asuransi kepada pemegang polis, dan pembagian sisa hasil usaha koperasi;
2. Bunga termasuk premium, diskonto, dan imbalan karena jaminan pengembalian utang;
3. Royalti;
4. Hadiah, penghargaan, bonus, dan sejenisnya selain yang telah dipotong Pajak
Penghasilan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 21;
5. Sewa dan penghasilan lain sehubungan dengan penggunaan harta, kecuali sewa tanah
dan/atau bangunan; dan
6. Inbalan sehubungan dengan jasa teknik, jasa manajemen, jasa konstruksi, jasa konsultan,
dan jasa lain selain jasa yang telah dipotong Pajak Penghasilan sebagaimana dimaksud
dalam pasal 21.
7.

UNIBA | Perpajakan Anjar Wibisono

51

52

PENGECUALIAN OBJEK PEMOTONGAN PPh PASAL 23


Penghasilan yang tidak dikenakan pemotongan PPh pasal 23 adalah:
1. Penghasilan yang dibayar atau terutang kepada bank.
2. Sewa yang dibayarkan atau terutang sehubungan dengan sewa guna usaha dengan hak
opsi.
3. Dividen atau bagian laba yang diterima atau diperoleh perseroan terbatas sebagai Wajib
Pajak dalam negeri, koperasi, badan usaha milik Negara, atau badan usaha milik daerah,
dari penyertaan modal pada badan usaha yang didirikan dan bertempat kedudukan di
Indonesia dengan syarat:
a. Dividen berasal dari cadangan laba yang ditahan; dan
b. Bagi perseroan terbatas, badan usaha milik Negara dan badan usaha milik daerah
yang menerima dividen, kepemilikan saham pada badan yang memberikan dividen
paling rendah 25% (dua puluh lima persen) dari jumlah modal yang disetor;
4. Divide yang diterima oleh orang pribadi;
5. Bagian laba yang diterima atau diperoleh anggota dari perseroan komanditer yang
modalnya tidak terbagi atas saham-saham, persekutuan, perkumpulan, firma dan kongsi,
termasuk pemegang unit penyertaan kontrak investasi kolektif;
6. Sisa hasil usaha koperasi yang dibayarkan oleh koperasi kepada anggotanya;
7. Penghasilan yang dibayar atau terutang kepada badan usaha atas jasa keuangan yang
berfungsi sebagai penyalur pinjaman dan/atau pembiayaan yang diatur dengan Peraturan
Menteri Keuangan.
TARIF PEMOTONGAN
Besarnya PPh pasal 23 yang dipotong adalah:
1. Sebesar 15% (lima belas persen) dari jumlah bruto atas:
a. Dividen;
b. Bunga termasuk premium, diskonto dan imbalan karena jaminan pengembalian utang;
c. Royalti; dan
d. Hadiah, penghargaan, bonus dan sejenisnya selain yang telah dipotong Pajak
Penghasilan pasal 21;
2. Sebesar 2% (dua persen) dari jumlah bruto tidak termasuk Pajak Pertambahan Nilai, atas:
a. Sewa dan penghasilan lain sehubungan dengan penggunaan harta, kecuali sewa tanah
dan/atau bangunan; dan
b. Imbalan sehubungan dengan jasa teknik, jasa manajemen, jasa konstruksi, jasa
konsultan, dan jasa lain selain jasa yang telah dipotong Pajak Penghasilan Pasal 21.
Jasa lain terdiri dari:
1) Jasa penilai (appraisal);
2) Jasa aktuaris;
3) Jasa akuntansi, pembukuan dan atestasi laporan keuangan;
4) Jasa perancang (design);
5) Jasa pengeboran (drilling) di bidang penambangan minyak dan gas bumi (migas),
kecuali yang dilakukan oleh bentuk usaha tetap (BUT);
6) Jasa penunjang di bidang penambangan migas;
7) Jasa penambangan dan jasa penunjang di bidang penambangan selain migas;
8) Jasa penunjang di bidang penerbangan dan Bandar udara;
9) Jasa penebangan hutan;
UNIBA | Perpajakan Anjar Wibisono

52

53

10) Jasa pengolahan limbah;


11) Jasa penyedia tenaga kerja (outsourcing services)
12) Jasa perantara dan/atau keagenan;
13) Jasa di bidang perdagangan surat-surat berharga, kecuali yang dilakukan oleh
Bursa Efek, KSEI dan KPEI;
14) Jasa custodian/penyimpanan/penitipan, kecuali yang dilakukan oleh KSEI;
15) Jasa pengisian suara (dubbing) dan/atau sulih suara;
16) Jasa mixing film;
17) Jasa sehubungan dengan software computer, termasuk perawatan, pemeliharaan
dan perbaikan;
18) Jasa instalasi/pemasangan mesin, peralatan, listrik, telepon, air, gas, AC, dan/atau
TV kabel, selain yang dilakukan oleh Wajib pajak yang ruang lingkupnya di
bidang konstruksi dan mempunyai izin dan/atau sertifikasi sebagai pengusaha
konstruksi;
19) Jasa perawatan/perbaikan/pemeliharaan mesin, peralatan, listrik, telepon, air, gas,
AC, TV kabel, alat transportasi/kendaraan dan/atau bangunan, selain yang
dilakukan oleh Wajib Pajak yang ruang lingkupnya di bidang konstruksi dan
mempunyai izin dan/atau sertifikasi sebagai pengusaha konstruksi;
20) Jasa maklon;
21) Jasa penyelidikan dan keamanan;
22) Jasa penyelenggara kegiatan atau event organizer;
23) Jasa pengepakan;
24) Jasa penyediaan tempat dan/atau waktu dalam media masa, media luar ruang atau
media lain untuk penyampaian informasi;
25) Jasa pembasmian hama;
26) Jasa kebersihan atau cleaning service;
27) Jasa catering atau tata boga.
Dalam hal wajib pajak yang menerima atau memperoleh penghasilan tidak memiliki Nomor
Pokok Wajib Pajak, besarnya tariff pemotongan adalah lebih tinggi 100% (seratus persen).
Kepemilikan Nomor Pokok Wajib Pajak dapat dibuktikan oleh Wajib Pajak, antara lain, dengan
cara menunjukkan kartu Nomor Pokok Wajib Pajak.

53

UNIBA | Perpajakan Anjar Wibisono

54

PAJAK PENGHASILAN PASAL 24


PENDAHULUAN
Pada dasarnya Wajib pajak dalam negeri terutang pajak atas seluruh penghasilan, termasuk
penghasilan yang diterima atau diperoleh dari luar negeri. Untuk meringankan beban pajak
ganda yang dapat terjadi karena pengenaan pajak atas penghasilan yang diterima atau diperoleh
di luar negeri, ketentuan ini mengatur tentang perhitungan besarnya pajak atas penghasilan yang
dibayar atau terutang di luar negeri yang dapat dikreditkan terhadap pajak yang terutang atas
seluruh penghasilan Wajib Pajak dalam negeri.
Ketentuan pasal 24 U PPh mengatur tentang perhitungan besarnya pajak atas penghasilan yang
dibayar atau terutang di luar negeri yang dapat dikreditkan terhadap pajak penghasilan yang
terutang atas seluruh penghasilan Wajib Pajak dalam negeri. Pengkreditan pajak luar negeri
dilakukan dalam tahun digabungkannya penghasilan dari luar negeri dengan penghasilan di
Indonesia. Indonesia menganut tax credit yang ordinary credit method dengan menerapkan per
country limitation.
PENGGABUNGAN PENGHASILAN
Penggabungan penghasilan yang berasal dari luar negeri dilakukan sebagai berikut:
1. Penggabungan penghasilan dari usaha dilakukan dalam tahun pajak diperolehnya
penghasilan tersebut (accrual basis).
2. Penggabungan penghasilan lainnya dilakukan dalam tahun pajak diterimanya
penghasilan tersebut (cash basis).
3. Penggabungan penghasilan yang berupa dividen (pasal 18 ayat 2 UU PPh) dilakukan
dalam tahun pajak pada saat perolehan dividen tersebut ditetapkan sesuai dengan
Keputusan Mentri Keuangan.
BATAS MAKSIMUM KREDIT PAJAK
Dalam menghitung batas jumlah pajak yang boleh dikreditkan, sumber penghasilan ditentukan
sebagai berikut:
1. Penghasilan dari saham dan sekuritas lainnya serta keuntungan dari pengalihan saham
dan sekuritas lainnya adalah Negara tempat badan yang menerbitkan saham atau
sekuritas tersebut didirikan atau bertempat kedudukan;
2. Penghasilan berupa bunga, royalty, dan sewa sehubungan dengan penggunaan harta gerak
adalah Negara tempat pihak yang membayar atau dibebani bunga, royalty atau sewa
tersebut bertempat kedudukan atau berada;
3. Penghasilan berupa sewa sehubungan dengan penggunaan harta tak gerak adalah Negara
tempat harta tersebut terletak;
4. Penghasilan berupa imbalan sehubungan dengan jasa, pekerjaan dan kegiatan adalah
Negara tempat pihak yang membayar atau dibebani imbalan tersebut bertempat
kedudukan atau berada;
5. Penghasilan bentuk usaha tetap adalah Negara tempat bentuk usaha tetap tersebut
menjalankan usaha atau melakukan kegiatan;
6. Penghasilan dari pengalihan sebagian atau seluruh hak penambangan atau tanda turut
serta dalam pembiayaan atau permodalan dalam perusahaan pertambangan adalah Negara
tempat lokasi penambangan berada;
UNIBA | Perpajakan Anjar Wibisono

54

55

7. Keuntungan karena pengalihan harta tetap adalah Negara tempat harta tetap berada; dan
8. Keuntungan karena pengalihan harta yang menjadi bagian dari suatu bentuk usaha tetap
adalah Negara tempat bentuk usaha tetap berada.
Batas maksimum kredit pajak diambil yang terendah diantara 3 unsur/perhitungan berikut ini:
1. Jumlah pajak yang terutang atau dibayar di luar negeri.
2. (Penghasilan luar negeri : Seluruh Penghasilan Kena Pajak) x PPh atas seluruh yang
dikenakan tariff pasal 17.
3. Jumlah pajak yang terutang untuk seluruh penghasilan kena pajak (dalam hal penghasilan
kena pajak adalah lebih kecil daripada penghasilan luar negeri).
BATAS MAKSIMUM KREDIT PAJAK UNTUK SETIAP NEGARA (PER COUNTRY
LIMITATION)
Apabila penghasilan luar negeri berasal dari berbagai Negara, maka perhitungan batas
maksimum kredit pajak dilakukan untuk masing-masing Negara.
RUGI USAHA DI LUAR NEGERI
Dalam menghitung Penghasilan Kena Pajak , tidak dihitung kerugian yang diderita di Luar
negeri.
PERUBAHAN BESARNYA PENGHASILAN DI LUAR NEGERI
Dalam hal terjadi perubahan besarnya pengahsilan yang berasal dari luar negeri, Wajib pajak
harus melakukan pembetulan SPT Tahunan untuk tahun pajak yang bersangkutan dengan
melampirkan dokumen yang berkenaan dengan perubahan tersebut. Apabila karena pembetulan
tersebut tidak dikenakan sanksi bunga. Apabila karena pembetulan tersebut menyebabkan Pajak
Penghasilan lebih dibayar, maka atas kelebihan tersebut dapat dikembalikan kepada Wajib Pajak
setelah diperhitungkan dengan utang pajak lainnya.
CARA MELAKSANAKAN KREDIT PAJAK LUAR NEGERI
Untuk melaksanakan pengkreditan pajak yang terutang atau dibayar di luar negeri, Wajib Pajak
wajib menyampaikan permohonan kepada Direktur Jenderal Pajak dengan dilampiri:
1. Laporan keuangan dari penghasilan yang berasal dari luar negeri.
2. Fotokopi Surat Pemberitahuan Pajak yang disampaikan di luar negeri.
3. Dokumen pembayaran pajak di luar negeri.
Penyampaian permohonan kredit pajak yang terutang atau dibayar di luar negeri tersebut
dilakukan bersamaan dengan penyampaian SPT Tahunan PPH.

55

UNIBA | Perpajakan Anjar Wibisono

56

PAJAK PENGHASILAN PASAL 25


PENDAHULUAN
Ketentuan pasal 25 Undang-undang Pajak Penghasilan mengatur tentang penghitungan besarnya
angsuran bulanan yang harus dibayar sendiri oleh Wajib Pajak dalam tahun berjalan.
Pembayaran pajak dalam tahun berjalan dpat dilakukan dengan:
1. Wajib pajak membayar sendiri (PPh pasal 25)
2. Melalui pemotongan atau pemungutan oleh pihak ketiga (PPh pasal 21, 22, 23, dan 24).
CARA MENGHITUNG BESARNYA PPh PASAL 25
Besarnya angsuran pajak dalam tahun berjalan yang harus dibayar sendiri oleh Wajib pajak
untuk setiap bulan adalah sebesar Pajak Penghasilan yang terutang menurut Surat Pemberitahuan
Pajak Tahunan Pajak penghasilan tahun pajak yang lalu dikurangi dengan:
a. Pajak penghasilan yang dipotong sebagaimana dimaksud dalam Pasal 21 dan Pasal 23,
serta Pajak Penghasilan yang dipungut sebagaimana dimaksud dalam Pasal 22.
b. Pajak Penghasilan yang dibayar atau terutang di luar negeri yang boleh dikreditkan
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 24.
Dibagi 12 (dua belas) atau banyaknya bulan dalam bagian tahun pajak.
BEBERAPA MASALAH/KASUS UNTUK MENGHITUNG BESARNYA PPh PASAL 25
1. Angsuran bulanan untuk bulan sebelum batas waktu penyampaian SPT Tahunan
PPh
Besarnya angsuran bulanan untuk bulan sebelum batas waktu penyampaian SPT Tahunan
PPh adalah sebesar angsuran pajak untuk bulan terakhir dari tahun pajak yang lalu.
2. Apabila dalam tahun berjalan, diterbitkan SKP untuk tahun pajak yang lalu
Apabila dalam tahun pajak berjalan diterbitkan Surat Ketetapan pajak untuk tahun pajak
yang lalu maka angsuran pajak dihitung kembali berdasarkan Surat Ketetapan Pajak
tersebut dan berlaku mulai bulan berikutnya setelah bulan penerbitan Surat Ketetapan
Pajak.
HAL-HAL TERTENTU UNTUK PENGHITUNGAN BESARNYA ANGSURAN PPh
PASAL 25
Direktur Jenderal Pajak diberi wewenang untuk menyesuaikan besarnya angsuran pajak yang
harus dibayar sendiri oleh Wajib Pajak dalam tahun berjalan, apabila:
1. Wajib Pajak berhak atas kompensasi kerugian
2. Wajib Pajak memperoleh penghasilan tidak teratur
3. SPT Tahunan PPh tahun yang lalu disampaikan setelah lewat batas waktu yang
ditentukan.
4. Wajib Pajak diberikan perpanjangan jangka waktu penyampaian SPT Tahunan PPh.
5. Wajib Pajak membetulkan sendiri SPT Tahunan PPh yang mengakibatkan angsuran
bulanan lebih besar dari angsuran bulanan sebelum pembetulan.
6. Terjadi perubahan keadaan usaha atau kegiatan Wajib Pajak

UNIBA | Perpajakan Anjar Wibisono

56

57

ANGSURAN PPH PASAL 25 BAGI WP BARU, BANK, BUMN, BUMD DAN WP


TERTENTU LAINNYA
Sesuai Pasal 25 ayat (7) UU PPh, penghitungan PPh Pasal 25 bagi WP baru, BUMN, BUMD,
dan WP tertentu lainnya ditetapkan oleh Menteri Keuangan.
Angsuran PPh Pasal 25 bagi Wajib Pajak Baru
- Wajib Pajak Baru adalah Wajib Pajak orang pribadi dan badan yang baru pertama kali
memperoleh penghasilan dari usaha atau pekerjaan bebas dalam tahun pajak berjalan.
- Besarnya angsuran PPh Pasal 25 setiap bulan untuk WP baru dihitung berdasarkan
penerapan tariff umum atas penghasilan neto sebulan yang disetahunkan, dibagi 12 (dua
belas).
- Dalam hal WP Baru menyelenggarakan pembukuan dan dari pembukuannya dapat
dihitung besarnya penghasilan neto setiap bulan, penghasilan neto fiscal dihitung
berdasarkan pembukuannya.
- Dalam hal WP Baru hanya menyelenggarakan pencatatan dengan menggunakan Norma
Penghitungan Penghasilan Neto atau menyelenggarakan pembukuan tetapi dari
pembukuannya tidak dapat dihitung besarnya penghasilan neto setiap bulan, penghasilan
neto fiscal dihitung berdasarkan Norma Penghitungan Penghasilan Neto atas peredaran
atau penerimaan bruto.
- Untuk Wajib Pajak orang pribadi baru, jumlah penghasilan neto fiscal yang disetahunkan
dikurangi terlebih dahulu dengan PTKP.

57

UNIBA | Perpajakan Anjar Wibisono

58

PEMBAYARAN PAJAK PENGHASILAN BAGI


ORANG PRIBADI YANG BERTOLAK KE LUAR NEGERI
PENDAHULUAN
Pembangunan Nasional membutuhkan dana, baik dana yang berasal dari dalam negeri maupun
dana dari luar negeri (devisa). Devisa merupakan dana pembiayaan yang sangat penting bagi
pembangunan Negara kita. Atas dasar tersebut, maka penggunaan devisa perlu dihemat dan
diarahkan pada berbagai usaha produktif. Salah satu jalan yang ditempuh oleh pemerintah adalah
dengan pengaturan pembayaran Pajak Penghasilan dalam tahun berjalan bagi orang pribadi yang
bertolak ke luar negeri. Oleh karena itu, bagi setiap orang pribadi yang akan bertolak ke luar
negeri diwajibkan terlebih dahulu membayar pajak penghasilan.
ORANG PRIBADI YANG BERTOLAK KE LUAR NEGERI, YANG DIKENAKAN
KEWAJIBAN MEMBAYAR PAJAK PENGHASILAN
Yang wajib membayar pajak penghasilan adalah wajib Pajak orang pribadi dalam negeri yang
tidak memiliki Nomor Pokok Wajib Pajak dan telah berusia 21 tahun yang bertolak ke luar
negeri, termasuk istri, anggota keluarga sedarah dan keluarga semenda dalam garis keturunan
lurus serta anak angkat, yang menjadi tanggungan sepenuhnya Wajib pajak yang bersangkutan.
YANG TIDAK DIKENAKAN KEWAJIBAN MEMBAYAR PAJAK PENGHASILAN
1. Warga Negara Indonesia yang bertempat tinggal tetap di luar negeri yang memiliki
dokumen resmi sebagai penduduk Negara tersebut;
2. Jemaah haji yang penyelenggaraan ibadahnya dilakukan oleh instansi yang berwenang;
3. Tenaga kerja Indonesia yang bekerja di luar negeri dalam rangka Program Penempatan
Tenaga Kerja Indonesia dengan persetujuan instansi yang berwenang;
4. Orang pribadi yang melakukan perjalanan lintas batas wilayah Republik Indonesia
melalui darat;
5. Penyandang cacat atau orang sakit yang akan berobat ke luar negeri atau biaya organisasi
social termasuk 1 (satu) orang pendamping, dengan persetujuan instansi yang berwenang;
6. Anggota misi kesenian, misi kebudayaan, misi keolahragaan, atau misi keagamaan yang
mewakili Pemerintah Republik Indonesia ke luar negeri dengan persetujuan instansi yang
berwenang;
7. Mahasiswa atau pelajar yang telah berusia 21 (dua puluh satu) tahun yang akan belajar di
luar negeri dalam rangka program resmi pertukaran mahasiswa atau pelajar yang
diselenggarakan pemerintah atau badan asing dengan persetujuan instansi yang
berwenang;
8. Mahasiswa dari Negara asing yang berada di Indonesia dalam rangka belajar dengan
rekomendasi dari perguruan tinggi tempat mereka belajar dan tidak menerima atau
memperoleh penghasilan dari Indonesia;
9. Tenaga kerja asing yang bekerja di Pulau Batam, Pulau Bintan, dan Pulau Karimun,
sepanjang pajak penghasilannya telah dipotong oleh pemberi kerja; atau
10. Orang asing yang berada di Indonesia dan tidak menerima atau memperoleh penghasilan
dari Indonesia yang melaksanakan:
a. Penelitian di bidang ilmu pengetahuan dan kebudayaan di bawah koordinasi lembaga
pemerintah terkait;
b. Program kerjasama teknik dengan mendapat persetujuan Sekretariat Negara; dan/atau
UNIBA | Perpajakan Anjar Wibisono

58

59

c. Tugas sebagai anggota misi keagamaan dan misi kemanusiaan di bawah koordinasi
instansi terkait.
11. Orang asing yang tidak bertempat tinggal di Indonesia atau berada di Indonesia tidak
lebih dari 183 (seratus delapan puluh tiga) hari dalam jangka waktu 12 (dua belas) bulan;
12. Pejabat dari perwakilan organisasi internasional yang tidak termasuk subjek Pajak
Penghasilan yang ditetapkan dengan Keputusan Menteri keuangan, termasuk anggota
keluarganya, dengan syarat bukan warga Negara Indonesia dan tidak menjalankan usaha,
kegiatan atau pekerjaan lain untuk memperoleh penghasilan dari Indonesia; atau
13. Pejabat perwakilan diplomatic dan konsulat atau pejabat lain dari Negara asing, termasuk
anggota keluarganya dan orang-orang yang diperbantukan kepada mereka, yang bekerja
pada dan bertempat tinggal bersama-sama mereka, dengan syarat:
a. Bukan warga Negara Indonesia
b. Tidak menerima atau memperoleh penghasilan di luar jabatan atau pekerjaannya
tersebut di Indonesia; dan
c. Negara bersangkutan memberikan perlakuan sama sesuai asas perlakuan timbale
balik.
BESARNYA PAJAK PENGHASILAN BAGI ORANG PRIBADI YANG BERTOLAK KE
LUAR NEGERI
Besarnya Pajak Penghasilan yang harus dibayar orang pribadi yang bertolak ke luar negeri
adalah:
1. Rp. 2.500.000,00 (dua juta lima ratus ribu rupiah) untuk setiap orang setiap kali bertolak
ke luar negeri dengan menggunakan pesawat udara; dan
2. Rp. 1.000.000,00 (satu juta rupiah) untuk setiap orang setiap kali bertolak ke luar negeri
dengan menggunakan angkutan laut.
PERLAKUAN PEMBAYARAN PAJAK PENGHASILAN BAGI ORANG PRIBADI
YANG BERTOLAK KE LUAR NEGERI SEBAGAI KREDIT PAJAK
Pajak Penghasilan yang dibayar Wajib pajak orang pribadi yang bertolak ke luar negeri
merupakan angsuran pembayaran Pajak Penghasilan . Angsuran pembayaran Pajak Penghasilan
dapat dikreditkan terhadap Pajak Penghasilan yang terutang pada akhir tahun yang bersangkutan
setelah Wajib Pajak tersebut memiliki Nomor Pokok Wajib Pajak.

59

UNIBA | Perpajakan Anjar Wibisono

60

PAJAK PENGHASILAN PASAL 26


Ketentuan pasal 26 Undang-undang mengatur tentang pemotongan atas penghasilan yang
bersumber di Indonesia yang diterima atau diperoleh Wajib Pajak luar negeri (baik orang
pribadi maupun badan) selain Bentuk Usaha Tetap.
WAJIB PAJAK PPh PASAL 26
Yang dikenakan pemotongan PPh pasal 26 adalah Wajib Pajak luar negeri (orang pribadi
maupun badan) selain Bentuk Usaha Tetap yang menerima atau memperoleh penghasilan.
OBJEK PAJAK PENGHASILAN PASAL 26
Penghasilan yang dipotong PPh pasal 26 adalah :
1. a. dividen;
b. bunga termasuk premium, diskonto dan imbalan sehubungan dengan jaminan
pengembalian utang;
c. royalty, sewa, dan penghasilan lain sehubungan dengan penggunaan harta;
d. imbalan sehubungan dengan jasa, pekerjaan dan kegiatan;
e. hadiah dan penghargaan;
f. pensiun dan pembayaran berkala lainnya;
g. premi swap dan transaksi lindng nilai lainnya; dan/atau
h. keuntungan karena pembebasan utang.
2. Penghasilan dari penjualan atau pengalihan harta di Indonesia, yang berupa:
a. Perhiasan mewah,
b. Berlian,
c. Emas,
d. Intan,
e. Jam tangan mewah,
f. Barang antic,
g. Lukisan,
h. Mobil,
i. Motor,
j. Kapal pesiar,
k. Pesawat terbang ringan.
Dengan nilai Rp. 10.000.000,00 ke atas untuk setiap jenis transaksi.
3. Premi asuransi yang dibayarkan kepada perusahaan asuransi luar negeri.
4. Penjualan atau pengalihan saham perusahaan antara (conduit company atau special
purpose company) yang didirikan atau bertempat kedudukan di Negara yang memberikan
perlindungan pajak (tax haven country) yang mempunyai hubungan istimewa dengan
badan yang didirika atau bertempat kedudukan di Indonesia atau bentuk usaha tetap di
Indonesia.
5. Penghasilan Kena Pajak sesudah dikurangi pajak dari suatu bentuk usaha tetap di
Indonesia dikenai pajak sebesar 20% (dua puluh persen), kecuali penghasilan tersebut
ditanamkan kembali di Indonesia, yang ketentuannya diatur lebih lanjut dengan atau
berdasarkan Peraturan Menteri Keuangan.
UNIBA | Perpajakan Anjar Wibisono

60

61

TARIF PAJAK DAN PENERAPANNYA


Besarnya tariff PPh pasal 26 dibedakan atas kelompok objek PPh pasal 26 seperti berikut:
1. Atas penghasilan yang berupa:
a. Dividen;
b. Bunga termasuk premium, diskonto dan imbalan sehubungan dengan jaminan
pengembalian utang;
c. Royalty, sewa dan penghasilan lain sehubungan dengan pengunaan harta;
d. Imbalan sehubungan dengan jasa, pekerjaan dan kegiatan;
e. Hadiah dan penghargaan;
f. Pensiun dan pembayaran berkala lainnya;
g. Premi swap dan transaksi lindung nilai lainnya; dan/atau
h. Keuntungan karena pembebasan utang.
Dengan nama dan dalam bentuk apa pun, yang dibayarkan, disediakan untuk dibayarkan, atau
telah jatuh tempo pembayarannya dipotong pajak sebesar 20% dari jumlah bruto oleh pihak yang
wajib membayarkan.
PPh pasal 26 = Panghasilan Bruto x 20%
2. Atas penghasilan yang berupa:
a. Penghasilan dari penjualan harta di Indonesia
b. Premi asuransi yang dibayarkan kepada perusahaan asuransi luar negeri.
Dipotong PPh pasal 26 sebesar 20% dari perkiraan neto.
PPh pasal 26 = (Penghasilan Bruto x Perkiraan penghasilan neto) x 20%
Besarnya perkiraan penghasilan neto untuk penjualan harta adalah 25% dari harga jual.
Besarnya perkiraan penghasilan neto untuk premi asuransi dan premi reasuransi yang dibayarkan
pada perusahaan asuransi luar negeri adalah sebagai berikut:
a. Atas premi yang dibayar tertanggung kepada perusahaan asuransi di luar negeri baik
secara langsung maupun melalui pialang, sebesar 50% dari jumlah premi yang dibayar.
b. Atas premi yang dibayar oleh perusahaan asuransi yang berkedudukan di Indonesia
kepada perusahaan asuransi di luar negeri baik secara langsung maupun melalui pialang,
sebesar 10% dari jumlah premi yang dibayar.
c. Atas premi yang dibayar oleh perusahaan reasuransi yang berkedudukan di Indonesia
kepada perusahaan asuransi di luar negeri baik secara langsung maupun melalui pialang,
sebesar 5% dari jumalh premi yang dibayar.
3. Atas penghasilan yang berupa penjualan atau pengalihan saham dipotong PPh Pasal 26
sebesar 20% dari perkiraan penghasilan neto.
PPh pasal 26 = (Penghasilan Bruto x Perkiraan penghasila neto) x 20%
UNIBA | Perpajakan Anjar Wibisono

61

62

Besarnya penghasilan neto adalah 25% dari harga jual.


4. Atas Penghasilan Kena Pajak sesudah dikurangi pajak dari suatu bentuk usaha tetap di
Indonesia dikenai pajak sebesar 20%, kecuali penghasilan tersebut ditanamkan kembali
di Indonesia.
Penanaman kembali tersebut harus memenuhi persyaratan sebagai berikut:
a. Penanaman kembali dilakukan atas seluruh penghasilan kena pajak setelah dikurangi
Pajak Penghasilan dalam bentuk penyertaan modal pada perusahaan yang baru didirikan
dan berkedudukan di Indonesia sebagai pendiri atau peserta pendiri;
b. Perusahaan baru yang didirikan dan berkedudukan di Indonesia sebagaimana dimaksud
pada huruf a, harus secara aktif melakukan kegiatan usaha sesuai dengan akte
pendiriannya, paling lama 1 (satu) tahun sejak perusahaan tersebut didirikan;
c. Penanaman kembali dilakukan dalam tahun pajak berjalan atau paling lama tahun pajak
berikutnya dari tahun pajak diterima atau diperolehnya penghasilan tersebut; dan
d. Tidak melakukan pengalihan atas penanaman kembali tersebut paling singkat dalam
jangka waktu 2 (dua) tahun sesudah perusahaan baru tersebut telah berproduksi
komersial.
PPh pasal 26 = (PKP PPh terutang) x 20%
Catatan:
Untuk keperluan penghitungan PPh pasal 26, penghasilan yang diterima atau diperoleh dalam
mata uang asing dihitung, berdasarkan nilai kurs yang ditetapkan oleh menteri keuangan yang
berlaku pada saat pembayaran atau dibebankan.
CONTOH PENGHITUNGAN PEMOTONGAN PPh PASAL 26
Mike adalah karyawan asing pada perusahaan PT Dira Consult. Mike bertempat tinggal kurang
dari 183 hari. Mike sudah beristri, dan mempunyai seorang anak. Dalam bulan April 2009, Mike
memperoleh gaji US$ 5,000 sebulan. Kurs yang berlaku adalah Rp. 10.500,- per US$ 1.
Penghitungan PPh pasal 26:
Penghasilan bruto berupa gaji sebulan:
5.00 x Rp. 10.500,- = Rp. 52.500.000,Penerapan tariff:
20% x Rp. 52.500.000,00 = Rp. 10.500.000,00
PPh pasal 26 atas gaji Mike bulan April 2009 adalah Rp. 10.500.000,00.
SIFAT PEMOTONGAN
Pemotongan PPh pasal 26 bersifat final, kecuali:
1. Pemotongan atas penghasilan kantor pusat dari usaha atau kegiatan, penjualan barang
atau pemberian jasa di Indonesia yang sejenis dengan yang dijalankan atau dilakukan
BUT di Indonesia.

UNIBA | Perpajakan Anjar Wibisono

62

63

2. Pemotongan atas penghasilan sebagaimanatersebut dalam PPh pasal 26 yang diterima


atau diperoleh kantor pusat, sepanjang terdapat hubungan efektif antara BUT dengan
harta atau kegiatan yang memberikan penghasilan dimaksud.
3. Pemotongan atas penghasilan yang diterima atau diperoleh orang pribadi atau badan luar
negeri yang berubah status menjadi Wajib pajak dalam negeri atau BUT.
PEMOTONG PAJAK
Pemotongan pajak berdasarkan ketentuan pasal 26 wajib dilakukan oleh:
1. Badan Pemerintah
2. Subjek Pajak dalam negeri
3. Penyelenggara kegiatan
4. Bentuk Usaha Tetap
5. Perwakilan perusahaan luar negeri lainnya
6. Pembeli yang ditunjuk sebagai pemotong PPh pasal 26.

63

UNIBA | Perpajakan Anjar Wibisono

64

BAB VI
PAJAK PENGHASILAN PASAL 4 AYAT 2
(PPh YANG BERSIFAT FINAL)
PAJAK PENGHASILA ATAS BUNGA, SEWA DAN IMBALAN JASA KONSULTAN
DAN JASA KONSTRUKSI YANG DIATUR DENGAN PERATURAN PEMERINTAH
(PPh PASAL 4 ayat 2)
Pasal 4 ayat 2 Undan-undang pajak Penghasilan memnyebutkan, bahwa:
Atas penghasilan berupa bunga deposito, dan tabungann-tabungan lainnya, penghasilan dari
transaksi saham dan sekuritas lainya di bursa efek, penghasilan dari pengalihan harta berupa
tanah dan atau bangunan serta penghasilan tertentu lainnya, pengenaan pajaknya diatur dengan
Peraturan Pemerintah.
PAJAK PENGHASILAN ATAS PENGHASILAN BERUPA BUNGA DEPOSITO DAN
TABUNGAN, DAN DISKONTO SERTIFIKAT BANK INDONESIA
Pengenaan pajak penghasilan atas penghasilan berupa bunga deposito dan tabungan serta
diskonto Sertifikat Bank Indonesia (SBI) diatur dengan Peraturan Pemerintah No. 131 tahun
2000. Menurut PP No. 131 tahun 2000, atas penghasilan berupa bunga yang berasal dari deposito
dan tabungan serta diskonto SBI yang diterima oleh Wajib Pajak dalam negeri dan BUT
dikenakan Pajak Penghasilan yang bersifat final. Besarnya PPh yang dipotong adalah 20% dari
jumlah bruto.
PPh (Final) = 20% x Bruto
Sedangkan bagi Wajib Pajak luar negeri selain Bentuk Usaha Tetap, besarnya PPh yang dipotong
adalah 20% dari jumlah bruto atau tariff berdasarkan Perjanjian Penghindaran Pajak Berganda
yang berlaku.
Pemotongan PPh ini tidak dilakukan terhadap:
1. Bunga dan diskonto yang diterima atau diperoleh bank yang didirikan di Indonesia atau
cabang bank luar negeri di Indonesia.
2. Bunga deposito dan tabungan serta Sertifikat Bank Indonesia, sepanjang jumlah deposito
dan tabungan serta Sertifikat Bank Indonesia tersebut tidak melebihi Rp. 7.500.000,00
(tujuh juta lima ratus ribu rupiah) dan bukan merupakan jumlah yang terpecah-pecah.
3. Bunga deposito dan tabungan, serta diskonto SBI yang diterima atau diperoleh dana
pensiun yang pendiriannya telah disahkan oleh Menteri Keuangan.
4. Bunga tabungan pada bank yang ditunjuk pemerintah dalam rangka pemilikan rumah
sederhana dan sangat sederhana, kaveling siap bangun untuk rumah sederhanan dan
sangat sederhana, atau rumah susun sederhana sesuai dengan ketentuan yang berlaku,
untuk dihuni sendiri.

UNIBA | Perpajakan Anjar Wibisono

64

65

Catatan:
Bagi Wajib Pajak dalam negeri orang pribadi yang seluruh penghasilannya (termasuk bunga dan
diskonto) dalam satu tahun pajak tidak melebihi PTKP, atas pajak yang telah dipotong dapat
diajukan permohonan restitusi.
PAJAK PENGHASILAN ATAS PENGAHSILAN BERUPA BUNGA ATAU DISKONTO
OBLIGASI YANG DIJUAL DI BURSA EFEK
Pengenaan pajak penghasilan atas penghasilan berupa bunga atau diskonto obligasi yang dijual
di bursa efek diatur dengan Peraturan Pemerintah No.6 Tahun 2002. Menurut PP No. 6 tahun
2002, atas penghasilan yang diterima Wajib Pajak berupa bunga dan diskonto obligasi yang
diperdagangkan dan/atau dilaporkan di bursa efek dikenakan Pajak Penghasilan yang bersifat
final. Besarnya Pajak Penghasilan tersebut adalah sebagai berikut:
1. Atas bunga obligasi dengan kupon (interest bearing bond) sebesar:
a. 20% (dua puluh persen) bagi Wajib Pajak dalam negeri dan BUT;
b. 20% (dua puluh persen) atau tariff sesuai ketentuan persetujuan Penghindaran Pajak
Berganda (P3B) yang berlaku, bagi Wajib Pajak penduduk/berkedudukan di luar
negeri.
Dari jumlah bruto bunga sesuai denga masa kepemilikan (holding period) obligasi.
2. Atas diskonto obligasi dengan kupon sebesar:
a. 20% (dua puluh persen) atau tariff sesuai ketentuan persetujuan Penghindaran Pajak
Berganda (P3B) yang berlaku, bagi Wajib Pajak penduduk/berkedudukan di luar
negeri;
b. 20% (dua puluh persen) atau tariff sesuai ketentuan Penghindaran Pajak Berganda
(P3B) yang berlaku, bagi Wajib Pajak penduduk/berkedudukan di luar negeri,
Dari selisih harga jual obligasi atau nilai nominal di atas harga perolehan obligasi, tidak
termasuk bunga berjalan (accrued interest).
3. Atas diskonto obligasi tanpa bunga (zero coupon bond) sebesar:
a. 20% (dua puluh persen) bagi Wajib Pajak dalam negeri dan BUT,
b. 20 % (dua puluh persen) atau tariff sesuai dengan ketentuan Persetujuan
Penghindaran
Pajak
Berganda
yang
berlaku,
bagi
Wajib
Pajak
penduduk/berkedudukan di luar negeri.
Dari selisih harga jual atau nilai nominal di atas harga perolehan obligasi.
Catatan:
Atas bunga dan diskonto obligasi yang diterima atau diperoleh Wajib Pajak :
1. Bank yang didirikan di Indonesia atau cabang bank luar negeri di Indonesia;
2. Dana pensiun yang pendiriannya/pembentukannya telah disahkan oleh Menteri
Keuangan;
3. Reksadana yang terdaftar pada Badan Pengawas Pasar Modal (BAPEPAM), selama 5
(lima) tahun pertama sejak pendirian atau pemberian izin usaha;
Tidak dikenakan pemotongan Pajak Penghasilan yang bersifat final.

UNIBA | Perpajakan Anjar Wibisono

65

66

PAJAK PENGHASILAN ATAS PENGHASILAN BERUPA SEWA TANAH DAN/ATAU


BANGUNAN
Pengenaan pajak penghasilan atas penghasilan berupa sewa tanah dan/atau bangunan diatur
dengan Peraturan Pemerintah No. 29 tahun 1996 sebagaimana telah diubah dengan
Peraturan Pemerintah No. 5 Tahun 2002. Menurut ketentuan tersebut pengahsilan berupa
sewa tanah dan/atau bangunan dikenakan PPh yang bersifat final. Besarnya PPh yang dipotong
adalah sebesar 10% baik atas penghasilan yang diterima oleh Wajib Pajak badan maupun orang
pribadi dari jumlah bruto nilai persewaan tanah dan/atau bangunan.
PPh (Final) = 10% x Bruto
Contoh 1 :
PT. BDS menyewa sebuah ruko dari Tuan Wibawa untuk dijadikan kantor dengan nilai sewa
sebesar Rp. 40.000.000,00.
PPh Pasal 4 ayat 2 yang dipotong oleh PT. BDS adalah:
10% x Rp. 40.000.000,00 = Rp. 4.000.000,00
PPH FINAL ATAS PENGHASILAN DARI PENGALIHAN HAK ATAS TANAH
DAN/ATAU BANGUNAN

Wajib pajak orang pribadi dan yayasan atau organisasi yang sejenis yang mengalihkan
hak atas tanah dan/atau bangunan wajib membayar PPh Final 5% dari Jumlah Bruto Nilai
Pengalihan (nilai tertinggi antara nilai berdasarkan akta jual beli/pengalihan dan NJOP
tanah & bangunan sesuai SPPT PBB).
Bagi Wajib Pajak orang pribadi yang jumlah penghasilannya melebihi Penghasilan Tidak
Kena Pajak (PTKP), apabila melakukan pengalihan hak atas tanah dan/atau bangunan
yang jumlah brutonya kurang dari Rp. 60.000.000,00 (enam puluh juta rupiah),
penghasilan yang diperoleh dari pengalihan tersebut merupakan objek Pajak Penghasilan
dan Pajak Penghasilan terutang yang bersifat final sebesar 5% (lima per seratus) dari
jumlah bruto nilai pengalihan, wajib dibayar sendiri oleh Wajib Pajak dengan Surat
Setoran Pajak Final sebelum akhir tahun pajak yang bersangkutan, kecuali penghasilan
yang diperoleh dari pengalihan penjualan, tukar-menukar, pelepasan hak, penyerahan
hak, atau cara lain kepada pemerintah guna pelaksanaan pembangunan untuk kepentingan
umum yang memerlukan persyaratan khusus.
Atas transaksi pengalihan hak aras tanah dan/atau bangunan yang dilakukan oleh Wajib
Pajak Badan yang melakukan pengalihan hak atas tanah dan/atau bangunan di luar
kegiatan usaha pokoknya, diwajibkan menyetor PPh 5% melalui bank persepsi. Setoran
PPh tersebut tidak bersifat final, sehingga merupakan angsuran PPh dalam tahun
berjalan yang dapat dikreditkan.
Atas penghasilan yang diterima atau diperoleh Wajib Pajak badan termasuk koperasi
yang usaha pokoknya melakukan transaksi pengalihan hak atas tanah dan/atau
bangunan, pengenaan Pajak Penghasilannya berdasarkan ketentuan umum Pasal 16 ayat
(1) dan pasal 17 UU PPh. Dengan demikian, kewajiban pembayarn Pajak Penghasilan
dalam tahun berjalan dihitung dan dilaksanakan sendiri berdasarkan ketentuan pasal 25.
PPh (Final) = 5% x Bruto
UNIBA | Perpajakan Anjar Wibisono

66

67

USAHA JASA KONSTRUKSI


Pengenaan pajak penghasilan atas penghasilan dari usaha jasa konstruksi diatur dengan
Peraturan Pemerintah No.51 Tahun 2008. Berikut ini adalah beberapa pengertian menurut PP
No. 51 tahun:
Jasa konstruksi adalah layanan jasa konsultasi perencanaan pekerjaan konstruksi, layanan jasa
pelaksanaan pekerjaan konstruksi dan layanan jasa konsultasi pengawasan pekerjaan konstruksi.
Pekerjaan konstruksi adalah keseluruhan atau sebagian rangkaian kegiatan perencanaan
dan/atau pelaksanaan beserta pengawasan yang mencakup pekerjaan arsitektural, sipil,
mekanikal, elektrikal dan tata lingkungan masing-masing beserta kelengkapannya untuk
mewujudkan suatu bangunan atau bentuk fisik lain.
Perencanaan konstruksi adalah pemberian jasa oleh orang pribadi atau badan yang dinyatakan
ahli uang professional di bidang perencanaan jasa konstruksi yang mampu mewujudkan
pekerjaan dalam bentuk dokumen perencanaan bangunan fisik lain.
Pelaksanaan konstruksi adalah pemberian jasa oleh orang pribadi atau badan yang dinyatakan
ahi yang professional di bidang pelaksanaan jasa konstruksi yang mampu menyelenggarakan
kegiatannya untuk mewujudkan suatu hasil perencanaan menjadi bentuk bangunan atau bentuk
fisik lain, termasuk di dalamnya pekerjaan konstruksi terintegrasi yaitu penggabungan fungsi
layanan dalam model penggabungan perencanaan, pengadaan dan pembangunan (engineering,
procurement and construction) serta model penggabungan perencanaan dan pembangunan
(design and build).
Pengawasan konstruksi adalah pemberian jasa oleh orang pribadi atau badan yang dinyatakan
ahli yang professional di bidang pengawasan jasa konstruksi, yang mampu melaksanakan
pekerjaan pengawasan sejak awal pelaksanaan pekerjaan konstruksi sampai selesai dan
diserahterimakan.
Penyedia jasa adalah orang pribadi atau badan termasuk bentuk usaha tetap, yang kegiatan
usahanya menyediakan layanan jasa konstruksi baik sebagai perencana konstruksi, pelaksana
konstruksi dan pengawas konstruksi maupun sub-subnya.
Atas penghasilan dari usaha Jasa Konstruksi dikenakan Pajak Penghasilan yang bersifat .
Besarnya PPh yang dipotong adalah sebagai berikut:
1. 2% (dua persen) untuk pelaksanaan konstruksi yang dilakukan oleh penyedia jasa yang
memiliki kualifikasi usaha kecil;
PPh (Final) = 2% x Jumlah Jasa
67

2. 4% (empat persen) untuk Pelaksanaan konstruksi yang dilakukan oleh Penyedia Jasa
yang tidak memilki kualifikasi usaha;

UNIBA | Perpajakan Anjar Wibisono

68

PPh (Final) = 4% x Jumlah Jasa


3. 3% (tiga persen) untuk Pelaksanaan Konstruksi yang dilakukan oleh penyedia jasa selain
penyedia jasa sebagaimana dimaksud dalam angka dan angka 2;
PPh (Final) = 35 x Jumlah Jasa
4. 4% (empat persen) untuk Perencanaan konstruksi atau pengawasan konstruksi yang
dilakukan oleh penyedia jasa yang memiliki kualifikasi usaha; dan
PPh (Final) = 4% x Jumlah jasa
5. 6% (enam persen) untuk perencanaan konstruksi ayau pengawasan konstruksi yang
dilakukan oleh penyedia jasa yang tidak memiliki kualifikasi usaha.
PPh (Final) = 6% x Jumlah Jasa
Pajak Penghasilan atas jasa konstruksi:
Dipotong oleh pengguna jasa pada saat pembayaran , dalam hal pengguna jasa
merupakan pemotong pajak; atau
Disetor sendiri oleh penyedia jasa, dalam hal pengguna jasa bukan merupakan pemotong
pajak.
PAJAK PENGHASILAN ATAS HADIAH UNDIAN
Pengenaan pajak penghasilan atas penghasilan berupa hadiah undian diatur dalam Peraturan
Pemerintah No. 132 Tahun 2000. Menurut ketentuan peraturan tersebut penghasilan berupa
hadiah undian dengan nama dan dalam bentuk apapun dipotong atau dipungut pajak penghasilan
yang bersifat final. Besarnya pajak penghasilan yang wajib dipotong atau dipungut adalah
sebesar 25% (dua puluh lima persen) dari jumlah bruto hadiah undian.
PPh (Final) = 25% x Bruto
Contoh 2 :
PT. Dipta dalam rangka mempromosikan produk barunya menyelenggarakan undian dengan
hadiah berupa uang tunai senilai Rp. 100.000.000,00.
PPh Pasal 4 ayat 2 yang dipotong oleh PT. Dipta adalah :
25% x Rp. 100.000.000,00 = Rp. 25.000.000,00
68

UNIBA | Perpajakan Anjar Wibisono

69

PPH FINAL ATAS PENGHASILAN DARI TRANSAKSI DERIVATIF BERUPA


KONTRAK BERJANGKA YANG DIPERDAGANGKAN DI BURSA
Pengenaan pajak penghasilan atas penghasilan dari transaksi derivative berupa kontrak berjangka
yang diperdagangkan di bursa diatur dalam Peraturan Pemerintah Nomor 17 Tahun 2009.
Atas penghasilan yang diterima dan/atau diperoleh orang pribadi atau badan dari transaksi
derivative berupa kontrak berjangka yang diperdagangkan di bursa dikenai Pajak Penghasilan
yang bersifat final sebesar 2,5% (dua koma lima persen) dari margin awal.
PPh (Final) = 2,5% x Margin Awal

69

UNIBA | Perpajakan Anjar Wibisono

70

BAB VII
PAJAK PERTAMBAHAN NILAI BARANG DAN JASA DAN PAJAK PENJUALAN
ATAS BARANG MEWAH
PENDAHULUAN
Apabila dilihat dari sejarahnya, Pajak Pertambahan Nilai merupakan pengganti dari Pajak
Penjualan. Alasan penggantian ini karena Pajak Penjualan dirasa sudah tidak lagi memadai untuk
menampung kegiatan masyarakat dan belum mencapai sasaran kebutuhan pemabngunan,antara
lain untuk meningkatkan penerimaan Negara, mendorong ekspor dan pemerataan pembebanan
pajak.
Pajak Penjualan mempunyai beberapa kelamahan, yaitu antara lain:
1. Adanya pajak berganda.
2. Bermacam-macam tarif (ada 9 macam tarif), sehinga menimbulkan kesulitan
pelaksanaannya.
3. Tidak mendorong ekspor.
4. Belum dapat mengatasi penyelundupan.
Sedangkan di lain sisi Pajak Pertambahan Nilai mempunyai kelebihan, antara lain:
1. Menghilangkan pajak berganda.
2. Menggunakan tariff tunggal, sehingga memudahkan pelaksanaan.
3. Netral dalam persaingan dalam negeri.
4. Netral dalam perdagangan internasional.
5. Netral dalam pola konsumsi.
6. Dapat mendorong ekspor.
Pajak Pertambahan Nilai merupakan:
1. Pajak tidak langsung.
2. Pajak atas konsumsi dalam negeri.
DASAR HUKUM
Undang-undang yang mengatur pengenaan Pajak Pertambahan Nilai (PPN) dan Pajak Penjualan
atas Barang Mewah (PPh BM) adalah Undang-undang Nomor 8 Tahun 1983 tentang Pajak
Pertambahan Nilai Barang dan Jasa dan Pajak Penjualan atas barang Mewah sebagaimana telah
beberapa kali diubah terakhir dengan Undang-undang Nomor 18 tahun 2000. Undang-undang ini
disebut Undang-undang Pajak Pertambahan Nilai 1984.
PENGERTIAN-PENGERTIAN
1. Daerah Pabean adalah wilayah Republik Indonesia yang meliputi wilayah darat, perairan
dan ruang udara di atasnya serta tempat-tempat tertentu di Zona Ekonomi Eksklusif dan
Landasan Kontingen yang di dalamnya berlaku Undang-undang Nomor 10 Tahun 1995
tentang Kepabeanan.
2. Impor adalah setiap kegiatan memasukkan barang dari luar Daerah Pabean ke dalam
Daerah Pabean.

UNIBA | Perpajakan Anjar Wibisono

70

71

3. Ekspor adalah setiap kegiatan mengeluarkan barang dari dalam Daerah Pabean ke luar
daerah Pabean.
4. Menghasilkan adalah kegiatan mengolah melalui proses mengubah bentuk atau sifat
suatu barang dari bentuk aslinya menjadi barang baru atau mempunyai daya guna baru,
atau kegiatan mengolah sumber daya alam termasuk menyuruh orang pribadi atau badan
lain melakukan kegiatan tersebut.
5. Pajak masukan adalah Pajak Pertambahan Nilai yang seharusnya sudah dibayar oleh
Pengusaha Kena Pajak karena perolehan BKP dan atau peerimaan JKP dan atau
pemanfaatan BKP tidak terwujud dari luar Daerah Pabean dan atau pemanfaatan JKP dari
luar Daerah Pabean dan atau impor BKP.
6. Pajak Keluaran adalah PPN terutang yang wajib dipungut oleh Pengusaha Kena Pajak
yang melakukan penyerahan BKP, penyerahan JKP atau ekspor BKP.
7. Masa pajak adalah jangka waktu yang lamanya sama dengan 1 (satu) bulan takwim atau
jangka waktu lain yang ditetapkan dengan Keputusan Menteri Keuangan paling lama 3
(tiga) bulan takwim.
BARANG KENA PAJAK (BKP)
1. Pengertian
Barang Kena Pajak (BKP) adalah barang berwujud yang menurut sifat atau hukumnya
dapat berupa barang bergerak atau barang tidak bergerak, dan barang tidak berwujud
yang dikenakan pajak berdasarkan Undang-undang PPN.
2. Pengecualian BKP
Pada dasarnya semua barang adalah BKP, kecuali undang-undang menetapkan
sebaliknya. Jenis barang yang tidak dikenakan PPN ditetapkan dengan Peraturan
Pemerintah didasarkan atas kelompok-kelompok barang sebagai berikut:
a. Barang hasil pertambangan, penggalian dan pengeboran yang diambil langsung dari
sumbernya, seperti:
Minyak mentah (crude oil);
Gas bumi;
Panas bumi;
Pasir dan kerikil;
Batu bara sebelum diporses menjadi briket batu bara; dan
Biji besi, biji timah, biji emas, biji tembaga, biji nikel dan biji perak serta biji
bauksit.
b. Barang-barang kebutuhan pokok yang sangat dibutuhkan oleh rakyat banyak, seperti:
Beras;
Gabah;
Jagung;
Sagu;
Kedelai; dan
Garam baik yang beryodium maupun yang tidak beryodium.
c. Makanan dan minuman yang disajikan di hotel, restoran, rumah makan, warung dan
sejenisnya meliputi makanan dan minuman baik yang dikonsumsi ditempat maupun
tidak, tidak termasuk makanan dan minuman yang diserahkan oleh usaha jasa boga
atau catering.
d. Uang, emas batangan, dan surat-surat berharga (saham, obligasi dan lainnya).
UNIBA | Perpajakan Anjar Wibisono

71

72

JASA KENA PAJAK (JKP)


1. Pengertian
Jasa Kena Pajak (JKP) adalah setiap kegiatan pelayanan berdasarkan suatu perikatan atau
perbuatan hukum yang menyebabkan suatu barang atau fasilitas atau kemudahan atau hak
tersedia untuk dipakai, termasuk jasa yang dilakukan untuk menghasilkan barang karena
pesanan atau permintaan dengan bahan dan atas petunjuk dari pemesan yang dikenakan
pajak berdasarkan Undang-undang PPN 1984.
2. Pengecualian JKP
Pada dasarnya semua jasa dikenakan pajak, kecuali yang ditentukan lain oleh Undangundang PPN. Jenis jasa yang tidak dikenakan PPN ditetapkan dengan Peraturan
Pemerintah didasarkan tas kelompok-kelompok jasa sebagai berikut:
a. Jasa di bidang pelayanan kesehatan medic, meliputi:
Jasa dokter umum, dokter spesialis dan dokter gigi;
Jasa dokter hewan;
Jasa ahli kesehatan seperti akupuntur, ahli gizi dan fisioterapi;
Jasa kebidanan dan dukun bayi;
Jasa paramedic dan perawat; dan
Jasa rumah sakit, rumah bersalin, klinik kesehatan, laboratorium kesehatan
dan sanatorium.
b. Jasa di bidang pelayanan social, meliputi:
Jasa pelayanan Panti Asuhan dan Panti Jompo;
Jasa pemadam kebakaran kecuali yang bersifat komersil;
Jasa pemberian pertolongan pada kecelakaan;
Jasa Lembaga Rehabilitasi kecuali yang bersifat komersil;
Jasa pemakaman termasuk crematorium; dan
Jasa di bidang olah raga kecuali yang bersifat komersil.
c. Jasa di bidang pengiriman surat dengan perangko.
d. Jasa di bidang perbankan, asuransi, dan sewa guna usaha dengan hak opsi, seperti:
Jasa perbankan, kecuali jasa penyediaan tempat untuk menyimpan barang dan
surat berharga, jasa penitipan untuk kepentingan pihak lain berdasarkan suatu
kontrak (perjanjian), jasa wali amanat, serta pajak piutang;
Jasa asuransi, tidak termasuk broker asuransi;
Jasa sewa Guna Usaha dengan Hak Opsi.
e. Jasa di bidang keagaman, seperti:
Jasa pelayanan rumah ibadah;
Jasa pemberian khotbah atau dakwah; dan
Jasa lain dibidang keagamaan.
f. Jasa di bidang pendidikan, seperti:
Jasa penyelenggaraan pendidikan sekolah; dan
Jasa penyelenggaraan pendidikan luar sekolah (kursus-kursus).
g. Jasa di bidang kesenian dan hiburan yang tidak dikenakan Pajak Tontonan termasuk
jasa di bidang kesenian yang tidak bersifat komersil, seperti: pementasan kesenian
tradisional yang diselenggarakan secara Cuma-Cuma.

UNIBA | Perpajakan Anjar Wibisono

72

73

h. Jasa di bidang penyiaran yang bukan bersifat iklan, seperti: penyiaran radio dan
televise yang dilakukan oleh instansi Pemerintah atau swasta yang bukan bersifat
iklan dan tidak dibiayai oleh sponsor yang bertujuan komersil.
i. Jasa di bidang angkutan umum di darat dan di air, seperti: jasa angkutan umum di
darat,di laut, di danau dan di sungai yang dilakukan oleh Pemerintah atau swasta.
j. Jasa di bidang tenaga kerja, meliputi:
Jasa tenaga kerja;
Jasa penyediaan tenaga kerja sepanjang pengusaha penyedia tenaga kerja
tidak bertanggung jawab atas hasil kerja dari tenaga kerja tersebut;
Jasa penyelenggaraan latihan bagi tenaga kerja.
k. Jasa di bidang perhotelan, seperti:
Jasa persewaan kamar termasuk tambahannya di hotel, rumah penginapan,
motel, losmen, hostel, serta fasilitas yang terkait dengan kegiatan perhotelan
untuk tamu yang menginap; dan
Jasa persewaan ruangan untuk kegiatan acara atau pertemuan di hotel, rumah
penginapan, motel, losmen dan hostel.
l. Jasa yang disediakan oleh Pemerintah dalam rangka menjalankan pemerintahan
secara umum meliputi jasa-jasa yang dilaksanakan oleh instansi pemerintah, seperti:
pemberian Izin Mendirikan Bangunan, Pemberian Izin Usaha Perdagangan,
pemberian Nomor Pokok Wajib Pajak, pembuatan Kartu Tanda Penduduk.
PENGUSAHA KENA PAJAK (PKP)
1. Pengertian
a. Pengusaha adalah orang pribadi atau badan yang dalam kegiatan usaha atau
pekerjaannya menghasilkan barang, mengimpor barang, mengekspor barang,
melakukan usaha perdagangan, memanfaatkan barang tidak berwujud dari luar
Daerah Pabean, melakukan usaha jasa atau memanfaatkan jasa dari luar daerah
Pabean.
b. Pengusaha Kena Pajak (PKP) adalah pengusaha sebagaimana dimaksud pada poin
a yang melakukan penyerahan Barang Kena Pajak dan atau penyerahan Jasa Kena
Pajak yang dikenakan pajak berdasarkan Undang-undang PPN 1984, tidak termasuk
Pengusaha Kecil yang batasannya ditetapkan dengan Keputusan Menteri Keuangan,
kecuali pengusaha kecil yang memilih untuk dikukuhkan sebagai Pengusaha Kena
Pajak.
2. Kewajiban Pengusaha Kena Pajak
Pengusaha Kena Pajak berkewajiban, antara lain:
a. Melaporkan usahanya untuk dikukuhkan menjadi PKP.
b. Memungut PPN dan PPn BM yang terutang.
c. Membuat faktur pajak atas setiap penyerahan kena pajak.
d. Membuat nota retur dalam hal terdapat pengambilan BKP.
e. Melakukan pencatatan atau pembukuan mengenai kegiatan usahanya.
f. Menyetor PPN dan PPn BM yang terutang.
g. Menyampaikan Surat Pemberitahuan Masa PPN.
3. Pengecualian Kewajiban Pengusaha Kena Pajak
Pengusaha yang dikecualikan dari kewajiban sebagai Pengusaha Kena Pajak adalah:
UNIBA | Perpajakan Anjar Wibisono

73

74

a. Pengusaha kecil
b. Pengusaha yang semata-mata menyerahkan barang dan atau jasa yang tidak
dikenakan PPN.
4. Pengusaha Kecil
Pengusaha Kecil adalah pengusaha yang selama satu tahun buku melakukan penyerahan
Barang Kena Pajak dan atau Jasa Kena Pajak dengan jumlah peredaran bruto dan atau
penerimaan bruto tidak lebih dari Rp. 600.000.000,- (enam ratus juta rupiah).
Pengusaha kecil wajib melaporkan usahanya untuk dikukuhkan sebagai Pengusaha Kena
Pajak, apabla sampai dengan suatu bulan dalam tahun buku, jumlah peredaran bruto dan
atau penerimaan brutonya melebihi batas yang telah ditetapkan. Pengusaha tersebut wajib
melaporkan usahanya untuk dikukuhkan sebagai PKP paling lambat pada akhir bulan
berikutnya.
PKP dapat mengajukan permohonan pencabutan pengukuhan sebagai PKP apabila
jumlah peredaran bruto dan atau penerimaan brutonya dalam satu tahun buku tidak
melebihi batas yang telah ditentukan dengan mengajukan permohonan kepada Kepala
kantor Pelayanan Pajak tempat Pengusaha dikukuhkan sebagai PKP paling lambat 1
(satu) bulan sejak berakhirnya tahun buku. Direktur Jenderal Pajak wajib memberikan
keputusan dalam jangka waktu 2 (dua) bulan sejak permohonan pencabutan pengukuhan
diterima. Apabila dalam jangka waktu tersebut Direktur Jenderal Pajak tidak memberikan
keputusan, permohonan pencabutan pengukuhan dianggap diterima.
Beberapa hal yang perlu diketahui sehubungan dengan pengusaha kecil:
a. Dilarang membuat faktur pajak.
b. Tidak wajib memasukkan SPT Masa PPN.
c. Diwajibkan membuat pembukuan atau pencatatan.
d. Wajib lapor untuk dikukuhkan sebagai PKP, bagi pegusaha kecil yang memperoleh
peredaran bruto di atas batas yang telah ditentukan.
PENYERAHAN BARANG KENA PAJAK
Penyerahan brang yang termasuk dalam pengertian penyerahan BKP adalah:
1. Penyerahan hak atas BKP karena suatu perjanjian;
2. Pengalihan BKP oleh karena suatu perjanjian sewa beli dan perjanjian leasing;
3. Penyerahan BKP kepada pedagang perantara atau melalui juru lelang;
4. Pemakaian sendiri dan atau pemberian Cuma-Cuma atas BKP*);
5. Persediaan BKP dan aktiva yang menurut tujuan semula tidak untuk diperjualbelikan,
yang masih tersisa pada pembubaran perusahaan, sepanjang PPN atas perolehan aktiva
tersebut menurut ketentuan dapat dikreditkan;
6. Penyerahan BKP dari pusat ke cabang atau sebaliknya dan penyerahan BKP antar
cabang;
7. Penyerahan BKP secara konsinyasi.
Catatan *):
1. Pemakaian sendiri adalah pemakaian untuk kepentingan pengusaha sendiri, pengurus atau
karyawanya, baik barang produksi sendiri maupun bukan produksi sendiri.

UNIBA | Perpajakan Anjar Wibisono

74

75

2. Pemberian Cuma-Cuma adalah pemberian yang diberikan tanpa pembayaran baik


barang-barang produksi sendiri maupun bukan produksi sendiri, misalnya: contoh barang
untuk promosi.
Sedangkan penyerahan barang yang tidak termasuk dalam pengertian penyerahan BKP
adalah:
1. Penyerahan BKP kepada makelar sebagaimana dimaksud dalam Kitab Undang-undang
Hukum Dagang;
2. Penyerahan BKP untuk jaminan utang piutang;
3. Penyerahan BKP dari pusat ke cabang atau sebaliknya dan penyerahan BKP antar cabang
dalam hal Pengusaha Kena Pajak memperoleh izin pemusatan tempat pajak terutang.
OBJEK PAJAK PERTAMBAHAN NILAI
PPN dikenakan atas:
1. Penyerahan BKP di dalam Daerah Pabean yang dilakukan oleh Pengusaha Kena Pajak.
Syarat-syaratnya adalah:
Barang berwujud yang diserahkan merupakan BKP;
Barang tidak berwujud yang diserahkan merupakan BKP tidak berwujud;
Penyerahan dilakukan didalam Daerah pabean;
Penyerahan dilakukan dalam rangka kegiatan usaha atau pekerjaannya.
2. Impor BKP;
3. Penyerahan JKP yang dilakukan di dalam Daerah pabean leh pengusaha kena pajak.
Syarat-syaratnya adalah:
Jasa yang diserahkan merupakan JKP;
Penyerahan dilakukan di dalam Daerah Pabean;
Penyerahan dilakukan dalam rangka kegiatan usaha atau pekerjaannya.
4. Pemanfaatan BKP tidak berwujud dari luar daerah pabean di dalam Daerah pabean;
5. Pemanfaatan JKP dari luar Daerah Pabean di dalam Daerah pabean;
6. Ekspor BKP oleh Pengusaha kena Pajak;
7. Kegiatan membangun sendiri yang dilakukan tidak dalam kegiatan usaha atau pekerjaan
oleh orang pribadi atau badan yang hasilnya digunakan sendiri atau digunakan pihak lain;
8. Penyerahan aktiva oleh Pengusaha Kena Pajak yang menurut tujua semula aktiva tersebut
tidak untuk diperjualbelikan, sepanjang PPN yang dibayar pada saat perolehannya dapat
dikreditkan.

75

UNIBA | Perpajakan Anjar Wibisono

76

PAJAK PENJUALAN ATAS BARANG MEWAH (PPn BM)


Dengan pertimbangan bahwa:
1. Perlu adanya keseimbangan pembebanan pajak antara konsumen yang berpenghasilan
rendah dengan konsumen yang berpenghasilan tinggi,
2. Perlu adanya pengendalian pola konsumsi atas BKP yang Tergolong Mewah,
3. Perlu adanya perlindungan terhadap produsen kecil tradisional,
4. Perlu untuk mengamankan penerimaan Negara,
Maka atas penyerahan BKP yang Tergolong Mewah oleh produsen atau impor BKP yang
Tergolong Mewah, disamping dikenakan Pajak Pertambahan Nilai (PPN) juga dikenakan Pajak
Penjualan atas Barang Mewah (PPh BM).
Batasan suatu barang termasuk BKP yang Tergolong Mewah adalah:
1. Bahwa barang tersebut bukan merupakan barang kebutuhan pokok; atau
2. Barang tersebut dikonsumsi oleh masyarakat tertentu; atau
3. Pada umumnya barang tersebut dikonsumsi oleh masyarakat berpenghasilan tinggi; atau
4. Barang tersebut dikonsumsi untuk menunjukkan status; atau
5. Apabila dikonsumsi dapat merusak kesehatan dan moral masyarakat, serta mengganggu
ketertiban masyarakat, seperti minuman beralkohol.
PPn BM dikenakan atas:
1. Penyerahan BKP yang Tergolong Mewah yang dilakukan oleh Pengusaha yang
menghasilkan BKP yang Tergolong Mewah tersebut di dalam daerah Pabean dalam
kegiatan usaha atau pekerjaannya;
2. Impor BKP yang Tergolong Mewah oleh siapapun.
PPn BM merupakan pungutan tambahan di samping PPN. PPn BM hanya dikenakan 1 (satu) kali
pada waktu penyerahan BKP yang Tergolong Mewah leh pengusaha yang menghasilkan atau
pada waktu impor. Pengertian umum dari pajak Masukan tidak dikenal pada PPn BM. Oleh
karena itu, PPn BM yang telah dibayar tidak dapat dikreditkan dengan PPn BM yang terutang.
Denga demikian prinsip pemungutannya hanya 1 (satu) kali, yaitu pada saat:
1. Penyerahan oleh pabrikan atau produsen BKP yang Tergolong Mewah, atau
2. Impor BKP yang Tergolong Mewah.

76

UNIBA | Perpajakan Anjar Wibisono

77

DASAR PENGENAAN PAJAK


Untuk menghitung besarnya pajak (PPN dan PPn BM) yang terutang perlu adanya dasar
Pengenaan Pajak (DPP). Yang menjadi DPP adalah:
1. Harga jual.
2. Penggantian
3. Nilai impor
4. Nilai ekspor.
5. Nilai lain yang ditetapkan dengan Keputusan menteri Keuangan.
Harga jual adalah nilai berupa uang, termasuk semua biaya yang diminta atau seharusnya
diminta oleh penjual karena penyerahan BKP, tidak termasuk Pajak Pertambahan Nilai yang
dipungut menurut Undang-undang ini (UU PPN 1984) dan potongan harga yang dicantumkan
dalam Faktur Pajak.
Penggantian adalah nilai berupa uang, termasuk semua biaya yang diminta atau seharusnya
diminta oleh pemberi jasa karena penyerahan JKP, tidak termasuk pajak yang dipungut menurut
Undang-undang PPN 1984 dann potongan harga yang dicantumkan dalam Faktur Pajak.
Nilai impor adalah nilai berupa uang yang menjadi dasar penghitungan bea masuk ditambah
pungutan lainnya yang dikenakan pajak berdasarkan ketentuan dalam peraturan perundangundang Pabean untuk impor BKP, tidak termasuk Pajak Pertambahan Nilai yang dipungut
Undang-undang PPN 1984.
Nilai ekspor adalah nilai berupa uang, termasuk biaya yang diminta atau seharusnya diminta oleh
eksportir.
Penerapan DPP diatur dalam berbagai peraturan pelaksanaan undang-undang sebagaimana
berikut:
1. Untuk penyerahan atau penjualan BKP, yang menjadi DPP adalah jumlah harga jual.
2. Untuk penyerahan JKP, yang menjadi DPP adalah penggantian.
3. Untuk impor, yang menjadi DPP adalah nilai impor.
4. Untuk ekspor, yang menjadi DPP adalah nilai ekspor.
5. Atas kegiatan membangun sendiri bangunan permanen dengan luas 200 m2 atau lebih,
yang dilakukan oleh orang pribadi atau badan tidak dalam lingkungan perusahaan atau
pekerjaannya, DPP-nya adalah 40% (empat puluh persen) dari jumlah biaya yang
dikeluarkan untuk membangun (tidak termasuk harga perolehan tanah).
6. Untuk pemanfaatan BKP tidak berwujud atau JKP dari luar Daerah Pabean, DPP-nya
adalah sebesar jumlah yang dibayarkan atau seharusnya dibayarkan kepada pihak yang
menyerahkan BKP atau JKP tersebut.
7. Untuk pemakaian sendiri maupun pemberian cuma-Cuma, DPP-nya adalah harga jual
dikurangi laba kotor.
8. Untuk penyerahan media rekaman suara atau gambar, DPP-nya adalah perkiraan harga
jual rata-rata.
9. Dalam hal penyerahan film cerita, DPP-nya adalah perkiraan hasil rata-rata per judul
film.
UNIBA | Perpajakan Anjar Wibisono

77

78

10. Untuk persediaan BKP maupun aktiva yang menurut tujuan semula tidak untuk
diperjualbelikan, yang masih tersisa pada saat pembubaran perusahaan, DPP-nya adalah
harga pasar wajar.
11. Untuk penyerahan jasa biro perjalanan atau pariwisata maupun jasa pengiriman paket,
DPP-nya adalah 10% (sepuluh persen) dari jumlah tagihan atau jumlah yang seharusnya
ditagih.
12. Untuk penyerahan kendaraan bermotor bekas, DPP-nya adalah 10% (sepuluh persen) dari
jumlah tagihan atau jumlah yang seharusnya ditagih.
13. Untuk penyerahan jasa anjak piutang, DPP-nya adalah 5% (lima persen) dari jumlah
seluruh imbalan.
TARIF
1. Tarif pajak pertambahan nilai
Tarif PPN yang berlaku saat ini adalah 10% (sepuluh persen). Sedangkan tariff PPN atas
ekspor BKP adalah 0% (nol persen). Pengenaan tariff 0% (nol persen) bukan berarti
pembebasan dari pengenaan PPN, tetapi pajak masukan yang telah dibayar dari barang
yang diekspor dapat dikreditkan.
Berdasarkan pertimbangan perkembangan ekonomi dan atau peningkatan kebutuhan dana
untuk pembangunan, dengan Peraturan Pemerintah tariff PPN dapat diubah serendahrendahnya 5% (lima persen) dan setinggi-tingginya 15% (lima belas persen) dengan tetap
memakai prinsip tariff tunggal.
2. Tarif pajak penjualan atas barang mewah
Tariff pajak penjualan atas barang mewah (PPn BM) dengan Peraturan Pemerintah, dapat
ditetapkan dalam beberapa pengelompokan tariff, yaitu tariff paling rendah sebesar 10%
(sepuluh persen) dan tariff paling tinggi sebesar 75% (tujuh puluh lima persen). Tarif PPn
BM yang berlaku saat ini adalah 10%, 20%, 30%, 40%, 50%, dan 75%.
Tarif PPn BM dikelompokkan menjadi:
a. Kelompok berupa kendaraan bermotor
b. Kelompok selain kendaraan bermotor
Kelompok Barang Kena Pajak yang Tergolong Mewah yang berupa kendaraan bermotor yang
dikenakan Pajak Penjualan atas Barang Mewah dengan tariff sebesar
1. 10% (sepuluh persen):
a. Kendaraan bermotor untuk pengangkutan 10 (sepuluh) sampai 15 (lima belas) orang
termasuk pengemudi dengan motor bakar setus api atau nyala kompresi (diesel/semi
diesel) dengan semua isi silinder;
b. Kendaraan bermotor untuk pengangkutan kurang dari 10 (sepuluh) orang termasuk
pengemudi selain sedan dan station wagon, dengan motor bakar nyala api atau nyala
kompresi (diesel/semi diesel), dengan system 1 (satu) gandar penggerak (4x2),
dengan kapasitas isi silinder tidak lebih dari 1500 cc.
2. 20% (dua puluh persen):
a. Kendaraan bermotor untuk pengangkutan kurang dari 10 (sepuluh) orang termasuk
pengemudi selain sedan atau station wagon, dengan motor bakar nyala api atau nyala
UNIBA | Perpajakan Anjar Wibisono

78

79

3.

4.

5.
6.

7.

kompresi (diesel atau semi diesel), dengan system 1 (satu) gandar penggerak (4x2),
dengan kapasitas isi silinder lebih dari 1500 cc sampai dengan 2500 cc;
b. Kendaraan bermotor dengan kabin ganda (Double Cabin) dalam bentuk kendaraan
bak terbuka atau bak tertutup, dengan penumpang lebih dari 3 (tiga) orang termasuk
pengemudi, dengan motor bakar cetus api atau nyala kompresi (diesel/semi diesel),
dengan system 1 (satu) gandar penggerak (4x2) atau dengan system 2 (dua) gandar
penggerak (4x4), dengan kapasitas isi silinder, dengan massa total tidak lebih dari 5
(lima) ton.
30% (tiga puluh persen), adalah kendaraan bermotor untuk pengangkutan kurang dari 10
(sepuluh) orang termasuk pengemudi, berupa:
a. Kendaraan bermotor sedan atau station wagon dengan motor bakar cetus api atau
nyala kompresi (diesel/semi diesel) dengan kapasitas isi silinder sampai dengan 1500
cc.
b. Kendaraan bermotor selain sedan atau station wagon dengan motor bakar cetus api
atau nyala kompresi (diesel/semi diesel) dengan system 2 (dua) gandar penggerak
(4x4), dengan kapasitas isi silinder sampai dengan 1500 cc.
40% (empat puluh persen) adalah kendaraan bermotor untuk pengangkutan kurang dari
10 (sepuluh) orang termasuk pengemudi, berupa:
a. Kendaraan bermotor selain sedan atau station wagon dengan motor bakar cetus api,
dengan system 1 (satu) gandar penggerak (4x2), dengan kapasitas isi silinder lebih
dari 2500 cc sampai 3000 cc.
b. Kendaraan bermotor dengan motor bakar cetus api berupa sedan atau station wagon
dan selain sedan atau station wagon dengan system 2 (dua) gandar (4x4) dengan
kapasitas isi silinder lebih dari 1500 cc sampai dengan 3000 cc.
c. Kendaraan bermotor dengan motor bakar nyala kompresi (diesel/semi diesel), berupa
sedan atau station wagon dan selain sedan atau station wagon dengan system 2 (dua)
gandar penggerak (4x4), dengan kapasitas isi silinder lebih dari 1500 cc sampai
dengan 2500 cc.
50% (lima puluh persen) adalah semua jenis kendaraan khusus yang dibuat untuk golf.
60% (enam puluh persen):
a. Kendaraan bermotor beroda dua dengan kapasitas isi silindernya lebih dari 250 cc
sampai dengan 500 cc.
b. Kendaraan khusus yang dibuat untuk perjalanan di atas salju, di pantai, di gunung dan
kendaraan semacam itu.
75% (tujuh puluh lima persen):
a. Kendaraan bermotor untuk pengangkutan kurang dari 10 (sepuluh) oarng termasuk
pengemudi, dengan motor cetus api, berupa sedan atau station wagon dan selain
sedan atau station wagon dengan system 1 (satu) gandar penggerak (4x2) atau dengan
system 2 (dua) gandar penggerak (4x4) dengan kapasitas isi silinder lebih dari 3000
cc.
b. Kendaraan bermotor untuk pengangkutan kurang dari 10 (sepuluh) orang termasuk
pengemudi, dengan motor bakar nyala kompresi (diesel/semi diesel), berupa sedan
atau station wagon dan selain sedan atau station wagon dengan system 1 (satu) gandar
penggerak (4x2) atau dengan system 2 (dua) gandar penggerak (4x4) dengan
kapasitas isi silinder lebih dari 2500 cc.
c. Kendaraan bermotor beroda 2 (dua) dengan kapasitas isi silinder lebih dari 500 cc.
UNIBA | Perpajakan Anjar Wibisono

79

80

d. Trailer, semi trailer dari tipe caravan, untuk perumahan atau kemah.
Kelompok Barang kena Pajak yang Tergolong Mewah yang berupa kendaraan bermotor yang
dikenakan pajak Penjualan barang Mewah dengan tariff sebesar
1. 10% (sepuluh persen) :
a. Kelopok alat rumah tangga, pesawat pendingin, pesawat pemanas dan pesawat
penerima siaran televise;
b. Kelompok peralatan dan perlengkapan olah raga; dan
c. Kelompok mesin pengatur suhu udara;
d. Kelompok alat perekam atau reproduksi gambar; pesawat penerima siaran radio;
e. Kelompok alat fotografi, alat sinematografi dan perlengkapannya.
2. 20% (dua puluh persen):
a. Kelompok alat rumah tangga, pesawat pendingin, dan pesawat pemanas selain yang
disebut dalam kelompok tariff 10%;
b. Kelompok hunian mewah seperti rumah mewah, apartemen, kondominium, town
house dan sejenisnya;
c. Kelompok pesawat penerima siaran televise dan antenna serta reflector antenna selain
yang disebut dalam kelompok tariff 10%;
d. Kelompok mesin pengatur suhu udara, mesin setrika, mesin pencuci piring, mesin
pengering, pesawat elektromagnetik dan instrument music.
e. Kelompok wangi-wangian;
3. 30% (tiga puluh persen):
a. Kelompok kapal atau kendaraan air lainnya, sampan dan kano, kecuali untuk
keperluan Negara atau angkutan umu;
b. Kelompok peralatan dan perlengkapan olah raga, selain yang disebut dalam
kelompok tariff 10%;
4. 40% (empat puluh persen):
a. Kelompok minuman yang mengandung alcohol;
b. Kelompok barang yang terbuat dari kulit atau kulit tiruan;
c. Kelompok permadani yang terbuat dari sutera atau wool;
d. Kelompok barang kaca dari Kristal timah hitam dari jenis yang digunakan untuk
meja, dapur, rias, kantor, dekorasi dalam ruangan atau keperluan semacam itu;
e. Kelompok barang-barang yang sebagian atau seluruhnya terbuat dari logam mulia
atau dari logam yang dilapisi logam mulia atau campuran dari padanya;
f. Kelompok kapal atau kendaraan lainnya, sampan dan kano, selain yang disebutkan
dalam kelompok tariff 30%, kecuali untuk keperluan Negara atau angkutan umum;
g. Kelompok balon udara dan balon udara yang dapat dikemudikan, pesawat udara
lainnya tanpa tenaga penggerak;
h. Kelompok peluru senjata api dan senjata api lainnya, kecuali untuk keperluan Negara;
i. Kelompok jenis alas kaki;
j. Kelompok barang-barang perabot rumah tangga dan kantor;
k. Kelompok barang-barang yang terbuat dari porselin, tanah, tanah lempug cina atau
keramik;
l. Kelompok barang-barang yang sebagian atau seluruhnya terbuat dari batu, selain batu
jalan dan batu tepi jalan.

UNIBA | Perpajakan Anjar Wibisono

80

81

5. 50% (lima puluh persen):


a. Kelompok permadani yang terbuat dari bulu hewan halus;
b. Kelompok pesawat udara, selain yang dimaksud dalam kelompok tariff 40% kecuali
untuk keperluan Negara atau angkutan udara niaga;
c. Kelompok peralatan dan perlengkapan olahraga selain yang disebutkan dalam
kelompok tariff 10% dan kelompok tariff 30%;
d. Kelompok senjata api dan senjata api lainnya, kecuali untuk keperluan Negara;
6. 75% (tujuh puluh lima persen):
a. Kelompok minuman yang mengandung alcohol selain yang disebut dalam kelompok
tariff 40%;
b. Kelompok barang-barang yang sebagian atau seluruhnya terbuat dari batu mulia dan
atau mutiara atau campuran dari padanya;
c. Kelompok kapal pesiar mewah, kecuali untuk keperluan Negara atau angkutan
umum.
Untuk ekspor BKP yang Tergolong Mewah, dikenakan tariff 0% (nol persen). PPn BM yang
telah dibayar atas perolehan BKPTM yang diekspor dapat diminta kembali (restitusi).

81

UNIBA | Perpajakan Anjar Wibisono

82

MEKANISME PENGENAAN PPN


Undang-undang Pajak Pertambahan Nilai 1984 menganut metode kredit pajak (credit method)
serta metode faktur pajak (invoice method). Dalam metode ini Pajak Pertambahan Nilai (PPN)
dikenakan atas penyerahan Barang Kena Pajak (BKP) atau Jasa Kena Pajak (JKP) oleh
Pengusaha Kena Pajak (PKP). PPN dipungut secara bertingkat pada setiap jalur produksi dan
distribusi. Unsur pengenaan pajak berganda atau pengenaan pajak atas pajak dapat dihindari
dengan diterapkannya mekanisme pengkreditan pajak masukan (metode kredit pajak). Untuk
melakukan pengkreditan pajak masukan, sarana yang digunakan adalah faktur pajak (metode
faktur pajak).
Mekanisme pengenaan PPN dapat digambarkan sebagai berikut:
Pada saat membeli/memperoleh BKP/JKP, akan dipungut PPN oleh PKP penjual. Bagi
pembeli, PPN yang dipungut oleh PKP penjual tersebut merupakan pembayaran pajak di
muka dan disebut dengan Pajak Masukan. Pembeli berhak menerima bukti
pemungutan berupa faktur pajak.
Pada saat menjual/ menyerahkan BKP/JKP kepada pihak lain, wajib memungut PPN.
Bagi penjual, PPN tersebut merupakan Pajak Keluaran. Sebagai bukti telah memungut
PPN, PKP penjual wajib membuat faktur pajak.
Apabila dalam suatu masa pajak (jangka waktu yang lamanya sama dengan satu bulan
takwim) jumlah Pajak Keluaran lebih besar daripada jumlah Pajak Masukan, selisihnya
harus disetorkan ke kas Negara.
Apabila dalam suatu masa pajak jumlah Pajak Keluaran lebih kecil daripada jumlah
pajak Masukan, selisihnya dapat direstitusi (diminta kembali) atau dikompensasikan ke
masa pajak berikutnya.
Pelaporan penghitungan PPN dilakukan setiap masa pajak dengan menggunakan Surat
Pemberitahuan Masa Pajak Pertambahan Nilai (SPT Masa PPN).
Contoh:
Sepanjang bulan Maret 2006, PT. ABC mempunyai transaksi sebagai berikut:
Membeli bahan baku seharga Rp. 100.000.000,- (dipungut PPN sebesar Rp 10.000.000,-)
Membeli bahan penolong seharga Rp. 40.000.000,- (dipungut PPN sebesar Rp
4.000.000,-)
Menjual produknya seharga Rp 200.000.000,- (memungut PPN sebesar Rp 20.000.000,-)
Perhitungan PPN:
Jumlah Pajak Keluaran
Rp 20.000.000,Jumlah Pajak Masukan
Rp 14.000.000,PPN kurang bayar
Rp 6.000.000,Jumlah PPN kurang bayar sebesar Rp. 6.000.000,- ini harus disetorkan ke kas Negara

82

UNIBA | Perpajakan Anjar Wibisono

83

CARA MENGHITUNG PPN


Cara menghitung PPN adalah sebagai berikut:
PPN = Dasar Pengenaan Pajak x Tarif Pajak
Contoh ;
1. Pengusaha Kena Pajak A menjual tunai BKP Kepada Pengusaha Kena Pajak B
dengan Harga Jual Rp 25.000.000,00 PPN yang terutang:
10% x Rp 25.000.000,00 = Rp 2.500.000,00.
PPN sebesar Rp 2.500.000,00 tersebut merupakan Pajak Keluaran, yang dipungut oleh
Pengusaha Kena Pajak A. Sedangkan bagi Pengusaha Kena Pajak B, PPN tersebut
merupakan Pajak Masukan.
2. Seseorang mengimpor BKP dari luar Daerah Pabean dengan Nilai Impor Rp 15.000.000,. PPN yang dipungut melalui Direktorat Jenderal Bea dan Cukai
= 10% x Rp 15.000.000,00 = Rp 1.500.000,00
CARA MENGHITUNG PPn BM
Cara menghitung PPn BM adalah sebagai berikut:
PPn BM = Dasar Pengenaan Pajak x Tarif Pajak
Contoh:
PKP ABC sebagai pabrikan menyerahkan barang hasil produksinya dengan harga jual Rp
10.000.000,00. Barang tersebut merupakan BKP yang Tergolong Mewah dengan tariff PPn BM
sebesar 40%. Penghitungan pajak yang harus dipungut adalah sebagai berikut
PPN
= 10% x Rp 10.000.000,00 = Rp 1.000.000,00
PPn BM
= 40% x Rp 10.000.000,00 = Rp 4.000.000,SAAT TERUTANG PAJAK
Pajak terutang pada saat:
1. Penyerahan BKP atau JKP;
2. Impor BKP;
3. Pemanfaatan BKP tidak berwujud dari luar Daerah Pabean di dalam Daerah Pabean;
4. Pemanfaatan JKP dari luar Daerah Pabean di dalam Daerah Pabean;
5. Ekspor BKP;
6. Pembayaran dalam hal pembayaran diterima sebelum penyerahan BKP atau sebelum
pemanfaatan BKP tidak berwujud atau JKP dari luar Daerah Pabean di dalam Daerah
Pabean.
Secara lebih terinci, saat terutangnya pajak adalah sebagai berikut:
1. Terutangnya Pajak atas penyerahan BKP berwujud yang menurut sifat atau hukumnya
berupa barang bergerak, terjadi pada saat BKP tersebut diserahkan secara langsung
kepada pembeli atau pihak ketiga untuk dan atas nama pembeli, atau pada saat BKP
tersebut diserahkan kepada juru kirim atau pengusaha jasa angkutan.
UNIBA | Perpajakan Anjar Wibisono

83

84

2. Terutangnya Pajak atas penyerahan BKP berwujud yang menurut sifat atau hukumnya
berupa barang tidak bergerak, terjadi pada saat penyerahan hak untuk menggunakan atau
menguasai BKP tersebut, baik secara hukum atau secara nyata, kepada pihak pembeli.
3. Terutangnya Pajak atas penyerahan BKP tidak berwujud oleh Pengusaha Kena Pajak,
adalah pada saat terjadi lebih dahulu dari peristiwa-peristiwa di bawah ini:
a. Saat harga penyerahan BKP tidak berwujud dinyatakan sebagai piutang oleh
Pengusaha Kena Pajak;
b. Saat harga penyerahan BKP tidak berwujud ditagih oleh Pengusaha Kena Pajak;
c. Saat harga penyerahan BKP tidak berwujud diterima pembayarannya, baik sebagian
atau seluruhnya oleh Pengusaha Kena Pajak; atau
d. Saat ditandatanganinya kontrak atau perjanjian oleh Pengusaha Kena Pajak, dalam
hal saat sebagaimana dimaksud dalam huruf a sampai dengan huruf c tidak diketahui.
4. Terutangnya Pajak atas penyerahan JKP, terjadi pada saat mulai tersedianya fasilitas atau
kemudahan untuk dipakai secara nyata, baik sebagian atau seluruhnya.
5. Terutangnya Pajak atas impor BKP, terjadi pada saat BKP tersebut dimasukkan ke dalam
Daerah Pabean.
6. Terutangnya Pajak atas ekspor BKP, terjadi pada saat BKP dikeluarkan dari Daerah
Pabean.
7. Terutangnya Pajak atas aktiva yang menurut tujuan semula tidak untuk diperjualbelikan
dan atau persediaan BKP yang masih tersisa pada saat pembubaran perusahaan terjadi,
adalah pada saat yang terjadi lebih dahulu di antara saat:
a. Ditandatanganinya akte pembubaran oleh Notaris; atau
b. Berakhirnya jangka waktu berdirinya perseroan yang ditetapkan dalam Anggaran
Dasar; atau
c. Tanggal penetapan Pengadilan yang menyatakan perseroan dibubarkan; atau
d. Diketahuinya bahwa perusahaan tersebut nyata-nyata sudah tidak melakukan kegiatan
usaha atau sudah dibubarkan, berdasarkan hasil pemeriksaan atau berdasarkan data
atau dokumen yang ada.
8. Terutangnya Pajak atas penyerahan Barang Kena Pajak dalam rangka perubahan bentuk
usaha, penggabungan usaha, pemekaran usaha, atau pengalihan seluruh aktiva perusahaan
yang diikuti dengan perubahan pihak yang berhak atas Barang Kena Pajak tersebut,
terjadi pada saat yang disepakati atau ditetapkan sesuai hasil Rapat Umum Pemegang
saham yang tertuang dalam perjanjian perubahan bentuk usaha, penggabungan usaha,
pemekaran usaha, atau pengalihan seluruh aktiva perusahaan tersebut.
TEMPAT TERUTANG PAJAK
1. Untuk Penyerahan BKP/JKP:
a. Tempat tinggal.
b. Tempat kedudukan.
c. Tempat kegiatan usaha.
Jika mempunyai lebih dari satu tempat usaha, atas permohonan Pengusaha Kena
Pajak dapat ditetapkan salah satu tempat usaha sebagai tempat pajak terutang. Yang
menentukan adalah: tempat administrasi penjualan.
2. Untuk impor, ditempat BKP dimasukkan ke dalam Daerah Pabean.
3. Untuk pemanfaatan BKP tidak berwujud dan atau JKP dari luar Daerah Pabean, di tempat
orang pribadi atau badan tersebut terdaftar sebagai Wajib Pajak.
UNIBA | Perpajakan Anjar Wibisono

84

85

4. Untuk kegiatan membangun sendiri oleh PKP yang dilakukan tidak dalam lingkungan
perusahaan atau pekerjaannya atau oleh bukan PKP, di tempat bangunan tersebut
didirikan.
5. Tempat lain yang ditetapkan dengan Keputusan Direktur Jenderal Pajak.
FAKTUR PAJAK
Faktur Pajak adalah bukti pungutan pajak yang dibuat oleh Pengusaha kena Pajak yang
melakukan penyerahan BKP atau penyerahan JKP, atau bukti pungutan pajak karena impor BKP
yang digunakan oleh Direktorat Jenderal Bea dan Cukai. Setiap Pengusaha kena Pajak yang
melakukan penyerahan BKP dan atau JKP wajib membuat Faktur Pajak.
Faktur Pajak dapat berupa:
1. Faktur Pajak Standar.
2. Faktur Pajak Gabungan.
3. Faktur Pajak Sederhana.
4. Dokumen-dokumen tertentu yang ditetapkan sebagai Faktur Pajak Standar oleh Dirjen
Pajak.
Faktur Pajak Standar
Dalam Faktur Pajak Standar harus dicantumkan keterangan tentang penyerahan BKP atau
penyerahan JKP yang paling sedikit memuat:
1. Nama, alamat, NPWP yang menyerahkan BKP dan atau JKP;
2. Nama, alamat, NPWP pembeli BKP atau penerima JKP;
3. Jenis barang atau jasa, jumlah Harga Jual atau Penggantian dan potongan harga;
4. PPN yang dipungut;
5. PPn BM yang dipungut;
6. Kode, nomor seri dan tanggal pembuatan Faktur Paja; dan
7. Nama, jabatan dan tanda tangan yang berhak menandatangani Faktur Pajak.
Faktur Pajak merupakan bukti pungutan pajak dan dapat digunakan sebagai sarana untuk
mengkreditkan Pajak masukan. Oleh karena itu, Faktur Pajak harus benar, baik secara formal
maupun secara materiil. Faktur Pajak harus diisi secara lengkap, jelas dan benar, dan
ditandatangani oleh pejabat yang ditunjuk oleh Pengusaha Kena Pajak untuk
menandatanganinya. Namun untuk pengisian keterangan mengenai PPn BM hanya diisi apabila
atas penyerahan BKP tentang PPn BM. Faktur Pajak yang tidak diisi sesuai dengan ketentuan
seperti tersebut di atas dapat mengakibatkan PPN yang tercantum di dalamnya tidak dapat
dikreditkan. Faktur Penjualan yang memuat keterangan dan yang pengisiannya sesuai dengan
ketentuan tersebut di atas dapat juga dianggap Faktur Pajak Standar.
Faktur Pajak Standar harus dibuat paling lambat:
1. Pada akhir bulan berikutnya, setelah bulan penyerahan BKP dan atau penyerahan
keseluruhan JKP dalam hal pembayaran diterima setelah bulan penyerahan BKP dan atau
penyerahan keseluruhan JKP, kecuali pembayaran terjadi sebelum akhir bulan berikutnya
maka Faktur Pajak Standar harus dibuat paling lambat pada saat penerimaan pembayaran;
atau

UNIBA | Perpajakan Anjar Wibisono

85

86

2. Pada saat penerimaan pembayaran dalam hal penerimaan pembayaran terjadi sebelum
penyerahan BKP dan atau sebelum penyerahan JKP; atau
3. Pada saat penerimaan pembayaran termijn dalam hal penyerahan sebagian tahap
pekerjaan; atau
4. Pada saat Pengusaha Kena Pajak rekanan menyampaikan tagihan kepada Pemungut Pajak
Pertambahan Nilai.

Faktur Pajak Gabungan


Untuk meringankan beban administrasi, kepada Pengusaha Kena Pajak diperkenankan untuk
membuat satu Faktur Pajak yang meliputi semua penyerahan BKP atau penyerahan JKP yang
terjadi selama satu bulan takwim kepada pembeli yag sama atau penerima JKP yang sama.
Faktur Pajak ini disebut Faktur Pajak Gabungan. Pada dasarnya Faktur Pajak Gabungan
merupakan Faktur Pajak Standar. Faktur Pajak gabungan yang merupakan Faktur Pajak Standar
harus dibuat paling lambat pada akhir bulan berikutnya setelah bulan penyerahan Barang Kena
Pajak dan atau Jasa Kena Pajak.
Faktur Pajak Sederhana
Faktur pajak Sederhana juga merupaka bukti pungutan pajak yang dibuat oleh Pengusaha Kena
Pajak untuk menampung kegiatan penyerahan BKP atau penyerahan JKP yang dilakukan secara
langsung kepada konsumen akhir. Direktur Jenderal Pajak dapat menetapkan tanda bukti
penyerahan atau tanda bukti pembayaran sebagai Faktur Pajak Sederhana yang paling sedikit
memuat:
1. Nama, alamat, dan Nomor Pokok Wajib Pajak yang menyerahkan BKP atau JKP;
2. Jenis dan kuantum BKP atau JKP yang diserahkan;
3. Jumlah Harga Jual atau Penggantian yang sudah termasuk Pajak Pertambahan Nilai atau
besarnya PPN dicantumkan secara terpisah;
4. Tanggal pembuatan Faktur Pajak Sederhana.
Pengusaha Kena Pajak dapat membuat Faktur Pajak Sederhana dalam hal:
1. Penyerahan BKP dan atau JKP kepada konsumen akhir, dan atau
2. Penyerahan BKP dan atau JKP kepada pembeli BKP dan atau penerima JKP yang nama,
alamat atau NPWP-nya tidak dapat diketahui.
Dengan demikian Pengusaha Kena Pajak yang melakukan penyerahan BKP dan atau JKP kepada
bukan konsumen akhir yang nama, alamat atau NPWP-nya tidak dapat diketahui dapat membuat
Faktur Pajak Sederhana.
Faktur Pajak Sederhana bisa berupa bon kontan, kwitansi, bukti pembayara dan dokumen lain
yang sejenis.

86

UNIBA | Perpajakan Anjar Wibisono

87

Dokumen Tertentu yang Diperlakukan Sebagai Faktur Pajak Standar


Dokumen-dokume tertentu yang diperlakukan sebagai Faktur Pajak Standar paling sedikit harus
memuat:
1. Identitas yang berwenang menerbitkan dokumen;
2. Nama dan alamat penerima dokumen;
3. Nomor Pokok Wajib Pajak dalam hal penerima dokume adalah sebagai Wajib Pajak
dalam negeri;
4. Jumlah satuan barang apabila ada;
5. Dasar Pengenaan Pajak;
6. Jumlah pajak yang terutang kecuali dalam hal ekspor.
Sepanjang memenuhi persyaratan sebagaimana tersebut di atas, dokumen-dokumen di bawah ini
dapat diperlakukan sebagai Faktur Pajak Standar, yaitu:
1. Pemberitahuan Impor barang (PIB) yang dilampiri Surat Setoran Pajak dan atau bukti
pungutan pajak oleh Direktorat Jenderal Bea dan Cukai untuk impor BKP;
2. Pemberitahuan Ekspor Barang (PEB) yang telah difiat muat oleh pejabat yang berwenang
dari Direktorat Jenderal Bea dan Cukai dan dilampiri dengan invoice yang merupakan
satu kesatuan yang tidak terpisahkan dengan PEB tersebut;
3. Surat Perintah Penyerahan Barang (SPPB) yang dibuat/dikeluarkan oleh
BULOG/DOLOG untuk penyaluran tepung terigu;
4. Faktur Nota Bon Penyerahan (PNPB) yang dibuat/dikeluarkan oleh PERTAMINA untuk
penyerahan BBM dan atau bukan BBM;
5. Tanda pembayaran atau kuitansi untuk penyerahan jasa telekomunikasi;
6. Tiket, tagihan Surat Muatan Udara (Airway Bill) atau Delivery Bill, yang
dibuat/dikeluarkan untuk penyerahan jasa angkutan udara dalam negeri;
7. Surat Setoran Pajak untuk pembayaran PPN atas pemanfaatan BKP tidak berwujud atau
JKP dari luar Daerah Pabean;
8. Nota Penjualan Jasa yang dibuat/dikeluarkan untuk penyerahan jasa ke pelabuhan.
9. Tanda pembayaran atau kuitansi listrik.

87

UNIBA | Perpajakan Anjar Wibisono

88

MEKANISME KREDIT PAJAK


Pembeli BKP, penerima JKP, pengimpor BKP, pihak yang memanfaatkan BKP tidak berwujud
dari luar Daerah Pabean, atau pihak yang memanfaatkan JKP dari luar Derah Pabean wajib
membayar PPN dan berhak menerima bukti pungutan pajak berupa Faktur Pajak. PPN yang
sudah dibayar tersebut merupakan Pajak Masukan bagi pembeli BKP, atau penerima JKP, atau
pengimpor BKP, atau pihak yang memanfaatkan BKP tidak berwujud dari luar Daerah Pabean,
atau pihak yang memanfaatkan BKP tidak berwujud dari luar Daerah Pabean, atau pihak yang
memanfaatkan JKP dari luar Daerah Pabean yang berstatus PKP. Pajak Masukan yang dibayar
oleh Pengusaha Kena Pajak dapat dikreditkan dengan Pajak Keluaran yang dipungutnya dalam
Masa Pajak yang sama. Pajak Masukan yang dapat dikreditkan tetapi belum dikreditkan dengan
Pajak Keluaran pada Masa Pajak yang sama, dapat dikreditkan pada Masa Pajak berikutnya
paling lambat 3 (tiga) bulan setelah berakhirnya Masa Pajak yang bersangkutan sepanjang belum
dibebankan sebagai biaya dan belum dilakukan pemeriksaan. Dalam hal belum ada Pajak
Keluaran dalam suatu Masa Pajak, maka Pajak Masukan tetap dapat dikreditkan. Pajak masukan
yang dibayar untuk perolehan BKP dan atau JKP dikreditkan dengan Pajak keluaran dan
dilaporkan ke Kantor Pelayanan Pajak di mana Pengusaha Kena Pajak dikukuhkan.
Apabila dalam suatu Masa Pajak, Pajak Keluaran lebih besar daripada Pajak Masukan yang
dapat dikreditkan maka selisihnya merupakan PPN yang harus disetorkan oleh PKP ke Kas
Negara selambat-lambatnya tanggal 15 bulan berikutnya. Sedangkan apabila dalam suatu Masa
Pajak, Pajak Masukan yang dapat dikreditkan lebih besar daripada Pajak Keluarannya, maka
selisihnya merupakan kelebihan pajak yang dapat dimintakan kembali (restitusi) atau
dikompensasikan pada Masa Pajak berikutnya.
Contoh 1:
Selama bulan takwim terjadi kegiatan usaha sebagai berikut:
Membeli bahan baku dan lain-lain dari pabrikan Rp 100.000.000,00
Menyerahkan hasil produksi dengan harga jual Rp 60.000.000,00
Pajak Masukan yang dipungut oleh PKP lain adalah sebesar:
10% x Rp 100.000.000,00 = Rp 10.000.000,00
Pajak keluaran yang harus dipungut:
10% x Rp 60.000.000,00 = Rp 6.000.000,00
PPN yang lebih dibayar dalam Masa pajak yang bersangkutan:
Rp 10.000.000,00 Rp 6.000.000,00 = Rp 4.000.000,00
Kelebihan tersebut dapat dikompensasi pada Masa Pajak berikutnya atau dapat diminta kembali
(restitusi).
Apabila dalam suatu masa pajak, pajak keluaran lebih besar dari pajak masukan, maka selisihnya
merupakan pajak yang harus disetor ke Kas Negara oleh PKP.
88

UNIBA | Perpajakan Anjar Wibisono

89

Contoh 2:
Selama bulan takwim terjadi kegiatan usaha sebagai berikut:
Membeli bahan baku dan lain-lain dari pabrikan Rp 150.000.000,00
Menyerahkan BKP hasil produksi dengan harga jual Rp 200.000.000,00
Pajak Masukan yang dipungut oleh PKP lain adalah sebesar:
10% x Rp 150.000.000,00 = Rp 15.000.000,00
Pajak Keluaran yang harus dipungut:
10% x Rp 200.000.000,00 = Rp 20.000.000,00
PPN yang masih harus disetor ke Kas Negara:
Rp 20.000.000,00 Rp 15.000.000,00 = Rp 5.000.000,00
PAJAK MASUKAN YANG TIDAK DAPAT DIKREDITKAN
Pajak Masukan pada dasarnya dapat dikreditkan terhadap Pajak Keluaran. Akan tetapi tidak
semua Pajak Masukan dapat dikreditkan. Pajak Masukan yang tidak dapat dikreditkan adalah
Pajak Masukan bagi pengeluaran untuk :
1. Perolehan BKP atau JKP sebelum pengusaha dikukuhkan sebagai PKP.
2. Perolehan BKP atau JKP yang tidak mempunyai hubungan langsung dengan kegiatan
usaha.
3. Perolehan dan pemeliharaan kendaraan bermotor sedan, jeep, station wagon, van dan
kombi, kecuali merupakan barang dagangan atau disewakan.
4. Pemanfaatan BKP tidak berwujud atau pemanfaatan JKP dari luar Daerah Pabean
sebelum pengusaha dikukuhkan sebagai PKP.
5. Perolehan BKP atau JKP yang bukti pungutan pajaknya berupa Faktur Pajak Sederhana.
6. Perolehan BKP atau JKP yang Faktur pajaknya tidak memenuhi ketentuan sebagaimana
dimaksud dalam pasal 13 ayat (5) UU PPN, yang biasanya disebut Faktur Pajak cacat.
7. Pajak Masukan yang dibayar untuk perolehan Barang Kena Pajak dan/atau perolehan
Jasa Kena Pajak yang atas penyerahannya dibebaskan dari pengenaan Pajak Pertambahan
Nilai.
8. Perolehan BKP atau JKP yang Pajak masukannya ditagih dengan penerbitan ketetapan
pajak.
9. Perolehan BKP atau JKP yang Pajak masukannya tidak dilaporkan dalam SPT Masa PPN
yang dikenakan pada waktu dilakukan pemeriksaan.
10. Berkenaan dengan:
Penyerahan kendaraan bermotor bekas
Penyerahan jasa yang dilakukan oleh pengusaha biro perjalanan atau biro
pariwisata.
Jasa pengiriman paket
Jasa anjak piutang
Kegiatan membangun sendiri
89

UNIBA | Perpajakan Anjar Wibisono

90

Catatan:
Pajak Masukan berkenaan dengan kegiatan pada nomor 10 tidak dapat dikreditkan karena dalam
Nilai Lain telah diperhitungkan Pajak Masukan atas perolehan BKP dan atau JKP dalam rangka
usaha tersebut.
PENYERAHAN KEPADA PEMUNGUT PPN
Sedikit menyimpang dari mekanisme yang secara umum berlaku, apabila PKP menyerahkan
BKP dan/atau JKP kepada Pemungut PPN, PKP yang bersangkutan tidak memungut PPN dan
PPn BM. PPN dan PPn BM yang terutang atas penyerahan tersebut akan dipungut dan disetorkan
ke kas Negara oleh Pemungut PPN.
Pengertian Pemungut PPN menurut Undang-undang PPN 1984 adalah bendaharawan
pemerintah, badan atau instansi Pemerintah yang ditunjuk oleh Menteri Keuangan untuk
memungut, menyetor dan melaporkan pajak yang terutang oleh Pengusaha Kena Pajak atas
penyerahan BKP dan atau penyerahan JKP kepada bendaharawan pemerintah, badan atau
instansi Pemerintah tersebut. Menurut ketentuan yang berlaku saat ini, yang ditetapkan sebagai
Pemungut PPN adalah:
1. Bendaharawan Pemerintah, yaitu Bendaharawan atau Pejabat yang melakukan
pembayaran yang dananya berasal dari Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara atau
Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah, yang terdiri dari Bendaharawan Pemerintah
Pusat dan Daerah baik Prospinsi, Kabupaten atau Kota.
2. Kantor Pelayanan Perbendaharaan Negara (KPPN)
Pemungut PPN yang melakukan pembayaran atas penyerahan BKP dan atau JKP oleh Pengusaha
Kena Pajak Rekanan Pemerintah, wajib memungut, menyetor dan melaporkan PPN dan PPn BM
yang terutang. Pemungutan PPN dan PPn BM dilakukan pada saat dilakukan pembayaran oleh
Bendaharawan Pemerintah atau KPPN kepada PKP Rekanan Pemerintah. PPN dan PPn BM
tidak dipungut dalam hal:
1. Pembayaran yang jumlahnya paling banyak Rp 1.000.000,00 (satu juta rupiah) dan tidak
merupakan pembayaran yang terpecah-pecah;
2. Pembayaran untuk pembebasan tanah;
3. Pembayaran atas penyerahan BKP dan/atau JKP yang menurut ketentuan perundangundangan yang berlaku, mendapat fasilitas PPN tidak dipungut dan/atau dibebaskan dari
pengenaan PPN;
4. Pembayaran atas penyerahan Bahan Bakar Minyak dan Bukan Bahan Bakar Minyak oleh
PT (Persero) Pertamina;
5. Pembayaran atas rekening telepon;
6. Pembayaran atas jasa angkutan udara yang diserahkan oleh perusahaan penerbangan;
7. Pembayaran lainnya untuk penyerahan barang atau jasa yang menurut ketentuan
perundang-undangan yang berlaku tidak dikenakan PPN.
Catatan:
PPN dan PPn BM yang terutang sehubungan dengan pembayaran yang jumlahnya paling banyak
jumlah Rp 1.000.000,00, dipungut dan disetor oleh Pengusaha Kena Pajak rekanan Pemerintah
sesuai dengan ketentuan yang berlaku umum. Batas jumlah pembayaran sebesar Rp 1.000.000,00
tersebut hendaknya diartikan termasuk PPN dan PPN BM.
UNIBA | Perpajakan Anjar Wibisono

90

91

Tata Cara Pemungutan


1. Dasar Pemungutan
Dasar pemungutan PPN dan PPn BM adalah jumlah pembayaran yang dilakukan oleh
Bendaharawan Pemerintah atau jumlah pembayaran yang dilakukan oleh KPPN
sebagaimana tersebut dalam Surat Perintah Membayar (SPM).
2. Jumlah atau PPn BM yang Dipungut
a. Dalam hal penyerahan BKP hanya terutang PPN, maka jumlah PPN yang dipungut
adalah 10/110 bagian dari jumlah pembayaran.
Contoh :
Jumlah pembayaran
Jumlah PPN : 10/110 x Rp 11.000.000,00
Sisa yang dibayarkan kepada PKP rekanan
(Rp 11.000.000,00 Rp 1.000.000,00)

Rp
Rp

11.000.000,00
1.000.000,00

Rp

10.000.000,00

b. Dalam hal penyerahan BKP yang tergolong mewah dari pengusaha yang
menghasilkan BKP yang tergolong mewah tersebut, di samping terutang PPN juga
terutang PPn BM, maka jumlah PPN dan PPn BM yang dipungut adalah sebagai
berikut:
Dalam hal terutang PPn BM sebesar 20%, maka jumlah PPN yang dipungut sebesar
10/130 bagian dari jumlah pembayaran sedangkan jumlah PPn BM yang dipungut
sebesar 20/130 bagian dari jumlah pembayaran.
Contoh:
PPn BM dengan tariff 20%
Jumlah pembayaran
Rp
13.000.000,00
Jumlah PPN yang dipungut:
(10/130 x Rp 13.000.000,00)
Rp
1.000.000,00
Jumlah PPn BM yang dipungut:
(20/130 x Rp 13.000.000,00)
Rp
2.000.000,00
Sisa yang dibayarkan kepada PKP rekanan:
Rp 13.000.000,00 (Rp 1.000.000,00 + Rp 2.000.000,00) = Rp 10.000.000,00
c. Dalam hal pembayaran berjumlah paling banyak Rp 1.000.000,00 (satu juta rupiah)
dan tidak merupakan jumlah yang terpecah-pecah, maka PPN dan PPn BM tidak
perlu dipungut oleh Bendaharawan Pemerintah.
Batas jumlah pembayaran sebesar Rp 1.000.000,00
91

UNIBA | Perpajakan Anjar Wibisono

92

Contoh 1:
Harga Jual
PPN: 10% x Rp 900.000,00
PPn BM (Misal terutang dengan tariff 20%)
Harga jual termasuk PPN dan PPn BM

Rp
Rp
Rp

900.000,00
90.000,00
180.000,00
1.170.000,00

Meskipun Harga Jual Rp 900.000,00 tetapi karena pembayaran termasuk PPN dan
PPn BM berjumlah Rp 1.170.000,00 (diatas Rp 1.000.000,00), maka PPN dan PPn
BM yang terutang harus dipungut oleh Bendaharawan Pemerintah atau KPPN.
Contoh 2:
Harga Jual
PPN: 10% x Rp 800.000,00
PPn BM (missal terutang dengan tariff 10%)
Harga jual termasuk PPN dan PPn BM

Rp
Rp
Rp
Rp

800.000,00
80.000,00
80.000,00
960.000,00

Karena harga jual termasuk PPN dan PPn BM berjumlah Rp 960.000,00 (kurang dari
Rp 1.000.000,00), maka PPN dan PPn BM yang terutang tidak perlu dipungut oleh
Bendaharawan Pemerintah dan KPPN, tetapi harus dipungut dan disetor oleh PKP
Rekanan Pemerintah dan Faktur pajak tetap harus dibuat.
3. Tata Cara Pemungutan dan Penyetoran
a. PKP rekanan Pemerintah membuat Faktur Pajak dan SSP pada saat menyampaikan
tagihan kepada Bendaharawan Pemerintah atau KPPN baik untuk sebagian maupun
seluruh pembayaran.
b. SSP sebagaimana dimaksud pada huruf a diisi dengan membubuhkan NPWP dan
identitas PKP Rekanan Pemerintah yang bersangkutan, tetapi penandatanganan SSP
dilakukan oleh Bendaharawan Pemerintah atau KPKN sebagai penyetor atas nama
PKP Rekanan Pemerintah.
c. Dalam hal penyerahan BKP tersebut terutang PPn BM maka PKP rekanan
Pemerintah mencantumkan jumlah PPn BM yang terutang pada Faktur Pajak.
SAMBUNGAN
d. Faktur Pajak sebagaimana dimaksud pada huruf a dibuat dalam rangkap 3 (tiga):
Lembar ke-1 untuk Bendaharawan Pemerintah atau KPPN sebagai Pemungut
PPN.
Lembar ke-2 untuk arsip PKP rekanan Pemerintah.
Lembar ke-3 untuk Kantor Pelayanan pajak melalui Bendaharawan
Pemerintah atau KPPN.
e. Dalam hal pemungutan oleh Bendaharawan Pemerintah, SSP sebagai mana dimaksud
pada huruf a dibuat dalam rangkap 5 (lima). Setelah PPN dan atau PPn BM disetor di
Bank Persepsi atau Kantor Pos, lembar-lembar SSP tersebut diperuntukkan sebagai
berikut:

UNIBA | Perpajakan Anjar Wibisono

92

93

Lembar ke-1 untuk PKP Rekanan Pemerintah


Lembar ke-2 untuk Kantor Pelayanan Pajak melalui KPPN
Lembar ke-3 untuk PKP Rekanan Pemerintah dilampirkan pada SPT Masa
PPN
Lembar ke-4 untuk Bank Persepsi atau Kantor Pos
Lembar ke-5 untuk pertinggal Bendaharawan Pemerintah
Dalam hal pemungutan oleh KPPN, SSP sebagaimana dimaksud pada huruf a dibuat
dalam rangkap 4 (empat) yang masing-masing diperuntukkan sebagai berikut:
Lembar ke-1 untuk PKP Rekanan Pemerintah
Lembar ke-2 untuk Kantor Pelayanan Pajak melalui KPPN
Lembar ke-3 untuk PKP rekanan Pemerintah dilampirkan pada SPT Masa
PPN
Lembar ke-4 untuk pertinggal KPPN
Pada lembar Faktur sebagaimana dimaksud pada huruf d oleh Bendaharawan
Pemerintah yang melakukan pemungut wajib dibubuhi cap Disetor tanggal
.. dan ditandatangani oleh Bendaharawan Pemerintah.
Pada setiap lembar Faktur pajak sebagaimana dimaksud pada huruf d dan SSP
sebagaimana dimaksud pada huruf f oleh KPPN yang melakukan pemungutan
dicantumkan nomor dan tanggal advis SPM.
SSP lembar ke-1 dan lembar ke-2 sebagaimana dimaksud pada huruf f dibubuhi cap
TELAH DIBUKUKAN oleh KPPN
Faktur Pajak dan SSP merupakan bukti pemungutan dan penyetoran PPN dan atau
PPn BM.

f.

g.

h.

i.
j.
k.

93

UNIBA | Perpajakan Anjar Wibisono

94

PPN ATAS KEGIATAN MEMBANGUN SENDIRI


Atas kegiatan membangun sendiri akan dikenakan Pajak Pertambahan Nilai. Yang dimaksud
dengan kegiatan membangun sendiri adalah kegiatan membangun sendiri bangunan yang
dilakukan tidak dalam kegiatan usaha atau pekerjaan oleh orang pribadi atau badan yang
diperuntukkan bagi tempat tinggal atau tempat usaha dengan luas bangunan 200 m 9dua ratus
meter persegi) atau lebih. Sedangkan yang dimaksud dengan bangunan adalah bangunan
permanen yang konstruksi utamanya terdiri dari:
1. Tembok; dan atau
2. Kayu tahan lama; dan atau
3. Bahan lain yang mempunyai kekuatan sampai 20 (dua puluh) tahun atau lebih
Kegiatan membangun sendiri yang dilakukan secara bertahap dianggap merupakan satu kesatuan
kegiatan sepanjang tenggang waktu antar tahapan-tahapan tersebut tidak lebih dari 2 (dua) tahun.
Kegiatan mendirikan bangunan yang dilakukan melalui kontraktor atau pemborong bukan
merupakan kegiatan membangun sendiri sepanjang dapat dibuktikan bahwa atas kegiatan
membangun tersebut telah dipungut PPN.
Tarif dan Dasar Pengenaan Pajak
Atas kegiatan membangun sendiri dikenakan Pajak Pertambahan Nilai dengan tariff 10%
(sepuluh persen) dikalikan dengan dasar Pengenaan Pajak.
Dasar pengenaan Pajak atas kegiatan membangun sendiri adalah 40% (empat puluh persen) dari
jumlah biaya yang dikeluarkan dan atau yang dibayarkan untuk membangun sendiri , tidak
termasuk harga perolehan tanah.
Pajak Pertambahan Nilai yang terutang setiap bulan adalah sebesar 10% (sepuluh persen)
dikalikan dengan Dasar Pengenaan Pajak untuk setiap bulan.
PPN = (40% x jumlah biaya yang dikeluarkan) x 10%
Contoh:
Tuan Budi melakukan kegiatan membangun sendiri bangunan dengan luas 300m2 yang akan
digunakan sebagai rumah tinggal. Seluruh biaya yang dikeluarkan pada bulan April 2006 (diluar
pembelian tanah) adalah sebesar Rp 50.000.000,00. PPN yang harus disetorkan adalah:
PPN = (Rp 50.000.000,00 x 40%) x 10%
= Rp 20.000.000,00 x 10%
= Rp 2.000.000,00
Catatan:
Pajak masukan yang dibayar segubungan dengan kegiatan membangun sendiri tidak dapat
dikreditkan.

UNIBA | Perpajakan Anjar Wibisono

94

95

Saat dan Tempat terutang PPN.


Saat terutang PPN atas kegiatan membangun sendiri adalah pada saat dimulainya kegiatan
membangun sendiri secara fisik seperti penggalian fondasi, pemasangan tiang pancang, atau
kegiatan fisik lainnya. Sedangkan Tempat pajak terutang adalah di tempat bangunan tersebut
didirikan.
Orang pribadi atau badan yang melakukan kegiatan membangun sendiri harus menyetorkan PPN
yang terutang ke Kas Negara melalui Kantor Pos atau Bank Persepsi paling lambat 15 bulan
berikutnya setelah bulan terjadinya pengeluaran, dengan menggunakan Surat setoran Pajak.
Orang pribadi atau badan yang melakukan kegiatan membangun sendiri harus melaporkan surat
setoran Pajak lembar ke-3 ke Kantor Pelayanan Pajak yang wilayah kerjanya meliputi tempat
bangunan tersebut berada paling lambat tanggal 20 pada bulan penyetoran dilakukan.
SURAT PEMBERITAHUAN MASA (SPT MASA) PPN
Surat Pemberitahuan Masa merupakan laporan bulanan yang dapat disampaikan oleh pengusaha
Kena Pajak, mengenal perhitungan:
1. Pajak masukan berdasarkan realisasi pembelian BKP atau realisasi penerimaan JKP.
2. Pajak keluaran berdasarkan realisasi pengeluaran BKP/JKP.
3. Penyetoran pajak atau kompensasi
Bagi Pengusaha Kena Pajak penyampaian SPT:
1. PKP wajib melaporkan perhitungan pajak tersebut kepada Direktorat Jenderal Pajak
(Kantor Pelayanan Pajak).
2. Dilakukan paling lambat tanggal 20 setelah akhir Masa Pajak.
3. Menggunakan formulir SPT Masa
4. Keterangan dan dokumen yang dicantumkan dan/atau dilampirkan pada SPT Masa
ditetapkan oleh Menteri Keuangan.
5. SPT dianggap tidak dimasukkan jika tidak atau tidak sepenuhnya melaksanakan
ketentuan UU PPN. 1984
6. Perhatikan juga Ketentuan Umum dan Tata cara Perpajakan.

95

UNIBA | Perpajakan Anjar Wibisono

96

BAB VIII
BEA MATERAI
DASAR HUKUM
Dasar hukum pengenaan Bea Materai adalah Undang-undang Nomor 13 tahun 1985 atau disebut
juga Undang-undang Bea Materai. Undang-undang ini berlaku sejak tanggal 1 Januari 1986.
Selain itu untuk mengatur pelaksanaannya, telah dikeluarkan Peraturan Pemerintah Nomor 7
tahun 1995 sebagaimana telah diubah dengan Peraturan Pemerintah No.24 tahun 2000 tentang
Perubahan Tarif Bea Materai dan Besarnya Batas Pengenaan Harga Nominal yang Dikenakan
Bea Materai.
SEBAB-SEBAB DIKELUARKAN UU NO.13 TAHUN 1985 TENTANG BEA MATERAI
1. Agar lebih sempurna dan sederhana (hanya terdiri 7 bab, 18 pasal)
2. Lebih mudah dilaksanakan karena hanya mengenal 1 9satu) jenis Bea materai tetap, yaitu
Rp 6.000,00 dan Rp 3.000,00
3. Objek lebih luas
PRINSIP UMUM PEMUNGUTAN ATAU PENGENAAN BEA MATERAI
1. Bea materai dikenakan atas dokumen (merupakan pajak atas dokumen)
2. Satu dokumen hanya terutang satu Bea Materai
3. Rangkap/tindasan (yang ikut ditandatangani) terutang Bea Materai sama dengan aslinya.
PENGERTIAN
1. Bea materai adalah pajak atas dokumen
2. Dokumen adalah kertas yang berisikan tulisan yang mengandung arti dan maksud tentang
perbuatan, keadaan atau kenyataan bagi seseorang dan atau pihak-pihak yang
berkepentingan.
3. Benda Materai adalah materai temple dan kertas materai yang dikeluarkan oleh
Pemerintah Republik Indonesia.
4. Tanda Tangan adalah tanda tangan sebagaimana lazimnya dipergunakan , termasuk pula
paraf, teraan atau cap tanda tangan atau cap paraf, teraan cap nama atau tanda lainnya
sebagai pengganti tanda tangan.
5. Pemeteraian kemudian adalah suatu cara pelunasan Bea Materai yang dilakukan oleh
Pejabat Pos atas permintaan pemegang dokumen yang Bea Materainya belum dilunasi
sebagaimana mestinya.
6. Pejabat pos adalah pejabat PT. pos dan giro yang diserahi tugas melayani permintaan
pemeteraian kemudian.
TARIF BEA MATERAI Rp 6.000,00 DIKENAKAN ATAS DOKUMEN
1. a. Surat perjanjian dan surat-surat lainnya (antara lain: surat kuasa, surat hibah dan surat
pernyataan) yang dibuat dengan tujuan digunakan sebagai alat pembuktian mengenai
perbuatan, kenyataan atau keadaan yang bersifat perdata.
b. Akta-akta Notaris termasuk salinannya.
c. Akta-akta yang dibuat Pejabat Pembuat Akta Tanah (PPAT) termasuk rangkaprangkapnya
UNIBA | Perpajakan Anjar Wibisono

96

97

d. Surat yang memuat jumlah yang mempunyai harga nominal lebih dari Rp 1.000.000,00
(satu juta rupiah):
Yang menyebutkan penerimaan uang
Yang menyebutkan pembukuan uang atau penyimpanan uang dalam rekening di
bank
Yang berisi pemberitahuan saldo rekening di bank
Yang berisi pengakuan bahwa utang uang sebagian atau seluruhnya telah dilunasi
atau diperhitungkan.
e. Surat-surat Berharga seperti: wesel, promes, dan aksep yang harga nominalnya lebih dari
Rp 1.000.000,00 (satu juta rupiah)
f. Efek dengan nama dan dalam bentuk apapun sepanjang harga nominalnya lebih dari Rp
1.000.000,00 (satu juta rupiah)
2. Dokumen-dokumen yang akan digunakan sebagai alat pembuktian di muka pengadilan:
a. Surat-surat biasa dan surat-surat kerumahtanggaan
b. Surat-surat yang semula tidak dikenakan Bea materai berdasarkan tujuannya, jika
digunakan untuk tujuan lain atau digunakan untuk orang lain, lain dari kamsud
semula.
TARIF BEA MATERAI RP 3.000,00 DIKENAKAN ATAS DOKUMEN
1. Surat yang memuat jumlah uang yang mempunyai harga nominal lebih dari Rp
250.000,00 (dua ratus lima puluh ribu rupiah) tetapi tidak lebih dari Rp 1.000.000,00
(satu juta rupiah):
Yang menyebutkan penerimaan uang
Yang menyatakan pembukuan uang atau penyimpanan uang dalam rekening di
bank
Yang berisi pemberitahuan saldo rekening di bank
Yang berisi pengakuan bahwa utang uang sebagian atau seluruhnya telah dilunasi
atau diperhitungkan.
2. Surat-surat Berharga seperti: wesel, promes dan aksep yang harga nominalnya lebih dari
Rp 250.000,00 (dua ratus lima puluh ribu rupiah) tetapi tidak lebih dari Rp 1.000.000,00
(satu juta rupiah).
3. Efek dengan nama dan dalam bentuk apapun, sepanjang harga nominalnya lebih dari Rp
250.000,00 (dua ratus lima puluh ribu rupiah) tetapi tidak lebih dari Rp 1.000.000,00
(satu juta rupiah).
4. Cek dan bilyet giro dengan harga nominal berapapun.
Apabila suatu dokume (kecuali cek dan bilyet giro) mempunyai nominal tidak lebih dari Rp
250.000,00 (dua ratus lima puluh ribu rupiah), maka atas dikumen tersebut tidak terutang Bea
Materai.
YANG TIDAK DIKENAKAN BEA MATERAI
1. Dokumen yang berupa, antara lain:
a. Surat penyimpanan barang
b. Konosemen
c. Surat angkutan penumpang dan barang
d. Keterangan pemindahan yang dituliskan di atas dokumen sebagaimana dimaksud
dalam huruf a, b dan c.
UNIBA | Perpajakan Anjar Wibisono

97

98

2.

3.

4.
5.
6.
7.
8.
9.

e. Bukti pengiriman dan penerimaan barang


f. Surat pengiriman barang untuk dijual atas tanggungan pengirim
g. Surat-surat lainnya yang dapat disamakan dengan surat-surat tersebut diatas.
Segala bentuk Ijazah. Yang termasuk dalam pengertian ini adalah Surat Tanda Tamat
Belajar (STTB), tanda lulus, surat keterangan telah mengikuti suatu pendidikan, latihan,
kursus dan penataran.
Tanda terima gaji, uang tunggu, pensiun, uang tunjangan dan pembayaran lainnya yang
ada kaitannya dengan hubungan kerja serta surat-surat yang diserahkan untuk
mendapatkan pembayaran itu.
Tanda bukti penerimaan uang Negara dari Kas Negara, Kas Pemerintah Daerah dan
Bank.
Kuitansi untuk semua jenis pajak dan penerimaan lainnya yang dapat disamakan dengan
itu dari Kas Negara , Kas Pemerintah Daerah dan Bank.
Tanda penerimaan uang yang dibuat untuk keperluan intern organisasi.
Dokumen yang menyebutkan tabungan, pembayaran uang tabungan kepada penabung
oleh bank, koperasi dan badan-badan lainnya yang bergerak di bidang tersebut.
Surat gadai yang diberika oleh Perum Pegadaian.
Tanda pembagian keuntungan atau bunga dari efek , dengan nama dan dalam bentuk
apapun.

SAAT TERUTANG BEA MATERAI


1. Dokumen yang dibuat oleh satu pihak, adalah pada saat dokumen itu diserahkan da
diterima oleh pihak untuk siapa dokumen itu dibuat, jadi bukan pada saat ditandatangani.
Misalnya: kuitansi, cek.
2. Dokumen yang dibuat oleh lebih dari satu pihak, adalah pada saat dokumen itu telah
selesai dibuat, yang ditutup dengan pembubuhan tanda tangan dari yang bersangkutan.
Misalnya: surat perjanjian jual-beli.
3. Dokumen yang dibuat di luar negeri , adalah pada saat digunakan di Indonesia. Bea
Materai yang terutang dilunasi dengan cara pemeteraian kemudian.
PIHAK YANG TERUTANG BEA MATERAI
Pihak yang terutang Bea Materai adalah pihak yang mendapat manfaat dari dokumen, kecuali
pihak atau pihak-pihak yang bersangkutan menentukan lain.
CARA PELUNASAN BEA MATERAI
1. Dengan menggunakan benda meterai, yaitu:
a. Materai tempel
b. Kertas materai
2. Dengan cara lain yang ditetapkan oleh Menteri Keuangan
CARA PENGGUNAAN BENDA MATERAI
1. Materai tempel
a. Meterai tempel direkatkan seluruhnya dengan utuh dan tidak rusak di atas dokumen
yang dikenakan Bea Materai.
b. Meterai tempel direkatkan di tempat dimana tanda tangan akan dibubuhkan.

UNIBA | Perpajakan Anjar Wibisono

98

99

c. Pembubuhan tanda tangan disertai dengan tanggal, bula dan tahun dilakukan dengan
menggunakan tinta atau yang sejenisnya. Sebagian tanda tangan berada di atas
materai dan sebagian lagi diatas kertas dokumen.
d. Jika digunakan lebih dari satu materai tempel, tanda tangan harus dibubuhkan
sebagian diatas semua materai tempel dan sebagian diatas kertas dokume.
2. Kertas Materai
a. Dokumen ditulis diatas Kertas Materai. Jika isi dokumen terlalu panjang untuk
dimuat seluruhnya diatas kertas meterai yang digunakan, maka untuk bagian isi yang
masih tertinggal dapat digunakan kertas tidak bermeterai.
b. Kertas meterai yang sudah digunakan, tidak boleh digunakan lagi.
Apabila ketentuan-ketentuan diatas tidak dipenuhi, maka dokumen yang bersangkutan dianggap
tidak bermeterai.
PEMETERAIAN KEMUDIAN
Pemeteraian kemudian adalah suatu cara pelunasan Bea Materai yang dilakukan oleh Pejabat Pos
atas permintaan dokumen yang Bea Materainya belum dilunasi sebagaimana mestinya.
Pemeteraian kemudian dilakukan atas:
a. Dokumen yang semula tidak terutang Bea Materai namun akan digunakan sebagai alat
pembuktian di muka pengadilan.
b. Dokumen yang Bea Materainya tidak atau kurang dilunasi sebagaimana mestinya.
c. Dokumen yang dibuat di luar negeri yang akan digunakan di Indonesia.
SANKSI-SANKSI
1. Sanksi Administrasi
Apabila dokumen tidak atau kurang dilunasi Bea Materai sebagaimana mestinya, maka akan
dikenakan denda adminstrasi sebesar 200% (dua ratus persen) dari Bea Materai yang tidak
atau kurang dibayar.
Misalnya Bea materai terutang Rp 6.000,00. Karena kelalaian belum mengenakan Bea
materai, maka Bea materai dan saksi yang harus dibayar adalah:
Bea Materai yang terutang
Denda administrasi
Jumlah Pemeteraian Kemudian

Rp 6.000,00
Rp 12.000,00
Rp 18.000,00

Pemeteraian kemudian atas dokumen tersebut dilakukan oleh Pejabat Pos menurut tata cara
yang ditetapkan oleh menteri keuangan.
Ketentuan khusus:
1. Pejabat pemerintah, hakim, panitera, jurusita, notaries dan pejabat umum lainnya dalam
tugas atau jabatannya tidak dibenarkan:
a. Menerima, mempertinbangkan atau menympan dokumen yang Bea materainya tidak
atau kurang dibayar.
b. Melekatkan dokumen yang Bea Materainya tidak atau kurang dibayar pada dokumen
lain yang berkaitan.
c. Membuat salinan, tembusan, rangkapan atau petikan dari dokumen yang Bea
materainya tidak atau kurang dibayar.
UNIBA | Perpajakan Anjar Wibisono

99

100

d. Memberikan keterangan atau catatan pada dokumen yang Bea Materainya tidak atau
kurang dibayar sesuai dengan tarif Bea metarainya.
2. Sanksi atas poin 1, sanksi administrasi sesuai dengan peraturan perundang-undangan
yang berlaku, misalnya: untuk yang berstatus pegawai negeri sipil dapat diberlakukan
dengan PP. NO.30 tahun 1980, antara lain:
a. Peringatan, teguran
b. Penundaan kenaikan gaji/pangkat
c. Diberhentikan
2. Sanksi Pidana
Sanksi pidana, antara lain:
a. 1). Pemalsuan/peniruan materai tempel , kertas materai dan tanda tangan yang perlu
untuk mensahkan materai.
2). Dengan sengaja menyimpan dengan maksud untuk diedarkan atau memasukkan ke
Negara Indonesia materai palsu, yang dipalsukan atau yang dibuat dengan melawan hak.
3). Dengan sengaja menggunakan, menjual, menawarkan, menyerahkan, menyediakan
untuk dijual atau dimasukkan ke Negara Indonesia materai yang mereknya, capnya,
tandatangannya, tanda sahnya atau tanda waktunya mempergunakan telah dihilangkan
seolah-olah Meterai itu belum dipakai dan atau menyuruh orang lain menggunakannya
dengan melawan hak.
4). Dengan sengaja menympan bahan-bahan/perkakas-perkakas yang diketahui untuk
meniru dan memalsukan benda materai.
Sanksi dengan keputusan pengadilan yang telah mempunyai kepastian hukum dapat
berupa kurungan atau penjara sesuai dengan pasal 253 Kitab Undang-undang Hukum
Pidana (KUHP)
b. Dengan sengaja menggunakan cara lain untuk pelunasan Bea Materai (Pasal 7 (2) b)
tanpa seijin Menteri Keuangan, dipidana dengan pidana penjara selama-lamanya 7
(tujuh) tahun.
Penanggung jawab sanksi:
1. Untuk sanksi administrasi
: pemegang dokumen
2. Untuk sanksi pidana
: sesuai keputusan pengadilan
DALUWARSA
Daluwarsa dari kewajiban memenuhi Bea Materai ditetapkan 5 (lima) tahun, terhitung sejak
tanggal dokumen dibuat.
HAL-HAL YANG PERLU DIPERHATIKAN
Untuk lebih melengkapi mengenai penjelasan tentang Bea Materai, berikut ini diberikan pokokpokok tambahan yang perlu diperhatikan, yaitu;
1. Transaksi intern perusahaan (unit keuangan, unit produksi) tidak perlu memakai Bea
Materai.
2. Kantor pusat dan cabang perusahaan merupakan badan yang berdiri sendiri, sehingga
transaksinya harus menggunakan Bea Materai.
3. Yang menanggung Bea Materai apabila ada sesuatu di kemudian hari (pelanggaran
administrasi) adalah pemegang dokumen. Yang terutang Bea Meterai adalah orang-orang
atau pihak-pihak yang mendapatkan manfaat dari dokumen tersebut.
UNIBA | Perpajakan Anjar Wibisono

100

101

4. Tanggal materai.
5. Tanggal yang tercantum di materai lebih sah dibandingkan dengan tanggal dokumen.
6. Kurang diperhatikan masalah yuridis atau isi dokumen, tetapi yang lebih
diutamakan/penting adalah terutangnya pajak.
7. Warna tinta yang ditulis pada materai tidak menjadi masalah. Misal pencantuman tanggal
pakai tinta biru, tetapi tandatangannya memakai tinta hijau. Ini boleh, yang penting tinta
tersebut masih merupakan tinta yang lazim/biasa dipakai.
8. Tulisan pada dokumen (misalnya tulisan di kertas materai) tidak boleh dihapus dengan
cairan penghapus. Kalau ada kesalahan, maka lebih baik dicoret dan dituliskan dengan
benar.
9. Tambahan untuk pasal 7 ayat 8:
Kertas biasa yang dipakai untuk lembaran berikutnya (karena isi dokumen terlalu
panjang) tidak perlu memakai materai lagi, karena masih merupakan satu kesatuan
(prinsip satu dokumen hanya terutang satu Bea materai).
10. Micro film perlakuannya bisa dianggap sebagai fotocopy dokumen, seperti juga vatch
dalam computer, tidak terutang Bea Materai.
11. Tindasan dengan kertas karbon sama dengan fotocopy, tidak terutang Bea materai, karena
rangkap/tindasan tersebut tidak ikut ditandatangani secara asli. Kalau misalnya fotocopy
tersebut ditandatangani lagi (tandatangan asli), maka terutang Bea materai.
12. Penggunaan dokumen yang dibuat di luar negeri.
Misalnya: dokumen dibuat di Singapura, akan digunakan sebagai dokumen di Indonesia,
maka:
a. Belum ada Bea materainya:
Dimeteraikan dulu di Indonesia dengan
cara pemeteraian kemudian.
b. Sudah ada meterainya:
Diberi meterai lagi dengan cara
(meterai Singapura)
pemeteraian kemudian (jadi ada 2 meterai)
Sebagai penutup, diberikan gambaran tentang perbedaan antara ABM 1921 (yang lama) dengan
UU Bea materai (yang baru).
No.
1
2

URAIAN
Jumlah pasal
Objek

Macam/jenis
Pemeteraian

4
5

Tarif
Cara pelunasan

Daluwarsa

ABM 1921
142 pasal
Bersifat Perdata dan
Public (tertentu)
B.M. Umum
B.M. Luas Kertas
B.M. Luas Biasa
B.M. Tetap
B.M. Sebanding
167 macam
Benda meterai
SKUM
Ara lain
3 tahun sejak
diketahui

UU Bea Materai baru


18 pasal
Bersifat Perdata
(sangat terbatas)
Bea materai tetap
2 macam
Benda materai
Cara lain
5 tahun sejak dokumen
dibuat
UNIBA | Perpajakan Anjar Wibisono

101

102

BAB IX
PAJAK BUMI DAN BANGUNAN

DASAR HUKUM
Dasar hukum Pajak Bumi dan Bangunan (PBB) adalah Undang-undang No.12 tahun 1985
sebagaimana telah diubah dengan Undang-undang No.12 tahun 1994.
ASAS
Asas Pajak Bumi dan Bangunan:
1. Memberikan kemudahan dan kesederhanaan
2. Adanya kepastian hukum.
3. Mudah dimengerti dan adil
4. Menghindari pajak berganda
PENGERTIAN-PENGERTIAN
Bumi adalah permukaan bumi dan tubuh bumi yang ada di bawahnya. Permukaan bumi meliputi
tanah dan perairan pedalaman (termasuk rawa-rawa, tambak, perairan) serta laut wilayah
Republik Indonesia.
Bangunan adalah konstruksi teknik yang ditanam atau dilekatkan secara tetap pada tanah dan
atau perairan.
Termasuk dalam pengertian bangunan adalah:
a. Jalan lingkungan dalam satu kesatuan dengan kompleks bangunan.
b. Jalan tol.
c. Kolam renang.
d. Pagar mewah.
e. Tempat olahraga.
f. Galangan kapal, dermaga.
g. Taman mewah.
h. Tempat penampungan/lkilang minyak, air dan gas , pipa minyak.
i. Fasilitas lain yang memberikan manfaat.
Surat Pemberitahuan Objek Pajak (SPOP) adalah surat yang digunakan oleh Wajib Pajak
untuk melaporkan data objek menurut ketentuan Undang-undang Pajak Bumi dan Bangunan.
Surat Pemberitahuan Pajak Terutang (SPPT) adalah surat yang digunakan oleh Direktorat
Jenderal Pajak untuk memberitahukan besarnya pajak terutang kepada wajib pajak. Direktorat
Jenderal Pajak menerbitkan SPPT (Surat Pemberitahuan Pajak Terutang) berdasrkan SPOP
(Surat Pemberitahuan Objek Pajak) wajib pajak.

UNIBA | Perpajakan Anjar Wibisono

102

103

NILAI JUAL OBJEK PAJAK


Nilai Jual Objek Pajak (NJOP) adalah harga rata-rata yang diperoleh dari transaksi jual-beli
yang terjadi secara wajar, dan bilaman tidak terdapat transaksi jual beli, Nilai Jual Objek Pajak
ditentukan melalui perbandingan harga dengan objek lain yang sejenis, atau nilai perolehan baru
atau Nilai Jual Objek Pajak pengganti.
Yang dimaksud dengan:
Perbandingan harga dengan objek lain yang sejenis, adalah suatu pendekatan/metode
penentuan nilai jual suatu objek pajak dengan cara membandingkannya dengan objek
pajak lain yang sejenis, yang letaknya berdekatan dan fungsinya sama dan telah
diketahui harga jualnya.
Nilai perolehan baru, adalah suatu pendekatan/metode penentuan nilai jual suatu objek
pajak dengan cara menghitung seluruh biaya yang dikeluarkan untuk memperoleh objek
tersebut pada saat penilaian dilakukan, yang dikurangi dengan penyusutan berdasarkan
kondisi fisik objek tersebut.
Nilai jual pengganti adalah suatu pendekatan/metode penentuan nilai jual suatu objek
pajak yang berdasarkan pada kasil produksi objek pajak tersebut.
Besarnya NJOP ditentukan berdasarkan klasifikasi:
1. Objek Pajak Sektor Pedesaan dan Perkotaan
2. Objek Pajak Sektor Perkebunan
3. Objek Pajak Sektor Kehutanan atas Hak Pengusahaan Hutan, Hak Pengusahaan Hasil
Hutan, Izin Pemanfaatan Kayu serta Izin Sah Lainnya selain Hak Pengusahaan Hutan
Tanaman Industri
4. Objek Pajak Sektor Kehutanan atas Hak Pengusahaan Hutan Tanaman Industri
5. Objek Pajak Sektor Pertambangan Minyak dan Gas bumi
6. Objek pajak Sektor Pertambangan Energi panas bumi
7. Objek Pajak Sektor Pertambangan Non Migas selain Pertambangan Energi Panas Bumi
dan Galian C
8. Objek Pajak Sektor Pertambangan non Migas galian C
9. Objek Pajak Sektor pertambangan yang dikelola berdasarkan Kontrak Karya atau
Kontrak Kerjasama
10. Objek Pajak usaha bidang perikanan laut
11. Objek Pajak usaha bidang perikanan darat
12. Objek Pajak yang bersifat khusus
OBJEK PAJAK
1. Yang menjadi objek pajak adalah bumi dan atau bangunan
2. Yang dimaksud dengan klasifikasi bumi dan bangunan adalah pengelompokan bumi dan
bangunan menurut nilai jualnya dan digunakan sebagai pedoman, serta untuk
memudahkan penghitungan pajak yang terutang
103

UNIBA | Perpajakan Anjar Wibisono

104

Dalam menentukan klasifikasi bumi/tanah diperhatikan factor-faktor sebagai berikut:


a. Letak
b. Peruntukan
c. Pemanfaatan
d. Kondisi lingkungan dan lain-lain
Dalam menentukan klasifikasi bangunan diperhatikan factor-faktor sebagai berikut:
a. Bahan yang digunakan
b. Rekayasa
c. Letak
d. Kondisi lingkungan dan lain-lain
3. Pengecualian Objek Pajak
Objek pajak yang tidak dikenakan Pajak Bumi dan Bangunan adalah objek pajak yang:
a. Digunakan semata-mata untuk melayani kepentingan umum dan tidak untuk mencari
keuntungan, antara lain :
1) Di bidang ibadah, contoh: masjid, gereja, vihara.
2) Di bidang kesehatan, contoh: rumah sakit.
3) Di bidang pendidikan, contoh: madrasah, pesantren.
4) Di bidang social, contoh: panti asuhan.
5) Di bidang kebudayaan nasional, contoh: museum, candi.
b. Digunakan untuk kuburan, peninggalan purbakala atau yang sejenis dengan itu.
c. Merupakan hutan lindung, hutan suaka alam, hutan wisata, taman nasional, tanah
penggembalaan yang dikuasai oleh desa, dan tanah Negara yang belum dibebani
suatu hak.
d. Digunakan oleh perwakilan diplomatic, konsulat berdasarkan asas perlakuan timbale
balik.
e. Digunakan oleh badan atau perwakilan organisasi internasional yang ditentukan oleh
Menteri Keuangan.
Catatan:
Yang dimaksud dengan tidak dimaksudkan untuk memperoleh keuntungan adalah bahwa objek
pajak itu diusahakan untuk melayani kepentingan umum, dan nyata-nyata tidak ditujukan untuk
mencari keuntungan. Hal ini dapat diketahui antara lain dari anggaran dasar dan anggaran rumah
tangga dari yayasan/badan yang bergerak dalam bidang ibadah, social, kesehatan, pendidikan
dan kebudayaan nasional tersebut. Termasuk pengertian ini adalah hutan wisata milik Negara
sesuai pasal 2 Undang-undang No. 5 tahun 1967 tentang Ketentuan-ketentuan Pokok Kehutanan.
4. Objek pajak yang digunakan oleh Negara untuk penyelenggaraan pemerintahan
pemerintahan, penentuan pengenaan pajaknya diatur lebih lanjut dengan Peraturan
Pemerintah.

UNIBA | Perpajakan Anjar Wibisono

104

105

Yang dimaksud dengan objek pajak adalah objek pajak adalah pajak yang
dimiliki/dikuasasi/digunakan oleh Pemerintah Pusat dan Pemerintah daerah dalam
menyelenggarakan pemerintahan. Pajak Bumi dan Bangunan adalah pajak Negara yang sebagian
besar penerimaannya merupakan pendapatan daerah yang antara lain dipergunakan untuk
penyediaan fasilitas yang juga dinikmati oleh Pemerintah Pusat dan Pemerintah daerah. Oleh
sebab itu wajar Pemerintah Pusat juga ikut membiayai fasilitas tersebut melalui pembayaran
Pajak Bumi dan Bangunan.
Mengenai bumi dan atau bangunan milik perseorangan dan atau bukan yang digunakan oleh
Negara, kewajiban perpajakannya pada perjanjian yang diadakan.
5. Besarnya nilai Jual objek Pajak Tidak Kena Pajak (NJOPTKP) ditetapkan untuk masingmasing Kabupaten/Kota dengan besar setinggi-tingginya Rp 12.000.000,00 (dua belas
juta rupiah) untuk setiap Wajib Pajak. Apabila seorang Wajib pajak mempunyai beberapa
objek pajak, yang diberikan NJOPTKP hanya salah satu Objek Pajak yang nilainya
terbesar, sedangkan Objek Pajak lainnya tetap dikenakan secara penuh tanpa dikurangi
NJOPTKP.
Kepala kantor Wilayah Direktorat Jenderal Pajak atas nama Menteri keuangan menetapkan
besarnya NJOPTKP dengan mempertimbangkan pendapat Gubernur/Bupati/Walikota
(Pemerintah Daerah) setempat.
Untuk lebih jelasnya diberikan contoh berikut ini:
a. Seorang Wajib Pajak mempunyai Objek Pajak berupa bumi dengan nilai Rp 4.000.000,00
dan besarnya NJOPTKP untuk objek Pajak wilayah tersebut adalah Rp 6.000.000,00 . Karena
NJOP berada di bawah batas JOPTKP (Rp 6.000.000,00), maka Objek Pajak tersebut tidak
dikenakan Pajak Bumi dan Bangunan.
b. Seorang Wajib Pajak mempunyai Objek Pajak berupa bumi dan Bangunan di desa A dan
desa B dengan nilai sebagai berikut:
Desa A:
NJOP Bumi
Rp 13.000.000,00
NJOP Bangunan
9.000.000,00
Desa B:
NJOP Bumi
Rp 8.000.000,00
NJOP Bangunan
10.000.000,00
Dan NJOPTKP untuk objek pajak wilayah tersebut adalah Rp 10.000.000,00.

105

UNIBA | Perpajakan Anjar Wibisono

106

Dengan data tersebut diatas, maka NJOP untuk perhitungan PBB-nya sebagai berikut:
Langkah Pertama adalah mencari NJOP dari dua desa tersebut yang mempunyai nilai paling
besar, yaitu desa A. Maka NJOP untuk perhitungan PBB adalah:
NJOP Bumi
NJOP Bangunan
NJOP sebagai dasar pengenaan PBB
NJOPTKP
NJOP untuk penghitungan PBB
Kemudian untuk desa B:
NJOP untuk penghitungan PBB:
NJOP Bumi
NJOP Bangunan
NJOP sebagai dasar pengenaan PBB
NJOPTPK
NJOP untuk penghitungan PBB

Rp 13.000.000,00
9.000.000.00
Rp 22.000.000,00
10.000.000,00
Rp 12.000.000,00

Rp 8.000.000,00
10.000.000,00
Rp 18.000.000,00
0,00
Rp 18.000.000,00

SUBJEK PAJAK
1. Yang menjadi subjek pajak adalah orang atau badan yang secara nyata mempunyai suatu
hak atas bumi dan atau memperoleh manfaat atas bumi dan atau memiliki, menguasai dan
atau memperoleh manfaat atas bangunan. Dengan demikian tanda pembayaran/pelunasan
pajak bukan merupakan bukti pemilikan hak.
2. Subjek pajak sebagaimana dimaksud dalam no.1 yang dikenakan kewajiban membayar
pajak menjadi wajib pajak.
3. Dalam hal atas suatu objek pajak belum jelas diketahui wajib pajaknya, Direktur Jendral
pajak dapat menetapkan subjek pajak sebagaimana dimaksud dalam no.1 sebagai wajib
pajak.
Hal ini berarti memberikan kewenangan kepada Dirjen Pajak untuk menentukan subjek
wajib pajak, apabila suatu objek pajak belum jelas wajib pajaknya.
Untuk lebih jelas diberikan contoh berikut ini:
a. Subjek Pajak X memanfaatkan atau menggunakan bumi dan atau bangunan milik Y
bukan karena suatu hal berdasarkan undang-undang atau bukan karena perjanjian,
maka x yang memanfaatkan/menggunakan bumi dan atau bangunan ditetapkan
sebagai wajib pajak.
b. Suatu objek pajak yang masih dalam sengketa pemilikan di pengadilan, maka orang
atau badan yang memanfaatkan/menggunakan objek pajak tersebut ditetapkan sebagai
wajib pajak.
c. Subjek pajak dalam waktu yang lama berada di luar wilayah letak objek pajak, sedang
untuk merawat objek pajak tersebut dikuasakan kepada orang atau badan, maka orang
atau badan yang diberi kuasa dapat ditunjuk sebagai wajib pajak. Penunjukan sebagai
wajib pajak oleh Dirjen Pajak bukan merupakan bukti pemilikan hak.
4. Subjek pajak yang ditetapkan sebagaimana dimaksud dalam no.3 dapat memberikan
keterangan secara tertulis kepada Direktur Jenderal Pajak bahwa ia bukan wajib pajak
terhadap objek pajak dimaksud.
UNIBA | Perpajakan Anjar Wibisono

106

107

5. Bila keterangan yang diajukan oleh wajib pajak dalam no.4 disetujui, maka Direktur
Jenderal Pajak membatalkan penetapan sebagai bajib pajak sebagaimana dalam no.3
dalam jangka waktu satu bulan sejak diterimanya surat keterangan dimaksud.
6. Bila keterangan yang diajukan itu tidak disetujui, maka Direktur Jenderal Pajak
mengeluarkan surat keputusan penolakan dengan disertai alasan-alasannya.
7. Apabila setelah jangka waktu satu bulan sejak tanggal diterimanya keterangan
sebagaimana dalam no.4 Direktur Jenderal Pajak tidak memberikan keputusan, maka
keterangan yang diajukan itu dianggap disetujui.
Apabila Direktur Jenderal Pajak tidak memberikan keputusan dalam waktu 1 9satu) bulan
sejak tanggal diterimanya keterangan dari wajib pajak, maka ketetapan sebagai wajib
pajak gugur dengan sendirinya dan berhak mendapatkan keputusan pencabutan penetapan
sebagai wajib pajak.
TARIF PAJAK
Tarif pajak yang dikenakan atas objek pajak adalah sebesar 0,5% (lima per sepuluh persen).
DASAR PENGENAAN PAJAK
1. Dasar pengenaan pajak adalah Nilai Jual Objek Pajak (NJOP).
2. Besarnya Nilai Jual Objek Pajak (NJOP) ditetapkan setiap tiga tahun oleh Kepala Kantor
Wilayah Direktorat Jenderal Pajak atas nama Menteri Keuangan dengan
mempertimbangkan pendapat Gubernur/Bupati/Walikota (Pemerintah Daerah) setempat.
3. Dasar penghitungan pajak adalah yang ditetapkan serendah-rendahnya 20% dan setinggitingginya 100% dari Nilai Jual Objek Pajak (NJOP).
4. Besarnya presentase ditetapkan dengan Peraturan Pemerintah dengan memperhatikan
kondisi ekonomi nasional.
Pada dasarnya penetapan Nilai Jual Objek Pajak (NJOP) adalah 3 (tiga) tahun sekali. Namun
demikian untuk daerah tertentu yang karena perkembangan pembangunan mengakibatkan
kenaikan NJOP cukup besar, maka penetapan nilai jual ditetapkan setahun sekali.
Dalam menetapkan nilai jual, Kepala Kantor Wilayah Direktorat Jenderal Pajak atas nama
Menteri Keuangan dengan mempertimbangkan pendapat Gubernur/Bupati/Walikota (Pemerintah
Daerah) setempat serta memperhatikan asas self assessment. Yang dimaksud (assessment value)
adalah nilai jual yang dipergunakan sebagai dasar penghitungan pajak, yaitu suatu presentase
tertentu dari nilai jual sebenarnya.
Contoh:
1. Nilai jual suatu objek sebesar Rp 2.000.000,00. Presentase misalnya 20% maka besarnya
= 20% x Rp 2.000.000,00 = Rp 400.000,00
2. Nilai jual suatu objek pajak sebesar Rp 2.000.000.000,00. Presentase misalnya 40%,
maka besarnya 40% x Rp 2.000.000.000,00 = Rp 800.000.000,00
Untuk perekonomian sekarang ini, terutama untuk tidak terlalu membebani wajib pajak di daerah
pedesaan, tetapi dengan tetap memperhatikan penerimaan, khususnya bagi Pemerintah Daerah,
maka telah ditetapkan besarnya presentase untuk menentukan besarnya NKJP, yaitu:
UNIBA | Perpajakan Anjar Wibisono

107

108

1. Sebesar 40% 9empat puluh persen) dari NJOP untuk:


a. Objek pajak perkebunan
b. Objek pajak kehutanan
c. Objek pajak lainnya, yang wajib Pajaknya perorangan dengan NJOP atas bumi dan
bangunan sama atau lebih besar dari Rp 1.000.000.000,00 (satu miliar rupiah)
2. Sebesar 20% (dua puluh persen) dari NJOP untuk:
a. Objek pajak pertambangan
b. Objek pajak lainnya yang NJOP-nya kurang dari Rp 1.000.000.000,00 (satu miliar
rupiah)
CARA MENGHITUNG PAJAK
Besarnya pajak terutang dihitung dengan cara mengkalikan tariff pajak dengan NJKP.
Pajak Bumi dan Bangunan = Tarif pajak x NJKP
= 0,5% x [Presentase NJKP x (NJOP NJOPTKP)]
Contoh:
Wajib Pajak A mempunyai sebidang tanah dan bangunan yang NJOP-nya Rp 20.000.000,00 dan
NJOPTKP untuk daerah tersebut Rp 12.000.000,00 maka besarnya pajak yang terutang adalah:
= 0,5% x 20% x (Rp 20.000.000,00 Rp 12.000.000,00)
= Rp 8.000,00

TAHUN PAJAK, SAAT DAN TEMPAT YANG MENENTUKAN PAJAK TERUTANG


1. Tahun pajak adalah jangka waktu 1 (satu) tahun takwim. Jangka waktu satu tahun takwim
adalah dari 1 Januari sampai dengan 31 Desember.
2. Saat yang menentukan pajak yang terutang adalah menurut keadaan objek pajak pada
tanggal 1 Januari.
Contoh:
a. Objek pajak pada tanggal 1 Januari 2005 berupa tanah dan bangunan. Pada tanggal 10
Januari 2005 bangunannya terbakar, maka pajak yang terutang tetap berdasarkan
keadaan objek pajak pada tanggal 1 Januari 2005, yaitu keadaan sebelum bangunan
tersebut terbakar.
b. Objek pajak pada tanggal 1 Januari 2005 berupa sebidang tanah tanpa bangunan
diatasnya. Pada tanggal 20 Agustus 2005 dilakukan pendataan, ternyata diatas tanah
tersebut telah berdiri suatu bangunan, maka pajak yang terutang untuk tahun 2005
tetap dikenaka berdasarkan keadaan pada tanggal 1 januari 2005. Sedangkan
bangunannya baru akan dikenakan pada tahun 2006.
3. Tempat pajak yang terutang:
a. Untuk daerah Jakarta, di wilayah Daerah Khusus Ibukota Jakarta.
b. Untuk daerah lainnya, di wilayah Kabupaten atau Kota.
Tempat pajak yang terutang untuk Batam, di wilayah Propinsi Riau.

UNIBA | Perpajakan Anjar Wibisono

108

109

SURAT PEMBERITAHUAN OBJEK PAJAK (SPOP), SURAT PEMBERITAHUAN


PAJAK TERUTANG (SPPT), DAN SURAT KETETAPAN PAJAK (SKP)
1. Dalam rangka pendataan, subjek pajak wajib mendaftarkan objek pajaknya dengan
mengisi SPOP.
Dalam rangka pendataan, wajib pajak akan diberikan SPOP untuk diisi dan dikembalikan
kepada Direktorat Jenderal Pajak. Wajib pajak yang pernah dikenakan IPEDA tidak
wajib mendaftarkan objek pajaknya kecuali kalau ia menerima SPOP, maka dia wajib
mengisinya dan mengembalikan kepada Direktorat jenderal Pajak.
2. SPOP harus diisi dengan jelas, benar, lengkap dan tepat waktu serta ditandatangani dan
disampaikan kepada Dirjen Pajak yang wilayah kerjanya meliputi letak objek pajak
selambat-lambatnya 30 (tiga puluh) hari setelah tanggal diterimanya SPOP oleh subjek
pajak.
Yang dimaksud dengan jelas dan benar adalah:
Jelas dimaksudkan agr penulisan data yang diminta dalam SPOP dibuat sedemikian rupa
sehingga tidak menimbulkan salah tafsir yang dapat merugikan Negara maupun wajib
pajak sendiri.
Benar berarti data yang dilaporkan harus sesuai dengan keadaan yang sebenarnya, seperti
luas tanah dan atau bangunan, tahun dan harga perolehan dan seterusnya sesuai dengan
kolom-kolom/pertanyaan yang ada pada Surat Pemberitahuan Objek pajak (SPOP).
3. Dirjen pajak akan menerbitka SPPT berdasarkan SPOP yang diterimanya.
SPPT diterbitkan atas dasar SPOP, namun untuk membantu wajib pajak SPPT dapat
diterbitkan berdasarkan data objek yang telah ada pada Direktorat Jenderal Pajak.
4. Direktorat Jenderal pajak dapat mengeluarkan Surat Ketetapan pajak dalam hal-hal
sebagai berikut:
a. Apabila SPOP tidak disampaikan dan setelah ditegur secara tertulis tidak disampaikan
sebagaimana ditentukan dalam Surat Teguran.
b. Apabila berdasarkan hasil pemeriksaan atau keterangan lain ternyata jumlah pajak
yang terutang (seharusnya) lebih besar dari jumlah pajak yang dihitung berdasarkan
SPOP yang disampaikan oleh wajib pajak.
Wajib pajak yang tidak menyampaikan SPOP pada waktunya, walaupun sudah ditegur
secara tertulis juga tidak menyampaikan dalam jangka waktu yang ditentukan dalam
Surat Teguran itu, Direktorat Jenjderal Pajak dapat menerbitkan Surat Keterangan Pajak
(SKP) secara jabatan.
Apabila berdasarkan pemeriksaan atau keterangan lain yang ada pada Direktorat Jenderal
Pajak ternyata jumlah pajak yang terutang lebih besar dari jumlah pajak dalam SPPT
UNIBA | Perpajakan Anjar Wibisono

109

110

yang dihitung atas dasar SPOP yang disampaikan wajib pajak, Direktorat Jenderal Pajak
menerbitkan SKP secara jabatan.
5. Jumlah pajak yang terutang dalam SKP sebagaimana dimaksud dalam nomor 4 huruf a
adalah pokok pajak ditambah dengan denda administrasi sebesar 25% dihitung dari
pokok pajak.
Sanksi administrasi yang dikenakan terhadap wajib pajak yang tidak menyampaikan
SPOP, dikenakan sanksi sebagai tambahan terhadap pokok pajak yaitu sebesar 25% dari
pokok pajak.
SKP ini berdasarkan data yang ada pada Direktorat Jenderal Pajak menurut penetapan
objek pajakdan besarnya pajak yang terutang beserta denda administrasi yang dikenakan
kepada wajib pajak.
Contoh:
Wajib pajak A tidak menyampaikan SPOP.
Berdasarkan data yang ada, Direktur Jenderal Pajak mengeluarkan SKPKB yang berisi:
Objek pajak dengan luas dan nilai jual
Luas objek pajak menurut SPOP
Pokok pajak
Rp 2.000.000,00
Sanksi administrasi
25% x Rp 2.000.000,00
500.000,00
Jumlah pajak yang terutang dalam SKP
Rp 2.500.000,00
6. Jumlah pajak yang terutang dalam SKPKB sebagaimana dimaksud dalam no.4 huruf b,
adalah selisih pajak yang terutang berdasarkan hasil pemeriksaan atau keterangan lain
dengan pajak yang terutang yang dihitung berdasarkan SPOP ditambah denda
administrasi sebesar 25% dari selisih pajak yang terutang.
Sanksi administrasi dikenakan terhadap wajib pajak yang mengisi SPOP tidak sesuai
dengan keadaan yang sebenarnya.
Contoh:
Berdasarkan SPOP diterbitkan SPPT
Berdasarkan pemeriksaan pajak yang
Seharusnya terutang
Selisih
Denda administrasi 25% x Rp 500.000,00
Jumlah pajak yang terutang dalam SKPKB

Rp 2.000.000,00
2.500.000,00
Rp 500.000,00
125.000,00
Rp 625.000,00

SPOP hanya diberikan dalam hal:


1. Objek pajak belum terdaftar/data belum lengkap
2. Objek pajak telah terdaftar tetapi data belum lengkap
3. NJOP berubah/pertumbuhan ekonomi

UNIBA | Perpajakan Anjar Wibisono

110

111

4. Objek pajak dimutasikan/laporan dari instansi yang berkaitan langsung dengan objek
pajak.
TATA CARA PEMBAYARAN DAN PENAGIHAN
1. Pajak yang terutang berdasarkan SPPT harus dilunasi selambat-lambatnya 6 (enam) bulan
sejak tanggal diterimanya SPPT oleh wajib pajak.
Contoh:
Apabila SPPT diterima oleh wajib pajak tanggal 1 April 2005, maka jatuh tempo
pembayarannya adalah tanggal 30 september 2005.
2. Pajak yang terutang berdasarkan SKP harus dilunasi selambat-lambatnya 1 (satu) bulan
sejak tanggal diterimanya SKP oleh wajib pajak.
Contoh:
Apabila SKP diterima oleh wajib pajak tanggal 1 Maret 2005, maka jatuh tempo
pengembaliannya adalah tanggal 31 Maret 2005.
3. Pajak yang terutang yang pada saat jatuh tempo pembayaran tidak dibayar atau kurang
dibayar, dikenakan denda administrasi sebesar 2% (dua persen) sebulan, yang dihitung
dari saat jatuh tempo sampai dengan hari pembayaran untuk jangka waktu paling lama 24
(dua puluh empat) bulan.
Menurut ketentuan ini, pajak yang terutang pada saat jatuh tempo pembayaran tidak atau
kurang dibayar, dikenakan denda administrasi 2% (dua persen) setiap bulan dari jumlah
yang tidak atau kurang dibayar tersebut untuk jangka waktu paling lama 24 (dua puluh
empat) bulan, dan bagian dari bulan dihitung penuh 1 (satu) bulan.
Contoh:
SPPT tahun pajak 2005 diterima pleh wajib pajak pada tanggal 1 Maret 2005 dengan
pajak yang terutang sebesar Rp 500.000,00. Oleh wajib pajak baru dibayar pada tanggal 1
september 2005. Maka terhadap wajib pajak tersebut dikenakan denda administrasi
sebesar 2% yakni:
2% x Rp 500.000,00 = Rp 10.000,00
Pajak yang terutang yang harus dibayar pada tanggal 1 September 2005 adalah:
Pokok pajak + denda administrasi =
Rp 500.000,00 + Rp 10.000,00 = Rp 510.000,00
Bila wajib pajak tersebut baru membayar utang pajaknya pada tanggal 10 Oktober 2005,
maka terhadap wajib pajak tersebut dikenakan denda 2 x 2% dari pokok pajak, yakni:
4% x Rp 500.000,00 = Rp 20.000,00
Pajak yang terutang yang harus dibayar pada tanggal 10 Oktober 2005 adalah:
UNIBA | Perpajakan Anjar Wibisono

111

112

Pokok pajak + denda administrasi =


Rp 500.000,00 + Rp 20.000,00 = Rp 520.000,00
4. Denda administrasi sebagaimana dimaksud dalam no.3 diatas, ditambah dengan utang
pajak yang belum atau kurang dibayar ditagih dengan Surat tagihan Pajak (STP) yang
harus dilunasi selambat-lambatnya 1 (satu) bulan sejak tanggal diterimanya STP oleh
wajib pajak.
Menurut ketentuan ini denda administrasi dan pokok pajak seperti dalam no.3 diatas,
ditagih dengan menggunakan STP yang harus dilunasi dalam waktu satu bulan sejak
tanggal diterimanya STP tersebut.
5. Pajak yang terutang dapat dibayar di Bank, kantor Pos dan Giro dan tempat lain yang
ditunjuk oleh Menteri keuangan.
6. Tata cara pembayaran dan penagihan pajak diatur oleh Menteri keuangan.
7. Surat Pemberitahuan Pajak Terutang (SPPT), surat ketetapan pajak, dan Surat tagihan
Pajak (STP) merupakan dasar penagihan pajak.
8. Jumlah pajak yang terutang berdasarkan STP yang tidak dibayarkan pada waktunya dapat
ditagih dengan surat Paksa.
Dalam hal tagihan pajak yang terutang dibayar setelah jatuh tempo yang telah ditentukan,
penagihannya dilakukan dengan surat paksa yang saat ini berdasarkan UU No. 19 tahun 1997
sebagaimana telah diubah dengan UU No.19 tahun 2000 tentang Penagihan Pajak dengan Surat
Paksa.
KEBERATAN DAN BANDING
Keberatan
1. Wajib pajak dapat mengajukan keberatan kepada Direktorat Jenderal Pajak atas:
a. Surat Pemberitahuan Pajak Terutang (SPPT)
b. Surat Ketetapan Pajak (SKP)
Keberatan terhadap SPPT dan SKP harus diajukan masing-masing dalam satu Surat
keberatan tersendiri untuk setiap tahun pajak.
2. Wajib Pajak dapat mengajukan keberatan atas SPPT atau SKP dalam hal:
a. Wajib pajak menganggap luas objek bumi dan atau bangunan, klasifikasi atau Nilai Jual
Objek Pajak bumi dan atau bangunan yang tercantum dalam SPPT atau SKP tidak sesuai
dengan keadaan sebenarnya.
b. Terdapat perbedaan penafsiran undang-undang dan peraturan perundang-undangan antara
wajib pajak dan fiskus.
3. Keberatan diajukan secara tertulis dalam bahasa Indonesia kepada Kepala Kantor Pelayanan
Pajak Bumi dan Bangunan yang menerbitkan SPPT atau SKP dengan menyatakan alas an
secara jelas.
4. Keberatan harus diajukan dalam jangka waktu 3 (tiga) bulan sejak tanggal diterimanya SPPT
atau SKP oleh wajib pajak, kecuali apabila wajib pajak dapat menunjukkan bahwa jangka
waktu itu tidak dapat dipenuhi karena keadaan di luar kekuasaannya.
UNIBA | Perpajakan Anjar Wibisono

112

113

Apabila ternyata batas waktu 3 (tiga) bulan tersebut tidak dapat dipenuhi oleh wajib pajak
karena keadaan di luar kekuasaannya (Force Major), maka Kepala Kantor Pelayanan Pajak
Bumi dan Bangunan masih dapat mempertimbangkan dan meminta wajib pajak untuk
melengkapi persyaratan tersebut dalam batas waktu tertentu.
5. Tanda terima Surat Keberatan yang diberikan oleh Kantor Pelayanan Pajak Bumi dan
Bangunan atau tanda pengiriman Surat Keberatan melalui pos tercatat atau sejenisnya
merupakan tanda bukti penerimaan Surat Keberatan tersebut bagi kepentingan wajib pajak.
6. Apabila diminta oleh wajib pajak untuk keperluan pengajuan keberatan, Direktur Jenderal
Pajak wajib memberikan secara tertulis hal-hal yang menjadi dasar pengenaan pajak.
7. Pengajuan keberatan tidak menunda kewajiban membayar pajak.
8. Kepala Kantor Wilayah Direktorat Jenderal Pajak atau Kepala Kantor Pelayanan Pajak Bumi
dan Bangunan dalam jangka waktu paling lama 12 (dua belas) bulan sejak tanggal surat
keberatan diterima, harus memberikan keputusan atas keberatan
9. Sebelum surat keputusan diterbitkan, wajib pajak dapat menyampaikan alasan tambahan atau
penjelasan tertulis.
10. Keputusan Kepala Kantor Wilayah Direktur Jenderal Pajak atau Kepala Kantor Pelayanan
Pajak Bumi dan Bangunan atas keberatan dapat berupa:
a. Tidak dapat diterima
b. Menolak
c. Menerima seluruhnya atau sebagian
d. Menambah besarnya jumlah pajak yang terutang
11. Dalam hal wajib pajak mengajukan keberatan atas ketetapan sebagaimana dalam surat
ketetapan pajak, wajib pajak yang bersangkutan harus dapat membuktikan ketidakbenaran
ketetapan pajak tersebut.
12. Apabila dalam jangka waktu 12 (dua belas) bulan telah lewat dan Direktur Jenderal Pajak
tidak member suatu keputusan, maka keberatan tersebut dianggap diterima.
Ketentuan ini dimaksudkan untuk memberikan kepastian hukum, bagi wajib pajak yaitu
apabila dalam jangka waktu 12 bulan sejak tanggal diterimanya surat keberatan, Ditjen Pajak
tidak memberikan keputusan atas keberatan yang diajukan berarti keberatan tersebut
diterima.
Banding
Ketentuan banding pajak bumi dan bangunan mengikuti ketentuan tentang banding Undangundang ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan.

113

UNIBA | Perpajakan Anjar Wibisono

114

PENGURANGAN PAJAK
Pengurangan diberikan atas pajak (PBB) terutang yang tercantum dalam SPPT atau SKP.
Pengurangan pajak terutang dapat diberikan kepada dan dalam hal:
1. Wajib pajak orang Pribadi atau badan karena kondisi tertentu objek pajak yang ada
hubungannya dengan subjek pajak dan atau karena sebab-sebab tertentu lainnya, seperti:
a. Objek pajak berupa lahan pertanian/perkebunan/perikanan/peternakan yang hasilnya
sangat terbatas yang dimiliki, dikuasai dan atau dimanfaatkan oleh wajib pajak orang
pribadi;
b. Objek pajak yang dimiliki, dikuasai dan atau dimanfaatkan oleh wajib pajak orang
pribadi yang berpenghasilan rendah yang nilai jualnya meningkat akibat adanya
pembangunan atau perkembangan lingkungan;
c. Objek pajak yang dimiliki, dikuasai dan atau dimanfaatkan oleh wajib pajak orang
pribadi yang penghasilannya semata-mata berasal dari pensiunan, sehingga kewajiban
pbb-nya sulit dipenuhi;
d. Objek pajak yang dimiliki, dikuasai dan atau dimanfaatkan oleh wajib pajak orang
pribadi yang berpenghasilan rendah sehingga kewajiban pbb-nya sulit dipenuhi;
e. Objek pajak yang dimiliki, dikuasai dan atau dimanfaatkan oleh wajib pajak veteran
pejuang kemerdekaan dan veteran pembela kemerdekaan;
f. Objek pajak yang dimiliki, dikuasai dan atau dimanfaatkan oleh wajib pajak badan
yang mengalami kerugian dan kesulitan likuiditas yang serius sepanjang tahun,
sehingga tidak dapat memenuhi kewajiban rutin perusahaan.
Dalam hal ini pengurangan dapat diberikan setinggi-tingginya 75% (tujuh puluh lima
persen) dari pajak terutang, dan ditetapkan berdasarkan pertimbangan kondisi objek pajak
serta penghasilan wajib pajak.
2. Wajib pajak orang pribadi atau badan dalam hal objek pajak yang terkena bencana alam
atau sebab-sebab lain yang luar biasa. Termasuk dalam pengertian Bencana alam adalah
gempa bumi, banjir, tanah longsor, gunung meletus dan sebagainya. Sedangkan yang
dimaksud dengan sebab-sebab lain yang luar biasa adalah kebakaran, kekeringan, wabah
penyakit dan hama tanaman.
Dalam hal ini dapat diberikan sampai dengan 100% (seratus persen) dari besarnya pajak
terutang.
3. Wajib pajak anggota veteran pejuang kemerdekaan dan veteran pembela kemerdekaan.
Besarnya pengurangan ditetapkan sebesar 75% (tujuh puluh lima persen) dari besarnya
pajak terutang.
Cara Mengajukan Permohonan:
1. Permohonan pengurangan diajukan secara tertulis dalam Bahasa Indonesia kepada
Kepala Kantor Pelayanan Pajak Bumi dan Bangunan yang menerbitkan SPPT atau SKP
dengan mencantumkan besarnya presentase pengurangan dimohonkan.
2. Permohonan pengurangan diajukan selambat-lambatnya 3 (tiga) bulan terhitung:
a. Sejak tanggal diterimanya SPPT atau SKP; atau
b. Sejak terjadinya bencana alam atau sebab-sebab lain yang luar biasa.

UNIBA | Perpajakan Anjar Wibisono

114

115

3. Permohonan pengurangan pajak terutang dapat diajukan secara kolektif atau


perseorangan.
4. Permohonan pengurangan pajak terutang secara perseorangan harus dilampiri:
a. Fotocopy SPPT/SKP dari tahun pajak yang diajukan permohonan pengurangannya;
dan
b. Fotocopy tanda anggota veteran, bagi anggota veteran
5. Permohonan pengurangan pajak terutang secara kolektif dapat diajukan sebelum SPPT
diterbitkan, selambat-lambatnya tanggal 10 januari untuk tahun pajak yang bersangkutan
melalui:
a. Pemerintah daerah setempat; atau
b. Organisasi Legiun Veteran Republik Indonesia bagi anggota Veteran
6. Permohonan pengurangan pajak terutang untuk wajib pajak badan harus dilampiri
dengan:
a. Fotocopy SPPT/SKP dari tahun pajak yang diajukan permohonan pengurangannya;
b. Fotocopy SPT PPh tahun pajak terakhir beserta lampirannya; dan
c. Laporan Keuangan
7. Permohonan pengurangan pajak terutang dalam hal objek pajak yang terkena bencana
alam atau sebab-sebab lain yang luar biasa dilampiri Surat Keterangan dari Pemerintah
daerah setempat/instansi terkait
8. Wajib pajak dapat mengajukan permohonan pengurangan pajak terutang apabila telah
melunasi PBB untuk tahun sebelumnya atas objek pajak yang sama.
9. Peromohonan dapat disampaikan secara langsung atau dikirim melalui pos
10. Tanggal tanda terima Surat Permohonan tersebut diatur sebagai berikut:
a. Apabila disampaikan secara langsung maka tanggal tanda terima adalah pada saat
surat permohonan tersebut secara lengkap diterima oleh Kantor Pelayanan Pajak
Bumi dan Bangunan
b. Apabila dikirimkan melalui pos atau sarana pengiriman lainnya maka tanggal tanda
terima adalah pada saat surat permohonan tersebut secara lengkap diterima oleh
Kantor pelayanan pajak bumi dan bangunan, bukan pada tanggal pengiriman surat
permohonan.
Keputusan Pengurangan
1. Kepala Kantor Wilayah Direktorat Jenderal Pajak yang membawahi Kepala Kantor
Pelayanan Pajak Bumi dan Bangunan yang menerbitkan SPPT dan atau SKP, atas nama
Menteri Keuangan memberikan Keputusan atas permohonan pengurangan pajak terutang
yang lebih dari Rp 500.000.000,00 (lima ratus juta rupiah).
2. Kepala Kantor Pelayanan Pajak Bumi dan Bangunan yang menerbitkan SPPT dan atau
SKP, atas nama Menteri Keuangan memberikan Keputusan atas permohonan
pengurangan pajak terutang yang tidak lebih dari Rp 500.000.000,00 (lima ratus juta
rupiah).
3. Keputusan pengurangan dapat berupa:
a. Mengabulkan seluruhnya
b. Mengabulkan sebagian
c. Menolak

UNIBA | Perpajakan Anjar Wibisono

115

116

4. Keputusan atas permohonan pengurangan pajak harus diterbitkan selambat-lambatnya 3


(tiga) bulan sejak diterimanya permohonan pengurangan wajib pajak jangka waktu
sebagaimana tersebut terhitung sejak:
a. Tanggal tanda terima Surat Permohonan, dalam hal Surat Permohonan disampaikan
secara langsung;
b. Tanggal stempel pos, dalam hal Surat Permohonan dikirimkan melalui pos (biasa
maupun tercatat) atau sarana pengiriman lainnya.
5. Apabila jangka waktu tersebut telah lewat dan Keputusa belum diterbitkan, maka
permohonan pengurangan pajak dianggap dikabulkan.
6. Keputusan pengurangan berlaku untuk tahun pajak yang bersangkutan.
PENGURANGAN DENDA ADMINISTRASI
Atas permintaan wajib pajak Dirjen pajak dapat mengurangkan denda administrasi karena halhal tertentu.
Ketentuan ini memberi kesempatan kepada wajib pajak untuk meminta pengurangan denda
administrasi kepada Direktur Jenderal Pajak. Direktur Jenderal Pajak dapat mengurangkan
sebagian atau seluruhnya denda administrasi tersebut.
PEJABAT
1. Pejabat yang dalam jabatannya atau tugas pekerjaannya berkaitan langsung dengan objek
pajak adalah:
a. Camat sebagai Pejabat Pembuat Akta Tanah
b. Notaris/Pejabat Pembuat Akta Tanah
c. Pejabat Pembuat Akta Tanah
2. Pejabat yang ada hubungannya dengan objek pajak adalah:
a. Kepala Kelurahan atau Kepala Desa
b. Pejabat Dinas Tata kota
c. Pejabat Dinas Pengawasan bangunan
d. Pejabat agraria
e. Pejabat Balai Harta Peninggalan
f. Pejabat lain yang ditunjuk oleh Menteri Keuangan/direktorat jenderal pajak.
Kewajiban Pejabat:
1. Yang berkaitan langsung dengan objek pajak, wajib:
a. Menyampaikan laporan bulanan mengenai semua mutasi dan perubahan keadaan
objek pajak secara tertulis kepada Direktorat Jenderal Pajak yang wilayah kerjanya
meliputi letak objek pajak selambat-lambatnya tanggal 10 (sepuluh) bulan berikutnya.
b. Memberikan keterangan yang diperlukan atas permintaan Direktorat Jenderal Pajak.

116

UNIBA | Perpajakan Anjar Wibisono

117

Catatan:
Kewajiban merahasiakan ditiadakan (tidak ada rahasia jabatan dalam hubungannya dengan PBB)
Contoh laporan tertulis tentang mutasi objek pajak antara lain: jual beli, hibah dan warisan.
2. Yang berhubungan dengan objek pajak:
Wajib memberikan keterangan yang diperlukan atas permintaan Direktorat Jenderal
Pajak yang berwenang.
Catatan:
Kewajiban merahasiakan ditiadakan (tidak ada rahasia jabatan dalam hubungan dengan PBB).
SANKSI
Bagi Wajib Pajak
1. Apabila SPOP tidak disampaikan dan setelah ditegur secara tertulis tidak disampaikan
sebagaimana ditentukan dalam Surat Teguran, ditagih dengan Surat Ketetapan Pajak.
Jumlah pajak yang terutang dalam Surat Ketetapan Pajak adalah pokok pajak ditambah
dengan denda administrasi sebesar 25% (dua puluh lima persen) dihitung dari pokok
pajak.
Apabila berdasarkan hasil pemeriksaan atau keterangan lain ternyata jumlah pajak yang
terutang lebih besar dari jumlah pajak yang dihitung berdasarkan SPOP yang
disampaikan oleh wajib pajak, ditagih dengan Surat Ketetapan Pajak. Jumlah pajak yang
terhutang dalam Surat Ketetapan Pajak adalah selisih pajak yang terhutang berdasarkan
hasil pemeriksaan atau keterangan lain dengan pajak yang terhutang yang dihitung
berdasarkan Surat Pemberitahuan Objek Pajak ditambah denda administrasi sebesar 25%
(dua puluh lima persen) dari selisih pajak yang terhutang.
2. Pajak yang terhutang yang pada saat jatuh tempo pembayaran tidak dibayar atau kurang
dibayar, dikenakan denda administrasi sebesar 2% (dua persen) sebulan, yang dihitung
dari saat jatuh tempo sampai dengan hari pembayaran untuk jangka waktu paling lama 24
(dua puluh empat) bulan.
3. Karena kealpaannya sehingga menimbulkan kerugian pada Negara, dalam hal:
a. Tidak mengembalikan/menyampaikan SPOP kepada Direktorat Jenderal Pajak.
b. Menyampaikan SPOP, tetapi isinya tidak benar atau tidak lengkap dan atau
melampirkan keterangan tidak benar.
4. Karena kesengajaannya sehingga menimbulkan kerugian pada Negara, dalam hal:
a. Tidak mengembalikan/menyampaikan SPOP kepada Direktorat Jenderal Pajak.
b. Menyampaikan SPOP, tetapi isinya tidak benar atau tidak lengkap dan atau
melampirkan keterangan yang tidak benar.
c. Memperlihatkan surat palsu atau dipalsukan atau dokumen lain yang palsu atau
dipalsukan seolah=olah benar.
d. Tidak memperlihatkan atau tidak meminjamkan surat atau dokumen lainnya.
e. Tidak menunjukkan data atau tidak menyampaikan keterangan yang diperlukan.

UNIBA | Perpajakan Anjar Wibisono

117

118

Untuk sebab kealpaan:


Dipidana dengan pidana kurungan selama-lamanya 6 (enam) bulan atau denda setinggi-tingginya
sebesar 2 (dua) kali pajak yang terutang.
Kealpaan berarti tidak sengaja, kurang hati-hati sehingga perbuatan tersebut mengakibatkan
kerugian bagi Negara.
Untuk sebab kesengajaan:
Dipidana dengan pidana penjara selama-lamanya 2 (dua) tahun atau denda setinggi-tingginya 5
(lima) kali pajak yang terutang.
Sanksi pidana ini akan dilipatkan dua, apabila seseorang melakukan lagi tindak pidana di bidang
perpajakan sebelum lewat 1 9satu) tahun, terhitung sejak selesainya menjalani sebagian atau
seluruh pidana penjara yang dijatuhkan atau sejak dibayarkan denda.
Untuk mencegah terjadinya pengulangan tindak pidana perpajakan, maka bagi mereka yang
melakukan tindak pidana sebelum lewat 1 (satu) tahun sejak selesainya mengalami sebagian atau
seluruh pidana penjara yang dijatuhkan atau sejak dibayarnya denda, dikenakan pidana lebih
berat ialah dua kali lipat dari ancaman pidana.
Bagi Pejabat
Sanksi Umum
Apabila tidak memenuhi kewaiban seperti yang telah diuraikan di muka dikenakan sanksi
menurut peraturan perundangan yang berlaku, yaitu antara lain:
Peraturan Pemerintah No.30 tahun 1980 tentang Peraturan Disiplin Pegawai negeri sipil,
Staatsblad 1860 No.3 tentang Peraturan Jabatan Notaris.
Sanksi Khusus
Bagi pejabat yang tugas pekerjaannya berkaitan langsung atau ada hubungannya dengan objekobjek pajak ataupun pihak lainnya, yang:
a. Tidak memperlihatkan atau tidak meminjamkan dokumen yang diperlukan
b. Tidak menunjukkan data atau tidak menyampaikan keterangan yang diperlukan
Dipidana dengan pidana kurungan selama-lamanya 1 tahun atau denda setinggi-tingginya
2.000.000,00 (dua juta rupiah).

Rp

Catatan:
Tindak pidana yang telah diuraikan di muka tidak dapat dituntut setelah lampau waktu 10 tahun
sejak berakhirnya tahun pajak yang bersangkutan. Penyimpangan terhadap ketentuan Pasal 78
KUHP (Kitab Undang-Undang Hukum Pidana) dimaksudkan untuk menyesuaikan dengan
kewajiban menyimpan dokumen perpajakan yang lamanya 10 (sepuluh) tahun.
118

UNIBA | Perpajakan Anjar Wibisono

119

PEMBAGIAN HASIL PENERIMAAN PBB


Hasil penerimaan PBB merupakan penerimaan Negara (dalam hal ini Pemerintah Pusat) dan
disetor sepenuhnya ke rekening Kas Negara. Namun demikian, penerimaan Pajak Bumi dan
bangunan akan dibagi untuk Pemerintah Pusat dan Daerah dengan imbangan sebagai berikut:
1. 10% (sepuluh persen) untuk Pemerintah Pusat
2. 90% (Sembilan puluh persen) untuk Daerah
Jumlah 10% (sepuluh persen) bagian Pemerintah Pusat dibagikan kepada seluruh daerah
kabupaten dan kota yang didasarkan atas realisasi penerimaan PBB tahun anggaran berjalan,
dengan imbangan sebagai berikut:
1. 65% (enam puluh lima persen) dibagikan secara merata kepada seluruh daerah kabupaten
dan kota; dan
2. 35% (tiga puluh lima persen) dibagikan secara insentif kepada daerah kabupaten dan kota
yang realisasi tahun sebelumnya mencapai/melampaui rencana penerimaan sector
tertentu.
Jumlah 90% (Sembilan puluh persen) bagian Daerah dibagi dengan rincian sebagai berikut:
1. 16,2% (enam belas koma dua persen) untuk Daerah Propinsi yang bersangkutan dan
disalurkan ke Rekening Kas Umum Daerah Propinsi.
2. 64,8% (enam puluh empat koma delapan persen) untuk Daerah Kabupaten/Kota yang
bersangkutan dan disalurkan ke Rekening Kas Umum Daerah Kabupaten/Kota;
3. 9% (Sembilan persen) untuk Biaya Pemungutan yang dibagikan kepada Direktorat
Jenderal Pajak dan daerah.
Khusus untuk propinsi Nanggroe Aceh Darussalam 90% 9sembilan puluh persen) dari hasil
penerimaan tersebut merupakan penerimaan bagian Daerah yang dibagikan dengan rincian
sebagai berikut:
1. 16,2% (enam belas koma dua persen) untuk daerah Propinsi yang dibagi dengan
imbangan:
a. 30% (tiga puluh persen) untuk biaya pendidikan di Propinsi Nanggroe Aceh
Darussalam dan disalurkan melalui rekening khusus dana pendidikan;
b. 70% (tujuh puluh persen) untuk Daerah propinsi dan disalurkan melalui rekening Kas
daerah Propinsi.
2. 64,8% (enam puluh empat koma delapan persen) untuk Daerah kabupaten/kota yang
bersangkutan, yang dibagi dengan imbangan:
a. 30% (tiga puluh persen) untuk biaya pendidikan di Propinsi Nanggroe Aceh
Darussalam dan disalurkan melalui rekening khusus dana pendidikan;
b. 70% (tujuh puluh persen) untuk Daerah kabupaten/kota dan disalurkan melalui
rekening kas daerah kabupaten/kota
3. 9% (Sembilan persen) untuk Biaya Pemungutan yang dibagikan kepada Direktorat
Jenderal Pajak dan Daerah.
119

UNIBA | Perpajakan Anjar Wibisono

120

BAB X
BEA PEROLEHAN HAK ATAS TANAH DAN BANGUNAN
PENDAHULUAN
Sesuai dengan pasal 33 ayat (3) Undang-undang dasar 1945, bumi, air dan kekayaan alam yang
terkandung di dalamnya dikuasai oleh Negara dan dipergunakan untuk sebesar-besarnya
kemakmuran rakyat. Tanah sebagai bagian dari bumi yang merupakan karunia Tuhan Yang
Maha Esa, disamping memenuhi kebutuhan dasar untuk papan dan lahan usaha, juga merupakan
alat investasi yang sangat menguntungkan. Di samping itu, bangunan juga member manfaat
ekonomi bagi pemiliknya. Oleh karena itu, bagi mereka yang memperoleh hak atas tanah dan
bangunan, wajar menyerahkan sebagian nilai ekonomi yang diperolehnya kepada Negara melalui
pembayaran pajak, yang dalam hal ini adalah Bea perolehan hak atas tanah dan bangunan
(BPHTB).
Prinsip yang dianut dalam undang-undang BPHTB adalah:
1. Pemenuhan kewajiban BPHTB adalah berdasarkan system self assessment, yaitu Wajib
Pajak menghitung dan membayar sendiri utang pajaknya.
2. Besarnya tariff ditetapkan sebesar 5% (lima persen) dari Nilai Perolehan objek pajak
kena Pajak (NPOPKP).
3. Agar pelaksanaan Undang-undang BPHTB dapat berlaku secara efektif, maka baik
kepada wajib Pajak maupun kepada pejabat-pejabat umum yang melanggar ketentuan
atau tidak melaksanakan kewajibannya, dikenakan sanksi menurut peraturan perundangundangan yang berlaku.
4. Hasil penerimaan BPHTB merupakan penerimaan Negara yang sebagian besar
diserahkan kepada pemerintah daerah, untuk meningkatkan pendapatan daerah guna
membiayai pembangunan daerah dan dalam rangka memantapkan otonomi daerah.
5. Semua pungutan atas perolehan hak atas tanah dan atau bangunan di luar ketentuan ini
tidak diperkenankan.
PENGERTIAN-PENGERTIAN
Dalam pembahasan Bea perolehan hak atas tanah dan Bangunan, akan dijumpai beberapa
pengertian-pengertian yang sudah baku. Pengertian-pengertian tersebut antara lain adalah:
1. Bea Peroelha Hak atas Tanah dan Bangunan (BPHTB), adalah pajak yang dikenakan atas
perolehan hak atas tanah dan atau bangunan. Dalam pembahasan ini, BPHTB selanjutnya
disebut pajak.
2. Perolehan hak atas tanah dan atau bangunan, adalah perbuatan atau peristiwa hukum
yang mengakibatkan diperolehnya hak atas tanah dan atau bangunan oleh orang pribadi
atau badan.
3. Hak atas tanah dan atau bangunan, adalah hak atas tanah, termasuk hak pengelolaan,
beserta bangunan diatasnya, sebagaimana dimaksud dalam Undang-undang Nomor 5
tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-pokok Agraria, Undang-undang nomor 16
tahun 1985 tentang Rumah Susun, dan ketentuan peraturan perundang-undangan yang
berlaku lainnya.

UNIBA | Perpajakan Anjar Wibisono

120

121

DASAR HUKUM
Dasar hukum Bea Perolehan hak atas Tanah dan Bangunan adalah:
1. Undang-Undang Nomor 21 tahun 1997 sebagaimana telah diubah dengan UndangUndang Nomor 20 Tahun 2000 tentang Bea Perolehan Hak Atas Tanah dan Bangunan.
Undang-Undang ini menggantikan Ordonansi Bea balik Nama Staatsblad 1924 Nomor
291.
2. Peraturan Pemerintah No.111 tahun 2000 tentang Pengenaan BPHTB karena waris dan
hibah.
3. Peraturan Pemerintah No.112 tahun 2000 tentang Pengenaan BPHTB karena pemberian
Hak Pengelolaan.
4. Peraturan Pemerintah No.113 tahun 2000 tentang Penentuan Besarnya NPOPTKP
BPHTB.
OBJEK PAJAK
Objek BPHTB adalah perolehan hak atas tanah dan atau bangunan. Perolehan hak atas tanah dan
atau bangunan meliputi:
1. Pemindahan hak karena:
a. Jual-beli;
b. Tukar-menukar;
c. Hibah;
d. Hibah wasiat;
e. Waris;
f. Pemasukan dalam perseroan atau badan hukum lainnya;
g. Pemisahan hak yang mengakibatkan peralihan;
h. Penunjukan pembeli dalam lelang;
i. Pelaksanaan putusan hakim yang mempunyai kekuatan hukum tetap;
j. Penggabungan usaha;
k. Peleburan usaha;
l. Pemekaran usaha;
m. Hadiah.
2. Pemberian hak baru karena:
a. Kelanjutan pelepasan hak;
b. Di luar pelepasan hak.
TIDAK TERMASUK OBJEK PAJAK
Objek pajak yang tidak dikenakan BPHTB adalah objek pajak yang diperoleh:
1. Perwakilan diplomatic, konsulat berdasarkaa asas perlakuan timbale balik;
2. Negara untuk penyelenggaraan pemerintahan dan atau pelaksanaan pembangunan guna
kepentingan umum;
3. Badan atau perwakilan organisasi internasional yang ditetapkan dengan Keputusan
Menteri dengan syarat tidak menjalankan usaha atau melakukan kegiatan lain di luar
fungsi dan tugas badan usaha atau perwakilan organisasi tersebut;
4. Orang pribadi atau badan karena konversi hak atau karena perbuatan hukum lain dengan
tidak adanya perubahan nama;
5. Orang pribadi atau badan karena wakaf;
6. Orang pribadi atau badan yang digunakan untuk kepentingan ibadah.
UNIBA | Perpajakan Anjar Wibisono

121

122

SUBJEK PAJAK
Yang menjadi subjek pajak adalah orang pribadi atau badan yang memperoleh hak atas tanah dan
atau bangunan. Subjek pajak yang dikenakan kewajiban membayar pajak menjadi wajib Pajak
BPHTB menurut Undang-undang BPHTB.
DASAR PENGENAAN PAJAK, NILAI PEROLEHAN OBJEK PAJAK TIDAK KENA
PAJAK (NPOPTKP), DAN TARIF PAJAK
Dasar Pengenaan Pajak
Yang menjadi dasar pengenaan pajak adalah Nilai Perolehan Objek Pajak (NPOP), NPOP
ditentukan sebesar:
1. Harga transaksi, dalam hal: jual beli.
2. Nilai pasar objek pasar, dalam hal:
a. Tukar-menukar;
b. Hibah;
c. Hibah wasiat;
d. Waris;
e. Pemasukan dalam perseroan atau badan hukum lainnya;
f. Pemisahan hak yang mengakibatkan peralihan hak;
g. Peralihan hak karena pelaksanaan putusan hakim yang mempunyai kekuatan hukum
tetap;
h. Pemberian hak baru atas tanah sebagai kelanjutan dari pelepasan hak;
i. Pemberian hak baru atas tanah di luar pelepasan hak;
j. Penggabungan usaha;
k. Peleburan usaha;
l. Pemekaran usaha;
m. Hadiah.
3. Harga transaksi yang tercantum dalam Risalah Lelang, dalam hal; penunjukan pembeli
dalam lelang.
4. Nilai Jual Objek Pajak Bumi dan Bangunan (NJOP PBB), apabila besarnya NPOP
sebagaimana dimaksud dalam poin 1 dan 2 tidak diketahui atau NPOP lebih rendah
daripada NJOP PBB.
Contoh:
Tuan Aryo membeli tanah dan bangunan dengan NPOP (harga transaksi)
Rp 100.000.000,00. NJOP PBB tersebut yang digunakan dalam pengenaan PBB adalah
Rp 120.000.000,00 maka yang dikenakan sebagai dasar pengenaan BPHTB adalah
Rp 120.000.000,00 dan bukan Rp 100.000.000,00 .
Nilai Perolehan Objek Pajak Tidak kena pajak (NPOPTKP)
Besarnya NPOPTKP ditetapkan secara regional paling banyak Rp 60.000.000,00 (enam puluh
juta rupiah), kecuali dalam hal perolehan hak karena waris, atau hibah wasiat yang diterima
orang pribadi yang masih dalam hubungan keluarga sedarah dalam garis keturunan lurus satu
derajat ke atas atau satu derajat ke bawah dengan pemberi hibah wasiat, termasuk suami/istri,
Nilai Perolehan Objek Pajak Tidak Kena pajak ditetapkan secara regional paling banyak Rp
300.000.000,00 (tiga ratus juta rupiah). Besarnya NPOPTKP dapat diubah dengan Peraturan
UNIBA | Perpajakan Anjar Wibisono

122

123

Pemerintah dengan mempertimbangkan perkembangan


perkembangan harga umum tanah dan atau bangunan.

ekonomi

dan

moneter

serta

Tarif pajak
Besarnya tarif pajak ditetapkan sebesar 5% (lima Persen).
CARA MENGHITUNG BPHTB
BPHTB = Nilai Perolehan Objek Pajak Kena Pajak x Tarif
= (NPOP NPOPTKP) x 5%
Contoh:
Tuan Budi membeli tanah dan bangunan dengan Nilai Perolehan Objek Pajak Rp 70.000.000,00.
Sedangkan Nilai Perolehan Objek Pajak Tidak Kena Pajak yang berlaku di Kabupaten/Kota
tersebut Rp 60.000.000,00.
Nilai Perolehan Objek Pajak
Nilai Perolehan Objek Pajak Tidak kena pajak
Nilai Perolehan objek Pajak kena Pajak
BPHTB yang terutang = Rp 10.000.000,00 x 5%

Rp 70.000.000,00
60.000.000,00
Rp 10.000.000,00
= Rp 500.000,00

SAAT TERUTANGNYA PAJAK


Saat yang menentukan terutangnya pajak adalah:
1. Sejak tanggal dibuat dan ditandatanganinya akta, untuk:
a. Jual-beli;
b. Tukar-menukar;
c. Hibah;
d. Pemasukan dalam perseroan atau badan hukum lainnya;
e. Pemisahan hak yang mengakibatkan peralihan;
f. Penggabungan usaha;
g. Peleburan usaha;
h. Pemekaran usaha;
i. Hadiah.
2. Sejak tanggal penunjukan pemenang lelang, untuk: lelang.
3. Sejak tanggal putusan pengadilan yang mempunyai kekuatan hukum yang tetap, untuk:
putusan hakim.
4. Sejak tanggal yang bersangkutan mendaftarkan peralihan haknya ke kantor pertanahan,
untuk: hibah wasiat dan waris.
5. Sejak tanggal ditandatangani dan diterbitkannya surat keputusan pemberian hak, untuk:
a. Pemberian hak baru atas tanah sebagai kelanjutan dari pelepasan hak.
b. Pemberian hak baru di luar pelepasan hak.
123

UNIBA | Perpajakan Anjar Wibisono

124

TEMPAT PAJAK TERUTANG


Tempat pajak terutang adalah di wilayah:
1. Kabupaten,
2. Kota, atau
3. Propinsi.
Tempat tersebut meliputi letah tanah dan atau bangunan.
TEMPAT PEMBAYARAN
Pajak yang terutang dibayar ke Kas Negara melalui:
1. Bank Badan Usaha Milik Negara atau Bank Badan Usaha Milik Daerah.
2. Kantor pos dan giro.
3. Tempat pembayaran lain yang ditunjuk oleh Menteri Keuangan.
SURAT KETETAPAN BEA PEROLEHAN HAK ATAS TANAH DAN BANGUNAN
KURANG BAYAR (SKBKB)
1. Pengertian
SKBKB adalah surat ketetapan yang menentukan besarnya jumlah pajak yang terutang,
jumlah kekurangan pembayaran pokok pajak, besarnya sanksi administrasi dan jumlah
yang masih harus dibayar.
2. Penerbitan SKBKB
SKBKB diterbitkan apabila berdasarkan hasil pemeriksaan atau keterangan lain ternyata
jumlah pajak yang terutang kurang dibayar.
SKBKB dapat diterbitkan oleh Direktur Jenderal Pajak dalam jangka waktu 5 tahun
sesudah saat terutangnya pajak.
3. Sanksi SKBKB
Jumlah kekurangan pajak yang terutang dalam SKBKB ditambah dengan sanksi
administrasi berupa bunga sebesar 2% sebulan (maksimal 24 bulan) dihitung mulai saat
terutangnya pajak sampai dengan diterbitkannya SKBKB.

124

UNIBA | Perpajakan Anjar Wibisono

125

Contoh:
Tuan Adi memperoleh tanah dan bangunan yang terletak di Kabupaten Sukamaju pada
tanggal 29 Maret 2005 dengan Nilai Perolehan Objek Pajak Rp 240.000.000,00. Nilai
Perolehan objek Pajak Tidak kena pajak (NPOPTKP) untuk perolehan hak selain karena
waris atau hibah wasiat yang diterima orang pribadi yang masih dalam hubungan
keluarga sedarah dalam garis keturunan lurus satu derajat ke atas atau satu derajat ke
bawah dengan pemberi hibah wasiat, termasuk suami/istri, untuk Kabupaten Sukamaju
ditetapkan sebesar Rp 60.000.000,00
Nilai Perolehan Objek Pajak
Rp 240.000.000,00
Nilai Perolehan Objek Pajak Tidak Kena Pajak
60.000.000,00
Nilai perolehan Objek Pajak Kena Pajak Rp 180.000.000,00
BPHTB yang terutang

= Rp 180.000.000,00 x 5%
= Rp 9.000.000,00

Berdasarkan hasil pemeriksaan, ternyata ditemukan data yang belum lengkap yang
menunjukkan bahwa Nilai Perolehan Pajak sebenarnya adalah Rp 310.000.000,00. Oleh
karena itu diterbitkan SKBKB pada tanggal 30 Desember 2005. Besarnya BPHTB yang
terutang adalah sebagai berikut:
Nilai Perolehan Objek Pajak
Nilai Perolehan Objeka Pajak Tidak Kena Pajak
Nilai Perolehan Objek Pajak Kena Pajak
BPHTB yang seharusnya terutang =
Rp 250.000.000,00 x 5%
BPHTB yang telah dibayar
BPHTB yang kurang dibayar

Rp 310.000.000,00
60.000.000,00
Rp 250.000.000,00

= Rp 12.500.000,00
9.000.000,00
Rp 3.500.000,00

Sanksi adiministrasi berupa bunga dari 29 Maret 2005 sampai dengan 30 Desember 2005
= 10 bulan x 2% x Rp 3.500.000,00 = Rp 700.000,00
Jadi jumlah yang harus dibayar menurut SKBKB =
Rp 3.500.000,00 + Rp 700.000,00 = Rp 4.200.000,00

125

UNIBA | Perpajakan Anjar Wibisono

126

SURAT KETETAPAN BEA PEROLEHAN HAK ATAS TANAH DAN BANGUNAN


KURANG BAYAR TAMBAHAN (SKBKBT)
1.

Pengertian
SKBKBT adalah surat ketetapan yang menentukan tambahan atas jumlah pajak yang telah
ditetapkan.

2.

Penerbitan SKBKBT
SKBKBT diterbitkan apabila ditemukan data baru dan atau data yang semula belum
terungkap yang menyebabkan penambahan jumlah pajak yang terutang setelah
diterbitkannya SKBKB.
SKBKBT dapat diterbitkan oleh Direktur Jenderal Pajak dalam jangka waktu 5 tahun
sesudah saat terutangnya pajak.

3.

Sanksi SKBKBT
Jumlah kekurangan pajak yang terutang dalam SKBKBT ditambah dengan sanksi
administrasi berupa kenaikan sebesar 100% (seratus persen) dari jumlah kekurangan pajak
tersebut.
Contoh (berdasarkan data pada contoh sebelumnya)
Pada tahun 2006, dari hasil pemeriksaan atau keterangan lain diperoleh data baru bahwa
Nilai Perolehan Objek Pajak ternyata adalah Rp 360.000.000,00, maka BPHTB yang
terutang adalah sebagai berikut:
Nilai Perolehan Objek Pajak
Nilai Perolehan Objek Pajak Tidak Kena Pajak
Nilai Perolehan objek Pajak kena Pajak
BPHTB yang seharusnya terutang =
Rp 300.000.000,00 x 5%
BPHTB yang telah dibayar
BPHTB yang kurang dibayar

Rp 360.000.000,00
60.000.000,00
Rp 300.000.000,00

Rp 15.000.000,00
12.500.000,00
Rp 2.500.000,00

Sanksi administrasi kenaikan = 100% x Rp 2.500.000,00 = Rp 2.500.000,00


Jadi jumlah yang harus dibayar menurut SKBKBT =
Rp 2.500.000,00 + Rp 2.500.000,00 = Rp 5.000.000,00
SURAT TAGIHAN BEA PEROLEHAN HAK ATAS TANAH DAN BANGUNAN
KURANG BAYAR TAMBAHAN (STB)
1.

Pengertian
STB adalah surat untuk melakukan tagihan pajak dan atau sanksi administrasi berupa bunga
dan atau denda.

UNIBA | Perpajakan Anjar Wibisono

126

127

2.

Penerbitan STB
STB diterbitkan apabila:
a. Pajak yang terutang tidak atau kurang dibayar
b. Dari hasil pemeriksaan Surat Setoran Bea Perolehan Hak atas Tanah dan Bangunan
(SSB) terdapat kekurangan pembayaran pajak sebagai akibat salah tulis dan atau salah
hitung.
c. Wajib Pajak dikenakan sanksi administrasi berupa bunga dan atau denda.

3.

Sanksi STB
Jumlah pajak yang terutang yang tidak atau kurang dibayar dalam STB sebagaimana
dimaksud dalam poin 2a dan 2b ditambah sanksi administrasi berupa bunga sebesar 2% (dua
persen) sebulan untuk jangka waktu paling lama 24 (dua puluh empat) bulan sejak saat
terutangnya pajak. Sedangkan untuk poin 2c tidak ditambah sanksi karena tidak ada sanksi
atas sanksi.
Kekuatan Hukum STB
STB mempunyai kekuatan hukum yang sama dengan Surat Ketetapan Pajak, sehingga
penagihannya dapat dilanjutkan dengan Surat Paksa.

4.

KEBERATAN DAN BANDING


1. Tata Cara Penyelesaian Keberatan
a. Wajib pajak dapat mengajukan keberatan hanya kepada Direktur Jenderal Pajak atas
suatu
1) SKBKB
2) SKBKBT
3) SKBLB
4) SKBN
b. Keberatan diajukan dalam bahasa Indonesia dengan mengemukakan jumlah pajak yang
terutang menurut perhitungan wajib pajak dengan disertai alas an-alasan yang jelas.
c. Keberatan harus diajukan dalam jangka waktu paling lama 3 (tiga) bulan sejak tanggal
diterimanya Surat Ketetapan, kecuali apabila wajib pajak dapat menunjukkan bahwa
jangka waktu itu tidak dapat dipenuhi karena keadaan di luar kekuasaannya.
d. Keberatan yang tidak memenuhi persyaratan sebagaimana dimaksud pada poin b dan c
tidak dianggap sebagai Surat Keberatan, sehingga tidak dipertimbangkan.
e. Tanda penerimaan surat Keberatan yang diberikan oleh pejabat Direktorat Jenderal Pajak
atau tanda pengiriman Surat Keberatan melalui pos tercatat menjadi tanda bukti
penerimaan Surat Keberatan.
f. Direktur Jenderal Pajak dalam jangka waktu 12 (dua belas) bulan sejak tanggal Surat
Keberatan diterima, harus member keputusan. Keputusan Direktur Jenderal Pajak dapat
berupa:
Mengabulkan seluruhnya
Mengabulkan sebagian
Menolak
Menambah besarnya jumlah pajak yang terutang
g. Apabila dalam jangka waktu 12 (dua belas) bulan telah lewat dan Direktur Jenderal Pajak
tidak member suatu keputusan, keberatan yang diajukan dianggap dikabulkan.
UNIBA | Perpajakan Anjar Wibisono

127

128

h. Pengajuan keberatan tidak menunda kewajiban membayar pajak dan pelaksanaan


penagihan pajak.
i. Apabila pengajuan keberatan dikabulkan sebagian atau seluruhnya, kelebihan
pembayaran pajak dikembalikan dengan ditambah imbalan bunga sebesar 2% (dua
persen) sebulan untuk jangka waktu paling lama 24 (dua puluh empat) bulan dihitung
sejak tanggal pembayaran yang menyebabkan kelebihan pembayaran pajak sampai
dengan diterbitkan Keputusan Keberatan.
2. Tata Cara Penyelesaian Banding
a. Wajib pajak dapat mengajukan permohonan banding hanya kepada Pengadilan Pajak
terhadap keputusan mengenai keberatannya yang ditetapkan oleh Direktur Jenderal Pajak.
b. Banding diajukan dalam jangka waktu 3 bulan sejak keputusan keberatan diterima,
dengan cara:
1) Tertulis dan dalam bahasa Indonesia.
2) Mengemukakan alasan-alasan yang jelas.
3) Dilampiri salinan Surat Keputusan Keberatan.
c. Pengajuan permohonan banding tidak menunda kewajiban membayar pajak dan
pelaksanaan penagihan pajak.
d. Apabila permohonan banding dikabulkan sebagian atau seluruhnya, kelebihan
pembayaran pajak dikembalikan dengan ditambah imbalan bunga sebesar 2% sebulan
untuk jangka waktu paling lama 24 (dua puluh empat) bulan dihitung sejak tanggal
pembayaran yang menyebabkan kelebihan pembayaran pajak sampai dengan diterbitkan
Putusan Banding.
PENGEMBALIAN KELEBIHAN PEMBAYARAN BPHTB
Wajib pajak dapat mengajukan permohonan pengembalian atas kelebihan pembayaran pajak
kepada Direktur Jenderal Pajak, antara lain dalam hal:
1. Pajak yang dibayar lebih besar daripada yang seharusnya terutang.
2. Pajak yang terutang sudah dibayar oleh wajib pajak sebelum akta ditandatangani, namun
perolehan hak atas tanah dan atau bangunan tersebut batal.
Setealh melakukan pemeriksaan (baik pemeriksaan kantor maupun pemeriksaan lapangan),
Direktur Jenderal Pajak akan menerbitkan:
1. SKBLB, apabila:
a. Pajak yang dibayar ternyata lebih besar daripada jumlah pajak yang terutang, atau
b. Dilakukan pembayaran pajak yang tidak seharusnya terutang
2. SKBN, apabila jumlah pajak yang dibayar sama dengan jumlah pajak yang terutang.
Direktur Jenderal Pajak dalam jangka waktu 12 (dua belas) bulan sejak diterimanya permohonan
pengembalian atas kelebihan pembayaran pajak, harus memberikan keputusan. Apabila jangka
waktu tersebut telah terlampaui dan Direktur Jenderal Pajak tidak memberi keputusan,
permohonan pengembalian kelebihan pajak dianggap dikabulkan serta SKBLB harus diterbitkan
dalam jangka waktu paling lama 1 (satu) bulan.

UNIBA | Perpajakan Anjar Wibisono

128

129

Pengembalian kelebihan pembayaran pajak dilakukan dalam jangka waktu paling lama 2 (dua)
bulan sejak diterbitkannya SKBLB. Apabila pengembalian kelebihan pembayaran pajak
dilakukan setelah lewat jangka waktu 2 (dua) bulan, Direktur Jenderal Pajak memberikan
imbalan bunga 2% (dua Persen) sebulan.
KETENTUAN BAGI PEJABAT
Yang termasuk dalam pengertian pejabat adalah:
1. Pejabat Pembuat Akta Tanah (PPAT) / Notaris
2. Pejabat Lelang Negara
3. Pejabat yang berwenang menandatangani dan menerbitkan surat keputusan pemberian
hak atas tanah
4. Pejabat Pertanahan kabupaten/Kota
Untuk pejabat-pejabat tersebut berlaku ketentuan-ketentuan sebagai berikut:
1. PPAT/Notaris hanya dapat menandatangani akta pemindahan hak atas tanah dan atau
bangunan pada saat Wajib Pajak menyerahkan bukti pembayaran pajak berupa Surat
Setoran Bea Perolehan Hak atas Tanah dan Bangunan. Bagi pejabat yang melanggar
ketentuan ini dikenakan sanksi administrasi dan denda sebesar Rp 7.500.000,00 (tujuh
juta lima ratus ribu rupiah) untuk setiap pelanggaran.
2. Pejabat Lelang Negara hanya dapat menandatangani risalah lelang perolehan hak atas
tanah dan atau bangunan pada saat Wajib Pajak menyerahkan bukti pembayaran pajak
berupa Surat Setoran Bea Perolehan Hak atas Tanah dan Bangunan. Bagi pejabat yang
melanggar ketentuan ini dikenakan sanksi administrasi dan denda sebesar Rp
7.500.000,00 (tujuh juta lima ratus ribu rupiah) untuk setiap pelanggaran.
3. Pejabat yang berwenang menandatangani dan menerbitkan surat keputusan pemberian
hak atas tanah hanya dapat menandatangani dan menerbitkan surat keputusan dimaksud
pada saat wajib pajak menyerahkan bukti pembayaran pajak berupa Surat Setoran Bea
Perolehan Hak atas Tanah dan Bangunan.
Pejabat yang berwenang menandatangani dan menerbitkan surat keputusan pemberian
hak atas tanah yang melanggar ketentuan ini dikenakan sanksi menurut Peraturan
Pemerintah Nomor 30 Tahun 1980 tentang Peraturan Disiplin Pegawai Negeri Sipil.
4. Terhadap pendaftaran peralihan hak atas tanah karena waris atau hibah wasiat hanya
dilakukan oleh Pejabat Pertanahan Kabupaten/Kota pada saat Wajib Pajak menyerahkan
bukti pembayaran pajak berupa Surat Setoran Bea Perolehan Hak atas Tanah dan
Bangunan. Bagi pejabat yang melanggar ketentuan ini dikenakan sanksi menurut
ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku.
5. PPAT/Notaris dan Pejabat Lelang Negara melaporkan pembuatan akta atau risalah lelang
perolehan hak atas tanah dan atau bangunan kepada Direktorat Jenderal Pajak selambatlambatnya pada tanggal 10 bulan berikutnya. Misalnya, semua peralihan hak pada bulan
Januari 2002 harus dilaporkan selambat-lambatnya tanggal 10 Februari 2002. Bagi
PPAT/Notaris yang melanggar ketentuan ini dikenakan sanksi administrasi dan denda
sebesar Rp 250.000,00 (dua ratus lima puluh ribu rupiah) untuk setiap laporan.
129

UNIBA | Perpajakan Anjar Wibisono

130

PEMBAGIAN HASIL PENERIMAAN BPHTB


Hasil penerimaan BPHTB merupakan penerimaan Negara (dalam hal ini Pemerintah Pusat) dan
disetor sepenuhnya ke rekening Kas Negara. Namun demikian, Penerimaan BPHTB akan dibagi
untuk Pemerintah Pusat dan Daerah dengan imbangan sebagai berikut:
1. 20% (dua puluh persen) untuk Pemerintah Pusat
2. 80% (delapan puluh persen) untuk Daerah
Jumlah 20% (dua puluh persen) bagian Pemerintah Pusat dibagikan dengan porsi yang sama
besar kepada seluruh Kabupaten/Kota.
Jumlah 80% (delapan puluh persen) bagian Daerah diperinci sebagai berikut:
1. 16% (enam belas persen) untuk Daerah Propinsi yang bersangkutan dan disalurkan
melalui rekening Kas Umum Daerah Propinsi.
2. 64% (enam puluh empat persen) untuk Daerah Kabupaten/Kota penghasil dan disalurkan
melalui rekening Kas Umum daerah Kabupaten/Kota
Khusus untuk Propinsi Nanggroe Aceh Darussalam jumlah 80% (delapan puluh persen) bagian
Daerah diperinci sebagai berikut
1. 16% (enam belas persen) untuk Daerah Propinsi, yang dibagi dengan imbangan:
a. 30% (tiga puluh persen) untuk biaya pendidikan di Propinsi Nanggroe Aceh
Darussalam dan disalurkan melalui rekening khusus dana pendidikan.
b. 70% (tujuh puluh persen) untuk Daerah Propinsi dan disalurkan melalui rekening Kas
Daerah Propinsi.
2. 64% (enam puluh empat persen) untuk Daerah Kabupaten/Kota penghasil, yang dibagi
dengan imbangan:
a. 30% (tiga puluh persen) untuk biaya pendidikan di Propinsi Nanggroe Aceh
Darussalam dan disalurkan melalui rekening khusus dana pendidikan
b. 70% (tujuh puluh persen) untk Daerah Kabupaten/Kota penghasil dan disalurkan
melalui rekening Kas Daerah Kabupaten/Kota
Bagian penerimaan BPHTB yang diterima oleh Daerah merupakan pendapatan Daerah, dan
setiap tahun anggaran dicantumkan dalam Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah.

130

UNIBA | Perpajakan Anjar Wibisono

Anda mungkin juga menyukai