Pajak
Pajak
Pajak
BAB I
DASAR-DASAR PERPAJAKAN
keberatan tersebut diterima, maka Wajib Pajak yang mengajukan keberatan terlebih dahulu
membayar pajak, sesuai dengan yang telah ditetapkan. Berbeda dengan hukum pidana yang
manganut paham oportunitas, yakni pelaksanaannya dapat ditunda setelah ada keputusan lain.
HUKUM PAJAK MATERIIL DAN HUKUM PAJAK FORMIL
Hukum Pajak mengatur hubungan antara pemerintah (fiscus) selaku pemungut pajak dengan
rakyat sebagai Wajib Pajak. Ada 2 macam hukum pajak yakni:
1. Hukum pajak materiil, memuat norma-norma yang menerangkan antara lain keadaan,
perbuatan, peristiwa hukum yang dikenai pajak (objek pajak), siapa yang dikenakan
pajak (subjek), berapa besar pajak yang dikenakan (tariff), segala sesuatu tentang timbul
dan hapusnya utang pajak da hubungan hukum antara pemerintah dan wajib pajak.
2. Hukum pajak formil, memuat bentuk/tata cara untuk mewujudkan hukum materiil
menjadi kenyataan (cara melaksanakan hokum pajak materiil). Hukum ini memuat antara
lain:
a. Tata cara penyelenggaraan (prosedur) penetapan suatu utang pajak.
b. Hak-hak fiskus untuk mengadakan pengawasan terhadap para wajib pajak mengenai
keadaan, perbuatan dan peristiwa yang menimbulkan utang pajak.
c. Kewajiban wajib pajak misalnya menyelenggarakan pembukuan/pencatatan dan hakhak wajib pajak misalnya mengajukan keberatan dan banding.
PENGELOMPOKAN PAJAK
1. Menurut golongannya
a. Pajak langsung, yaitu pajak yang harus dipikul sendiri oleh wajib pajak dan tidak
dapat dibebankan atau dilimpahkan kepada orang lain.
b. Pajak tidak langsung, yaitu pajak yang pada akhirnya dapat dibebankan atau
dilimpahkan kepada orang lain.
2. Menurut sifatnya
a. Pajak Subjektif, yaitu pajak yang berpangkal atau berdasarkan pada subjeknya, dalam
arti memperhatikan keadaan diri wajib pajak.
b. Pajak Objektif, yaitu pajak yang berpangkal pada okjeknya, tanpa memperhatikan
keadaan diri wajib pajak.
3. Menurut lembaga pemungutnya
a. Pajak pusat, yaitu pajak yang dipungut oleh pemerintah pusat dan digunakan untuk
membiayai rumah tangga Negara.
b. Pajak daerah, yaitu pajak yang dipungut oleh pemerintah daerah dan digunakan untuk
membiayai rumha tangga daerah.
Pajak daerah terdiri dari:
Pajak propinsi, contoh: Pajak kendaraan bermotor dan Pajak bahan bakar
kendaraan bermotor
Pajak kabupaten/kota, contoh: Pajak hotel, Pajak restoran dan Pajak hiburan.
2. Perlawanan aktif
Perlawanan aktif meliputi semua usaha dan perbuatan yang secara langsung ditujukan
kepada fiskus dengan tujuan untuk menghindari pajak.
Bentuknya antara lain:
a. Tax avoidance, usaha meringankan beban pajak dengan tidak melanggar undangundang
b. Tax evasion, usaha meringankan beban pajak dengan cara melanggar undang-undang
(menggelapkan pajak)
TARIF PAJAK
Ada 4 macam tariff pajak:
1. Tariff sebanding/proporsional
Tariff berupa persentase yang tetap, terhadap berapapun jumlah yang dikenai pajak
sehinga besarnya pajak yang terutang proporsional terhadap besarnya nilai yang dikenai
pajak
2. Tariff tetap
Tariff berupa jumlah yang tetap (sama) terhadap berapapun jumlah yang dikenai pajak
sehingga besarnya pajak yang terutang tetap
3. Tariff progresif
Persentase tariff yang digunakan semakin besar bila jumlah yang dikenai pajak semakin
besar.
Menurut kenaikan persentase tarifnya, tariff progresif dibagi:
a. Tariff progresif progresif
: kenaikan persentase semakin besar
b. Tariff progresif tetap
: kenaikan persentase tetap
c. Tariff progresif degresif
: kenaikan persentase semakin kecil
4. Tariff degresif
Persentase tariff yang digunakan semakin kecil bila jumlah yang dikenai pajak semakin
besar.
BAB II
PAJAK NEGARA DAN PAJAK DAERAH
Pengenaan pajak di Indonesia dapat dikelompokkan menjadi 2 bagian yaitu Pajak Negara dan
Pajak Daerah.
PAJAK NEGARA
Pajak Negara yang sampai saat ini masih berlaku adalah:
1. Pajak Penghasilan (PPh)
Dasar hukum pengenaan pajak penghasilan adalah Undang-undang No.7 tahun 1984
sebagaimana telah diubah terakhir dengan undang-undang No.17 tahun 2000. Undangundang pajak penghasilan berlaku mulai tahun 1984 dan merupakan pengganti UU Pajak
Perseroan 1925, UU Pajak Pendapatan 1944, UU PBDR 1970.
2. Pajak pertambahan nilai dan pajak penjualan atas barang mewah (PPN & PPn BM)
Dasar hukum pengenaan PPN & PPn BM adalah Undang-undang No.8 tahun 1983
sebagaimaa telah diubah terkahir dengan undang-undang no.18 tahun 2000. Undangundang PPN & PPn BM efektif mulai berlaku sejak tanggal 1 April 1985 dan merupakan
pengganti UU Pajak Penjualan 1951.
3. Bea materai
Dasar hukum pengenaan Bea materai adalah Undang-undang No.13 tahun 1985. Undangundang Bea materai berlaku mulai tanggal 1 Januari 1986 menggantikan peraturan dan
undang-undang bea materai yang lama (Aturan Bea materai 1921)
4. Pajak bumi dan bangunan (PBB)
Dasar hukum pengenaan pajak bumi dan bangunan adalah undang-undang No.12 tahun
1985 sebagaimana telah diubah dengan Undang-undang No.12 tahun 1994. Undangundang PBB berlaku mulai tanggal 1 Januari 1986 dan merupakan pengganti:
a. Ordonansi pajak rumah tangga tahun 1908
b. Ordonansi verponding Indonesia tahun 1923
c. Ordonansi pajak kekayaan tahun 1932
d. Ordonansi verponding tahun 1928
e. Ordonansi pajak jalan tahun 1942
Tariff pajak sebagaimana dimaksud pada angka 1 s/d 4 ditetapkan seragam di seluruh Indonesia
dan diatur dengan Peraturan Pemerintah
Tariff pajak sebagaimana dimaksud pada angka 5 s/d 11 ditetapkan dengan Peraturan daerah
10
f. Retribusi dapat dipanggul secara efektif dan efisien, serta merupakan salah satu
sumber pendapatan daerah yang potensial; dan
g. Pemungutan retribusi memungkinkan penyediaan jasa tersebut dengan tingkat dan
atau kualitas pelayanan yang lebih baik.
Jenis-jenis retribusi jasa umum adalah:
a. Retribusi pelayanan kesehatan;
b. Retribusi pelayanan persampahan/kebersihan;
c. Retribusi penggantian biaya cetak kartu tanda penduduk dan akte catatan sipil;
d. Retribusi pelayanan pemakaman dan pengabuan mayat;
e. Retribusi pelayanan parker di tepi jalan umum;
f. Retribusi pelayanan pasar;
g. Retribusi pengujian kendaraan bermotor;
h. Retribusi pemeriksaan alat pemadam kebakaran;
i. Retribusi penggantian biaya cetak peta;
j. Retribusi pengujian kapal perikanan.
2. Retribusi jasa usaha
Retribusi jasa usaha ditetapkan dengan peraturan pemerintah dengan kriteria-kriteria
berikut:
a. Retribusi jasa usaha bersifat bukan pajak dan bersifat bukan retribusi jasa umum atau
retribusi perizinan tertentu; dan
b. Jasa yang bersangkutan adalah jasa yang bersifat komersil yang seyogyanya
disediakan oleh sector swasta tetapi belum memadai atau terdapatnya harta yang
dimiliki/dikuasai daerah yang belum dimanfaatkan secara penuh oleh pemerintah
daerah
Jenis retribusi jasa usaha adalah:
a. Retribusi pemakaian kekayaan daerah;
b. Retribusi pasar grosir dan/atau pertokoan;
c. Retribusi tempat pelelangan;
d. Retribusi terminal;
e. Retribusi tempat khusus parkir;
f. Retribusi tempat penginapan/pesanggrahan/villa;
g. Retribusi penyedotan kakus;
h. Retribusi rumah potong hewan;
i. Retribusi pelayanan pelabuhan kecil;
j. Retribusi tempat rekreasi dan olah raga;
k. Retribusi penyeberangan diatas air;
l. Retribusi pengolahan limbah cair;
m. Retribusi penjualan produksi daerah.
3. Retribusi perizinan tertentu
Retribusi perizinan tertentu ditetapkan dengan peraturan pemerintah dengan criteriakriteria berikut:
a. Perizinan tersebut termasuk kewenangan pemerintahan yang diserahkan kepada
daerah dalam rangka asas desentralisasi;
UNIBA | Perpajakan Anjar Wibisono
10
11
11
12
12
13
BAB III
KETENTUAN UMUM DAN TATA CARA PERPAJAKAN
PENDAHULUAN
Sistem perpajakan yang lama ternyata sudah tidak sesuai lagi dengan tingkat kehidupan
social ekonomi masyarakat Indonesia, baik dari segi kegotongroyongan nasioal maupun dari laju
pembangunan nasional yang telah dicapai. Di samping itu, system perpajakan yang lama tersebut
belum dapat menggerakkan peran dari semua lapisan subjek pajak yang besar peranannya dalam
menghasilkan penerimaan dalam negeri yang sangat diperlukan guna mewujudkan kelangsungan
dan peningkatan pembangunan nasional. Oleh karena itu, pemerintah menciptakan system
perpajakan yang baru yaitu dengan lahirnya Undang-undang perpajakan baru; yang terdiri atas:
UU No.6 tahun 1983 tentang Ketentuan umum dan tata cara perpajakan, UU No.7 tahun 1983
tentang Pajak Penghasilan dan UU No.8 tahun 1983 tentang pajak Pertambahan Nilai barang dan
jasa dan pajak Penjualan atas barang mewah, UU No.12 tahun 1985 tentang Pajak Bumi dan
bangunan dan UU No.13 tahun 1985 tentang Bea Materai.
Undang-undang tentang Ketentuan Umum dan Tata cara Perpajakan dilandasi falsafah
Pancasila dan Undang-undang dasar 1945, yang didalamnya tertuang ketentuan yang
menjunjung tinggi hak warga Negara dan menempatkan kewajiban perpajakan sebagai
kewajiban kenegaraan. Undang-undang ini memuat ketentuan umum dan tata cara perpajakan
yang pada prinsipnya diberlakukan bagi undang-undang pajak materiil, kecuali dalam undangundang pajak yang bersangkutan telah mengatur sendiri mengenai ketentuan umum dan tata cara
perpajakannya.
Sejalan dengan perkembangan ekonomi, teknologi informasi, social dan politik disadari
bahwa perlu dilakukan perubahan Undang-undang tentang Ketentuan umum dan Tata cara
Perpajakan. Perubahan tersebut bertujuan untuk lebih memberikan keadilan, meningkatkan
pelayanan kepada wajib pajak, meningkatkan kepastian dan penegakan hukum, serta
mengantisipasi kemajuan di bidang teknologi informasi dan perubahan ketentuan material di
bidang perpajakan. Selain itu, perubahan tersebut juga dimaksudkan untuk meningkatkan
profesionalisme aparatur perpajakan, meningkatkan keterbukaan administrasi perpajakan dan
meningkatkan kepatuhan sukarela wajib pajak.
System, mekanisme dan tata cara pelaksanaan hak dan kewajiban perpajakan yang sederhana
menjadi ciri dan corak dalam perubahan Undang-undang ini dengan tetap menganut system self
assessment. Perubahan tersebut khususnya berkaitan dengan peningkatan keseimbangan hak dan
kewajiban bagi masyarakat Wajib pajak sehingga masyarakat wajib pajak dapat melaksanakan
hak dan kewajiban perpajakannya dengan lebih baik.
Dengan berpegang teguh pada prinsip kepastian hukum, keadilan dan kesederhanaan, arah dan
tujuan perubahan Undang-undang tentang ketentuan umum dan tata cara perpajakan ini mengacu
pada kebijakan pokok sebagai berikut:
13
14
14
15
5. Tahun pajak adalah jangka waktu 1 (satu) tahun kalender kecuali bila wajib pajak
menggunakan tahun buku yang tidak sama dengan tahun kalender.
6. Bagian tahun pajak adalah bagian dari jangka waktu 1 (satu) tahun pajak.
7. Pajak yang terutang adalah pajak yang harus dibayar pada suatu saat, dalam masa pajak,
dalam tahun pajak, atau dalam bagian tahun pajak sesuai dengan ketentuan peraturan
perundang-undangan perpajakan.
8. Surat paksa adalah surat perintah membayar utang pajak dan biaya penagihan pajak.
9. Kredit pajak untuk pajak penghasilan adalah pajak yang dibayar sendiri oleh wajib pajak
ditambah dengan pokok pajak yang terutang dalam surat tagihan pajak karena pajak
penghasilan dalam tahun berjalan tidak atau kurang dibayar, ditambah dengan pajak yang
dipotong atau dipungut, ditambah dengan pajak atas penghasilan yang dibayar atau
terutang di luar negeri, dikurangi dengan pengembalian pendahuluan kelebihan pajak,
yang dikurangkan dari pajak yang terutang.
10. Kredit pajak untuk pajak pertambahan nilai adalah pajak masukan yang dapat dikreditkan
setelah dikurangi dengan pengembalian pendahuluan kelebihan pajak atau setelah
dikurangi dengan pajak yang telah dikompensasikan, yang dikurangkan dari pajak yang
terutang.
11. Pemeriksaan adalah serangkaian kegiatan menghimpun dan mengolah data, keterangan,
dan/atau bukti yang dilaksanakan secara objektif dan professional berdasarkan suatu
standar pemeriksaan untuk menguji kepatuhan pemenuhan kewajiban perpajakan
dan/atau untuk tujuan lain dalam rangka melaksanakan ketentuan peraturan perundangundangan perpajakan.
12. Bukti permulaan adalah keadaan, perbuatan, dan/atau bukti berupa keterangan tulisan,
atau benda yang dapat memberikan petunjuk adanya dugaan kuat bahwa sedang atau
telah terjadi suatu tindak pidana di bidang perpajakan yang dilakukan oleh siapa saja
yang dapat menimbulkan kerugian pada pendapatan Negara.
13. Pemeriksaan bukti permulaan adalah pemeriksaan yang dilakukan untuk mendapatkan
bukti permulaan tentang adanya dugaan telah terjadi tindak pidana di bidang perpajakan.
14. Penanggung jawab adalah orang pribadi atau badan yang bertanggung jawab atas
pembayaran pajak, termasuk wakil yang menjalankan hak dan memenuhi kewajiban
wajib pajak sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan perpajakan.
15. Penelitian adalah serangkaian kegiatan yang dilakukan untuk menilai kelengkapan
pengisian Surat Pemberitahuan dan lampiran-lampirannya termasuk penilaian tentang
kebenaran penulisan dan penghitungannya.
UNIBA | Perpajakan Anjar Wibisono
15
16
TAHUN PAJAK
Pada umumnya tahun pajak sama dengan tahun takwim atau tahun kalender. Akan tetapi wajib
pajak dapat menggunakan tahun pajak tidak sama dengan tahun takwim dengan syarat konsisten
(taat asas) selama 12 bulan dan melapor/memberitahukan kepada Kantor Pelayanan Pajak
Pratama setempat. Cara menentukan suatu tahun pajak adalah:
1. Tahun Pajak sama dengan tahun Takwim
Pembukaan dimulai 1 januari 2007 dan berakhir 31 desember 2007, disebut tahun pajak
2007.
2. Tahun pajak tidak sama dengan tahun Takwim
a. Pembukuan dimulai 1 juli 2007 dan berakhir 30 juni 2008. Disebut tahun pajak 2007
karena 6 bulan pertama jatuh pada tahun 2007.
b. Pembukuan dimulai 1 april 2006 dan berakhir 31 maret 2007. Disebut tahun pajak
2006.
c. Pembukuan dimulai 1 oktober 2006 dan berakhir 30 september 2007. Disebut tahun
pajak 2007.
NOMOR POKOK WAJIB PAJAK (NPWP)
1. PENGERTIAN
Nomor pokok wajib pajak adalah nomor yang diberikan kepada wajib pajak sebagai
sarana dalam administrasi perpajakan yang dipergunakan sebagai tanda pengenal diri atau
identitas wajib pajak dalam melaksanakan hak dan kewajiban perpajakannya.
2. Fungsi NPWP
a. Sebagai tanda pengenal diri atau identitas wajib pajak
b. Untuk menjaga ketertiban dalam pembayaran pajak dan dalam pengawasan
administrasi perpajakan.
3. Pencantuman NPWP
Dalam hal berhubungan dengan dokumen perpajakan, wajib pajak diwajibkan
mencantumkan Nomor Pokok Wajib pajak yang dimilikinya.
4. Pendaftaran NPWP
Semua wajib pajak yang telah emenuhi persyaratan subjektif dan objektif sesuai dengan
ketentuan peraturan perundang-undangan perpajakan berdasarkan system self assessment,
wajib mendaftarkan diri pada kantor Direktorat Jenderal Pajak untuk dicatat sebagai
wajib pajak dan sekaligus untuk mendapatkan Nomor Pokok Wajib Pajak.
Persyaratan subjektif adalah persyaratan yang sesuai dengan ketentuan mengenai subyek
pajak dalam undang-undang Pajak penghasilan 1984 da perubahannya.
UNIBA | Perpajakan Anjar Wibisono
16
17
Persyaratan objektif adalah persyaratan bagi subyek pajak yang menerima atau
memperoleh penghasilan atau diwajibkan untuk melakukan pemotongan pemungutan
sesuai dengan ketentuan undang-undang pajak penghasilan 1984 dan perubahannya.
Tempat pendaftaran dilakukan pada kantor Direktorat Jenderal Pajak yang wilayah
kerjanya meliputi tempat tinggal dan kantor Direktorat Jenderal Pajak yang wilayah
kerjanya meliputi tempat kegiatan usaha dilakukan bagi wajib pajak orang pribadi
pengusaha tertentu.
Kewajiban mendaftarkan diri tersebut berlaku pula terhadap wanita kawin yang dikenai
pajak secara terpisah karena hidup terpisah berdasarkan keputusan hukum atau
dikehendaki secara tertulis berdasarkan perjanjian pemisahan penghasilan dan harta.
Wanita kawin selain tersebut diatas dapat mendaftarkan diri untuk memperoleh Nomor
Pokok wajib pajak atas namanya sendiri agar wanita kawain tersebut dapat melaksanakan
hak dan kewajiban perpajakannya terpisah dari hak dan kewajiban perpajakan suaminya.
Direktur Jenderal pajak meneribitkan Nomor Pokok wajib Pajak secara jabatan apabila
wajib pajak yang memenuhi persyaratan subjektif dan objektif tidak mendaftarkan diri
untuk mendapatkan NPWP. Kewajiban perpajakan bagi wajib pajak yang diterbitkan
nomor Pkok Wajib Pajak secara jabatan dimulai sejak saat wajib pajak memenuhi
persyaratan subjektif dan objektif sesuai dengan ketentuan peraturan perundangundangan perpajakan, paling lama 5 (lima) tahun sebelum diterbitkannya nomor pokok
Wajib pajak.
Kewajiban mendaftarkan diri untum memperoleh NPWP dibatasi jangka waktunya,
karena hal ini berkaitan dengan saat pajak terutang dan kewajiban mengenakan pajak
terutang. Jangka waktu pendaftaran NPWP adalah:
Bagi wajib pajak orang pribadi yang menjalankan usaha atau pekerjaan bebas dan
wajib pajak badan, wajib mendaftarkan diri paling lambat 1 (satu) bulan setelah
saat usaha mulai dijalankan.
Wajib pajak orang pribadi yang tidak menjalankan usaha atau tidak melakukan
pekerjaan bebas apabila jumlah penghasilannya sampai dengan suatu bulan yang
disetahunkan telah melebihi penghasilan tidak kena pajak, wajib mendaftarkan
diri paling lambat pada akhir bulan berikutnya.
Terhadap wajib pajak yang tidak mendaftarkan diri untuk mendapatkan NPWP akan
dikenakan sanksi perpajakan.
5. Sanksi
Setiap orang yang dengan sengaja tidak mendaftarkan diri untuk diberikan Nomor pokok
wajib pajak , atau menyalahgunakan atau menggunakan tanpa hak NPWP sehingga dapat
menimbulkan kerugian pada pendapatan Negara dipidana dengan pidana penjara paling
singkat 6 (enam) bulan dan paling lama 6 (enam) tahun dan denda paling sedikit 2 (dua)
kali jumlah pajak terutang yang tidak atau kurang dibayar dan paling banyak 4 (empat)
kali jumlah pajak terutang yang tidak atau kurang dibayar.
UNIBA | Perpajakan Anjar Wibisono
17
18
Pidana tersebut ditambahkan 1 (satu) kali menjadi 2 (dua) kali sanksi pidana apabila
seseorang melakukan lagi tindak pidana di bidang perpajakan sebelum lewat 1 (satu)
tahun, terhitung sejak selesainya menjalani pidana penjara yang dijatuhkan.
Setiap orang yang melakukan percobaan untuk melakukan tindak pidana
menyalahgunakan atau menggunakan tanpa hak Nomor Pokok Wajib dalam rangka
mengajukan permohonan restitusi atau melakukan kompensasi pajak atau pengkreditan
pajak, dipidana dengan pidana penjara paling singkat 6 (enam) bulan dan paling lama 2
(dua) tahun dan denda paling sedikit 2 (dua) kali jumlah restitusi yang dimohonkan
dan/atau kompensasi atau pengkreditan yang dilakukan dan paling banyak 4 (empat) kali
jumlah restitusi yang dimohonkan dan/atau kompensasi atau pengkreditan yang
dilakukan.
6. Penghapusan NPWP
Penghapusan Nomor Pokok Wajib Pajak dilakukan oleh Direktur Jenderal pajak apabila:
a. Diajukan permohonan penghapusan Nomor Pokok Wajib pajak `oleh wajib pajak
dan/atau ahli warisnya apabila wajib pajak sudah tidak memenuhi persyaratan
subjektif dan/atau objektif sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan
perpajakan;
b. Wajib pajak badan dilikuidasi karena penghentian atau penggabungan usaha;
c. Wanita yang sebelumnya telah memiliki Nomor Pokok Wajib Pajak dan menikah
tanpa membuat perjanjian pemisahan harta dan penghasilan dalam hal suami dari
wanita tersebut telah terdaftar sebagai wajib pajak;
d. Wajib pajak bentuk usaha tetap menghentikan kegiatan usahanya di Indonesia; atau
e. Dianggap perlu oleh Direktur Jenderal Pajak untuk menghapuskan Nomor Pokok
Wajib Pajak dari wajib pajak yang sudah tidak memenuhi persyaratan subjektif
dan/atau objektif sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan perpajakan.
Direktur Jenderal pajak setelah melakukan pemeriksaan harus memberikan keputusan atas
permohonan penghapusan Nomor Pokok Wajib Pajak dalam jangka waktu 6 (enam) bulan untuk
wajib pajak orang pribadi atau 12 (dua belas) bulan untuk wajib pajak badan, sejak tanggal
permohonan diterima secara lengkap. Apabila jangka waktu sebagaimana dimaksud telah lewat
dan Direktur Jenderal Pajak tidak member suatu keputusan, permohonan penghapusan Nomor
Pokok Wajib Pajak dianggap dikabulkan.
7. Format NPWP
NPWP terdiri dari 15 digit, yaitu 9 (Sembilan) digit pertama merupakan Kode wajib
pajak dan 6 (enam) digit berikutnya merupakan Kode adiministrasi perpajakan.
Formatnya: XX. XXX. XXX. X- XXX. XXX
Catatan:
a. Wajib pajak yang tidak diwajibkan mendaftarkan diri apabila memerlukan NPWP,
dapat mendaftarkan diri dan kepadanya akan diberikan NPWP.
b. Setiap wajib pajak hanya mempunyai satu NPWP untuk semua jenis pajak.
UNIBA | Perpajakan Anjar Wibisono
18
19
19
20
20
21
21
22
c. Wajib pajak yang telah mendapat izin Menteri keuangan untuk menyelenggarakan
pembukuan dengan menggunakan bahasa asing dan mata uang selain Rupiah, wajib
menyampaikan surat pemberitahuan dalam bahasa Indonesia dengan menggunakan
satuan mata uang selain Rupiah yang diizinkan.
d. Penandatanganan SPT dapat dilakukan secara biasa, dengan tanda tangan stempel,
atau tanda tangan elektronik atau digital, yang semuanya mempunyai kekuatan
hukum yang sama.
e. Bukti-bukti yang harus dilampirkan pada SPT, antara lain:
Untuk wajib pajak yang mengadakan pembukuan: Laporan Keuangan berupa
neraca dan laporan rugi laba serta keterangan-keterangan lain yang diperlukan
untuk menghitung besarnya penghasilan kena pajak.
Untuk SPT Masa PPN sekurang-kurangnya memuat jumlah Dasar Pengenaan
Pajak, jumlah pajak keluaran, jumlah pajak masukan yang dapat dikreditkan
dan jumlah kekurangan atau kelebihan pajak.
Untuk wajib pajak yang menggunakan norma perhitungan: Perhitungan
jumlah peredaran yang terjadi dalam tahun pajak yang bersangkutan.
4. Pembetulan SPT
Wajib pajak dengan kemauan sendiri dapat membetulkan Surat Pemberitahuan yang telah
disampaikan dengan menyampaikan pernyataan tertulis, dengan syarat Direktur Jenderal
Pajak belum melakukan tindakan pemeriksaan. Dalam hal pembetulan Surat
pemberitahuan menyatakan rugi atau lebih bayar, pembetulan Surat Pemberitahuan harus
disampaikan paling lama 2 (dua) tahun sebelum daluwarsa penetapan.
Dalam hal wajib pajak membetulkan sendiri Surat Pemberitahuan Tahunan maupun
Surat Pemberitahuan Masa yang mengakibatkan utang pajak menjadi lebih besar,
kepadanya dikenai sanksi administrasi berupa bunga sebesar 2% (dua persen) per bulan
atas jumlah pajak yang kurang dibayar, dihitung sejak jatuh tempo pembayaran sampai
dengan tanggal pembayaran, dan bagian dari bulan dihitung penuh 1 (satu) bulan.
Walaupun telah dilakukan tindakan pemeriksaan, tetapi belum dilakukan tindakan
penyidikan mengenai adanya ketidakbenaran yang dilakukan wajib pajak, terhadap
ketidakbenaran perbuatan wajib pajak tersebut tidak akan dilakukan penyidikan apabila
wajib pajak tersebut tidak akan dilakukan penyidikan apabila wajib pajak dengan
kemauan sendiri mengungkapkan ketidakbenaran perbuatannya tersebut dengan disertai
pelunasan kekurangan pembayaran jumlah pajak yang sebenarnya terutang beserta sanksi
administrasi berupa denda sebesar 150% (seratus lima puluh persen) dari jumlah pajak
yang kurang dibayar.
Walaupun Direktur Jenderal Pajak telah melakukan pemeriksaan, dengan syarat Direktur
Jenderal Pajak belum menerbitkan surat ketetapan pajak, wajib pajak dengan kesadaran
sendiri dapat mengungkapkan dalam laporan tersendiri tentang ketidakbenaran pengisian
Surat Pemberitahuan yang telah disampaikan sesuai keadaan yang sebenarnya, yang
dapat mengakibatkan:
a. Pajak-pajak yang masih harus dibayar menjadi lebih besar atau lebih kecil;
b. Rugi berdasarkan ketentuan perpajakan menjadi lebih kecil atau lebih besar;
UNIBA | Perpajakan Anjar Wibisono
22
23
23
24
24
25
Kealpaan
Setiap orang yang karena kelapaannya:
a. Tidak menyampaikan surat pemberitahuan; atau
b. Menyampaikan surat pemberitahuan, tetapi isinya tidak benar atau tidak lengkap, atau
melampirkan keterangan yang isinya tidak benar sehingga dapat menimbulkan kerugian
pada pendapatan Negara dan perbuatan tersebut merupakan perbuatan setelah perbuatan
yang pertama kali, didenda paling sedikit 1 (satu) kali jumlah pajak terutang yang tidak
atau kurang dibayar, atau dipidana kurungan paling singkat 3 (tiga) bulan atau paling
lama 1 (satu) tahun.
Kesengajaan
Setiap orang yang dengan sengaja tidak menyampaikan surat pemberitahuan atau menyampaikan
surat pemberitahuan dan/atau keterangan yang isinya tidak benar atau tidak lengkap sehingga
dapat menimbulkan kerugian pada pendapatan Negara dipidana dengan pidana penjara paling
singkat 6 (enam) bulan dan paling lama 6 (enam) tahun dan denda paling sedikit 2 (dua) kali
jumlah pajak terutang yang tidak atau kurang dibayar dan paling banyak 4 (empat) kali jumlah
pajak terutang yang tidak atau kurang dibayar.
Pidana tersebut ditambahkan 1 (satu) kali menjadi 2 (dua) kali sanksi pidana apabila seseorang
melakukan lagi tindak pidana di bidang perpajakan sebelum lewat 1 (satu) tahun, terhitung sejak
selesainya menjalani pidana penjara yang dijatuhkan.
25
26
26
27
11. PPh pasal 22 atas penyerahan bahan bakar minyak, gas, dan pelumas kepada
penyalur/agen atau industry yang dipungut oleh wajib pajak badan yang bergerak
dalam bidang produksi bahan bakar minyak, gas dan pelumas harus disetor paling
lama tanggal 10 (sepuluh) bulan berikutnya setelah masa pajak berakhir.
12. PPh pasal 22 yang pemungutannya dilakukan oleh wajib pajak badan tertentu
sebagai pemungut pajak harus disetor paling lama tanggal 10 (sepuluh) bulan
berikutnya setelah masa pajak berakhir.
13. PPN atau PPN dan PPnBM yang terutang dalam satu masa pajak, harus disetor
paling lama tanggal 15 (lima belas) bulan berikutnya setelah masa pajak berakhir.
14. PPN atau PPN dan PPnBM yang pemungutannya dilakukan oleh pemungut PPN
selain bendahara pemerintah atau instansi pemerintah yang ditunjuk, harus disetor
paling lama tanggal 15 (lima belas) bulan berikutnya setelah masa pajak berakhir.
15. PPN atau PPN dan PPnBM yang pemungutannya dilakukan oleh pemugut PPN
selain bendahara pemerintah atau instansi pemerintah yang ditunjuk, harus disetor
paling lama tanggal 15 (lima belas) bulan berikutnya setelah masa pajak berakhir.
16. PPh pasal 25 bagi wajib pajak dengan kriteria tertentu sebagaimana dimaksud
dalam pasal 3 ayat (3b) undang-undang KUP yang melaporkan beberapa masa
pajak dalam satu surat pemberitahuan masa, harus dibayar paling lama pada akhir
masa pajak terakhir.
17. Pembayaran masa selain PPh pasal 25 bagi wajib pajak dengan kriteria tertentu
sebagaimana dimaksud dalam pasal 3 ayat (3b) undang-undang KUP yang
melaporkan beberapa masa pajak dalam satu surat pemberitahuan masa, harus
dibayar paling lama sesuai dengan batas waktu untuk masing-masing jenis pajak.
b. Surat Tagihan Pajak, Surat ketetapan Pajak kurang bayar, serta surat ketetapan pajak
kurang bayar tambahan dan surat keputusan keberatan, surat keputusan pembetulan,
putusan banding, serta putusan peninjauan kembali, yang menyebabkan jumlah pajak
yang harus dibayar bertambah, harus dilunasi dalam jangka waktu 1 (satu) bulan
sejak tanggal diterbitkan.
c. Kekurangan pembayaran pajak yang terutang berdasarkan surat pemberitahuan
tahunan pajak penghasilan harus dibayar lunas sebelum surat pemberitahuan pajak
penghasilan disampaikan.
Dalam hal jatuh tempo pembayaran atau penyetoran pajak bertepatan dengan hari libur termasuk
hari sabtu atau hari libur nasional, pembayaran atau penyetoran pajak dapat dilakukan pada hari
kerja berikutnya. Hari libur nasional sebagaimana dimaksud termasuk hari yang diliburkan untuk
penyelenggaraan pemilihan umum yang ditetapkan oleh pemerintah dan cuti bersama secara
nasional yang ditetapkan oleh pemerintah. Setiap ketelambatan pembayaran dikenakan bunga
sebsar 2% sebulan, yang dihitung dari tanggal jatuh tempo pembayaran sampai dengan tanggal
pembayaran dan bagian dari bulan dihitung penuh 1 (satu) bulan.
5. Tata cara menunda atau mengangsur pembayaran atas ketetapan pajak
Wajib pajak dapat mengajukan permohonan secara tertulis untuk mengangsur atau
menunda pembayaran pajak yang masih harus dibayar dalam surat tagihan pajak, surat
ketetapan pajak kurang bayar, surat ketetapan pajak kurang bayar tambahan dan surat
UNIBA | Perpajakan Anjar Wibisono
27
28
28
29
c. Berdasarkan hasil pemeriksaan atau keterangan lain mengenai pajak pertambahan nilai
dan pajak penjualan atas barang mewah ternyata tidak seharusnya dikompensasikan
selisih lebih pajak atau tidak seharusnya dikenai tariff 0% (nol persen);
d. Kewajiban menyelenggarakan pembukuan atau pencatatan tidak dipenuhi sehingga tidak
dapat diketahui besarnya pajak yang terutang; atau
e. Kepada wajib pajak dterbitkan Nomor Pokok Wajib Pajak dan/atau dikukuhkan sebagai
Pengusaha Kena Pajak secara jabatan.
SKPKB hanya dapat diterbitkan terhadap wajib pajak yang berdasarkan hasil pemeriksaan atau
keterangan lain tidak memenuhi kewajiba formal dan/atau kewajiban material. Keterangan lain
tersebut adalah data konkret yang diperoleh atau dimiliki oleh Direktur Jenderal Pajak, berupa
hasil konfirmasi faktur pajak da bukti pemotongan pajak penghasilan.
3. Sanksi Administrasi
a. Apabila SKPKB dikeluarkan karena alasan pada poin 2a dan 2c, maka jumlah
kekurangan pajak terutang ditambah dengan sanksi adiministrasi berupa bunga sebesar
2% (dua persen) per bulan paling lama 24 (dua puluh empat) bulan, dihitung sejak saat
terutangnya pajak atau berakhirnya masa pajak, bagian tahun pajak atau tahun pajak
sampai dengan diterbitkannya surat ketetapan pajak kurang bayar.
b. Apabila SKPKB dikeluarkan karena alasan pada poin 2b, 2c dan 2d, maka dikenakan
sanksi administrasi berupa kenaikan sebesar:
50% dari PPh yang tidak atau kurang dibayar dalam satu tahun pajak.
100% dari PPh yang tidak atau kurang dipotong, tidak atau kurang dipungut, tidak
atau kurang disetor dan dipotong atau dipungut tetapi tidak atau kurang
disetorkan.
100% dari PPN dan PPnBM yang tidak atau kurang dibayar.
4. Fungsi SKPKB
a. Koreksi atas jumlah yang terutang menurut SPT-nya
b. Sarana untuk mengenakan sanksi
c. Alat untuk menagih pajak
5. Jangka waktu penerbitan SKPKB
Dalam jangka waktu 5 (lima) tahun setelah saat terutangnya pajak atau berakhirnya masa pajak,
bagian tahun pajak, atau tahun pajak, Direktur Jenderal Pajak dapat menerbitkan SKPKB.
Walaupun jangka waktu 5 (lima) tahun telah lewat, surat keputusan pajak kurang bayar tetap
dapat diterbitkan ditambah sanksi administrasi berupa bunga sebesar 48% (empat puluh delapan
persen) dari jumlah pajak yang tidak atau kurang dibayar, apabila wajib pajak setelah jangka
waktu tersebut dipidana karena melakukan tindak pidana di bidang perpajakan atau tindak pidana
lainnya yang dapat menimbulkan kerugian pada pendapatan Negara berdasarkan putusan
pengadilan yang telah mempunyai kekuatan hukum tetap.
29
30
2. Penerbitan SKPKBT
SKPKBT diterbitkan apabila ditemukan data baru yang mengakibatkan penambahan jumlah
pajak yang terutang setelah dilakukan tindakan pemeriksaan dalam rangka penerbitan surat
ketetapan pajak kurang bayar tambahan.
3.
a.
b.
c.
Fungsi SKPKBT
Koreksi atas jumlah yang terutang menurut SPT-nya
Sarana untuk mengenakan sanksi
Alat untuk menagih pajak
4. Sanksi SKPKBT
Jumlah kekurangan pajak yang terutang dalam SKPKBT, ditambah dengan sanksi administrasi
berupa kenaikan sebesar 100% dari jumlah kekurangan pajak tersebut.
Sanksi administrasi berupa kenaikan tidak dikenakan apabila SKPKBT diterbitkan berdasarkan
keterangan tertulis dari wajib pajak atas kehendak sendiri, dengan syarat Direktur Jenderal Pajak
belum mulai melakukan tindakan pemeriksaan dalam rangka penerbitan surat ketetapan pajak
kurang bayar tambahan.
5. Jangka waktu penerbitan SKPKBT
Dalam jangka waktu 5 (lima) tahun setelah saat terutangnya pajak atau berakhirnya masa pajak,
bagian tahun pajak atau tahun pajak apabila ditemukan data baru yang mengakibatkan
penambahan jumlah pajak yang terutang setelah dilakukan tindakan pemeriksaan dalam rangka
penerbitan surat ketetapan pajak kurang bayar tambahan, direktur jenderal pajak dapat
menerbitkan SKPKBT.
Apabila dalam jangka waktu 5 (lima) tahun telah lewat, surat ketetapan pajak kurang bayar
tambahan tetap dapat diterbitkan ditambah sanksi administrasi berupa bunga sebesar 48% (empat
puluh delapan persen) dari jumlah pajak yang tidak atau kurang dibayar, dalam hal wajib wajib
pajak setelah jangka waktu 5 (lima) tahun tersebut dipidana karena melakukan tindak pidana di
bidang perpajaka atau tindak pidana lainnya yang dapat menimbulkan kerugian pada pendapatan
Negara berdasarkan putusan pengadilan yang telah mempunyai kekuatan hukum tetap.
30
31
31
32
d. Pengusaha yang telah dikukuhkan sebagai pengusaha kena pajak, tetapi tidak membuat
faktur pajak atau membuat faktur pajak, tetapi tidak tepat waktu
e. Pengusaha yang telah dikukuhkan sebagai pengusaha kena pajak yang tidak mengisi
faktur pajak secara lengkap (selain: identitas pembeli, nama dan tandatangan)
f. Pengusaha kena pajak melaporkan faktur pajak tidak sesuai dengan masa panerbitan
faktur pajak; atau
g. Pengusaha kena pajak yang gagal berproduksi dan telah diberikan pengembalian pajak
masukan sebagaimana dimaksud dalam pasal 9 ayat (6a) undang-undang pajak
pertambahan nilai 1984 dan perubahannya.
3. Fungsi STP
a. Sebagai koreksi atas jumlah pajak yang terutang menurut SPT wajib pajak
b. Sarana mengenakan sanksi administrasi berupa bunga atau denda
c. Alat untuk menagih pajak
4. Sanksi administrasi STP
a. Jumlah kekurangan pajak yang terutang (poin 2a dan 2b) ditambah dengan sanksi
administrasi berupa bunga sebesar 2% (dua persen) perbulan untuk paling lama 24
(dua puluh empat) bulan, dihitung sejak saat terutangnya pajak atau berakhirnya masa
pajak, bagian tahun pajak atau tahun pajak sampai dengan diterbitkannya surat
tagihan pajak
b. Terhadap pengusaha atau pengusaha kena pajak (poin 2d, 2e atau 2f), selain wajib
menyetor pajak yang terutang, dikenai sanksi administrasi berupa denda sebesar 2%
(dua persen) dari dasar Pengenaan pajak
c. Terhadap pengusaha kena pajak (poin 2g) dikenai sanksi administrasi berupa bunga
sebesar 2% (dua persen) per bulan dari jumlah pajak yang ditagih kembali, dihitung
dari tanggal penerbitan surat keputusan pengembalian kelebihan pembayaran pajak
sampai dengan tanggal penerbitan surat tagihan pajak dan bagian dari bulan dihitung
penuh 1 (satu) bulan
5. Kekuatan Hukum STP
STP (Surat tagihan pajak) mempunyai kekuatan hukum yang sama dengan surat ketetapan pajak,
sehingga dalam hal penagihannya dapat juga dilakukan dengan surat paksa.
32
33
33
34
g. Direktorat Jenderal Pajak dalam jangka waktu 12 (dua belas) bulan sejak tanggal surat
keberatan diterima, harus memberi keputusan.
Keputusan Direktorat jenderal pajak dapat berupa;
Mengabulkan seluruhnya
Mengabulkan sebagian
Menolak
Menambah besarnya jumlah pajak yang masih harus dibayar
h. Apabila dalam jangka waktu 12 (dua belas) bulan telah terlampaui dan Direktur Jenderal
Pajak tidak menerbitkan surat keputusan keberatan, keberatan yang diajukan wajib pajak
dianggap dikabulkan dan Direktur Jenderal Pajak wajib menerbitkan surat keputusan
keberatan sesuai dengan keberatan wajib pajak.
i. Apabila pengajuan keberatan dikabulkan sebagian atau seluruhnya kelebihan pembayaran
pajak dikembalikan dengan ditambah imbalan bunga sebesar 2% (dua persen) per bulan
untuk paling lama 24 (dua puluh empat) bulan dengan ketentuan:
1. Untuk surat ketetapan pajak kurang bayar dan surat ketetapan pajak kurang bayar
tambahan dihitung sejak tanggal pembayaran yang menyebabkan kelebihan
pembayaran pajak sampai dengan diterbitkannya surat keputusan keberatan
2. Untuk surat ketetapan pajak nihil dan surat ketetapan pajak lebih bayar dihitung sejak
tanggal penerbitan surat ketetapan pajak sampai dengan diterbitkannya surat
ketetapan keberatan
j. Dalam hal keberatan wajib pajak ditolak atau dikabulkan sebagian wajib pajak dikenai
sanksi administrasi berupa denda sebesar 50% (lima puluh persen) dari jumlah pajak
berdasarkan keputusan keberatan dikurangi dengan pajak yang telah dibayar sebelum
mengajukan keberatan.
k. Tetapi apabila kemudian wajib pajak mengajukan permohonan banding atas surat
keputusan keberatan, sanksi tersebut tidak dikenakan
l. Apabila pengajuan keberatan dikabulkan sebagian atau seluruhnya, yang menyebabkan
kelebihan pembayaran pajak, kelebihan pembayaran tersebut dikembalikan dengan
ditambah imbalan bunga sebesar 2% (dua persen) per bulan untuk paling lama 24 (dua
puluh empat) bulan dengan ketentuan sebagai berikut:
Untuk surat ketetapan pajak kurang bayar dan surat ketetapan pajak kurang bayar
tambahan dihitung sejak tanggal pembayaran yang menyebabkan kelebihan
pembayaran pajak sampai dengan diterbitkannya surat keputusan keberatan, atau
Untuk surat ketetapan pajak nihil dan surat ketetapan pajak lebih bayar dihitung
sejak tanggal penerbitan surat ketetapan pajak sampai dengan diterbitkannya surat
keputusan keberatan
34
35
35
36
37
37
38
38
39
PENYIDIKAN
Pengertian
Penyidikan tindak pidana di bidang perpajakan adalah serangkaian tindakan yang dilakukan oleh
penyidik untuk mencari serta mengumpulkan bukti yang dengan bukti itu membuat terang tindak
pidana yang terjadi serta menemukan tersangkanya.
Penyidikan tindak pidana ini dilaksanakan menurut ketentuan yang diatur dalam UU no.8/1091
tentang KUHAP
Penyidik
Penyidik dalam tindak pidana perpajakan adalah pejabat Pegawai Negeri Sipil tertentu di
lingkungan Direktorat Jenderal Pajak yang diberi wewenang khusus sebagai penyidik untuk
melakukan peyidikan tindak pidana perpajakan sesuai dengan ketentuan peraturan perundangundangan.
Wewenang Penyidik
a. Menerima, mencari, mengumpulkan dan meneliti keterangan atau laporan berkenaan
dengan tindak pidana perpajakan agar keterangan atau laporan tersebut menjadi lebih
lengkap dan jelas;
b. Meneliti, mencari dan mengumpulkan keterangan mengenai orang pribadi atau badan
tentang kebenaran perbuatan yang dilakukan sehubungan dengan tindak pidana di bidang
perpajakan;
c. Meminta keterangan dan bahan bukti dari orang pribadi atau badan sehubungan dengan
tindak pidana di bidang perpajakan;
d. Memeriksa buku, catatan dan dokumen lain berkenaan dengan tindak pidana di bidang
perpajakan;
e. Melakukan pengeledahan untuk mendapatkan bahan bukti pembukuan, pencatatan dan
dokumen lain serta melakukan penyitaan terhadap bahan bukti tersebut;
f. Meminta bantuan tenaga ahli dalam rangka pelaksanaan tugas penyidikan tindak pidana
di bidang perpajakan;
g. Menyuruh berhenti dan/atau melarang seseorang meninggalkan ruangan atau tempat pada
saat pemeriksaan sedang berlangsung dan memeriksa identitas orang, benda, dan/atau
dokumen yang dibawa;
h. Memotret seseorang yang berkaitan dengan tindak pidana di bidang perpajakan;
i. Memanggil orang untuk didengar keterangannya dan diperiksa sebagai tersangka atau
saksi;
j. Menghentikan penyidikan; dan/atau
k. Melakukan tindakan lain yang perlu untuk kelancaran penyidikan tindak pidana di bidang
perpajakan menurut ketentuan peraturan perundang-undangan
Kewajiban Penyidik
Penyidik sebagaimana memberitahukan dimulainya penyidikan dan menyampaikan hasil
penyidikannya kepada penuntut umum melalui penyidik pejabat Polisi Negara RI sesuai dengan
ketentuan yang diatur dalam UU Hukum Acara Pidana
39
40
KEWAJIBAN PEMBUKUAN/PENCATATAN
1. Pembukuan adalah suatu proses pencatatan yang dilakukan secara teratur untuk
mengumpulkan data dan informasi keuangan yang meliputi harta, kewajiban, modal,
penghasilan dan biaya serta jumlah harga perolehan dan penyerahan barang atau jasa,
yang ditutup dengan menyusun laporan keuangan berupa neraca dan laporan laba rugi
untuk periode tahun pajak tersebut.
Sedangkan pencatatan terdiri atas data yang dikumpulkan secara teratur tentang
peredaran atau penerimaan bruto dan/atau penghasilan bruto sebagai dasar untuk
menghitung jumlah pajak yang terutang, termasuk penghasilan yang bukan objek pajak
dan/atau yang dikenai pajak yang bersifat final.
UNIBA | Perpajakan Anjar Wibisono
40
41
2. Wajib pajak orang pribadi yang melakukan kegiatan usaha atau pekerjaan bebas dan
wajib pajak badan di Indonesia wajib menyelenggarakan pembukuan
3. Wajib pajak yang dikecualikan dari kewajiban menyelenggarakan pembukuan tetapi
wajib melakukan pencatatan, adalah wajib pajak orang pribadi yang melakukan kegiatan
usaha atau pekerjaan bebas yang sesuai dengan ketentuan peraturan UU perpajakan
diperbolehkan menghitung penghasilan neto dengan menggunakan norma penghitungan
penghasilan neto dan wajib pajak orang pribadi yang tidak melakukan kegiatan usaha
atau pekerjaan bebas
4. Pembukuan atau pencatatan:
a. Diselenggarakan dengan itikad baik dan mencerminkan keadaan atau kegiatan usaha
yang sebenarnya
b. Harus diselenggarakan di Indonesia dengan menggunakan huruf Latin, angka Arab,
satuan mata uang Rupiah dan disusun dalam bahasa Indonesia atau bahasa asing yang
diizinkan oleh Mentri Keuangan
c. Pembukuan diselenggarakan dengan prinsip taat asas dan dengan stelsel akrual atau
stelsel kas. Perubahan terhadap metode pembukuan dan/atau tahun buku harus
mendapat persetujuan dari Direktur Jenderal Pajak
d. Pembukuan sekurang-kurangnya terdiri atas catatan mengenai harta, kewajiban,
modal, penghasilan dan biaya serta penjualan dan pembelian sehingga dapat dihitung
besarnya pajak yang terutang
e. Pembukuan dengan menggunakan bahasa asing dan mata uang selain Rupiah dapat
diselenggarakan oleh wajib pajak setelah mendapat izin menteri keuangan
f. Buku, catatan dan dokumen yang menjadi dasar pembukuan atau pencatatan dan
dokumen lain termasuk hasil pengolahan data dari pembukuan yang dikelola secara
elektronik atau secara program aplikasi on-line wajib disimpan selama 10 (sepuluh)
tahun di Indonesia, yaitu di tempat kegiatan atau tempat tinggal wajib pajak orang
pribadi atau tempat kedudukan wajib pajak badan.
41
42
BAB IV
PENAGIHAN PAJAK DENGAN SURAT PAKSA
DASAR HUKUM
UndaNg-undang nomor 19 tahun 1997 tentang Penagihan Pajak dengan Surat Paksa
sebagaimana telah diubah dengan Undang-undang nomor 19 tahun 2000
PENGERTIAN-PENGERTIAN
1. Penanggung Pajak, adalah orang pribadi atau bada yang bertanggung jawab atas pembayaran
pajak, termasuk wakil yang menjalankan hak dan memenuhi kewajiban Wakil Pajak menurut
ketentuan peraturan perundang-undangan perpajakan
2. Penagihan Pajak, adalah serangkaian tindakan agar Penangging Pajak melunasi Utang Pajak
dan biaya penagihan pajak dengan menegur atau memperingatkan, melaksanakan penagihan
seketika dan sekaligus, memberitahukan Surat Paksa, mengusulkan pencegahan,
melaksanakan penyitaan, melaksanakan penyanderaan, menjual barang yang telah disita
3. Biaya penagihan pajak, adalah biaya pelaksanaan surat paksa. Surat perintah melaksanakan
penyitaan, pengumuman lelang, pembatalan lelang, jasa penilai dan biaya lainnya
sehubungan dengan penagihan pajak.
PEJABAT DAN JURU SITA PAJAK
Pejabat adalah pejabat yang berwenang mengangkat dan memberhentikan jurusita pajak,
menerbitkan surat perintah penagihan seketika dan sekaligus, surat paksa, surat perintah
melaksanakan penyitaan, surat pencabutan sita, pengumuman lelang, surat penentuan harga limit,
pembatalan lelang, surat perintah penyanderaan dan surat lain yang diperlukan untuk penagihan
pajak sehubungan dengan penanggung jawab tidak melunasi sebagian atau seluruh utang pajak
menurut UU dan peraturan daerah.
Menteri Keuangan berwenang menunjuk pejabat untuk penagihan pajak pusat, Kepala daerah
berwenang menunjuk pejabat untuk penagihan pajak daerah.
Jurusita pajak adalah pelaksana tindakan penagihan pajak yang meliputi penagihan seketika dan
sekaligus, pemberitahuan surat paksa, penyitaan dan penyanderaan.
Tugas jurusita pajak:
1. Melaksanakan surat perintah penagihan seketika dan sekaligus
2. Memberitahukan surat paksa
3. Melaksanakan penyitaan atas barang penanggung jawab berdasarkan surat perintah
melaksanakan penyitaan; dan
4. Melaksanakan penyenderaan berdasarkan surat perintah penyanderaan
Dalam melaksanakan penyitaan, jurusita pajak berwenang memasuki dan memeriksa semua
ruangan termasuk membuka lemari, laci dan tempat lain untuk menemukan objek sita di tempat
usaha, di tempat kedudukan atau tempat tinggal penanggung pajak, atau tempat lain yang dapat
diduga sebagai tempat penyimpanan objek sita.
UNIBA | Perpajakan Anjar Wibisono
42
43
SURAT PAKSA
Surat paksa adalah surat perintah membayar utang pajak dan biaya penagihan pajak. Surat paksa
mempunyai kekuatan eksekutorial dan kedudukan hukum yang sama dengan putusan pengadilan
yang telah mempunyai kekuatan hukum tetap.
Surat paksa sekurang-kurangnya meliputi:
1. Nama wajib pajak, atau nama wajib pajak dan penanggung pajak;
2. Dasar penagihan;
3. Besarnya utang pajak;
4. Perintah untuk membayar.
Surat paksa diterbitkan apabila:
1. Penanggung pajak tidak melunasi utang pajak dan kepadanya diterbitkan surat teguran
atau surat peringatan atau surat lain yang sejenis;
2. Terhadap penanggung pajak telah dilaksanakan penagihan seketika dan sekaligus;
3. Penanggung pajak tidak memenuhi ketentuan penagihan tercantum dalam keputusan
persetujuan angsuran atau penundaan pembayaran pajak.
43
44
Surat paksa terhadap orang pribadi diberitahukan oleh jurusita pajak kepada:
1. Penanggung pajak
2. Orang dewasa yang bertempat tinggal bersama ataupun bekerja di tempat usaha
penanggung pajak, apabila penanggung pajak yang bersangkutan tidak dapat dijumpai
3. Salah satu ahli waris atau pelaksana wasiat atau yang mengurus harta peninggalannya
apabila wajib pajak telah meninggal dunia dan harta warisan belum dibagi
4. Para ahli waris apabila wajib pajak telah meninggal dunia dan harta warisan telah dibagi
Surat paksa terhadap badan diberitahukan oleh jurusita pajak kepada:
1. Pengurus, kepala perwakilan, kepala cabang, penanggung jawab, pemilik modal.
2. Pegawai tetap di tempat kedudukan atau tempat usaha badan, apabila jurusita pajak tidak
dapat menjumpai salah seorang sebagaimana dimaksud dalam huruf 1.
Dalam hal wajib pajak dinyatakan pailit, surat paksa diberitahukan kepada curator, hakim
pengawas atau balai harta peninggalan. Sedangkan dalam hal wajib pajak dinyatakan bubar atau
dalam likuidasi, surat paksa diberitahukan kepada orang atau badan yang dibebani untuk
melakukan pemberesan atau likuidator.
PENYITAAN
Penyitaan adalah tindakan jurusita pajak untuk menguasai barang penanggung pajak, guna
dijadikan jaminan untuk melunasi utang pajak menurut peraturan perundang-undangan. Apabila
utang pajak tidak dilunasi penanggung pajak dalam jangka waktu 2 (dua) kali 24 (dua puluh
empat) jam setelah surat paksa diberutahukan, pejabat menerbitkan surat perintah melaksanakan
penyitaan. Penyitaan dilakukan oleh jurusita pajak disaksikan oleh sekurang-kurangnya 2 (dua)
orang yang telah dewasa, penduduk Indonesia, dikenal oleh jurusita pajak dan dapat dipercaya.
Setiap melaksanakan penyitaan, jurusita membuat berita acara pelaksanaan sita yang
ditandatangani oleh jurusita pajak, penanggung pajak dan saksi-saksi.
Barang yang disita dapat berupa:
1. Barang bergerak termasuk mobil, perhiasan, uang tunai dan deposito berjangka,
tabungan, saldo rekening Koran, giro atau bentuk lainnya yang dipersamakan dengan itu,
obligasi, saham atau surat berharga lainnya, piutang dan penyertaan modal pada
perusahaan lain, dan atau
2. Barang tidak bergerak termasuk tanah, bangunan dan kapal dengan isi kotor tertentu.
Barang bergerak yang dikecualikan dari penyitaan adalah:
1. Pakaian dan tempat tidur beserta perlengkapannya yang digunakan oleh penanggung
pajak dan keluarga yang menjadi tanggungannya
2. Persediaan makanan dan minuman untuk keperluan satu bulan beserta peralatan memasak
yang berada di rumah
3. Perlengkapan penanggung pajak yang bersifat dinas yang diperoleh dari Negara
4. Buku-buku yang bertalian dengan jabatan atau pekerjaan penanggung pajak dan alat-alat
yang dipergunakan untuk pendidikan, kebudayaan dan keilmuan
5. Peralatan dalam keadaan jalan yang masih digunakan untuk melaksanakan pekerjaan atau
usaha sehari-hari dengan jumlah seluruhnya tidak lebih dari Rp 20.000.000,- (dua puluh
UNIBA | Perpajakan Anjar Wibisono
44
45
juta). Besarnya nilai peralatan ditetapkan dengan keputusan menteri keuangan atau
keputusan kepala daerah.
6. Peralatan penyandang cacat yang digunakan oleh penanggung pajak dan keluarga yang
menjadi tanggungannya.
Penyitaan tidak dapat dilaksanakan terhadap barang yang telah disita oleh pengadilan negeri atau
instansi lain yang berwenang. Terhadap barang yang telah disita, jurusita pajak menyampaikan
surat paksa kepada pengadilan negeri atau instansi lain yang berwenang. Pengadilan negeri
dalam siding berikutnya menetapkan barang tersebut sebagai jaminan pelunasan utang pajak.
Sedangkan instansi lain yang berwenang, setelah menerima surat paksa menjadikan barang
tersebut sebagai jaminan pelunasan utang pajak. Pengadilan negeri atau instansi lain yang
berwenang menentukan pembagian hasil penjualan barang tersebut berdasarkan ketentuan hak
mendahulu Negara untuk tagihan pajak.
Hak mendahulu untuk tagihan pajak melebihi segala hak mendahulu lainnya, kecuali terhadap:
1. Biaya perkara yang semata-mata disebabkan sutau penghukuman untuk melelang suatu
barang bergerak dan atau barang tidak bergerak.
2. Biaya-biaya yang telah dikeluarkan untuk menyelamatkan barang tersebut.
3. Biaya perkara yang semata-mata disebabkan pelelangan dan penyelesaian suatu warisan.
Penyitaan tambahan dapat dilaksanakan apabila:
1. Nilai barang yang disita tidak cukup untuk melunasi biaya penagihan pajak dan utang
pajak, atau
2. Hasil lelang barang yang telah disita tidak cukup untuk melunasi biaya penagihan pajak
dan atau pajak.
Pencabutan sita dilaksanakan apabila penanggung pajak telah melunasi biaya penagihan dan
utang pajak atau berdasarkan putusan pengadilan atau putusan pengadilan pajak atau ditetapkan
lain dengan keputusan menteri keuangan atau kepala daeran.
LELANG
Lelang adalah setiap penjualan barang di muka umum dengan cara penawaran harga secara lisan
dan atau tertulis melalui usaha pengumpulan peminat atau calon pembeli. Apabila utang pajak
dan atau biaya penagihan pajak tidak dilunasi setelah dilaksanakan penyitaan. Pejabat berwenang
melaksanakan penjualan secara lelang terhadap barang yang disita melalui kantor lelang.
Penjualan secara lelang terhadap barang yang disita dilaksanakan paling singkat 14 (empat belas)
hari setelah pengumuman lelang melalui media massa. Pengumuman lelang dilaksanakan paling
singkat 14 hari setelah penyitaan. Pengumuman lelang untuk barang bergerak dilakukan 1 kali
dan untuk barang tidak bergerak dilakukan 2 kali. Pengumuman lelang terhadap barang dengan
nilai paling banyak Rp 20.000.000,- (dua puluh juta rupiah) tidak harus diumumkan melalui
media massa.
Hasil lelang dipergunakan terlebih dahulu untuk membayar biaya penagihan pajak yang belum
dibayar dan sisanya untuk membayar utang pajak. Dalam hal penjualan secara lelang, biaya
penagihan pajak ditambah 1% dari pokok lelang dan secara tidak lelang biaya penagihan pajak
UNIBA | Perpajakan Anjar Wibisono
45
46
ditambah 1% dari hasil penjualan. Besarnya biaya penagihan pajak adalah Rp 50.000,- (lima
puluh ribu rupiah) untuk setiap pemberitahuan surat paksa dan Rp 100.000,-(seratus ribu rupiah)
untuk setiap pelaksanaan surat perintah melaksanakan penyitaan.
Apabila hasil lelang sudah mencapai jumlah yang cukup untuk melunasi biaya penagihan pajak
dan utang pajak, pelaksanaan lelang dihentikan oleh pejabat walaupun barang yang akan dilelang
masih ada. Sisa barang beserta kelebihan uang hasil lelang dikembalikan oleh pejabat kepada
penanggung pajak segera setelah pelaksanaan lelang.
46
47
penanggung pajak tidak mengakibatkan hapusnya utang pajak dan terhentinya pelaksanaan
penagihan pajak.
GUGATAN
Gugatan penanggung pajak terhadap pelaksanaan surat paksa, surat perintah melaksanakan
penyitaan atau pengumuman lelang hanya dapat diajukan kepada Pengadilan Pajak. Dalam hal
gugatan penanggung pajak dikabulkan, penanggung pajak dapat memohon pemulihan nama baik
dang anti rugi kepada pejabat paling banyak Rp 5.000.000,- (lima juta rupiah). Perubahan
besarnya ganti rugi ditetapkan dengan keputusan menteri keuangan atau kepala daerah.
Gugatan diajukan dalam jangka waktu 14 hari sejak surat paksa, surat perintah melaksanakan
penyitaan, atau pengumuman lelang dilaksanakan.
PERMOHONAN PEMBETULAN ATAU PENGGANTIAN
Penanggung pajak dapat mengajukan permohonan pembetulan atau penggantian kepada pejabat
terhadap surat teguran atau surat peringatan atau surat lain yang sejenis, surat perintah penagihan
seketika dan sekaligus, surat paksa, surat perintah melaksanakan penyitaan, surat perintah
penyanderaan, pengumuman lelang dan surat penentuan harga limit yang dalam penerbitannya
terdapat kesalahan atau kekeliruan. Dalam jangka waktu 7 hari sejak tanggal diterima
permohonan tersebut. Pejabat harus member keputusan atas permohonan yang diajukan. Apabila
dalam jangka waktu tersebut pejabat tidak memberikan keputusan, permohonan penanggung
pajak dianggap dikabulkan dan penagihan ditunda setelah kesalahan atau kekeliruan dibetulkan
oleh pejabat. Dalam hal permohonan tersebut ditolak, tindakan pelaksanaan penagihan pajak
dilanjutkan sesuai jangka waktu semula.
KETENTUAN PIDANA
Penanggung pajak dilarang:
1. Memindahkan
hak,
memindah
tangankan,
menyewakan,
meminjamkan,
menyembunyikan, menghilangkan atau merusak barang yang telah disita;
2. Membebani barang tidak bergerak yang telah disita dengan hak tanggungan untuk
pelunasan utang tertentu;
3. Membebani barang bergerak yang telah disita dengan fiducia atau diagunkan untuk
pelunasan utang tertentu;
4. Merusak, mencabut atau menghilangkan segel sita atau salina berita acara pelaksanaan
sita yang telah ditempel pada barang sitaan.
Penanggung pajak yang melanggar ketentuan ini dipidana dengan pidana penjara paling lama 4
tahun dan denda paling banyak Rp 12.000.000,- (dua belas juta rupiah)
Setiap orang yang dengan sengaja tidak menuruti perintah atau permintaan yang dilakukan
menurut UU, atau dengan sengaja mencegah, menghalangi atau menggagalkan tindakan dalam
melaksanakan ketentuan UU yang dilakukan oleh jurusita pajak, dipidana dengan pidana penjara
paling lama 4 bulan 2 minggu dan denda paling banyak Rp 10.000.000,- (sepuluh juta rupiah).
47
48
BAB V
PAJAK PENGHASILAN PASAL 22
PENGERTIAN
Merupakan pembayaran Pajak Penghasilan dalam tahun berjalan yang dipungut oleh:
Bendahara pemerintah, termasuk bendahara pada Pemerintah Pusat, Pemerintah Daerah,
instansi atau lembaga pemerintah, dan lembaga-lembaga Negara lainnya,berkenaan dengan
pembayaran atas penyerahan barang, termasuk juga dalam pengertian bendahara adalah
pemegang kas dan pejabat lain yang menjalankan fungsi yang sama;
Badan-badan tertentu, baik badan pemerintah maupun swasta, berkenaan dengan kegiatan di
bidang impor atau kegiatan usaha di bidang lain, seperti kegiatan usaha produksi barang
tertentu antara lain otomotif dan semen;
dan
Wajib Pajak badan tertentu untuk memungut pajak dari pembeli atas penjualan barang yang
tergolong sangat mewah. Pemungutan pajak oleh Wajib Pajak badan tertentu ini akan
dikenakan terhadap pembelian barang yang memenuhi kriteria tertentu sebagai barang yang
tergolong sangat mewah baik dilihat dari jenis barangnya maupun harganya, seperti kapal
pesiar, rumah sangat mewah, apartemen dan kondominium sangat mewah, serta kendaraan
sangat mewah.
PEMUNGUT PAJAK
Pemungut PPh Pasal 22 adalah:
1. Bank Devisa dan Direktorat Jenderal Bea dan Cukai, atas impor barang;
2. Direktorat Jenderal Perbendaharaan, Bendahara Pemerintah baik di tingkat Pusat ataupun di
tingkat Daerah, yang melakukan pembayaran atas pembelian barang;
3. Badan Usaha milik Negara dan Badan Usaha Milik Daerah yang melakukan pembelian
barang dengan dana yang bersumber dari belanja Negara (APBN) dan/atau belanja daerah
(APBD), kecuali badan-badan tersebt pada butir 4;
4. Bank Indonesia (BI), PT Perusahaan Pengelola Aset (PPA), Perum Badan Urusan Logistik
(BULOG), PT Telekomunikasi Indonesia (Telkom), PT Perusahaan Listrik Negara (PLN), PT
Garuda Indonesia, PT Indosat, PT Krakatau Steel, PT Pertamina dan bank-bank BUMN yang
melakukan pembelian barang yang dananya bersumber dari APBN maupun non-APBN;
5. Badan usaha yang bergerak dalam bidang usaha industry semen, industry kertas, industry
baja, dan industry otomotif, yang ditunjuk oleh Kepala Kantor Pelayanan Pajak, atas
penjualan hasil produksinya didalam negeri;
6. Produsen atau importer bahan bakar minyak, gas dan pelumas atas penjualan bahan bakar
minyak, gas dan pelumas;
7. Industri dan eksportir yang bergerak dalam sector perhutanan, perkebunan, pertanian dan
perikanan yang ditunjuk oleh Direktur Jenderal Pajak atas pembelian bahan-bahan untuk
keperluan industry atau ekspor mereka dari pedagang pengumpul;
8. Wajib Pajak badan yang melakukan penjualan barang yang tergolong sangat mewah.
48
49
49
50
e.
f.
g.
h.
i.
j.
k.
l.
m.
n.
o.
p.
q.
r.
3. Dalam hal impor sementara jika pada waktu impornya nyata-nyata dimaksudkan untuk
diekspor kembali.
4. Pembayaran yang jumlahnya paling banyak Rp. 1.000.000,- (satu juta rupiah) dan tidak
merupakan pembayaran yang terpecah-pecah.
5. Pembayaran untuk pembelian bahan bakar minyak, listrik, gas, air minum/PDAM dan
benda-benda pos.
6. Atas impor emas batangan yang akan diproses untuk menghasilkan barang perhiasan dari
emas untuk tujua ekspor. Pengecualian ini harus dinyatakan dengan Surat Keterangan
Bebas (SKB) Pajak Penghasilan pasal 22 yang diterbitkan oleh Direktur Jenderal Pajak.
7. Pembayaran/pencairan dana Jaring Pengaman Sosial (JPS) oleh Kantor Perbendaharaan
dan Kas Negara.
8. Impor kembali (re-impor), yang meliputi barang-barang yang telah diekspor kemudian
diimpor kembali dalam kualitas yang sama atau barang-barang yang telah diekspor untuk
keperluan perbaikan, pengerjaan dan pengujian yang telah memenuhi syarat yang
ditentukan oleh Direktur Jenderal Bea dan Cukai.
9. Pembayaran untuk pembelian gabah dan/atau beras oleh BULOG.
50
51
51
52
52
53
53
54
54
55
7. Keuntungan karena pengalihan harta tetap adalah Negara tempat harta tetap berada; dan
8. Keuntungan karena pengalihan harta yang menjadi bagian dari suatu bentuk usaha tetap
adalah Negara tempat bentuk usaha tetap berada.
Batas maksimum kredit pajak diambil yang terendah diantara 3 unsur/perhitungan berikut ini:
1. Jumlah pajak yang terutang atau dibayar di luar negeri.
2. (Penghasilan luar negeri : Seluruh Penghasilan Kena Pajak) x PPh atas seluruh yang
dikenakan tariff pasal 17.
3. Jumlah pajak yang terutang untuk seluruh penghasilan kena pajak (dalam hal penghasilan
kena pajak adalah lebih kecil daripada penghasilan luar negeri).
BATAS MAKSIMUM KREDIT PAJAK UNTUK SETIAP NEGARA (PER COUNTRY
LIMITATION)
Apabila penghasilan luar negeri berasal dari berbagai Negara, maka perhitungan batas
maksimum kredit pajak dilakukan untuk masing-masing Negara.
RUGI USAHA DI LUAR NEGERI
Dalam menghitung Penghasilan Kena Pajak , tidak dihitung kerugian yang diderita di Luar
negeri.
PERUBAHAN BESARNYA PENGHASILAN DI LUAR NEGERI
Dalam hal terjadi perubahan besarnya pengahsilan yang berasal dari luar negeri, Wajib pajak
harus melakukan pembetulan SPT Tahunan untuk tahun pajak yang bersangkutan dengan
melampirkan dokumen yang berkenaan dengan perubahan tersebut. Apabila karena pembetulan
tersebut tidak dikenakan sanksi bunga. Apabila karena pembetulan tersebut menyebabkan Pajak
Penghasilan lebih dibayar, maka atas kelebihan tersebut dapat dikembalikan kepada Wajib Pajak
setelah diperhitungkan dengan utang pajak lainnya.
CARA MELAKSANAKAN KREDIT PAJAK LUAR NEGERI
Untuk melaksanakan pengkreditan pajak yang terutang atau dibayar di luar negeri, Wajib Pajak
wajib menyampaikan permohonan kepada Direktur Jenderal Pajak dengan dilampiri:
1. Laporan keuangan dari penghasilan yang berasal dari luar negeri.
2. Fotokopi Surat Pemberitahuan Pajak yang disampaikan di luar negeri.
3. Dokumen pembayaran pajak di luar negeri.
Penyampaian permohonan kredit pajak yang terutang atau dibayar di luar negeri tersebut
dilakukan bersamaan dengan penyampaian SPT Tahunan PPH.
55
56
56
57
57
58
58
59
c. Tugas sebagai anggota misi keagamaan dan misi kemanusiaan di bawah koordinasi
instansi terkait.
11. Orang asing yang tidak bertempat tinggal di Indonesia atau berada di Indonesia tidak
lebih dari 183 (seratus delapan puluh tiga) hari dalam jangka waktu 12 (dua belas) bulan;
12. Pejabat dari perwakilan organisasi internasional yang tidak termasuk subjek Pajak
Penghasilan yang ditetapkan dengan Keputusan Menteri keuangan, termasuk anggota
keluarganya, dengan syarat bukan warga Negara Indonesia dan tidak menjalankan usaha,
kegiatan atau pekerjaan lain untuk memperoleh penghasilan dari Indonesia; atau
13. Pejabat perwakilan diplomatic dan konsulat atau pejabat lain dari Negara asing, termasuk
anggota keluarganya dan orang-orang yang diperbantukan kepada mereka, yang bekerja
pada dan bertempat tinggal bersama-sama mereka, dengan syarat:
a. Bukan warga Negara Indonesia
b. Tidak menerima atau memperoleh penghasilan di luar jabatan atau pekerjaannya
tersebut di Indonesia; dan
c. Negara bersangkutan memberikan perlakuan sama sesuai asas perlakuan timbale
balik.
BESARNYA PAJAK PENGHASILAN BAGI ORANG PRIBADI YANG BERTOLAK KE
LUAR NEGERI
Besarnya Pajak Penghasilan yang harus dibayar orang pribadi yang bertolak ke luar negeri
adalah:
1. Rp. 2.500.000,00 (dua juta lima ratus ribu rupiah) untuk setiap orang setiap kali bertolak
ke luar negeri dengan menggunakan pesawat udara; dan
2. Rp. 1.000.000,00 (satu juta rupiah) untuk setiap orang setiap kali bertolak ke luar negeri
dengan menggunakan angkutan laut.
PERLAKUAN PEMBAYARAN PAJAK PENGHASILAN BAGI ORANG PRIBADI
YANG BERTOLAK KE LUAR NEGERI SEBAGAI KREDIT PAJAK
Pajak Penghasilan yang dibayar Wajib pajak orang pribadi yang bertolak ke luar negeri
merupakan angsuran pembayaran Pajak Penghasilan . Angsuran pembayaran Pajak Penghasilan
dapat dikreditkan terhadap Pajak Penghasilan yang terutang pada akhir tahun yang bersangkutan
setelah Wajib Pajak tersebut memiliki Nomor Pokok Wajib Pajak.
59
60
60
61
61
62
62
63
63
64
BAB VI
PAJAK PENGHASILAN PASAL 4 AYAT 2
(PPh YANG BERSIFAT FINAL)
PAJAK PENGHASILA ATAS BUNGA, SEWA DAN IMBALAN JASA KONSULTAN
DAN JASA KONSTRUKSI YANG DIATUR DENGAN PERATURAN PEMERINTAH
(PPh PASAL 4 ayat 2)
Pasal 4 ayat 2 Undan-undang pajak Penghasilan memnyebutkan, bahwa:
Atas penghasilan berupa bunga deposito, dan tabungann-tabungan lainnya, penghasilan dari
transaksi saham dan sekuritas lainya di bursa efek, penghasilan dari pengalihan harta berupa
tanah dan atau bangunan serta penghasilan tertentu lainnya, pengenaan pajaknya diatur dengan
Peraturan Pemerintah.
PAJAK PENGHASILAN ATAS PENGHASILAN BERUPA BUNGA DEPOSITO DAN
TABUNGAN, DAN DISKONTO SERTIFIKAT BANK INDONESIA
Pengenaan pajak penghasilan atas penghasilan berupa bunga deposito dan tabungan serta
diskonto Sertifikat Bank Indonesia (SBI) diatur dengan Peraturan Pemerintah No. 131 tahun
2000. Menurut PP No. 131 tahun 2000, atas penghasilan berupa bunga yang berasal dari deposito
dan tabungan serta diskonto SBI yang diterima oleh Wajib Pajak dalam negeri dan BUT
dikenakan Pajak Penghasilan yang bersifat final. Besarnya PPh yang dipotong adalah 20% dari
jumlah bruto.
PPh (Final) = 20% x Bruto
Sedangkan bagi Wajib Pajak luar negeri selain Bentuk Usaha Tetap, besarnya PPh yang dipotong
adalah 20% dari jumlah bruto atau tariff berdasarkan Perjanjian Penghindaran Pajak Berganda
yang berlaku.
Pemotongan PPh ini tidak dilakukan terhadap:
1. Bunga dan diskonto yang diterima atau diperoleh bank yang didirikan di Indonesia atau
cabang bank luar negeri di Indonesia.
2. Bunga deposito dan tabungan serta Sertifikat Bank Indonesia, sepanjang jumlah deposito
dan tabungan serta Sertifikat Bank Indonesia tersebut tidak melebihi Rp. 7.500.000,00
(tujuh juta lima ratus ribu rupiah) dan bukan merupakan jumlah yang terpecah-pecah.
3. Bunga deposito dan tabungan, serta diskonto SBI yang diterima atau diperoleh dana
pensiun yang pendiriannya telah disahkan oleh Menteri Keuangan.
4. Bunga tabungan pada bank yang ditunjuk pemerintah dalam rangka pemilikan rumah
sederhana dan sangat sederhana, kaveling siap bangun untuk rumah sederhanan dan
sangat sederhana, atau rumah susun sederhana sesuai dengan ketentuan yang berlaku,
untuk dihuni sendiri.
64
65
Catatan:
Bagi Wajib Pajak dalam negeri orang pribadi yang seluruh penghasilannya (termasuk bunga dan
diskonto) dalam satu tahun pajak tidak melebihi PTKP, atas pajak yang telah dipotong dapat
diajukan permohonan restitusi.
PAJAK PENGHASILAN ATAS PENGAHSILAN BERUPA BUNGA ATAU DISKONTO
OBLIGASI YANG DIJUAL DI BURSA EFEK
Pengenaan pajak penghasilan atas penghasilan berupa bunga atau diskonto obligasi yang dijual
di bursa efek diatur dengan Peraturan Pemerintah No.6 Tahun 2002. Menurut PP No. 6 tahun
2002, atas penghasilan yang diterima Wajib Pajak berupa bunga dan diskonto obligasi yang
diperdagangkan dan/atau dilaporkan di bursa efek dikenakan Pajak Penghasilan yang bersifat
final. Besarnya Pajak Penghasilan tersebut adalah sebagai berikut:
1. Atas bunga obligasi dengan kupon (interest bearing bond) sebesar:
a. 20% (dua puluh persen) bagi Wajib Pajak dalam negeri dan BUT;
b. 20% (dua puluh persen) atau tariff sesuai ketentuan persetujuan Penghindaran Pajak
Berganda (P3B) yang berlaku, bagi Wajib Pajak penduduk/berkedudukan di luar
negeri.
Dari jumlah bruto bunga sesuai denga masa kepemilikan (holding period) obligasi.
2. Atas diskonto obligasi dengan kupon sebesar:
a. 20% (dua puluh persen) atau tariff sesuai ketentuan persetujuan Penghindaran Pajak
Berganda (P3B) yang berlaku, bagi Wajib Pajak penduduk/berkedudukan di luar
negeri;
b. 20% (dua puluh persen) atau tariff sesuai ketentuan Penghindaran Pajak Berganda
(P3B) yang berlaku, bagi Wajib Pajak penduduk/berkedudukan di luar negeri,
Dari selisih harga jual obligasi atau nilai nominal di atas harga perolehan obligasi, tidak
termasuk bunga berjalan (accrued interest).
3. Atas diskonto obligasi tanpa bunga (zero coupon bond) sebesar:
a. 20% (dua puluh persen) bagi Wajib Pajak dalam negeri dan BUT,
b. 20 % (dua puluh persen) atau tariff sesuai dengan ketentuan Persetujuan
Penghindaran
Pajak
Berganda
yang
berlaku,
bagi
Wajib
Pajak
penduduk/berkedudukan di luar negeri.
Dari selisih harga jual atau nilai nominal di atas harga perolehan obligasi.
Catatan:
Atas bunga dan diskonto obligasi yang diterima atau diperoleh Wajib Pajak :
1. Bank yang didirikan di Indonesia atau cabang bank luar negeri di Indonesia;
2. Dana pensiun yang pendiriannya/pembentukannya telah disahkan oleh Menteri
Keuangan;
3. Reksadana yang terdaftar pada Badan Pengawas Pasar Modal (BAPEPAM), selama 5
(lima) tahun pertama sejak pendirian atau pemberian izin usaha;
Tidak dikenakan pemotongan Pajak Penghasilan yang bersifat final.
65
66
Wajib pajak orang pribadi dan yayasan atau organisasi yang sejenis yang mengalihkan
hak atas tanah dan/atau bangunan wajib membayar PPh Final 5% dari Jumlah Bruto Nilai
Pengalihan (nilai tertinggi antara nilai berdasarkan akta jual beli/pengalihan dan NJOP
tanah & bangunan sesuai SPPT PBB).
Bagi Wajib Pajak orang pribadi yang jumlah penghasilannya melebihi Penghasilan Tidak
Kena Pajak (PTKP), apabila melakukan pengalihan hak atas tanah dan/atau bangunan
yang jumlah brutonya kurang dari Rp. 60.000.000,00 (enam puluh juta rupiah),
penghasilan yang diperoleh dari pengalihan tersebut merupakan objek Pajak Penghasilan
dan Pajak Penghasilan terutang yang bersifat final sebesar 5% (lima per seratus) dari
jumlah bruto nilai pengalihan, wajib dibayar sendiri oleh Wajib Pajak dengan Surat
Setoran Pajak Final sebelum akhir tahun pajak yang bersangkutan, kecuali penghasilan
yang diperoleh dari pengalihan penjualan, tukar-menukar, pelepasan hak, penyerahan
hak, atau cara lain kepada pemerintah guna pelaksanaan pembangunan untuk kepentingan
umum yang memerlukan persyaratan khusus.
Atas transaksi pengalihan hak aras tanah dan/atau bangunan yang dilakukan oleh Wajib
Pajak Badan yang melakukan pengalihan hak atas tanah dan/atau bangunan di luar
kegiatan usaha pokoknya, diwajibkan menyetor PPh 5% melalui bank persepsi. Setoran
PPh tersebut tidak bersifat final, sehingga merupakan angsuran PPh dalam tahun
berjalan yang dapat dikreditkan.
Atas penghasilan yang diterima atau diperoleh Wajib Pajak badan termasuk koperasi
yang usaha pokoknya melakukan transaksi pengalihan hak atas tanah dan/atau
bangunan, pengenaan Pajak Penghasilannya berdasarkan ketentuan umum Pasal 16 ayat
(1) dan pasal 17 UU PPh. Dengan demikian, kewajiban pembayarn Pajak Penghasilan
dalam tahun berjalan dihitung dan dilaksanakan sendiri berdasarkan ketentuan pasal 25.
PPh (Final) = 5% x Bruto
UNIBA | Perpajakan Anjar Wibisono
66
67
2. 4% (empat persen) untuk Pelaksanaan konstruksi yang dilakukan oleh Penyedia Jasa
yang tidak memilki kualifikasi usaha;
68
69
69
70
BAB VII
PAJAK PERTAMBAHAN NILAI BARANG DAN JASA DAN PAJAK PENJUALAN
ATAS BARANG MEWAH
PENDAHULUAN
Apabila dilihat dari sejarahnya, Pajak Pertambahan Nilai merupakan pengganti dari Pajak
Penjualan. Alasan penggantian ini karena Pajak Penjualan dirasa sudah tidak lagi memadai untuk
menampung kegiatan masyarakat dan belum mencapai sasaran kebutuhan pemabngunan,antara
lain untuk meningkatkan penerimaan Negara, mendorong ekspor dan pemerataan pembebanan
pajak.
Pajak Penjualan mempunyai beberapa kelamahan, yaitu antara lain:
1. Adanya pajak berganda.
2. Bermacam-macam tarif (ada 9 macam tarif), sehinga menimbulkan kesulitan
pelaksanaannya.
3. Tidak mendorong ekspor.
4. Belum dapat mengatasi penyelundupan.
Sedangkan di lain sisi Pajak Pertambahan Nilai mempunyai kelebihan, antara lain:
1. Menghilangkan pajak berganda.
2. Menggunakan tariff tunggal, sehingga memudahkan pelaksanaan.
3. Netral dalam persaingan dalam negeri.
4. Netral dalam perdagangan internasional.
5. Netral dalam pola konsumsi.
6. Dapat mendorong ekspor.
Pajak Pertambahan Nilai merupakan:
1. Pajak tidak langsung.
2. Pajak atas konsumsi dalam negeri.
DASAR HUKUM
Undang-undang yang mengatur pengenaan Pajak Pertambahan Nilai (PPN) dan Pajak Penjualan
atas Barang Mewah (PPh BM) adalah Undang-undang Nomor 8 Tahun 1983 tentang Pajak
Pertambahan Nilai Barang dan Jasa dan Pajak Penjualan atas barang Mewah sebagaimana telah
beberapa kali diubah terakhir dengan Undang-undang Nomor 18 tahun 2000. Undang-undang ini
disebut Undang-undang Pajak Pertambahan Nilai 1984.
PENGERTIAN-PENGERTIAN
1. Daerah Pabean adalah wilayah Republik Indonesia yang meliputi wilayah darat, perairan
dan ruang udara di atasnya serta tempat-tempat tertentu di Zona Ekonomi Eksklusif dan
Landasan Kontingen yang di dalamnya berlaku Undang-undang Nomor 10 Tahun 1995
tentang Kepabeanan.
2. Impor adalah setiap kegiatan memasukkan barang dari luar Daerah Pabean ke dalam
Daerah Pabean.
70
71
3. Ekspor adalah setiap kegiatan mengeluarkan barang dari dalam Daerah Pabean ke luar
daerah Pabean.
4. Menghasilkan adalah kegiatan mengolah melalui proses mengubah bentuk atau sifat
suatu barang dari bentuk aslinya menjadi barang baru atau mempunyai daya guna baru,
atau kegiatan mengolah sumber daya alam termasuk menyuruh orang pribadi atau badan
lain melakukan kegiatan tersebut.
5. Pajak masukan adalah Pajak Pertambahan Nilai yang seharusnya sudah dibayar oleh
Pengusaha Kena Pajak karena perolehan BKP dan atau peerimaan JKP dan atau
pemanfaatan BKP tidak terwujud dari luar Daerah Pabean dan atau pemanfaatan JKP dari
luar Daerah Pabean dan atau impor BKP.
6. Pajak Keluaran adalah PPN terutang yang wajib dipungut oleh Pengusaha Kena Pajak
yang melakukan penyerahan BKP, penyerahan JKP atau ekspor BKP.
7. Masa pajak adalah jangka waktu yang lamanya sama dengan 1 (satu) bulan takwim atau
jangka waktu lain yang ditetapkan dengan Keputusan Menteri Keuangan paling lama 3
(tiga) bulan takwim.
BARANG KENA PAJAK (BKP)
1. Pengertian
Barang Kena Pajak (BKP) adalah barang berwujud yang menurut sifat atau hukumnya
dapat berupa barang bergerak atau barang tidak bergerak, dan barang tidak berwujud
yang dikenakan pajak berdasarkan Undang-undang PPN.
2. Pengecualian BKP
Pada dasarnya semua barang adalah BKP, kecuali undang-undang menetapkan
sebaliknya. Jenis barang yang tidak dikenakan PPN ditetapkan dengan Peraturan
Pemerintah didasarkan atas kelompok-kelompok barang sebagai berikut:
a. Barang hasil pertambangan, penggalian dan pengeboran yang diambil langsung dari
sumbernya, seperti:
Minyak mentah (crude oil);
Gas bumi;
Panas bumi;
Pasir dan kerikil;
Batu bara sebelum diporses menjadi briket batu bara; dan
Biji besi, biji timah, biji emas, biji tembaga, biji nikel dan biji perak serta biji
bauksit.
b. Barang-barang kebutuhan pokok yang sangat dibutuhkan oleh rakyat banyak, seperti:
Beras;
Gabah;
Jagung;
Sagu;
Kedelai; dan
Garam baik yang beryodium maupun yang tidak beryodium.
c. Makanan dan minuman yang disajikan di hotel, restoran, rumah makan, warung dan
sejenisnya meliputi makanan dan minuman baik yang dikonsumsi ditempat maupun
tidak, tidak termasuk makanan dan minuman yang diserahkan oleh usaha jasa boga
atau catering.
d. Uang, emas batangan, dan surat-surat berharga (saham, obligasi dan lainnya).
UNIBA | Perpajakan Anjar Wibisono
71
72
72
73
h. Jasa di bidang penyiaran yang bukan bersifat iklan, seperti: penyiaran radio dan
televise yang dilakukan oleh instansi Pemerintah atau swasta yang bukan bersifat
iklan dan tidak dibiayai oleh sponsor yang bertujuan komersil.
i. Jasa di bidang angkutan umum di darat dan di air, seperti: jasa angkutan umum di
darat,di laut, di danau dan di sungai yang dilakukan oleh Pemerintah atau swasta.
j. Jasa di bidang tenaga kerja, meliputi:
Jasa tenaga kerja;
Jasa penyediaan tenaga kerja sepanjang pengusaha penyedia tenaga kerja
tidak bertanggung jawab atas hasil kerja dari tenaga kerja tersebut;
Jasa penyelenggaraan latihan bagi tenaga kerja.
k. Jasa di bidang perhotelan, seperti:
Jasa persewaan kamar termasuk tambahannya di hotel, rumah penginapan,
motel, losmen, hostel, serta fasilitas yang terkait dengan kegiatan perhotelan
untuk tamu yang menginap; dan
Jasa persewaan ruangan untuk kegiatan acara atau pertemuan di hotel, rumah
penginapan, motel, losmen dan hostel.
l. Jasa yang disediakan oleh Pemerintah dalam rangka menjalankan pemerintahan
secara umum meliputi jasa-jasa yang dilaksanakan oleh instansi pemerintah, seperti:
pemberian Izin Mendirikan Bangunan, Pemberian Izin Usaha Perdagangan,
pemberian Nomor Pokok Wajib Pajak, pembuatan Kartu Tanda Penduduk.
PENGUSAHA KENA PAJAK (PKP)
1. Pengertian
a. Pengusaha adalah orang pribadi atau badan yang dalam kegiatan usaha atau
pekerjaannya menghasilkan barang, mengimpor barang, mengekspor barang,
melakukan usaha perdagangan, memanfaatkan barang tidak berwujud dari luar
Daerah Pabean, melakukan usaha jasa atau memanfaatkan jasa dari luar daerah
Pabean.
b. Pengusaha Kena Pajak (PKP) adalah pengusaha sebagaimana dimaksud pada poin
a yang melakukan penyerahan Barang Kena Pajak dan atau penyerahan Jasa Kena
Pajak yang dikenakan pajak berdasarkan Undang-undang PPN 1984, tidak termasuk
Pengusaha Kecil yang batasannya ditetapkan dengan Keputusan Menteri Keuangan,
kecuali pengusaha kecil yang memilih untuk dikukuhkan sebagai Pengusaha Kena
Pajak.
2. Kewajiban Pengusaha Kena Pajak
Pengusaha Kena Pajak berkewajiban, antara lain:
a. Melaporkan usahanya untuk dikukuhkan menjadi PKP.
b. Memungut PPN dan PPn BM yang terutang.
c. Membuat faktur pajak atas setiap penyerahan kena pajak.
d. Membuat nota retur dalam hal terdapat pengambilan BKP.
e. Melakukan pencatatan atau pembukuan mengenai kegiatan usahanya.
f. Menyetor PPN dan PPn BM yang terutang.
g. Menyampaikan Surat Pemberitahuan Masa PPN.
3. Pengecualian Kewajiban Pengusaha Kena Pajak
Pengusaha yang dikecualikan dari kewajiban sebagai Pengusaha Kena Pajak adalah:
UNIBA | Perpajakan Anjar Wibisono
73
74
a. Pengusaha kecil
b. Pengusaha yang semata-mata menyerahkan barang dan atau jasa yang tidak
dikenakan PPN.
4. Pengusaha Kecil
Pengusaha Kecil adalah pengusaha yang selama satu tahun buku melakukan penyerahan
Barang Kena Pajak dan atau Jasa Kena Pajak dengan jumlah peredaran bruto dan atau
penerimaan bruto tidak lebih dari Rp. 600.000.000,- (enam ratus juta rupiah).
Pengusaha kecil wajib melaporkan usahanya untuk dikukuhkan sebagai Pengusaha Kena
Pajak, apabla sampai dengan suatu bulan dalam tahun buku, jumlah peredaran bruto dan
atau penerimaan brutonya melebihi batas yang telah ditetapkan. Pengusaha tersebut wajib
melaporkan usahanya untuk dikukuhkan sebagai PKP paling lambat pada akhir bulan
berikutnya.
PKP dapat mengajukan permohonan pencabutan pengukuhan sebagai PKP apabila
jumlah peredaran bruto dan atau penerimaan brutonya dalam satu tahun buku tidak
melebihi batas yang telah ditentukan dengan mengajukan permohonan kepada Kepala
kantor Pelayanan Pajak tempat Pengusaha dikukuhkan sebagai PKP paling lambat 1
(satu) bulan sejak berakhirnya tahun buku. Direktur Jenderal Pajak wajib memberikan
keputusan dalam jangka waktu 2 (dua) bulan sejak permohonan pencabutan pengukuhan
diterima. Apabila dalam jangka waktu tersebut Direktur Jenderal Pajak tidak memberikan
keputusan, permohonan pencabutan pengukuhan dianggap diterima.
Beberapa hal yang perlu diketahui sehubungan dengan pengusaha kecil:
a. Dilarang membuat faktur pajak.
b. Tidak wajib memasukkan SPT Masa PPN.
c. Diwajibkan membuat pembukuan atau pencatatan.
d. Wajib lapor untuk dikukuhkan sebagai PKP, bagi pegusaha kecil yang memperoleh
peredaran bruto di atas batas yang telah ditentukan.
PENYERAHAN BARANG KENA PAJAK
Penyerahan brang yang termasuk dalam pengertian penyerahan BKP adalah:
1. Penyerahan hak atas BKP karena suatu perjanjian;
2. Pengalihan BKP oleh karena suatu perjanjian sewa beli dan perjanjian leasing;
3. Penyerahan BKP kepada pedagang perantara atau melalui juru lelang;
4. Pemakaian sendiri dan atau pemberian Cuma-Cuma atas BKP*);
5. Persediaan BKP dan aktiva yang menurut tujuan semula tidak untuk diperjualbelikan,
yang masih tersisa pada pembubaran perusahaan, sepanjang PPN atas perolehan aktiva
tersebut menurut ketentuan dapat dikreditkan;
6. Penyerahan BKP dari pusat ke cabang atau sebaliknya dan penyerahan BKP antar
cabang;
7. Penyerahan BKP secara konsinyasi.
Catatan *):
1. Pemakaian sendiri adalah pemakaian untuk kepentingan pengusaha sendiri, pengurus atau
karyawanya, baik barang produksi sendiri maupun bukan produksi sendiri.
74
75
75
76
76
77
77
78
10. Untuk persediaan BKP maupun aktiva yang menurut tujuan semula tidak untuk
diperjualbelikan, yang masih tersisa pada saat pembubaran perusahaan, DPP-nya adalah
harga pasar wajar.
11. Untuk penyerahan jasa biro perjalanan atau pariwisata maupun jasa pengiriman paket,
DPP-nya adalah 10% (sepuluh persen) dari jumlah tagihan atau jumlah yang seharusnya
ditagih.
12. Untuk penyerahan kendaraan bermotor bekas, DPP-nya adalah 10% (sepuluh persen) dari
jumlah tagihan atau jumlah yang seharusnya ditagih.
13. Untuk penyerahan jasa anjak piutang, DPP-nya adalah 5% (lima persen) dari jumlah
seluruh imbalan.
TARIF
1. Tarif pajak pertambahan nilai
Tarif PPN yang berlaku saat ini adalah 10% (sepuluh persen). Sedangkan tariff PPN atas
ekspor BKP adalah 0% (nol persen). Pengenaan tariff 0% (nol persen) bukan berarti
pembebasan dari pengenaan PPN, tetapi pajak masukan yang telah dibayar dari barang
yang diekspor dapat dikreditkan.
Berdasarkan pertimbangan perkembangan ekonomi dan atau peningkatan kebutuhan dana
untuk pembangunan, dengan Peraturan Pemerintah tariff PPN dapat diubah serendahrendahnya 5% (lima persen) dan setinggi-tingginya 15% (lima belas persen) dengan tetap
memakai prinsip tariff tunggal.
2. Tarif pajak penjualan atas barang mewah
Tariff pajak penjualan atas barang mewah (PPn BM) dengan Peraturan Pemerintah, dapat
ditetapkan dalam beberapa pengelompokan tariff, yaitu tariff paling rendah sebesar 10%
(sepuluh persen) dan tariff paling tinggi sebesar 75% (tujuh puluh lima persen). Tarif PPn
BM yang berlaku saat ini adalah 10%, 20%, 30%, 40%, 50%, dan 75%.
Tarif PPn BM dikelompokkan menjadi:
a. Kelompok berupa kendaraan bermotor
b. Kelompok selain kendaraan bermotor
Kelompok Barang Kena Pajak yang Tergolong Mewah yang berupa kendaraan bermotor yang
dikenakan Pajak Penjualan atas Barang Mewah dengan tariff sebesar
1. 10% (sepuluh persen):
a. Kendaraan bermotor untuk pengangkutan 10 (sepuluh) sampai 15 (lima belas) orang
termasuk pengemudi dengan motor bakar setus api atau nyala kompresi (diesel/semi
diesel) dengan semua isi silinder;
b. Kendaraan bermotor untuk pengangkutan kurang dari 10 (sepuluh) orang termasuk
pengemudi selain sedan dan station wagon, dengan motor bakar nyala api atau nyala
kompresi (diesel/semi diesel), dengan system 1 (satu) gandar penggerak (4x2),
dengan kapasitas isi silinder tidak lebih dari 1500 cc.
2. 20% (dua puluh persen):
a. Kendaraan bermotor untuk pengangkutan kurang dari 10 (sepuluh) orang termasuk
pengemudi selain sedan atau station wagon, dengan motor bakar nyala api atau nyala
UNIBA | Perpajakan Anjar Wibisono
78
79
3.
4.
5.
6.
7.
kompresi (diesel atau semi diesel), dengan system 1 (satu) gandar penggerak (4x2),
dengan kapasitas isi silinder lebih dari 1500 cc sampai dengan 2500 cc;
b. Kendaraan bermotor dengan kabin ganda (Double Cabin) dalam bentuk kendaraan
bak terbuka atau bak tertutup, dengan penumpang lebih dari 3 (tiga) orang termasuk
pengemudi, dengan motor bakar cetus api atau nyala kompresi (diesel/semi diesel),
dengan system 1 (satu) gandar penggerak (4x2) atau dengan system 2 (dua) gandar
penggerak (4x4), dengan kapasitas isi silinder, dengan massa total tidak lebih dari 5
(lima) ton.
30% (tiga puluh persen), adalah kendaraan bermotor untuk pengangkutan kurang dari 10
(sepuluh) orang termasuk pengemudi, berupa:
a. Kendaraan bermotor sedan atau station wagon dengan motor bakar cetus api atau
nyala kompresi (diesel/semi diesel) dengan kapasitas isi silinder sampai dengan 1500
cc.
b. Kendaraan bermotor selain sedan atau station wagon dengan motor bakar cetus api
atau nyala kompresi (diesel/semi diesel) dengan system 2 (dua) gandar penggerak
(4x4), dengan kapasitas isi silinder sampai dengan 1500 cc.
40% (empat puluh persen) adalah kendaraan bermotor untuk pengangkutan kurang dari
10 (sepuluh) orang termasuk pengemudi, berupa:
a. Kendaraan bermotor selain sedan atau station wagon dengan motor bakar cetus api,
dengan system 1 (satu) gandar penggerak (4x2), dengan kapasitas isi silinder lebih
dari 2500 cc sampai 3000 cc.
b. Kendaraan bermotor dengan motor bakar cetus api berupa sedan atau station wagon
dan selain sedan atau station wagon dengan system 2 (dua) gandar (4x4) dengan
kapasitas isi silinder lebih dari 1500 cc sampai dengan 3000 cc.
c. Kendaraan bermotor dengan motor bakar nyala kompresi (diesel/semi diesel), berupa
sedan atau station wagon dan selain sedan atau station wagon dengan system 2 (dua)
gandar penggerak (4x4), dengan kapasitas isi silinder lebih dari 1500 cc sampai
dengan 2500 cc.
50% (lima puluh persen) adalah semua jenis kendaraan khusus yang dibuat untuk golf.
60% (enam puluh persen):
a. Kendaraan bermotor beroda dua dengan kapasitas isi silindernya lebih dari 250 cc
sampai dengan 500 cc.
b. Kendaraan khusus yang dibuat untuk perjalanan di atas salju, di pantai, di gunung dan
kendaraan semacam itu.
75% (tujuh puluh lima persen):
a. Kendaraan bermotor untuk pengangkutan kurang dari 10 (sepuluh) oarng termasuk
pengemudi, dengan motor cetus api, berupa sedan atau station wagon dan selain
sedan atau station wagon dengan system 1 (satu) gandar penggerak (4x2) atau dengan
system 2 (dua) gandar penggerak (4x4) dengan kapasitas isi silinder lebih dari 3000
cc.
b. Kendaraan bermotor untuk pengangkutan kurang dari 10 (sepuluh) orang termasuk
pengemudi, dengan motor bakar nyala kompresi (diesel/semi diesel), berupa sedan
atau station wagon dan selain sedan atau station wagon dengan system 1 (satu) gandar
penggerak (4x2) atau dengan system 2 (dua) gandar penggerak (4x4) dengan
kapasitas isi silinder lebih dari 2500 cc.
c. Kendaraan bermotor beroda 2 (dua) dengan kapasitas isi silinder lebih dari 500 cc.
UNIBA | Perpajakan Anjar Wibisono
79
80
d. Trailer, semi trailer dari tipe caravan, untuk perumahan atau kemah.
Kelompok Barang kena Pajak yang Tergolong Mewah yang berupa kendaraan bermotor yang
dikenakan pajak Penjualan barang Mewah dengan tariff sebesar
1. 10% (sepuluh persen) :
a. Kelopok alat rumah tangga, pesawat pendingin, pesawat pemanas dan pesawat
penerima siaran televise;
b. Kelompok peralatan dan perlengkapan olah raga; dan
c. Kelompok mesin pengatur suhu udara;
d. Kelompok alat perekam atau reproduksi gambar; pesawat penerima siaran radio;
e. Kelompok alat fotografi, alat sinematografi dan perlengkapannya.
2. 20% (dua puluh persen):
a. Kelompok alat rumah tangga, pesawat pendingin, dan pesawat pemanas selain yang
disebut dalam kelompok tariff 10%;
b. Kelompok hunian mewah seperti rumah mewah, apartemen, kondominium, town
house dan sejenisnya;
c. Kelompok pesawat penerima siaran televise dan antenna serta reflector antenna selain
yang disebut dalam kelompok tariff 10%;
d. Kelompok mesin pengatur suhu udara, mesin setrika, mesin pencuci piring, mesin
pengering, pesawat elektromagnetik dan instrument music.
e. Kelompok wangi-wangian;
3. 30% (tiga puluh persen):
a. Kelompok kapal atau kendaraan air lainnya, sampan dan kano, kecuali untuk
keperluan Negara atau angkutan umu;
b. Kelompok peralatan dan perlengkapan olah raga, selain yang disebut dalam
kelompok tariff 10%;
4. 40% (empat puluh persen):
a. Kelompok minuman yang mengandung alcohol;
b. Kelompok barang yang terbuat dari kulit atau kulit tiruan;
c. Kelompok permadani yang terbuat dari sutera atau wool;
d. Kelompok barang kaca dari Kristal timah hitam dari jenis yang digunakan untuk
meja, dapur, rias, kantor, dekorasi dalam ruangan atau keperluan semacam itu;
e. Kelompok barang-barang yang sebagian atau seluruhnya terbuat dari logam mulia
atau dari logam yang dilapisi logam mulia atau campuran dari padanya;
f. Kelompok kapal atau kendaraan lainnya, sampan dan kano, selain yang disebutkan
dalam kelompok tariff 30%, kecuali untuk keperluan Negara atau angkutan umum;
g. Kelompok balon udara dan balon udara yang dapat dikemudikan, pesawat udara
lainnya tanpa tenaga penggerak;
h. Kelompok peluru senjata api dan senjata api lainnya, kecuali untuk keperluan Negara;
i. Kelompok jenis alas kaki;
j. Kelompok barang-barang perabot rumah tangga dan kantor;
k. Kelompok barang-barang yang terbuat dari porselin, tanah, tanah lempug cina atau
keramik;
l. Kelompok barang-barang yang sebagian atau seluruhnya terbuat dari batu, selain batu
jalan dan batu tepi jalan.
80
81
81
82
82
83
83
84
2. Terutangnya Pajak atas penyerahan BKP berwujud yang menurut sifat atau hukumnya
berupa barang tidak bergerak, terjadi pada saat penyerahan hak untuk menggunakan atau
menguasai BKP tersebut, baik secara hukum atau secara nyata, kepada pihak pembeli.
3. Terutangnya Pajak atas penyerahan BKP tidak berwujud oleh Pengusaha Kena Pajak,
adalah pada saat terjadi lebih dahulu dari peristiwa-peristiwa di bawah ini:
a. Saat harga penyerahan BKP tidak berwujud dinyatakan sebagai piutang oleh
Pengusaha Kena Pajak;
b. Saat harga penyerahan BKP tidak berwujud ditagih oleh Pengusaha Kena Pajak;
c. Saat harga penyerahan BKP tidak berwujud diterima pembayarannya, baik sebagian
atau seluruhnya oleh Pengusaha Kena Pajak; atau
d. Saat ditandatanganinya kontrak atau perjanjian oleh Pengusaha Kena Pajak, dalam
hal saat sebagaimana dimaksud dalam huruf a sampai dengan huruf c tidak diketahui.
4. Terutangnya Pajak atas penyerahan JKP, terjadi pada saat mulai tersedianya fasilitas atau
kemudahan untuk dipakai secara nyata, baik sebagian atau seluruhnya.
5. Terutangnya Pajak atas impor BKP, terjadi pada saat BKP tersebut dimasukkan ke dalam
Daerah Pabean.
6. Terutangnya Pajak atas ekspor BKP, terjadi pada saat BKP dikeluarkan dari Daerah
Pabean.
7. Terutangnya Pajak atas aktiva yang menurut tujuan semula tidak untuk diperjualbelikan
dan atau persediaan BKP yang masih tersisa pada saat pembubaran perusahaan terjadi,
adalah pada saat yang terjadi lebih dahulu di antara saat:
a. Ditandatanganinya akte pembubaran oleh Notaris; atau
b. Berakhirnya jangka waktu berdirinya perseroan yang ditetapkan dalam Anggaran
Dasar; atau
c. Tanggal penetapan Pengadilan yang menyatakan perseroan dibubarkan; atau
d. Diketahuinya bahwa perusahaan tersebut nyata-nyata sudah tidak melakukan kegiatan
usaha atau sudah dibubarkan, berdasarkan hasil pemeriksaan atau berdasarkan data
atau dokumen yang ada.
8. Terutangnya Pajak atas penyerahan Barang Kena Pajak dalam rangka perubahan bentuk
usaha, penggabungan usaha, pemekaran usaha, atau pengalihan seluruh aktiva perusahaan
yang diikuti dengan perubahan pihak yang berhak atas Barang Kena Pajak tersebut,
terjadi pada saat yang disepakati atau ditetapkan sesuai hasil Rapat Umum Pemegang
saham yang tertuang dalam perjanjian perubahan bentuk usaha, penggabungan usaha,
pemekaran usaha, atau pengalihan seluruh aktiva perusahaan tersebut.
TEMPAT TERUTANG PAJAK
1. Untuk Penyerahan BKP/JKP:
a. Tempat tinggal.
b. Tempat kedudukan.
c. Tempat kegiatan usaha.
Jika mempunyai lebih dari satu tempat usaha, atas permohonan Pengusaha Kena
Pajak dapat ditetapkan salah satu tempat usaha sebagai tempat pajak terutang. Yang
menentukan adalah: tempat administrasi penjualan.
2. Untuk impor, ditempat BKP dimasukkan ke dalam Daerah Pabean.
3. Untuk pemanfaatan BKP tidak berwujud dan atau JKP dari luar Daerah Pabean, di tempat
orang pribadi atau badan tersebut terdaftar sebagai Wajib Pajak.
UNIBA | Perpajakan Anjar Wibisono
84
85
4. Untuk kegiatan membangun sendiri oleh PKP yang dilakukan tidak dalam lingkungan
perusahaan atau pekerjaannya atau oleh bukan PKP, di tempat bangunan tersebut
didirikan.
5. Tempat lain yang ditetapkan dengan Keputusan Direktur Jenderal Pajak.
FAKTUR PAJAK
Faktur Pajak adalah bukti pungutan pajak yang dibuat oleh Pengusaha kena Pajak yang
melakukan penyerahan BKP atau penyerahan JKP, atau bukti pungutan pajak karena impor BKP
yang digunakan oleh Direktorat Jenderal Bea dan Cukai. Setiap Pengusaha kena Pajak yang
melakukan penyerahan BKP dan atau JKP wajib membuat Faktur Pajak.
Faktur Pajak dapat berupa:
1. Faktur Pajak Standar.
2. Faktur Pajak Gabungan.
3. Faktur Pajak Sederhana.
4. Dokumen-dokumen tertentu yang ditetapkan sebagai Faktur Pajak Standar oleh Dirjen
Pajak.
Faktur Pajak Standar
Dalam Faktur Pajak Standar harus dicantumkan keterangan tentang penyerahan BKP atau
penyerahan JKP yang paling sedikit memuat:
1. Nama, alamat, NPWP yang menyerahkan BKP dan atau JKP;
2. Nama, alamat, NPWP pembeli BKP atau penerima JKP;
3. Jenis barang atau jasa, jumlah Harga Jual atau Penggantian dan potongan harga;
4. PPN yang dipungut;
5. PPn BM yang dipungut;
6. Kode, nomor seri dan tanggal pembuatan Faktur Paja; dan
7. Nama, jabatan dan tanda tangan yang berhak menandatangani Faktur Pajak.
Faktur Pajak merupakan bukti pungutan pajak dan dapat digunakan sebagai sarana untuk
mengkreditkan Pajak masukan. Oleh karena itu, Faktur Pajak harus benar, baik secara formal
maupun secara materiil. Faktur Pajak harus diisi secara lengkap, jelas dan benar, dan
ditandatangani oleh pejabat yang ditunjuk oleh Pengusaha Kena Pajak untuk
menandatanganinya. Namun untuk pengisian keterangan mengenai PPn BM hanya diisi apabila
atas penyerahan BKP tentang PPn BM. Faktur Pajak yang tidak diisi sesuai dengan ketentuan
seperti tersebut di atas dapat mengakibatkan PPN yang tercantum di dalamnya tidak dapat
dikreditkan. Faktur Penjualan yang memuat keterangan dan yang pengisiannya sesuai dengan
ketentuan tersebut di atas dapat juga dianggap Faktur Pajak Standar.
Faktur Pajak Standar harus dibuat paling lambat:
1. Pada akhir bulan berikutnya, setelah bulan penyerahan BKP dan atau penyerahan
keseluruhan JKP dalam hal pembayaran diterima setelah bulan penyerahan BKP dan atau
penyerahan keseluruhan JKP, kecuali pembayaran terjadi sebelum akhir bulan berikutnya
maka Faktur Pajak Standar harus dibuat paling lambat pada saat penerimaan pembayaran;
atau
85
86
2. Pada saat penerimaan pembayaran dalam hal penerimaan pembayaran terjadi sebelum
penyerahan BKP dan atau sebelum penyerahan JKP; atau
3. Pada saat penerimaan pembayaran termijn dalam hal penyerahan sebagian tahap
pekerjaan; atau
4. Pada saat Pengusaha Kena Pajak rekanan menyampaikan tagihan kepada Pemungut Pajak
Pertambahan Nilai.
86
87
87
88
89
Contoh 2:
Selama bulan takwim terjadi kegiatan usaha sebagai berikut:
Membeli bahan baku dan lain-lain dari pabrikan Rp 150.000.000,00
Menyerahkan BKP hasil produksi dengan harga jual Rp 200.000.000,00
Pajak Masukan yang dipungut oleh PKP lain adalah sebesar:
10% x Rp 150.000.000,00 = Rp 15.000.000,00
Pajak Keluaran yang harus dipungut:
10% x Rp 200.000.000,00 = Rp 20.000.000,00
PPN yang masih harus disetor ke Kas Negara:
Rp 20.000.000,00 Rp 15.000.000,00 = Rp 5.000.000,00
PAJAK MASUKAN YANG TIDAK DAPAT DIKREDITKAN
Pajak Masukan pada dasarnya dapat dikreditkan terhadap Pajak Keluaran. Akan tetapi tidak
semua Pajak Masukan dapat dikreditkan. Pajak Masukan yang tidak dapat dikreditkan adalah
Pajak Masukan bagi pengeluaran untuk :
1. Perolehan BKP atau JKP sebelum pengusaha dikukuhkan sebagai PKP.
2. Perolehan BKP atau JKP yang tidak mempunyai hubungan langsung dengan kegiatan
usaha.
3. Perolehan dan pemeliharaan kendaraan bermotor sedan, jeep, station wagon, van dan
kombi, kecuali merupakan barang dagangan atau disewakan.
4. Pemanfaatan BKP tidak berwujud atau pemanfaatan JKP dari luar Daerah Pabean
sebelum pengusaha dikukuhkan sebagai PKP.
5. Perolehan BKP atau JKP yang bukti pungutan pajaknya berupa Faktur Pajak Sederhana.
6. Perolehan BKP atau JKP yang Faktur pajaknya tidak memenuhi ketentuan sebagaimana
dimaksud dalam pasal 13 ayat (5) UU PPN, yang biasanya disebut Faktur Pajak cacat.
7. Pajak Masukan yang dibayar untuk perolehan Barang Kena Pajak dan/atau perolehan
Jasa Kena Pajak yang atas penyerahannya dibebaskan dari pengenaan Pajak Pertambahan
Nilai.
8. Perolehan BKP atau JKP yang Pajak masukannya ditagih dengan penerbitan ketetapan
pajak.
9. Perolehan BKP atau JKP yang Pajak masukannya tidak dilaporkan dalam SPT Masa PPN
yang dikenakan pada waktu dilakukan pemeriksaan.
10. Berkenaan dengan:
Penyerahan kendaraan bermotor bekas
Penyerahan jasa yang dilakukan oleh pengusaha biro perjalanan atau biro
pariwisata.
Jasa pengiriman paket
Jasa anjak piutang
Kegiatan membangun sendiri
89
90
Catatan:
Pajak Masukan berkenaan dengan kegiatan pada nomor 10 tidak dapat dikreditkan karena dalam
Nilai Lain telah diperhitungkan Pajak Masukan atas perolehan BKP dan atau JKP dalam rangka
usaha tersebut.
PENYERAHAN KEPADA PEMUNGUT PPN
Sedikit menyimpang dari mekanisme yang secara umum berlaku, apabila PKP menyerahkan
BKP dan/atau JKP kepada Pemungut PPN, PKP yang bersangkutan tidak memungut PPN dan
PPn BM. PPN dan PPn BM yang terutang atas penyerahan tersebut akan dipungut dan disetorkan
ke kas Negara oleh Pemungut PPN.
Pengertian Pemungut PPN menurut Undang-undang PPN 1984 adalah bendaharawan
pemerintah, badan atau instansi Pemerintah yang ditunjuk oleh Menteri Keuangan untuk
memungut, menyetor dan melaporkan pajak yang terutang oleh Pengusaha Kena Pajak atas
penyerahan BKP dan atau penyerahan JKP kepada bendaharawan pemerintah, badan atau
instansi Pemerintah tersebut. Menurut ketentuan yang berlaku saat ini, yang ditetapkan sebagai
Pemungut PPN adalah:
1. Bendaharawan Pemerintah, yaitu Bendaharawan atau Pejabat yang melakukan
pembayaran yang dananya berasal dari Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara atau
Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah, yang terdiri dari Bendaharawan Pemerintah
Pusat dan Daerah baik Prospinsi, Kabupaten atau Kota.
2. Kantor Pelayanan Perbendaharaan Negara (KPPN)
Pemungut PPN yang melakukan pembayaran atas penyerahan BKP dan atau JKP oleh Pengusaha
Kena Pajak Rekanan Pemerintah, wajib memungut, menyetor dan melaporkan PPN dan PPn BM
yang terutang. Pemungutan PPN dan PPn BM dilakukan pada saat dilakukan pembayaran oleh
Bendaharawan Pemerintah atau KPPN kepada PKP Rekanan Pemerintah. PPN dan PPn BM
tidak dipungut dalam hal:
1. Pembayaran yang jumlahnya paling banyak Rp 1.000.000,00 (satu juta rupiah) dan tidak
merupakan pembayaran yang terpecah-pecah;
2. Pembayaran untuk pembebasan tanah;
3. Pembayaran atas penyerahan BKP dan/atau JKP yang menurut ketentuan perundangundangan yang berlaku, mendapat fasilitas PPN tidak dipungut dan/atau dibebaskan dari
pengenaan PPN;
4. Pembayaran atas penyerahan Bahan Bakar Minyak dan Bukan Bahan Bakar Minyak oleh
PT (Persero) Pertamina;
5. Pembayaran atas rekening telepon;
6. Pembayaran atas jasa angkutan udara yang diserahkan oleh perusahaan penerbangan;
7. Pembayaran lainnya untuk penyerahan barang atau jasa yang menurut ketentuan
perundang-undangan yang berlaku tidak dikenakan PPN.
Catatan:
PPN dan PPn BM yang terutang sehubungan dengan pembayaran yang jumlahnya paling banyak
jumlah Rp 1.000.000,00, dipungut dan disetor oleh Pengusaha Kena Pajak rekanan Pemerintah
sesuai dengan ketentuan yang berlaku umum. Batas jumlah pembayaran sebesar Rp 1.000.000,00
tersebut hendaknya diartikan termasuk PPN dan PPN BM.
UNIBA | Perpajakan Anjar Wibisono
90
91
Rp
Rp
11.000.000,00
1.000.000,00
Rp
10.000.000,00
b. Dalam hal penyerahan BKP yang tergolong mewah dari pengusaha yang
menghasilkan BKP yang tergolong mewah tersebut, di samping terutang PPN juga
terutang PPn BM, maka jumlah PPN dan PPn BM yang dipungut adalah sebagai
berikut:
Dalam hal terutang PPn BM sebesar 20%, maka jumlah PPN yang dipungut sebesar
10/130 bagian dari jumlah pembayaran sedangkan jumlah PPn BM yang dipungut
sebesar 20/130 bagian dari jumlah pembayaran.
Contoh:
PPn BM dengan tariff 20%
Jumlah pembayaran
Rp
13.000.000,00
Jumlah PPN yang dipungut:
(10/130 x Rp 13.000.000,00)
Rp
1.000.000,00
Jumlah PPn BM yang dipungut:
(20/130 x Rp 13.000.000,00)
Rp
2.000.000,00
Sisa yang dibayarkan kepada PKP rekanan:
Rp 13.000.000,00 (Rp 1.000.000,00 + Rp 2.000.000,00) = Rp 10.000.000,00
c. Dalam hal pembayaran berjumlah paling banyak Rp 1.000.000,00 (satu juta rupiah)
dan tidak merupakan jumlah yang terpecah-pecah, maka PPN dan PPn BM tidak
perlu dipungut oleh Bendaharawan Pemerintah.
Batas jumlah pembayaran sebesar Rp 1.000.000,00
91
92
Contoh 1:
Harga Jual
PPN: 10% x Rp 900.000,00
PPn BM (Misal terutang dengan tariff 20%)
Harga jual termasuk PPN dan PPn BM
Rp
Rp
Rp
900.000,00
90.000,00
180.000,00
1.170.000,00
Meskipun Harga Jual Rp 900.000,00 tetapi karena pembayaran termasuk PPN dan
PPn BM berjumlah Rp 1.170.000,00 (diatas Rp 1.000.000,00), maka PPN dan PPn
BM yang terutang harus dipungut oleh Bendaharawan Pemerintah atau KPPN.
Contoh 2:
Harga Jual
PPN: 10% x Rp 800.000,00
PPn BM (missal terutang dengan tariff 10%)
Harga jual termasuk PPN dan PPn BM
Rp
Rp
Rp
Rp
800.000,00
80.000,00
80.000,00
960.000,00
Karena harga jual termasuk PPN dan PPn BM berjumlah Rp 960.000,00 (kurang dari
Rp 1.000.000,00), maka PPN dan PPn BM yang terutang tidak perlu dipungut oleh
Bendaharawan Pemerintah dan KPPN, tetapi harus dipungut dan disetor oleh PKP
Rekanan Pemerintah dan Faktur pajak tetap harus dibuat.
3. Tata Cara Pemungutan dan Penyetoran
a. PKP rekanan Pemerintah membuat Faktur Pajak dan SSP pada saat menyampaikan
tagihan kepada Bendaharawan Pemerintah atau KPPN baik untuk sebagian maupun
seluruh pembayaran.
b. SSP sebagaimana dimaksud pada huruf a diisi dengan membubuhkan NPWP dan
identitas PKP Rekanan Pemerintah yang bersangkutan, tetapi penandatanganan SSP
dilakukan oleh Bendaharawan Pemerintah atau KPKN sebagai penyetor atas nama
PKP Rekanan Pemerintah.
c. Dalam hal penyerahan BKP tersebut terutang PPn BM maka PKP rekanan
Pemerintah mencantumkan jumlah PPn BM yang terutang pada Faktur Pajak.
SAMBUNGAN
d. Faktur Pajak sebagaimana dimaksud pada huruf a dibuat dalam rangkap 3 (tiga):
Lembar ke-1 untuk Bendaharawan Pemerintah atau KPPN sebagai Pemungut
PPN.
Lembar ke-2 untuk arsip PKP rekanan Pemerintah.
Lembar ke-3 untuk Kantor Pelayanan pajak melalui Bendaharawan
Pemerintah atau KPPN.
e. Dalam hal pemungutan oleh Bendaharawan Pemerintah, SSP sebagai mana dimaksud
pada huruf a dibuat dalam rangkap 5 (lima). Setelah PPN dan atau PPn BM disetor di
Bank Persepsi atau Kantor Pos, lembar-lembar SSP tersebut diperuntukkan sebagai
berikut:
92
93
f.
g.
h.
i.
j.
k.
93
94
94
95
95
96
BAB VIII
BEA MATERAI
DASAR HUKUM
Dasar hukum pengenaan Bea Materai adalah Undang-undang Nomor 13 tahun 1985 atau disebut
juga Undang-undang Bea Materai. Undang-undang ini berlaku sejak tanggal 1 Januari 1986.
Selain itu untuk mengatur pelaksanaannya, telah dikeluarkan Peraturan Pemerintah Nomor 7
tahun 1995 sebagaimana telah diubah dengan Peraturan Pemerintah No.24 tahun 2000 tentang
Perubahan Tarif Bea Materai dan Besarnya Batas Pengenaan Harga Nominal yang Dikenakan
Bea Materai.
SEBAB-SEBAB DIKELUARKAN UU NO.13 TAHUN 1985 TENTANG BEA MATERAI
1. Agar lebih sempurna dan sederhana (hanya terdiri 7 bab, 18 pasal)
2. Lebih mudah dilaksanakan karena hanya mengenal 1 9satu) jenis Bea materai tetap, yaitu
Rp 6.000,00 dan Rp 3.000,00
3. Objek lebih luas
PRINSIP UMUM PEMUNGUTAN ATAU PENGENAAN BEA MATERAI
1. Bea materai dikenakan atas dokumen (merupakan pajak atas dokumen)
2. Satu dokumen hanya terutang satu Bea Materai
3. Rangkap/tindasan (yang ikut ditandatangani) terutang Bea Materai sama dengan aslinya.
PENGERTIAN
1. Bea materai adalah pajak atas dokumen
2. Dokumen adalah kertas yang berisikan tulisan yang mengandung arti dan maksud tentang
perbuatan, keadaan atau kenyataan bagi seseorang dan atau pihak-pihak yang
berkepentingan.
3. Benda Materai adalah materai temple dan kertas materai yang dikeluarkan oleh
Pemerintah Republik Indonesia.
4. Tanda Tangan adalah tanda tangan sebagaimana lazimnya dipergunakan , termasuk pula
paraf, teraan atau cap tanda tangan atau cap paraf, teraan cap nama atau tanda lainnya
sebagai pengganti tanda tangan.
5. Pemeteraian kemudian adalah suatu cara pelunasan Bea Materai yang dilakukan oleh
Pejabat Pos atas permintaan pemegang dokumen yang Bea Materainya belum dilunasi
sebagaimana mestinya.
6. Pejabat pos adalah pejabat PT. pos dan giro yang diserahi tugas melayani permintaan
pemeteraian kemudian.
TARIF BEA MATERAI Rp 6.000,00 DIKENAKAN ATAS DOKUMEN
1. a. Surat perjanjian dan surat-surat lainnya (antara lain: surat kuasa, surat hibah dan surat
pernyataan) yang dibuat dengan tujuan digunakan sebagai alat pembuktian mengenai
perbuatan, kenyataan atau keadaan yang bersifat perdata.
b. Akta-akta Notaris termasuk salinannya.
c. Akta-akta yang dibuat Pejabat Pembuat Akta Tanah (PPAT) termasuk rangkaprangkapnya
UNIBA | Perpajakan Anjar Wibisono
96
97
d. Surat yang memuat jumlah yang mempunyai harga nominal lebih dari Rp 1.000.000,00
(satu juta rupiah):
Yang menyebutkan penerimaan uang
Yang menyebutkan pembukuan uang atau penyimpanan uang dalam rekening di
bank
Yang berisi pemberitahuan saldo rekening di bank
Yang berisi pengakuan bahwa utang uang sebagian atau seluruhnya telah dilunasi
atau diperhitungkan.
e. Surat-surat Berharga seperti: wesel, promes, dan aksep yang harga nominalnya lebih dari
Rp 1.000.000,00 (satu juta rupiah)
f. Efek dengan nama dan dalam bentuk apapun sepanjang harga nominalnya lebih dari Rp
1.000.000,00 (satu juta rupiah)
2. Dokumen-dokumen yang akan digunakan sebagai alat pembuktian di muka pengadilan:
a. Surat-surat biasa dan surat-surat kerumahtanggaan
b. Surat-surat yang semula tidak dikenakan Bea materai berdasarkan tujuannya, jika
digunakan untuk tujuan lain atau digunakan untuk orang lain, lain dari kamsud
semula.
TARIF BEA MATERAI RP 3.000,00 DIKENAKAN ATAS DOKUMEN
1. Surat yang memuat jumlah uang yang mempunyai harga nominal lebih dari Rp
250.000,00 (dua ratus lima puluh ribu rupiah) tetapi tidak lebih dari Rp 1.000.000,00
(satu juta rupiah):
Yang menyebutkan penerimaan uang
Yang menyatakan pembukuan uang atau penyimpanan uang dalam rekening di
bank
Yang berisi pemberitahuan saldo rekening di bank
Yang berisi pengakuan bahwa utang uang sebagian atau seluruhnya telah dilunasi
atau diperhitungkan.
2. Surat-surat Berharga seperti: wesel, promes dan aksep yang harga nominalnya lebih dari
Rp 250.000,00 (dua ratus lima puluh ribu rupiah) tetapi tidak lebih dari Rp 1.000.000,00
(satu juta rupiah).
3. Efek dengan nama dan dalam bentuk apapun, sepanjang harga nominalnya lebih dari Rp
250.000,00 (dua ratus lima puluh ribu rupiah) tetapi tidak lebih dari Rp 1.000.000,00
(satu juta rupiah).
4. Cek dan bilyet giro dengan harga nominal berapapun.
Apabila suatu dokume (kecuali cek dan bilyet giro) mempunyai nominal tidak lebih dari Rp
250.000,00 (dua ratus lima puluh ribu rupiah), maka atas dikumen tersebut tidak terutang Bea
Materai.
YANG TIDAK DIKENAKAN BEA MATERAI
1. Dokumen yang berupa, antara lain:
a. Surat penyimpanan barang
b. Konosemen
c. Surat angkutan penumpang dan barang
d. Keterangan pemindahan yang dituliskan di atas dokumen sebagaimana dimaksud
dalam huruf a, b dan c.
UNIBA | Perpajakan Anjar Wibisono
97
98
2.
3.
4.
5.
6.
7.
8.
9.
98
99
c. Pembubuhan tanda tangan disertai dengan tanggal, bula dan tahun dilakukan dengan
menggunakan tinta atau yang sejenisnya. Sebagian tanda tangan berada di atas
materai dan sebagian lagi diatas kertas dokumen.
d. Jika digunakan lebih dari satu materai tempel, tanda tangan harus dibubuhkan
sebagian diatas semua materai tempel dan sebagian diatas kertas dokume.
2. Kertas Materai
a. Dokumen ditulis diatas Kertas Materai. Jika isi dokumen terlalu panjang untuk
dimuat seluruhnya diatas kertas meterai yang digunakan, maka untuk bagian isi yang
masih tertinggal dapat digunakan kertas tidak bermeterai.
b. Kertas meterai yang sudah digunakan, tidak boleh digunakan lagi.
Apabila ketentuan-ketentuan diatas tidak dipenuhi, maka dokumen yang bersangkutan dianggap
tidak bermeterai.
PEMETERAIAN KEMUDIAN
Pemeteraian kemudian adalah suatu cara pelunasan Bea Materai yang dilakukan oleh Pejabat Pos
atas permintaan dokumen yang Bea Materainya belum dilunasi sebagaimana mestinya.
Pemeteraian kemudian dilakukan atas:
a. Dokumen yang semula tidak terutang Bea Materai namun akan digunakan sebagai alat
pembuktian di muka pengadilan.
b. Dokumen yang Bea Materainya tidak atau kurang dilunasi sebagaimana mestinya.
c. Dokumen yang dibuat di luar negeri yang akan digunakan di Indonesia.
SANKSI-SANKSI
1. Sanksi Administrasi
Apabila dokumen tidak atau kurang dilunasi Bea Materai sebagaimana mestinya, maka akan
dikenakan denda adminstrasi sebesar 200% (dua ratus persen) dari Bea Materai yang tidak
atau kurang dibayar.
Misalnya Bea materai terutang Rp 6.000,00. Karena kelalaian belum mengenakan Bea
materai, maka Bea materai dan saksi yang harus dibayar adalah:
Bea Materai yang terutang
Denda administrasi
Jumlah Pemeteraian Kemudian
Rp 6.000,00
Rp 12.000,00
Rp 18.000,00
Pemeteraian kemudian atas dokumen tersebut dilakukan oleh Pejabat Pos menurut tata cara
yang ditetapkan oleh menteri keuangan.
Ketentuan khusus:
1. Pejabat pemerintah, hakim, panitera, jurusita, notaries dan pejabat umum lainnya dalam
tugas atau jabatannya tidak dibenarkan:
a. Menerima, mempertinbangkan atau menympan dokumen yang Bea materainya tidak
atau kurang dibayar.
b. Melekatkan dokumen yang Bea Materainya tidak atau kurang dibayar pada dokumen
lain yang berkaitan.
c. Membuat salinan, tembusan, rangkapan atau petikan dari dokumen yang Bea
materainya tidak atau kurang dibayar.
UNIBA | Perpajakan Anjar Wibisono
99
100
d. Memberikan keterangan atau catatan pada dokumen yang Bea Materainya tidak atau
kurang dibayar sesuai dengan tarif Bea metarainya.
2. Sanksi atas poin 1, sanksi administrasi sesuai dengan peraturan perundang-undangan
yang berlaku, misalnya: untuk yang berstatus pegawai negeri sipil dapat diberlakukan
dengan PP. NO.30 tahun 1980, antara lain:
a. Peringatan, teguran
b. Penundaan kenaikan gaji/pangkat
c. Diberhentikan
2. Sanksi Pidana
Sanksi pidana, antara lain:
a. 1). Pemalsuan/peniruan materai tempel , kertas materai dan tanda tangan yang perlu
untuk mensahkan materai.
2). Dengan sengaja menyimpan dengan maksud untuk diedarkan atau memasukkan ke
Negara Indonesia materai palsu, yang dipalsukan atau yang dibuat dengan melawan hak.
3). Dengan sengaja menggunakan, menjual, menawarkan, menyerahkan, menyediakan
untuk dijual atau dimasukkan ke Negara Indonesia materai yang mereknya, capnya,
tandatangannya, tanda sahnya atau tanda waktunya mempergunakan telah dihilangkan
seolah-olah Meterai itu belum dipakai dan atau menyuruh orang lain menggunakannya
dengan melawan hak.
4). Dengan sengaja menympan bahan-bahan/perkakas-perkakas yang diketahui untuk
meniru dan memalsukan benda materai.
Sanksi dengan keputusan pengadilan yang telah mempunyai kepastian hukum dapat
berupa kurungan atau penjara sesuai dengan pasal 253 Kitab Undang-undang Hukum
Pidana (KUHP)
b. Dengan sengaja menggunakan cara lain untuk pelunasan Bea Materai (Pasal 7 (2) b)
tanpa seijin Menteri Keuangan, dipidana dengan pidana penjara selama-lamanya 7
(tujuh) tahun.
Penanggung jawab sanksi:
1. Untuk sanksi administrasi
: pemegang dokumen
2. Untuk sanksi pidana
: sesuai keputusan pengadilan
DALUWARSA
Daluwarsa dari kewajiban memenuhi Bea Materai ditetapkan 5 (lima) tahun, terhitung sejak
tanggal dokumen dibuat.
HAL-HAL YANG PERLU DIPERHATIKAN
Untuk lebih melengkapi mengenai penjelasan tentang Bea Materai, berikut ini diberikan pokokpokok tambahan yang perlu diperhatikan, yaitu;
1. Transaksi intern perusahaan (unit keuangan, unit produksi) tidak perlu memakai Bea
Materai.
2. Kantor pusat dan cabang perusahaan merupakan badan yang berdiri sendiri, sehingga
transaksinya harus menggunakan Bea Materai.
3. Yang menanggung Bea Materai apabila ada sesuatu di kemudian hari (pelanggaran
administrasi) adalah pemegang dokumen. Yang terutang Bea Meterai adalah orang-orang
atau pihak-pihak yang mendapatkan manfaat dari dokumen tersebut.
UNIBA | Perpajakan Anjar Wibisono
100
101
4. Tanggal materai.
5. Tanggal yang tercantum di materai lebih sah dibandingkan dengan tanggal dokumen.
6. Kurang diperhatikan masalah yuridis atau isi dokumen, tetapi yang lebih
diutamakan/penting adalah terutangnya pajak.
7. Warna tinta yang ditulis pada materai tidak menjadi masalah. Misal pencantuman tanggal
pakai tinta biru, tetapi tandatangannya memakai tinta hijau. Ini boleh, yang penting tinta
tersebut masih merupakan tinta yang lazim/biasa dipakai.
8. Tulisan pada dokumen (misalnya tulisan di kertas materai) tidak boleh dihapus dengan
cairan penghapus. Kalau ada kesalahan, maka lebih baik dicoret dan dituliskan dengan
benar.
9. Tambahan untuk pasal 7 ayat 8:
Kertas biasa yang dipakai untuk lembaran berikutnya (karena isi dokumen terlalu
panjang) tidak perlu memakai materai lagi, karena masih merupakan satu kesatuan
(prinsip satu dokumen hanya terutang satu Bea materai).
10. Micro film perlakuannya bisa dianggap sebagai fotocopy dokumen, seperti juga vatch
dalam computer, tidak terutang Bea Materai.
11. Tindasan dengan kertas karbon sama dengan fotocopy, tidak terutang Bea materai, karena
rangkap/tindasan tersebut tidak ikut ditandatangani secara asli. Kalau misalnya fotocopy
tersebut ditandatangani lagi (tandatangan asli), maka terutang Bea materai.
12. Penggunaan dokumen yang dibuat di luar negeri.
Misalnya: dokumen dibuat di Singapura, akan digunakan sebagai dokumen di Indonesia,
maka:
a. Belum ada Bea materainya:
Dimeteraikan dulu di Indonesia dengan
cara pemeteraian kemudian.
b. Sudah ada meterainya:
Diberi meterai lagi dengan cara
(meterai Singapura)
pemeteraian kemudian (jadi ada 2 meterai)
Sebagai penutup, diberikan gambaran tentang perbedaan antara ABM 1921 (yang lama) dengan
UU Bea materai (yang baru).
No.
1
2
URAIAN
Jumlah pasal
Objek
Macam/jenis
Pemeteraian
4
5
Tarif
Cara pelunasan
Daluwarsa
ABM 1921
142 pasal
Bersifat Perdata dan
Public (tertentu)
B.M. Umum
B.M. Luas Kertas
B.M. Luas Biasa
B.M. Tetap
B.M. Sebanding
167 macam
Benda meterai
SKUM
Ara lain
3 tahun sejak
diketahui
101
102
BAB IX
PAJAK BUMI DAN BANGUNAN
DASAR HUKUM
Dasar hukum Pajak Bumi dan Bangunan (PBB) adalah Undang-undang No.12 tahun 1985
sebagaimana telah diubah dengan Undang-undang No.12 tahun 1994.
ASAS
Asas Pajak Bumi dan Bangunan:
1. Memberikan kemudahan dan kesederhanaan
2. Adanya kepastian hukum.
3. Mudah dimengerti dan adil
4. Menghindari pajak berganda
PENGERTIAN-PENGERTIAN
Bumi adalah permukaan bumi dan tubuh bumi yang ada di bawahnya. Permukaan bumi meliputi
tanah dan perairan pedalaman (termasuk rawa-rawa, tambak, perairan) serta laut wilayah
Republik Indonesia.
Bangunan adalah konstruksi teknik yang ditanam atau dilekatkan secara tetap pada tanah dan
atau perairan.
Termasuk dalam pengertian bangunan adalah:
a. Jalan lingkungan dalam satu kesatuan dengan kompleks bangunan.
b. Jalan tol.
c. Kolam renang.
d. Pagar mewah.
e. Tempat olahraga.
f. Galangan kapal, dermaga.
g. Taman mewah.
h. Tempat penampungan/lkilang minyak, air dan gas , pipa minyak.
i. Fasilitas lain yang memberikan manfaat.
Surat Pemberitahuan Objek Pajak (SPOP) adalah surat yang digunakan oleh Wajib Pajak
untuk melaporkan data objek menurut ketentuan Undang-undang Pajak Bumi dan Bangunan.
Surat Pemberitahuan Pajak Terutang (SPPT) adalah surat yang digunakan oleh Direktorat
Jenderal Pajak untuk memberitahukan besarnya pajak terutang kepada wajib pajak. Direktorat
Jenderal Pajak menerbitkan SPPT (Surat Pemberitahuan Pajak Terutang) berdasrkan SPOP
(Surat Pemberitahuan Objek Pajak) wajib pajak.
102
103
104
104
105
Yang dimaksud dengan objek pajak adalah objek pajak adalah pajak yang
dimiliki/dikuasasi/digunakan oleh Pemerintah Pusat dan Pemerintah daerah dalam
menyelenggarakan pemerintahan. Pajak Bumi dan Bangunan adalah pajak Negara yang sebagian
besar penerimaannya merupakan pendapatan daerah yang antara lain dipergunakan untuk
penyediaan fasilitas yang juga dinikmati oleh Pemerintah Pusat dan Pemerintah daerah. Oleh
sebab itu wajar Pemerintah Pusat juga ikut membiayai fasilitas tersebut melalui pembayaran
Pajak Bumi dan Bangunan.
Mengenai bumi dan atau bangunan milik perseorangan dan atau bukan yang digunakan oleh
Negara, kewajiban perpajakannya pada perjanjian yang diadakan.
5. Besarnya nilai Jual objek Pajak Tidak Kena Pajak (NJOPTKP) ditetapkan untuk masingmasing Kabupaten/Kota dengan besar setinggi-tingginya Rp 12.000.000,00 (dua belas
juta rupiah) untuk setiap Wajib Pajak. Apabila seorang Wajib pajak mempunyai beberapa
objek pajak, yang diberikan NJOPTKP hanya salah satu Objek Pajak yang nilainya
terbesar, sedangkan Objek Pajak lainnya tetap dikenakan secara penuh tanpa dikurangi
NJOPTKP.
Kepala kantor Wilayah Direktorat Jenderal Pajak atas nama Menteri keuangan menetapkan
besarnya NJOPTKP dengan mempertimbangkan pendapat Gubernur/Bupati/Walikota
(Pemerintah Daerah) setempat.
Untuk lebih jelasnya diberikan contoh berikut ini:
a. Seorang Wajib Pajak mempunyai Objek Pajak berupa bumi dengan nilai Rp 4.000.000,00
dan besarnya NJOPTKP untuk objek Pajak wilayah tersebut adalah Rp 6.000.000,00 . Karena
NJOP berada di bawah batas JOPTKP (Rp 6.000.000,00), maka Objek Pajak tersebut tidak
dikenakan Pajak Bumi dan Bangunan.
b. Seorang Wajib Pajak mempunyai Objek Pajak berupa bumi dan Bangunan di desa A dan
desa B dengan nilai sebagai berikut:
Desa A:
NJOP Bumi
Rp 13.000.000,00
NJOP Bangunan
9.000.000,00
Desa B:
NJOP Bumi
Rp 8.000.000,00
NJOP Bangunan
10.000.000,00
Dan NJOPTKP untuk objek pajak wilayah tersebut adalah Rp 10.000.000,00.
105
106
Dengan data tersebut diatas, maka NJOP untuk perhitungan PBB-nya sebagai berikut:
Langkah Pertama adalah mencari NJOP dari dua desa tersebut yang mempunyai nilai paling
besar, yaitu desa A. Maka NJOP untuk perhitungan PBB adalah:
NJOP Bumi
NJOP Bangunan
NJOP sebagai dasar pengenaan PBB
NJOPTKP
NJOP untuk penghitungan PBB
Kemudian untuk desa B:
NJOP untuk penghitungan PBB:
NJOP Bumi
NJOP Bangunan
NJOP sebagai dasar pengenaan PBB
NJOPTPK
NJOP untuk penghitungan PBB
Rp 13.000.000,00
9.000.000.00
Rp 22.000.000,00
10.000.000,00
Rp 12.000.000,00
Rp 8.000.000,00
10.000.000,00
Rp 18.000.000,00
0,00
Rp 18.000.000,00
SUBJEK PAJAK
1. Yang menjadi subjek pajak adalah orang atau badan yang secara nyata mempunyai suatu
hak atas bumi dan atau memperoleh manfaat atas bumi dan atau memiliki, menguasai dan
atau memperoleh manfaat atas bangunan. Dengan demikian tanda pembayaran/pelunasan
pajak bukan merupakan bukti pemilikan hak.
2. Subjek pajak sebagaimana dimaksud dalam no.1 yang dikenakan kewajiban membayar
pajak menjadi wajib pajak.
3. Dalam hal atas suatu objek pajak belum jelas diketahui wajib pajaknya, Direktur Jendral
pajak dapat menetapkan subjek pajak sebagaimana dimaksud dalam no.1 sebagai wajib
pajak.
Hal ini berarti memberikan kewenangan kepada Dirjen Pajak untuk menentukan subjek
wajib pajak, apabila suatu objek pajak belum jelas wajib pajaknya.
Untuk lebih jelas diberikan contoh berikut ini:
a. Subjek Pajak X memanfaatkan atau menggunakan bumi dan atau bangunan milik Y
bukan karena suatu hal berdasarkan undang-undang atau bukan karena perjanjian,
maka x yang memanfaatkan/menggunakan bumi dan atau bangunan ditetapkan
sebagai wajib pajak.
b. Suatu objek pajak yang masih dalam sengketa pemilikan di pengadilan, maka orang
atau badan yang memanfaatkan/menggunakan objek pajak tersebut ditetapkan sebagai
wajib pajak.
c. Subjek pajak dalam waktu yang lama berada di luar wilayah letak objek pajak, sedang
untuk merawat objek pajak tersebut dikuasakan kepada orang atau badan, maka orang
atau badan yang diberi kuasa dapat ditunjuk sebagai wajib pajak. Penunjukan sebagai
wajib pajak oleh Dirjen Pajak bukan merupakan bukti pemilikan hak.
4. Subjek pajak yang ditetapkan sebagaimana dimaksud dalam no.3 dapat memberikan
keterangan secara tertulis kepada Direktur Jenderal Pajak bahwa ia bukan wajib pajak
terhadap objek pajak dimaksud.
UNIBA | Perpajakan Anjar Wibisono
106
107
5. Bila keterangan yang diajukan oleh wajib pajak dalam no.4 disetujui, maka Direktur
Jenderal Pajak membatalkan penetapan sebagai bajib pajak sebagaimana dalam no.3
dalam jangka waktu satu bulan sejak diterimanya surat keterangan dimaksud.
6. Bila keterangan yang diajukan itu tidak disetujui, maka Direktur Jenderal Pajak
mengeluarkan surat keputusan penolakan dengan disertai alasan-alasannya.
7. Apabila setelah jangka waktu satu bulan sejak tanggal diterimanya keterangan
sebagaimana dalam no.4 Direktur Jenderal Pajak tidak memberikan keputusan, maka
keterangan yang diajukan itu dianggap disetujui.
Apabila Direktur Jenderal Pajak tidak memberikan keputusan dalam waktu 1 9satu) bulan
sejak tanggal diterimanya keterangan dari wajib pajak, maka ketetapan sebagai wajib
pajak gugur dengan sendirinya dan berhak mendapatkan keputusan pencabutan penetapan
sebagai wajib pajak.
TARIF PAJAK
Tarif pajak yang dikenakan atas objek pajak adalah sebesar 0,5% (lima per sepuluh persen).
DASAR PENGENAAN PAJAK
1. Dasar pengenaan pajak adalah Nilai Jual Objek Pajak (NJOP).
2. Besarnya Nilai Jual Objek Pajak (NJOP) ditetapkan setiap tiga tahun oleh Kepala Kantor
Wilayah Direktorat Jenderal Pajak atas nama Menteri Keuangan dengan
mempertimbangkan pendapat Gubernur/Bupati/Walikota (Pemerintah Daerah) setempat.
3. Dasar penghitungan pajak adalah yang ditetapkan serendah-rendahnya 20% dan setinggitingginya 100% dari Nilai Jual Objek Pajak (NJOP).
4. Besarnya presentase ditetapkan dengan Peraturan Pemerintah dengan memperhatikan
kondisi ekonomi nasional.
Pada dasarnya penetapan Nilai Jual Objek Pajak (NJOP) adalah 3 (tiga) tahun sekali. Namun
demikian untuk daerah tertentu yang karena perkembangan pembangunan mengakibatkan
kenaikan NJOP cukup besar, maka penetapan nilai jual ditetapkan setahun sekali.
Dalam menetapkan nilai jual, Kepala Kantor Wilayah Direktorat Jenderal Pajak atas nama
Menteri Keuangan dengan mempertimbangkan pendapat Gubernur/Bupati/Walikota (Pemerintah
Daerah) setempat serta memperhatikan asas self assessment. Yang dimaksud (assessment value)
adalah nilai jual yang dipergunakan sebagai dasar penghitungan pajak, yaitu suatu presentase
tertentu dari nilai jual sebenarnya.
Contoh:
1. Nilai jual suatu objek sebesar Rp 2.000.000,00. Presentase misalnya 20% maka besarnya
= 20% x Rp 2.000.000,00 = Rp 400.000,00
2. Nilai jual suatu objek pajak sebesar Rp 2.000.000.000,00. Presentase misalnya 40%,
maka besarnya 40% x Rp 2.000.000.000,00 = Rp 800.000.000,00
Untuk perekonomian sekarang ini, terutama untuk tidak terlalu membebani wajib pajak di daerah
pedesaan, tetapi dengan tetap memperhatikan penerimaan, khususnya bagi Pemerintah Daerah,
maka telah ditetapkan besarnya presentase untuk menentukan besarnya NKJP, yaitu:
UNIBA | Perpajakan Anjar Wibisono
107
108
108
109
109
110
yang dihitung atas dasar SPOP yang disampaikan wajib pajak, Direktorat Jenderal Pajak
menerbitkan SKP secara jabatan.
5. Jumlah pajak yang terutang dalam SKP sebagaimana dimaksud dalam nomor 4 huruf a
adalah pokok pajak ditambah dengan denda administrasi sebesar 25% dihitung dari
pokok pajak.
Sanksi administrasi yang dikenakan terhadap wajib pajak yang tidak menyampaikan
SPOP, dikenakan sanksi sebagai tambahan terhadap pokok pajak yaitu sebesar 25% dari
pokok pajak.
SKP ini berdasarkan data yang ada pada Direktorat Jenderal Pajak menurut penetapan
objek pajakdan besarnya pajak yang terutang beserta denda administrasi yang dikenakan
kepada wajib pajak.
Contoh:
Wajib pajak A tidak menyampaikan SPOP.
Berdasarkan data yang ada, Direktur Jenderal Pajak mengeluarkan SKPKB yang berisi:
Objek pajak dengan luas dan nilai jual
Luas objek pajak menurut SPOP
Pokok pajak
Rp 2.000.000,00
Sanksi administrasi
25% x Rp 2.000.000,00
500.000,00
Jumlah pajak yang terutang dalam SKP
Rp 2.500.000,00
6. Jumlah pajak yang terutang dalam SKPKB sebagaimana dimaksud dalam no.4 huruf b,
adalah selisih pajak yang terutang berdasarkan hasil pemeriksaan atau keterangan lain
dengan pajak yang terutang yang dihitung berdasarkan SPOP ditambah denda
administrasi sebesar 25% dari selisih pajak yang terutang.
Sanksi administrasi dikenakan terhadap wajib pajak yang mengisi SPOP tidak sesuai
dengan keadaan yang sebenarnya.
Contoh:
Berdasarkan SPOP diterbitkan SPPT
Berdasarkan pemeriksaan pajak yang
Seharusnya terutang
Selisih
Denda administrasi 25% x Rp 500.000,00
Jumlah pajak yang terutang dalam SKPKB
Rp 2.000.000,00
2.500.000,00
Rp 500.000,00
125.000,00
Rp 625.000,00
110
111
4. Objek pajak dimutasikan/laporan dari instansi yang berkaitan langsung dengan objek
pajak.
TATA CARA PEMBAYARAN DAN PENAGIHAN
1. Pajak yang terutang berdasarkan SPPT harus dilunasi selambat-lambatnya 6 (enam) bulan
sejak tanggal diterimanya SPPT oleh wajib pajak.
Contoh:
Apabila SPPT diterima oleh wajib pajak tanggal 1 April 2005, maka jatuh tempo
pembayarannya adalah tanggal 30 september 2005.
2. Pajak yang terutang berdasarkan SKP harus dilunasi selambat-lambatnya 1 (satu) bulan
sejak tanggal diterimanya SKP oleh wajib pajak.
Contoh:
Apabila SKP diterima oleh wajib pajak tanggal 1 Maret 2005, maka jatuh tempo
pengembaliannya adalah tanggal 31 Maret 2005.
3. Pajak yang terutang yang pada saat jatuh tempo pembayaran tidak dibayar atau kurang
dibayar, dikenakan denda administrasi sebesar 2% (dua persen) sebulan, yang dihitung
dari saat jatuh tempo sampai dengan hari pembayaran untuk jangka waktu paling lama 24
(dua puluh empat) bulan.
Menurut ketentuan ini, pajak yang terutang pada saat jatuh tempo pembayaran tidak atau
kurang dibayar, dikenakan denda administrasi 2% (dua persen) setiap bulan dari jumlah
yang tidak atau kurang dibayar tersebut untuk jangka waktu paling lama 24 (dua puluh
empat) bulan, dan bagian dari bulan dihitung penuh 1 (satu) bulan.
Contoh:
SPPT tahun pajak 2005 diterima pleh wajib pajak pada tanggal 1 Maret 2005 dengan
pajak yang terutang sebesar Rp 500.000,00. Oleh wajib pajak baru dibayar pada tanggal 1
september 2005. Maka terhadap wajib pajak tersebut dikenakan denda administrasi
sebesar 2% yakni:
2% x Rp 500.000,00 = Rp 10.000,00
Pajak yang terutang yang harus dibayar pada tanggal 1 September 2005 adalah:
Pokok pajak + denda administrasi =
Rp 500.000,00 + Rp 10.000,00 = Rp 510.000,00
Bila wajib pajak tersebut baru membayar utang pajaknya pada tanggal 10 Oktober 2005,
maka terhadap wajib pajak tersebut dikenakan denda 2 x 2% dari pokok pajak, yakni:
4% x Rp 500.000,00 = Rp 20.000,00
Pajak yang terutang yang harus dibayar pada tanggal 10 Oktober 2005 adalah:
UNIBA | Perpajakan Anjar Wibisono
111
112
112
113
Apabila ternyata batas waktu 3 (tiga) bulan tersebut tidak dapat dipenuhi oleh wajib pajak
karena keadaan di luar kekuasaannya (Force Major), maka Kepala Kantor Pelayanan Pajak
Bumi dan Bangunan masih dapat mempertimbangkan dan meminta wajib pajak untuk
melengkapi persyaratan tersebut dalam batas waktu tertentu.
5. Tanda terima Surat Keberatan yang diberikan oleh Kantor Pelayanan Pajak Bumi dan
Bangunan atau tanda pengiriman Surat Keberatan melalui pos tercatat atau sejenisnya
merupakan tanda bukti penerimaan Surat Keberatan tersebut bagi kepentingan wajib pajak.
6. Apabila diminta oleh wajib pajak untuk keperluan pengajuan keberatan, Direktur Jenderal
Pajak wajib memberikan secara tertulis hal-hal yang menjadi dasar pengenaan pajak.
7. Pengajuan keberatan tidak menunda kewajiban membayar pajak.
8. Kepala Kantor Wilayah Direktorat Jenderal Pajak atau Kepala Kantor Pelayanan Pajak Bumi
dan Bangunan dalam jangka waktu paling lama 12 (dua belas) bulan sejak tanggal surat
keberatan diterima, harus memberikan keputusan atas keberatan
9. Sebelum surat keputusan diterbitkan, wajib pajak dapat menyampaikan alasan tambahan atau
penjelasan tertulis.
10. Keputusan Kepala Kantor Wilayah Direktur Jenderal Pajak atau Kepala Kantor Pelayanan
Pajak Bumi dan Bangunan atas keberatan dapat berupa:
a. Tidak dapat diterima
b. Menolak
c. Menerima seluruhnya atau sebagian
d. Menambah besarnya jumlah pajak yang terutang
11. Dalam hal wajib pajak mengajukan keberatan atas ketetapan sebagaimana dalam surat
ketetapan pajak, wajib pajak yang bersangkutan harus dapat membuktikan ketidakbenaran
ketetapan pajak tersebut.
12. Apabila dalam jangka waktu 12 (dua belas) bulan telah lewat dan Direktur Jenderal Pajak
tidak member suatu keputusan, maka keberatan tersebut dianggap diterima.
Ketentuan ini dimaksudkan untuk memberikan kepastian hukum, bagi wajib pajak yaitu
apabila dalam jangka waktu 12 bulan sejak tanggal diterimanya surat keberatan, Ditjen Pajak
tidak memberikan keputusan atas keberatan yang diajukan berarti keberatan tersebut
diterima.
Banding
Ketentuan banding pajak bumi dan bangunan mengikuti ketentuan tentang banding Undangundang ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan.
113
114
PENGURANGAN PAJAK
Pengurangan diberikan atas pajak (PBB) terutang yang tercantum dalam SPPT atau SKP.
Pengurangan pajak terutang dapat diberikan kepada dan dalam hal:
1. Wajib pajak orang Pribadi atau badan karena kondisi tertentu objek pajak yang ada
hubungannya dengan subjek pajak dan atau karena sebab-sebab tertentu lainnya, seperti:
a. Objek pajak berupa lahan pertanian/perkebunan/perikanan/peternakan yang hasilnya
sangat terbatas yang dimiliki, dikuasai dan atau dimanfaatkan oleh wajib pajak orang
pribadi;
b. Objek pajak yang dimiliki, dikuasai dan atau dimanfaatkan oleh wajib pajak orang
pribadi yang berpenghasilan rendah yang nilai jualnya meningkat akibat adanya
pembangunan atau perkembangan lingkungan;
c. Objek pajak yang dimiliki, dikuasai dan atau dimanfaatkan oleh wajib pajak orang
pribadi yang penghasilannya semata-mata berasal dari pensiunan, sehingga kewajiban
pbb-nya sulit dipenuhi;
d. Objek pajak yang dimiliki, dikuasai dan atau dimanfaatkan oleh wajib pajak orang
pribadi yang berpenghasilan rendah sehingga kewajiban pbb-nya sulit dipenuhi;
e. Objek pajak yang dimiliki, dikuasai dan atau dimanfaatkan oleh wajib pajak veteran
pejuang kemerdekaan dan veteran pembela kemerdekaan;
f. Objek pajak yang dimiliki, dikuasai dan atau dimanfaatkan oleh wajib pajak badan
yang mengalami kerugian dan kesulitan likuiditas yang serius sepanjang tahun,
sehingga tidak dapat memenuhi kewajiban rutin perusahaan.
Dalam hal ini pengurangan dapat diberikan setinggi-tingginya 75% (tujuh puluh lima
persen) dari pajak terutang, dan ditetapkan berdasarkan pertimbangan kondisi objek pajak
serta penghasilan wajib pajak.
2. Wajib pajak orang pribadi atau badan dalam hal objek pajak yang terkena bencana alam
atau sebab-sebab lain yang luar biasa. Termasuk dalam pengertian Bencana alam adalah
gempa bumi, banjir, tanah longsor, gunung meletus dan sebagainya. Sedangkan yang
dimaksud dengan sebab-sebab lain yang luar biasa adalah kebakaran, kekeringan, wabah
penyakit dan hama tanaman.
Dalam hal ini dapat diberikan sampai dengan 100% (seratus persen) dari besarnya pajak
terutang.
3. Wajib pajak anggota veteran pejuang kemerdekaan dan veteran pembela kemerdekaan.
Besarnya pengurangan ditetapkan sebesar 75% (tujuh puluh lima persen) dari besarnya
pajak terutang.
Cara Mengajukan Permohonan:
1. Permohonan pengurangan diajukan secara tertulis dalam Bahasa Indonesia kepada
Kepala Kantor Pelayanan Pajak Bumi dan Bangunan yang menerbitkan SPPT atau SKP
dengan mencantumkan besarnya presentase pengurangan dimohonkan.
2. Permohonan pengurangan diajukan selambat-lambatnya 3 (tiga) bulan terhitung:
a. Sejak tanggal diterimanya SPPT atau SKP; atau
b. Sejak terjadinya bencana alam atau sebab-sebab lain yang luar biasa.
114
115
115
116
116
117
Catatan:
Kewajiban merahasiakan ditiadakan (tidak ada rahasia jabatan dalam hubungannya dengan PBB)
Contoh laporan tertulis tentang mutasi objek pajak antara lain: jual beli, hibah dan warisan.
2. Yang berhubungan dengan objek pajak:
Wajib memberikan keterangan yang diperlukan atas permintaan Direktorat Jenderal
Pajak yang berwenang.
Catatan:
Kewajiban merahasiakan ditiadakan (tidak ada rahasia jabatan dalam hubungan dengan PBB).
SANKSI
Bagi Wajib Pajak
1. Apabila SPOP tidak disampaikan dan setelah ditegur secara tertulis tidak disampaikan
sebagaimana ditentukan dalam Surat Teguran, ditagih dengan Surat Ketetapan Pajak.
Jumlah pajak yang terutang dalam Surat Ketetapan Pajak adalah pokok pajak ditambah
dengan denda administrasi sebesar 25% (dua puluh lima persen) dihitung dari pokok
pajak.
Apabila berdasarkan hasil pemeriksaan atau keterangan lain ternyata jumlah pajak yang
terutang lebih besar dari jumlah pajak yang dihitung berdasarkan SPOP yang
disampaikan oleh wajib pajak, ditagih dengan Surat Ketetapan Pajak. Jumlah pajak yang
terhutang dalam Surat Ketetapan Pajak adalah selisih pajak yang terhutang berdasarkan
hasil pemeriksaan atau keterangan lain dengan pajak yang terhutang yang dihitung
berdasarkan Surat Pemberitahuan Objek Pajak ditambah denda administrasi sebesar 25%
(dua puluh lima persen) dari selisih pajak yang terhutang.
2. Pajak yang terhutang yang pada saat jatuh tempo pembayaran tidak dibayar atau kurang
dibayar, dikenakan denda administrasi sebesar 2% (dua persen) sebulan, yang dihitung
dari saat jatuh tempo sampai dengan hari pembayaran untuk jangka waktu paling lama 24
(dua puluh empat) bulan.
3. Karena kealpaannya sehingga menimbulkan kerugian pada Negara, dalam hal:
a. Tidak mengembalikan/menyampaikan SPOP kepada Direktorat Jenderal Pajak.
b. Menyampaikan SPOP, tetapi isinya tidak benar atau tidak lengkap dan atau
melampirkan keterangan tidak benar.
4. Karena kesengajaannya sehingga menimbulkan kerugian pada Negara, dalam hal:
a. Tidak mengembalikan/menyampaikan SPOP kepada Direktorat Jenderal Pajak.
b. Menyampaikan SPOP, tetapi isinya tidak benar atau tidak lengkap dan atau
melampirkan keterangan yang tidak benar.
c. Memperlihatkan surat palsu atau dipalsukan atau dokumen lain yang palsu atau
dipalsukan seolah=olah benar.
d. Tidak memperlihatkan atau tidak meminjamkan surat atau dokumen lainnya.
e. Tidak menunjukkan data atau tidak menyampaikan keterangan yang diperlukan.
117
118
Rp
Catatan:
Tindak pidana yang telah diuraikan di muka tidak dapat dituntut setelah lampau waktu 10 tahun
sejak berakhirnya tahun pajak yang bersangkutan. Penyimpangan terhadap ketentuan Pasal 78
KUHP (Kitab Undang-Undang Hukum Pidana) dimaksudkan untuk menyesuaikan dengan
kewajiban menyimpan dokumen perpajakan yang lamanya 10 (sepuluh) tahun.
118
119
120
BAB X
BEA PEROLEHAN HAK ATAS TANAH DAN BANGUNAN
PENDAHULUAN
Sesuai dengan pasal 33 ayat (3) Undang-undang dasar 1945, bumi, air dan kekayaan alam yang
terkandung di dalamnya dikuasai oleh Negara dan dipergunakan untuk sebesar-besarnya
kemakmuran rakyat. Tanah sebagai bagian dari bumi yang merupakan karunia Tuhan Yang
Maha Esa, disamping memenuhi kebutuhan dasar untuk papan dan lahan usaha, juga merupakan
alat investasi yang sangat menguntungkan. Di samping itu, bangunan juga member manfaat
ekonomi bagi pemiliknya. Oleh karena itu, bagi mereka yang memperoleh hak atas tanah dan
bangunan, wajar menyerahkan sebagian nilai ekonomi yang diperolehnya kepada Negara melalui
pembayaran pajak, yang dalam hal ini adalah Bea perolehan hak atas tanah dan bangunan
(BPHTB).
Prinsip yang dianut dalam undang-undang BPHTB adalah:
1. Pemenuhan kewajiban BPHTB adalah berdasarkan system self assessment, yaitu Wajib
Pajak menghitung dan membayar sendiri utang pajaknya.
2. Besarnya tariff ditetapkan sebesar 5% (lima persen) dari Nilai Perolehan objek pajak
kena Pajak (NPOPKP).
3. Agar pelaksanaan Undang-undang BPHTB dapat berlaku secara efektif, maka baik
kepada wajib Pajak maupun kepada pejabat-pejabat umum yang melanggar ketentuan
atau tidak melaksanakan kewajibannya, dikenakan sanksi menurut peraturan perundangundangan yang berlaku.
4. Hasil penerimaan BPHTB merupakan penerimaan Negara yang sebagian besar
diserahkan kepada pemerintah daerah, untuk meningkatkan pendapatan daerah guna
membiayai pembangunan daerah dan dalam rangka memantapkan otonomi daerah.
5. Semua pungutan atas perolehan hak atas tanah dan atau bangunan di luar ketentuan ini
tidak diperkenankan.
PENGERTIAN-PENGERTIAN
Dalam pembahasan Bea perolehan hak atas tanah dan Bangunan, akan dijumpai beberapa
pengertian-pengertian yang sudah baku. Pengertian-pengertian tersebut antara lain adalah:
1. Bea Peroelha Hak atas Tanah dan Bangunan (BPHTB), adalah pajak yang dikenakan atas
perolehan hak atas tanah dan atau bangunan. Dalam pembahasan ini, BPHTB selanjutnya
disebut pajak.
2. Perolehan hak atas tanah dan atau bangunan, adalah perbuatan atau peristiwa hukum
yang mengakibatkan diperolehnya hak atas tanah dan atau bangunan oleh orang pribadi
atau badan.
3. Hak atas tanah dan atau bangunan, adalah hak atas tanah, termasuk hak pengelolaan,
beserta bangunan diatasnya, sebagaimana dimaksud dalam Undang-undang Nomor 5
tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-pokok Agraria, Undang-undang nomor 16
tahun 1985 tentang Rumah Susun, dan ketentuan peraturan perundang-undangan yang
berlaku lainnya.
120
121
DASAR HUKUM
Dasar hukum Bea Perolehan hak atas Tanah dan Bangunan adalah:
1. Undang-Undang Nomor 21 tahun 1997 sebagaimana telah diubah dengan UndangUndang Nomor 20 Tahun 2000 tentang Bea Perolehan Hak Atas Tanah dan Bangunan.
Undang-Undang ini menggantikan Ordonansi Bea balik Nama Staatsblad 1924 Nomor
291.
2. Peraturan Pemerintah No.111 tahun 2000 tentang Pengenaan BPHTB karena waris dan
hibah.
3. Peraturan Pemerintah No.112 tahun 2000 tentang Pengenaan BPHTB karena pemberian
Hak Pengelolaan.
4. Peraturan Pemerintah No.113 tahun 2000 tentang Penentuan Besarnya NPOPTKP
BPHTB.
OBJEK PAJAK
Objek BPHTB adalah perolehan hak atas tanah dan atau bangunan. Perolehan hak atas tanah dan
atau bangunan meliputi:
1. Pemindahan hak karena:
a. Jual-beli;
b. Tukar-menukar;
c. Hibah;
d. Hibah wasiat;
e. Waris;
f. Pemasukan dalam perseroan atau badan hukum lainnya;
g. Pemisahan hak yang mengakibatkan peralihan;
h. Penunjukan pembeli dalam lelang;
i. Pelaksanaan putusan hakim yang mempunyai kekuatan hukum tetap;
j. Penggabungan usaha;
k. Peleburan usaha;
l. Pemekaran usaha;
m. Hadiah.
2. Pemberian hak baru karena:
a. Kelanjutan pelepasan hak;
b. Di luar pelepasan hak.
TIDAK TERMASUK OBJEK PAJAK
Objek pajak yang tidak dikenakan BPHTB adalah objek pajak yang diperoleh:
1. Perwakilan diplomatic, konsulat berdasarkaa asas perlakuan timbale balik;
2. Negara untuk penyelenggaraan pemerintahan dan atau pelaksanaan pembangunan guna
kepentingan umum;
3. Badan atau perwakilan organisasi internasional yang ditetapkan dengan Keputusan
Menteri dengan syarat tidak menjalankan usaha atau melakukan kegiatan lain di luar
fungsi dan tugas badan usaha atau perwakilan organisasi tersebut;
4. Orang pribadi atau badan karena konversi hak atau karena perbuatan hukum lain dengan
tidak adanya perubahan nama;
5. Orang pribadi atau badan karena wakaf;
6. Orang pribadi atau badan yang digunakan untuk kepentingan ibadah.
UNIBA | Perpajakan Anjar Wibisono
121
122
SUBJEK PAJAK
Yang menjadi subjek pajak adalah orang pribadi atau badan yang memperoleh hak atas tanah dan
atau bangunan. Subjek pajak yang dikenakan kewajiban membayar pajak menjadi wajib Pajak
BPHTB menurut Undang-undang BPHTB.
DASAR PENGENAAN PAJAK, NILAI PEROLEHAN OBJEK PAJAK TIDAK KENA
PAJAK (NPOPTKP), DAN TARIF PAJAK
Dasar Pengenaan Pajak
Yang menjadi dasar pengenaan pajak adalah Nilai Perolehan Objek Pajak (NPOP), NPOP
ditentukan sebesar:
1. Harga transaksi, dalam hal: jual beli.
2. Nilai pasar objek pasar, dalam hal:
a. Tukar-menukar;
b. Hibah;
c. Hibah wasiat;
d. Waris;
e. Pemasukan dalam perseroan atau badan hukum lainnya;
f. Pemisahan hak yang mengakibatkan peralihan hak;
g. Peralihan hak karena pelaksanaan putusan hakim yang mempunyai kekuatan hukum
tetap;
h. Pemberian hak baru atas tanah sebagai kelanjutan dari pelepasan hak;
i. Pemberian hak baru atas tanah di luar pelepasan hak;
j. Penggabungan usaha;
k. Peleburan usaha;
l. Pemekaran usaha;
m. Hadiah.
3. Harga transaksi yang tercantum dalam Risalah Lelang, dalam hal; penunjukan pembeli
dalam lelang.
4. Nilai Jual Objek Pajak Bumi dan Bangunan (NJOP PBB), apabila besarnya NPOP
sebagaimana dimaksud dalam poin 1 dan 2 tidak diketahui atau NPOP lebih rendah
daripada NJOP PBB.
Contoh:
Tuan Aryo membeli tanah dan bangunan dengan NPOP (harga transaksi)
Rp 100.000.000,00. NJOP PBB tersebut yang digunakan dalam pengenaan PBB adalah
Rp 120.000.000,00 maka yang dikenakan sebagai dasar pengenaan BPHTB adalah
Rp 120.000.000,00 dan bukan Rp 100.000.000,00 .
Nilai Perolehan Objek Pajak Tidak kena pajak (NPOPTKP)
Besarnya NPOPTKP ditetapkan secara regional paling banyak Rp 60.000.000,00 (enam puluh
juta rupiah), kecuali dalam hal perolehan hak karena waris, atau hibah wasiat yang diterima
orang pribadi yang masih dalam hubungan keluarga sedarah dalam garis keturunan lurus satu
derajat ke atas atau satu derajat ke bawah dengan pemberi hibah wasiat, termasuk suami/istri,
Nilai Perolehan Objek Pajak Tidak Kena pajak ditetapkan secara regional paling banyak Rp
300.000.000,00 (tiga ratus juta rupiah). Besarnya NPOPTKP dapat diubah dengan Peraturan
UNIBA | Perpajakan Anjar Wibisono
122
123
ekonomi
dan
moneter
serta
Tarif pajak
Besarnya tarif pajak ditetapkan sebesar 5% (lima Persen).
CARA MENGHITUNG BPHTB
BPHTB = Nilai Perolehan Objek Pajak Kena Pajak x Tarif
= (NPOP NPOPTKP) x 5%
Contoh:
Tuan Budi membeli tanah dan bangunan dengan Nilai Perolehan Objek Pajak Rp 70.000.000,00.
Sedangkan Nilai Perolehan Objek Pajak Tidak Kena Pajak yang berlaku di Kabupaten/Kota
tersebut Rp 60.000.000,00.
Nilai Perolehan Objek Pajak
Nilai Perolehan Objek Pajak Tidak kena pajak
Nilai Perolehan objek Pajak kena Pajak
BPHTB yang terutang = Rp 10.000.000,00 x 5%
Rp 70.000.000,00
60.000.000,00
Rp 10.000.000,00
= Rp 500.000,00
124
124
125
Contoh:
Tuan Adi memperoleh tanah dan bangunan yang terletak di Kabupaten Sukamaju pada
tanggal 29 Maret 2005 dengan Nilai Perolehan Objek Pajak Rp 240.000.000,00. Nilai
Perolehan objek Pajak Tidak kena pajak (NPOPTKP) untuk perolehan hak selain karena
waris atau hibah wasiat yang diterima orang pribadi yang masih dalam hubungan
keluarga sedarah dalam garis keturunan lurus satu derajat ke atas atau satu derajat ke
bawah dengan pemberi hibah wasiat, termasuk suami/istri, untuk Kabupaten Sukamaju
ditetapkan sebesar Rp 60.000.000,00
Nilai Perolehan Objek Pajak
Rp 240.000.000,00
Nilai Perolehan Objek Pajak Tidak Kena Pajak
60.000.000,00
Nilai perolehan Objek Pajak Kena Pajak Rp 180.000.000,00
BPHTB yang terutang
= Rp 180.000.000,00 x 5%
= Rp 9.000.000,00
Berdasarkan hasil pemeriksaan, ternyata ditemukan data yang belum lengkap yang
menunjukkan bahwa Nilai Perolehan Pajak sebenarnya adalah Rp 310.000.000,00. Oleh
karena itu diterbitkan SKBKB pada tanggal 30 Desember 2005. Besarnya BPHTB yang
terutang adalah sebagai berikut:
Nilai Perolehan Objek Pajak
Nilai Perolehan Objeka Pajak Tidak Kena Pajak
Nilai Perolehan Objek Pajak Kena Pajak
BPHTB yang seharusnya terutang =
Rp 250.000.000,00 x 5%
BPHTB yang telah dibayar
BPHTB yang kurang dibayar
Rp 310.000.000,00
60.000.000,00
Rp 250.000.000,00
= Rp 12.500.000,00
9.000.000,00
Rp 3.500.000,00
Sanksi adiministrasi berupa bunga dari 29 Maret 2005 sampai dengan 30 Desember 2005
= 10 bulan x 2% x Rp 3.500.000,00 = Rp 700.000,00
Jadi jumlah yang harus dibayar menurut SKBKB =
Rp 3.500.000,00 + Rp 700.000,00 = Rp 4.200.000,00
125
126
Pengertian
SKBKBT adalah surat ketetapan yang menentukan tambahan atas jumlah pajak yang telah
ditetapkan.
2.
Penerbitan SKBKBT
SKBKBT diterbitkan apabila ditemukan data baru dan atau data yang semula belum
terungkap yang menyebabkan penambahan jumlah pajak yang terutang setelah
diterbitkannya SKBKB.
SKBKBT dapat diterbitkan oleh Direktur Jenderal Pajak dalam jangka waktu 5 tahun
sesudah saat terutangnya pajak.
3.
Sanksi SKBKBT
Jumlah kekurangan pajak yang terutang dalam SKBKBT ditambah dengan sanksi
administrasi berupa kenaikan sebesar 100% (seratus persen) dari jumlah kekurangan pajak
tersebut.
Contoh (berdasarkan data pada contoh sebelumnya)
Pada tahun 2006, dari hasil pemeriksaan atau keterangan lain diperoleh data baru bahwa
Nilai Perolehan Objek Pajak ternyata adalah Rp 360.000.000,00, maka BPHTB yang
terutang adalah sebagai berikut:
Nilai Perolehan Objek Pajak
Nilai Perolehan Objek Pajak Tidak Kena Pajak
Nilai Perolehan objek Pajak kena Pajak
BPHTB yang seharusnya terutang =
Rp 300.000.000,00 x 5%
BPHTB yang telah dibayar
BPHTB yang kurang dibayar
Rp 360.000.000,00
60.000.000,00
Rp 300.000.000,00
Rp 15.000.000,00
12.500.000,00
Rp 2.500.000,00
Pengertian
STB adalah surat untuk melakukan tagihan pajak dan atau sanksi administrasi berupa bunga
dan atau denda.
126
127
2.
Penerbitan STB
STB diterbitkan apabila:
a. Pajak yang terutang tidak atau kurang dibayar
b. Dari hasil pemeriksaan Surat Setoran Bea Perolehan Hak atas Tanah dan Bangunan
(SSB) terdapat kekurangan pembayaran pajak sebagai akibat salah tulis dan atau salah
hitung.
c. Wajib Pajak dikenakan sanksi administrasi berupa bunga dan atau denda.
3.
Sanksi STB
Jumlah pajak yang terutang yang tidak atau kurang dibayar dalam STB sebagaimana
dimaksud dalam poin 2a dan 2b ditambah sanksi administrasi berupa bunga sebesar 2% (dua
persen) sebulan untuk jangka waktu paling lama 24 (dua puluh empat) bulan sejak saat
terutangnya pajak. Sedangkan untuk poin 2c tidak ditambah sanksi karena tidak ada sanksi
atas sanksi.
Kekuatan Hukum STB
STB mempunyai kekuatan hukum yang sama dengan Surat Ketetapan Pajak, sehingga
penagihannya dapat dilanjutkan dengan Surat Paksa.
4.
127
128
128
129
Pengembalian kelebihan pembayaran pajak dilakukan dalam jangka waktu paling lama 2 (dua)
bulan sejak diterbitkannya SKBLB. Apabila pengembalian kelebihan pembayaran pajak
dilakukan setelah lewat jangka waktu 2 (dua) bulan, Direktur Jenderal Pajak memberikan
imbalan bunga 2% (dua Persen) sebulan.
KETENTUAN BAGI PEJABAT
Yang termasuk dalam pengertian pejabat adalah:
1. Pejabat Pembuat Akta Tanah (PPAT) / Notaris
2. Pejabat Lelang Negara
3. Pejabat yang berwenang menandatangani dan menerbitkan surat keputusan pemberian
hak atas tanah
4. Pejabat Pertanahan kabupaten/Kota
Untuk pejabat-pejabat tersebut berlaku ketentuan-ketentuan sebagai berikut:
1. PPAT/Notaris hanya dapat menandatangani akta pemindahan hak atas tanah dan atau
bangunan pada saat Wajib Pajak menyerahkan bukti pembayaran pajak berupa Surat
Setoran Bea Perolehan Hak atas Tanah dan Bangunan. Bagi pejabat yang melanggar
ketentuan ini dikenakan sanksi administrasi dan denda sebesar Rp 7.500.000,00 (tujuh
juta lima ratus ribu rupiah) untuk setiap pelanggaran.
2. Pejabat Lelang Negara hanya dapat menandatangani risalah lelang perolehan hak atas
tanah dan atau bangunan pada saat Wajib Pajak menyerahkan bukti pembayaran pajak
berupa Surat Setoran Bea Perolehan Hak atas Tanah dan Bangunan. Bagi pejabat yang
melanggar ketentuan ini dikenakan sanksi administrasi dan denda sebesar Rp
7.500.000,00 (tujuh juta lima ratus ribu rupiah) untuk setiap pelanggaran.
3. Pejabat yang berwenang menandatangani dan menerbitkan surat keputusan pemberian
hak atas tanah hanya dapat menandatangani dan menerbitkan surat keputusan dimaksud
pada saat wajib pajak menyerahkan bukti pembayaran pajak berupa Surat Setoran Bea
Perolehan Hak atas Tanah dan Bangunan.
Pejabat yang berwenang menandatangani dan menerbitkan surat keputusan pemberian
hak atas tanah yang melanggar ketentuan ini dikenakan sanksi menurut Peraturan
Pemerintah Nomor 30 Tahun 1980 tentang Peraturan Disiplin Pegawai Negeri Sipil.
4. Terhadap pendaftaran peralihan hak atas tanah karena waris atau hibah wasiat hanya
dilakukan oleh Pejabat Pertanahan Kabupaten/Kota pada saat Wajib Pajak menyerahkan
bukti pembayaran pajak berupa Surat Setoran Bea Perolehan Hak atas Tanah dan
Bangunan. Bagi pejabat yang melanggar ketentuan ini dikenakan sanksi menurut
ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku.
5. PPAT/Notaris dan Pejabat Lelang Negara melaporkan pembuatan akta atau risalah lelang
perolehan hak atas tanah dan atau bangunan kepada Direktorat Jenderal Pajak selambatlambatnya pada tanggal 10 bulan berikutnya. Misalnya, semua peralihan hak pada bulan
Januari 2002 harus dilaporkan selambat-lambatnya tanggal 10 Februari 2002. Bagi
PPAT/Notaris yang melanggar ketentuan ini dikenakan sanksi administrasi dan denda
sebesar Rp 250.000,00 (dua ratus lima puluh ribu rupiah) untuk setiap laporan.
129
130
130