Eksi4202 M1 PDF
Eksi4202 M1 PDF
Eksi4202 M1 PDF
Pengantar Perpajakan
Dr. H. Heru Tjaraka, M.Si., Ak.
PEN D A HU L UA N
M odul ini merupakan modul pertama dari sembilan modul yang akan
membahas tentang dasar-dasar perpajakan sebagai batu loncatan ke
arah pembahasan yang lebih mendalam.
Kegiatan Belajar 1 ini berisi tentang sejarah pemungutan pajak,
pengertian pajak secara umum dan perbedaannya dengan pungutan lainnya
seperti retribusi, iuran serta sumbangan, fungsi pajak, yaitu fungsi budgetair
dan fungsi regulerend, teori pembenaran atas pemungutan pajak kepada
rakyatnya, asas pemungutan pajak, jenis-jenis pajak serta sistem pemungutan
pajak.
Kegiatan Belajar 2 berisi tentang tarif pajak yang merupakan salah satu
alat atau variabel utama dalam pemungutan pajak. Tarif pajak tersebut
dibedakan menjadi 4 macam. Selain itu juga dibahas tentang sistem tarif,
yang mana akan dibedakan menjadi 2 macam.
Kegiatan Belajar 3 berisi tentang utang pajak, yang meliputi saat
timbulnya utang pajak, penagihan utang pajak, cara pengenaan pajak, dan
berakhirnya utang pajak.
Kegiatan Belajar 4 berisi tentang sejarah ditetapkan dan dipungutnya
zakat bagi umat Islam, serta dasar pemungutan zakat dan pajak. Dasar
pemungutan zakat adalah Al Qur’an dan Hadist. Sedangkan dasar
pemungutan pajak adalah undang-undang. Perbedaan objek zakat dan objek
pajak menurut undang-undang perpajakan serta tarif yang dikenakan akan
dibahas juga dalam kegiatan belajar ini.
Setelah mempelajari dan menyelesaikan modul ini, Anda diharapkan
dapat menjelaskan tentang dasar-dasar perpajakan secara umum.
Secara khusus setelah mempelajari modul ini, diharapkan Anda mampu:
1. menjelaskan sejarah pemungutan, pengertian dan fungsi pajak secara
umum;
1.2 Hukum Pajak
Kegiatan Belajar 1
sendiri atau dari luar organisasi, seperti misalnya sponsor, sumbangan atau
bantuan.
Negara merupakan organisasi yang besar. Setiap negara pasti
mempunyai tujuan tertentu, misalnya ingin menyejahterakan rakyatnya.
Negara dalam menyelenggarakan pemerintahan mempunyai kewajiban untuk
menjaga kepentingan rakyatnya, untuk kepentingan tersebut negara
memerlukan dana. Dana yang akan dikeluarkan ini didapat dari rakyat itu
sendiri melalui pemungutan yang disebut dengan pajak.
Untuk mengetahui arti pajak, berikut ini ada beberapa pendapat yang
membahas tentang pengertian pajak, yaitu:
1. Prof. Dr. Rochmat Soemitro, S.H. (1992) menyatakan bahwa “Pajak
ialah iuran rakyat kepada kas negara berdasarkan undang-undang (yang
dapat dipaksakan) dengan tiada mendapat jasa timbal balik
(kontraprestasi) yang langsung dapat ditunjuk dan yang digunakan untuk
membayar pengeluaran umum”.
Dengan istilah “iuran wajib” maka pajak bukan paksaan yang dipungut
dari Wajib Pajak atau pengusaha, tetapi pembayaran pajak merupakan
kewajiban dan penuh kesadaran sebagai warga negara. Undang-undang
Nomor 6 Tahun 1983 yang telah diubah terakhir dengan Undang-undang
Nomor 28 Tahun 2007 tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara
Perpajakan menyatakan bahwa setiap Wajib Pajak mempunyai hak dan
kewajiban dalam bidang perpajakan. Di samping itu, fiskus (pemerintah)
juga mempunyai kewenangan dan kewajiban di dalam bidang
perpajakan.
Retribusi yang dipungut oleh pemerintah Indonesia sekarang ini diatur dalam
Undang-undang Nomor 19 Tahun 1997 sebagaimana yang telah diubah
dengan Undang-undang Nomor 34 Tahun 2000 tentang Pajak Daerah dan
Retribusi Daerah.
Selain itu ada pungutan lainnya yaitu iuran. Iuran adalah pungutan yang
dilakukan oleh negara sehubungan dengan penggunaan jasa-jasa atau fasilitas
yang disediakan oleh negara untuk sekelompok orang. Di sini nyata-nyata
bahwa kelompok pembayar akan mendapat jasa secara langsung
(kontraprestasi langsung) dari negara. Contoh: iuran televisi
Penerimaan pemerintah yang lain di samping pajak dan retribusi ialah
bea dan cukai. Bea terdiri bea masuk dan bea keluar, yaitu bea yang dipungut
atas jumlah harga barang tertentu yang dimasukkan ke dalam daerah pabean
atau yang dikirim ke luar daerah pabean. Cukai ialah pungutan yang
dikenakan atas barang tertentu yang ditetapkan oleh Menteri Keuangan,
misalnya cukai minuman keras, dan cukai rokok.
EKSI4202/MODUL 1 1.9
C. FUNGSI PAJAK
Apabila dilihat dari lima unsur yang melekat pada pengertian pajak
tersebut mempunyai kesan seolah-olah pemerintah memungut pajak hanya
untuk memperoleh dana atau uang guna membiayai pengeluaran-pengeluaran
pemerintah, yaitu baik pengeluaran rutin maupun pengeluaran pembangunan.
Hal itu tampak pada APBN tahun 2001 sekarang, bahwa penerimaan pajak
mengalami peningkatan secara signifikan. Sebagai contoh, penerimaan pajak
tahun 2001-2004 sekitar Rp185,3 triliun; Rp216,8 triliun; Rp247,3 triliun dan
Rp272,1 triliun. Adapun angka tax ratio untuk tahun 2001-2004 juga
mengalami peningkatan yang signifikan yaitu 12,6%; 12,8%; 13,8% dan
13,6%. Fungsi pajak tersebut di atas disebut fungsi Budgetair. Jadi, fungsi
Budgetair adalah fungsi pajak sebagai alat penerimaan negara yang akan
digunakan untuk membiayai pengeluaran-pengeluaran negara pada
waktunya.
Sedangkan fungsi pajak yang lain tidak kalah pentingnya ialah fungsi
Regulerend (fungsi mengatur), yaitu fungsi pajak sebagai alat untuk
mengatur masyarakat baik dalam bidang ekonomi, sosial maupun politik.
Contoh:
1. Pemerintah ingin meningkatkan investasi di daerah tertentu baik yang
berasal dari dalam negeri maupun dari investor asing dengan
memberikan insentif pajak seperti: penyusutan dipercepat, dan jangka
waktu kompensasi kerugian fiskal yang lebih lama.
2. Pemerintah ingin melindungi produksi dalam negeri, misalnya gula
impor dikenakan bea masuk yang tinggi untuk melindungi gula produk
dalam negeri.
3. Pemerintah ingin meningkatkan ekspor non migas maka PPN atas ekspor
barang dikenakan tarif 0% (nol persen).
1. Teori Asuransi
Negara dalam melaksanakan tugasnya mencakup pula tugas melindungi
jiwa raga dan harta benda perseorangan. Negara bekerja sebagai perusahaan
asuransi untuk perlindungan warga negara yang membayar premi pada
negara dalam bentuk pajak.
Teori ini tidak sesuai lagi dan sekarang tidak ada penghalang. Tidak
sesuai dengan kenyataan, misalnya jika orang dibunuh maka negara tidak
akan mengganti kerugian seperti halnya dalam asuransi. Lagi pula tidak ada
hubungan langsung antara pembayaran pajak dan nilai badan manusia.
2. Teori Kepentingan
Menurut teori ini pajak mempunyai hubungan dengan kepentingan
individu yang diperoleh dari kekayaan negara. Makin banyak individu
mengenyam atau menikmati jasa dari pekerjaan pemerintah maka besar juga
pajaknya. Teori ini meskipun masih berlaku pada retribusi namun sukar pula
dipertahankan, sebab seorang miskin dan pengangguran yang memperoleh
bantuan dari pemerintah menikmati banyak sekali jasa dari pekerjaan negara,
tetapi mereka bahkan dibebaskan membayar pajak.
Contoh:
Pak Bejo mendirikan usaha penjahitan di Jl. Abimanyu No. 5 Surabaya
dengan status K/3. Ia sudah kawin mempunyai tanggungan 3 anak. Pada
tahun 2007 penghasilan netonya sebesar Rp 18.000.000,00, sedangkan Cak
Slamet juga mendirikan usaha penjahitan di Jl. Abimanyu No. 6 Surabaya
dengan status TK/0. Ia tidak kawin dan tidak mempunyai tanggungan,
sedangkan penghasilan neto tahun 2007 juga sama, yaitu Rp 18.000.000,00.
Pak Bejo maupun Cak Slamet keduanya mempunyai penghasilan neto
pada tahun 2007 dengan jumlah yang sama, yaitu Rp 18.000.000,00. Karena
statusnya berbeda dan kemampuan berbeda maka daya pikulnya juga
berbeda. Pak Bejo tidak mampu membayar pajak karena penghasilan neto
lebih kecil dari PTKP, sedangkan Cak Slamet mampu membayar pajak
karena daya pikulnya lebih kecil.
dan rakyat harus membayar pajak sebagai tanda baktinya kepada negara
(pemerintah). Hal ini mengarahkan bahwa pajak merupakan kewajiban
sukarela bagi masyarakat yang mutlak harus dilaksanakan, agar pemerintah
dapat menjalankan tugas untuk menyelenggarakan kepentingan umum,
sehingga diperlukan adanya kesadaran masyarakat dalam membayar pajak
pada negara.
3. Pajak hendaknya dipungut pada saat yang paling baik bagi para Wajib
Pajak, yaitu saat sedekat mungkin dengan detik diterimanya penghasilan
yang bersangkutan (convenience of payment).
4. Asas efisiensi menetapkan bahwa pemungutan pajak hendaknya
dilakukan sehemat mungkin jangan sekali-kali biaya pemungutan
melebihi pemasukan pajaknya (economic of collections).
F. JENIS PAJAK
3. Withholding System
Merupakan suatu sistem pemungutan pajak yang dilakukan oleh pihak
ketiga, baik penghitungan, penyetoran, dan pelaporan pajaknya kepada
fiskus. Jadi, Wajib Pajak hanya menerima tanda bukti pemungutan/
pemotongan pajak saja, sedangkan aparat pajak (fiskus) hanya mengawasi
kegiatan pemungutan/pemotongan yang dilakukan oleh pihak ketiga. Contoh
sistem pemungutan pajak ini terdapat pada pemotongan PPh Pasal 21/26, PPh
Pasal 23/26, dan pemungutan PPh Pasal 22.
Penggunaan ketiga sistem pemungutan pajak tersebut di Indonesia
adalah diawali dengan penggunaan official assessment system yang berakhir
tahun 1967, kemudian tahun 1968–1983 menggunakan sistem semi self
assessment system dan withholding system. Akhirnya, tahun 1984
ditetapkannya self assessment system secara penuh dalam sistem pemungutan
pajak di Indonesia, yaitu dengan disahkan Undang-undang Nomor 6 Tahun
1983 tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan (UU KUP) yang
berlaku sejak 1 Januari 1984 dan telah diubah terakhir dengan Undang-
undang Nomor 28 Tahun 2007.
LAT IH A N
4) Penghasilan Tidak Kena Pajak adalah Biaya hidup yang mendasar atau
minimal. Perhitungan besarnya PTKP Wajib Pajak Cak Yunus (K/2)
tahun 2009 sesuai dengan ketentuan pasal 7 Undang-undang Nomor 17
Tahun 2000 sebagaimana telah diubah dengan Undang-undang Nomor
36 Tahun 2008 adalah:
a) Wajib Pajak : Rp 15.800.000,00.
b) Wajib Pajak kawin : Rp 1.320.000,00
c) Tanggungan keluarga 2 orang : Rp 2.640.000,00 +
Jumlah Rp 19.760.000,00
5) Penggunaan ketiga sistem pemungutan pajak di Indonesia adalah diawali
dengan penggunaan official assessment system yang berakhir tahun
1967, kemudian tahun 1968–1983 menggunakan sistem semi self
assessment system dan withholding system. Akhirnya, tahun 1984
ditetapkannya self assessment system secara penuh dalam sistem
pemungutan pajak di Indonesia, yaitu dengan disahkan Undang-undang
Nomor 6 Tahun 1983 tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara
Perpajakan (UU KUP) yang berlaku sejak 1 Januari 1984 dan telah
diubah terakhir dengan Undang-undang Nomor 28 Tahun 2007.
R A NG KU M AN
Pungutan pajak pada mulanya merupakan suatu upeti (pemberian
secara cuma-cuma) namun sifatnya merupakan suatu kewajiban yang
dapat dipaksakan yang harus dilakukan oleh rakyat kepada raja atau
penguasa. Rakyat saat itu memberikan upetinya kepada raja atau
penguasa berupa natura misalnya padi, ternak atau hasil tanaman lainnya
seperti pisang, kelapa; dan lain-lain. Pemberian yang dilakukan rakyat
saat itu digunakan untuk kepentingan raja atau penguasa setempat.
Sedangkan imbalan atau prestasi yang dikembalikan kepada rakyat tidak
ada, oleh karena memang sifatnya hanya untuk kepentingan sepihak dan
seolah-olah ada tekanan secara psikologis karena kedudukan raja yang
lebih tinggi status sosialnya dibandingkan rakyat.
Namun, dalam perkembangannya, sifat upeti yang diberikan oleh
rakyat tidak lagi hanya untuk kepentingan raja saja, tetapi sudah
mengarah kepada kepentingan rakyat itu sendiri.
Dengan adanya perkembangan di masyarakat, maka sifat upeti
(pemberian) yang semula dilakukan cuma-cuma dan sifatnya memaksa
tersebut, kemudian dibuat suatu aturan-aturan yang lebih baik agar
sifatnya yang memaksa tetap ada, namun unsur keadilan lebih
EKSI4202/MODUL 1 1.21
TES F OR M AT IF 1
3) “Pajak adalah iuran wajib, berupa uang atau barang yang dipungut oleh
penguasa berdasarkan norma-norma hukum guna menutup biaya
produksi barang-barang dan jasa kolektif dalam mencapai kesejahteraan
umum”, pendapat tentang definisi pajak tersebut dari ....
A. Dr. Soeparman Soemihamidjaja
B. Prof. Dr. Rochmat Soemitro, S.H.
C. Prof. Dr. P. J. A. Adriani
D. R. Santoso Brotodiharjo, S.H.
7) Besarnya PTKP Pak Tjandra (K/3) untuk tahun pajak 2009 adalah ....
A. Rp 21.120.000,00
B. Rp 18.000.000,00
C. Rp 16.800.000,00
D. Rp 8.640.000,00
8) Pajak hendaknya dipungut pada saat yang paling baik/tepat bagi Wajib
Pajak. Pernyataan ini sesuai dengan asas pemungutan pajak ....
A. Equality
B. Certainty
C. Convenience of Payment
D. Economic of Collection
Kegiatan Belajar 2
Tarif Pajak
A. TARIF PAJAK
1. Tarif Tetap
Tarif tetap adalah tarif pajak yang jumlah nominalnya (jumlah rupiah
yang dibayar) tetap meskipun dasar pengenaan pajaknya (objek) berubah
sehingga jumlah pajak yang terutang tetap.
Tarif ini diterapkan dalam Undang-undang Nomor 13 tahun 1985
tentang Bea Meterai (BM). Dalam UU BM tersebut, tarif yang digunakan
adalah BM dengan nilai nominal sebesar Rp 500,00 dan Rp 1.000,00. Nilai
nominal dalam perkembangannya selalu berubah-ubah. Berdasarkan PP RI
Nomor 7 tahun 1995 tarif BM tersebut dinaikkan menjadi Rp 1.000,00 dan
Rp 2.000,00, yang selanjutnya dengan PP RI Nomor 24 tahun 2000, tarifnya
dinaikkan lagi menjadi Rp 3.000,00 dan Rp 6.000,00 dan tarif ini berlaku
sampai sekarang. Selain itu, cek dan Bilyet Giro, berapa pun nilai
nominalnya dikenakan Rp 6.000,00.
1.26 Hukum Pajak
Tabel 1.1.
Tarif Bea Meterai Cek dan Bilyet Giro
Tabel 1.2.
Tarif PPN
3. Tarif Progresif
Tarif progresif, yaitu tarif pajak yang persentasenya semakin meningkat
seiring dengan meningkatnya dasar pengenaan pajak atau sebaliknya,
menurut Erly Suandy (2000) dalam buku “Hukum Pajak” tarif progresif
dibedakan menjadi 3 (tiga), yaitu:
a. tarif progresif – proporsional;
b. tarif progresif – progresif;
c. tarif progresif – degresif.
a. Tarif progresif-proporsional
Tarif progresif-proporsional adalah tarif pajak yang persentasenya
semakin besar jika dasar pengenaan pajaknya meningkat dan besarnya
peningkatan dan tarifnya sama besar. Jumlah pajak terutang akan berubah
sesuai dengan perubahan tarif dan perubahan dasar pengenaannya. Tarif
progresif-proporsional dapat dibagi menjadi 2 (dua), yaitu tarif proporsional
absolut dan tarif progresif proporsional berlapisan.
Contoh:
Tabel 1.3.
Tarif Progresif Proporsional Absolut
Contoh:
Tabel 1.4.
Tarif Progresif-Proporsional Berlapisan
Tabel 1.5.
Tarif PPh Pasal 17 UU Nomor 36 Tahun 2008
Selain itu juga tarif tersebut diterapkan dalam ketentuan pasal 17 UU Nomor
36 Tahun 2008 tentang Pajak Penghasilan, khususnya untuk Wajib Pajak
orang pribadi. Besar lapisan penghasilan kena pajak dan tarif pajaknya dapat
dilihat pada Tabel 1.6.
Tabel 1.6.
Tarif PPh WP Orang Pribadi
Contoh:
Pak Nugroho telah terdaftar sebagai seorang Wajib Pajak, pada tahun
2009 Penghasilan Kena Pajak (PKP) sebesar Rp 200.000.000,00. Berapakah
jumlah PPh terutang Pak Nugroho pada tahun 2009?
EKSI4202/MODUL 1 1.29
Perhitungan:
Pajak Penghasilan tahun 2009 sebesar:
Rp 50.000.000,00 5% = Rp 1.250.000,00
Rp 50.000.000,00 15% = Rp 7.500.000,00
Rp100.000.000,00 25% = Rp 25.000.000,00
Jumlah Pajak Terutang Rp 36.250.000,00
Contoh:
Tabel 1.7.
Tarif Progresif-progresif Absolut
Contoh:
Tabel 1.8.
Tarif Progresif-progresif Berlapisan
Tabel 1.9.
Tarif PPh Pasal 17 UU Nomor 10 Tahun 1994
Selain itu, tarif pajak tersebut juga diterapkan pada Tarif Pasal 17 Undang-
undang Nomor 17 Tahun 2000 tentang Pajak Penghasilan khususnya Wajib
Pajak Badan dan BUT. Adapun besar lapisan penghasilan kena pajak dan
tarif pajaknya dapat dilihat pada Tabel 1.10. Besar atau kecilnya jumlah
pajak yang harus dibayar (terutang) oleh Wajib Pajak tergantung dari
kenaikan tarif dan besarnya jumlah yang dijadikan dasar pengenaan pajak.
Tabel 1.10.
Tarif PPh WP Badan dan BUT
Contoh:
PT. HERFAN adalah Wajib Pajak Badan. Penghasilan Kena Pajak selama
tahun 2007 adalah sebesar Rp 75.000.000,00. Berapakah jumlah PPh terutang
PT HERFAN tahun 2007?
EKSI4202/MODUL 1 1.31
Perhitungan:
Pajak penghasilan tahun 2007 sebesar:
Rp 50.000.000,00 10% = Rp 5.000.000,00
Rp 25.000.000,00 15% = Rp 3.750.000,00
Rp 8.750.000,00
Contoh:
Tabel 1.11.
Tarif Progresif-Degresif Absolut
Tabel 1.12.
Tarif Progresif-Degresif Berlapisan
Dasar
Tarif Peningkatan
Pengenaan Jumlah Pajak
Pajak Pajak
Pajak
Rp 1.000.000,00 10% - Rp 100.000,00 = 1.000.000 10%
Rp 2.000.000,00 25% 15% Rp 350.000,00 = (1.000.000 10%)
+ (1.000.000 25%)
Rp 3.000.000,00 35% 10% Rp 700.000,00 = (1.000.000 10%)
+ (1.000.000 25%) + (1.000.000 35%)
Rp 1.100.000 = (1.000.000 10%)
Rp 4.000.000,00 40% 5%
+ (1.000.000 25%) + (1.000.000 35%)
+ (1.000.000 40%)
4. Tarif Degresif
Tarif degresif adalah tarif pajak yang persentasenya semakin kecil jika
dasar pengenaan pajaknya meningkat atau sebaliknya. Secara teoretis tarif
pajak degresif ini dibenarkan tujuannya untuk meningkatkan
pertumbuhannya ekonomis setiap Wajib Pajak akan berlomba-lomba
meningkatkan penghasilannya. Dengan penghasilan yang meningkat
persentase tarif pajaknya akan menurun. Akan tetapi, tarif pajak degresif ini
tidak memenuhi asas-asas keadilan sehingga belum pernah dilaksanakan.
Tabel 1.13.
Tarif PPh WP Badan-Degresif
Contoh:
PT. OPAT DUTA merupakan Wajib Pajak Badan. Selama tahun 2008
penghasilan kena pajak dari usahanya sebesar Rp 450.000.000,00. Berapakah
besarnya PPh terutang dari PT. OPAT DUTA tahun 2008?
B. SISTEM TARIF
Setiap negara akan menentukan sendiri sistem tarif pajak yang akan
diterapkan di negaranya masing-masing. Di Indonesia, untuk tarif Pajak
Penghasilan menggunakan tarif progresif, Pajak Pertambahan Nilai, Pajak
Bumi dan Bangunan, serta Bea Perolehan Hak atas Tanah dan Bangunan
menggunakan tarif proporsional, dan lain-lain.
Dalam bea cukai diterapkan tarif tetap atau tarif proporsional. Ada tarif
yang disebut tarif ad valorem dan tarif spesifik. Di samping itu, tarif bea
masuk juga terikat pada perjanjian General Agreement on Trade and Tariffs
(GATT), suatu konvensi internasional. Di atas tarif yang ditentukan dalam
GATT itu masih ada tambahan-tambahan yang ditentukan oleh pemerintah
misalnya Bea Masuk Tambahan.
Tarif ad valorem adalah suatu tarif dengan persentase tertentu yang
diterapkan pada harga atau nilai barang. Contoh :
PT NITA mengimpor barang "X" sebanyak 200 unit dengan harga per unit
Rp 10.000.000,00, jika tarif bea masuk atas impor barang tersebut 20%, maka
besarnya bea masuk yang harus dibayar adalah:
Nilai barang impor = 200 x Rp 10.000.000,00 = Rp 2.000.000.000,00
Tarif = 20%
-------------------------
Bea masuk yang harus dibayar = Rp 400.000.000,00
Tarif spesifik, adalah tarif dengan suatu jumlah tertentu atas suatu jenis
barang tertentu, atau suatu satuan jenis barang tertentu.
1.34 Hukum Pajak
Contoh:
PT NISA mengimpor barang "Z" sebanyak 200 unit dengan dan harga per
unit Rp 10.000.000,00, jika tarif bea masuk atas impor barang tersebut Rp
5.000.000,00 per unit, maka besarnya bea masuk yang harus dibayar adalah:
Jumlah barang impor = 200 unit
Tarif = Rp 5.000.000,00
Bea masuk yang harus dibayar = Rp 1.000.000.000,00
LAT IH A N
R A NG KU M AN
Pemerintah dalam memungut pajak minimal harus ada 3 (tiga)
variabel penting, yaitu subjek pajak (siapa yang menanggung pajak),
objek pajak (apa yang dikenakan pajak), dan tarif pajak (berapa
besarnya). Jika salah satu tidak ada maka tidak mungkin pemerintah
dapat melakukan pemungutan pajak.
Penentuan tarif pajak merupakan salah satu alat pemerintah yang
digunakan untuk tujuan tertentu, yaitu sebagai dasar pemungutan pajak.
Tarif pajak dibedakan menjadi 4 (empat) yaitu:
1. tarif tetap;
2. tarif proporsional;
3. tarif progresif;
4. tarif degresif (regresif).
Setiap negara akan menentukan sendiri sistem tarif pajak yang akan
diterapkan di negaranya masing-masing. Di Indonesia, untuk tarif Pajak
Penghasilan menggunakan tarif progresif, Pajak Pertambahan Nilai,
Pajak Bumi dan Bangunan, serta Bea Perolehan Hak atas Tanah dan
Bangunan menggunakan tarif proporsional, dan lain-lain.
Dalam bea cukai diterapkan tarif tetap atau tarif proporsional. Ada
tarif yang disebut tarif ad valorem dan tarif spesifik. Di samping itu, tarif
bea masuk juga terikat pada perjanjian General Agreement on Trade and
Tariffs (GATT), suatu konvensi internasional. Di atas tarif yang
ditentukan dalam GATT itu masih ada tambahan-tambahan yang
ditentukan oleh pemerintah misalnya Bea Masuk Tambahan.
1.36 Hukum Pajak
TES F OR M AT IF 2
5) Tarif PPh Pasal 17 untuk Wajib Pajak Badan dan BUT dalam ketentuan
Undang-undang Nomor 17 tahun 2000 menggunakan jenis ....
A. tarif pajak progresif proporsional absolut
B. tarif pajak progresif proporsional berlapisan
C. tarif pajak progresif berlapisan
D. tarif pajak progresif absolut
EKSI4202/MODUL 1 1.37
9) PT. DOMAS mengimpor barang “S” sebanyak 300 unit dengan harga
per unit Rp 2.500.000,00. Jika tarif bea masuk atas impor barang tersebut
20% maka besarnya bea masuk yang harus dibayar adalah ....
A. Rp 750.000.000,00
B. Rp 150.000.000,00
C. Rp 15.000.000,00
D. Rp 7.500.000,00
10) Tarif dengan suatu jumlah tertentu atas suatu jenis barang tertentu, atau
suatu satuan jenis barang tertentu disebut dengan ....
A. tarif spesifik
B. tarif ad valorem
C. tarif proporsional
D. tarif tetap
1.38 Hukum Pajak
Kegiatan Belajar 3
Utang Pajak
senjata api. Sedangkan akibat “peristiwa”, seperti terjadi pada peralihan suatu
warisan yang ditinggalkan oleh orang yang bertempat tinggal di Indonesia.
Dengan timbulnya utang pajak mempunyai peranan yang menentukan
dalam:
1. pembayaran/penagihan pajak,
2. memasukkan surat kebenaran,
3. penentuan saat dimulai dan berakhirnya jangka waktu kadaluwarsa,
4. menerbitkan Surat Ketetapan Pajak Kurang Bayar, Surat Ketetapan
Pajak Kurang Bayar Tambahan.
Ada 2 ajaran atau pendapat mengenai saat timbulnya utang pajak, yaitu
ajaran material dan ajaran formal seperti berikut ini.
1. Ajaran Material
Utang pajak timbul karena ada undang-undang pajak dan
peristiwa/keadaan/ perbuatan (Tatbestand), serta tidak menunggu dari pihak
fiskus/penerima.
Sesuai dengan ajaran material ini, pajak penghasilan akan terutang pada:
a. suatu saat, untuk pajak penghasilan yang dipotong pihak ketiga;
b. akhir masa, untuk pajak penghasilan karyawan yang dipotong oleh
pemberi kerja atau oleh pihak lain atas kegiatan usaha;
c. akhir tahun pajak untuk pajak penghasilan.
2. Ajaran Formal
Utang pajak timbul karena ada ketetapan dari pihak pemungut pajak,
yaitu pemerintah atau aparatur pajak sehingga pajak terutangnya pada saat
diterbitkannya Surat Ketetapan Pajak (SKP).
Jadi, menurut ajaran formal Surat Ketetapan Pajak merupakan syarat
mutlak yang dapat menimbulkan utang pajak.
EKSI4202/MODUL 1 1.41
Jika jumlah utang pajak telah dinyatakan dalam SKP maka utang
tersebut harus dibayar dan dilunasi. Dalam pembayaran atau pelunasan utang
pajak apabila terjadi kemungkinan-kemungkinan Wajib Pajak tidak akan
membayar utang itu, tindakan yang diambil oleh pemerintah (fiskus) adalah
dengan cara penagihan utang pajak secara paksa.
Penagihan utang pajak ialah perbuatan yang dilakukan oleh Direktorat
Jenderal Pajak karena Wajib Pajak tidak mematuhi ketentuan undang-undang
pajak, khususnya mengenai pembayaran pajak yang terutang.
Penagihan tersebut, meliputi perbuatan pengiriman surat peringatan,
surat teguran, surat paksa, sita, lelang, sandera, kompensasi,
pemindahbukuan, pembayaran di muka, pembayaran tangguh, surat
keterangan fiskal, pencegahan kadaluwarsa, dan surat keterangan hipotik.
Tindakan penagihan pajak dapat dilakukan dengan 2 langkah sebagai
berikut.
1. Penagihan secara pasif adalah penagihan pajak dengan cara-cara:
a. memberikan peringatan berupa penyerahan Surat Tagihan Pajak
(STP), Surat Ketetapan Pajak Kurang Bayar (SKPKB), dan Surat
Ketetapan Pajak Kurang Bayar Tambahan (SKPKBT);
b. apabila belum berhasil dilanjutkan dengan “surat teguran”;
c. adanya cicilan pembayaran utang pajak apabila tidak ada maka
tindakan penagihan aktif akan dilakukan.
Surat paksa ialah surat perintah yang dikeluarkan oleh instansi yang
berwenang atas nama keadilan untuk membayar sejumlah uang yang
disebutkan dalam surat paksa tersebut dalam jangka waktu tertentu. Pasal 4
Undang-undang Nomor 19 Tahun 1959 yang berisi tentang ketentuan siapa
yang berwenang dalam mengeluarkan surat paksa, yaitu sebagai berikut.
1. Kepala Inspeksi Pajak yang bersangkutan (untuk pajak negara).
2. Kepala Daerah yang bersangkutan (untuk pajak daerah).
Apabila surat paksa tidak diperhatikan oleh Wajib Pajak dan utang pajak
belum dilunasi juga sampai batas waktu yang ditetapkan maka langkah
1.42 Hukum Pajak
1. Pelunasan/Pembayaran
Umumnya utang pajak berakhir dengan pembayaran ke kas negara atau
tempat lain yang ditunjuk oleh negara, yaitu oleh Menteri Keuangan, seperti
bank-bank pemerintah, serta kantor pos dan giro. Pembayaran dilakukan
dalam bentuk uang tunai.
2. Kompensasi (Pengimbangan)
Kompensasi merupakan cara berakhirnya utang pajak dengan
penghapusan utang pajak tersebut. Kompensasi dapat dilakukan atas
pembayaran dan atas kerugian. Kompensasi kerugian dimungkinkan jika
pada awal pendiriannya Wajib Pajak menderita kerugian. Kompensasi
kerugian tersebut bisa dibedakan menjadi 2 (dua) yaitu kompensasi kerugian
secara vertikal (rugi fiskal suatu tahun pajak dikompensasikan ke
penghasilan/laba fiskal tahun berikutnya dari sumber penghasilan yang sama)
dan kompensasi kerugian secara horizontal (rugi fiskal pada suatu tahun
pajak dikompensasikan dengan ke penghasilan/laba fiskal dari tahun pajak
yang sama dengan sumber penghasilan yang berbeda) Contoh kompensasi
kerugian fiskal secara horizontal yaitu rugi karena selisih kurs atau
pengalihan harta dikompensasikan dengan penghasilan/laba usaha pada tahun
pajak yang sama. Sedangkan kompensasi karena pembayaran dilakukan
apabila salah satu pihak mempunyai utang dan mempunyai tagihan kepada
pihak lain. Dalam Hukum Pajak, kompensasi pembayaran dapat dilakukan
1.44 Hukum Pajak
jika Wajib Pajak untuk satu jenis pajak mempunyai kelebihan pembayaran
pajak, sedangkan untuk lain jenis terdapat kekurangan pembayaran pajak.
Jadi, pada intinya kompensasi itu adalah pemindahan kelebihan pajak suatu
jenis pajak dengan menutup kekurangan utang pajak yang lain.
3. Penghapusan Utang
Dimungkinkan berakhirnya pajak melalui penghapusan terhadap
kewajiban pajak karena Wajib Pajak mengalami kebangkrutan sehingga
mengalami kesulitan keuangan. Untuk menentukan apakah seorang wajib
pajak pailit atau tidak diperlukan penyelidikan yang saksama oleh fiskus,
dengan tujuan nantinya tindakan fiskus dapat dipertanggungjawabkan.
5. Pembebasan
Pembebasan merupakan pengakhiran utang pajak yang dilakukan oleh
fiskus tanpa persetujuan pihak Wajib Pajak. Hal ini dilakukan jika ada
permohonan atau keadaan ekonomi Wajib Pajak yang mengalami
kemunduran keuangan atau Wajib Pajak tidak mempunyai harta lagi
berdasarkan surat keterangan dari Pemerintah Daerah setempat.
6. Penundaan Penagihan
Dengan cara ini, penagihan pajak terutang dapat ditunda dalam jangka
waktu tertentu. Jika Wajib Pajak ternyata mampu kembali untuk melunasi
utang pajaknya maka barulah ditagih. Jika tidak dapat ditagih maka barulah
dihapuskan pajaknya.
EKSI4202/MODUL 1 1.45
LAT IH A N
e) pembebasan;
f) Penundaan penagihan.
5) Penagihan utang pajak dengan menggunakan surat paksa dan dilanjutkan
dengan tindakan sita oleh juru sita.
R A NG KU M AN
Utang pajak timbul jika undang-undang yang menjadi dasar untuk
pungutannya telah ada dan telah dipenuhi syarat-syarat subjek serta
objektif, yang ditentukan oleh undang-undang secara bersama
(simultan). Syarat objektif dipenuhi apabila Tatbestand (keadaan yang
nyata) yang disebut oleh undang-undang dipenuhi. Tatbestand (Bahasa
Jerman) dapat berupa Perbuatan, Keadaan, atau Peristiwa.
Penagihan utang pajak ialah perbuatan yang dilakukan oleh
Direktorat Jenderal Pajak karena Wajib Pajak tidak mematuhi ketentuan
undang-undang pajak, khususnya mengenai pembayaran pajak yang
terutang. Penagihan tersebut meliputi perbuatan pengiriman surat
peringatan, surat teguran, surat paksa, sita, lelang, sandera, kompensasi,
pemindahbukuan, pembayaran di muka, pembayaran tangguh, surat
keterangan fiskal, pencegahan kadaluwarsa, dan surat keterangan
hipotik.
Cara pengenaan pajak kepada Wajib Pajak ada 3 (tiga) macam yang
dapat dilakukan, yaitu: (1) cara pengenaan di depan (stelsel fiksi), (2) cara
pengenaan di belakang (stelsel riil), dan (3) cara pengenaan campuran
(kombinasi antara stelsel fiksi dan stelsel riil).
Ada 4 cara yang mengakibatkan berakhirnya utang pajak, yaitu
pelunasan/pembayaran, kompensasi, pembebasan, dan penundaan.
TES F OR M AT IF 3
4) Utang pajak timbul bila dipenuhi syarat subjektif dan objektif. Syarat
objektif dapat terjadi apabila ....
A. regulerend dipenuhi
B. tatbestand dipenuhi
C. adanya certainty
D. tercipta efisiensi
6) Berikut ini adalah kegiatan yang termasuk dalam penagihan secara aktif,
yaitu ....
A. penerbitan Surat Paksa
B. penerbitan STP
C. penerbitan Surat Teguran
D. penyerahan SKPKB/SKPKBT
8) Dasar hukum dari penagihan pajak dengan Surat Paksa adalah ....
A. UU RI Nomor 17 Tahun 1997
B. UU RI Nomor 19 Tahun 1997
C. UU RI Nomor 20 Tahun 1997
D. UU RI Nomor 21 Tahun 1997
10) Menurut ajaran formal, utang pajak timbul karena ada ketetapan dari
pihak pemungut pajak, yaitu pemerintah atau aparatur pajak sehingga
pajak terutangnya pada saat diterbitkannya ....
A. Undang-undang pajak baru
B. Surat Ketetapan Pajak (SKP)
C. Surat Keberatan (Doelansi)
D. Surat Minta Banding
Kegiatan Belajar 4
umat Islam yang tinggal di daerah terkena kewajiban kharaj itu dikenai
kewajiban sekaligus, yaitu kewajiban zakat karena statusnya sebagai orang
Islam yang harus memenuhi tuntutan agama dan kewajiban kharaj sebagai
warga daerah yang harus membayar upeti kepada penguasa.
Namun, dengan argumentasi ini bukan berarti Islam menghendaki
dilakukannya pendikotomian antara “zakat” sebagai konsep keagamaan
(kerohanian), di satu pihak dan “pajak” sebagai konsep keduniaan
(kelembagaan) di lain pihak sebagaimana pernah diulas oleh Masdar F
Mas’udi.
Bahkan lebih jauh lagi, Islam menghendaki adanya dana jaminan sosial
selain zakat, seperti dimaksudkan oleh hadits Nabi itu. Memang alasan
Masdar tersebut cukup mendasar, yakni agar umat Islam tidak larut dalam
pemikiran dikotomi untuk selalu mempertentangkan sesuatu yang bersifat
duniawi dengan yang bersifat ukhrawi, antara persekutuan profan versus
persekutuan sakral; antara organisasi keduniaan versus organisasi keagamaan
dan seterusnya.
Oleh karena itu, penulis menyepakati diadakannya penyatuan
pengelolaan zakat dan pajak, tetapi bukan secara institusional, agar insiden
masa lalu yang menempatkan zakat terintegrasikan ke dalam wilayah
kekuasaan ulama dan pajak ke dalam kekuasaan negara, tidak terulang
kembali. Mengapa bukan secara institusional? Dalam hal ini kiranya kita
dapat menyimak argumentasinya Yusuf Qardlawi, Ibn Hajar Haitami, Ibn
Abidin, Rasyid Ridha, Syekh Syaltut dan Abu Zahrah yang menyatakan
bahwa upaya menyatukan institusi zakat ke dalam pajak sama halnya
menghendaki dihilangkannya salah satu syiar Islam karena zakat merupakan
salah satu pilar agama.
Lebih lanjut, M.A. Mannan juga pernah menyatakan bahwa prinsip-
prinsip zakat meliputi dasar-dasar yang lebih luas daripada pajak. Jika pajak
serta pungutan-pungutan lainnya hanya dikaitkan dengan tujuan-tujuan
ekonominya maka zakat sudah jelas dikenakan pada orang Islam untuk
melakukan tugas ekonomi, sosial dan moral.
Di samping argumentasi ini, penulis juga mempunyai beberapa catatan
tentang kelemahan alasan penyatuan institusi zakat dan pajak. Pertama, dari
segi jumlah yang dikeluarkan untuk pajak belum tentu sesuai dengan kadar
yang dituntut oleh agama dalam hal zakat. Seandainya kurang dari kadar
zakat berarti kewajiban mengeluarkan zakat belum terpenuhi. Kedua, dalam
menyerahkan harta zakat. Untuk terpenuhinya kewajiban, orang yang
EKSI4202/MODUL 1 1.51
Tuhan selain Allah dan Muhammad pesuruh Allah, (2) Menegakkan Shalat,
(3) Membayar Zakat, (4) Berpuasa pada bulan Ramadhan, dan (5) Menger-
jakan ibadah Haji bagi yang mampu”.
Oleh karena dasar pemungutan zakat adalah Alquran dan Hadist maka
yang tidak taat melaksanakannya berdosa dan berhak atas sanksi Allah nanti
di akhirat. Bagi seorang muslim (orang Islam) yang kurang kuat
keimanannya, cenderung tidak taat membayar zakat sehingga pada zaman
Khalifah Abu Bakar Shiddiq para penentang zakat disuruh/dipaksa untuk
membayar zakat.
Untuk pengelolaan zakat di Indonesia lebih lanjut diatur dalam UU
Nomor 38 Tahun 1999. Di dalam UU ini disebutkan tentang siapa saja yang
Wajib Zakat, Objek Zakat, keberadaan Badan Amil Zakat (BAZ) atau
Lembaga Amil Zakat (LAZ), serta sanksi-sanksi bagi pengelola zakat.
Objek zakat tidak sama dengan objek pajak, hal ini sesuai dengan
Undang-undang perpajakan di Indonesia. Objek zakat menurut UU Nomor 38
Tahun 1999 adalah merupakan harta kekayaan yang dimiliki seorang muslim
(beragama Islam) yang sudah sampai pada nisabnya maka ia wajib (fardhu)
mengeluarkan sebagian dari harta tersebut dan memberikannya kepada
orang-orang miskin atau mereka yang berhak menerimanya sesuai dengan
syariat Islam. Sebagian harta yang dikeluarkan itulah disebut zakat maal
(harta).
EKSI4202/MODUL 1 1.53
Penyelesaian:
Pada tahun 2009 Pak Kasno tidak wajib membayar pajak karena dia
mengalami kerugian, tetapi ia tetap wajib membayar zakat karena harta
yang dimilikinya masih di atas satu nisab. Pada tahun 2009 Pak Kasno
masih wajib membayar zakat, sebesar 2,5% (Rp 500.000.000,00 – Rp
100.000.000,00) = Rp10.000.000,00
EKSI4202/MODUL 1 1.55
Seseorang dapat membayar zakat lebih besar dari pajak yang harus di
bayar, seperti contoh berikut ini.
2. Pak Armanu pengusaha transportasi mempunyai 10 unit truk @ Rp
100.000.000,00 = Rp 1.000.000.000,00. Pada tahun 2008 kondisi
keamanan kurang kondusif dan usahanya hanya memperoleh laba bersih
Rp 20.000.000,00 (PKP). Berapakah pajak dan zakat yang harus dibayar
oleh Pak Armanu pada tahun 2008?
Penyelesaian:
Pajak penghasilan yang harus dibayar Pak Armanu adalah 5% Rp
20.000.000,00 = Rp 1.000.000,00. Sedangkan zakat yang harus dia bayar
pada tahun 2000 atas hartanya berupa 10 truk adalah sebesar 2,5% Rp
1.000.000.000,00 = Rp 25.000.000,00.
Atau bisa juga terjadi seseorang membayar pajak lebih besar dari zakat
yang harus dibayar, seperti contoh berikut ini.
3. Pak Samuji pengusaha mebel dengan modal sebesar Rp
1.000.000.000,00. Pada tahun 2008, mebelnya banyak laku terjual dibeli
oleh orang-orang asing sehingga Pak Samuji bisa memperoleh laba
bersih (PKP) pada tahun 2008 mencapai Rp 300.000.000,00. Berapakah
pajak dan zakat yang harus dibayar oleh Pak Samuji pada tahun 2008?
Penyelesaian:
Pajak penghasilan yang harus dibayar Pak Samuji adalah:
5% x Rp 25.000.000,00 = Rp 1.250.000,00
10% x Rp 25.000.000,00 = Rp 2.500.000,00
15% x Rp 50.000.000,00 = Rp 7.500.000,00
25% x Rp 100.000.000,00 = Rp 25.000.000,00
35% x Rp 100.000.000,00 = Rp 35.000.000,00
T o t a l = Rp 71.250.000,00
Sedangkan zakat yang harus dibayar hanya sebesar
= 2,5% Rp1.000.000.000,00 = Rp 25.000.000,00.
Dari ketiga contoh di atas dapat disimpulkan bahwa bisa terjamin jumlah
zakat yang terkumpul lebih besar dari penerimaan pajak karena pajak
dipungut dari laba bersih pada tahun yang bersangkutan, sedangkan
zakat tarifnya hanya 2,5% akan tetapi dasar perhitungannya adalah dari
1.56 Hukum Pajak
jumlah harta yang dimiliki oleh seorang yang wajib dizakatkan pada
tahun tersebut sehingga zakatnya lebih besar dari pajak yang harus dia
bayar.
LAT IH A N
1) Ya, karena pada waktu Nabi Muhammad SAW masih hidup, kewajiban
material yang harus dipikul oleh umat Islam hanya satu, yaitu zakat yang
ditetapkan berdasarkan wahyu Allah SWT. (Q.S. At-Taubah (9 : 29). Hal
ini kemungkinan terjadi karena kebutuhan finansial masyarakat Islam
waktu itu masih sangat sederhana sehingga dengan zakat dan jizyah itu
saja, segala kebutuhan negara dapat dipenuhi.
2) Dasar pemungutan zakat adalah Alquran dan Hadist, yaitu pada firman
Allah dalam Q.S. Al-Baqarah (2) : 43: “Dirikanlah shalat dan bayarkan
zakat dan rukuklah kamu bersama orang-orang yang rukuk.” dan hadist
Rasulullah SAW yang artinya : “Islam itu didirikan atas lima perkara: (1)
Bersaksi bahwa tidak ada Tuhan selain Allah dan Muhammad pesuruh
Allah, (2) Menegakkan Shalat, (3) Membayar Zakat, (4) Berpuasa pada
bulan Ramadhan, dan (5) Mengerjakan ibadah Haji bagi yang mampu”.
Maka, apabila ada yang tidak taat melaksanakannya akan berdosa dan
EKSI4202/MODUL 1 1.57
berhak atas sanksi Allah nanti di akhirat. Bagi seorang muslim (orang
Islam) yang kurang kuat keimanannya cenderung tidak taat membayar
zakat sehingga pada zaman Khalifah Abu Bakar Shiddiq para penentang
zakat disuruh/dipaksa untuk membayar zakat. Pengelolaan zakat di
Indonesia lebih lanjut diatur dalam UU Nomor 38 tahun 1999 berisi
tentang siapa saja yang Wajib Zakat, objek zakat, keberadaan Badan
Amil Zakat (BAZ) atau Lembaga Amil Zakat (LAZ), serta sanksi-sanksi
bagi pengelola zakat.
3) Tidak sama, Objek zakat menurut UU Nomor 38 Tahun 1999 adalah
harta kekayaan yang dimiliki seorang muslim (beragama Islam) yang
sudah sampai pada nisabnya maka, ia wajib (fardhu) mengeluarkan
sebagian dari harta tersebut yang disebut dengan zakat maal (harta).
Sedangkan objek pajak adalah sesuai dengan Pasal 4 Ayat (1) UU Pajak
Penghasilan tahun 2000 (UU Nomor 17 Tahun 2000) adalah
penghasilan, yaitu setiap tambahan kemampuan ekonomis yang diterima
atau diperoleh wajib pajak, baik yang berasal dari Indonesia maupun dari
luar Indonesia, yang dapat dipakai untuk konsumsi atau untuk
menambah kekayaan Wajib Pajak yang bersangkutan dengan nama dan
dalam bentuk apa pun. Jadi, jelas perbedaan objek zakat dan objek pajak
yang dalam perhitungannya pun berbeda.
4) UU Nomor 38 Tahun 1999, baca lebih lanjut UU tersebut.
5) Pada tahun 2009 Pak Herfan tidak wajib membayar pajak karena dia
mengalami kerugian, tetapi ia tetap wajib membayar zakat karena harta
yang dimilikinya masih di atas satu nisab.
Besar zakat yang harus dibayar pada tahun 2009 oleh Pak Herfan adalah:
= 2,5% (Rp 800.000.000,00 – Rp 120.000.000,00)
= 2,5% (Rp 680.000.000)
= Rp 15.000.000,00
R A NG KU M AN
Pada zaman Nabi Muhammad SAW masih hidup, kewajiban
material yang harus dipikul oleh umat Islam hanya satu, yaitu zakat yang
ditetapkan berdasarkan wahyu Allah SWT. Hal ini terjadi karena
kebutuhan finansial masyarakat Islam waktu itu masih sangat sederhana.
Upaya menyatukan institusi zakat ke dalam pajak sama halnya
menghendaki dihilangkannya salah satu syiar Islam karena zakat
merupakan salah satu pilar agama.
1.58 Hukum Pajak
Ada beberapa alasan penyatuan institusi zakat dan pajak, yaitu (1)
dari segi jumlah yang dikeluarkan untuk pajak belum tentu sesuai
dengan kadar yang dituntut oleh agama (2) dari segi menyerahkan harta
zakat harus memiliki niat berzakat dan diserahterimakan kepada
penerimanya atas nama zakat, serta (3) zakat yang diserahkan harus
didistribusikan kepada ashnaf yang disebut dalam Alquran.
Dasar pemungutan zakat adalah Alquran dan Hadist. Oleh karena
itu, apabila ada yang tidak taat melaksanakannya akan berdosa dan
berhak atas sanksi Allah nanti di akhirat. Untuk pengelolaan zakat di
Indonesia lebih lanjut diatur dalam UU Nomor 38 Tahun 1999.
Sedangkan pemungutan pajak harus didasarkan suatu undang-undang.
Asas ini dinyatakan dalam Pasal 23 Ayat (2) Undang-undang Dasar
1945. Bagi Wajib Pajak yang tidak mau membayar pajak dapat
dikenakan sanksi denda atau sanksi pidana sehingga orang takut tidak
membayar pajak. Pengaturan Pajak yang terkait dengan zakat adalah di
dalam UU PPh, yaitu UU Nomor 17 Tahun 2000.
Objek zakat menurut UU Nomor 38 Tahun 1999 adalah harta
kekayaan yang dimiliki seorang muslim (beragama Islam) yang sudah
sampai pada nisabnya, ia wajib (fardhu) mengeluarkan sebagian dari
harta tersebut yang disebut dengan zakat maal (harta). Sedangkan objek
pajak adalah sesuai dengan Pasal 4 Ayat (1) UU Pajak Penghasilan tahun
2000 adalah “penghasilan yaitu setiap tambahan kemampuan ekonomis
yang diterima atau diperoleh Wajib Pajak, baik yang berasal dari
Indonesia maupun dari luar Indonesia, yang dapat dipakai untuk
konsumsi atau untuk menambah kekayaan Wajib Pajak yang
bersangkutan dengan nama dan dalam bentuk apa pun”.
TES F OR M AT IF 4
3) Pada tahun 2007 Bapak Haji Mukmin memulai usaha tanaman hias
dengan modal awal sebesar Rp 50.000.000,00, akibat musim kemarau
yang berkepanjangan usaha Bapak Haji Mukmin mengalami kerugian,
banyak tanaman yang mati sebesar Rp10.000.000,00. Berapakah pajak
dan zakat yang terutang pada tahun 2007 ....
A. Pajak: Rp7.500.000,00, Zakat: Rp1.000.000,00.
B. Pajak: Rp6.000.000,00, Zakat: Rp1.250.000,00.
C. Pajak: Nihil, Zakat: Rp1.250.000,00.
D. Pajak: Nihil, Zakat: Rp1.000.000,00.
9) Bapak Haji Heru memiliki usaha dagang palen dengan modal sebesar Rp
600.000.000,00. Akibat kurs mata uang US dollar yang tidak stabil pada
tahun 2007, Bapak Haji Heru mengalami kerugian sebesar Rp
80.000.000,00. Pada tahun 2007, Bapak Haji Heru tidak wajib
membayar pajak karena dia mengalami kerugian. Berapakah zakat yang
harus dibayar oleh Bapak Haji Heru ....
A. Rp 6.000.000,00.
B. Rp 7.500.000,00.
C. Rp 13.000.000,00.
D. Rp 15.000.000,00.
Tes Formatif 4
1) C
2) C
3) D
4) D
5) A
6) A
7) A
8) C
9) C
10) B
EKSI4202/MODUL 1 1.63
Glosarium
Daftar Pustaka