Makalah Nutrasetikal

Unduh sebagai docx, pdf, atau txt
Unduh sebagai docx, pdf, atau txt
Anda di halaman 1dari 18

BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang


Osteoartritis (OA) merupakan penyakit sendi degeneratif yang paling umum
ditemukan dan dapat menyebabkan berbagai macam pengaruh pada kondisi
sosioekonomi, yang ditandai dengan perubahan kualitatif maupun kuantitatif pada
anatomi serta komposisi struktur sendi (Nagaoka, Igarashi, & Sakamoto, 2012).
Sekitar dua per tiga orang mengidap OA pada usia lebih dari 65 tahun, dengan
prevalensi pada pria 60,5% dan pada wanita 70,5% (Utami, Kalangi, & Pasiak, 2013).
Di Indonesia sendiri, prevalensi OA berkisar 15,5% pada pria dan 12,7% pada wanita
dari total populasi 255 juta jiwa (Ahmad, Rahmawati, & Wardhana, 2018).
Penyakit ini merupakan salah satu dari sepuluh penyakit yang paling banyak
menyebabkan disabilitas di negara berkembang (Ahmad et al., 2018). Penyakit ini
menyebabkan nyeri luar biasa sehingga mengakibatkan disabilitas dan berimbas pada
terganggunya kegiatan sehari-hari. Akibatnya, sebanyak 80% penderita mengalami
keterbatasan pergerakan dan 25% bahkan tidak dapat melanjutkan aktivitas normalnya
(World Health Organization, 2015). Pada tahun 2016, pasien OA dilaporkan berkisar
sekitar 300 juta jiwa, yang menyebabkan berkurangnya kualitas hidup serta
meningkatkan angka mortalitas (Şahin et al., 2019). Angka kejadian OA yang semakin
meningkat tiap tahunnya menyebabkan peningkatan beban kesehatan berdasarkan
Disability Adjusted Lost Years (DALY), yaitu sebanyak 44,2%. Pada tahun 2013,
didapatkan tingkat beban kesehatan OA yang diukur berdasarkan DALY per 100.000
populasi laki-laki dan perempuan mencapai puncak pada 1.327,4 tahun, sedangkan
lakilaki hanya 907,7 tahun (Soeryadi, Gessal, & Sengkey, 2017).
Timbulnya OA dikarenakan oleh degradasi matriks kartilago, sklerosis tulang
rawan, dan pembentukan osteofit, yang ketiga-tiganya terjadi secara progresif, di mana
prevalensi kerusakan sendi ini meningkat seiring dengan bertambahnya usia (Zhu, Sang,
Wu, Rong, & Jiang, 2018). Secara singkatnya, OA merupakan kondisi di mana terjadi
ketidakseimbangan antara sintesis dan degradasi, yang mengakibatkan proses
katabolisme proteoglikan di tulang rawan secara progresif (Utami et al., 2013).
Tatalaksana umum pada OA hanya meliputi terapi simtomatik, yang ditujukan
untuk mengurangi rasa nyeri. Obat-obatan yang dapat memperbaiki gejala klinis atau

1
DiseaseModifying Osteoarthritis Drugs (DMOADs) yaitu golongan analgesik dan Non-
Steroidal Anti-Inflammatory Drugs (NSAID).
Pengobatan OA tidak hanya bergantung pada pengobatan medikamentosa saja,
namun juga edukasi dan modifikasi gaya hidup, rehabilitasi medik dan bahkan tindak
operatif. Penatalaksanaan tersebut berguna untuk mengurangi rasa nyeri,
mempertahankan atau meningkatkan fungsi gerak sendi, mengurangi keterbatasan untuk
beraktivitas sehari-hari, serta meningkatkan kualitas hidup dan kemandirian penderita
OA (Indonesian Rheumatology Association, 2014).Terapi tunggal saja tidak efektif
dalam mengobati OA. Menurut Jackson et al. (2011), tatalaksana OA yang dipakai
dalam praktik klinis meliputi; (1) intervensi perilaku/edukasi; (2) pemberian analgesik
sederhana seperti parasetamol; (3) pemberian NSAID seperti golongan inhibitor COX-
2; (4) injeksi asam hyaluronat secara intra-artikular, dan; (5) Total joint replacement, di
mana sendi yang telah rusak akan diganti dengan sendi prostetik.
Dari sekian banyak pilihan, terapi yang paling sering digunakan adalah
pemberian antinyeri. Namun penggunaan obat-obat tersebut khususnya NSAID, dalam
jangka panjang akan menimbulkan efek samping yang tidak diharapkan, dari ringan
hingga berat. Penggunaan NSAID secara kronis dapat meningkatkan risiko ulkus
peptikum, gagal ginjal akut dan infark miokardium. Selain itu, penggunaan NSAID pun
dapat memperparah beberapa penyakit kronis seperti gagal jantung dan hipertensi, dan
juga dapat berinteraksi dengan obat-obat lain seperti warfarin dan kortikosteroid
(Marcum & Hanlon, 2010).
Meskipun terapi simtomatik juga penting, idealnya setiap penyakit memerlukan
terapi kausatif, di mana pada OA terapi yang diharapkan bertujuan untuk menjaga
struktur sendi atau bahkan mengembalikan struktur yang rusak seperti sedia kala. Maka
dari itulah, banyak peneliti yang melakukan penelitian mengenai terapi alternatif yang
memiliki efikasi tinggi serta toksisitas rendah. Salah satu golongan obat potensial yang
ideal dalam pengobatan OA ialah Symptomatic Slow Acting Drugs for Osteoarthritis
(SYSADOA) (Zhu et al., 2018).
Glukosamin merupakan salah satu monosakarida amino yang juga terdapat di
jaringan kartilago sebagai komponen glikosaminoglikan, yang berfungsi untuk
mempertahankan fleksibilitas, elastisitas serta pemeliharaan sendi. Di dalam sendi, sel-
sel sinovial memproduksi asam hyaluronat sebagai salah satu komponen
glikosaminoglikan pada cairan sinovial, sedangkan kondrosit memproduksi kondroitin

2
sulfat, keratan sulfat dan asam hyaluronat sebagai komponen matriks kartilago
(Nagaoka et al., 2012).
Glukosamin merupakan salah satu SYSADOA. Terlebih lagi, beberapa penelitian
mempertimbangkan bahwa senyawa ini memiliki potensi sebagai DMOAD,
berdasarkan pengukuran joint space narrowing pada hasil pemeriksaan radiografi (Zhu
et al., 2018). Karena itulah, banyak yang menduga bahwa glukosamin mungkin dapat
mempengaruhi produksi glikosaminoglikan oleh sel sinovial dan kondrosit, sehingga
dapat menghambat proses penghancuran kartilago yang terjadi pada OA. Namun,
kemaknaan klinis glukosamin terhadap tulang masih belum diketahui (Nagaoka et al.,
2012).
Karena memiliki potensi dalam pemeliharaan sendi, banyak yang menduga
bahwa suplemen glukosamin maupun dengan kandungan senyawa lainnya mampu
memperbaiki kondisi OA maupun mengurangi rasa nyeri pada sedi yang terkena.
Namun, banyak juga yang masih meragukan implikasi klinisnya dalam penatalaksanaan
OA. Penulisan literature review ini dilakukan karena masih belum banyak penelitian di
Indonesia yang bertujuan untuk menunjukkan pengaruh glukosamin terhadap OA dan
masih banyak yang meragukan implikasi klinis dari penambahan suplemen glukosamin
pada pasien OA.

1.2 Rumusan Masalah


1. Bagaimanakah penatalaksanaan terapi yang tepat pada penyakit osteoarthritis?
2. Bagaimanakah efektivitas penggunaan glukosamin sebagai nutrasetikal yang
berperan pada pengobatan osteoarthritis?
1.3 Tujuan Makalah
1. Untuk mengetahui penatalaksanaan terapi yang tepat pada penyakit
osteoarthritis.
2. Untuk mengetahui efektivitas penggunaan glukosamin sebagai nutrsetikal yang
berperan pada pengobatan osteoarthritis.

3
BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1. Osteoarthritis

2.1.1. Pengertian Osteoarthritis

Osteoartritis adalah gangguan pada sendi yang bergerak (Price dan Wilson,
2013). Disebut juga penyakit sendi degeneratif, merupakan ganguan sendi yang
tersering. Kelainan ini sering menjadi bagian dari proses penuaan dan merupakan
penyebab penting cacat fisik pada orang berusia di atas 65 tahun (Robbins, 2007). Sendi
yang paling sering terserang oleh osteoarthritis adalah sendi-sendi yang harus memikul
beban tubuh, antara lain lutut, panggul, vertebra lumbal dan sevikal, dan sendi-sendi
pada jari (Price dan Wilson, 2013).
Penyakit ini bersifat kronik, berjalan progresif lambat, tidak meradang, dan
ditandai oleh adanya deteriorasi dan abrasi rawan sendi dan adanya pembentukan tulang
baru pada permukaan persendian. Osteoarthritis adalah bentuk arthritis yang paling
umum, dengan jumlah pasiennya sedikit melampaui separuh jumlah pasien arthritis.
Gangguan ini sedikit lebih banyak pada perempuan daripada laki-laki (Price dan
Wilson, 2013). Hal yang sama juga ditemukan dalam penelitian Zhang Fu-qiang et al.
(2009) di Fuzhou yang menunjukkan peningkatan prevalensi lebih tinggi pada
perempuan jika dibandingkan dengan laki-laki yaitu sebesar 35,87%.

2.1.2. Etiologi

Faktor resiko pada osteoarthritis, meliputi hal-hal sebagai berikut.

1. Peningkatan usia, OA biasanya terjadi pada usia lanjut, jarang dijumpai


penderita OA yang berusia di bawah 40 tahun (Helmi, 2012). Di Indonesia,
prevalensi OA mencapai 5% pada usia < 40 tahun, 30% pada usia 40-60
tahun, dan 65% pada usia > 61 tahun (Soeroso et al., 2009).

4
2. Obesitas, membawa beban lebih berat akan membuat sendi sambungan
tulang berkerja lebih berat, diduga memberi andil terjadinya AO (Helmi,
2012). Serta obesitas menimbulkan stres mekanis abnormal, sehingga
meningkatkan frekuensi penyakit (Robbins, 2007).
3. Jenis kelamin wanita (Helmi, 2012). Perkembangan OA sendi-sendi
interfalang distal tangan (nodus Heberden) lebih dominan pada perempuan.
Nodus Heberdens 10 kali lebih sering ditemukan pada perempuan
dibandingkan laki-laki (Price dan Wilson, 2013). Kadar estrogen yang tinggi
juga dilaporkan berkaitan dengan peningkatan resiko (Robbins, 2007).
Hubungan antara estrogen dan pembentukan tulang dan prevalensi OA pada
perempuan menunjukan bahwa hormon memainkan peranan aktif dalam
perkembangan dan progresivitas penyakit ini (Price dan Wilson, 2013).
Wanita yang telah lanjut usia atau di atas 45 tahun telah mengalami
menopause sehingga terjadi penurunan estrogen. Estrogen berpengaruh pada
osteoblas dan sel endotel. Apabila terjadi penurunan estrogen maka TGF-β
yang dihasilkan osteoblas dan nitric oxide (NO) yang dihasilkan sel endotel
akan menurun juga sehingga menyebabkan diferensiasi dan maturasi
osteoklas meningkat. Estrogen juga berpengaruh pada bone marrow stroma
cell dan sel mononuklear yang dapat menghasilkan HIL-1, TNF-α, IL-6 dan
M-CSF sehingga dapat terjadi OA karena mediator inflamasi ini. Tidak
hanya itu, estrogen juga berpengaruh pada absorbsi kalsium dan reabsorbsi
kalsium di ginjal sehingga terjadi hipokalasemia. Kedaan hipokalasemia ini
menyebabkan mekanisme umpan balik sehingga meningkatkan hormon
paratiroid. Peningkatan hormon paratiroid ini juga dapat meningkatkan
resobsi tulang sehingga dapat mengakibatkan OA (Ganong, 2008).
4. Trauma, riwayat deformitas sendi yang diakibatkan oleh trauma dapat
menimbulkan stres mekanis abnormal sehingga menigkatkan frekuensi
penyakit (Helmi, 2012 ; Robbins, 2007).
5. Faktor genetik juga berperan dalam kerentanan terhadap OA, terutama pada
kasus yang mengenai tangan dan panggul. Gen atau gen-gen spesifik yang
bertanggung jawab untuk ini belum terindentifikasi meskipun pada sebagian
kasus diperkirakan terdapat keterkaitan dengan kromosom 2 dan 11
(Robbins, 2007). Beberapa kasus orang lahir dengan kelainan sendi tulang
akan lebih besar kemungkinan mengalami OA (Helmi, 2012).
5
2.1.3. Patofisiologi

Osteoartritis terjadi akibat kondrosit (sel pembentuk proteoglikan dan kolagen


pada rawan sendi) gagal dalam memelihara keseimbangan antara degradasi dan sintesis
matriks ekstraseluler, sehingga terjadi perubahan diameter dan orientasi serat kolagen
yang mengubah biomekanik dari tulang rawan, yang menjadikan tulang rawan sendi
kehilangan sifat kompresibilitasnya yang unik (Price dan Wilson, 2013). Selain
kondrosit, sinoviosit juga berperan pada patogenesis OA, terutama setelah terjadi
sinovitis, yang menyebabkan nyeri dan perasaan tidak nyaman. Sinoviosit yang
mengalami peradangan akan menghasilkan Matrix Metalloproteinases (MMPs) dan
berbagai sitokin yang akan dilepaskan ke dalam rongga sendi dan merusak matriks
rawan sendi serta mengaktifkan kondrosit. Pada akhirnya tulang subkondral juga akan
ikut berperan, dimana osteoblas akan terangsang dan menghasilkan enzim proteolitik
(Robbins, 2007).

Perkembangan osteoarthritis terbagi atas tiga fase, yaitu sebagai berikut.


1. Fase 1
Terjadi penguraian proteolitik pada matrik kartilago. Metabolisme kondrosit
menjadi terpangaruh dan meningkatkan produksi enzim seperti
metalloproteinases yang kemudian hancur dalam matriks kartilago.
Kondrosit juga memproduksi penghambat protease yang akan
mempengaruhi proteolitik. Kondisi ini memberikan manifestasi pada
penipisan kartilago.
2. Fase 2
Pada fase ini terjadi fibrilasi dan erosi dari permukaan kartilago, disertai
adanya pelepasan proteoglikan dan fragmen kolagen ke dalam cairan
sinovia.
3. Fase 3
Proses penguaraian dari produk kartilago yang menginduksi respon
inflamasi pada sinovia. Produksi makrofag sinovia seperti interleukin 1 (IL
1), tumor necrosis factor-alpha (TNFα), dan metalloproteinases menjadi
meningkat. Kondisi ini memberikan manifestasi balik pada kartilago dan
secara langsung memberikan dampak destruksi pada kartilago. Molekul-
6
molekul pro-inflamasi lainnya seperti nitric oxide (NO) juga terlibat.
Kondisi ini memberikan manifestasi perubahan arsitektur sendi, dan
memberikan dampak terhadap pertumbuhan tulang akibat stabilitas sendi.
Perubahan arsitektur sendi dan stres inflamasi memberikan pengaruh pada
permukaan artikular menjadikan kondisi gangguan yang progresif (Helmi,
2012).

Gambar. 3. Gambaran Osteoartritis (Price dan Wilson, 2013).

Osteoartritis pernah dianggap sebagai kelainan degeneratif primer dan kejadian


natural akibat proses ”wear and tear” pada sendi sebagai hasil dari proses penuaan.
Tetapi, temuan-temuan yang lebih baru dalam bidang biokimia dan biomekanik telah
menyanggah teoari ini. Osteoartritis adalah sebuah proses penyakit aktif pada sendi
yang dapat mengalami perubahan oleh manipulasi mekanik dan biokimia. Terdapat efek
penuaan pada komponen sistem muskuloskeletal seperti kartilago artikular, tulang, dan
jaringan yang memungkinkan meningkatnya kejadian beberapa penyakit seperti OA
(Price dan Wilson, 2013).
Untuk melindungi tulang dari gesekan, di dalam tubuh ada tulang rawan. Namun
karena berbagai faktor risiko yang ada, maka terjadi erosi pada tulang rawan dan
berkurangnya cairan pada sendi. Tulang rawan sendiri berfungsi untuk menjamin
gerakan yang hampir tanpa gesekan di dalam sendi berkat adanya cairan sinovium dan
sebagai penerima beban, serta meredam getar antar tulang (Robbins, 2007). Tulang
rawan yang normal bersifat avaskuler, alimfatik, dan aneural sehingga memungkinkan
7
menebarkan beban keseluruh permukaan sendi. Tulang rawan matriks terdiri dari air
dan gel (ground substansi), yang biasanya memberikan proteoglikan, dan kolagen
(Hassanali, 2011).

2.1.4. Klasifikasi Osteoarthritis

Berdasarkan patogenesisnya OA dibedakan menjadi OA primer dan OA


sekunder. OA primer disebut juga OA idiopatik adalah OA yang kausanya tidak
diketahui dan tidak ada hubungannya dengan penyakit sistemik maupun proses
perubahan lokal pada sendi. OA sekunder adalah OA yang didasari oleh adanya
perubahan degeneratif yang terjadi pada sendi yang sudah mengalami deformitas, atau
degenerasi sendi yang terjadi dalam konteks metabolik tertentu (Robbins, 2007). Selain
dari jenis osteoarthritis yang lazim, ada beberapa varian lain. OA peradangan erosif
terutama menyerang sendi pada jari-jari dan berhubungan dengan episode peradangan
akut yang menimbulkan deformitas dan alkilosis. Hiperostosis alkilosis menimbulkan
penulangan vertebra (Price dan Wilson, 2013).

2.1.5. Diagnosis Osteoartritis

Osteoarthritis biasanya didasarkan pada anamnesis yaitu riwayat penyakit,


gambaran klinis dari pemeriksaan fisik dan hasil dari pemeriksaan radiologis.
Anamnesis terhadap pasien osteoartritis lutut umumnya mengungkapkan keluhan-
keluhan yang sudah lama, tetapi berkembang secara perlahan-lahan. Keluhan-keluhan
pasien meliputi nyeri sendi yang merupakan keluhan utama yang membawa pasien ke
dokter, hambatan gerakan sendi, kaku pagi yang timbul setelah imobilitas, pembesaran
sendi, dan perubahan gaya berjalan (Soeroso et al., 2006). Nyeri sendi merupakan
keluhan utama yang dirasakan setelah aktivitas dan menghilang setelah istirahat. Bila
progresifitas OA terus berlangsung terutama setelah terjadi reaksi radang (sinoritis)
nyeri akan terasa saat istirahat. Sedangkan istirahat ataupun immobilisasi yang lama
dapat menimbulkan efek-efek pada jaringan ikat dan kekuatan penunjang sendi. Bila
akut dapat ditemukan tanda-tanda radang: rubor (merah), tumor (membengkak), calor
(terasa panas), dolor (terasa nyeri), dan fuctio laesa (gangguan fungsi) yang jelas
(Paranatha, 2012).
Kriteria diagnosis dari OA lutut berdasarkan American College of Rheumatology
yaitu adanya nyeri pada lutut dan pada foto rontgen ditemukan adanya gambaran
8
osteofit serta sekurang kurangnya satu dari usia > 50 tahun, kaku sendi pada pagi hari <
30 menit dan adanya krepitasi. Nyeri pada sendi tersebut biasanya merupakan keluhan
utama yang membuat pasien datang ke dokter. Nyeri biasanya bertambah berat dengan
gerakan dan berkurang dengan istirahat. Pada umumnya pasien OA mengatakan bahwa
keluhannya sudah berlangsung lama tetapi berkembang secara perlahan. Daerah
predileksi OA biasanya mengenai sendi – sendi penyangga tubuh seperti di pada lutut.
Pada pemeriksaan fisik, pada pasien OA ditemukan adanya gerak sendi baik secara aktif
maupun pasif. Selain itu biasanya terdengar adanya krepitasi yang semakin jelas dengan
bertambah beratnya penyakit. Gejala ini disebabkan karena adanya pergesekan kedua
permukaan tulang sendi pada saat sendi digerakkan atau secara pasif dimanipulasi
(American College of Rheumatology, 2012). Hambatan gerak yang seringkali sudah ada
meskipun secara radiologis masih berada pada derajat awal dapat ditemukan pada
pemeriksaan fisik. Selain itu dapat ditemukan adanya krepitasi, pembengkakan sendi
yang seringkali asimetris (Soeroso et al., 2006). Nyeri tekan tulang, dan tak teraba
hangat pada kulit (American College of Rheumatology, 2012).
Sedangkan gambaran berupa penyempitan celah sendi yang seringkali asimetris,
peningkatan densitas tulang subkondral, kista tulang, osteofit pada pinggir sendi, dan
perubahan struktur anatomi sendi dapat ditemukan pada pemeriksaan radiologis yang
menggunakan pemeriksaan foto polos (Soeroso et al., 2006).
Diagnosis OA selain berdasarkan gejala klinis juga didasarkan pada hasil
radiologi. Namun pada awal penyakit , radiografi sendi seringkali masih normal.
Adapun gambaran radiologis sendi yang menyokong diagnosis OA adalah:
1. Penyempitan celah sendi yang seringkali asimetris (lebih berat pada bagian
yang menanggung beban).
2. Peningkatan densitas (sclerosis) tulang subkondral.
3. Kista tulang.
4. Osteofit pada pinggir sendi.
5. Perubahan struktur anatomi sendi (Soeroso et al., 2006).

9
Gambar. 4. Perbandingan sendi normal dan sendi pada OA

Tabel 1. Klasifikasi radiografi osteoartritis menurut kriteria Kellgren-Lawrence

Derajat Klasifi kasi Gambaran Radiografis


0 Normal Tidak ada gambaran
radiografis yang
abnormal
1 Meragukan Tampak Osteofit kecil
2 Minimal Tampak osteofit, celah
sendi normal
3 Sedang Osteofit jelas,
penyempitan celah sendi
4 Berat Penyempitan celah sendi
berat dan adanya
sklerosis

Evaluasi progresivitas penyakit atau hasil pengobatan OA sampai sekarang


didasarkan pada pengamatan klinik dan radiografik sendi yang terkena. Disadari kedua
parameter tersebut tak dapat memberikan penilaian yang sensitif untuk perkembangan
kerusakan rawan sendi OA. Parameter laboratorik yang banyak dipergunakan adalah
pengukuran kadar C-reactive protein (CRP) dan laju endap darah (LED) yang hasilnya
normal atau sedikit meningkat dan rheuma factor (RF) negatif (Sumual, 2012).
Bila dicurigai terdapat robekan meniskus atau ligamen, dapat dilakukan
pemeriksaan MRI yang akan menunjukkan gambaran tersebut lebih jelas. Walaupun

10
demikian, MRI bukan alat diagnostik yang rutin, karena mahal dan seringkali tidak
merubah rancangan terapi. Gambaran laboratorium umumnya normal. Bila dilakukan
analisis cairan sendi juga didapatkan gambaran cairan sendi yang normal. Bila
didapatkan peninggian jumlah leukosit, perlu dipikirkan kemungkinan artropati kristal
atau artritis inflamasi atau artritis septik (Price dan Wilson, 2007).

2.1.6. Penatalaksanaan Terapi

2.1.6.1 Konservatif

1. Pendidikan kesehatan mengenai hal berikut ini.


a. Aktivitas yang menurunkan tekanan berulang pada sendi
b. Upaya dalam penurunan berat badan.

2. Terapi fisik.
Osteoarthritis pada lutut akan menyebabkan kondisi disuse
atrofi pada otot kuadriseps. Latihan kekuatan otot akan
menurunkan kondisi disuse atrofi. Latihan fisik juga akan
membantu dalam upaya penurunan berat badan dan
meningkatkan daya tahan.
3. Terapi obat simtomatis
a. Nonsteroidal anti-inflammatory drugs (NSAIDs) adalah
obat-obat yang digunakan untuk mengurangi nyeri dan
peradangan pada sendi-sendi. Contohcontoh dari NSAIDs
termasuk aspirin dan ibuprofen. Saat ini obat pilihan
utama yang digunakan dalam terapi osteoarthritis adalah
natrium diklofenak. Adakalanya adalah mungkin untuk
menggunakan NSAIDs untuk sementara dan
kemungkinan
menghentikan mereka untuk periode-periode waktu tanpa
gejala-gejala yang kambuh, dengan demikian mengurangi
resiko-resiko efek samping.
b. Analgetik seperti tramadol.
c. Obat relaksasi otot (muscle relaxants).
11
d. Injeksi glukokortikoid intraartrikular.

2.1.6.2 Intervensi Bedah

Operasi umumnya direncanakan untuk pasien-pasien dengan


osteoarthritis yang terutama parah dan tidak merespons pada
perawatan-perawatan konservatif. Beberapa prosedur yang
mungkin dilakukan adalah sebagai berikut.
1. Antroskopi.
2. Osteotomi.
3. Fusion (arthrodesis)
4. Penggantian sendi (artroplasti) (Helmi, 2012). .
2.2 Terapi Nutrasetikal

Tujuan pengobatan pada pasien OA adalah untuk mengurangi gejala dan


mencegah terjadinya kontraktur atau atrofi otot. Terapi OA pada umumnya
simptomatik, misalnya dengan pengendalian faktor-faktor resiko, latihan intervensi
fisioterapi dan terapi farmakologis. Pada fase lanjut sering diperlukan pembedahan
Tatalaksana umum pada OA hanya meliputi terapi simtomatik, yang ditujukan
untuk mengurangi rasa nyeri. Obat-obatan yang dapat memperbaiki gejala klinis atau
DiseaseModifying Osteoarthritis Drugs (DMOADs) yaitu golongan analgesik dan Non-
Steroidal Anti-Inflammatory Drugs (NSAID). Pengobatan OA tidak hanya bergantung
pada pengobatan medikamentosa saja, namun juga edukasi dan modifikasi gaya hidup,
rehabilitasi medik dan bahkan tindak operatif. Penatalaksanaan tersebut berguna untuk
mengurangi rasa nyeri, mempertahankan atau meningkatkan fungsi gerak sendi,
mengurangi keterbatasan untuk beraktivitas sehari-hari, serta meningkatkan kualitas
hidup dan kemandirian penderita OA (Indonesian Rheumatology Association, 2014).
Terapi tunggal saja tidak efektif dalam mengobati OA. Menurut Jackson et al.
(2011), tatalaksana OA yang dipakai dalam praktik klinis meliputi; (1) intervensi
perilaku/edukasi; (2) pemberian analgesik sederhana seperti parasetamol; (3) pemberian
NSAID seperti golongan inhibitor COX-2; (4) injeksi asam hyaluronat secara intra-
artikular, dan; (5) Total joint replacement, di mana sendi yang telah rusak akan diganti
dengan sendi prostetik.

12
Dari sekian banyak pilihan, terapi yang paling sering digunakan adalah
pemberian antinyeri. Namun penggunaan obat-obat tersebut khususnya NSAID, dalam
jangka panjang akan menimbulkan efek samping yang tidak diharapkan, dari ringan
hingga berat. Penggunaan NSAID secara kronis dapat meningkatkan risiko ulkus
peptikum, gagal ginjal akut dan infark miokardium. Selain itu, penggunaan NSAID pun
dapat memperparah beberapa penyakit kronis seperti gagal jantung dan hipertensi, dan
juga dapat berinteraksi dengan obat-obat lain seperti warfarin dan kortikosteroid
(Marcum & Hanlon, 2010).
Meskipun terapi simtomatik juga penting, idealnya setiap penyakit memerlukan
terapi kausatif, di mana pada OA terapi yang diharapkan bertujuan untuk menjaga
struktur sendi atau bahkan mengembalikan struktur yang rusak seperti sedia kala. Maka
dari itulah, banyak peneliti yang melakukan penelitian mengenai terapi alternatif yang
memiliki efikasi tinggi serta toksisitas rendah. Salah satu golongan obat potensial yang
ideal dalam pengobatan OA ialah Symptomatic Slow Acting Drugs for Osteoarthritis
(SYSADOA).
Produk Nutrasetikal ialah produk yang didefinisikan sebagai zat yang memiliki
manfaat fisiologis atau memberikan perlindungan terhadap penyakit kronis, menunda
proses penuaan dan meningkatkan harapan hidup. Saat ini nutrasetikal mendapat
banyak perhatian karena memiliki potensi nutrisi, keamanan dan efek terapi. Terapi
Nutrasetikal sendiri dapat diterapkan dalam pengobatan osteoarthritis.

2.3 Glukosamin
2.3.1 Pengertian Glukosamin

Glukosamin (C6H13NO5) merupakan gula amino dan prekursor penting dalam


sintesis biokimia dari protein glikosilasi dan lipid. Glukosamin ditemukan sebagai
komponen utama dari rangka luar krustasea, artropoda, dan cendawan. Glukosamin
merupakan salah satu monosakarida yang banyak dijumpai.

Glukosamin merupakan salah satu SYSADOA. Terlebih lagi, beberapa penelitian


mempertimbangkan bahwa senyawa ini memiliki potensi sebagai DMOAD,
berdasarkan pengukuran joint space narrowing pada hasil pemeriksaan radiografi (Zhu
et al., 2018). Karena itulah, banyak yang menduga bahwa glukosamin mungkin dapat
mempengaruhi produksi glikosaminoglikan oleh sel sinovial dan kondrosit, sehingga

13
dapat menghambat proses penghancuran kartilago yang terjadi pada OA. Namun,
kemaknaan klinis glukosamin terhadap tulang masih belum diketahui

Dalam industri, glukosamin diproduksi dengan cara hidrolisis rangka luar


krustasea. Glukosamin umumnya digunakan untuk meringankan
gejala osteoartritis walaupun efek terapisnya sendiri masih diperdebatkan

Konsumsi glukosamin secara oral biasanya digunakan untuk mengurangi gejala


osteoartritis. Sebagai prekursor dari glikoaminoglikan yang menyusun
jaringan kartilago sendi, suplementasi glukosamin diharapkan mampu membangun
kembali jaringan kartilago dan mengurangi risiko osteoartritis, walaupun efektivitasnya
masih diperdebatkan.

2.3.2 Penggunaan Glukosamin

Glukosamin dapat diperoleh dari suplemen makanan. Dosis garam glukosamin


(dalam bentuk glukosamin sulfat atau glukosamin hidroklorida) yang biasa dikonsumsi
adalah sebesar 1,500 mg per hari.Umumnya, glukosamin yang umum dijual merupakan
glukosamin dalam bentuk glukosamine sulfat dan glukosamin hidroklorida. Glukosamin
umumnya dijual bersama kombinasi dengan suplemen lain seperti kondroitin
sulfat dan metilsulfonilmetan.

2.3.3 Produk Glukosamin di Pasaran


Berikut ini beberapa suplemen glukosamin yang dapat dipertimbangkan.
Perhatikan dengan saksama agar dapat menemukan suplemen yang sesuai kebutuhan.

Bentuk Tablet mini


Isi 240 tablet
Konsumsi harian 3 tablet
Bentuk Tablet
Kandungan
Isi 1500
120mg per 3 tablet
tablet
glukosamin
Konsumsi harian 2 tablet
Kondroitin sulfat, MSM,
Bahan lainnya
Kandungan hyaluronic acid
1500 mg per 2 tablet
glukosamin
Bahan glukosamin Udang
Kondroitin sulfat, mangan,
Bahan lainnya
boron
Bahan glukosamin Tumbuhan
14
Bentuk Tablet
Isi 120 tablet
Konsumsi harian 2 tablet
Kandungan
1500 mg per 2 tablet
glukosamin
Kondroitin sulfat,
Bahan lainnya
kunyit
Bahan glukosamin Krustasea

15
Bentuk Tablet
Isi 360 tablet
Konsumsi harian 2 tablet
Kandungan
1500 mg per 2 tablet
glukosamin
MSM, kondroitin sulfat,
Bahan lainnya
kolagen (hydrolyzed gelatin)
Bahan
Hewan laut
glukosamin

BAB III
KESIMPULAN

Beberapa hasil penelitian menunjukkan bahwa glukosamin mempunyai efek


positif dalam meringankan rasa nyeri dan memperbaiki sendi tulang penderita
osteoarthritis. Walaupun tidak secara signifikan, namun keputusan untuk menggunakan
glukosamin sebagai terapi simptomatik utama ataupun glukosamin beserta
kombinasinya pelan-pelan sudah mulai membuahkan hasil.

16
DAFTAR PUSTAKA

Ahmad, I. W., Rahmawati, L. D., & Wardhana, T. H. (2018). Demographic Profile,


Clinical and Analysis of Osteoarthritis Patients in Surabaya. Biomolecular and
Health Science Journal, 1(1), 34. https://doi.org/10.20473/bhsj.v1i1.8208

Bruyere, O., Pavelka, K., Rovati, L. C., Gatterová, J., Giacovelli, G., Olejarová, M., …
Reginster, J. Y. (2008). Total joint replacement after glucosamine sulphate
treatment in knee osteoarthritis: results of a mean 8-year observation of patients
from two previous 3-year, randomised, placebo-controlled trials. Osteoarthritis
and Cartilage, 16(2), 254–260.
https://doi.org/10.1016/j.joca.2007.06.01 1

17
Cahlin, B. J., & Dahlström, L. (2011). No effect of glucosamine sulfate on osteoarthritis
in the temporomandibular jointsa randomized, controlled, shortterm study. Oral
Surgery, Oral Medicine, Oral Pathology, Oral Radiology and Endodontology,
112(6), 760–766. https://doi.org/10.1016/j.tripleo.2011.06.
012

Clegg, D. O., Reda, D. J., Harris, C. L., Klein, M. A., O’Dell, J. R., Hooper, M. M., …
Williams, H. J. (2006). Glucosamine, Chondroitin Sulfate, and the Two in
Combination for Painful Knee Osteoarthritis. N Engl J Med, 354(8), 795–808.

Glyn-Jones, S., Palmer, A. J. R., Agricola, R., Price, A. J., Vincent, T. L., Weinans, H.,
& Carr, A. J. (2015). Osteoarthritis. The
Lancet, 386(9991), 376–387.
https://doi.org/10.1016/S0140-
6736(14)60802-3

Henrotin, Y., Marty, M., & Mobasheri, A. (2014). What is the current status of
chondroitin sulfate and glucosamine for the treatment of knee osteoarthritis?
Maturitas, 78(3), 184–187. https://doi.org/10.1016/j.maturitas.2014.
04.015

Henrotin, Y., Mobasheri, A., & Marty, M. (2012). Is there any scientific evidence
for the use of glucosamine in the management of human osteoarthritis? Arthritis
Research and Therapy, 14(1), 1–10. https://doi.org/10.1186/ar3657

Indonesian Rheumatology Association. (2014). Diagnosis dan Penatalaksanaan


Osteoartritis. In Rekomendasi IRA untuk Diagnosis dan Penatalaksanaan
Osteoartritis.

Jackson, C. G., Plaas, A. H., Ph, D., Sandy, J.D., Hua, C., Kim-rolands, S., … Clegg,
D. O. (2011). The Human Pharmacokinetics of Oral Ingestion of
Glucosamine and Chondroitin Sulfate Taken Separately Or In
Combination.18(3), 297–302. https://doi.org/10.1016/j.joca.2009.10.013.THE

18

Anda mungkin juga menyukai