3866 8972 1 SM
3866 8972 1 SM
3866 8972 1 SM
Achmad M. Fagi
Yayasan Padi Indonesia
Jl. Merdeka No. 147 Bogor 16111
E-mail:[email protected]
Naskah diterima: 15 Januari 2013 Direvisi: 26 Maret 2013 Disetujui terbit: 10 April 2013
ABSTRACT
Geographical position of Indonesia that lies between Asia and Australia continents and between
Indian and Pacific Oceans has both advantages and disadvantages. Mon-soon climate offers opportunity for
food crop intensification. The geographical position also protects Indonesia from heavy and continuous
destruction of agriculture caused by cyclone or typhoon. However, high rainfall hitting the soil surface
susceptible to erosion on sloping topography cause serious erosion and sedimentation of rivers and
reservoirs. The negative impacts of extreme weather due to the global climate change are aggravated by
serious degradation of the watershed. Uncontrollable growth of the population and conversion of productive
agricultural land lead to expanded degradation of watersheds and shrinkage of agricultural lands causing
imbalanced proportion of supply and demand for food. It is estimated, that the dependence of Indonesia on
imported rice will be lasting until 2025. Volume of imported rice will be the lowest when high rate of
production increase scenario is implemented, though this approach requires a high budget. National Rice
Production Enhancement Program (P2BN) is launched to increase rice production. ICM (Integrated Crop
Management) technology is implemented in P2BN and has pushed rice production up to self-sufficiency
level in 2009. SRI (System of Rice Intensification) technology is also offered, but its adoption is limited
because of inadequate supply of organic fertilizers and bio-pesticides as well. Supply chains of raw materials
of organic fertilizers and bio pesticides are neglected by SRI promoting parties. All parties need to follow
eco-anthropological approach in order to compromise agricultural intensification programs with
environmental protection. Because of limited areas of irrigated land, ICM technology with some
modifications has to be expanded to rainfed, swampy and tidal swamp and dry land areas. Holistic and
comprehensive strategy should be explored to convert conditions from the vicious circle to the virtuous one
for food crop production in the coming years.
ABSTRAK
Posisi geografis Indonesia yang berada di antara Benua Asia dan Australia dan diapit oleh
Samudera Hindia dan Samudera Pasifik mempunyai keunggulan dan kelemahan. Sisi keunggulannya adalah
iklim muson yang memberi peluang bagi intensifikasi pertanian pangan. Deretan gunung berapi, yang
beberapa di antaranya masih aktif, memuntahkan abu vulkan yang menyuburkan tanah dan memperkaya
keanekaragaman hayati. Posisi geografis tersebut juga membebaskan Indonesia dari kerusakan parah akibat
dari taifun atau tornado. Sisi kelemahannya adalah pola curah hujan yang sulit diprediksi sehingga
menyebabkan keberhasilan program intensifikasi pangan yang fluktuatif. Jenis tanah yang terbentuk dari
proses pelapukan abu vulkan umumnya peka terhadap erosi. Curah hujan tinggi yang menerpa permukaan
tanah yang peka erosi pada topografi belerang memacu terjadinya sedimentasi sungai dan waduk, maka
menimbulkan banjir pada musim hujan dan kering pada musim kemarau. Dampak negatif dari iklim ekstrim
akibat perubahan iklim global diperparah oleh degradasi DAS (Daerah Aliran Sungai) dan mengancam
ketersediaan air bagi pertanian pangan. Laju pertambahan jumlah penduduk dan konversi lahan pertanian
KETAHANAN PANGAN INDONESIA DALAM ANCAMAN : Strategi dan Kebijakan Pemantapan dan Pengembangan Achmad M.
Fagi
11
produktif yang tidak terkendali selain menyebabkan kerusakan DAS semakin luas, juga menyebabkan
kesenjangan antara penyediaan (supply) dan kebutuhan (demand) pangan semakin lebar. Diperkirakan
ketergantungan Indonesia terhadap beras impor akan berlanjut sampai tahun 2025. Volume beras impor
terendah akan diperoleh pada skenario peningkatan laju kenaikan produksi tinggi, walaupun skenario ini
perlu dana yang tinggi pula. Program P2BN dicanangkan untuk memacu laju kenaikan produksi padi yang
tinggi. Teknologi PTT yang diterapkan dalam P2BN terbukti mampu meningkatkan produksi padi ke
tingkat swasembada beras yang kedua tahun 2009. Teknologi SRI juga ditawarkan, tetapi adopsinya oleh
petani terhambat karena keterbatasan ketersediaan pupuk organik dan keterbatasan bahan baku dari
biopestisida. Supply chain bahan baku perlu diperhatikan oleh penganjur teknologi SRI. Pendekatan eko-
antroposentris perlu ditempuh agar ada kompromi antara program intensifikasi pertanian dengan program
pelestarian sumberdaya alam. Karena luas lahan sawah terbatas, bahkan cenderung menyusut, maka
teknologi PTT dengan modifikasi perlu dianjurkan ke lahan sawah tadah hujan, lahan rawa dan pasang-surut
dan lahan kering. Pendekatan holistik dan komprehensif perlu ditempuh untuk mengubah kondisi
pembangunan pertanian pangan dari the vicious circle ke virtuous circle ke depan.
PENDAHULUAN
Secara geopolitik posisi Indonesia yang berada di antara dua benua (Benua Asia dan
Australia) dan diapit oleh dua samudera (Samudera Hindia dan Pasifik) sangat strategis. Tetapi
posisi ini menentukan iklim pertanian Indonesia yang dipengaruhi oleh angin pasat Tenggara dan
angin pasat Barat Laut yang mendukung intensifikasi pertanian tetapi kadang-kadang bermasalah.
Indonesia dikepung oleh gunung berapi yang banyak di antaranya masih aktif. Abu vulkan
dari letusan-letusannya menyuburkan tanah untuk pertanian. Perbukitan dan pegunungan adalah
hulu dari sungai-sungai kecil, sedang sampai besar. Airnya, baik secara langsung maupun melalui
embung dan waduk digunakan untuk pertanian, industri dan pemukiman. Walaupun demikian,
lereng-lereng perbukitan dan pegunungan yang ditutupi oleh jenis-jenis tanah yang peka erosi
dapat mengancam ketersediaan air karena sedimentasi sungai dan waduk yang menyebabkan banjir
pada musim hujan dan kekeringan pada musim kemarau.
Perubahan iklim akibat dari pemanasan global bukan lagi ilusi, tetapi telah menjadi
kenyataan. Anomali iklim El Nino atau La Nina yang frekuensi kejadiannya semakin singkat
mengancam pertanian Indonesia. Kondisi biofisik wilayah Indonesia seperti diuraikan itu dapat
memperparah dampak negatif dari perubahan iklim.
Kebutuhan akan hasil pertanian, khususnya pangan, akan terus bertambah karena kenaikan
jumlah penduduk yang tidak terkendali. Sementara, konversi lahan pertanian produktif yang
semakin marak dan tidak terkontrol dapat menyebabkan ketimpangan antara produksi pangan
(supply) dan permintaan pangan (demand).
Bab-bab dalam makalah ini memaparkan kondisi riil dan ancaman terhadap ketahanan
pangan Indonesia ke depan, kalau tidak ada langkah strategis yang diambil.
12
2012 sebesar 68,3 juta ton GKG telah tercapai, dan sebab itu Kementerian Pertanian optimis
bahwa swasembada beras dan surplus beras sebanyak 10 juta ton akan tercapai pada 2014.
Optimisme ini berdasarkan capaian P2BN pada 2009 yang dilaporkan dalam harian KOMPAS
(2009), seperti ditunjukkan dalam Tabel 1. Ketersediaan beras tahun 2009 menyebabkan Indonesia
surplus beras sebanyak 4,2 juta ton yang berasal dari surplus tahun 2008 dan 2009. Akan tetapi,
dua tahun berturut-turut 2010 dan 2011, produksi padi melambat sehingga Indonesia harus
mengimpor beras lagi.
Tonnase Beras
Prognosis
(x 1000 ton)
KETAHANAN PANGAN INDONESIA DALAM ANCAMAN : Strategi dan Kebijakan Pemantapan dan Pengembangan Achmad M.
Fagi
13
Tabel 2. Perkiraan Produksi, Kebutuhan, dan Perdagangan Beras di Indonesia pada Beberapa
Skenario Tahun 2025
14
Gambar 1. Proses dalam the Vicious Circle Mengarah ke Degradasi Lingkungan (Sumberdaya
Alam), Sebaliknya Proses dalam the Virtuous Circle (IRRI, 2006)
KETAHANAN PANGAN INDONESIA DALAM ANCAMAN : Strategi dan Kebijakan Pemantapan dan Pengembangan Achmad M.
Fagi
15
Alih fungsi lahan hutan dan lahan pertanian produktif di luar Jawa lebih luas dengan makin
luasnya lahan perkebunan, terutama perkebunan kelapa sawit (Faisal et al., 2011). Pada tahun
2012 Kementerian BUMN sulit mencari lahan baru untuk pengembangan food estate karena lahan
potensial, termasuk lahan hutan, telah dikapling-kapling untuk perkebunan. Pemda membuka
peluang lebih besar bagi perluasan perkebunan daripada perluasan pertanian dengan pertimbangan
PAD (Pendapatan Asli Daerah).
Iklim
Ciri dari iklim yang optimal bagi pertumbuhan tanaman padi adalah suhu relatif tinggi,
musim pertanaman (growing season) sedang sampai panjang, cahaya matahari cukup, ketersediaan
air cukup dan terdistribusi rata hampir sepanjang musim pertanaman, kelembaban kering dengan
suhu yang sejuk pada periode pengisian sampai kematangan gabah. Kenyataannya, kondisi iklim
demikian di daerah tropika tidak pernah ada, maka perlu penyesuaian baik pola tanam maupun
teknologinya (varietas, pemupukan, dan teknik budidaya lain) agar hasil padi sesuai dengan
harapan.
1A = asal tanaman padi; padi ditanam bertahun-tahun tanpa modifikasi iklim oleh manusia.
2B = wilayah pertanaman padi penting dengan setidak-tidaknya satu parameter iklim sering kurang
ideal untuk keberhasilan pertanaman.
3C = wilayah penyebaran tanaman padi, terpencar-pencar luas; iklim harus dimodifikasi untuk
pertanaman sekali (dalam setahun)
4D = wilayah pertanaman padi yang tidak penting (iklim tidak mendukung perluasan
pertanamannya).
16
Huke (1976) mengelompokkan wilayah pertanaman padi global berdasarkan status iklim
(Gambar 2). Indonesia berada di wilayah 2B, yaitu wilayah pertanaman padi penting, tetapi
curah hujan sering kurang ideal untuk keberhasilan pertanaman padi. Angin pasat Tenggara dan
angin pasat Barat Laut menentukan curah hujan, tetapi intensitas dan distribusi hujan sulit
diprediksi. Kondisi demikian adalah ciri dari iklim muson. Perubahan iklim dan pemanasan
global akan mengacaukan angin pasat Tenggara dan angin pasat Barat Laut. Anomali iklim El
Nino yang menyebabkan kemarau panjang (hujan di bawah normal) dan La Nina yang
menyebabkan banjir (hujan di atas normal) akan semakin pendek dan berpengaruh negatif terhadap
produksi pertanian. El Nino disebabkan oleh kenaikan suhu muka air laut Samudera Pasifik
Tengah (mulai dari Peru ke arah Papua). Setiap kenaikan suhu 1oC pada bulan Agustus dapat
menurunkan produksi padi Indonesia sebanyak 1,4 juta ton (Naylor et al., 2002).
Topografi
Sekitar 45 persen wilayah Indonesia berupa perbukitan dan pegunungan. Sungai-sungai
berhulu di wilayah perbukitan dan pegunungan itu. Sebaran wilayah perbukitan dan pegunungan
ditunjukkan dalam Tabel 4. Dalam Permentan No. 47/2006, topografi wilayah Indonesia
dibedakan menjadi 5 kelompok berdasarkan kemiringannya (Deptan, 2006):
- Datar : kemiringan < 3%, beda tinggi < 2 m
- Berombak : kemiringan 3-8%, beda tinggi 2-10 m
- Bergelombang : kemiringan 8-15%, beda tinggi 10-50 m
- Berbukit : kemiringan 15-30%, beda tinggi 50-300 m
- Bergunung : kemiringan > 30%, beda tinggi > 300 m
Sedangkan, berdasarkan tinggi lahan pertanian di atas permukaan laut (dpl) dibedakan menjadi:
- Lahan pegunungan: dataran medium (ketinggian 350-700 m dpl); dataran tinggi (ketinggian >
700 m dpl).
- Lahan bukan pegunungan: dataran rendah < 350 m dpl.
KETAHANAN PANGAN INDONESIA DALAM ANCAMAN : Strategi dan Kebijakan Pemantapan dan Pengembangan Achmad M.
Fagi
17
Jenis Tanah
Jenis tanah dari lahan pertanian mempunyai sifat kepekaan terhadap erosi yang bervariasi
(Tabel 5). Namun demikian, tingkat kepekaan dapat berubah tergantung kemiringan lahan dan
curah hujan. Pada pertanian lahan kering dengan topografi berombak sampai bergunung, erosi
dapat mendatangkan bencana banjir, sedimentasi sungai dan waduk, dan menguruskan tanah.
Bencana kekeringan, banjir, dan longsor beberapa tahun terakhir terjadi makin sering dan makin
parah sebagai indikasi bahwa lahan perbukitan dan pegunungan telah banyak yang rusak.
Berkurangnya debit air sungai dan volume air waduk mengancam keberlanjutan sistem sawah
irigasi. Sebagai contoh adalah sedimentasi di beberapa anak sungai Brantas (Jawa Timur),
Jratunseluna (Jawa Tengah), dan Citanduy (Jawa Barat) (Tabel 6).
Tabel 5. Jenis Tanah Lahan Pertanian dan Kepekaannya Terhadap Erosi di Indonesia
Aluvial Entisols, Inceptisols - Tidak terancam erosi (dataran rendah dan datar)
Regosol Entisols, Inceptisols - Peka
Grumusol Vertisols - Sangat peka
Mediteran Alfisols, Luvisols - Peka
Latosol Oxisols - Tahan
Andosol Inceptisols - Sangat peka
Podzolik Ultisols - Peka
Organik Histosols Tidak terancam erosi (dataran rendah dan datar)
Sebelum krisis multidimensi, sedimentasi di beberapa sungai di Jawa telah begitu besar (9-
120 ton/ha/tahun). Ada kecenderungan bahwa pada era desentralisasi dan demokratisasi, laju erosi
dan sedimentasi tetap besar, karena penggundulan hutan. Menurut laporan PBB, luas lahan
kehutanan Indonesia turun dari 130,1 juta ha pada 1993 menjadi 123,4 ha pada 2003. Antara
1985-1997, laju penebangan hutan rata-rata di Sumatera, Kalimantan, Sulawesi, Maluku, dan
Papua adalah 1,8 juta ha per tahun (UN, 2004).
18
FAKTOR SOSIAL EKONOMI PEMICU KERAWANAN PANGAN
Tabel 7. Proyeksi Jumlah Populasi dan Lahan per Kapita Menurut Estimasi World Resources
Institute di Indonesia
Luas
Imbas dari Aktivitas Penduduk
(km2)
Minimum 168.776
Rendah 355.673
Sedang 443.187
Tinggi 516.562
KETAHANAN PANGAN INDONESIA DALAM ANCAMAN : Strategi dan Kebijakan Pemantapan dan Pengembangan Achmad M.
Fagi
19
Persepsi tentang Pembangunan Pertanian yang Berkelanjutan
Persepsi para elit pelaku pembangunan pertanian dikelompokkan ke dalam:
▼ ekosentris ~ fokus perhatian ke pelestarian sumber daya alam; teknologi tradisional yang
diterapkan oleh nenek moyang dulu, seperti penanaman varietas lokal dengan pemupukan
organik dan penggunaan biopestisida sebagai cara untuk mengendalikan hama/penyakit
tanaman, adalah metode yang dianjurkan.
▼ antroposentris ~ fokus perhatian ke kebutuhan manusia akan pangan, papan, sandang yang
harus dipenuhi dengan teknologi maju tanpa perhatian terhadap kelestarian sumberdaya alam.
Pada sistem produksi pangan, khususnya padi, persepsi ekosentris diwujudkan dalam bentuk SRI
(System of Rice Intensification) atau LEISA (Low External Inputs Sustainable Agriculture) oleh
pengaruh paham ekosentrisme, sedangkan penganut antroposentrisme menggunakan teknologi
Revolusi Hijau atau HICF (High Inputs Commercial Farming).
Reeves (1989) mengklarifikasi LEISA dan HICF kaitannya dengan keberlanjutan
(sustainability) dari pembangunan pertanian; sustainable diartikan sebagai supportable. Artinya
pertanian yang berlanjut adalah yang mampu memenuhi kebutuhan penduduk yang jumlahnya
terus meningkat (Reeves, 1989; Sanchez, 2001). Tingkat masukan (inputs) dan keluaran (outputs)
dijadikan dasar penilaian dari keberlanjutan dan konsekuensinya yang timbul (Tabel 9). Di
Indonesia pada situasi di mana jumlah penduduk terus meningkat menurut deret ukur, sedangkan
kenaikan produksi pangan mengikuti deret hitung, alternatif 4 merupakan pilihan. P2BN tidak
akan tercapai kalau alternatif 1 yang diterapkan. Hal ini berarti bahwa teknologi Revolusi Hijau
masih perlu diterapkan dengan memodifikasi teknologi agar ramah lingkungan. Teknologi PTT
dirancang untuk memenuhi persyaratan tersebut, tetapi ketersediaan sarana produksi yang tidak
tepat di sentra-sentra produksi dapat menghambat pelaksanaan P2BN. Petani peserta SL (Sekolah
Lapang) PTT (900 responden) di Jawa Barat, Jawa Tengah, Jawa Timur, Sulawesi Selatan,
Sumatera Selatan pada 18 kabupaten, menetapkan urutan komponen teknologi terpenting dari 12
komponen teknologi PTT, yang memberi sumbangan terbesar terhadap peningkatan hasil padi
pada program P2BN (Tabel 10).
Tabel 9. Tingkat Masukan dan Keluaran dalam Sistem Produksi Pertanian Pangan Kaitannya
dengan Ketahanan Pangan dan Konsekuensinya
Tingkat
Tingkat Masukan Keberlanjutan
Keluaran Konsekuensi
(Inputs) (ya/tidak)
(Outputs)
20
Tabel 10. Urutan Pentingnya Komponen Teknologi PTT Menurut Peserta SL-PTT dalam
Peningkatan Hasil Padi di 5 Provinsi pada 18 Kabupaten di Indonesia
KETAHANAN PANGAN INDONESIA DALAM ANCAMAN : Strategi dan Kebijakan Pemantapan dan Pengembangan Achmad M.
Fagi
21
(2) Di Los Banos, Laguna, Philippines, jumlah malai/m2 dari teknologi tanam pindah dan tabur
benih langsung (masing-masing 366 malai dan 325 malai/m2) lebih banyak dari teknologi SRI
(213 malai/m2), maka hasil GKG-nya berturut-turut 4,05, 3,6 dan 3,0 ton/ha.
(3) Petani sulit untuk mendapatkan pupuk organik sebanyak 10-15 ton/ha.
Tabel 11. Perbandingan Komponen Teknologi PTT, SRI (Indonesia), dan SRI (Madagaskar)
22
Di Indonesia, Kementerian Kimpraswil (Direktoral Irigasi) tertarik dan menguji coba
efektifitas SRI karena adanya anjuran pengairan berselang (intermittent irrigation) pada teknologi
SRI. Teknologi PTT-pun memasukkan pengairan berselang, tetapi penerapannya adalah pada
hamparan tersier atau sekunder. Teknik irigasi berselang diterapkan oleh Dinas Pengairan pada
MK ketika terjadi kemarau panjang, jauh sebelum SRI masuk ke Indonesia. Teknik irigasi gilir
glontor (2-3 hari sekali) atau gilir giring (4-5 hari sekali) diterapkan di wilayah irigasi Tarum
Timur (Jatiluhur) pada MK; teknik ini memperluas area tanam pada MK mendekati luas area
tanam pada MH (Fagi, 2007).
(1) Ketahanan pangan yang berkelanjutan adalah wujud nyata dari kemandirian pangan; upaya
untuk mewujudkan kemandirian pangan adalah proses jangka panjang. Peluang untuk
mencapai kemandirian pangan cukup besar, karena sumberdaya alam yang berupa lahan
sawah tadah hujan, lahan rawa lebak, lahan pasang-surut dan lahan kering masih cukup luas
kalau kegunaannya ditata secara proporsional dan dikelola dengan baik dan
mempertimbangkan kemandirian pangan.
(2) Iklim muson dengan pola dan intensitas curah hujan yang sulit diprediksi adalah faktor
penghambat dari keberhasilan program intensifikasi pertanian secara berkelanjutan; topografi
yang berbukit dan bergunung dengan jenis tanah yang peka erosi rawan terhadap ancaman
bahaya longsor dan degradasi kesuburan tanah kalau dikelola tanpa perhatian terhadap
konservasi tanah dan air. Masalah dan kendala dapat diubah menjadi peluang melalui
pewilayahan komoditas. Integrated natural resource management adalah implikasi dari
pendekatan ekoregional dalam pembangunan pertanian. Pewilayahan komoditas supaya
dimasukkan ke dalam program adaptasi untuk mengantisipasi perubahan iklim global.
(3) Kenaikan jumlah penduduk dan alih fungsi lahan pertanian produktif menyebabkan
ketidakseimbangan antara supply dan demand dan ketergantungan terhadap pangan impor
akan semakin besar. Maka, family planning perlu digalakkan lagi; dan alih fungsi lahan harus
diatasi antara lain melalui reformasi agraria, agar ada proporsi yang ideal antara lahan untuk
tanaman pangan dan lahan untuk sektor/sub-sektor lain, terutama sub-sektor perkebunan.
(4) UU Pangan mengisyaratkan terbentuknya Badan Ketahanan Nasional yang non-
departemental; Badan baru ini supaya merumuskan politik pertanian yang komprehensif.
(5) Ketahanan pangan dan kemandirian pangan adalah tanggung jawab lintas kementerian karena
tidak hanya menyangkut teknologi pertanian, tetapi juga kependudukan dan pengelolaan
sumberdaya alam dan penataan tataguna lahan pertanian, perkebunan, dan kehutanan yang
proporsional.
(6) Paham ekosentris dan antroposentris dalam pembangunan pertanian tidak dapat bergerak
secara terpisah karena masing-masing mempunyai keunggulan dan kekurangannya; paham
eko-antroposentris adalah jalan tengahnya; teknologi PTT pada padi adalah wujud dari
implementasi paham eko-antroposentris.
(7) Karena teknologi PTT adalah implikasi dari pendekatan eko-antroposentris dan teknologi SRI
di Indonesia telah jauh menyimpang dari teknologi SRI di Madagaskar, maka teknologi SRI
seyogyanya dilebur dengan teknologi PTT; petani dibebaskan untuk memilih teknologi mana
yang lebih menguntungkan, tetapi tetap pada koridor P2BN.
KETAHANAN PANGAN INDONESIA DALAM ANCAMAN : Strategi dan Kebijakan Pemantapan dan Pengembangan Achmad M.
Fagi
23
PENUTUP
DAFTAR PUSTAKA
Bourgeois, R. 1999. The Impact of the Crisis on Javanese Irrigated Rice Farmers. In Indonesia’s
Economic Crisis: Effects on Agriculture and Policy Responses. Centre for International
Economic Studies. Adelaide. pp. 213-227.
Chiu, W.T.F., Z.S. Chen, W.C. Cosico, and F.B. Aglibut (eds). 2000. Management of Slope
Lands in Asia-Pacific Region. Food & Fertilizer Technology Center for the Asian and
Pacific Region. Taipei, Taiwan, ROC. 90p.
Deptan (Departemen Pertanian). 2006. Pedoman Umum Budidaya Pertanian pada Lahan
Pegunungan. Peraturan Menteri Pertanian No. 47/Permentan/OT. 140/10/2006.
Direktorat Jenderal Tanaman Pangan. 2012. Peluang Peningkatan Produksi Padi 2014. Studi
Kasus SL-PTT di beberapa Sentra Produksi (dipersiapkan oleh Achmad M. Fagi, Handaka,
Adimesra Djulin dan Sumardhi). Kerjasama dengan P.T. Cakra Hasta Konsultan (in press).
Eswaran, H., P.F. Reich, and E. Padmanabhan. 2000. Challenges of Anging the Land Resources
of Asia. Proc. International Seminar on Issues in the Management of Agricultural
Resources. National Taiwan Univ., Taipei, Taiwan, 6-8 September 2000.
Fagi, A.M. and C. Mackie. 1988. Java’s Upland: Past Experience and Future Direction. pp. 187-
. In Agriculture in Sloping Land. Soil Cons. Soc. Amer.
Fagi, A.M. 2007. Menyiasati Pengelolaan Sumber Daya Air Untuk Pertanian Masa Depan. Iptek
Tanaman Pangan 2(1): 1-11.
Faisal, K., M. Badrun dan E. Pasandaran. 2011. Land Grabbing: Perampasan Hak Konstitusional
Masyarakat. YAPARI (Yayasan Pertanian Mandiri). 125 p.
Huke, R. 1976. Geography and Climate of Rice. Proc. Climate and Rice. IRRI, Los Banos,
Laguna, Philippines. pp. 31-50.
Irawan, B. 2005. Konversi Lahan Sawah: Potensi Dampak, Pola Pemanfaatannya, dan Faktor
Determinan. Forum Penelitian Agroekonomi 23(1): 1-18.
IRRI (International Rice Research Institute). 2005. Impact of IRRI’s Research on the Poor. Paper
presented at the IRRI Board of Trustees Meeting. Denpasar, Bali.
24
IRRI (International Rice Research Institute). 2006. Bringing Hope, Improving Lives. Strategic
Plan 2007-2015. Manila, Philippines. IRRI, 61 p.
KOMPAS. 2009. RI Terjebak Impor Pangan: Garampun Diimpor Senilai Rp900 Milliar. Senin, 24
Agustus 2009, hal. 1 dan 15.
Levang, P., B.K. Yoza, D. Etty and H. Etty. 1999. Not Every Cloud Has a Silver Lining: Food
Crops Farmers Unable to Take Advantage of the Crisis in Transmigration Areas. In
Indonesia’s Economic Crisis: Effects on Agriculture and Policy Responses. Centre for
International Economic Studies. Adelaide. pp. 213-227.
LPT (Lembaga Penelitian Tanah). 1969. Naskah Peta Tanah Eksplorasi Djawa & Madura. LPT.
No. 5, 1969. 69 hal. Direktorat Jenderal Pertanian, Departemen Pertanian. Jakarta.
Naylor, R., W. Falcon, N. Wada and D. Rochberg. 2002. Using El Nino Southern Oscillation
Climate Data to Improve Food Policy Planning in Indonesia. Bulletin of Indonesian
Economic Studies and London. 38(1): 75-91.
Pearson, S., W. Falcon, P. Heytens, E. Monke and R. Naylor. 1991. Rice Policy in Indonesia.
Cornell University Press. Ithaca. 180 p.
Reeves, T.G. 1998. Sustainable Intensification of Agriculture. Mexico, D.F., CIMMYT.
Sanchez, P.A. 2001. Multifunctional Agriculture in the Tropics: Overcoming Hunger, Poverty and
Environmental Degradation. In M. Yayima and K. Tsurumi (eds). Agricultural Technology
Research for Sustainable Development in Developing Regions, JIRCAS (Japan International
Research Center for Agricultural Science. pp. 17-28.
Soepraptohardjo, H. and H. Suhardjo. 1978. Rice Soils of Indonesia. In Soil & Rice. IRRI, Los
Banos, Philippines. pp. 99-113.
Sombilla, M.A., M.W. Rosegrant and S. Meijer. 2002. A Long-term Outlook for Rice Supply and
Demand Balances in South, Southeast and East Asia. In Developments in the Asian Rice
Economy (Sombilla, Hossain and Hardy, eds.). IRRI, Los Banos, Philippines. pp. 291-316.
Syam, M. 2006. Kontroversi System of Rice Intensification (SRI) di Indonesia. Iptek Tanaman
Pangan 1(1): 30-40.
Taruna, I. 2008. Arah dan Kebijakan Pertanaman Nasional dan Tata Guna Lahan untuk
Mendukung Ketahanan Pangan dan Menghadapi Perubahan Iklim. Makalah disampaikan
dalam Seminar Nasional dan Dialog Sumberdaya Lahan Pertanian bekerja sama dengan
JICA (Japan International Cooperation Agency), Yokohama National University, Global
COE Program, Bogor, 18-20 November 2008.
KETAHANAN PANGAN INDONESIA DALAM ANCAMAN : Strategi dan Kebijakan Pemantapan dan Pengembangan Achmad M.
Fagi
25