Ati Fitriani

Download as pdf or txt
Download as pdf or txt
You are on page 1of 89

KAJAO LALIDDONG

(Konsep Pemikiran Tentang Perkembangan Kerajaan Bone


Pada Abad XVI-XVII)

Skripsi

Diajukan untuk Memenuhi Salah Satu Syarat Meraih Gelar


Sarjana Humaniora Jurusan Sejarah dan Kebudayaan Islam
pada Fakultas Adab dan Humaniora
UIN Alauddin Makassar

Oleh
Ati Fitriani
NIM: 40200115020

FAKULTAS ADAB DAN HUMANIORA

UIN ALAUDDIN MAKASSAR

2019
PERNYATAAN KEASLIAN SKRIPSI
Mahasiswa yang bertanda tangan di bawah ini:

Nama : Ati Fitriani

NIM : 40200115020

Tempat/Tgl. Lahir : Cabbengnge, 27 Agustus 1996

Jurusan : Sejarah dan Kebudayaan Islam

Fakultas : Adab dan Humaniora

Alamat : Cabbengnge, Desa T. Palie Kec. Sibulue, Kabupaten

Bone

Judul :KAJAO LALIDDONG (Konsep Pemikiran tentang

Perkembangan Kerajaan Bone Pada Abad XVI-XVII)

Menyatakan dengan sesungguhnya dan penuh kesadaran bahwa skripsi ini benar

adalah hasil karya sendiri. Jika dikemudian hari terbukti bahwa skripsi ini merupakan

duplikat, tiruan, plagiat, atau dibuat oleh orang lain, sebagian atau seluruhnya maka

skripsi dan gelar yang diperoleh batal demi hukum.

Gowa, 09 Juli 2019 M.


06 Dzulkaidah 1440 H

Penulis,

Ati Fitriani
NIM: 40200115020

ii
PERSETUJUAN PEMBIMBING
Pembimbing penulisan skripsi Saudari Ati Fitriani, NIM: 40200115020,

mahasiswa Jurusan Sejarah dan Kebudayaan Islam pada Fakultas Adab dan

Humaniora UIN Alauddin Makassar, Mencermati dan mengoreksi secara seksama

draft skripsi berjudul “KAJAO LALIDDONG (Konsep Pemikiran tentang

Perkembangan Kerajaan Bone Pada Abad XVI-XVII)”, memandang bahwa skrispsi

tersebut telah memenuhi syarat-syarat ilmiah dan dapat disetujui untuk

dimunaqasyakan.

Demikian persetujuan ini diberikan untuk diproses lebih lanjut.

Gowa, 24 Juni 2019 M.


20 Syawal 1440 H.

Pembimbing I Pembimbing II

Dra. Susmihara, M.Pd Dr. Rahmawati, MA., Ph.D

NIP. 19620416 199703 2 001 NIP. 19690612 199703 2 002

Diketahui oleh
an. Dekan Fakultas Adab dan Humaniora
Ketua Jurusan Sejarah dan Kebudayaan Islam

Dr. Rahmat, M. Pd. I

NIP. 19680900 199403 1 008

iii
PENGESAHAN SKRIPSI
Skripsi dengan judul “KAJAO LALIDDONG (Konsep Pemikiran terhadap

Perkembangan Kerajaaan Bone Pada Abad XVI-XVII)”, yang disusun oleh Saudari

Ati Fitriani NIM: 40200115020, Mahasiswa Jurusan Sejarah dan Kebudayaan Islam

Fakultas Adab dan Humaniora UIN Alauddin Makassar, telah diuji dan

dipertahankan dalam Sidang munaqasyah yang diselenggarakan pada hari Selasa,

tanggal 09 Juli 2019 M, bertepatan dengan tanggal 06 Dzulkaidah 1440 H,

dinyatakan telah dapat diterima sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar

Sarjana dalam ilmu Sejarah Kebudayaan Islam pada Fakultas Adab dan Humaniora

UIN Alauddin Makassar.


Gowa, 09 Juli 2019 M.
06 Dzulkaidah 1440 H.

Dewan Penguji

1. Ketua : Dr. Abd. Rahman R, M. Ag (..................................)

2. Sekretaris : Dr. Abu Haif, M. Hum (..................................)

3. Penguji I : Dra. Surayah Rasyid, M. Pd (..................................)

4. Penguji II : Dr. Nasruddin, M.M (..................................)

5. Pembimbing I : Dra. Susmihara, M. Pd (..................................)

6. Pembimbing II : Dr. Rahmawati, MA., Ph. D (..................................)

Diketahui oleh:

Dekan Fakultas Adab dan Humaniora


UIN Alauddin Makassar

Dr. H. Barsihannor, M. Ag
NIP. 19691012 199603 1 003

iv
KATA PENGANTAR
‫اﻟر ِﺣﯾْم‬
‫اﻟر ْﺣ َﻣ ِن ﱠ‬
‫ا� ﱠ‬ِ ‫ِﺑ ْﺳ ِم ﱠ‬
Alhamdulillah, puji syukur penulis ucapkan kehadirat Allah Swt., yang telah

memberikan beberapa macam nikmatnya diantaranya nikmat hidup dan nikmat

kesehatan sehingga penulis bisa sampai ketitik ini yaitu mampu menyelesaikan tugas

skripsi. Dan tidak lupa pula penulis haturkan salawat dan salam kepada baginda

Rasulullah Saw., sebagai suri tauladan bagi seluruh umat manusia sepanjang zaman.

Skripsi yang berjudul “KAJAO LALIDDONG (Konsep Pemikiran tentang

Perkembangan Kerajaan Bone Pada Abad XVI-XVII)” ini merupakan upaya penulis

untuk memahami ajaran-ajaran yang disampaikan sosok cendekiawan Bugis untuk

menata kerajaan Bone ketika itu dan juga kehidupan masyarakat lainnya. Namun

seiring berjalannya waktu kearifan lokal ini juga mengalami kemerosotan yang sangat

jauh hingga penulis melakukan penelitian untuk berusaha mengembalikan keraifan

lokal tersebut.

Dalam penulisan skripsi ini, membutuhkan waktu yang cukup lama serta ada

banyak halangan dan rintangan yang dilalui penulis baik dalam proses pencarian data

maupun kendala lainnya. Namun halangan dan rintangan tersebut mampu dilalui

penulis berkat Allah Swt., dan doa orang-orang hebat yang selalu setia hingga hari

ini. Untuk itu, penulis menyampaikan penghargaan yang setinggi-tingginya untuk

orang terhebatku yakni ayahanda Muhammad Rapi dan ibunda Harisa, selaku orang

tua tercinta yang telah melahirkan, membesarkan, membimbing dan menafkahi

pendidikan dari jenjang sekolah dasar hingga ke perguruan tinggi dengan penuh

ketabahan dan keikhlasan dan iringan doa yangs selalu dipanjatkan untuk kebaikaan

dan keberhasilan ananda. Mudah-mudahan jerih payah beliau bernilai ibadah disisi-

v
Nya. Dan semoga apa yang dihaturkan dalam doanya untuk keberhasilan ananda

diijabah oleh Allah Swt., dan ananda mampu menjadi contoh untuk keluarga dan

masyarakat. Aaamiiin Ya Rabbal Aalamiiin.

Penulis juga tidak lupa menyampaikan terima kasih kepada:

1. Bapak Prof. Dr. Musafir Pababbari, M.Si., selaku Rektor UIN Alauddin

Makassar, Bapak Prof. Mardan, M. Ag., selaku Wakil Rektor I (satu) Bidang

Akademik dan Pengembangan Lembaga, Prof. Dr. Sultan, M.A., selaku Wakil

Rektor II (dua) Bidang Administrasi Umum dan Keuangan, Prof. Dr. Siti Aisyah,

M. Ag., selaku Wakil Rektor III (tiga) Bidang Kemahasiswaan dan Kerjasama

UIN Alauddin Makassar. Atas kepemimpinan dan kebijakannya yang telah

memberikan banyak kesempatan dan fasilitas kepada kami demi kelancaran

dalam proses penyelesaian studi kami.

2. Para pengurus dan panitia penerima beasiswa Bidikmisi angkatan 2015 yang

telah membantu penulis dalam hal materi, sehingga penulis mampu

menyelesaikan studi yang berjalan kurang lebih 4 tahun lamanya.

3. Bapak Dr. H. Barsihannor, M. Ag., selaku dekan Fakultas Adab dan Humaniora

UIN Alauddin Makassar, Bapak Dr. Abd. Rahman R, M. Ag., selaku Wakil

Dekan I (satu) Bidang Akademik, Ibu Dr. Hj. Syaman Syukur, M. Ag., selaku

Wakil Dekan II (dua) Bidang Administrasi, Bapak Dr. H. Muh. Nur Akbar

Rasyid, M. Ed., selaku Wakil Dekan III (tiga) Bidang Kemahasiswaan. Atas

kesempatan dan fasilitas yang diberikan kepada kami selama proses perkuliahan

hingga menyelesaikan studi.

4. Bapak Dr. Rahmat, M. Pd.I dan Bapak Dr. Abu Haif, M. Hum., selaku Ketua dan

Sekretaris Jurusan Sejarah dan Kebudayaan Islam Fakultas Adab dan

vi
Humaniora UIN Alauddin Makassar, atas ketulusan dan keikhlasan serta banyak

memberikan arahan dan motivasi studi.

5. Ibu Dra. Susmihara, M. Pd dan Dr. Rahmawati, M.A., Ph.D., selaku Pembimbing

pertama dan kedua. Penulis menyampaikan terima kasih yang setinggi-tingginya

yang selalu membimbing selama penulisan skripsi ini. Disela-sela waktunya

yang sangat sibuk namun menyempatkan diri untuk membimbing dan

mengarahkan penulis dalam penyelesaian skripsi ini.


6. Bapak/ Ibu Dosen Sejarah dan Kebudayaan Islam yang telah memberikan banyak

ilmu hingga penyusun bisa sampai ketahap ini.

7. Bapak/ Ibu TU Fakultas Adab dan Humaniora yang telah membantu memberikan

kemudahan dan kelancaran, serta dengan sabar melayani dan membantu

penyusun mengurus administrasi akademik.

8. Orang tua kedua saya selama berada di rantauan bapak Jamaluddin Yasin ST.

bersama ibu Dwiyanti Alwi, S.Pd., M.Pd yang telah banyak membantu penulis

selama masa kuliah.

9. Saudaraku Sudirman yang sangat berjasa dalam penyusunan skripsi ini, terima

kasih bantuannya dalam materi dan tenaga untuk memperbaiki media yang

digunakan penyusun dalam tulisan ini.

10. Saudara Alim Bahri sebagai teman sekaligus pasangan cerita yang selalu setia

menyempatkan waktu kapanpun saat dibutuhkan. Terima kasih atas motovasi dan

dukungannya selama ini dan juga bantuannya dalam materi dan tenaga selama

masa penelitian di lokasi.

11. Bapak A. Ardiman dan Musakkir, S. Pd,. M. Pd selaku senior dan juga guru,

penulis haturkan terima kasih atas sumbangsi dan saran judul yang telah

vii
diberikan sehingga penulis dapat menyelesaikan tugas akhir ini pada program

sarjana.

12. Saudaraku yang tersayang Rusliah, Safitria, Widya Wilfana, Puja Kusuma, Ade

Mulyana, Annisa Tamara, Risma Dwi Astuti dkk yang tidak sempat disebutkan

satu persatu, terima kasih atas bantuan dan sumbangsinya dalam penyusunan

tulisan ini.

13. Saudari Sakinah teman seperjuangan dalam jurusan Sejarah dan Kebudayaan

Islam angkatan 2016 terima kasih telah membantu dalam penelitian dan

penulisan skripsi.

14. Saudari Besse Nabila Adiba teman seperjuangan sekaligus saudara tak sedarah,

beda jurusan namun memiliki tujuan yang sama, terima kasih atas bantuan dan

dukungannya selama ini.

15. Saudara-saudara teman seperjuangan mahasiswa jurusan Sejarah dan

Kebudayaan Islam Angkatan 2015 dan semua pihak yang memberikan bantuan

dan dorongan baik yang bersifat materiil dan non materiil dalam penyelesaian

skripsi ini.

16. Teman-teman Super Crazy (SC) masa putih biru, terima kasih atas motivasi dan

dukungannya selama ini serta doa yang telah dipanjatkan.

17. Teman-teman Darkmwif (DM) masa putih abu-abu, terima kasih atas doa dan

dukungannya yang telah diberikan untuk tetap mensupport penulis demi

kelancaran penulisan skripsi ini.

18. Teman-teman KKN angkatan 60 Kabupaten Maros terkhusus sektor Tompobulu

yang telah memberikan pengalaman baru bagi saya dalam hal persaudaraan dan

viii
kebersamaan demi kelancaran Kuliah Kerja Nyata untuk mendapatkan sertifikat

KKN sebagai persyaratan ujian komprehensif.

Sekali lagi terima kasih atas bantuan dan dukungan dari berbagai pihak,

penulis tidak bisa membalas kebaikan yang telah diberikan, semoga Allah yang

membalas kemurahan hati dan kebaikan kalian semua.

Gowa, 09 Juli 2019 M.


06 Dzulkaidah 1440 H.

Penulis,

Ati Fitriani
NIM: 40200115020

ix
DAFTAR ISI
HALAMAN SAMPUL ....................................................................................... i

PERNYATAAN KEASLIAN SKRIPSI ........................................................... ii

PERSETUJUAN PEMBIMBING...................................................................... iii

PENGESAHAN SKRIPSI ................................................................................. iv

KATA PENGANTAR ........................................................................................ v

DAFTAR ISI ....................................................................................................... x

TRANSLITERASI ............................................................................................. xii

ABSTRAK .......................................................................................................... xvii

BAB I PENDAHULUAN ............................................................................. 1-12

A. Latar Belakang Masalah ............................................................. 1

B. Rumusan Masalah ...................................................................... 4

C. Fokus Penelitian dan Deskripsi Fokus ....................................... 5

D. Kajian Pustaka ............................................................................ 6

E. Metodologi Penelitian ................................................................ 8

F. Tujuan dan Kegunaan Penelitian ............................................... 11

BAB II BIOGRAFI KAJAO LALIDDONG .............................................. 13-33

A. Riwayat Hidup ........................................................................... 14

B. Kondisi Sosial ............................................................................ 20

C. Sikap dan Pandangan Hidup ...................................................... 22

D. Kedudukan Kajao Laliddong di Kerajaan Bone ........................ 24

BAB III KONSEP PEMIKIRAN KAJAO LALIDDONG TERHADAP

PERKEMBANGAN KERAJAAN BONE ....................................... 34-49

A. Dalam Bidang Sosial Budaya ....................................................... 34

B. Dalam Bidang Politik ................................................................... 42

x
C. Dalam Bidang Pendidikan ............................................................ 48

BAB IV NILAI-NILAI UTAMA PEMIKIRAN KAJAO LALIDDONG .. 53-61

A. Nilai Kejujuran (Lempu’) .............................................................. 52

B. Nilai Kecendekiawan atau Kepandaian ......................................... 54

C. Nilai Keberanian ............................................................................ 57

D. Nilai Keteguhan (Getteng) ............................................................ 59

BAB V PENUTUP ......................................................................................... 62-63

A. Kesimpulan .................................................................................... 62

B. Implikasi ........................................................................................ 63

DAFTAR PUSTAKA .......................................................................................... 64

LAMPIRAN-LAMPIRAN ................................................................................. 67

BIODATA PENULIS .......................................................................................... 70

xi
TRANSLITERASI

A. Dari Huruf Hijai’yyah ke Huruf Latin

Terdapat sejumlah istilah dan kosakata yang berasal dari bahasa Arab dengan

huruf hijai’yyah ditransliterasi kedalam bahasa Indonesia dengan menggunakan huruf

latin.

1. Konsonan

Huruf Nama Huruf Latin Nama


Arab

‫ا‬ alif Tidak dilambangkan Tidak dilambangkan

‫ب‬ ba B Be

‫ت‬ ta T Te

‫ث‬ tsa S es (dengan titik di atas)

‫ج‬ jim J Je

‫ح‬ ha H ha (dengan titik di bawah)

‫خ‬ kha’ Kh ka dan ba

‫د‬ da D De

‫ذ‬ dzal Z Zet

‫ر‬ ra R Er

‫ز‬ zai Z Zet

‫س‬ sin S Es

‫ش‬ syin Sy es dan ye

‫ص‬ sad S es (dengan titik di bawah)

‫ض‬ dad D de (dengan titik di bawah)

‫ط‬ ta T te (dengan titik di bawah)

‫ظ‬ za Z zet (dengan titik di bawah)

‫ع‬ ‘ain ‘ apostrof terbalik

xii
‫غ‬ gain G ge

‫ف‬ fa F Ef

‫ق‬ qaf Q Qi

‫ك‬ kaf K Ka

‫ل‬ lam L El

‫م‬ mim N Em

‫ن‬ nun N En

‫و‬ wau W We

‫ه‬ ha H Ha

‫ء‬ hamzah ‘ Apostrof

‫ي‬ ya Y Ye

Hamzah (‫ )ء‬yang terletak diawal kata mengikuti vokalnya tanpa diberi tanda

apapun. Jika ia terletak ditengah atau diakhir, maka ditulis dengan tanda (‘).

2. Vokal

Vokal tunggal bahasa Arab yang lambangnya berupa tanda atau harakat

transliterasinya sebagai berikut:

Tanda Huruf Tanda Huruf


َ‫ا‬ A ‫ﺋَﻲ‬ ai
ِ‫ا‬ I ‫ﺋِﻲ‬ Ii
ُ‫ا‬ U ‫ﺋُﻲ‬ Uu
Contoh:

‫ َﻛ ْﻴﻒ‬: kaifa
‫َﻫ ْﻮل‬ : haula

xiii
3. Maddah
Maddah atau vokal panjang yang lambangnya berupa harakat dan huruf,

transliterasinya berupa huruf dan tanda, yaitu:

Harakat dan huruf Nama Huruf Nama

‫ي‬...
َ / َ‫ا‬... Fathah dan alif atau ya A a dan garis di atas

‫ﺋِﻲ‬ Kasrah dan ya I i dan garis di atas

‫ﺋُﻮ‬ Dhammah dan wau U u dan garis di atas

Contoh:

‫ﺎت‬
َ ‫َﻣ‬ : maata ‫ﻗِ ْﻴ َﻞ‬ : qiila

‫َرَﻣ ْﺊ‬ : ramaa ‫ت‬ُ ‫ﳝَُْﻮ‬ : yamuutu

4. Ta Marbutah

Ta marbutah harakat fathah, kasrah, dan dhammah, transliterasinya [t]. Ta

marbutah harakat sukun, transliterasinya [h]. Ta marbutah diikuti oleh kata yang

menggunakan kata sandang al- serta bacaan kedua kata itu terpisah, maka ta

marbutah itu ditransliterasikan dengan [ha].

Contoh:
‫ﺿﺔُ اﻷَ ﻃَْﻔ ْﻞ‬ َ ‫ َرْو‬: raudah al-atfal ُ‫ اَ ْﳊِ ْﻜ َﻤﺔ‬: al-hikmah
ُ‫ﺎﺿﻠﺔ‬ ِ ‫ اﻟْﻤ ِﺪﻳْـﻨَﺔُ اَﻟ َﻔ‬: al-madiinah al-faadilah
َ

5. Syaddah (Tasydid)

(‫)ئ‬
ّ dalam transliterasi ini dilambangkan dengan perulangan huruf (konsonan
ganda) yang diberi tanda syaddah. (‫ )ئ‬bertasydid di akhir sebuah kata dan didahului

oleh huruf kasrah (‫)ئ‬,


ِ ditransliterasi seperti huruf maddah (i).

xiv
Contoh:

‫َرﺑﱠ َﻦ‬ : rabbanaa ‫اَ ْﳊَ ﱠﻖ‬ : al-haqq

‫َﱠﻴﻨﺎ‬
ْ‫ﳒ‬ : najjainaa

6. Kata Sandang

‫( ال‬alif lam ma’rifah), ditransliterasi seperti biasa, al-, ditulis terpisah dari kata
yang mengikutinya dan dihubungkan dengan garis mendatar (-).

Contoh:

‫ﺲ‬
ُ ‫ﺸ ْﻤ‬ ‫ اَﻟْ ﱠ‬: al-syamsu (bukan asy-syamsu)
‫ اَﻟْﻠ ِﺰﻟ َْﺰ ِﻟﺔ‬: al-zalzalah (bukan az-zalzalah)

7. Hamzah

Transliterasi huruf hamzah menjadi apostrof (‘) hanya berlaku bagi hamzah

yang terletak di tengah dan akhir kata.

Contoh:

‫ ﺗَﺄ ُْﻣ َﺮْو َن‬: ta’muruuna


‫ع‬
ُ ‫اَﻟْﻨَـ ْﻮ‬ : al-nau’

B. Dari Huruf Lontara ke Huruf Latin

1. Konsonan

Berikut huruf lontara yang ditransliterasikan ke dalam huruf latin:

k g G K
Ka ga nga nka
p b m P
pa ba ma mpa
t d n R
ta da na nra

xv
c j N C
ca ja nya nca
y r l w
Ya ra la wa
s a h .
Sa a ha .

2. Vokal

a. Selain “a” vokal memakai lambang tersendiri, yaitu: a= a, ai= i, au= u,

ea= e, ao= o, aE= E’

Vokal Simbol Ket.

a Huruf dasar Tetap

i --i- Titik bawah

u --u-- Titik atas

e e----

o ----o

E’ --E--

b. Pada prinsipnya huruf lontaraq konsonan akhir tidak diberi simbol tersendiri,

tetapi terimplisit dalam kata-kata tertentu, misal:

1) rp = rapang, dalam transliterasi konsonan akhir ng yang terkandung pada

huruf “p” dituliskan seperti contoh tersebut.

2) Untuk kata berakhiran konsonan dengan huruf antara “k” (Latin) dan

hamzah= Arab, disalin dengan huruf akhir “k”, seperti adE = adek.

3) Untuk kata yang berakhiran konsosan mirip dengan huruf ‘ain Arab disalin

dengan tanda “ ‘ “, seperti luwu= Luwu’.

xvi
ABSTRAK
Nama : Ati Fitriani

NIM : 40200115020

Judul : KAJAO LALIDDONG (Konsep Pemikiran Tentang

Perkembangan Kerajaan Bone Abad XVI-XVII)

Penelitian ini bertujuan untuk mengungkapkan tentang nilai utama pemikiran


Kajao Laliddong terhadap perkembangan kerajaan Bone abad XVI-XVII. Masalah
yang diteliti dalam tulisan ini difokuskan pada hal: 1) Bagaimana konsep pemikiran
Kajao Laliddong terhadap perkembangan kerajaan Bone pada abad XVI-XVII? 2)
Apa nilai-nilai utama pemikiran Kajao Laliddong terhadap perkembangan Kerajaan
Bone abad XVI-XVII? Tujuan penelitian ini yaitu : 1) Untuk mendeskripsikan dan
menginterpretasikan secara interpretatif konsep pemikiran Kajao Laliddong terhadap
perkembangan Kerajaan Bone pada abad XVI-XVII. 2) Untuk mendeskripsikan dan
menginterpretasikan nilai utama pemikiran Kajao Laliddong terhadap perkembangan
Kerajaan Bone.
Untuk mengkaji permasalahan tersebut, peneliti menggunakan metode
penelitian deskriptif kualitatif untuk mengungkapkan fakta sejarah tentang biografi,
peranan dan nilai utama pemikiran Kajao Laliddong di kerajaan Bone. Untuk
menganalisa fakta tersebut, peneliti menggunakan pendekatan yang sering digunakan
dalam penelitian sejarah, yaitu pendekatan historis, pendekatan sosiologi, dan
pendekatan Agama.
Hasil penelitian menunjukkan bahwa: 1) Konsep pemikiran Kajao Laliddong
yang banyak berpengaruh dan berkembang di kerajaan Bone yaitu konsep
pangadereng. pangadereng merupakan kaidah-kaidah yang meliputi cara seseorang
harus bertingkah laku terhadap sesama manusia secara timbal balik serta mendorong
adanya gerak dinamika masyarakat. Sistem norma yang diterapkan konsep Kajao
Laliddong untuk menata kehidupan baik dalam bidang sosial budya, politik dan
pendidikan yaitu pangadereng yang mencakup empat hal yakni, ade’, rapang, bicara
dan wari’. 2) Adapun nilai utama nilai utama dari konsep pemikiran Kajao Laliddong
yang sering diungkapkan dan ditekankan yaitu, lEPu (lempu= Kejujuran), ac
(acca= Kepandaian), asitinj (assitinajang= Kepatutan), gEtE (getteng=
Keteguhan), erso (reso= kerja keras), dan siri (siri’= Harga diri).

xvii
BAB I
PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah

Pertumbuhan dan perkembangan kerajaan-kerajaan di Sulawesi Selatan

bermula dari munculnya To Manurung sekitar abad XIII dan XIV. Dalam naskah

lontara Bugis Makassar disebutkan bahwa To Manurung adalah tokoh pembaharu,

peletak utama dasar-dasar pemerintahan dalam kerajaan yang ada di jazirah Sulawesi.

Demikian pula halnya di Bone, To Manurunglah yang mula-mula membangun

kerajaan Bone, setelah diangkat menjadi raja dengan gelar “Mata Silompo’e”.1
Pada masa Raja Bone IV We Banrigau Makkaleppi’e, lahirlah seorang anak

yang cerdik dan pandai di wanua Cina yang diberi nama La Mellong. Sejalan dengan

pertumbuhan La Mellong dengan kerajaan Bone yang selanjutnya diperintah oleh

Raja Bone VI La Uliyo Bote’e, berita mengenai kecerdasan La Mellong semakin

dikenal dikalangan masyarakat Bone. Kecerdikan beliau didengar oleh raja yang

kemudian mengutus seorang “Suro” (utusan kepercayaan raja) untuk berangkat

menjemput La Mellong di Cina. Kemudian La Mellong dibawa ke istana Raja Bone

dan menetap dalam istana.

Mengukir sejarah pada abad XVI atau XVII di Sulawesi Selatan, merupakan

suatu prestasi gemilang yang hingga kini masih sulit ditandingi. Sosok seorang tokoh

bergelar Kajao Laliddong penasehat raja Bone, memang patut dikenang, dicatat

pemikirannya serta diungkapkan nilai-nilai yang dikandung maksud dari berbagai

pesan yang diungkapkannya.

1
Rahmawati, Perspektif Baru dalam Proses Penyebaran Islam di Kerajaan Bone Sulawesi
Selatan Analisis Sejarah Tentang Musu Selleng Pada Tahun 1606-1640 (Cet. I; Makassar: Alauddin
University Press, 2014), h. 77

1
2

La Mellong Kajao Laliddong dikenal sebagai penasehat raja yang berperan

dalam menciptakan pola dasar pemerintahan di kerajaan Bone pada abad XVI dimasa

pemerintahan Raja Bone VI La Uliyo Bote’e (1543-1568) dan Raja Bone VII La

Tenrirawe Bongkangnge (1568-1584). La Mellong Kajao Laliddong terkenal dengan

pokok-pokok pikirannya tentang hukum dan ketatanegaraan yang menjadi acuan bagi

raja dalam melaksanakan aktivitas pemerintahan di kerajaan Bone. Dalam lintasan

sejarah perjalanan kerajaan Bone dilukiskan bahwa, betapa besar jasa La Mellong

dalam mempersatukan tiga kerajaan Bugis, yakni Bone, Soppeng, dan Wajo, dalam

sebuah ikrar sumpah setia untuk saling membantu dalam hal pertahanan dan

pembangunan kerajaan. Ikrar tersebut dikenal dengan nama “Lamumpatue (perjanjian

Tellumpoccoe)” di Timurung tahun 1582 pada masa pemerintahan La Tenrirawe

Bongkangnge. 2

Kajao Laliddong juga dikenal sebagai peletak dasar konstitusi atau yang

biasa dikenal dengan istilah “Pangadereng” dalam Bugis dan “Pangadakkang” dalam

istilah Makassar. Ajaran-ajaran beliau bukan saja diterima dan diakui di kerajaan

Bone, melainkan juga di luar kerajaan Bone. Terutama setelah Bone melebarkan

sayapnya. Bahkan banyak yang menjadikan konstitusi itu sebagai falsafah kerajaan

lain termasuk kerajaan Bugis yang ada di lingkup Sulawesi Selatan.

Sejalan dengan pemikiran Bronislaw Molinowski yang menyatakan asas

fungsi (teori fungsionalisme) bahwa pada dasarnya kebutuhan manusia sama, baik itu

kebutuhan yang bersifat biologis maupun bersifat psikologis dan kebudayaan pada

2
Asmat Riady Lamallongeng, Kajao Laliddong Pemikir Besar dari Tanah Bugis, dengan kata
pengantar oleh H. Ajiep Padindang (Cet. I; Makassar: Lamacca Press, 2004), h. 7
3

dasarnya memenuhi kebutuhan tersebut. 3 Konsep pangadereng lahir atas dasar

kebutuhan masyarakat ketika itu untuk menjalankan roda pemerintahan dengan baik

dan bijaksana maka dibutuhkan hukum-hukum yang dapat menjaga kedamaian suatu

kerajaan. Konsep norma sosial ini ada empat yang dipaparkan oleh beliau, yakni ade’

(kebiasaan), bicara (peradilan), rappang (undang-undang atau perumpamaan), wari’

(kasta-kasta dalam masyarakat).

Setelah agama Islam resmi menjadi agama kerajaan Bone pada abad XVII,

maka keempat komponen pangadereng (ade’, bicara, rapang, dan wari) ditambah

lagi satu komponen, yakni sara (Syariat Islam). Dengan demikian ajaran Kajao

Laliddong tentang hukum yang mengatur kehidupan masyarakat, baik secara individu

maupun komunitas dalam wilayah kerajaan, dengan ditambahkannya komponen

sara’ diatas menjadi semakin lengkap dan sempurna. Ajaran Kajao Laliddong ini

selanjutnya menjadi pegangan bagi kerajaan-kerajaan Bugis yang ada di Sulawesi

Selatan.4

Pengintegrasian Islam (sara’= syara’) kedalam pangadereng merupakan

faktor yang sangat mempengaruhi cara pandang mereka terhadap kehidupan. Islam

tidak hanya menjadi unsur yang melengkapi pangadereng menjadi lima komponen

dari sebelumnya yang hanya empat, melainkan juga telah memberikan dimensi

spiritual terhadap unsur-unsur pangadereng lainnya sehingga memiliki nuansa

keagamaan.5

3
David Kaplan dan Manners, dkk. Teori-teori Budaya (Cet. I; Yogyakarta:Pustaka Pelajar,
2000), h. 164
4
A. Rahman Rahim, Nilai-nilai Utama Kebudayaan Bugis (Cet I; Ujung Pandang: Hasanuddin
University Press, 1992), h. 122
5
Nurman Said, Membumikan Islam di Tanah Bugis (Cet II; Makassar: Alauddin University
Press, 2011), h. 97
4

Islam memperkaya makna pangadereng menjadi lebih bernuansa religius

sambil mengoreksi hal-hal yang tidak sejalan dengan tuntunan sara’. Dengan

masuknya sara’ menjadi salah satu bagian dari pangadereng maka segala ketentuan

berkaitan dengan unsur-unsur pangadereng lainnya memperoleh nafas keislaman.

Dapat dikatakan bahwa lewat konsep pangadereng ini menumbuhkan suatu wahana

kebudayaan yang tak ternilai bukan hanya bagi masyarakat Bugis diberbagai pelosok

Nusantara. Bahkan ajaran Kajao Laliddong ini telah memberi warna tersendiri peta

budaya masyarakat Bugis, sekaligus membedakannya dengan suku-suku lain yang

mendiami Nusantara ini.

Namun seiring dengan berjalannya waktu, kearifan lokal ini diambang

kepunahan karena masyarakat pada umumnya cenderung lebih meniru budaya asing

yang jelas-jelas kurang memperhatikan sikap dan moral. Dari itu, peneliti tertarik dan

menganggap penelitian ini urgen untuk dilaksanakan terutama nilai-nilai yang ada

dalam konsep pemikiran dan pappaseng Kajao Laliddong untuk melestarikan

kembali kearifan lokal tersebut sehingga bisa dijadikan sebagai acuan untuk menata

kehidupan masyarakat, bangsa dan negara kedepannya.

B. Rumusan Masalah

Berdasarkan latar belakang diatas, maka yang menjadi pokok permasalahan

dari judul Konsep Pemikiran Kajao Laliddong Terhadap Perkembangan Kerajaan

Bone Abad XVI-XVII, yaitu:

1. Bagaimana konsep pemikiran Kajao Laliddong terhadap perkembangan

kerajaan Bone pada abad XVI-XVII?

2. Apa nilai-nilai utama pemikiran Kajao Laliddong terhadap perkembangan

Kerajaan Bone abad XVI-XVII?


5

C. Fokus Penelitian dan Deskripsi Fokus


1. Fokus Penelitian

Titik fokus dalam penelitian ini yaitu konsep pemikiran Kajao Laliddong

terhadap perkembangan kerajaan Bone yaitu konsep pangadereng (ade’, wari,

rapang, dan bicara). Bahkan dalam politik juga beliau menjadi pemikir untuk

mempersatukan tiga kerajaan Bugis yang dikenal dengan aliansi Tellumpoccoe di

Timurung yang ada didalamnya yaitu kerajaan Bone, Soppeng dan Wajo. Disamping

itu, peneliti juga mengkaji nilai yang terkandung dalam pemikiran Kajao Laliddong

yang berkaitan dengan kejujuran, nilai kecendekiawan, nilai keberanian, dan nilai

keteguhan.

2. Deskripsi Fokus

Sejak kecil sudah tampak bakat-bakat pemikir yang didukung pula

perkembangannya oleh lingkungan hidup yang sehat makmur. Pertumbuhan La

Mellong sejalan dengan pertumbuhan kerajaan Bone.

Isi pesan Kajao Laliddong yang banyak dibicarakan dapat dikatakan berkisar

pada pangadereng yang biasa disebut adat istiadat raja-raja, meliputi hak dan

kewajiban raja, pegawai negeri dan rakyat, apa yang mereka harus lakukan atau tidak

lakukan agar negeri aman dan makmur. Jelas dari pesan-pesan itu, bahwa kekuasaan

raja bukan kekuasaan yang terbatas. Untuk mencapai maksud tersebut, ada empat

landasan atau konsep pemikiran Kajao Laliddong yang harus dipelihara dan

ditegakkan, yaitu ade’, rapang, wari, dan bicara.

Setelah agama Islam resmi menjadi agama Kerajaan Bone dalam abad XVII,

maka kempat komponen pemikiran Kajao Laliddong diatas atau biasa dikenal dengan

istilah “Pangadereng” (ade’, bicara, rapang, dan wari’) ditambah lagi dengan satu

komponen, yakni sara’(Syariat). Dengan demikian ajaran Kajao Laliddong tentang


6

hukum yang mengatur kehidupan masyarakat, baik secara individu maupun

komunitas dalam wilayah kerajaan, dengan ditambahkannya komponen sara’

(syariat) diatas, menjadi semakin lengkap dan sempurna.6

Konsep pemikiran Kajao Laliddong selanjutnya menjadi pegangan bagi

kerajaan-kerajaan Bugis yang ada di Sulawesi Selatan khususnya di Kerajaan Bone.

Dapat dikatakan, bahwa lewat konsep pangadereng dapat menumbuhkan suatu

wahana kebudayaan yang tak ternilai harganya bukan hanya bagi masyarakat Bugis

diberbagai pelosok Nusantara. Bahkan ajaran Kajao Laliddong ini telah memberi

warna tersendiri peta budaya masyarakat Bugis, sekaligus membedakannya dengan

suku-suku lain yang mendiami wilayah Nusantara ini.

Konsep pemikiran Kajao Laliddong menitikberatkan pada lima komponen

utama, yaitu kejujuran, kecerdasan, harga diri, keberanian dan ketakwaan. Dalam

naskah-naskah filsafat, politik dan sosial, khususnya arahan dan nasehat terhadap

pemimpin negara atau kerajaan dan masyarakat, tampak bahwa jumlah naskahnya

kelihatan lebih menonjol terutama terkait dengan proses dialog dan kerjasama antara

satu kerajaan dengan kerajaan lain.

D. Kajian Pustaka

Salah satu aspek terpenting dalam penelitian yaitu tinjauan pustaka yang

bertujuan untuk memandu peneliti dalam rangka menentukan sikap dari ketersediaan

sumber baik berupa hasil penelitian, literatur dan buku-buku sebagai berikut.

1. Skripsi Haderah (1992) menjelaskan bahwa Kajao Laliddong lahir pada awal

abad ke-16, masa pemerintahan Raja Bone ke-4, I Banrigau Dammarowa

6
Asmat Riady. Pengantar: H. Ajiep Padindang. Kajao Laliddong Pemikir Besar dari Tanah
Bugis, h. 34
7

Makkaleppie, Bissu ri Lalemmpone Puwatta ri Lawelareng Arung Majang

yang memerintah sekitar akhir abad ke-15 dan awal abad ke-16. Pada masa

baginda Makkaleppie menjadi mangkau di Bone lahirlah seorang anak

bernama Kajao Laliddong atau yang lebih akrabnya La Mellong di kampung

Laliddong. Jadi penulis dapat mengambil sebuah sumber bahwa Kajao

Laliddong dilahirkan pada masa pemerintahan Raja Bone IV We Banrigau

Makkaleppie (1496-1516), sezaman dengan masa bertahta Raja Gowa IX

daeng Matanre To Mapparisi Kallonna.

2. Dalam buku Mattulada yang berjudul Latoa, menjelaskan percakapan antara

raja Bone dan Kajao Laliddong dan juga petuah-petuah Bugis-Makassar.

3. Dalam buku Asmat Riady pengantar H. Ajeip Padindang, Kajao Laliddong

Pemikir Besar dari Tanah Bugis: bahwa Kajao Laliddong dikenal sebagai

orang yang paling berperan dalam menciptakan pola dasar pemerintahan

kerajaan Bone dimasa lampau tepatnya pada abad XVI, masa pemerintahan

Raja Bone La Uliyo Botee (1535-1560) dan Raja Bone ke VII Tenrirawe

Bongkangnge (1560-1578). Kajao Laliddong muncul ibarat bintang yang

gemilang di kerajaan dengan pokok-pokok pikiran cemerlang tentang hukum

dan ketatanegaraan.

4. Buku Drs. Asmat Riady Lamallongeng dkk/ Kerajaan Bone di Lintasan

Sejarah memuat Raja-raja Bone dari Tomanurung ri Matajang hingga La

Mappanyukki raja Bone terakhir.

5. Buku Andi Palloge Petta Nabba/ Sejarah Kerajaan Tanah Bone, yang memuat

Kajao Laliddong dari kelahiran hingga pengangkatannya menjadi penasehat


8

raja, juga memuat raja-raja awal hingga akhir dan masuknya Islam di kerajaan

Bone yang awalnya ditentang oleh dewan adat kerajaan.

6. Rahmawati, Perspektif Baru dalam Proses Penyebaran Islam di Kerajaan Bone

Sulawesi Selatan (Analisis Sejarah tentang Musu Selleng Pada Tahun 1606-

1640), memuat asal usul lahirnya kerajaan Bone, Penyebaran Islam di

kerajaan Bone, serta pranata Islam dalam kerajaan Bone.

7. Ahmad M. Sewang, Islamisasi Kerajaan Gowa (Abad XVI sampai abad XVII)

yang didalamnya memuat perang antara kerajaan Gowa dan kerajaan Bone

yang dibantu 2 kerajaan Bugis lainnya. Serta memuat pula perjalanan Sultan

Alauddin ke kerajaan Bone untuk menyampaikan syiar Islam kepada

penguasa kerajaan Bone Waktu itu, yaitu La Tenriruwa.

8. Nurman Said, Membumikan Islam di Tanah Bugis. Makassar memuat

Islamisasi kerajaan Gowa, dan juga kerajaan Bugis lainnya.

9. A. Rahman Rahim, nilai-nilai utama kebudayaan Bugis memuat nilai-nilai

kehidupan masyarakat Bugis baik itu politik maupun sosial budaya.

E. Metodologi Penelitian

Metode penelitian dalam buku Abdur Rahman Hamid dan Muhammad Saleh

Majid dalam yang berjudul Pengantar Ilmu Sejarah7, merupakan suatu prosedur atau

cara mengetahui sesuatu yang mempunyai langkah-langkah sebagai berikut.

1. Jenis Penelitian dan Lokasi Penelitian

Jenis Penelitian yang digunakan untuk memperoleh data informasi penelitian,

yaitu penelitian pustaka atau Library Search yaitu penelitian dengan mengambil

7
Abd. Rahman Hamid dan Muhammad Saleh Madjid, Pengantar Ilmu Sejarah. (Cet I;
Yogyakarta: Ombak, 2011), h. 40
9

beberapa literatur dari buku-buku atau kajian pustaka sebagai bahan utama dalam

penelitian ini. Selain itu, peneliti juga melakukan penelitian lapangan atau Field

Search yaitu penelitian yang dilaksanakan di lapangan apabila dibutuhkan data

pendukung nantinya termasuk mengunjungi lembaga arsip.

Metode yang digunakan adalah metode Deskriptif-Kualitatif yaitu suatu

penelitian yang memberikan penjelasan mengenai gambaran tentang ciri-ciri suatu

objek yang menjadi bahan penelitian. Dalam penelitian ini data-datanya dinyatakan

dalam bentuk tulisan yang diperoleh dari beberapaa literatur terkait yang

menjelaskan tentang kerajaan Bone sebelum Islam hingga masuknya Islam dan

keberadaan sosok Kajao Laliddong di istana kerajaan Bone pada abad XVI-XVII.

Fokus lokasi penelitian dilaksanakan di daerah Kabupaten Bone.

2. Pendekatan Penelitian

Adapun pendekatan yang akan digunakan dalam penelitian ini adalah sebagai

berikut.

a. Pendekatan Historis

Penelitian ini menggunakan pendekatan historis karena pendekatan ini

merupakan salah satu pendekatan yang dapat digunakan dalam melakukan penelitian

tentang objek sejarah agar mampu mendapatkan fakta sejarah dan mengungkapkan

banyak dimensi dari peristiwa tersebut.8 Sebuah pendekatan yang meninjau sebab

akibat, maksudnya peristiwa sekarang tidak boleh lepas dari peristiwa masa lampau,

atau berkaitan erat dengan peristiwa yang telah dihubungkan dari berbagai dokumen.

Melalui pendekatan ini penulis dapat menemukan data terkait peranan Kajao

Laliddong di kerajaan Bone.

8
Rahmat, Abu Haif, dkk., Praktek Penelusuran Sumber dan Penulisan Sejarah dan Budaya
(Cet.I; Jakarta: Gunadarma Ilmu), h. 135
9

b. Pendekatan Sosiologi
Pendekatan sosiologi merupakan pendekatan yang perhatiannya

menitikberatkan pada pola perubahan dan perkembangan yang muncul dalam lingkup

masyarakat. Pola perilaku kehidupan masyarakat berhubungan dengan tradisi,

kepercayaan bahkan bahasa juga berpengaruh.

Pola-pola hubungan tersebut akan menghasilkan suatu interaksi, nilai dan

norma yang dijadikan sebagai pedoman dalam tatanan hidup.9 Disamping itu,

pendekatan sosiologi merupakan penelitian yang menggunakan logika dan teori

sosiologi baik teori klasik maupun modern untuk menggambarkan fenomena sosial

keagamaan serta pengaruh suatu fenomena terhadap fenomena lain.10

c. Pendekatan Agama

Jika dilihat dari definisi agama sering kali dipahami sebagai bentuk

kepercayaan sehingga menjelaskan religiusitas masyarakat adalah berdasarkan ritual

keagamaan, bahkan lebih berpusat pada bentuk tradisional. Dengan pendekatan ini

maka akan diketahui letak nilai-nilai budaya Islam dan budaya lokal yang terdapat

dalam budaya tersebut.

3. Langkah-langkah Penelitian

a. Heuristik, merupakan langkah awal dalam penelitian sejarah untuk

mengumpulkan berbagai sumber data yang relevan dengan topik penelitian, guna

untuk mengetahui segala bentuk peristiwa atau kejadian sejarah masa lampau.11

9
Elly M. Setiadi dan Usman Kolip, Pengantar Sosiologi, Pemahaman fakta dan Gejala
Permasalahan Sosial: Teori, Aplikasi, dan Pemecahannya (Cet. II, Jakarta: Kencana, 2011), h. 25
10
M. Sayuti Ali, Metodologi Penelitian Agama: Pendekatan Teori dan Praktek (Cet I; Jakarta:
PT. Raja Grapindo Persada, 2002), h. 100
11
Yugi Al, “Langkah Penelitian Sejarah”, https://www.eduspensa.id/langkah-langkah-
penelitian-sejarah/ (10 Oktober 2018)
10

1) Pustaka, penelitian dengan objek utamanya dari berbagai literatur terkait

sebagai pendukung penuh dalam penelitian ini.

2) Dokumentasi, cara digunakan untuk mencari data mengenai hal-hal atau

variabel yang berupa catatan, transkrip, buku, majalah, buku, prasasti, agenda

dan sebagainya sehingga data yang diperoleh diharapkan dapat mendukung

penelitian.

Berdasarkan sifat sumber sejarah terbagi menjadi 2, yaitu:

1) Data primer, yaitu sumber yang diperoleh langsung dari pelaku yang

melihat atau mengalami dan terlibat langsung dalam sejarah.12 Namun

data primer yang dijadikan peneliti yaitu tulisan lama yang lebih dekat

dengan pelaku yaitu naskah lontara.

2) Data sekunder, yaitu sumber data yang diperoleh peneliti secara tidak

langsung melalui media perantara (diperoleh dan dicatat oleh pihak

lain). 13 Data yang diperoleh dari beberapa buku atau data pendukung

seperti dokumentasi dan laporan data yang tersedia.

b. Kritik, penilaian terhadap sumber-sumber sejarah. Kritik dalam sejarah memiliki

arti pemeriksaan atau pengujian terhadap kebenaran laporan tentang suatu

peristiwa sejarah.

c. Interpretasi, yaitu sebagai penafsiran suatu peristiwa atau informasi tulisan

dengan memberikan pandangan teoritis terhadap informasi tersebut.

12
Sunardi Nur, Metodologi Penelitian: Suatu Pendekatan Proposal (Cet I; Jakarta: Bumi
Aksara, 2011), h. 76
13
Hadari Nawawi, Metodologi Penelitian Bidang Sosial (Cet I; Yogyakarta: Gadjah Mada
University Press, 2017), h. 17
11

d. Historiografi, merupakan suatu tahapan paling akhir dari seluruh rangkaian

penulisan yang merupakan proses penyusunan fakta-fakta ilmiah yang telah

diperoleh dan diseleksi sehingga menghasilkan suatu bentuk penulisan sejarah.14

menuliskan kisah sejarah yang tidak hanya menyusun dan merangkai fakta-fakta

hasil penelitian, melainkan juga menyampaikan suatu pikiran melalui interpretasi

sejarah berdasarkan fakta hasil penelitian.

F. Tujuan dan Kegunaan Penelitian


Pada bagian ini akan dijelaskan dan kegunaan yang hendak dicapai oleh

peneliti terhadap masalah yang diteliti. Tujuan penelitian adalah

1. Untuk mendeskripsikan dan menginterpretasikan secara interpretatif konsep

pemikiran Kajao Laliddong terhadap perkembangan Kerajaan Bone pada abad

XVI-XVII.

2. Untuk mendeskripsikan dan menginterpretasikan nilai utama pemikiran Kajao

Laliddong terhadap perkembangan Kerajaan Bone.

Sementara itu, kegunaan penelitian dalam penulisan skripsi ini adalah sebagai

berikut.
1. Kegunaan ilmiah, penelitian ini diharapkan dapat menambah wawasan

keilmuan kita terkhusus di bidang imu pengetahuan Sejarah dan Kebudayaan

Islam. Penelitian ini nantinya dapat bermanfaat bagi semua kalangan.

2. Kegunaan praktis, penelitian ini diharapkan dapat mengajak masyarakat

umum Sulawesi Selatan dan terkhusus di Kabupaten Bone untuk dapat

mempelajari dan menerapkan lagi lebih dalam terkait konsepsi pemikiran

Kajao Laliddong dalam relevansinya terhadap ajaran Islam di Kerajaan Bone.

14
Nugroho Notosusanto, Mengerti Sejarah (Cet I; Jakarta: Penerbit Universitas Indonesia,
1986), h. 32-33
12

Sehingga dapat disampaikan nantinya dari generasi ke generasi tentang

sejarah-sejarah yang ada di daerah Sulawesi Selatan khususnya Kabupaten

Bone itu sendiri.


BAB II

BIOGRAFI KAJAO LALIDDONG

A. Riwayat Hidup
Naskah kuno (Tolo’na Bone) meriwayatkan bahwa di kerajaan Bone pernah

hidup seorang cendekiawan terkenal sangat cerdas dan cakap bernama La Mellong.
Nama lengkapnya La Mellong To Suwalle yang lahir pada awal abad XVI pada masa

pemerintahan Raja Bone IV We Banrigau Dammarowa Makkaleppie yang

memerintah sekitar akhir abad XV dan awal abad XVI. 15 Sezaman dengan masa

pemerintahan Raja Gowa IX Daeng Matanre Tumapa’risi’ Kallonna. La Mellong juga

sezaman dengan filosuf politik Italia, Nicolo Machiavelli.16 Akan tetapi patut dicatat

bahwa Machiavelli mengabaikan etika atau moral dalam pertarungan politik, maka

Kajao Laliddong justru menganjurkan agar penguasa lebih jujur dan bijaksana.17

La Mellong diyakini lahir disebuah desa yang bernama desa Laliddong. Di

desa itu ditemukan adanya bukti peninggalan sejarah yang berkaitan dengan La

Mellong yaitu sebuah pohon nyalle’ yang dipercaya sebagai tongkat yang

ditancapkan ke tanah. Desa ini dulunya bernama wanua Cina, dan sekarang berubah

menjadi desa Laliddong yang berada di kecamatan Barebbo.

15
Mattulada, LATOA: Satu Lukisan Analistis Terhadap Antropologi Politik Orang Bugis (Cet.
I; Yogyakarta: Gadjah Mada University, 1986), h. 83
16
Machiavelli lahir tahun 1469 di Florence, Italia dan meninggal dunia tahun 1527 pada umur
58 tahun. Ayahnya seorang ahli hukum, tergolong anggota keluarga terkemuka tetapi tidak terlalu
berada. Selama masih hidup Machiavelli pada saat puncak-puncaknya Renaisance di Italia, Italia
terbagi-bagi dalam negara-negara kecil, berbeda dengan negeri yang bersatu seperti Prancis, Spanyol
atau Inggris. Karena itu tidaklah mengherankan jika pada masa ini Italia lemah secara militer meskipun
brilian dari segi kultur.
17
H. Muhammad Bahar Akkase Teng, Falsafah Hidup Orang Bugis (Studi tentang Pappaseng
Kajao Laliddong di Kabupaten Bone), Disertasi (Makassar: Pascasarjana UIN Alauddin, 2019), h. 52

13
14

Keharuman nama La Mellong sebagai anak yang cerdas dan sangat cakap

serta jujur, tersebar dimana-mana bahkan tidak kurang orang tua menjadikan sosok

La Mellong sebagai teladan bagi anak-anaknya. Tatkala berita itu sampai ke istana

kerajaan Bone, maka baginda Raja Bone VI La Uliyo Bote’e memerintahkan kepada

pengawal kerajaan untuk menjemput La Mellong di Cina (sebuah desa yang ada di

kabupaten Bone).

Ketika suro (utusan) Raja Bone sampai di tepi sungai didapatinya banyak

anak gembala sedang memandikan kerbaunya. Utusan Raja Bone lalu bertanya

kepada anak gembala yang ada didekatnya (kebetulan saja La Mellong), bagaimana

dalamnya sungai itu? Si anak gembala menjawab dengan penuh hormat, tanyakan

pada temanmu. Utusan raja kebingungan karena ia berangkat hanyalah seorang diri,

lalu si anak gembala menunjuk tongkat yang dipegang utusan raja tersebut.

Kemudian utusan raja itu menjadikan tongkatnya itu sebagai ukuran kedalaman

sungai tersebut.

Utusan raja juga meminta keterangan, tanda-tanda rumah kediaman matowa

Cina. Dijelaskannya La Mellong kepada utusan raja bahwa rumah matowa Cina

mempunyai tiga buah tangga. Selesai mendengarkan penjelasan La Mellong, utusan

raja memperhatikan setiap rumah yang dilaluinya akan tetapi tidak ada yang

mempunyai tiga tangga. Dalam kebingungan utusan raja mendengar teriakan, ternyata

yang memanggilnya adalah anak gembala tadi (La Mellong). Setelah dipersilahkan

duduk oleh matowa Cina, lalu diceritakan keterangan anak gembala itu, sementara itu

anak gembala (La Mellong) duduk dan bersandar pada tangga loteng (rakkeang).

Kemudian dijelaskan bahwa tangga rumah ini memang tiga, satu di atas dua di bawah

(muka dan belakang).


15

Setelah itu barulah utusan raja mengutarakan maksud dan tujuan

kedatangannya untuk menjemput La Mellong. Matowa Cina dengan rendah hati

menyetujui akan permintaan raja Bone. Kemudian ditetapkanlah waktu

pemberangkatan, La Mellong menetapkan sebaiknya pada waktu ayam moni buGE

“moni bunge” (bunyi ayam pertama). Disinilah terjadi perbedaan pemahaman antara

utusan raja dengan La Mellong, yang dimaksudnya moni bunge (bunyi ayam

pertama) bagi La Mellong adalah bunyi anak ayam yang baru menetas, sedangkan

menurut utusan raja bunyi ayam pertama yaitu bunyi ayam ketika dini hari

menjelang. Diam-diam utusan raja ini mengagumi akan kecerdasan dan kepandaian

anak itu.18

La Mellong tinggal dalam lingkungan istana, tidak berapa lama ia sudah

mampu menyesuaikan diri, dengan adat dan tatakrama dalam istana dan dapat

menarik simpati para pegawai istana, begitu pula sangat disenangi oleh teman-teman

sebayanya.

Demikian waktu berjalan terus dan La Mellong kini menjadi manusia dewasa

yang mampu mengeluarkan buah pemikiran yang menakjubkan terutama tentang adat

istiadat dan kemasyarakatn. Kecintaan raja terhadap La Mellong semakin meningkat.

Seringkali baginda raja Bone memanggil La Mellong untuk meminta

pertimbangannya mengenai hal-hal yang dianggap berat. 19 Seperti suatu ketika raja

Bone bersama para Arung dipusingkan dengan seekor burung pipit yang dikirim Datu

Wajo untuk dimakan oleh seluruh rakyat Bone. Menghadapi teka-teki yang sulit

18
A. Najmuddin Petta Ile (78 tahun), Sekretaris adat Kab. Bone, Wawancara, Bone, 21ss
Februari 2019
19
Wiwiek P. Yoesoef. Biografi Kajao Laliddong (Ujungpandang: Yayasan kebudayaan
Sulawesi Selatan. 1978), h. 20
16

dipecahkan ini, maka di lingkungan istana nama La Mellong mulai disebut-sebut,

sebagai orang yang bakal bisa mencari jawabannya. Pasalnya, apabila Raja Bone

dengan para pembantunya tidak mampu untuk memberi jawaban tentang bagaimana

bisa memberi makan kepada seluruh orang Bone dengan seekor burung pipit, maka

raja Bone harus menyerahkan beberapa wilayah kekuasaannya kepada Wajo. 20

Walaupun La Mellong mengetahui tentang ada masalah sulit yang dihadapi

oleh raja Bone bersama para Arung, namun ia tetap saja diam. Seolah-olah ia tidak

mengetahui adanya masalah burung pipit yang dikirim oleh Datu Wajo itu. Padahal

dalam hati La Mellong jawabannya sangat mudah dan tidak perlu memeras otak

untuk memikirkannya. Arung Ponceng dan Arung Ta’ mengusulkan kepada Raja

Bone agar La Mellong dilibatkan dalam memikirkan persoalan burung pipit dari Datu

Wajo ini, karena itu akan membuahkan hasil yang tidak mengecewakan Raja Bone.

Raja Bone menyetujui usulan yang diajukan Arung Ponceng dan Arung Ta’

dan keesokan harinya diadakanlah pertemuan untuk membahas permasalahan

tersebut. Seperti pada pertemuan sebelumnya, Raja Bone kembali memberi

kesempatan kepada siapa saja yang hadir pada pertemuan tersebut untuk

mengemukakan pendapat. Salah seorang yang ikut dalam pertemuan bernama La

Massuleang mengangkat tangan untuk berbicara.21

“Mohon ampun yang Mulia, menurut saya burung tersebut perlu dimasak

dengan air yang banyak. Airnya itulah yang dibagikan kepada seluruh orang Bone”.

Mendengar pendapat La Massuleang, Raja Bone manggut-manggut kemudian

berkata, “bagus Massuleang, akan tetapi kalau begitu jawaban kita, orang pasti tidak

menerimanya dengan alasan orang Bone tidak memakannya, melainkan

20
Asmat Riady Lamallongeng, Kajao Laliddong Pemikir Besar dari Tanah Bugis, h. 49
21
Asmat Riady Lamallongeng, Kajao Laliddong Pemikir Besar dari Tanah Bugis, h. 51
17

meminumnya. Jadi biar apa kita jawabkan, pasti disalahkan. Masalahnya, permintaan

orang Wajo merupakan hal diluar jangkauan akal kita. Sehingga kita perlu

menjawabnya dengan jawaban diluar jangkauan akal mereka pula. 22

Tidak menunggu lama lagi, Raja Bone penasaran dengan jawaban La

Mellong, sehingga Raja Bone mempersilahkan kepada La Mellong untuk

mengutarakan pendapatnya. La Mellong pun berdiri dan memberi hormat kepada

Raja Bone.

“Mohon ampun yang Mulia, hanya itukah pertanyaan orang Wajo burung

pipit kecil? Menurut hamba, itu pertanyaan kecil. Jawabannya tidak perlu dengan

pikir panjang. Sekarang hamba memohon kepada yang mulia untuk memerintahkan

utusan raja ke pasar guna membeli sebatang jarum seperti yang biasa dibuat kail.

Jarum itu kita kirim ke Wajo agar Datu Wajo memerintahkan kepada pandai besi

yang ada disana agar ditempa menjadi kapak untuk dipakai menebang kayu bakar

pada saat akan memasak burung pipit dari Wajo. Satu parang untuk memotong

burung pipit. Satu pisau untuk mengiris-iris burung pipit. Satu periuk besar lebih

besar dari periuk orang Wajo yang akan digunakan untuk memasak burung pipit dari

Wajo. Setelah semua keperluan itu selesai dikerjakan oleh pandai besi dari sebatang

jarum, barulah burung kiriman orang Wajo dapat dimasak untuk selanjutnya

dibagikan kepada seluruh rakyat Bone.” 23

Raja Bone dan seluruh yang hadir pada pertemuan tersebut heran mendengar

permintaan La Mellong yang tidak masuk akal. Apa mungkin orang wajo atau pandai

besi yang ada disana mampu membuat kapak, parang, pisau dan periuk hanya dari

22
Asmat Riady Lamallongeng, Kajao Laliddong Pemikir Besar dari Tanah Bugis, h. 51-52
23
Asmat Riady Lamallongeng, Kajao Laliddong Pemikir Besar dari Tanah Bugis, h. 52
18

sebatang jarum? Tetapi menyimak kembali permintaan orang Wajo yang memang

diluar jangkauan akal, tentu jawabannya harus diluar jangkauan pula.

Melihat kesungguhan, kecerdasan dan kecakapan La Mellong dalam

menyelesaikan masalah yang dipandang berat, maka baginda raja Bone berkenan

melantik La Mellong sebagai penasehat raja dalam masalah adat istiadat dan hukum.

Penganugerahan gelar kehormatan kepada seseorang yang dianggap berjasa

kepada negara, tidak hanya dikenal dalam abad modern ini, dimasa pemerintahan raja

bone VI pun sudah dipraktekan dalam kerajaan Bone, karena kekaguman raja Bone

atas kecerdasan, kecakapan dan luasnya ilmu pengetahuan La Mellong, sehingga

baginda menganugerahkan gelar “Kajao Laliddong”. Istilah “Kajao” bermakna

seseorang yang telah berusia lanjut dan memiliki kearifan yang tinggi. Sedangkan

“Laliddong” adalah nama sebuah kampung yang terletak dalam wilayah matowa Cina

(kecamatan Barebbo sekarang). Dengan demikian La Mellong putra matowa Cina

secara resmi menyandang gelar Kajao Laliddong sebagai bukti kesetiannya dalam

berbakti kepada raja dan kerajaan Bone. 24

Mengingat usia Kajao Laliddong pada akhir pemerintahan La Tenrirawe

Bongkangnge pada tahun 1578 sudah mencapai 71 tahun, maka banyak yang

berpendapat bahwa pada masa pemerintahan raja Bone VIII La Inca Matinroe ri

Addenenna (1578-1586), peranan Kajao Laliddong secara fisik sebagai penasehat

kerajaan tidak lagi terlalu nampak, kecuali buah-buah pikirannya berupa konsep

pangadereng tetapi menjadi acuan bagi raja dalam menjalankan aktivitasnya dibidang

24
Haderah. Kajao Laliddong to Accana Bone, Skripsi (Ujungpandang: Fakultas Adab IAIN
Alauddin, 1992), h. 38
19

pemerintahan dan kemasyarakatan. Pada masa inilah Kajao Laliddong meninggal


25
dunia dalam usia 79 tahun tepatnya tahun 1586 M.

B. Kondisi Sosial
La Mellong kecil hingga menginjak masa remaja pada masa pemerintahan raja

Bone ke V La Tenri Sukki Mappajungnge (1510-1535) disebuah kampung kecil yang

bernama Laliddong dalam wanua Cina. Dalam berbagai catatan lontara disebutkan

bahwa La Mellong adalah manusia panutan yang memiliki sifat jujur, cerdas dan

berani. Tidak pernah berbohong, tegas dalam tindakan namun rendah hati. Sikapnya

yang demikian mulai tammpak sejak masa kanak-kanak, sehingga teman-teman

sebayanya menganggap La Mellong sebagai teman yang asyik diajak bermain.

Sejak kecil sosok La Mellong sudah tampak adanya bakat dan kecakapan

istimewa untuk menjadi ahli pikir yang cemerlang. Ia melalui masa kecil pada

lingkup keluarga sederhana. Ayah dan ibunya berasal dari kalangan masyarakat

menengah, bukan dari kalangan bangsawan tinggi, tetapi berasal dari kalangan

masyarakat biasa di wanua Cina. Beliau termasuk keluarga dihormati karena

kejujuran, keberanian, dan membela hak orang banyak. 26

Dalam pergaulan sehari-harinya, La Mellong sangat disenangi oleh

masyarakat karena ia dapat menyayangi yang dianggap adiknya dan menghormati

yang lebih tua darinya apalagi terhadap orang tua. Disamping itu ia sangat jujur dan

pantang berbohong, yang benar dikatakan benar dan yang salah dikatakan salah.

Sebagaimana halnya dengan anak-anak kampung lainnya menjelang usia 12 hingga

17 tahun, mereka mengembala kerbau orang tuanya. Ayah La Mellong, disamping

25
Asmat Riady Lamallongeng, Kajao Laliddong Pemikir Besar dari Tanah Bugis, h. 35
26
Asmat Riady Lamallongeng, Kajao Laliddong Pemikir Besar dari Tanah Bugis, h. 12
20

sebagai matowa Cina, mempunyai beberapa petak sawah dan sejumlah kerbau untuk

dipakai mengolah lahan persawahan, yang dikerjakan sendiri untuk memenuhi

kebutuhan lainnya.

Sebagai pengembala kerbau, La Mellong memperlihatkan kedisiplinan yang

tinggi. Ia tidak membiarkan kerbaunya bercerai-berai. Bagi Lamellong tidak ada

pertanyaan yang tidak mempunyai jawaban. Setiap ia menjawab pertanyaan yang ada,

penuh dengan simbol dan makna yang dalam sehingga orang yang mendengarkannya

akan takjub. Masyarakat ketika itu sering tidak menyangka dengan usia La Mellong

waktu itu, yang masih terbilang kanak-kanak, wawasannya sangat luas, pengetahuan

yang dimilikinya melebihi kepantasan usianya. Hal itulah yang membentuk watak,

kecerdasan dan kecakapan La Mellong yang tumbuh dan berkembang seiring dengan

kematangan kepribadiannya untuk memasuki usia dewasa.27

Suasana kampung Laliddong di wanua Cina yang asri, terdiri dari tanah

persawahan dan pembukitan. Disanalah La Mellong membentuk kepribadian diri,

tumbuh menjadi seorang remaja yang memiliki berbagai keahlian. Tutur kata dan

pikiran-pikirannya, membuat orang-orang di kampung Laliddong sangat kagum

apalagi dengan kepandaiannya menjawab segala pertanyaan yang ditujukan

kepadanya.

Seperti anak-anak kampung lain, pada waktu senggang La Mellong selalu

menggunakan kesempatan untuk bermain dengan teman-temannya. Dalam bermain

La Mellong selalu memperhatikan sifat kejujuran apabila terjadi perselisihan diantara

teman bermainnya, La Mellong selalu tampil sebagai penengah. Ia selalu dapat

menemukan jalan pemecahan dengan cara yang adil dengan demikian dikalangan

27
Asmat Riady Lamallongeng, Kajao Laliddong Pemikir Besar dari Tanah Bugis, h. 13
21

teman-temannya, La Mellong dianggap sebagai penengah yang bijaksana. Rupanya

pengalaman-pengalaman dalam memecahkan masalah itu membentuk sosok La

Mellong menjadi cepat dewasa dalam pemikiran, cerdas dan terampil untuk berbagai

hal. 28

Pada Masa pemerintahan Raja Bone V La Tenri Sukki, La Mellong sudah

berada di istana kerajaan Bone namun hanya sebagai warga biasa yang diapnggil

untuk tinggal di dalam lingkungan istana, belum ada status penasehat. Disinilah ia

banyak belajar, mengamati dan memperhatikan kondisi sosial politik masa itu. La

Tenri Sukki pada waktu itu sebagai pewaris tahta dari ibunya, We Banrigau

Makkaleppie. La Tenri Sukki merupakan raja Bone pertama yang disebutkan dalam

lontara memiliki hubungan kerjasama dengan kerajaan besar lainnya di Sulawesi

Selatan. Raja Bone ini memerintah Pada akhir abad XV hingga permulaan abad XIV.

Dimasa pemerintahannya, berhasil memukul mundur pasukan kerajaan Luwu,

Dewaraja Batara Lattu. Setelah perang selesai (perang Cellu), karena pasukan dari

kerajaan Luwu berlabuh di Cellu sebelum menyerang pusat kerajaan Bone. Perang

Cellu dimenangkan oleh kerajaan Bone.

Pasca perang Cellu, Raja Bone V La Tenri Sukki mengadakan perjanjian

dengan Datu Luwu To Serangeng Dewaraja yang dikenal dengan perjanjian “Polo

Malella’e ri Unnyi” (perjanjian gencatan senjata) di Unnyi karena terjadi di daerah

Unnyi. Perjanjian ini adalah baru untuk pertama kalinya terjadi dalam sejarah

kerajaaan Bone. Arti strategis “polo malella’e ri Unnyi” bagi Bone ialah sukses

dibidang politik dan militer. Melalui peristiwa ini, Kajao Laliddong beranggapan

bahwa kerajaan Bone kedepannya akan menghadapi perpolitikan yang rumit untuk

28
Asmat Riady Lamallongeng, Kajao Laliddong Pemikir Besar dari Tanah Bugis, h. 14
22

diselesaikan oleh Arung Mangkau karena adanya taktik dari kerajan-kerajaan lain

yang akan menundukkan kerajaan yang dipandangnya lemah. Maka dari itu Kajao

Laliddong berpikir untuk bagaimana kerajaan Bone kedepannya tetap bisa memegang

posisi strategis dan prestisius yang kuat dan menjadi hegemoni kerajaan-kerajaan

kecil di sekitar kerajaan Bone bahkan juga kerajaan yang ada di Sulawesi Selatan. 29

C. Sikap dan Pandangan Hidup


La Mellong Kajao Laliddong, sebagai orang yang sangat cerdas dan cakap

sebagaimana yang digambarkan dalam naskah-naskah lama. Selain itu beliau juga

dikenal sebagai seorang hakim yang sangat jujur dan diplomat ulung yang

mempunyai wawasan berpikir yang sangat luar biasa dengan kepribadian yang

matang, membuat ia dikagumi bukan hanya dikalangan pembesar kerajaan bahkan

masyarakaat luarpun mengaguminya.

Kajao Laliddong sebagai diplomat dan ahli pikir, beliau dikenal sangat

bijaksana, sopan dalam bertutur kata, tegas dalam hukum, dan berani dalam

pertempuran. Hal ini dibuktikan pada berbagai peperangan yang dilakukan oleh

kerajaan Bone. Kajao Laliddong pun senantiasa ikut, bahkan menjadi pemimpin
kelompok yang membawahi kelompok-kelompok kecil.

La Mellong sebagai seorang negarawan sangat bijaksana dan cinta

perdamaian. Oleh karena itu, pada waktu beliau menjadi penasehat kerajaan Bone,

banyak yang melakukan kunjungan diplomatik kebeberapa kerajaan-kerajaan dan

tidak jarang terjalin hubungan kerjasama dengan kerajaan yang dikunjunginya.

Sedang kerajaan yang menjadi musuh kerajaan Bone, diupayakan melakukan

29
Asmat Riady Lamallongeng, Kerajaan Bone di Lintasan Sejarah (Cet. I; Bone: Dinas
Kebudayaan dan Pariwisata Kabupaten Bone, 2015), h. 49
23

perdamaian melalui sebuah perundingan kemudian disepakatilah perjanjian

perdamaian.30 Seperti pada waktu terjadinya peperangan antara raja Gowa dengan

raja Bone La Tenrirawe Bongkange, raja Gowa I Tajibarani terbunuh, atas nasehat La

Mellong kepada raja Bone, untuk menghargai raja Gowa sebagai seorang kesatria

yang harus dihormati meskipun itu adalah musuh kita.

Dengan suatu upacara menghormati jenazah raja Gowa sebagaimana

menghormati jenazah-jenazah bangsawan Bone. Kemudian diantar ke Gowa untuk

diserahkan kepada keluarganya oleh pengawal kerajaan Bone dengan utusan khusus

raja Bone sebagai juru bicara (diplomat) Kajao Laliddong. Pengembalian jenazah raja

Gowa merupakan inisiatif Kajao Laliddong yang sangat bijaksana, sebab dengan

tindakan itu dapat menyadarkan para penguasa di Gowa bahwa sesungguhnya Bone

sangat mencintai persahabatan dan perdamaian. Dengan langkah ini pula, membuat

kerajaan Bone semakin disegani oleh kerajaan-kerajaan lainnya. Peristiwa itu

mengabadikan salah satu ungkapan Bugis adeami mpnEs tau “Adaemmi

mappannessa tau” (hanya dari kata-kata yang membuat seseorang dapat disebut

manusia). Rupanya kalimat tersebut menjadi pegangan bagi Kajao Laliddong dalam

berdiplomasi dengan siapa saja. Selesai upacara penguburan diadakanlah perundingan

yang melahirkan suatu perjanjian perdamaian antara kedua kerajaan yang dikenal

dengan perjanjian Caleppa.31

Disamping itu hubungan ke kerajaan-kerajaan lain diupayakan tetap terjalin

dengan utuh dan atas prakarsa Kajao Laliddong terciptalah sebuah perjanjian

persahabatan antara tiga kerajaan (Triple Alliance) Bugis yakni Bone, Soppeng dan

30
Pananrangi Hamid, Sejarah Gowa. (Ujungpandang: Balai Kajian Sejarah dan Nilai
Tradisional, 1984), h. 20
31
Asmat Riady Lamallongeng, Kajao Laliddong Pemikir Besar dari Tanah Bugis, h. 24
24

Wajo. Perjanjian persahabatan tersebut diikrarkan bersama oleh tiga raja yang

masing-masing didampingi oleh ahli pikirnya. Perjanjian itu dikenal dengan nama

“Tellumpoccoe” (tiga puncak).

Mengenai konsep pemerintahannya, disarankan kepada raja agar senantiasa

banyak berbuat dengan kurang bicara itulah konsep yang diberlakukan dalam

memperbaiki kehidupan masyarakat. Sebagaimana ungkapan La Mellong yang

dikutip oleh Prof. Dr. A. Zainal Abidin bahwa:

Bilamana tiba musim ayam jantan berkokok diatas atap dan takut turun ke
bawa karena kawan-kawannya menunggu di bawa, janganlah engkau bekerja
berat untuk kepentingan orang banyak sebab dizaman itu yang benar akan
disalahkan dan yang salah akan dibenarkan. Tetapi apabila tiba musim penyu
bertelur dan tidak bersuara, maka engakau harus bekerja keras untuk
kepentingan orang banyak, sebab karyamu akan dinilai dan dihargai oleh
orang lain serta yang benar dibenarkan dan salah akan disalahkan. 32
Ungkapan seperti ini mengandung nilai budaya yang sangat berguna dalam

era pembangunan nasional yang sedang digalakkan, karena menghargai karya orang

lain. Dengan demikian sikap dan pandangan hidup Kajao Laliddong sebagai seorang

cendekiawan yang cerdas, jujur dan bijaksana patut dijadikan acuan untuk menata

pembangunan moral dan mental dilingkungan masyarakat, bangsa dan negara.

D. Kedudukan Kajao Laliddong di Kerajaan Bone


Sebagaimana yang telah dikemukakan sebelumnya, bahwa La Mellong adalah
orang yang sangat cerdik dan cakap. Karena kecerdasannya itu sampai ditelinga raja

Bone yang memerintah pada waktu itu yaitu raja Bone VI La Uliyo Bote’e, sehingga

ia mengirim utusan yang dipercayainya untuk menjemput La Mellong di kampung

kediamannya agar di bawa ke istana. La Mellong sebagai orang baru dalam istana,

32
Zainal Abidin, Pandangan Hidup Orang-orang Sulawesi Selatan Menurut Lontara yang
dapat Dijadikan Penggerak Pembangunan Daerah. Majalah Bingkisan, no. 1 (1986/1987), h. 22
25

tidak berselang lama, ia sudah mampu mengambil simpati dari para keluarga istana.

Selain itu dalam lingkungan istana, ia banyak belajar tata krama dan sopan santun

serta budi pekerti yang luhur.

Setelah usia La Mellong cukup matang, diangkatlah ia sebagai pendamping

raja oleh La Uliyo Bote’e. Kecerdasannya yang cukup tinggi, menyebabkan

perkembangan pengetahuannya dibidang adat istiadat sangat memuaskan baginda

raja. Oleha karena kemampuannya mengeluarkan buah-buah pikiran yang

menakjubkan terutama tentang adat istiadat dan kemasyarakatan, sehingga tidak

jarang terjadi baginda raja Bone, meminta pertimbangannya mengenai hal-hal yang

dipandang sangat berat.

Peranan La Mellong, semakin hari semakin berkembang dalam kerajaan Bone

seiring dengan perkembangan kerajaan Bone waktu itu. Pengangkatan La Mellong

secara resmi menjadi penasehat adalah suatu amanah yang sangat berat, apalagi

dilakukan oleh raja Bone sendiri, setelah melalui ujian berupa dialog antara raja Bone

denga La Mellong sebagai berikut.

kjaollido :agsi aruPoen muasE tEtroai REb alEbirEmu

ptokopulnai alEbirE mubkuriea aj

nttEertEer tau tEbEmu aj npd wEno pGPo

wrPr mubkuriea.
Kajao Laliddong : Agasi Arumpone muaseng tettaroi nrebba alebbiremmu
patokkopulanai alebbireng mubakurie aja’ natatere-tere tau
tebbe’mu aja’ napada wenno pangampo waramparang
mubakurie.
Artinya:
Kajao Laliddong: apa gerangan hai Arumpone yang kau sebut tak
membiarkan robohnya kemuliaan yang mengekalkan tegaknya kemuliaan
26

yang kau punyai, yang tidak mencerai-beraikan rakyatmu, yang tidak


menghambur-hamburkan harta yang kau punyai? 33
aruPoen : lEPuea kjo aEREeG acea.

Arumpone : Lempu’e Kajao enrengnge accae.

Artinya:

Arumpone: Kejujuran itu Kajao bersama kepandaian.

kjaollido : aianritu aruPoen tniaton ritu.

Kajao Laliddong : Iyanaritu Arumpone taniyatona ritu.

Artinya:

Kajao Laliddong: Memang itu tetapi juga bukan itu.

aruPoen : ekgea pel kjao.

Arumpone : Kegae pale Kajao?

Artinya:

Arumpone: Lantas manakah gerangan Kajao?

kjaollido: aiy ainn wrPreG aruPoen tEtroeaGi

ttEertEer tau tEbEn tEmtiRopi mtn arueG

riaEso riwEni nwnwai aedecGEn tnn

ntGai aolon muRin gauea npogauea.


mduan mcpi piRu ad aru mKauea. mtElun

mcpi dupai ad aru mKauea. maEpn

tEGlup suron poad ad toGE.


Kajao Laliddong :Iya inanna waramparangnge arumpone tettaroengngi
tettattere-tere tau tebbe’ne, temmatinropi matanna arungnge
riesso riwenni nawanawai adecengenna tanana natangngai
olona munrinna gau’e napogau’e. Madduana, maccapi pinru’
ada arung mangkau’e. Matellunna, maccapi duppai ada arung

33
Mattulada, LATOA: Satu Lukisan Analisis terhadap Antropologi Politik Orang Bugis, h. 103
27

mangkau’e. Maeppana, tengngalupa surona poada ada


tongeng.
Artinya:
Kajao Laliddong: Adapun induk harta benda itu wahai Arumpone ialah tak
membiarkan rakyatmu bercerai-berai, tidak tidur raja siang maupun malam
merenungkan kesejahteraan negaranya dipandangnya muka dan belakang
[sebab akibat] perbuatan itu baru diperbuatnya, yang kedua Arummangkau’
harus pandai membangun kalimat [menjawab], yang ketiga Arummangkau
harus pandai mengucapkan kalimat, keempat tidak alpa suro [Duta]nya
mengatakan apa yang benar. 34
aruPoen :ekg riasE mc piiRu ad kjao.

Arumpone : Kegae riaseng macca pinru’ ada Kajao?

Artinya:

Arumpone: Manakah yang disebut pandai membangun kalimat Kajao?

kjaollido :ainritu aruPoen riasEeG mcpiiRu ad tau

tEtslea ri pGdErE.
Kajao Laliddong :Iyanaritu Arumpone riasengnge macca pinru’ ada tau
tettassalae ri pangadereng.
Artinya:
Kajao Laliddong: Adapun wahai Arumpone yang disebut pandai membangun
kalimat ialah orang yang kokoh memegang pangadereng
aruPoen :ekgea riasE mc piRu ad kjao.

Arumpone :Kegae riaseng macca pinru’ ada Kajao?

Artinya:
Arumpone: Manakah yang disebut pandai mengucapkan kalimat wahai
Kajao?
kjaollido :ainritu aruPoen riasE mc dupai ad

tEtslea ri rpeG.
Kajao Laliddong :Iyanaritu Arumpone riaseng macca duppai ada tettassalae
rirapangnge.

34
Mattulada, LATOA: Satu Lukisan Analisis terhadap Antropologi Politik Orang Bugis, h.
103-104
28

Artinya:
Kajao Laliddong: Adapun wahai Arumpone yang disebut pandai
mengucapkan kalimat ialah orang yang tidak salah pada rapang.
aruPoen :ekgn riasE tau tEGlup suron ri ad toGEeG

kjao.

Arumpone :Kegana riaseng tau tengalupa surona ri ada tongenge Kajao?

Artinya:
Arumpone: Manakah yang disebut orang tidak alpa dutanya pada perkataan
yang benar wahai Kajao?
kjaollido :aiynritu aruPoen riasEeG tau tEGlupGi

suron ri ad toGEeG tau tEtklupea ri

bicrea.
Kajao Laliddong :Iyanaritu Arumpone riasenge tau tengalupangi surona ri ada
tongenge tau tetakkalupae ri bicarae. 35
Artinya:
Kajao Laliddong: Adapun wahai Arumpone yang disebut orang tak alpa
dutanya pada perkataan yang benar ialah orang tak alpa dari bicara.
aruPoen :aEKg ad ed blin.

Arumpone :Engkaga ada de balinna?

Artinya:

Arumpone: Adakah perkataan yang tidak ada jawabannya?

kjaollido :ed ad ed blin.

Kajao Laliddong :de ada de balinna.

Artinya:

Kajao Laliddong: Tidak ada kata yang tidak ada jawabannya.

35
Mattulada, LATOA: Satu Lukisan Analisis terhadap Antropologi Politik Orang Bugis, h.
104-105
29

aruPoen :agea kmin mwtGE. aEKg cau wtGi

eawGEeG.
Arumpone :Agae kaminang mawatang? Engkaga cau watangngi
ewangenga?
Artinya:

Arumpone: Apa yang paling kuat, adakah yang paling kuat daripada senjata?

kjaollido :mdodoGi aiytu.

Kajao Laliddong :Madodongngi iyatau.

Artinya:

Kajao Laliddong: Lemah itu.

aruPoen :epkogai pel.

Arumpone : pekkogai pale?

Artinya:

Arumpone: Jadi Bagaimana?

kjaollido :aesdiGEeG.

Kajao Laliddong :Asseddingengnge.

Artinya:

Kajao Laliddong: Persatuan.

Lalu Kajao Laliddong mengambil segenggam lidi, kemudian meminta kepada

raja Bone untuk mematahkannya sekaligus, tetapi raja Bone tidak dapat

mematahkannya. Maka berkatalah Kajao Laliddong.

kjaollido :esdi adidi kminGE mrEni. aiyerko meagni

sipuluGE ednriauel poloai. tERipoadni

aiyerko tau meag mesdi.


Kajao Laliddong :Seddi adidi kaminang marenni’. Iyarekko maegani sipulung
denariulle poloi. Tenripoadani iyarekko tau maega maseddi.
30

Artinya:
Kajao Laliddong: Satu lidi terbilang sangat kecil, jika banyak terikat tidak
dapat dipatahkan terlebih lagi jika manusia yang bersatu. 36
Bertanya lagi raja Bone kepada Kajao Laliddong.

aruPoen :ag tRn nsew aes kjao.

Arumpone :Aga tanranna nasawe ase Kajao?

Artinya:

Arumpone: Apa tandanya kesuburan padi wahai Kajao?

kjaollido :tElu tRn nsew aes aruPoen. esauwni ko

mlEPuai aru mKauea. mduan nko

mepmliwi aru mKauea aEREeG to

mbicrea. mtElun mtau esauwpi tauew ri

llEPnua.
Kajao Laliddong :Tellu tanranna nasawe ase Arumpone. Seuwani, komalempui
Arung mangkau’e. Madduana, nakko mappemmaliwi Arung
mangkau’e enrengnge to mabbicarae. Matellunna, matau
seuwapi tauwe ri lalempanua.
Artinya:
Kajao Laliddong: Tiga tandanya maka jadi padi itu wahai Arumpone.
Pertama, apabila raja itu jujur. Kedua, apabila pantangan ditaati ole raja
beserta Tomabbicara. Ketiga, bersatu padu orang di dalam negeri.
mkEdtopi kjaillido. “Makkedatopi Kajao Laliddong” (Berkata
selanjutnya Kajao Laliddong.)

kjaollido : aiyritu adEea aruPoen epasEriwi arjn

aru mKauea aiyton spoai pKaukEn

toepgau bweG aiyton nseRsi

36
Andi Zainal Abidin Farid, Masalah Tradisi dan Pembangunan Nasional. (Makalah yang
disajikan dalam seminar Nasional, 1970 di Jakarta), h. 12-13
31

tomdodoeG. naiy bicrea aiyn psrGi

asislGEn tomKgea. naiy rpeG aiyn

pesajiGi tn mesajieG. nko mrusni

aruPoen adEea tEmsEni ritu ajrn aru

mKauea msoltoni tnea yerko tEmgEtEni

bicrea msolni ritu jEmtEbE. aiyerko

tEmgEtEni rpeG aiynritu aruPoen mCji

asislGE gauean ritu mCji musu musuean ritu

mCji asiaunoGE sb mkuannro aruPoen

nriealorE riatutuai adEea kuweatop

bicrea aEREeG rpeG sibw wriea.


Kajao Laliddong :Iyaritu adae Arumpone peaseriwi arajanna Arung mangkau’e
iyatona sappoi pangkaukenna toppegau bawangnge iyatona
nasanresi tomadodongnge. Naiyya bicarae iyyana
passarangngi assisalangenna tomangkagae. Naiyya rapange
iyana passeajingngi tana masseajingnge. Nakko maarusa’ni
Arumpone ade’e temmasse’ni ritu ajaranna Arung Mangkau’e
masolangtoni tanae yarekko temmagettengni bicarae
masolanni ritu jema’tebbe. Yarekko temmagettengni rapange
iyanaritu Arumpone mancaji assisalangeng gau’enna ritu
mancaji musu, musuenna ritu mancaji assiunongeng saba’
makkuannanaro Arumpone narieloreng riatutui ade’e
kuwaetopa bicarae enrengnge rapange sibawa wari’e.
Artinya:
Kajao Laliddong: Adapun ade’ itu wahai Arumpone mengokohkan kebesaran
raja yang memerintah, ia jugalah yang menghalangi perbuatan para penjahat,
ia jugalah tempatnya bersandar orang lemah. Dan adapun bicara itulah yang
menyelesaikan perselisihan orang yang bersengketa. Dan adapun rapang itu
ialah yang membangun kekeluargaan negara yang sekeluarga. Dan apabila
telah rusak wahai Arumpone ade’ itu, maka tidak kokoh lagi kebesaran raja
memerintah, rusak pulalah negara apabila tidak ditegakkaan lagi bicara itu,
rusaklah rakyat banyak apabila tidak ditegakkan lagi rapang itu, itulah
Arumpone yang menjadi sumber persengketaan. Sengketa itulah yang menjadi
sumber perang, perang itulah yang menjadi pangkal saling bunuh membunuh.
32

Oleh karena itulah wahai Arumpone, maka dikehendaki dipelihara ade’ itu,
juga bicara itu, serta rapang, dan juga wari’.) 37
Begitulah proses pengangkatan La Mellong sebagai penasehat, yang

kemudian diberi gelar “Kajao Laliddong” yang berarti orang cerdik yang berasal dari

Laliddong. Setumpuk pengabdian yang telah dipersembahkan oleh Kajao Laliddong

kepada raja Bone La Uliyo Bote’e yang kemudian beralih kepada raja Bone La

Tenrirawe Bongkangnge ternyata harus berakhir setelah pelantikan putra mahkota.

Dengan beralihnya tahta kerajaan, peranan Kajao Laliddong semakin

meningkat. Terutama dalam masalah adat istiadat dan penetapan hukum. Disamping

itu, beliau juga dikenal dengan negarawan yang bijaksana, hal ini dapa dibuktikan

tatkala perang antara kerajaan Bone dengan kerajaan Gowa yang berakhir dengan

gugurnya raja Gowa dalam peperangan tersebut, maka atas nasehat Kalao Laliddong

untuk mengantarkan jenazah kembali ke Gowa dengan upacara kebesaran

menghormati I Tajibarani Daeng Bonto Lakiung sebagaimana meninggalnya seorang

raja.

Disamping Kajao Laliddong cakap dan cerdas juga beliau sangat berani dalam

menghadapi musuh dalam pertempuran, karena itu beliau juga sering memimpin

kelompok dalam pertempuran. Oleh karena keberaniannya itulah sehingga beliau


dipercayakan untuk mengantar jenazah raja Gowa kembali ke kerajaan Gowa.

mkEd to riaoloea: naiy riasEeG nwnw ptuju.

seRpi riawrniGEeG nmedecGE. naiy awrniGEeG seRpi

rinwnw ptujuea nmedec. naiyro gau duaRupea

lEPu mnEp ntEtoGi nmedec.

37
Mattulada, LATOA: Satu Lukisan Analisis terhadap Antropologi Politik Orang Bugis, h.
103-107
33

Makkeda to rioloe: naiya riasengnge nawana patuju, sanrepi ri waraningenge


sanrepi ri nawanawa patujue namadeceng. Naiyaro gau’ duanrupae lempu
maneppa natettongi namadeceng.
Artinya:
Maksudnya, berkata orang dahulu: yang dinamakan pikiran yang benar
apabila berdasar pada keberanian baru baik, keberanian nanti berdasar pada
pikiran yang benar baru baik. Kedua jenis perbuatan itu baru baik apabila
didasari oleh kejujuran.38
Keberadaan Kajao Laliddong dalam kerajaan Bone telah membawa suatu

kemajuan baik dalam hubungannya dengan kerajaan-kerajaan lain maupun

lingkungan kerajaan Bone itu sendiri, sehingga menjadikan kerajaan Bone semakin

dikenal dan disegani oleh kerajaan-kerajaan lainnya. Selain itu dalam usahanya untuk

mengembangkan kerajaan Bone kajao Laliddong sering mengadakan perjanjian

persahabatan dengan kerajaan-kerajaan lain. Dalam hal ini misalnya, perjanjian

persaudaraan antara kerajaan Bone, Soppeng dan Wajo atas saran dan konstribusi

pemikiran dari Kajao laliddong. Dimana kerajaan Bone tampil sebagai anak sulung,

kerajaan Wajo sebagai anak tengah (kedua), dan kerajaan Soppeng sebagai anak

bungsu. Persaudaraan tersebut terhimpun dalam satu perjanjian yang dikenal dengan

persekutuan tElu Pocoea (Tellumpoccoe).39

38
Andi Muh. Ali, La Mellong Kajao Laliddong (Watampone: Depdikbud, 1984), h. 20
39
Rahmawati, Perspektif Baru dalam Proses Penyebaran Islam di Kerajaan Bone Sulawesi
Selatan Analisis Sejarah Tentang Musu Selleng Pada Tahun 1606-1640 (Cet. I; Makassar: Alauddin
University Press, 2014), h. 106
BAB III

KONSEP PEMIKIRAN KAJAO LALIDDONG TERHADAP

PERKEMBANGAN KERAJAAN BONE

A. Dalam Bidang Sosial Budaya

Adapun konsep pemikiran Kajao Laliddong yang banyak berpengaruh dan

berkembang di kerajaan Bone yaitu konsep pangadereng. Sebagai suatu sistem

budaya dan sistem sosial, pangadereng merupakan kaidah-kaidah yang meliputi cara

seseorang harus bertingkah laku terhadap sesama manusia secara timbal balik serta

mendorong adanya gerak dinamika masyarakat. Sistem norma menurut konsep Kajao

Laliddong sebagai berikut:

1. Ade’

Ade’ merupakan salah satu aspek pangadereng yang mengatur pelaksanaan

sistem norma dan aturan-aturan adat dalam kehidupan masyarakat di kerajaan Bone.

Orang asing pada umumnya menyebut ade’ atau adat itu dengan de oude gewoonten

atau common customs. 40 Ade’ atau adat merupakan perwujudan dari segenap tata
tertib yang meliputi semua orang dalam bersikap dan bertindak dalam kehidupan

masyarakat dan kebudayaan, maka dari itu, bahwa semua orang, semua keadaan, dan

semua benda yang terlibat didalamnya adalah aspek ade’. Ade’ sebagai pranata sosial

yang mengatur tentang hak-hak raja bersama dengan rakyatnya. Dalam menyelidiki

asal kata ade’ yang berarti segala kaidah dan nilai-nilai kemasyarakatan yang

meliputi pribadi dan kemasyarakatan yang didalamnya terkandung beberapa unsur

pokok antara lain.

40
Mattulada. LATOA: Satu Lukisan Analistis Terhadap Antropologi Politik Orang Bugis, h.
309

34
35

a. adE pur aoRo (Ade’ pura onro), yaitu norma yang bersifat permanen atau

menetap dan sukar untuk diubah.

b. adE abiasGE (Ade’ abbiasang), yaitu sistem kebiasaan yang berlaku dala

suatu masyarakat yang dianggap tidak bertentangan dengan hak-hak asasi

manusia.

c. adE mrj (Ade’ maraja), yaitu sistem norma baru yang muncul sejalan

dengan perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi. 41

Demikianlah pentingnya ade’, sehingga bagi orang Bugis ade’ itulah yang

dijadikan sumber nilai yang sangat menentukan. Dalam tujuannya, ade’ itu

mendasarkan diri pada tingkah laku yang disebut mappasilasa’e yakni semua

perbuatan dan tindakan manusia memberikan keseimbangan, kewajaran atau

harmonisasi dalam membawakan diri ditengah-tengah lingkungannya. 42

Sebelumnya ade’ dikenal dengan istilah bEci “becci” (alat untuk

meluruskan), sebagaimana ungkapan berikut.

yerko mkoePni bEciea, msolni lipuea.

elgai ewloGE pnsea, msEboni lEPuea.

ri toGEGEni slea, ri pslai toGEeG.

siaeR bel tauew, siblublu.

siabElibEliaGE, ntuaoni sEri dpurEeG.

ri paop pluGEeG, ri sepa ptpiea.


Yarekko makkompeni becci’e, masolangni lipu’e.
Lega’i welongeng panasae, massebbo’ni lempue.

41
Asmat Riady Lamallongeng, Kajao Laliddong Pemikir Besar dari Tanah Bugis, h. 33
42
Mattulada. LATOA: Satu Lukisan Analistis Terhadap Antropologi Politik Orang Bugis, h.
355
36

Ri tongengengni salae, ri pasalai tongenge.


Sianre bale tauwe, sibalu’-balu’.
Siabbelli-belliang, natuoni seri dapurenge.
Ri paoppang palungenge, ri sappeang pattapie.
Artinya:
Bilamana becci’ kendor (tidak dipatuhi), maka rusaklah negeri.
Tidak memutik pucuk nangka (kejujuran), bersembunyi kebenaran.
Dibenarkan yang salah, disalahkan yang benar.
Saling makan memakanlah orang bagaikan ikan, saling jual menjual.
Saling beli membeli, dapur ditumbuhi rumput-rumput.
Lesung ditelungkupkan, niru digantung. 43
Dengan demikian tujuan hidup menurut pangadereng tak lain untuk

melaksanakan tuntutan fitrah manusia guna mencapai martabatnya, yaitu siri’. Bila

pangadereng dengan segala aspeknya tidak ada lagi, akan terhapuslah fitrah manusia,

hilanglah siri’ dan hidup tak ada lagi artinya menurut orang Bugis. Jadi Jawaban yang

paling kena terhadap pertanyaan mengapa orang Bugis taat kepada pangadereng ialah

karena siri’, seperti tersurat dalam ungkapan:

siri eami ri aoRoa ri lino.

autEto ri adEea.

njgainmi sirit.

naiy siriea suGE nrREG.

Nw nkirkir.
Siri’ emmi ri onroang ri lino.
Utettong ri ade’e.
Najagainnami siri’ ta.
Naiyya siri’e sunge’ naranreng.
Nyawa nakira-kira.

43
Mattulada. LATOA: Satu Lukisan Analistis Terhadap Antropologi Politik Orang Bugis, h.
343
37

Artinya:
Hanya untuk siri’ kita hidup di dunia.
Aku setia kepada ade’.
Karena dijaganya malu kita.
Adapun malu itu jiwa ganjarannya.
Nyawa rekaannya. 44

2. Bicara

Bicara dalam pangadereng adalah semua keadaan yang bersangkut-paut

dengan masalah peradilan. Dengan demikian bicara itu aspek pangadereng yang

mempersoalkan hak dan kewajiban setiap orang atau badan hukum dalam interaksi

kehidupan dalam masyarakat. Didalamnya mengandung aspek-aspek normatif dalam

mengatur tingkah laku setiap subjek hukum seorang dalam lingkungannya yang lebih

luas untuk berinteraksi secara timbal balik.

Bicara dalam melakukan kompetensinya sebagai aspek pangadereng yang

berfungsi terhadap pelanggaran tata tertib dalam masyarakat, berpegang teguh pada

asas hakiki pangadereng, yaitu berkehendak merealisasi fitrah manusia sebagai

tuntutan terdalam dari hati nurani manusia guna berbuat kebajikan terhadap sesama

manusia. Dalam pangadereng orang menyadari perbuatan yang baik dan buruk begitu

pula mengetahui bahwa bicara menyediakan hukuman bagi setiap perbuatan

seseorang atas setiap perbuatannya yang buruk dan melanggar tata tertib. Ade’lah

yang menjaga agar seseorang tidak melakukan perbuatan-perbuatan jahat, karena


ade’ memelihara keadaan yang disebut mappasilasa’e yaitu memelihara keserasian.45

44
Mattulada, LATOA: Satu Lukisan Analistis Terhadap Antropologi Politik Orang Bugis, h.
64-65
45
Bustan, “Kearifan Lokal La Mellong Kajao Laliddong di Kerajaan Bugis” (Makalah yang
disajikan pada Seminar Nasional Pendidikan Ilmu-ilmu Sosial Membentuk Karakter Bangsa dalam
Rangka Daya Saing Global di Grand Clarion Hotel, Makassar 29 Oktober 2016), h. 210
38

Dalam keadaan demikian ade’ memiliki peranan dalam menjaga agar

ketertiban tidak terganggu. Apabila juga terjadi perbuatan jahat yang dilakukan oleh

seseorang, maka orang itu harus disembuhkan melalui bicara yang memiliki peranan

mappasisau atau menyembuhkan seseorang kembali menjadi tau tongeng (orang

benar).

Tongeng (kebenaran) menjadi asas pangadereng, maka seseorang pada

dasarnya adalah tau tongeng (orang benar) namun lingkungan yang menjadikan dan

membentuk karakternya yang menjadi orang yang salah dalam bertindak dan

melakukan kejahatan. Dalam buku Mattulada mengatakan: “Takaranku ku pakai

menakar, timbanganku ku pakai menimbang, yang rendah ku tempatkan di bawah,

yang tengah ku tempatkan di tengah, yang tinggi ku tempatkan di atas”. 46

Menempatkan sesuatu pada tempatnya adalah jalan kebenaran, barang sesuatu yang

akan dipikulkan kepada orang lain hendaknya kita pertama-tama menakarnya dengan

takaran semestinya. Apabila kita menempati takaran orang lain dalam memikul beban

yang kita diminta memikulnya dan dalam takaran itu kita sanggup melakukannya

maka orang lain itupun tidak sanggup melakukannya.

3. Rapang

Rapang artinya contoh, misal, ibarat, atau perumpamaan. Didalam lontara

Latoa kata Rapang disebut sebagai salah satu unsur pangadereng. Jadi rapang

merupakan aturan yang ditetapkan setelah membandingkan dengan keputusan-

keputusan terdahulu atau membandingkan dengan keputusan adat yang berlaku.

Menurut fungsinya, rapang berlaku sebagai:

46
Mattulada, LATOA: Satu Lukisan Analistis Terhadap Antropologi Politik Orang Bugis h.
363
39

a. Stabilisator, seperti undang-undang. Ia menjaga agar ketetapan, keseragaman dan

kontinuitas suatu tindakan berlaku konsisten dari waktu yang lalu hingga masa

kini dan masa yang akan datang.

b. Bahan perbandingan, artinya dalam keadaan tidak ada atau belum ada norma-

norma atau undang-undang yang mengatur suatu hal tertentu. Maka rapang

berfungsi membandingkan atas suatu ketetapan dimasa lampau yang pernah

terjadi atau semacam yurisprudensi. 47

Dari fungsi rapang tersebut memegang peranan dalam mengokohkan negara,

artinya menstabilkan kehidupan masyarakat. Sehubungan dengaan fungsi rapang

sebagai stabilisator masyarakat dan negara, maka dikenalilah keharusan bagi

penguasa untuk mgEtE ri rpeG “maggeteng ri rapangnge” (tegas dalam norma

atau hukum) artinya penguasa harus tegas dan konsisten dalam menjalankan undang-

undang negeri. Ia harus menjalankannya tanpa ragu-ragu dan tidak berubah-ubah,

karena rapang adalah sesuatu yang objektif memberikan konkrit dari kejadian yang

sudah lalu, karena rapang itu mappaseng rupa yaitu memberi hukum kesamaan atas

persoalan yang sama pula. 48

Dari segi kebudayaan, rapang berfungsi menciptakan kontinuitas dari suatu

pola kehidupan yang telah membawa pembenaran dalam sejarah kehidupan dan

mengokohkannya. Ia memberikan ketegasan terhadap suatu sistem tertentu dalam

masyarakat yang sedang berlangsung dan dapat memberikan petunjuk tentang latar

belakang sistem yang berakar dalam pola kebudayaan. Sehubungan dengan fungsi

rapang untuk memberikan kemungkinan untuk mengemukakan perbandingan-

47
Mattulada, LATOA: Satu Lukisan Analistis Terhadap Antropologi Politik Orang Bugis h.
378
48
Bustan, “Kearifan Lokal La Mellong Kajao Laliddong di Kerajaan Bugis”, h. 211
40

perbandingan antara suatu peristiwa dengan peristiwa lainnya agar orang dapat

menemukan garis kebijaksanaan yang tetap. Maka rapang mendorong masyarakat

untuk tidak berpandangan sempit. Pelajaran sejarah di tanah Bugis digolongkan

rapang sebagai satu ilmu sure’ (sastra) yang dihormati. Rapanglah yang dapat

mempertemukan negara-negara untuk mengadakaan hubungan persahabatan dan

kekeluargaan. Hukum antarnegara diletakkan dalam bidang rapang dan kepandaian

diplomasi termasuk lingkup rapang.

4. Wari

Wari adalah perbuatan mappallaisengnge (tahu membedakan), menurut arti

wari tak lain dari penjenisan yang membedakan yang satu terhadap yang lain, suatu

perbuatan yang selektif, perbuatan yang menata atau menertibkan. Jadi wari

merupakan suatu sistem yang mengatur tentang batas-batas kewenangan dalam

masyarakat, membedakan antara satu dengan lainnya dengan ruang lingkup penataan

sistem kemasyarakatan, hak dan kewajiban setiap orang. Akan tetapi wari bukan

hanya membicarakan masalah-masalah keturunan dan pelapisan masyarakat semata-

mata, melainkan mempunyai fungsi-fungsi lain yang lebih luas cakupannya. Secara

umum wari berfungsi sebagai protokoler meliputi:

a. Wari’ asseajing ialah tata tertib yang menentukan garis keturunan dan

kekeluargaan. Menjaga jalur dan garis keturunan yang membentuk pelapisan

masyarakat yang mengatur tentang tata keturunan melalui hubungan perkawinan

b. Wari’ tana ialah tata kekuasaan dan tata pemerintahan dala hal mengenai dasr-

dasarnya. Menjaga atau memelihara tata susunan sesuatu menurut urutan

semestinya. Bagaimana raja bersikap kepada rakyatnya, tata cara menghadap raja

dan mendampingi raja dalam perjalanan.


41

c. Wari’ pangoriseng ialah mengenai tata urutan dari hukum yang berlaku dalam

sistem hukum. Menjaga atau memelihara hubungan kekeluargaan antara raja

suatu negeri dengan negeri lainnya sehingga dapat ditentukan mana yang tua,

mana yang muda dalam tata pangadereng. 49

5. Sara’

Pada awalnya, sistem sara’ dalam pangadereng hanya berkisar pada siri’

(rasa malu/ harga diri) yang diadaptasi atau diqiyaskan dengan konsep jihad dalam

Islam. Siri’ lalu mengalami perluasan makna dari siri’ pada diri sendiri, siri’ kepada

sesama manusia, lalu meningkat menjadi siri’ kepada Allah Swt., sehingga

menimbulkan ketakwaan kepada-Nya.

Namun seiring berjalannya waktu, sara’ mulai mengakomodir berbagai

permasalahan masyarakat Bugis ketika itu. Sebagai unsur pangadessreng adalah

sara’ tetap mengacu pada semua aturan yang berasal dari ajaran Islam, baik ajaran

dalam bidang fiqhi, ilmu kalam, maupun ajaran tasawuf dan akhlak. Bagi

pangadereng pola pandangan keislaman yang meliputi seluruh aspek tersebut,

dipandang masuk rumpun aturan-aturan pangadereng, sekurang-kurangnya memberi

pedoman hidup yang lebih komplek menurut ajaran Islam. 50

Empat bagian pangadereng lainnya, yakni: ade’, bicara, rapang dan wari’

dipegang oleh pampawa ade’ (pelaksana adat) yaitu raja dan pembantu-pembantunya,

yang bertugas untuk memutuskan urusan-urusan kerajaan yang bersifat duniawi,

sedangkan yang kelima yaitu sara’ (syariat Islam) dikendalikan oleh parewa sara’

(perangkat syariat, qadi’, imam, ulama) yang bertugas untuk menangani hal-hal yang

49
Mattulada, LATOA: Satu Lukisan Analistis Terhadap Antropologi Politik Orang Bugis h.
212
50
Abu Hamid, Bugis Makassar dalam Peta Islamisasi Indonesia, (Ujung Pandang; IAIN
Alauddin, 1981), h. 81-82
42

berhubungan dengan syariat Islam misalnya perkawinan, pewarisan, dan sebagainya.

Sehingga sara’ merupakan unsur terakhir dalam sistem pangadereng, akan tetapi

tidak berarti bahwa sara’ lebih rendah kedudukannya dibandingkan dengan empat

unsur pangadereng lainnya. Bahkan, dalam perkembangannya justru sara’ lebih

dominan dan lebih banyak mempengaruhi unsur-unsur pangadereng lainnya.

Dikatakan demikian karena dalam kenyataannya sara’ justru menjadi legitimasi bagi

unsur-unsur pangadereng lainnya.

Setelah agama Islam resmi menjadi agama di kerajaan Bone pada abad XVII,

maka keempat komponen pangadereng (ade’, bicara, rapang, dan wari) ditambah

lagi satu komponen yakni sara’ (syariat Islam). Dengan demikian ajaran Kajao

Laliddong tentang hukum yang mengatur kehidupan masyarakat, baik secara individu

maupun komunitas dalam wilayah kerajaan, dengan ditambahkannya komponen

sara’ menjadi semakin lengkap dan sempurna. Ajaran Kajao Laliddong selanjutnya

menjadi pegangan bagi kerajaan Bugis yang ada di Sulawesi Selatan khususnya di

kerajaan Bone. Dapat dikatakan bahwa, lewat konsep pangadereng dapat

menumbuhkan suatu wahana kebudayaan yang tak ternilai harganya bukan hanya

bagi masyarakat Bugis diberbagai pelosok nusantara. Bahkan ajaran Kajao Laliddong

ini telah memberi warna tersendiri peta budaya masyarakat Bugis, sekaligus

membedakannya dengan suku-suku lain yang mendiami wilayah nusantara ini.51

B. Dalam Bidang Politik

Namanya kurang dikenal dalam pemikiran politik Indonesia. Maklum, di

Indonesia seperti halnya dengan banyak negara dunia lainnya, tradisi pemikiran Barat

51
H. Muhammad Bahar Akkase Teng, “Falsafah Hidup Orang Bugis (Studi tentang
Pappaseng Kajao Laliddong di Kabupaten Bone)”, Disertasi (Makassar: Pascasarjana UIN Alauddin,
2019), h. 102
43

sangat dominan dan menghegemoni. Sebaliknya, banyak pemikir cemerlang dari

bumi nusantara kurang dikenal dan diperkenalkan. Dialah sosok pemikir yang

muncul ditanah bugis. Sosok yang bijak dan cakap dalam berbahasa, yaitu La

Mellong Kajao Laliddong.

Dalam kedudukannya sebagai duta keliling, Kajao Laliddong melakukan

banyak kegiatan diplomatik yang berhasil dengan gemilang dan sangat

menguntungkan kerajaan Bone. Saat terjadi perang antara Bone melawan Gowa pada

tahun 1550-1557 , ketika itu usia Kajao Laliddong sudah mencapai 57 tahun, suatu

tingkat usia yang sangat matang dalam berbagai hal. Pasca perang Bone melawan

Gowa dengan gugurnya I Tajibarani Daeng Marompa Karaeng data, Kajao Laliddong

kembali memegang perannya yang gemilang sebagai duta keliling kerajaan Bone.

Salah satu perjanjian yang rumusannya dibuat oleh Kajao Lalidddong adalah rumusan

perjanjian yang dikenal dengan nama perjanjian Caleppa tahun 1556. Isi perjanjian

tersebut sebagai berikut.

1. Bone meminta kemenangan dengan diberikan wilayah sampai batas sungai

Walennae sebelah Barat hingga batas Ulaweng.

2. Sungai tangga menjadi perbatasan yakni sebelah utara kekuasaan Bone dan

sebelah selatan kekuasaan Gowa.

3. Negeri Cendrana masuk dalam kekuasaan Bone, oleh karena dahulu telah

ditaklukkan oleh raja Bone yang bernama La Tenri Sukki Mappajungnge. 52

Suatu saat, sebagaimana diceritakan dalam Lontara, raja Bone pernah

bertanya kepada Kajao Laliddong.

aruPoen :ag tRn nmrj tnea kjao.

52
Asmat Riady Lamallongeng, Kajao Laliddong Pemikir Besar dari Tanah Bugis, h. 24-25
44

Arumpone : Aga tanranna namaraja tanae Kajao?

Artinya:

Arumpone: Apa tandanya negara akan jaya wahai Kajao?

kjaollido :dua tRn nmrj tnea aruPoen. esauwni

mlEPuai nmc aru mKauea. mduan

tEsislslai ri llEPnua.
Kajao Laliddong : Dua tanranna namaraja tanae Arumpone. Seuwani, malempui
namacca Arung mangkaue. Maduana, tessisalasalai ri
lalempanua.
Artinya:
Tandanya ada dua negara akan jaya wahai Arumpone, pertama apabila raja
jujur dan pandai, kedua kalau tidak ada persengketaan di dalam negeri. 53

Dari kutipan percakapan diatas, dapat disimpulkan bahwa betapa sangat

dianjutkannya perilaku yang jujur, bukan hanya untuk raja tetapi juga untuk

rakyatnya demi terjaganya persatuan didalam negeri.

Pada tahun 1582, Kajao Laliddong memohon kepada raja Bone untuk

menggalang persahabatan dengan kerajaan Wajo dan juga kerajaan Soppeng. Karena

Kajao Laliddong merasa bahwa perjanjian Caleppa yang dilangsungkan dengan

kerajaan Gowa tidak akan bertahan lama. Anggapan Kajao Laliddong itu ternyata

benar, kerajaan Gowa mengingkari perjanjian tersebut. Sehingga permohonan Kajao

mempersatukan kerajaan Bugispun direstui oleh raja Bone. Kajao Laliddong pun

mencetuskan sebuah gagasan persekutuan tiga kerajaan, yakni Bone, Soppeng dan

Wajo. Persekutuan tiga kerajaan yang dicetuskan di kampung Bunne dalam wilayah

wanua Tunarung (Bone Utara), lazim disebut Tellumpoccoe dan ikrar bersama ketiga

53
Mattulada, LATOA: Satu Lukisan Analisis terhadap Antropologi Politik Orang Bugis, h.
106-107
45

raja dari kerajaan Bone La Tenrirawe Bongkangnge, Wajo La Mungkace

Touddamang, dan Soppeng La Mappaleppe Patolae ditandai dengan menengelamkan

tiga buah batu, sehingga dikenal dengan nama Lamumpatue ri Timurung. 54

Selain itu ajaran, ajaran Kajao Lalidong mengenai pemerintahan dan

kemasyarakatan yang disebut “Inanna Warangparangnge” yaitu sumber kekayaan,

kemakmuran, dan keadilan yakni:

1. Perhatian raja terhadap rakyatnya harus lebih besar dari pada perhatian

terhadap dirinya sendiri.

2. Raja harus memiliki kecerdasan yang mampu menerima serta melayani orang

banyak.

3. Raja harus jujur dalam segala tindakan.

Tiga faktor utama diatas yang ditegaskan Kajao Laliddong dalam pelaksanaan

pemerintahan merupakan ciri demokrasi yang membatasi kekuasaan raja, sehingga

raja tidak dapat bertindak sewenang-wenang dalam menjalankan norma yang telah

ditetapkan. Pembatasan kekuasaan dalam lontarak disebutkan, bahwa Arung

Mangkau berkewajiban untuk menghormati hak-hak orang banyak. Perhatian raja

harus sepenuhnya diarahkan kepada kepentingan rakyat sesuai amanah yang telah

dipercayakan kepadanya. Lebih jauh lagi Kajao Laliddong menekankan bahwa raja

dalam melaksanakan pemerintahan harus berpedoman pada pangadereng (sistem

norma). 55

Kejujuran dan kebijaksanaan menjadi kunci kepemimpinan yang ditekankan

oleh Kajao Laliddong. Ia punya kemiripan dengan filsuf Yunani, Plato yang

54
Asmat Riady Lamallongeng, Kajao Laliddong Pemikir Besar dari Tanah Bugis, h. 26
55
Bustan, “Kearifan Lokal La Mellong Kajao Laliddong di Kerajaan Bugis”, h. 209
46

senantiasa menekankan kebaikan dan kebijaksanaan dalam inti filsafatnya. Padahal,

hampir bisa dipastikan, Kajao Laliddong tidak pernah bertemu dengan Plato. Ini

menarik, setidaknya untuk membuktikan bahwa peradaban di Timur sudah sangat

maju jauh sebelum kedatangan kolonialisme. Alih-alih para kolonialis datang untuk

membuat bangsa timur menjadi beradab, justru menghentikan perkembangan

kemajuan dan malah mempertontonkan kekejian kepada dunia timur.56

Salah satu ajaran Kajao Laliddong tentang politik dan pemerintahan adalah

luk tro aru tEluk tro adE tEluk tro anGE “luka taro arung,

telluka taro ade , telluka taro anang” (keputusan raja dapat dibatalkan oleh kehendak

dewan adat, namun ketetapan dewan adat dapat dianulir oleh kesepakatan rakyat

banyak).

Sang penasehat tidak serta merta juga didengar pendapatnya, sebab dalam

berbagai dialog dengan raja Bone. Maka Kajao Laliddong terkadang berbicara

didepan dewan adat (ade’ pitue) terkadang memang hanya ada raja saja. Artinya,

pendapat penasehat, apabila menyangkut kenegaraan, masih harus dimintai

pertimbangan dewan adat. Persetujuan itu diperlukan karena yang akan memimpin

dan mengarahkan pelaksanaan nantinya adalah dewan adat (ade’ pitue).

Makna ajaran tentang demokrasi Bugis yang diamanahkan oleh Kajao

Laliddong dengan menempatkan rakyat sebagai kunci keputusan dalam suatu

pemerintahan, menunjukkan arti demokrasi yang sesungguhnya, padahal Kajao

Laliddong bukanlah orang yang pernah mengecap pendidikan formal apalagi

56
Rudi Hartono, http://www.berdikarionline.com/kajao-laliddong-pemikir-politik-dari-tanah-
bugis/ (11 Juni 2011)
47

pendidikan Barat. Makna ajaran ini justru diimplementasikan dalam proses demokrasi

melalui perwakilan rakyat (MPR, DPR, dan DPRD). 57

Peranan Kajao Laliddong sebagai cendekiawan dan negarawan sangat

menonjol pada masa pemerintahan raja Bone VI LaUliyo Bote’e dan raja Bone VII

La Tenrirawe Bongkangnge. Pada era pemerintahan kedua raja tersebut, Kajao

Laliddong melahirkan suatu pola dasar dalam pelaksanaan sistem pemerintahan dan

kemasyarakatan. Pola dasar yang disebut pangadereng (adat istiadat), kemudian

menjadi rujukan bagi raja-raja dan aparat kerajaan dalam setiap aktivitas.

Induk kekayaan dalam sebuah negeri yang pertama persatuan dan kedua

kejujuran. Tidak tidur mata sang raja siang dan pada malam memikirkan kebaikan

negeri dan rakyatnya, memperhatikan sebab dan akibat setiap ada tindakan baru yang

dilakukan. Kekayaan bukan sekedar harta benda. Kekayaan berinduk pada keadaan,

yaitu tanpa adanya sengketa dan rakyat tidak bercerai-berai demi persatuan untuk

menjaga agar induk kekayaan tidak rebah, maka raja harus terus menerus memikirkan

kebaikan dan kesejahteraan negeri dan rakyatnya, dan mempertimbangkan secara

matang setiap keputusan yang diambil untuk menjaga kepercayaan rakyat yang

diamanahkan kepadanya. Memiliki kepandaian dalam menyampaikan kata-kata dan

menanggapi kata-kata sesuai dengan aturan serta selalu menyampaikan kata-kata

yang benar. Secara tersirat dan tersurat, Kajao Laliddong menunjukkan nilai yang

prinsipil, yaitu kejujuran, kata-kata yang benar dan memanusiakan didalam konsep

budaya politik.

57
H. Ajiep Padindang, http://ajieppadindang.blogspot.com/2008/04/sang-kajao-laliddong-
cendekiawan-bugis.html (April 2018)
48

C. Dalam Bidang Pendidikan

Pola pikir orang Barat yang telah menyentuh peradaban orang Bugis Sulawesi

Selatan kira-kira bersamaan ketika Islam mulai diterima dalam sistem pangadereng.

Suatu pola pikir yang pada hakekatnya memisahkan nilai-nilai moral dari kehidupan

politik, mendapatkan perlawanan mendasar dari pola-pola pikir pangadereng orang

Bugis, yang semakin diperkuat oleh ajaran Islam yang telah diadaptasinya.

Demikianlah dalam Latoa, karena pangadereng sebagai sistem pada dasarnya adalah

ajaran moral. Suatu moralitas yang meliputi segala aspek kehidupan manusia selaku

individu dan selaku warga dari persekutuan hidupnya yang disebut negara. 58

Latoa dan lontarak-lontarak lainnya nampak bahwa pembinaan watak manusia

dalam membangun pangadereng mendapat tempat yang sangat penting. Manusia

menjadi pusat penentu atas hidup kebudayaannya. Manusia mempunyai arti khusus

dalam hubungannya dengan seluruh sikap makhluk. Manusia membedakan diri dari

hewan, hanya karena bawaan wataknya yang baik. Bawaan hati yang baik, yang

menentukan seseorang itu sebagai manusia ialah kejujuran, kebenaran, siri’,

kepandaian dan keberanian. 59

Dalam bidang pendidikan Kajao Laliddong lebih menegaskan pada dua aspek

yang harus dipegang dan dipertahankan yaitu pangadereng (moral) dasn pappaseng

(mental). 60

58
Mattulada. LATOA: Satu Lukisan Analistis Terhadap Antropologi Politik Orang Bugis, h.
90
59
Mattulada. LATOA: Satu Lukisan Analistis Terhadap Antropologi Politik Orang Bugis, h.
457
60
A. Najmuddin Petta Ile (77 tahun), Sekretaris adat Kab. Bone, Wawancara, Bone, 21
Februari 2019
49

1. Moral (Pangadereng)
Moral merupakan landasan dan patokan bertindak bagi setiap orang dalam

kehidupan sehari-hari ditengah-tengah kehidupan sosial kemasyarakatan maupun

dalam lingkungan keluarga dan yang terpenting moral berada pada hati dan pikiran

setiap manusia sebagai fungsi kontrol untuk penyeimbang bagi pikiran negatif yang

akan direalisasikan.

Moral sebenarnya tidak lepas dari pengaruh sosial budaya setempat yang

diyakini kebenarannya. Moral selalu mengacu pada baik buruknya manusia sebagai

manusia. Hal tersebut akan lebih mudah kita pahami jika mendengar orang

mengatakan perbuatannya tidak bermoral. Perkataan tersebut mengandung makna

bahwa perbuatan tersebut dipandang buruk atau salah karena melangar nilai-nilai dan

norma-norma moral yang berlaku dalam masyarakat.

Isi utama dari pangadereng yang digariskan oleh Kajao Laliddong untuk

dijadikan panutan dalam kehidupan yaitu:

a. lEPuea nsibwai tau. Lempue nasibawai tau (Kejujuran yang disertai

rasa takut).

b. ad toGE nsibwai tikE. Ada tongeng nasibawai tikke’(Kebenaran kata

yang disertai kewaspadaan).

c. siri nsibwai gEtE. Siri nasibawai getteng (Rasa malu atau harga diri yang

disertai keteguhan hati).

d. awrniGE nsibwai CmEkininw. Awaraningeng nasibawai

nyamengkininnawa (Keberanian yang disertai kasih sayang).


50

e. apEson ri edwt esauwea. Appesona ri Dewata Seuwae (Berserah

diri kepada Tuhan yang Maha Esa). 61

Dari isi utama pangadereng diatas dikatakan bahwa berbuat jujur karena ada

rasa takut yang selalu mengikuti, berkata benar karena ada perasaan waspada, harga

diri karena ada rasa keteguhan hati, berani karena arasa kasih sayang, serta segala

sesuatu yang telah dilakukan menyerahkan kepada Allah Swt.

Dari pesan utama yang digariskan Kajao laliddong tersebut, sikap yang baik

dapat diterima oleh masyarakat sesuai dengan nilai-nilai yang berlaku

dilingkungannya, maka manusia diharapkan memiliki moral karena hal tersebut

penting demi berlangsungnya sosialisasi terhadap lingkungannya.

Adapun manfaat moral dalam kehidupan bermasyarakat:

a. Moral merupakan pertanda kualitas diri. Manusia jika bermoral baik maka

manusia lain akan melihatnya sebagai pribadi yang memiliki kualitas baik.

Karena dalam dirinya telah ditanamkan nilai-nilai kehidupan yang menjadi

pedoman dalam kehidupannya.

b. Moral merupakan pengendali. Moral sebagai pengendali adalah perlindungan

bagi kepentingan-kepentingan yang telah dilindungi agama, kaidah kesusilaan

dan kaidah kesopanan karena belum cukup kuat untuk melindungi dan menjamin,

mengingat terdapat kepentingan-kepentingan yang tidak terartur.

c. Moral merupakan pedoman hidup. Dalam kehidupan banyak hukum-hukum yang

berlaku, dalam kehidupan juga banyak hal yang bersifat positif dan negatif. Maka

diperlukan pedoman, atau pegangan dalam hidup ini agar segala perbuatan yang

61
Andi Palloge, Sejarah Kerajaan Tanah Bone, (Sungguminasa Kab. Gowa: Yayasan Al
Muallim, 2006), h. 46
51

manusia lakukan sesuai dengan nilai-nilai yang berlaku dalam kehidupaan

bermasyarakat. 62

2. Mental (Pappaseng)
Adapun yang dimaksud mental adalah keadaan batin, watak, kejiwaan kita

dalam menghadapi sesuatu. Penilaian mental kita adalah bagaimana kita bersikap

menghadapi sesuatu hal. Pembinaan mental merupakan salah satu cara untuk
membentuk akhlak manusia agar menjadi pribadi yang kuat mental, baik mental

spiritual maupun mental emosional.

Kajao Laliddong mencoba menanamkan sifat yang harus dimiliki setiap orang
untuk membina mental agar pantang terhadap sesuatu hal yang dihadapi setiap saat.

Nilai yang dimaksud, yaitu lEPu (lempu= Kejujuran), ac (acca= Kepandaian),

asitinj (assitinajang= Kepatutan), gEtE (getteng= Keteguhan), erso (reso=

kerja keras), dan siri (siri’= Harga diri).

Terkait sikap dan dan perilaku yang baik Allah menegaskan dalam Q. S Al-

Maidah/5: 85.

   


   
   
 
 
Terjemahnya:

62
Andina Ramadhon, “Pendidikan Karakter Membentuk Moral bangsa”,
https://www.kompasiana.com/andina.ramadhon/54f674fea33311e6058b4d12/pendidikan-karakter-
membentuk-moral-bangsa (16 Agustus 2015)
51

Maka Allah memberi pahala kepada mereka atas perkataan yang telah mereka
ucapkan, (yaitu) surga yang mengalir dibawahnya sungai-sungai, mereka
kekal didalamnya. Dan itulah balasan (bagi) orang-orang yang berbuat
kebaikan.63

63
Kementerian Agama RI, Al-Qur’an Al-Karim dan Terjemahannya “Edisi Keluarga”,
(Surabaya: Halim Publishing & Distributing, 2013), h. 122
52

Dari ayat diatas dapat ditarik kesimpulan bahwa Allah Swt., saja sangat

menghargai orang-orang yang berkata benar dan berperilaku baik dan menjanjikan

surga bagi mereka yang jujur, apalagi jika kita berbuat baik dan jujur kepada sesama,

maka akan dihargai pula.


BAB IV
NILAI-NILAI UTAMA PEMIKIRAN KAJAO LALIDDONG

A. Nilai Kejujuran (Lempu)

Jujur dalam bahasa Arab Shidiq artinya benar atau jujur, lawan dari dusta atau

bohong (al-kazib). Seorang muslim dituntut selalu berada dalam keadaan benar lahir

batin, benar hati, benar perkataan, dan benar perbuatan. Antara hati dan perkataan

harus sama tidak boleh berbeda apalagi diantara perkataan dan perbuatan. Rasulullah

Saw., memerintahkan setiap muslim untuk selalu bersikap jujur karena dapat

membawa kepada kebaikan dan mengantar ke surga. Sebaliknya, beliau melarang

umatnya berbohong, karena kebohongan akan membawa kepada kejahatan dan

kejahatan akan berakhir di neraka.64


Jujur adalah sikap lugas, apa adanya, yang tidak dicampuri dengan

kebohongan. Lawan jujur adalah dusta. Dusta yaitu memberitahukan sesuatu yang

berlainan dengan yang sebenarnya. Dalam bahasa sehari-hari, jujur sering

diterjemahkan sebagai sikap terbuka yakni tidak ada sesuatu yang perlu dirahasiakan

atau ditutup-tutupi. Jujur berarti menempatkan sesuatu pada tempatnya yang selayak-

layaknya sesuai dengan tuntutan-dan kebenaran.

Sifat jujur yang dapat dipercaya merupakan suatu perbuatan manusia yang

dipercayakan kepada seseorang baik harta atau ilmu, atau rahasia dan lainnya yang

wajib dipelihara dan disampaikan kepada yang berhak menerimanya. Kejujuran

merupakan sikap terpuji dan kunci sukses dalam pergaulan. Tidak diragukaan lagi

64
Yunahar Ilyas, Kuliah Akhlaq (Yogyakarta: Lembaga pengkajian dan Pengamalan Islam,
2001), h. 81

53
54

bahwa semua orang menuntut adanya sifat jujur, baik pada diri sendiri maupun

terhadap orang lain.

Kejujuran merupakan landasan pokok dalam menjalin hubungan dengan

sesama dan merupakan salah satu faktor yang sangat mendasar dalam kehidupan

manusia. Dalam pappaseng diungkapkan

aj nslaiko ac sibw lEPu. naiy riasEeG ac

edgg msus npogau. edto ad msus nbli ad medec

mlEmea. mtEpEai ripdn ruptau. naiy riasEeG lEPu

mkEsiGi gaun. ptujuai nwnwn. medecGi aePn.

nemtau ri edwtesauwea.
Aja’ nasalaiko acca sibawa lempu. Naiyya riasenge acca degaga masussa
napogau, deto ada masussa nabali ada madeceng malemma’e. Mateppe’i
ripadanna rupatau. Naiyya riasengnge lempu makessingngi gau’na, patujui
nawanawana, madecengngi ampena, nametau ri Dewata Seuwae.
Artinya:
Janganlah ditinggalkan oleh kecakapan dan kejujuran. Yang dinamakan
cakap, tidak ada yang sulit dilaksanakan, tidak ada juga pembicaraan yang
sulit disambut dengan kata-kata yang baik serta lemah lembut, percaya kepada
semua manusia. Yang dinamakan jujur, perbuatannyaa baik, pikirannya benar,
tingkah lakunya baik, dan takut kepada Tuhan. 65
Dalam pesan tersebut dijelaskan bahwa kecakapan dan kejujuran sebaiknya

seiring dan saling menunjang. Kecakapan tanpa kejujuran ibarat kapal tanpa nhkoda,

sedangkan kejujuran tanpa kecakapan ibarat nahkoda tanpa kapal.

Terdapat pula pesan yang memberikan nasehat untuk senantiasa berlaku jujur,

yang dikutip dari percakapan antara Kajao Laliddong dengan raja Bone.

65
Muh. Naim Haddade, Ungkapan, Peribahasa, dan Paseng: Sastra Bugis (Cet. I; Jakarta:
Depdikbud Proyek Penerbitan Buku Sastra Indonesia dan daerah, 1986), h. 14
55

Kajao Laliddong berpesan:

aj mual wrPr aiyerko tniy wrPrmu.

aj mual aju ripseR aiyerko tniy aiko pseRai.

aj mual aju riwEt wli aiyerko tniy aiko PEtai.


Aja’ muala waramparang iyarekko tanniya warammparangmu.
Aja’ muala aju ripasanre iyarekko tanniya iko pasanrei.
Aja’ muala aju riwetta iyarekko tanniya iko mpettai.
Artinya:
Jangan mengambil barang-barang yang bukan milikmu. Jangan mengambil
kayu yang disandarkan jika bukan kamu yang menyandarkannya. Jangan
mengambil kayu yang terpotong ujungnya jika bukan kamu yang
memotongnya. 66
Melalui pesan diatas, dari hal-hal kecil kita belajar berlaku jujur karena dari

kebiasaan sederhana yang akan melatih kita untuk berlaku jujur. Isi utama dari pesan

diatas yaitu sebaiknya kita jangan mengambil barang yang bukan hak dan milik kita.

Apalagi tanpa seizin pemiliknya, hendaknya berhati-hati dalam mengambil barang

yang bukan milik kita.

B. Nilai Kecendekiawan atau Kepandaian

Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia, cendekia memiliki arti yang saling

terkait, yaitu:

1. Tajam pikiran; lekas mengerti kalau diberitahu sesuatu; cerdas; pandai.

2. Cepat mengerti situasi dan pandai mencari jalan keluar atau pandai

menggunakan kesempatan; cerdik.

3. Terpelajar, cerdik pandai, cerdik cendekia.

Sementara cerdas memiliki dua arti, yaitu:

66
Muh. Naim Haddade, Ungkapan, Peribahasa, dan Paseng: Sastra Bugis , h. 14
56

1. Sempurna perkembangan akal budinya untuk berpikir, mengerti dan

sebgainya; tajam berpikir

2. Sempurna pertumbuhan tubuhnya, sehat dan kuat.67

Dari kedua istilah tersebut tidak terjadi perbedaan signifikan kecuali pada

aspek prosesnya. Kecerdasan terkait erat dengan intelegensi yang dimiliki dari awal,

sedangkan cendekia terkait erat dengan kemampuan seseorang dalam beradaptasi.

Dewasa ini, perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi cukup pesat,

tentunya membawa dampak yang positif dan dapat pula membawa dampak negatif.

Dampak yang positif apabila manusia mampu memanfaatkannya dengan baik, maka

dapat membawa manusia kepada kehidupan yang layak dan sejahtera. Namun

bilamana perubahan perilaku kehidupan manusia modern bertentangan dengan nilai

budaya bangsa yang dianut oleh masyarakatnya dan tidak mampu menangkalnya,

tentunya membawa dampak yang negatif dalam perilaku kehidupan masyarakat.

Kecendekiawan (amaccang) membawa kepada kemampuan berpikir positif,

bertindak bijaksana, santun dalam berbicara, memperhitungkan sebab akibat

perbuatan yang dilakukannya serta tahu menempatkan ketegasan dan kelembutan.

Jadi, orang yang mempunyai nilai cendekia (acca) oleh lontaraq disebut to acca

(orang pintar) sedangkan orang mempunyai nilai berpikir (nawa-nawa) disebut to

kenawa-kenawa (orang berpikir) yang dapat diterjemahkan menjadi cendekia.

Selanjutnya menurut Mattaliti yang dimaksud dengan cendekia adalah tidak

ada yang sulit dilaksanakan, tidak ada pembicaraan yang sulit disebut dengan kata-

67
Kemendikbud, Badan Pengembangan dan Pembinaan Bahasa, Kamus Besar Bahasa
Indonesia, Edisi V (Jakarta: Gramedia Pustaka Utama, 2016), h. 277 dan 282
57

kata yang baik dan lemah lembut lagi percaya pada sesamanya. 68 Dalam konsep

Islam, kecerdasan sangatlah dibutuhkan dalam berbagai aspek, bahkan salah satu sifat

wajib yang dimiliki para Rasul adalah al-fatanah (kecendekiawan). Al-fatanah dalam

dalam Mu’jam Maqayiz al-Lughah yang terdiri atas huruf fata-na mempunyai arti

cerdas dan mengetahui sesuatu.

Namun dalam Islam, kecendekiawan tidak semata-mata hanya terbatas

kecerdasan intelektual, akan tetapi mencakup kecerdasan emosional, kecerdasan

moral, kecerdasan spiritual, dan kecerdasan agama.

Dalam percakapan antara raja Bone dan Kajao Laliddong tersirat pesan yang

sangat dalam.

aruPoen : ag sbin acea kjao.

Arumpone : Aga sabbinna accae Kajao?

Artinya:

Arumpone: Apa saksinya itu Kajao?

kjaollido : gauea sbin acea aruPoen.

Kajao Laliddong : Gau’e sabbinna accae Arumpone.

Artinya:

Kajao Laliddong: Perbuatan itulah saksi kepandaian Arumpone.

aruPoen : agn ripogau kjao.

Arumpone : Agana ripogau Kajao?

Artinya:

Arumpone: Apakah yang diperbuat Kajao?

68
M. Arief Mattaliti, Pappaseng To Riolota Wasiat Orang Dahulu (Cet I; Jakarta: Depdikbud
Proyek Penerbitan Buku Sastra Indonesia dan Daerah, 1986), h. 87
58

kjaollido : aiyn ripogau aruPoen tEmKEliGai ad

mj ad medec. Kajao Laliddong : Iyana ripogau

Arumpone, temmangkelinga ada maja’ ada madeceng.

Artinya:
Yang diperbuat itu Arumpone, ialah tidak menghiraukan perkataan buruk dan
perkataan baik. 69
Dari percakapan diatas tersirat sebuah pesan bahwa perkataan yang baik dan

buruk jangan terlalu di tanggapi apalagi mendengar berita yang belum kejelasannya.

Sebelum menanggapi berita yang sampaikan orang lain terhadap kita, sebaiknya

mencari kebenaran akan berita tersebut.

C. Nilai Keberanian
Keberanian merupakan kesiapan diri, kestabilan emosi dan patriotisme. Ketiga

ciri sikap ini memiliki kesamaan ciri pada karakter marketing orientation (orientasi

pasar). Nilai keberanian didalam pappaseng digambarkan memiliki perilaku yang

senantiasa siap ditempatkan baik didepan maupun dibelakang.

aguruaiwi gaun tau wrniea aEREeG aePn. ap aiy

gaun tau wrniea sEpuloai auwGEn nesauwmua jn.

jjini aesr edecn. nsb aiynro nriasE jn esdiea

mlomoai naol ametGE. neakiy mau tau

pEloereG met muto. ap ed tEmetn sinin mekNwea.

naiy edecn aesrai aiynritu.

• tEtkini npoelai kerb mj aiyerg kerb medec.

69
Mattulada. LATOA: Satu Lukisan Analistis Terhadap Antropologi Politik Orang Bugis, h.
105-106
59

• ednjPGiwi kerb nKliGea neakiy sEnGE ati pikiri

medec.

• tEmitauni ri pdiaolo.

• tEmitauni ri pdimuRi.

• tEetyai mit bli.

• rialai psEpo ri wnuwea.

• mtinuluai pjji psuroGE.

• rialai pedbGE tomwteG.

• msiri toai riysirisi toai ripdn tau.


Agguruiwi gau’na tau waranie enrenge ampena. Apa’ iyya gau’na tau
waranie seppuloi nasaeuwwamua jaana. Jajini asera decenna. Nasaba’
iyanaro nariaseng jaana seddie malomoi naola amatengeng. Naekiyya mau
tau pellorengnge mate muto. apa’ de temmatena sininna makkenyawae.
Naiyya decenna aserai iyanaritu:
• tettakini napolei kareba majaa iyarega kareba madeceng.
• Denajampangiwi kareba nangkalingae naekiyya sennang ati pikkiri
madeceng.
• Temmitauni ri paddiolo.
• Temmitauni ri paddimunri.
• Tetteyai mmita bali.
• Rialai paseppo’ ri wanuwae.
• Matinului pajaji passurong.
• Rialai paddembangeng tomawatang.
• Masiri toi riyasirisi toi ripadanna tau.
Artinya:
Pelajarilah tingkah laku pemberani. Sebab tingkah laku pemberani ada
sepuluh macam tetapi Cuma satu keburukannya karena gampang menghadapi
maut. Namun demikian penakutpun takkan luput dari maut, sebab tak
terelakkan kematian bagi setiap yang bernyawa. Adapun kebaikannya ada
sembilan yaitu:
a. Tidak terkejut mendengar kabar buruk ataupun kabar baik.
b. Tidak mengacuhkan kabar yang didengar tetapi diringi dengan
ketenangan.
c. Tidak takut dikedepankan.
d. Tidak takut dikebelakangkan.
e. Tidak takut melihat musuh.
f. Dijadikan perisai oleh negara.
g. Tekun melaksanakan kewajiban.
60

h. Menjadi pembela terhadap orang yang berlaku sewenang-wenang.


i. Menyegani, serta disegani pula oleh sesamanya manusia. 70
Pesan diatas menjelaskan bahwa orang yang berani, berwatak dan bertingkah

laku tabah, tenang, berani dan bertanggung jawab. Tabah, tidak menampakkan

kegelisahan mendengar kabar yang buruk dan tidak menampakkan kegembiraan

mendengar kabar yang baik. Tenang, ia menguasai perasaan sehingga dengan tenang

dapat memecahkan persoalan yang dihadapi. Berani, tidak takut dalam keadaan

bagaimanapun termasuk takut melihat musuh. Bertanggung jawab, perasaan tanggung

jawab mendorong melaksanakan kewajiban membela negara dan melaksanakan tugas

sepenuh hati.71

D. Nilai Keteguhan (Getteng)

Mengacu pada satu sikap yakni konsisten. Konsisten merupakan sifat yang

menunjukkan ketetapan terhadap sesuatu atau keadaan yang tidak berubah. Sikap ini

menunjukkan bahwa dengan nilai keteguhan tidak mudah berubah dalam hal

pendirian atau keyakinan. Sikap ini ditunjukkan melalui perilaku setia pada janji atau

ikrar, tidak membatalkan keputusan serta senantiasa berhenti jika pekerjaan sudah

selesai. Ciri pada nilai keteguhan memiliki kesamaan pada karakter hoarding

(menimbun). Karakter menimbun memiliki ciri kaku, bersikeras, kompulsif, kurang

kreativitas, teratur, bersih dan tepat waktu. 72

Berbeda dengan sifat kaku pada karakter menimbun yang berorientasi non

produktif, sifat konsisten yang ditunjukkan pada nilaai keteguhan pada dasarnya

70
M. Arief Mattaliti, Pappaseng To Riolota Wasiat Orang Dahulu, h. 19
71
M. Arief Mattaliti, Pappaseng To Riolota Wasiat Orang Dahulu, h. 20
72
Feist & Feist, Teori Kepribadian Terjemahan Handrianto, (Jakarta: Salemba Humanika,
2009), h. 238
61

memiliki dampak positif dan negatif. Keteguhan dapat berdampak negatif jika

keteguhan tersebut mengacu pada sikap konsisten untuk mempertahankan yang batil.

Sementara itu, nilasi keteguhan dapat berdampak positif jikaa individu berketetapan

untuk melakukan kebaikan dan tetap menghindari keburukan, meskipun keburukan

tersebut menarik hatinya. Dalam bahasa Bugis, keteguhan dapat disebut getteng yang

dapat diartikan tegas, tangguh, dan teguh pada keyakinan dan taat asas. Dalam

kaitannya dengan keteguhan ini, terdapat pesan yang berkaitan dengan hal tersebut.

tElu riyl todo ynritu gEtE lEPu sibw ad toGE. “Tellu

riyala toddo’ yanaritu getteng, lempu sibawa ada tongeng” ( Ada tiga hal yang dapat

dijadikan patokan, yaitu keteguhan, kejujuran dan ucapan yang benar). 73

Tiga hal yang dapat dijadikan patokan agar kita tetap berada pada jalan yang

benar dan menjadi kepercayaan masyarakat sekitar yaitu keteguhan, kejujuran dan

ucapan yang benar.

73
H. Mahmud. Silasa, Kumpulan Petuah Bugis Makassar (Jakarta: Saudagar,2000), h. 23

62
BAB V
PENUTUP

A. Kesimpulan

Berdasarkan hasil dari pembahasan yang telah diuraikan pada bab-bab

sebelumnya, maka pada bab ini penulis menguraikan beberapa kesimpulan

berdasarkan rumusan masalah sebagai berikut.

1. Nama lengkapnya La Mellong To Suwalle yang lahir pada awal abad XVI

pada masa pemerintahan raja Bone IV We Banrigau Dammarowa

Makkaleppie yang memerintah sekitar akhir abad XV dan awal abad XVI.

Kajao Laliddong sebagai diplomat dan ahli pikir, beliau dikenal sangat

bijaksana, sopan dalam bertutur kata, tegas dalam hukum, dan berani dalam

pertempuran. La Mellong sebagai penasehat, yang kemudian diberi gelar

“Kajao Laliddong” yang berarti orang cerdik yang berasal dari Laliddong.

2. Adapun konsep pemikiran Kajao Laliddong yang banyak berpengaruh dan

berkembang di kerajaan Bone yaitu konsep pangadereng. Sebagai suatu

sistem budaya dan sistem sosial, pangadereng merupakan kaidah-kaidah

yang meliputi cara seseorang harus bertingkah laku terhadap sesama manusia

secara timbal balik serta mendorong adanya gerak dinamika masyarakat.

Sistem norma yang diterapkan konsep Kajao Laliddong untuk menata

kehidupan baik dalam bidang sosial budya, politik dan pendidikan yaitu

pangadereng yang mencakup empat hal yakni, ade’, rapang, bicara dan

wari’.

3. Adapun nilai utama dari konsep pemikiran Kajao Laliddong yang sering

diungkapkan dan ditekankan yaitu, lEPu (lempu= Kejujuran), ac

62
63

(acca= Kepandaian), asitn


i j (assitinajang= Kepatutan), gEtE

(getteng= Keteguhan), erso (reso= kerja keras), dan siri (siri’= Harga

diri).

B. Implikasi
Sebagai implikasi dari penelitian ini dengan judul Kajao Laliddong (Konsep

Pemikiran tentang Perkembangan Kerajaan Bone Abad XVI-XVII) sebagai berikut.

1. Kepada jurusan Sejarah dan Kebudayaan Islam. Penelitian ini dapat

digunakan sebagai bahan kajian dan diskusi akademik guna menambah

wawasan terkait sejarah lokal utamanya konsep pemikiran Kajao Laliddong

terhadap perkembangan kerajaan Bone.

2. Untuk meningkatkan mutu pendidikan dengan diterapkannya pendidikan

karakter berdasarkan apa yang disampaikan Kajao Laliddong dalam ajaran

pemikirannya.

3. Bagi segenap cendekiawan dan budayawan diseluruh Indonesia khususnya

Sulawesi Selatan hendaknya kita senantiasa memperhatikan dan mempelajari

kondisi sosial politik kita saat ini sengaja dilupakan karena ancaman bagi

penguasa sekuler, sehingga nantinya mampu memberikan solusi bagi setiap

permasalahan yang terjadi dimasa kini dan mmasa yang akan datang.
64

DAFTAR PUSTAKA

Abu, Haif Rahmat dkk. Praktek Penelusuran Sumber dan Penulisan Sejarah dan
Budaya. Cet. I; Jakarta: Gunadarma Ilmu. 2013
Abidin, Zainal. Pandangan Hidup Orang-orang Sulawesi Selatan Menurut Lontara
yang dapat Dijadikan Penggerak Pembangunan Daerah. No. I: Majalah
Bingkisan. 1987
Al, Yugi. “Langkah Penelitian Sejarah”. https://www.eduspensa.id/langkah-langkah-
penelitian-sejarah/(10 Oktober 2018)
Abdullah, Anzar “Kerajaan Bone dalam Lintasan Sejarah Sulawesi Selatan (Sebuah
Pergolakan Politik dan Kekuasaan dalam Mencari, Menemukan, Menegakkan
dan Mempertahankan Nilai-nilai Entitas Budaya Bugis,” Edisi Khusus untuk
Persembahan Edward L. Poelinggomang, Lensa Budaya vol. 12. No. 2
(Oktober 2017)
Bahar, H. Muhammad Akkase. Falsafah Hidup Orang Bugis (Studi tentang
Pappaseng Kajao Laliddong di Kabupaten Bone). Disertasi. Makassar:
Pascasarjana UIN Alauddin, 2019
Bustan. Kearifan Lokal La Mellong Kajao Laliddong di Kerajaan Bugis. Makalah
yang disajikan pada Seminar Nasional Pendidikan Ilmu-ilmu Sosial
Membentuk Karakter Bangsa dalam Rangka Daya Saing Global di Grand
Clarion Hotel. Makassar 29 Oktober 2016
Feist, & Feist. Teori Kepribadian Terjemahan Handrianto. Jakarta: Salemmba
Humanika, 2009
Haderah. Kajao Laliddong to Accana Bone. Skripsi. Ujungpandang: Fakultas Adab
IAIN Alauddin, 1992
Haddade, Muh Naim. Ungkapan, Peribahasa, dan Paseng: Sastra Bugis. Cet. I;
Jakarta: Depdikbud Proyek Penerbitan Buku Sastra Indonesia dan daerah.
1986
Hamid, Pananrangi. Sejarah Gowa. Ujungpandang: Balai Kajian Sejarah dan Nilai
Tradisional, 1984
Ilyas, Yunahar. Kuliah Akhlaq (Yogyakarta: Lembaga pengkajian dan Pengamalan
Islam. 2001
Kaplan, David dan Manners, dkk. Teori-teori Budaya. Cet. I; Yogyakarta: Pustaka
Pelajar. 2000
Kemendikbud, Badan Pengembangan dan Pembinaan Bahasa. Kamus Besar Bahasa
Indonesia. Edisi V. Jakarta: Gramedia Pustaka Utama. 2016
Kementerian Agama RI, Al-Qur’an Al-Karim dan Terjemahannya “Edisi Keluarga”.
Surabaya: Halim Publishing & Distributing. 2013
65

Mattaliti, M. Arief. Pappaseng To Riolota Wasiat Orang Dahulu. Cet I; Jakarta:


Depdikbud Proyek Penerbitan Buku Sastra Indonesia dan Daerah. 1986
Mattulada. LATOA: Satu Lukisan Analistis Terhadap Antropologi Politik Orang
Bugis. Cet. I; Yogyakarta: Gadjah Mada University. 1986
M. Setiadi, Elly dan Usman Kolip. Pengantar Sosiologi, Pemahaman fakta dan
Gejala Permasalahan Sosial: Teori, Aplikasi, dan Pemecahannya. Cet. II;
Jakarta: Kencana. 2011
Muh., Andi Ali. La Mellong Kajao Laliddong. Watampone: Depdikbud. 1984
Najmuddin, A. Petta Ile (77 tahun). Sekretaris adat Kab. Bone. Wawancara. Bone,
21 Februari 2019
Nawawi, Hadari. Metodologi Penelitian Bidang Sosial. Cet. I; Yogyakarta: Gadjah
Mada University Press. 2017
Nur, Sunardi. Metodologi Penelitian: Suatu Pendekatan Proposal. Cet. I; Jakarta:
Bumi Aksara. 2011
Notosusanto, Nugroho. Mengerti Sejarah. Cet. I; Jakarta: Penerbit Universitas
Indonesia. 1986
Padindang, Ajiep. http://ajieppadindang.blogspot.com/2008/04/sang-kajao-laliddong-
cendekiawan-bugis.html (April 2018)
Palloge, Andi. Sejarah Kerajaan Tanah Bone. Sungguminasa Kab. Gowa: Yayasan
Al Muallim. 2006
P. Yoesoef, Wiwiek. Biografi Kajao Laliddong. Ujungpandang: Yayasan kebudayaan
Sulawesi Selatan. 1978
Rahim. A. Rahman. Nilai-nilai Utama Kebudayaan Bugis. Cet. I; Ujung Pandang:
Hasanuddin University Press. 1992
Rahman, Abd Hamid dan Muhammad Saleh Madjid. Pengantar Ilmu Sejarah. Cet. II;
Yogyakarta: Ombak. 2011
Rahmawati. Perspektif Baru dalam Proses Penyebaran Islam di Kerajaan Bone
Sulawesi Selatan (Analisis Sejarah tentang Musu Selleng Pada Tahun 1606-
1640). Cet. I; Makassar: Alauddin University Press. 2014
Ramadhon, Andina. Pendidikan Karakter Membentuk Moral bangsa.
https://www.kompasiana.com/andina.ramadhon/54f674fea33311e6058b4d12/
pendidikan-karakter-membentuk-moral-bangsa (16 Agustus 2015)
Rasdiana, Andi Amir dkk. Bugis Makassar dalam Peta Islamisasi. Ujungpandang:
IAIN Alauddin. 1982
Riady, Asmat Lamallongeng. Kajao Laliddong Pemikir Besar dari Tanah Bugis,
dengan kata pengantar oleh H. Ajiep Padindang. Cet. I; Makassar: Lamacca
Press. 2004
66

Riady, Asmat Lamallongeng dan Muhammad Faisal. Kerajaan Bone di Lintasan


Sejarah. Cet. I; Bone: Dinas Kebudayaan dan Pariwisata Kab. Bone. 2015
Rudi Hartono, Rudi. http://www.berdikarionline.com/kajao-laliddong-pemikir-
politik-dari-tanah-bugis/ (11 Juni 2011)
Said, Nurman MA. Membumikan Islam di Tanah Bugis. Cet. II; Makassar: Alauddin
University Press. 2011
Said, D.M. Konsep Etos Kerja Menurut Sumber Bahasa, Sastra dan Budaya Bugis.
Makassar: Ujung Pandang IKIP. 1997
Sayuti, M. Ali. Metodologi Penelitian Agama: Pendekatan Teori dan Praktek. Cet. I;
Jakarta: PT. Raja Grapindo Persada. 2002
Silasa, H. Mahmud. Kumpulan Petuah Bugis Makassar. Jakarta: Saudagar. 2000
Zainal, Andi Abidin Farid. Masalah Tradisi dan Pembangunan Nasional. Makalah

yang disajikan dalam seminar Nasional, Jakarta. 1970


70
70
70
70

BIODATA PENULIS

Ati Fitriani lahir pada tanggal 27 Agustus 1996

di Bone tepatnya dusun Cabbengnge desa Tadang Palie

kecamatan Sibulue. Anak kelima dari 10 bersaudara dan

merupakan buah kasih sayang dari pasangan Muh. Rapi

dan Harisa. Memulai pendidikan sekolah dasar di SDN

232 Tadang palie kecamatan Sibulue kabupaten Bone

pada tahun 2002 dan selesai pada tahun 2009.

Selanjutnya pada tahun yang sama, penulis melanjutkan sekolah tingkat pertama di

MTs Pattiro Bajo kabupaten Bone dan selesai pada tahun 2012. Kemudian pada tahun

2012 melanjutkan sekolah menengah atas di MAN 1 Bone dan selesai tahun 2015.

Setelah lulus pada jenjang sekolah menengah atas, penulis melanjutkan pendidikan

pada jenjang perguruan tinggi tepatnya di UIN Alauddin Makassar Fakultas Adab

dab Humaniora Jurusan Sejarah dan Kebudayaan Islam pada tahun 2015. Selanjutnya

penulis menyelesaikan studi strata satu pada tahun 2019.

Penulis sangat bersyukur diberi kesempatan oleh Allah Swt., sehingga bisa

menyelesaikan studi dan menimba ilmu yang banyak dan bermanfaat. Penulis sangat

berharap dapat mengamalkan ilmu yang diperoleh dengan baik dan dapat

membahagiakan kedua orang tua, keluarga, orang terdekat yang selalu mendoakan

dan mendukung keberhasilan penulis.

You might also like