Etika Berpakaian Dalam Islam (Studi Tematik Akhlak Berpakaian Pada Kitab Shahih Bukhori)
Etika Berpakaian Dalam Islam (Studi Tematik Akhlak Berpakaian Pada Kitab Shahih Bukhori)
Etika Berpakaian Dalam Islam (Studi Tematik Akhlak Berpakaian Pada Kitab Shahih Bukhori)
Titik Rahmawati
UIN Walisongo Semarang
e-mail: [email protected]
Agus Khunaifi
UIN Walisongo Semarang
e-mail: [email protected]
ABSTRAK
The background of this research is based on the reality of the debate about clothing in Islam that has
never been over from the aspect of fiqh, while the moral aspect or the value of dress itself is rarely
discussed. The focus of the question is how is the Islamic concept of dress ethics in the Hadith in the
Shahih Bukhari Book? This type of research is literature or library research, using a historical approach
that is an effort to understand the meaning of an event and its relations to humans in certain situations. In
addition, it also uses a social approach, namely understanding the text by relating social events which
include: 1) Bureaucratic, traditional, colonial and national changes. 2). Change in adherents; upper class,
middle class or lower class. 3). Change in location, village, city and metropolitan area. 4). Change of
education.
Based on the search for hadith in Sahih Bukhari, it can be concluded that the concept of dress morality in
Sahih Bukhari includes clothing for men and women. There are several terms used in the hadith to refer to
clothing, namely for example, Gamis, Scarves, Robes, Scarves, Turban, Taqanu`, Kissa` and Kamishah.
In addition to the type of clothing also includes the procedure for dressing from the order to put the right
first to wear, put the left one first to let go and pray for those who wear new clothes so that blessings. The
thing that is no less important is the condition of dressing itself which should not be arrogant when
wearing it, it should not be excessive (tabarruj) in dressing. Moral is a value that is inherent in someone
who is attached to the function of clothing itself, namely closing the aurat (something that must be
covered) and the motivation to dress is not only to close physically but to cover up shame. So that the
morality of dressing the foundation is because of Allah and not for luxury or human praise.
Latar belakang penelitian ini didasarkan pada realitas adanya perdebatan tentang pakaian dalam Islam
yang tidak pernah kunjung usai dari aspek fiqhnya, sementara dari aspek akhlak atau nilai berpakaian itu
sendiri jarang dibicarakan. Fokus pertanyaannya adalah bagaimana konsep Islam tentang etika berpakaian
dalam Hadis pada Kitab Shahih Bukhari? Jenis penelitian ini yakni literature atau library research,
dengan menggunakan pendekatan historis yakni usaha memahami makna dari suatu peristiwa dan kaitan-
kaitannya terhadap manusia dalam situasi tertentu. Di samping itu juga menggunakan pendekatan sosial
yakni memahami teks dengan mengaitkan dengan peristiwa social yang mencakup: 1) Perubahan
Birokrasi, tradisional, colonial dan nasional. 2). Perubahan pemeluk; kelas atas, kelah menengah atau
kelas bawah. 3). Perubahan lokasi, desa, kota dan metropolitan. 4). Perubahan pendidikan. Berdasarkan
penelusuran hadis pada Shahih Bukhari, dapat disimpulkan bahwa Konsep Akhlak berpakaian pada
Shahih Bukhari meliputi pakaian untuk laki-laki dan perempuan. Ada beberapa istilah yang digunakan
dalam hadis untuk menyebut pakaian, yaitu misalnya, Gamis, Selendang,Jubah, Selendang, Sorban,
Taqanu`, Kissa` dan Kamishah. Selain terkait jenis pakaian juga termasuk didalamnya tata cara
berpakaian dari urutannya mendahulukan kanan untuk memakai, mendahulukan yang kiri untuk melepas
dan mendoakan orang yang berbaju baru supaya berkah. Hal yang tidak kalah penting adalah syarat
berpakaian itu sendiri yang tidak boleh sombong saat memakainya, tidak boleh berlebihan (tabarruj)
dalam berpakaian. Akhlak adalah nilai yang melekat pada diri seseorang yang melekat pada fungsi
pakaian itu sendiri yaitu menutup aurat (sesuatu yang harus ditutupi) dan motivasi berpakaian tidak
hanya sekedar menutup secara fisik tetapi menutup aib. Sehingga akhlak berpakaian landasannya adalah
karena Alloh dan tidak untuk kemewahan atau pujian manusia.
A. Pendahuluan
Akhlak sebagai sebuah ajaran dalam agama Islam penting untuk dipahami. Hal ini
dikarenakan akhlak merupakan bagian dari ajaran agama Islam. Sebagai bagian dari ajaran
Islam akhlak bersifat mengikat kepada umatnya. Artinya bahwa seluruh umat Islam
dituntut untuk mengamalkan akhlak sebaik mungkin, karena bagian dari ajaran agama.
Adapun substansi dari ajaran akhlak tersebut adalah perilaku ideal yang ada pada sifat-sifat
Allah dan diri Nabi Saw. Perilaku ideal Allah Swt tercermin dalam asmaul husna
sedangkan perilaku ideal Nabi tercermin dalam hadits Nabi Saw. Kemudian perilaku ideal
tersebut menjadi uswah/contoh/pedoman/rujukan bagi seluruh umat Islam dalam tingkah
laku kehidupan sehari-hari. Dengan demikian akhlak sebagai ajaran menekankan pada
upaya mempraktekkan dan mengamalkan perilaku ideal sebagai salah satu ajaran agama
dalam kehidupan nyata.
Sebagai bagian dari ajaran Islam, akhlak menempati posisi yang sangat penting.
Kedudukan akhlak sama penitngnya dengan akidah dan syariah. Sehingga pengamalan
ajaran akhlak sama pentingnya dengan pengamalan ajaran pokok Islam yang lain yakni
akidah dan syariah. Pengamalan ajaran akhlak juga bersifat mengikat pada seluruh umat
muslim tanpa kecuali. Mengingat ketiga ajaran pokok Islam tersebut pengamalannya
bersifat integral. Dengan kata lain seluruh umat Islam idealnya dapat mengamalkan
ketiganya secara integral. Pengamalan ketiganya tidak boleh bersifat parsial atau dipisah-
pisahkan karena ketiganya memiliki hubungan saling terkait antara satu dengan lainnya.
Dengan demikian kedudukan akhlak sebagai sebuah ajaran merupakan bagian agama Islam
yang tidak boleh diremehkan.
Pentingnya mengamalkan akhlak dalam Islam memiliki dasar yang sangat kuat. Hal
ini ditegaskan dengan pernyataan Nabi Saw sendiri tentang tugas beliau yang paling utama
adalah untuk menyempurnakan akhlak, sebagaimana tertuang dalam hadis
nabi;“Sesungguhnya aku diutus untuk menyempurnakan akhlak yang baik.” (Maktabah
Etika Berpakaian Dalam Islam
syamilah, tt: 114). Di sisi lain akhlak merupakan implementasi dari keimanan seseorang.
Karena Iman dan akhlak merupakan dua hal yang tidak terpisahkan (Syaltut, 1994: XIII).
Keyakinan merupakan dasar atau fondasi keimanan dan cermin dari iman salah satunya
dapat dilihat pada indikator akhlaknya.
Akhlak dalam Islam mempunyai dasar yang jelas yaitu Al-Qur`an dan Sunnah
(Hadis). Hadis merupakan Hadis berasal dari bahasa arab yang artinya baru, tidak lama,
ucapan, pembicaraan dan cerita. Menurut istilah ahli hadis, yang dimaksud dengan hadis
adalah segala berita yang bersumber dari nabi Muhammad SAW, berita ucapan, perbuatan,
dan takrir (persetujuan Nabi SAW) serta penjelasan sifat-sifat Nabi SAW. Sementara Ajaj
Khatib mendefinisikan Hadits adalah segala yang disandarkan pada nabi baik berupa
perkataan, perbuatan, persetujuan, ataupun sifat-sifatnya (Musafiq dkk, 1997:51). Hadis
mempunyai kedudukan yang penting dalam Islam karena Al-Hadis adalah sumber kedua
agama dan ajaran Islam. Sebagai sumber agama dan ajaran Islam, al-Hadis mempunyai
peranan penting setelah Al-Quran. Al-Quran sebagai kitab suci dan pedoman hidup umat
Islam diturunkan pada umumnya dalam kata-kata yang perlu dirinci dan dijelaskan lebih
lanjut, agar dapat dipahami dan diamalkan.
Ada tiga fungsi atau peranan hadis sebagai sumber agama dan ajaran Islam selain al-
Qur`an, yaitu, Pertama, menegaskan lebih lanjut ketentuan yang terdapat dalam al-Qur`an.
Misalnya dalam al-Qur`an terdapat ayat perintah tentang sholat, kemudian tata cara
pelaksanaannya dijelaskan oleh nabi. Kedua, sebagai penjelasan isi al-Qur`an. Sebagai
contoh, al-qur`an terdapat ayat tentang sholat, tetapi dalam al-qur`an tidak di jelaskan
banyaknya raka`at, cara, rukun dan syarat mendirikan shalat. Pada hadis nabi disebutkan
jumlah raka`at setiap shalatnya cara, rukun dan syarat secara rinci. Ketiga, menambahkan
atau mengembangkan sesuatu yang tidak ada atau samar-samar ketentuannya di dalam al-
qur`an. Sebagai contoh, larangan nabi Muhammad mengawini seorang perempuan dengan
bibinya. Larangan ini tidak terdapat dalam larangan perkawinan QS. An-nisaa` (4):23.
Membahas hadis tentunya tidak bisa meninggalkan peranan Al-Bukhari sebagai
salah satu ulama yang punya kontribusi besar dalam memelihara dan melestarikan hadis
melalui riwayat dan kitab hadisnya yang sangat terkenal yaitu Jamius shahih al-Bukhari.
Kitab ini merupakan kitab hadis yang menjadi rujukan pertama dan utama bagi umat islam.
Selain susunannya yang sistematis, kualitas hadis yang tercantum dalam kitab ini juga
tidak diragukan lagi. Hadis tentang akhlak banyak ditulis dalam kitab ini. Namun tidak
dalam kategori yang spesifik. Tetapi masuk dalam bab-bab yang dibahas oleh imam al-
Bukhori.
Titik Rahmawati dan Agus Khunaifi
Atas dasar pertimbangan kedudukan hadis yang penting dalam Islam, dan
akhlak sebagai wujud implementasi dari keimanan seseorang, maka penulis tertarik untuk
meneliti Konsep Akhlak Berpakaian dalam Islam; Studi Tematik Tentang Hadis Akhlak
Berpakaian Dalam Shahih Al-Bukhori.
B. Pembahasan
Penelitian dengan jenis kualitatif library research ini meruapakan penelitian
yang menekankan pada kajian literatur atau penelitian kepustakaan. Menurut Noeng
Muhadjir dalam Arikunto, karakter penelitian kepustakaan ini lebih memerlukan
olahan filosofis dan teoritis daripada uji empiris dilapangan (Arikunto, 2005: 146).
Karena sifatnya teoritis dan filosofis, penelitian kepustakaan ini sering
menggunakan pendekatan filosofis (philosophical approach) daripada pendekatan
yang lain (Kuntowijiyo, 2003: 158-160). Dengan demikian maka karakteristik
penelitian ini lebih menekankan kepada upaya memahami teks secara komprehensif
dengan menggunakan analisis keilmuan yang lain seperti filsafat, sejarah, sosiologi
dan psikologi (Tjun Surjaman, 1991: 36). Adapun hasil penelitian secara garis besar
adalah sebagai berikut:
1. Konsep Akhlak Berpakaian Dalam Islam
Konsep tentang pakaian dalam Islam menjadi salah satu tema penting
yang tidak dapat diremehkan. Hal ini dikarenakan konsep pakaian berangkat
dari ajaran Islam itu sendiri. Mengingat secara historis kajian pakaian dalam
Islam tercatat dalam al-Qur’an. Historis pakaian dimulai ketika nabi Nabi
Adam dan Siti Hawa terjerumus rayuan setan untuk memakan buah khuldi.
Peristiwa tersebut kemudian menjadikan keduaya terbuka auratnya dan
membutuhkan pakaian untuk menutupinya. Kebutuhan terhadap pakain ini
kemudian berlanjut sampai saat ini. Dengan demikian maka pakaian dalam
Islam di satu sisi sebagai kebutuhan dan di sisi lain sebagai ajaran agama.
Kedua sisi ini dalam Islam saling terkait tidak bisa dipisahkan satu dengan
lainnya.
Konsep berpakaian dalam Islam itu sendiri secara umum dapat didekati
dari dua aspek yakni akhlak dan fiqh. Kajian pakaian dari aspek akhlak
dikembangkan dari tema akhlak kepada sesama manusia. Akhlak kepada
sesama merupakan bagian ajaran Islam dengan berprinsip pada upaya
Etika Berpakaian Dalam Islam
menghormati dan menghargai orang lain. Berpakain yang sopan dan baik
merupakan bagian dari upaya menghormati dan menghargai orang lain.
Sedangkan kajian pakaian dari aspek fiqh menekankan pada upaya menutup
aurat. Mengingat dalam ajaran Islam terdapat batasan aurat yang harus ditutupi
bagi muslim maupun muslimah. Artinya setiap muslim baik laki-laki maupun
perempuan akan memperoleh pahala ketika dapat berpakain sesuai tuntunan
syariat dan sebaliknya akan mendapat dosa kalau melanggarnya. Singkatnya
pakaian yang dikenakan seorang muslim maupun muslimah merupakan
ungkapan ketaatan dan ketundukan kepada Allah. Dengan demikian maka
pendekatan akhlak dan fiqh dalam mengkaji pakaian biasa dilakukan dalam
Islam dan memiliki kedudukan yang sama penting.
Secara umum konsep berkpakain dalam Islam diklasifikasikan menjadi
dua yakni akhlak berpakain bagi muslim laki-laki dan akhlak berpakaian bagi
muslimah perempuan. Pertama, akhlak berpakaian bagi orang laki-laki dalam
Islam secara umum dibatasi oleh aturan syariat. Diantara aturan syariat akhlak
berpakaian dalam Islam adalah sebagai berikut: 1) menutup aurat, menurut
kajian fiqh aurat laki-laki adalah antara pusar dan lutut. Batasan ini didasarkan
pada hadits riwayat ‘Aisyah: Dari ‘Amr bin Syu’aib dari Bapaknya dari
kakeknya, beliau menuturkan bahwa Rasulullah Saw bersabda: “Jika ada di
antara kalian yang menikahkan pembantu, baik seorang budak ataupun
pegawainya, hendaklah ia tidak melihat bagian tubuh antara pusat dan di atas
lututnya.” [HR. Abu Dawud, no. 418 dan 3587]. Dan juga Rasulullah Saw
bersabda: “Aurat laki-laki ialah antara pusat sampai dua lutut.” [HR. ad-
Daruquthni dan al-Baihaqi, lihat Fiqh Islam, Sulaiman Rasyid]. Dari
Muhammad bin Jahsyi, ia berkata: Rasulullah Saw melewati Ma’mar, sedang
kedua pahanya dalam keadaan terbuka. Lalu Nabi bersabda: “Wahai Ma’mar,
tutuplah kedua pahamu itu, karena sesungguhnya kedua paha itu aurat.” [HR.
Ahmad dan Bukhari, lihat Ahkamush Sholat, Ali Raghib]. Jahad al-Aslami
(salah seorang ashabus shuffah) berkata: pernah Rasulullah Saw duduk di dekat
kami sedang pahaku terbuka, lalu beliau bersabda: “Tidakkah engkau tahu
bahwa paha itu aurat?” [HR. Abu Dawud, at-Tirmidzi dan Malik, lihat Shafwât
at-Tafâsir, Muhammad Ali ash-Shabuni]. Juga Rasulullah Saw pernah berkata
Titik Rahmawati dan Agus Khunaifi
adalah muka dan tangan, juga dari Imam Ibnu Jarir ath-Thabari menyatakan
“Pendapat yang paling kuat dalam masalah ini adalah pendapat yang
menyatakan bahwa sesuatu yang biasa nampak adalah muka dan telapak
tangan.” (Ibnu Jurid, tt: 98). Hal tersebut diperkuat dengan sabda Rasul Saw
kepada Asma’ binti Abu Bakar: “Wahai Asma’: Sesungguhnya wanita yang
telah haid tidak layak baginya terlihat dari tubuhnya kecuali ini dan ini. Beliau
menunjuk pada wajah dan telapak tangannya.” [HR. Abu Dawud, No. 3580].
Adapun berkaitan dengan ketentuan jenis pakaian untuk menutup aurat,
tidak ada penjelasan dalam syara’. Adapun penjelasan syara terkait pakaian
hanya memberikan beberapa syarat yaitu:
1. Pakaian itu tidak menampakkan aurat (dapat menutup semua aurat).
2. Pakaian itu dapat menutup kulit, sehingga tidak diketahui warna kulit dari
wanita yang memakainya, yaitu apakah kulitnya putih, merah, kuning, hitam
dan lain-lain. Apabila tidak memenuhi syarat tersebut tidak dapat diianggap
sebagai penutup aurat. Jika pakaian itu tipis misal brokat, kerudung tipis, kaos
kaki tipis, rukuh tipis dan lain-lain, sehingga kelihatan warna kulit (rambut) si
pemakai pakaian itu, maka wanita yang memakai pakaian tersebut dianggap
auratnya tampak atau tidak menutupi auratnya. Dalil bahwa syariat Islam telah
mewajibkan menutup kulit sehingga tidak tampak warna kulitnya adalah hadits
yang diriwayatkan dari A’isyah ra, beliau telah meriwayatkan bahwa Asma’
binti Abu Bakar datang kepada Rasulullah Saw dengan memakai baju yang
tipis maka Rasulullah memalingkan wajahnya dari Asma’ dan bersabda:
“Wahai Asma’: Sesungguhnya wanita yang telah haid tidak layak baginya
terlihat dari tubuhnya kecuali ini dan ini…” [HR. Abu Dawud, no. 3580].
Rasulullah dalam hadits di atas menganggap baju yang tipis belum menutup
aurat dan menganggap auratnya terbuka, sehingga beliau memalingkan wajah
dari Asma’ dan memerintahkan Asma’ untuk menutup aurat. Dalil lain yang
memperkuat dalam masalah ini adalah hadits yang diriwayatkan Usamah:
“Perintahkan isterimu untuk mengenakan pakaian tipis lagi (gholalah) di
bawah baju tipis tersebut. Sesungguhnya aku takut wanita itu tersifati
tulangnya.”Rasulullah Saw ketika mengetahui Usamah memakaikan pakaian
tipis itu pada isterinya, beliau menyuruhnya agar isterinya mengenakan pakaian
Titik Rahmawati dan Agus Khunaifi
tipis lagi di bawah pakaian tipisnya itu. Dan Rasulullah memberi illat pada
masalah itu dengan sabdanya: “Sesungguhnya aku takut wanita itu tersifati
tulangnya.” Artinya wanita harus menutup sifat dari tulangnya, tidak boleh
menggunakan pakaian yang tipis, sehingga kelihatan warna kulitnya.
Dengan demikian wanita harus memperhatikan 2 syarat tersebut ketika
memilih jenis dan bahan pakaian penutup aurat termasuk penutup aurat di
depan mahrom dan wanita lain seperti celana 3/4 sampai lutut, daster dan lain-
lain. Hanya saja apabila wanita selain yang menopause berada di luar rumah
atau tempat-tempat umum (masjid, pasar, jalanan dan lain-lain) maka selain
batasan aurat dan larangan tabarruj, terdapat ketentuan lain yang perlu
diperhatikan yaitu adanya kewajiban menggunakan pakaian khusus yang telah
diperintahkan Allah berupa Khimar (kerudung) dan jilbab (jubah langsungan
dari atas sampai ujung kaki), bukan pakaian lain seperti baju panjang atas
bawah, kulot panjang dan lain-lain. Meskipun jenis baju tersebut menutup aurat
tetapi bukan termasuk jilbab, oleh karena itu jenis pakaian tersebut hanya bisa
dipakai oleh wanita yang sudah menopause dan sudah tidak punya keinginan
seksual (QS. an-Nûr [24]: 60). Untuk wanita menopause ada satu hal lagi yang
perlu diperhatikan dalam berpenampilan yaitu tidak diperbolehkan tabarruj.
Oleh karena itu celana panjang, kaos kaki panjang, kaos stret pas badan tidak
boleh digunakan sebagai penutup aurat wanita menopause karena termasuk
tabarruj (menonjolkan kecantikan dan perhiasan/bentuk tubuh). Untuk lebih
detailnya tentang pakaian khusus di kehidupan umum maka dapat dilihat pada
pembahasan selanjutnya. Dalam kehidupan umum, yaitu pada saat wanita
berada di luar rumahnya/di hadapan laki-laki non mahrom, maka seorang
wanita harus menggunakan pakaian secara sempurna, yakni: 1. Menutup aurat;
2. Menetapi jenis dan model yang ditetapkan syara’ (memakai jilbab, Khumur,
mihnah dan memenuhi kriteria irkha’); 3. Tidak tembus pandang; 4. Tidak
menunjukkan bentuk dan lekuk tubuhnya; 5. Tidak tabarruj; 6. Tidak
menyerupai pakaian laki-laki; 7. Tidak tasyabbuh terhadap orang kafir.
Berdasarkan penjelasan di atas maka dapat diklasifikasikan jenis-jenis
pakaian perempuan yang dikenal dalam Islam yaitu 1) Khumur, 2) jilbab dan
3) Mihnah.
Etika Berpakaian Dalam Islam
jamak
( ﺟ َﻼﺑِﯿﺒjilbab-jilbab mereka) . Kata jilbab dalam Al-Qur’an biasa
ِﮭ ﱠﻦ
diterjemahkan sebagai baju kurung yang lapang yang dapat menutup kepala,
wajah, dan dada. Istilah jilbab terkait dengan Khimar yang telah dijelaskan
sebelumnya. Namun, ada perbedaan pada bagian menutup wajah. Menurut
Ibnu Hajar Al ‘Asqolani dalam kitab, “Fathul Baari”, menjelaskan bahwa
kata jilbab dapat dibaca dengan dua wazan. Pertama dengan wazan ْ ﺮدَاب ﺳ
sehingga dibaca jilbaabun. Kedua dengan wazan ِﱠﻤﺎر ﺳﻨsehingga dibaca
jilibbaabun (Asqolani, 2008: 87). Lebih lanjut beliau memaparkan bahwa
ada delapan makna lughawy tentang jilbab: 1) ْ اp ْﻟp ِﻤpُﻘ َﻨ َﻌﺔ/ al-Miqna’ah, yaitu
sesuatu yang dibuat menutup kepala wanita serta hal-hal yang menarik dari
mukanya; 2)َ ﻤﺎر ِﺨ ْﻟ ا/ al-Khimaar, yaitu kerudung atau penutup kepala; 3) َﻣﺎ
ض ﻣ َﻦ ا َ َأ/ Maa a’radhu minal khimaar, yaitu sesuatu yang lebih lebar
ْﻟ ِﺨ َﻤﺎر ﺮ
ﻋ
Khimar: )4 ا ﱠﻟﺜﻮب ا ْﻟ َﻮاﺳ ُﻊ َد ْون اﻟ ِّﺮدَاء, dari kecil lebih yang luas bagian yaitu
dari
pada ridaa’ (kain yang dipakai oleh orang arab untuk melindungkan diri
dari dingin); 5)َ ر َزا ِﻹ ْ ا/al-Izar, yaitu selubung yang menutupi bagian
bawah
tubuh; 6)ْ ﻠﺤﻔَﺔُ ِﻤ ْﻟ ا/al-Milhafah, yaitu pakaian yang dipakai di luar pakaian
dalam untuk menutupi seluruh tubuh untuk melindungkan diri dari dingin;
َ ء ُة ُﻤ/al-Mulaah, yaitu pakaian yang mirip dengan milhafah, yang
7)َ ﻼ اﻟ
berbeda adalah modelnya; 8)ْ ﯿﺺ ِﻤ ْﻟﻘَ ا/al-Qamiis, yaitu pakaian yang dijahit
yang biasanya terbuat dari katun dan memiliki dua lengan .”(Asqolqni,
2008: 122). Berdasarkan penjelasan di atas maka dapat dipahami bahwa
jilbab berbeda dengan Khimar yang bermakna kerudung. Sehingga istilah
jilbab di dalam al-Qur’an berbeda dengan makna yang berkembang di
Indonesia yang menunjuk kepada kerudung penutup kepala. Hal ini
diperkuat dengan pendapat Murtadha az-Zabidi dalam kamusnya yang
bernama ﺗﺎﺟﺎﻟﻌﺮوﺳﻤﻨﺠﻮاھﺮاﻟﻘﺎﻣﻮس/Tajul ‘arus min jawaahiri qamuus (kamus
mahkota pengantin dari mutiara), yang mana kamus ini merupakan syarah
dari kamus popular bernama اﻟﻘﻮﻣﻮﺳﺎﻟﻤﺤﯿﻂ/ al-Qamus al-Muhith, beliau
menjelaskan dengan menukil seorang ahli bahasa yang bernama Al
Khafajiy, bahwa makna asal jilbab adalah milhafah, yakni pakaian yang
Titik Rahmawati dan Agus Khunaifi
hal ini tidak cukup menggantikan keharusan irkha’ (terulurnya baju sampai
ke bawah). Dalam hal ini yang perlu diperhatikan adalah adanya irkha’,
yaitu jilbab harus diulurkan sampai menutupi kedua telapak kaki sehingga
dapat diketahui dengan jelas bahwa baju itu adalah baju di kehidupan
umum. Apabila jilbabnya sudah terulur sampai ujung kaki tetapi jika
berjalan kakinya masih terlihat sedikit seperti ketika menerima tamu,
berjalan di sekitar rumah, maka hal ini tidak apa-apa walaupun tetap
dianjurkan untuk ‘iffah (berhati-hati/menjaga diri). Hanya saja apabila
aktivitas wanita tersebut membuat kakinya banyak terlihat semisal
mengendarai sepeda, motor dan lain-lain maka diwajibkan untuk
menggunakan penutup kaki apa saja seperti kaos kaki, sepatu dan lain-lain.
3. Pakaian Jenis Mihnah
Istilah Mihnah diartikan sebagai pakaian wanita bagian dalam. Istilah
mihnah digunakan al-Qur’an dalam menjelaskan wanita yang telah
menopause yakni QS. an-Nûr [24]: 60. Ayat di atas menjelaskan bahwa
wanita menopause yang sudah tidak mempunyai keinginan seksual
diperbolehkan melepaskan tsiyabnya (pakaian luarnya/jilbab), berarti tersisa
mihnah, hanya saja selanjutnya diperintahkan untuk tidak menampakkan
kecantikan, bentuk tubuh, perhiasan (tidak tabarruj) yaitu diperbolehkan
menggunakan baju apa saja sejenis mihnah yang tidak menampakkan
kecantikan/bentuk tubuh seperti baju atas bawah panjang, daster, kulot
panjang dan lain-lain, tidak seperti celana ketat panjang karena hal itu
termasuk tabarruj. Tsiyab disini dipahami pakaian luar/jilbab bukan baju
biasa karena tidak mungkin Allah memerintahkan wanita menopause
telanjang. Berarti dapat dipahami pula bagi wanita yang belum menopause
diwajibkan untuk menggunakan tiga lapis/jenis pakaian ketika di hadapan
laki-laki non mahrom yaitu kerudung, mihnah dan jilbab.
Berdasarkan penjelasan d atas maka dapat disimpulkan bahwa penting
dalam akhlak berpakain bagi muslimah adalah larangan tentang tabaruj.
Tabarruj telah diharamkan oleh Allah SWT dengan larangan yang
menyeluruh dalam segala kondisi dengan dalil yang jelas. Hal ini
ditunjukkan dalam firman Allah SWT:
Etika Berpakaian Dalam Islam
kecantikannya. Atas dasar ini dapat dimengerti bahwa tabarruj tidak sama
dengan sekedar perhiasan atau berhias, namun bermakna menonjolkan
perhiasan. Adapun mengenai perhiasan, maka hukum asalnya adalah mubah
untuk dikenakan selama belum ada dalil yang mengharamkanya, hal ini
sesuai dengan kaidah syara’, Hukum asal suatu benda (asy yâ’) adalah
mubah. Perhiasan adalah asy yâ’ (benda). Perhiasan apapun bentuknya
adalah mubah selama belum ada dalil yang mengharamkannya. Sebagian
perhiasan memang diharamkan Allah antara lain: seperti yang terungkap
dari riwayat Ibnu Umar: “Sesungguhnya Nabi melaknat wanita yang
menyambung rambutnya dengan rambut orang lain, wanita yang rambutnya
minta disambungkan, wanita yang mentato, dan wanita yang minta ditato.”
Walaupun semula berhias dalam kondisi berkabung dibolehkan akan tetapi
bisa menjadi haram manakala berhiasnya menggunakan perhiasan yang
haram dan apabila berhiasnya sampai menjadikannya termasuk tabarruj
yaitu menonjolkan perhiasan dan kecantikan di hadapan laki-laki asing (non
mahrom).
2. Akhlak Berpakaian dalam Kitab Shoheh Bukhori
Kitab Shoheh Bukhori merupakan salah satu kitab hadits yang memiliki
kedudukan istimewa dikalangan umat Islam. Keistimewaan kitab shoheh
Bukhori ini juga diakui oleh kalangan ulama. Faktor-faktor yang menyebabkan
para ulama mengakui keistimewaan kitab ini diantaranya adalah; 1) dalam
kitab ini sang Imam Bukhari menetapkan kriteria hadis dalam kitabnya dengan
sangat ketat. Sebuah hadits dianggap shahih, bila dalam persambungan
sanadnya benar-benar ditandai dengan pertemuan langsung antara guru dan
murid, atau minimal ditandai dengan guru dan murid yang hidup pada satu
masa. kedua, kitab Shahih al-Bukhari menggunakan sistematika penulisan
model shahih dan sunan, yaitu model penulisan kitab yang disusun dengan cara
membagi menjadi beberapa Kitab, dan tiap-tiap Kitab dibagi ke dalam
beberapa Bab. Dalam kitab karya Imam al-Bukhari ini, terdapat 97 Kitab, yang
dibagi-bagi lagi kedalam Bab yang berjumlah 4550 Bab. Adapun jumlah
haditsnya, yaitu 7275 buah hadis, termasuk yang diulang-ulang, atau 4000
buah hadits tanpa pengulangan.
Titik Rahmawati dan Agus Khunaifi
و
ﱠ
وﺳﻠ َﻢ
ﺻﻠﱠﻰ ﻋ َﻠ ©
اﱠ ِ أَﻋﺠ ﺐ ﻚ ﻋ َﻤ ُﺮ ﻗَ ْﺪ ْ ِﻓﻲ ُأ ُﻣﻮ ِرﻧَﺎ َﻓ َﻠ ْﻢ َﯾ ْﺒ ِإ ﱠﻻ َأ ْن ﺗ َْﺪﺧ ﻞ ﺑَ
ا ﱠ© ْﯿ رﺳﻮل ﻖ ْﯿ َﻦ ﺖ َد ﻠ ﻣ ْﻨ ﯾَﺎ
ِﮫ
ﺧ
وﺷ ِﮭ ْﺪ ُﺗ ُﮫ
ﺻﻠﱠﻰ ﻋ َﻠ َﻢ ©
ا ﱠ ِ ﻏﺎ ْ ﺼﺎ رﺟ ْ ﻦ ا َوأ ْز َواﺟ ِﮫ ﻓَ ﱠ
َﺮددَت و
ا ﱠ© ْﯿ وﺳﻠﱠ رﺳﻮل ب ﻦ ِر إِذَpا ﻞ َْﻷ ْﻧ ﻣ َﻛﺎ
ِﮫ َن
ﻋ
©
رﺳﻮل ا ﱠ ِ
ﺻﻠﱠﻰ ﻋ َﻠ َﻢ ِ ﮭ َﺪ َأﺗَﺎ ِﻧﻲ ِﺑ َﻤﺎ ُ ﻜ ْ ©
ا ﱠ ِ ُ ﻜ و ِإ َذ ﻏ ْ أَﺗَ ْﯿﺘُﮫُ َ
وﺷ ﻮن ﻦ ا ﱠ© ْﯿ وﺳ ﱠﻠ رﺳﻮل ﻮن ا ْﺒﺖ ﻦ ﻤ
ﯾ ِﮫ ﯾ ﺎ
ﻣ ﻋ ﺑ
ﻣ ِﻠﻚ
ﺻﻠﱠﻰ ﻋ َﻠ َ ﻢ َﻗ ْﺪ اﺳ َﺘ َﻘﺎ َم َﻟ ُﮫ ﻓ َﻠ ْﻢ َﯾ ْﺒ ﻖ إِ ©
ا ﱠ ِ ﺻﻠﱠﻰ ا ﱠ© ﻋ َﻠ َﻢ و ْ ﺣ
وﺳﻠﱠ ﱠﻻ ا ﱠ© ْﯿ رﺳﻮل ﱠ
وﺳﻠ َﻛﺎ ﻦ ْﻮل ْﯿ
ِﮫ َن ِﮫ
ﻣ
ُ ﺖ ﻟَﮫُ
ﻧَﺨﺎ ف أَ ْن ﯾَﺄْﺗِﯿَﻨَﺎ ﻓَ ﺷ ِإ ﱠﻻ ِﺑﺎ َْﻷ ْﻧ ﺼ ِ
ي pوھ َﻮ إِﻧﱠﮫُ ﻗَ ْﺪ ﺣ َأ ْﻣ ٌﺮ ﻗ ﻏﺴﺎ َن ﺑِﺎﻟﺸﺄْ ِم
ْﻠ ث ل ﺪ ﯾَُﻘﻮ ت ﺎ َﻤﺎ ﻌَﺮ ﻛ ﱠﻨﺎ
ِر
َ ْ ﺖ ﻓَﺈ ِ َذا
ﺻﻠﱠﻰ ﻋﻠَ َ ﻢ ِﻧﺴﺎ َء ُه ﻓﺠﺌ ©
اﱠ ِ ھ َﻮ أََ pﺟﺎ ﺴ ﻲ ل ُ ﻣ ْﻦ طﻠﱠ و َﻣﺎ
وﺳﻠﱠ ا ﱠ© ْﯿ رﺳﻮل َذاك ﻖ َء ا ْﻟﻐ ﺎﻧ ﻗَﺎ أَﻋ ﻢ
ِﮫ
ﻈ
َ وﻋﻠَﻰ َﺑﺎب
ﺻ ِﻌ َﺪ ُ ﺮ َﺑ ٍﺔ ﻟ ُﮫ ﻋ َﻠ وﺳﻠﱠ َﻢ ﻗَ ْﺪ ﺻﻠﱠﻰ ا ْﻟ ُﺒ َﻜﺎ ُء ْ ﺣﺠ ِﺮ ِ ﻠ و ِإ َذا اﻟﻨﱠ ِﺒﻲ
ﻣﺸ ِﻓﻲ ْﯿ ا ﱠ© ﻦ ِھ ﱠﻦ َﮭﺎ
ِﮫ ﻛ
ﻣ
ﻋَﻠﻰ
ﺻﻠﱠﻰ ﻋ َﻠ َﻢ ﺖ ﻓَﺈ ِ َذا ا ْﻟ َﻤ ُ ﺮ َﺑ وﺻﯿﻒ ﻓَﺄَﺗَ ْﯿﺘُﮫُ َﻓﻘُ اﺳﺘ َْﺄ ِذ ْن ﻟﻲ ﻓَ َﺄِ pذ ﻟﻲ َﻓ َﺪ ْ
ا ﱠ© ْﯿ وﺳﻠﱠ اﻟﻨﱠﺒِﻲ ﻠ َن ﺖ ْﻠ ِﺔ ﺸ
ِﮫ
ﺧ
ظ َﻓ َﺬ َﻛ ْﺮت
وإِذَا أُ pﻣ َﻌﻠﱠﻘَﺔٌ َ ﺣﺸ ﻟﯿ ﺣﺼﯿ ٍﺮ ﻗَ ْﺪ أَpﺛﱠَ pﺮ ﻓِﻲ ْ ﻨ ِﺒ وﺗَ ر ِ ﻣ ْ ﻦ َأدَ
ﺮ ُھﺐ ُﻮھﺎ ﻒ ِﮫ ْﺤﺖ ْأ ﮫ ْﺮﻓَﻘَﺔٌ ٍم ﻣ
و َﻗ ﺟ
ﺳ
َ وﺳ ﱠﻠ َﻢ
ﺻﻠﱠﻰ ﻋﻠ ©
اﱠ ِ ﺳ َﻠ ِ رد ﻋ ﻲ ﱠ ﺳ َﻠ ِ ﺬي ا ﱠﻟ ِﺬي ُﻗ ْﻠ ﺖ ﺼ وأ
ا ﱠ© ْﯿ رﺳﻮل َﻤﺔَ ﻓَ ﺤ ت ﻠَ أُ ﱡم َﻤﺔ وا ﱠﻟ ﻟﺤ ْﻔ ﺔ ِ ّم
ِﮫ ﻚ
ﻀ
وﻋﺸ ِﺮﯾ َﻦ ﻟَ ْﯿﻠَﺔً ﺛ
ﻓَﻠَ ِﺒ ﺚ ﺴ
ﱠﻢ ﻧَﺰل
ِﺗ ﻌًﺎ
ﻀ
ﻣ َﻌﺎ ِو َﯾ ُﺔ ﺑﻦ َُﱠُ
ﻋ ﺷﻌ ﺑ ِﻦ أَpﺑِﻲ ْ ﻌ َﺜﺎ ﺣﺪpﱠﺛ ُﷴ ﺑﻦ ﻣ َﻘﺎ ﻞ أَْ pﺧﺒ ﻋ ْﺒﺪُ pا ﱠ ِ
© أَ ْ pﻔ َﯿﺎ َp ﺣﺪﱠpﺛَpﻨَﺎ
ﻨَﺎ اﻟ ِء ﺸ ْﻦ أَ ﺚ ْﺧﺒَﺮﻧَﺎ ن َﺮﻧَﺎ ِﺗ
ﺳ
ﺤ ْﻤ ِﺮ
ﺻﻠﱠﻰ ﻋ َﻠ َﻢ ْ ﻦ ا ْﻟ َﻤ َﯿﺎ ِﺛﺮ ل ﻧَ َﮭﺎﻧَﺎ ﻣﻘَ ْ ﻦ ا ْﻟ َﺒﺮا ﺑ ﻋ ب ﺳ َﻮ ْﯾ ِﺪ ﺑ
ا ْﻟ ﻋ ﱠ
وﺳﻠ ا ﱠ© ْﯿ اﻟﻨﱠﺒِﻲ ِء ﻋ ِﻦ ﺎز ﻗَﺎ ِﺮ ِﻦ
ِﮫ ٍن
وا ْﻟ َﻘ ّﺴﻲ
َ وﺳ ﱠﻠ َﻢ َُﱠٌ
ﺻﻠﱠﻰ ﻋﻠ ﺺ ﻋ ْﻦ أََpﻧ ل ﻋ ْﻦ ُﷴ أَْ pﺧﺒ و ِﻛﯿ ٌﻊ أَ ْ pﻌ َp ﺣﺪﱠpﺛَpﻨِﻲ
ا ﱠ© ْﯿ اﻟﻨﱠﺒِﻲ ٍﺲ ﻗَﺎ رﺧ ﻗَﺘَﺎ َدةَ ْﺧﺒَﺮَﻧﺎ َﺒﺔُ َﺮﻧَﺎ
ِﮫ ﺷ
ﻟ ِﺤ ﱠﻜ ٍﺔ ِﺑ ِﮭ َﻤﺎ
ﻟﻠﺰ َﺑ ْﯿ ِﺮ ْ ﺒ ِﺪ اﻟﺮ ﺣ َﻤ ِﻦ ﻓِﻲ ُﻟ ْﺒ ِ ﺮﯾ
ِﺲ ا ْﻟ ِﺮ ﺤ وﻋ
ﺷ))) ْﻌَﺒﺔُp
ﻏ ﺣ)))ﺪ ﻦ ﺣ)))ﺪ ﺣ)))ﱠﺪﺛَpﻨِﻲ )) ﺷ))) ْﻌﺒَﺔُp ﺣ)))ﺪﱠpﺛَpﻨَﺎ ﺳ))) َﻠ ْﯿ ﻦ)) ﺣ)))ﺮ ﺣ)))ﺪ
َُﱠُ
ْﻨ)))ﺪ ﺛَpﻨَﺎ ُﷴ ) ﺑَﺸ)))ﺎر ﺛَpﻨَﺎ َp حو ب ﺛَpﻨَﺎ َﻤﺎن )ﺑ
ٌر ﺑ
ﻋ ْﻨ))ﮫُ pﻗَ))ﺎل
©
ﺐ ا ﱠ ُ ﻲْ pﺑ)) ِﻦ ط
و ﻋ) ﻋ ِ ﻋ)) ْﻦ ﻋ ْﺒ)) ِﺪ ا ْﻟ ﺑ)) ْ ﺴ)) ﻋ) ز ﺑ))
أَpﺑِ))ﻲ ﺎ رﺿ)) ﻲ َﻤ ِﻠ))ﻚ ِﻦ ﯿ ﺮة ) ْﯾ)) ِﻦ ْھ))ﺐ )
ِﻟ ) ) ْﻦ ِﻠ) ْﻦ ِﺪ
) ﻣ
وﺟ ِﮭ))) ِﮫ ﻲ ﻓِ) ا ْﻟ َﻐ ﻓﯿ ﻓَﺮأ
ﺐ ﻀ )) ﺖ ِ ﺖ ﺟ )) ﺳ))ﯿَﺮا َء ﻓَﺨ َﺮ
) َﮭ))ﺎ ْﯾ))
ﺣﻠﱠ))ﺔ َﻢ ﻠ ﱠ ))ﻠﱠﻰ ا ﱠ© ﺴ))ﺎ ﻧ ﻲ اﻟﱠﻨﺒِ))ﻲ
وﺳ)) ﻋ َﻠ ْﯿ)) ِﮫ ﺻ ﻛ
ﻓَ ﱠ
ﺸﻘ ْﻘﺘَُ pﮭﺎ ﺑَ ْﯿ َﻦ ﻧِﺴﺎﺋِﻲ
Titik Rahmawati dan Agus Khunaifi
C. Penutup
Berdasarkan penelusuran hadis pada Shahih Bukhari, dapat disimpulkan bahwa
Konsep Akhlak berpakaian pada Shahih Bukhari meliputi pakaian untuk laki-laki
dan perempuan. Ada beberapa istilah yang digunakan dalam hadis untuk menyebut
pakaian, yaitu misalnya, Gamis, Selendang,Jubah, Selendang, Sorban, Taqanu`,
Kissa` dan Kamishah. Selain terkait jenis pakaian juga termasuk didalamnya tata
Etika Berpakaian Dalam Islam
DAFTAR PUSTAKA
Al-Asqalani, Ibnu Hajar. “Fathul Bari.” Riyadh: Maktaba Al-Salfiyah 1379 (2008).
As-Suyuthi, Jalaluddin, and Jalaluddin Al-Mahalli. “Tafsir Jalalain.” Beirut: Dar Al-
Fikr, 2003.
At-Thobari, Abu Ja’far Muhammad, and Ibnu Jarid. “Tafsir At-Thobari.” Bairut: Darul
Fikr, n.d.
Mahmud Syaltut. Aqidah Dan Syari`ah Islam,. Jakarta: Bumi Aksara, 1994.