Etika Berpakaian Dalam Islam (Studi Tematik Akhlak Berpakaian Pada Kitab Shahih Bukhori)

Download as docx, pdf, or txt
Download as docx, pdf, or txt
You are on page 1of 34

Jurnal Inspirasi – Vol.3, No.

1 Januari – Juni 2019


ISSN 2598-4268

ETIKA BERPAKAIAN DALAM ISLAM


(Studi Tematik Akhlak Berpakaian Pada Kitab Shahih Bukhori)

Titik Rahmawati
UIN Walisongo Semarang
e-mail: [email protected]

Agus Khunaifi
UIN Walisongo Semarang
e-mail: [email protected]

ABSTRAK
The background of this research is based on the reality of the debate about clothing in Islam that has
never been over from the aspect of fiqh, while the moral aspect or the value of dress itself is rarely
discussed. The focus of the question is how is the Islamic concept of dress ethics in the Hadith in the
Shahih Bukhari Book? This type of research is literature or library research, using a historical approach
that is an effort to understand the meaning of an event and its relations to humans in certain situations. In
addition, it also uses a social approach, namely understanding the text by relating social events which
include: 1) Bureaucratic, traditional, colonial and national changes. 2). Change in adherents; upper class,
middle class or lower class. 3). Change in location, village, city and metropolitan area. 4). Change of
education.
Based on the search for hadith in Sahih Bukhari, it can be concluded that the concept of dress morality in
Sahih Bukhari includes clothing for men and women. There are several terms used in the hadith to refer to
clothing, namely for example, Gamis, Scarves, Robes, Scarves, Turban, Taqanu`, Kissa` and Kamishah.
In addition to the type of clothing also includes the procedure for dressing from the order to put the right
first to wear, put the left one first to let go and pray for those who wear new clothes so that blessings. The
thing that is no less important is the condition of dressing itself which should not be arrogant when
wearing it, it should not be excessive (tabarruj) in dressing. Moral is a value that is inherent in someone
who is attached to the function of clothing itself, namely closing the aurat (something that must be
covered) and the motivation to dress is not only to close physically but to cover up shame. So that the
morality of dressing the foundation is because of Allah and not for luxury or human praise.

Keywords: Morals; Clothes; Shahih Bukhari

Latar belakang penelitian ini didasarkan pada realitas adanya perdebatan tentang pakaian dalam Islam
yang tidak pernah kunjung usai dari aspek fiqhnya, sementara dari aspek akhlak atau nilai berpakaian itu
sendiri jarang dibicarakan. Fokus pertanyaannya adalah bagaimana konsep Islam tentang etika berpakaian
dalam Hadis pada Kitab Shahih Bukhari? Jenis penelitian ini yakni literature atau library research,
dengan menggunakan pendekatan historis yakni usaha memahami makna dari suatu peristiwa dan kaitan-
kaitannya terhadap manusia dalam situasi tertentu. Di samping itu juga menggunakan pendekatan sosial
yakni memahami teks dengan mengaitkan dengan peristiwa social yang mencakup: 1) Perubahan
Birokrasi, tradisional, colonial dan nasional. 2). Perubahan pemeluk; kelas atas, kelah menengah atau
kelas bawah. 3). Perubahan lokasi, desa, kota dan metropolitan. 4). Perubahan pendidikan. Berdasarkan
penelusuran hadis pada Shahih Bukhari, dapat disimpulkan bahwa Konsep Akhlak berpakaian pada
Shahih Bukhari meliputi pakaian untuk laki-laki dan perempuan. Ada beberapa istilah yang digunakan
dalam hadis untuk menyebut pakaian, yaitu misalnya, Gamis, Selendang,Jubah, Selendang, Sorban,
Taqanu`, Kissa` dan Kamishah. Selain terkait jenis pakaian juga termasuk didalamnya tata cara

1 Inspirasi – Vol.3, No.1 Januari – Juni 2019


Titik Rahmawati dan Agus Khunaifi

berpakaian dari urutannya mendahulukan kanan untuk memakai, mendahulukan yang kiri untuk melepas
dan mendoakan orang yang berbaju baru supaya berkah. Hal yang tidak kalah penting adalah syarat
berpakaian itu sendiri yang tidak boleh sombong saat memakainya, tidak boleh berlebihan (tabarruj)
dalam berpakaian. Akhlak adalah nilai yang melekat pada diri seseorang yang melekat pada fungsi
pakaian itu sendiri yaitu menutup aurat (sesuatu yang harus ditutupi) dan motivasi berpakaian tidak
hanya sekedar menutup secara fisik tetapi menutup aib. Sehingga akhlak berpakaian landasannya adalah
karena Alloh dan tidak untuk kemewahan atau pujian manusia.

Kata kunci: Akhlak, Pakaian, Shahih Bukhari

A. Pendahuluan
Akhlak sebagai sebuah ajaran dalam agama Islam penting untuk dipahami. Hal ini
dikarenakan akhlak merupakan bagian dari ajaran agama Islam. Sebagai bagian dari ajaran
Islam akhlak bersifat mengikat kepada umatnya. Artinya bahwa seluruh umat Islam
dituntut untuk mengamalkan akhlak sebaik mungkin, karena bagian dari ajaran agama.
Adapun substansi dari ajaran akhlak tersebut adalah perilaku ideal yang ada pada sifat-sifat
Allah dan diri Nabi Saw. Perilaku ideal Allah Swt tercermin dalam asmaul husna
sedangkan perilaku ideal Nabi tercermin dalam hadits Nabi Saw. Kemudian perilaku ideal
tersebut menjadi uswah/contoh/pedoman/rujukan bagi seluruh umat Islam dalam tingkah
laku kehidupan sehari-hari. Dengan demikian akhlak sebagai ajaran menekankan pada
upaya mempraktekkan dan mengamalkan perilaku ideal sebagai salah satu ajaran agama
dalam kehidupan nyata.
Sebagai bagian dari ajaran Islam, akhlak menempati posisi yang sangat penting.
Kedudukan akhlak sama penitngnya dengan akidah dan syariah. Sehingga pengamalan
ajaran akhlak sama pentingnya dengan pengamalan ajaran pokok Islam yang lain yakni
akidah dan syariah. Pengamalan ajaran akhlak juga bersifat mengikat pada seluruh umat
muslim tanpa kecuali. Mengingat ketiga ajaran pokok Islam tersebut pengamalannya
bersifat integral. Dengan kata lain seluruh umat Islam idealnya dapat mengamalkan
ketiganya secara integral. Pengamalan ketiganya tidak boleh bersifat parsial atau dipisah-
pisahkan karena ketiganya memiliki hubungan saling terkait antara satu dengan lainnya.
Dengan demikian kedudukan akhlak sebagai sebuah ajaran merupakan bagian agama Islam
yang tidak boleh diremehkan.
Pentingnya mengamalkan akhlak dalam Islam memiliki dasar yang sangat kuat. Hal
ini ditegaskan dengan pernyataan Nabi Saw sendiri tentang tugas beliau yang paling utama
adalah untuk menyempurnakan akhlak, sebagaimana tertuang dalam hadis
nabi;“Sesungguhnya aku diutus untuk menyempurnakan akhlak yang baik.” (Maktabah
Etika Berpakaian Dalam Islam

syamilah, tt: 114). Di sisi lain akhlak merupakan implementasi dari keimanan seseorang.
Karena Iman dan akhlak merupakan dua hal yang tidak terpisahkan (Syaltut, 1994: XIII).
Keyakinan merupakan dasar atau fondasi keimanan dan cermin dari iman salah satunya
dapat dilihat pada indikator akhlaknya.
Akhlak dalam Islam mempunyai dasar yang jelas yaitu Al-Qur`an dan Sunnah
(Hadis). Hadis merupakan Hadis berasal dari bahasa arab yang artinya baru, tidak lama,
ucapan, pembicaraan dan cerita. Menurut istilah ahli hadis, yang dimaksud dengan hadis
adalah segala berita yang bersumber dari nabi Muhammad SAW, berita ucapan, perbuatan,
dan takrir (persetujuan Nabi SAW) serta penjelasan sifat-sifat Nabi SAW. Sementara Ajaj
Khatib mendefinisikan Hadits adalah segala yang disandarkan pada nabi baik berupa
perkataan, perbuatan, persetujuan, ataupun sifat-sifatnya (Musafiq dkk, 1997:51). Hadis
mempunyai kedudukan yang penting dalam Islam karena Al-Hadis adalah sumber kedua
agama dan ajaran Islam. Sebagai sumber agama dan ajaran Islam, al-Hadis mempunyai
peranan penting setelah Al-Quran. Al-Quran sebagai kitab suci dan pedoman hidup umat
Islam diturunkan pada umumnya dalam kata-kata yang perlu dirinci dan dijelaskan lebih
lanjut, agar dapat dipahami dan diamalkan.
Ada tiga fungsi atau peranan hadis sebagai sumber agama dan ajaran Islam selain al-
Qur`an, yaitu, Pertama, menegaskan lebih lanjut ketentuan yang terdapat dalam al-Qur`an.
Misalnya dalam al-Qur`an terdapat ayat perintah tentang sholat, kemudian tata cara
pelaksanaannya dijelaskan oleh nabi. Kedua, sebagai penjelasan isi al-Qur`an. Sebagai
contoh, al-qur`an terdapat ayat tentang sholat, tetapi dalam al-qur`an tidak di jelaskan
banyaknya raka`at, cara, rukun dan syarat mendirikan shalat. Pada hadis nabi disebutkan
jumlah raka`at setiap shalatnya cara, rukun dan syarat secara rinci. Ketiga, menambahkan
atau mengembangkan sesuatu yang tidak ada atau samar-samar ketentuannya di dalam al-
qur`an. Sebagai contoh, larangan nabi Muhammad mengawini seorang perempuan dengan
bibinya. Larangan ini tidak terdapat dalam larangan perkawinan QS. An-nisaa` (4):23.
Membahas hadis tentunya tidak bisa meninggalkan peranan Al-Bukhari sebagai
salah satu ulama yang punya kontribusi besar dalam memelihara dan melestarikan hadis
melalui riwayat dan kitab hadisnya yang sangat terkenal yaitu Jamius shahih al-Bukhari.
Kitab ini merupakan kitab hadis yang menjadi rujukan pertama dan utama bagi umat islam.
Selain susunannya yang sistematis, kualitas hadis yang tercantum dalam kitab ini juga
tidak diragukan lagi. Hadis tentang akhlak banyak ditulis dalam kitab ini. Namun tidak
dalam kategori yang spesifik. Tetapi masuk dalam bab-bab yang dibahas oleh imam al-
Bukhori.
Titik Rahmawati dan Agus Khunaifi

Atas dasar pertimbangan kedudukan hadis yang penting dalam Islam, dan
akhlak sebagai wujud implementasi dari keimanan seseorang, maka penulis tertarik untuk
meneliti Konsep Akhlak Berpakaian dalam Islam; Studi Tematik Tentang Hadis Akhlak
Berpakaian Dalam Shahih Al-Bukhori.

B. Pembahasan
Penelitian dengan jenis kualitatif library research ini meruapakan penelitian
yang menekankan pada kajian literatur atau penelitian kepustakaan. Menurut Noeng
Muhadjir dalam Arikunto, karakter penelitian kepustakaan ini lebih memerlukan
olahan filosofis dan teoritis daripada uji empiris dilapangan (Arikunto, 2005: 146).
Karena sifatnya teoritis dan filosofis, penelitian kepustakaan ini sering
menggunakan pendekatan filosofis (philosophical approach) daripada pendekatan
yang lain (Kuntowijiyo, 2003: 158-160). Dengan demikian maka karakteristik
penelitian ini lebih menekankan kepada upaya memahami teks secara komprehensif
dengan menggunakan analisis keilmuan yang lain seperti filsafat, sejarah, sosiologi
dan psikologi (Tjun Surjaman, 1991: 36). Adapun hasil penelitian secara garis besar
adalah sebagai berikut:
1. Konsep Akhlak Berpakaian Dalam Islam
Konsep tentang pakaian dalam Islam menjadi salah satu tema penting
yang tidak dapat diremehkan. Hal ini dikarenakan konsep pakaian berangkat
dari ajaran Islam itu sendiri. Mengingat secara historis kajian pakaian dalam
Islam tercatat dalam al-Qur’an. Historis pakaian dimulai ketika nabi Nabi
Adam dan Siti Hawa terjerumus rayuan setan untuk memakan buah khuldi.
Peristiwa tersebut kemudian menjadikan keduaya terbuka auratnya dan
membutuhkan pakaian untuk menutupinya. Kebutuhan terhadap pakain ini
kemudian berlanjut sampai saat ini. Dengan demikian maka pakaian dalam
Islam di satu sisi sebagai kebutuhan dan di sisi lain sebagai ajaran agama.
Kedua sisi ini dalam Islam saling terkait tidak bisa dipisahkan satu dengan
lainnya.
Konsep berpakaian dalam Islam itu sendiri secara umum dapat didekati
dari dua aspek yakni akhlak dan fiqh. Kajian pakaian dari aspek akhlak
dikembangkan dari tema akhlak kepada sesama manusia. Akhlak kepada
sesama merupakan bagian ajaran Islam dengan berprinsip pada upaya
Etika Berpakaian Dalam Islam

menghormati dan menghargai orang lain. Berpakain yang sopan dan baik
merupakan bagian dari upaya menghormati dan menghargai orang lain.
Sedangkan kajian pakaian dari aspek fiqh menekankan pada upaya menutup
aurat. Mengingat dalam ajaran Islam terdapat batasan aurat yang harus ditutupi
bagi muslim maupun muslimah. Artinya setiap muslim baik laki-laki maupun
perempuan akan memperoleh pahala ketika dapat berpakain sesuai tuntunan
syariat dan sebaliknya akan mendapat dosa kalau melanggarnya. Singkatnya
pakaian yang dikenakan seorang muslim maupun muslimah merupakan
ungkapan ketaatan dan ketundukan kepada Allah. Dengan demikian maka
pendekatan akhlak dan fiqh dalam mengkaji pakaian biasa dilakukan dalam
Islam dan memiliki kedudukan yang sama penting.
Secara umum konsep berkpakain dalam Islam diklasifikasikan menjadi
dua yakni akhlak berpakain bagi muslim laki-laki dan akhlak berpakaian bagi
muslimah perempuan. Pertama, akhlak berpakaian bagi orang laki-laki dalam
Islam secara umum dibatasi oleh aturan syariat. Diantara aturan syariat akhlak
berpakaian dalam Islam adalah sebagai berikut: 1) menutup aurat, menurut
kajian fiqh aurat laki-laki adalah antara pusar dan lutut. Batasan ini didasarkan
pada hadits riwayat ‘Aisyah: Dari ‘Amr bin Syu’aib dari Bapaknya dari
kakeknya, beliau menuturkan bahwa Rasulullah Saw bersabda: “Jika ada di
antara kalian yang menikahkan pembantu, baik seorang budak ataupun
pegawainya, hendaklah ia tidak melihat bagian tubuh antara pusat dan di atas
lututnya.” [HR. Abu Dawud, no. 418 dan 3587]. Dan juga Rasulullah Saw
bersabda: “Aurat laki-laki ialah antara pusat sampai dua lutut.” [HR. ad-
Daruquthni dan al-Baihaqi, lihat Fiqh Islam, Sulaiman Rasyid]. Dari
Muhammad bin Jahsyi, ia berkata: Rasulullah Saw melewati Ma’mar, sedang
kedua pahanya dalam keadaan terbuka. Lalu Nabi bersabda: “Wahai Ma’mar,
tutuplah kedua pahamu itu, karena sesungguhnya kedua paha itu aurat.” [HR.
Ahmad dan Bukhari, lihat Ahkamush Sholat, Ali Raghib]. Jahad al-Aslami
(salah seorang ashabus shuffah) berkata: pernah Rasulullah Saw duduk di dekat
kami sedang pahaku terbuka, lalu beliau bersabda: “Tidakkah engkau tahu
bahwa paha itu aurat?” [HR. Abu Dawud, at-Tirmidzi dan Malik, lihat Shafwât
at-Tafâsir, Muhammad Ali ash-Shabuni]. Juga Rasulullah Saw pernah berkata
Titik Rahmawati dan Agus Khunaifi

kepada Ali ra: “Janganlah engkau menampakkan pahamu dan janganlah


engkau melihat paha orang yang masih hidup atau yang sudah mati.” [HR. Abu
Dawud dan Ibnu Majah, lihat Shafwât at-Tafâsir, Muhammad Ali ash-
Shabuni].
Selanjutnya aturan berpakain bagi laki-laki dalam Islam yang ke 2)
adalah larangan memakai Emas Dan Sutera. Adapun dasar dari larangan ini
adalah hadits berikut ini : Diriwayatkan dari al-Bara’ bin Azib r.a katanya:
“Rasulullah Saw memerintahkan kami dengan tujuh perkara dan melarang
kami dari tujuh perkara. Baginda memerintahkan kami menziarahi orang sakit,
mengiringi jenazah, mendoakan orang bersin, menunaikan sumpah dengan
benar, menolong orang yang dizalimi, memenuhi undangan dan memberi
salam. Baginda melarang kami memakai cincin atau bercincin emas, minum
dengan bekas minuman dari perak, hamparan sutera, pakaian buatan Qasiy
yaitu dari sutera, serta mengenakan pakaian sutera, sutera tebal dan sutera
halus.”(Bahreisj, tt: 120). 3) Larangan Menyerupai Wanita; seorang laki-laki
dilarang bertingkah laku, termasuk berpakaian menyerupai wanita dan
sebaliknya seorang wanita bertingkah laku termasuk berpakaian seperti laki-
laki. 4) Larangan Menyerupai Orang Kafir; menyerupai orang kafir (tasyabbuh
bil kuffar) dilarang bagi muslim maupun muslimah. Tasyabbuh dapat
dilakukan melalui pakaian, sikap, gaya hidup maupun pandangan hidup. Bagi
seorang laki-laki pakaian yang harus dikenakan sama, apakah dia di dalam
rumah, di luar rumah, di hadapan mahram atau bukan, kecuali di hadapan
isteri.
Kedua,akhlak berpakaian bagi seorang muslimah, akhlak berpakaian bagi
seorang muslimah berbeda dengan seorang muslim. Adapun akhlak berpakain
seorang muslimah adalah harus memenuhi syarat-syarat sebagai berikut: 1.
Menutup aurat; 2. Menetapi jenis dan model yang ditetapkan syara’ (memakai
jilbab, Khumur, mihnah dan memenuhi kriteria irkha’); 3. Tidak tembus
pandang; 4. Tidak menunjukkan bentuk dan lekuk tubuhnya; 5. Tidak tabarruj;
6. Tidak menyerupai pakaian laki-laki; 7. Tidak tasyabbuh terhadap orang kafir
.”(Bahreisj, tt: 126).
Etika Berpakaian Dalam Islam

Di samping syarat-syarat di atas akhlak berpakain muslimah juga


dikaitkan dengan keberadaannya. Keberadaan seorang muslimah akan
mempengaruhi akhlak berpakainya. Secara khusus keberadaan muslim
ditentukan oleh kondisi sebagai berikut: 1) Keberadaan wanita di tempat umum
atau di tempat khusus. Pada kondisi ini penampilan wanita dibedakan antara
tempat khusus dan tempat umum. Misalnya di dalam rumah sendiri seorang
wanita boleh membuka jilbabnya dan hanya memakai mihnahnya, kecuali jika
ada tamu laki-laki non muhrim. Adapun di tempat umum penampilan wanita
dibatasi dengan ketentuan-ketentuan sebagai berikut: a. Kewajiban menutup
aurat, seluruh tubuh kecuali muka dan telapak tangan; b. Kewajiban
menggunakan pakaian khusus di kehidupan umum, yaitu kerudung (Khimar)
dan jilbab (pakaian luar yang luas (seperti jubah) yang menutup pakaian harian
yang biasa dipakai wanita di dalam rumah (mihnah), yang terulur langsung dari
atas sampai ujung kaki; c. Larangan tabarruj (menonjolkan keindahan bentuk
tubuh, kecantikan dan perhiasan di depan laki-laki non muhrim atau dalam
kehidupan umum); d. Larangan tasyabbuh terhadap laki-laki.
Khusus untuk wanita menopause diperbolehkan Allah untuk melepaskan
jilbabnya hanya saja tetap diperintahkan untuk tidak tabarruj, sehingga
diperbolehkan baginya menggunakan baju panjang selapis/tidak rangkap
(bukan jilbab) model apa saja selama tidak menampakkan keindahan tubuhnya
seperti baju panjang atas bawah, kulot panjang dan lain-lain, Qs. an-Nûr [24]:
60). Keberadaan wanita di hadapan mahram atau bukan atau di hadapan suami
atau bukan.
Pakaian wanita di dalam rumahnya cukup menggunakan mihnah (kecuali
ada tamu bukan mahrom, maka wajib menutup aurat yang harus ditutup di
hadapan bukan mahrom). Di hadapan mahrom maka cukup menggunakan
mihnah (kecuali di tempat umum maka harus memenuhi pakaian wanita di
tempat umum), di hadapan suami tidak ada keharusan menutup bagian
tubuhnya (walaupun dianjurkan tidak telanjang).
Selanjutnya pembahasan akhlak berpakain bagi muslimah terkait erat
dengan batasan aurat bagi wanita dalam Islam. Dalam kajian fiqh pembahasan
aurat wanita diklasifikasikan menjadi tiga keadaan, yaitu: 1) Di hadapan suami
Titik Rahmawati dan Agus Khunaifi

mereka maka wanita boleh menampakkan seluruh bagian tubuhnya


(berdasarkan hadits riwayat Bahz bin Hakim); 2) Di hadapan muhrimnya dan
orang-orang yang disebut dalam Qs. an-Nûr [24]: 31 dan Qs. an-Nisâ’ [4]: 23
maka baginya boleh menampilkan bagian tertentu dari anggota tubuhnya yang
biasa disebut mahaluzzinah yaitu anggota badan yang biasanya dijadikan
tempat perhiasan, seperti: kepala seluruhnya, tempat kalung (leher), tempat
gelang tangan (pergelangan tangan) sampai pangkal lengan dan tempat gelang
kaki (pergelangan kaki) sampai lutut. Mahaluzzinah ini biasa tampak ketika
wanita memakai baju dalam rumah (mihnah). Selain itu anggota tubuh lain
boleh tampak termasuk apabila ada hajat seperti perut, payudara, kecuali aurat
yang ada di antara pusar dan lutut.
Pemahaman mahaluzzinah ini diambil dari firman Allah SWT:“….dan
janganlah mereka menampakkan perhiasan mereka kecuali yang (biasa)
nampak dari padanya. Dan hendaklah mereka menutupkan kain kerudung ke
dada mereka, dan janganlah menampakkan perhiasan mereka, kecuali…” (Qs.
an-Nûr [24]: 31).Kata zinah yang secara bahasa berarti perhiasan, tetapi
bukanlah perhiasan yang biasa dipakai orang tetapi makna zinah di sini adalah
anggota badan yang merupakan tempat perhiasan (mahaluzzinah), karena illa
mâ zhahara minha yang dimaksud adalah yang biasa nampak pada saat itu
(saat ayat ini turun) yaitu muka dan telapak tangan, jadi menyangkut anggota
badan.
1. Adapun di hadapan laki-laki selain suami dan muhrimnya maka aurat
wanita adalah seluruh tubuh kecuali wajah dan telapak tangan. Dasar dari
penentuan aurat wanita adalah seluruh tubuh kecuali wajah dan telapak
tangan, yaitu:“….dan janganlah mereka menampakkan perhiasan mereka
kecuali yang (biasa) nampak dari padanya.” (Qs. an-Nûr [24]: 31).
Sedangkan yang dimaksud dengan yang biasa nampak daripadanya
adalah wajah dan telapak tangan. Karena dua bagian ini yang biasa nampak
dari wanita muslimah di hadapan Rasul Muhammad Saw (baik dalam sholat,
haji maupun dalam kehidupan sehari-hari di luar sholat dan haji) dan Rasul
mendiamkannya sementara ayat-ayat al-Qu’ran masih turun. Tafsir mengenai
hal ini, Ibnu Abbas menyatakan yang dimaksud dengan illa mâ zhahara
minha
Etika Berpakaian Dalam Islam

adalah muka dan tangan, juga dari Imam Ibnu Jarir ath-Thabari menyatakan
“Pendapat yang paling kuat dalam masalah ini adalah pendapat yang
menyatakan bahwa sesuatu yang biasa nampak adalah muka dan telapak
tangan.” (Ibnu Jurid, tt: 98). Hal tersebut diperkuat dengan sabda Rasul Saw
kepada Asma’ binti Abu Bakar: “Wahai Asma’: Sesungguhnya wanita yang
telah haid tidak layak baginya terlihat dari tubuhnya kecuali ini dan ini. Beliau
menunjuk pada wajah dan telapak tangannya.” [HR. Abu Dawud, No. 3580].
Adapun berkaitan dengan ketentuan jenis pakaian untuk menutup aurat,
tidak ada penjelasan dalam syara’. Adapun penjelasan syara terkait pakaian
hanya memberikan beberapa syarat yaitu:
1. Pakaian itu tidak menampakkan aurat (dapat menutup semua aurat).
2. Pakaian itu dapat menutup kulit, sehingga tidak diketahui warna kulit dari
wanita yang memakainya, yaitu apakah kulitnya putih, merah, kuning, hitam
dan lain-lain. Apabila tidak memenuhi syarat tersebut tidak dapat diianggap
sebagai penutup aurat. Jika pakaian itu tipis misal brokat, kerudung tipis, kaos
kaki tipis, rukuh tipis dan lain-lain, sehingga kelihatan warna kulit (rambut) si
pemakai pakaian itu, maka wanita yang memakai pakaian tersebut dianggap
auratnya tampak atau tidak menutupi auratnya. Dalil bahwa syariat Islam telah
mewajibkan menutup kulit sehingga tidak tampak warna kulitnya adalah hadits
yang diriwayatkan dari A’isyah ra, beliau telah meriwayatkan bahwa Asma’
binti Abu Bakar datang kepada Rasulullah Saw dengan memakai baju yang
tipis maka Rasulullah memalingkan wajahnya dari Asma’ dan bersabda:
“Wahai Asma’: Sesungguhnya wanita yang telah haid tidak layak baginya
terlihat dari tubuhnya kecuali ini dan ini…” [HR. Abu Dawud, no. 3580].
Rasulullah dalam hadits di atas menganggap baju yang tipis belum menutup
aurat dan menganggap auratnya terbuka, sehingga beliau memalingkan wajah
dari Asma’ dan memerintahkan Asma’ untuk menutup aurat. Dalil lain yang
memperkuat dalam masalah ini adalah hadits yang diriwayatkan Usamah:
“Perintahkan isterimu untuk mengenakan pakaian tipis lagi (gholalah) di
bawah baju tipis tersebut. Sesungguhnya aku takut wanita itu tersifati
tulangnya.”Rasulullah Saw ketika mengetahui Usamah memakaikan pakaian
tipis itu pada isterinya, beliau menyuruhnya agar isterinya mengenakan pakaian
Titik Rahmawati dan Agus Khunaifi

tipis lagi di bawah pakaian tipisnya itu. Dan Rasulullah memberi illat pada
masalah itu dengan sabdanya: “Sesungguhnya aku takut wanita itu tersifati
tulangnya.” Artinya wanita harus menutup sifat dari tulangnya, tidak boleh
menggunakan pakaian yang tipis, sehingga kelihatan warna kulitnya.
Dengan demikian wanita harus memperhatikan 2 syarat tersebut ketika
memilih jenis dan bahan pakaian penutup aurat termasuk penutup aurat di
depan mahrom dan wanita lain seperti celana 3/4 sampai lutut, daster dan lain-
lain. Hanya saja apabila wanita selain yang menopause berada di luar rumah
atau tempat-tempat umum (masjid, pasar, jalanan dan lain-lain) maka selain
batasan aurat dan larangan tabarruj, terdapat ketentuan lain yang perlu
diperhatikan yaitu adanya kewajiban menggunakan pakaian khusus yang telah
diperintahkan Allah berupa Khimar (kerudung) dan jilbab (jubah langsungan
dari atas sampai ujung kaki), bukan pakaian lain seperti baju panjang atas
bawah, kulot panjang dan lain-lain. Meskipun jenis baju tersebut menutup aurat
tetapi bukan termasuk jilbab, oleh karena itu jenis pakaian tersebut hanya bisa
dipakai oleh wanita yang sudah menopause dan sudah tidak punya keinginan
seksual (QS. an-Nûr [24]: 60). Untuk wanita menopause ada satu hal lagi yang
perlu diperhatikan dalam berpenampilan yaitu tidak diperbolehkan tabarruj.
Oleh karena itu celana panjang, kaos kaki panjang, kaos stret pas badan tidak
boleh digunakan sebagai penutup aurat wanita menopause karena termasuk
tabarruj (menonjolkan kecantikan dan perhiasan/bentuk tubuh). Untuk lebih
detailnya tentang pakaian khusus di kehidupan umum maka dapat dilihat pada
pembahasan selanjutnya. Dalam kehidupan umum, yaitu pada saat wanita
berada di luar rumahnya/di hadapan laki-laki non mahrom, maka seorang
wanita harus menggunakan pakaian secara sempurna, yakni: 1. Menutup aurat;
2. Menetapi jenis dan model yang ditetapkan syara’ (memakai jilbab, Khumur,
mihnah dan memenuhi kriteria irkha’); 3. Tidak tembus pandang; 4. Tidak
menunjukkan bentuk dan lekuk tubuhnya; 5. Tidak tabarruj; 6. Tidak
menyerupai pakaian laki-laki; 7. Tidak tasyabbuh terhadap orang kafir.
Berdasarkan penjelasan di atas maka dapat diklasifikasikan jenis-jenis
pakaian perempuan yang dikenal dalam Islam yaitu 1) Khumur, 2) jilbab dan
3) Mihnah.
Etika Berpakaian Dalam Islam

1. Pakaian jenis Khumur


Khimaradalah jenis penutup kepala bagi wanita atau yang kita kenal
dengan kerudung. Adapun dalil yang menunjukkan keharusan wanita
memakai Khimar adalah Q.S An-Nuur ayat 31.
… Hendaklah mereka memasang kerudung-kerudung mereka di atas
jayid-jayid mereka… (Q.S An Nuur: 31)
Kata ‫ﺧ‬
ِ ‫ﺮ ُﻤ‬/Khumur merupakan bentuk jamak dari ‫ﺧﻤﺎر‬/Khimar, artinya
penutup kepala. Sedangkan kata
ِ‫ ﺟﯿُﻮﺑ‬/juyuubihinna (jaib-jaib mereka)
‫ِﮭ ﱠﻦ‬
merupakan bentuk jamak dari ‫ﺣﯿﺐ‬/ jaib. jaib adalah bagian tubuh dari
bawah antara leher sampai dada. Syaikh Muhammad Nashiruddin Al-Albani
dalam kitab beliau yang berjudul “Hijab al-Mar’ah al-Muslimah fi al-Kitab
wa al-Sunnah” (Jilbab Wanita Muslimah Menurut al-Qur’an dan as-
Sunnah), mengatakan bahwa sebab turunnya ayat di atas adalah kebiasaan
wanita pada zaman itu bila menutup kepala dengan Khimar, mereka
menyampirkannya ke bagian punggung mereka hingga jaibnya terlihat.
Dalil di atas menunjukkan bahwa wanita muslim wajib mengenakan
kerudung, minimal yang menutup jaib, atau kerudung yang ia pakai,
minimal, menutupi leher hingga dada. Jika kerudung yang dipakai tidak
memenuhi syarat minimal tersebut, maka belum bisa dikatakan “kerudung
syar’i” .”(aridj, tt: 99).
Terkait dengan gambaran jenis pakaian Khumur dijelskan dalam dalil
sebagai berikut: “Katakanlah kepada wanita yang beriman: ‘Hendaklah
mereka menahan pandangannya, dan memelihara kemaluannya, dan
janganlah mereka menampakkan perhiasannya kecuali yang (biasa) nampak
dari padanya. Dan hendaklah mereka menutupkan Khumur (kain kerudung)
ke juyub (dada)-nya, dan janganlah menampakkan perhiasanyaa, kecuali
kepada suami mereka, atau ayah mereka, atau ayah suami mereka, atau
putera-putera mereka, atau putera-putera suami mereka, atau saudara-
saudara laki-laki mereka, atau putera-putera saudara laki-laki mereka, atau
putera-putera saudara perempuan mereka, atau wanita-wanita Islam, atau
budak-budak yang mereka miliki atau pelayan-pelayan laki-laki yang tidak
mempunyai keinginan (terhadap wanita) atau anak-anak yang belum
Titik Rahmawati dan Agus Khunaifi

mengerti tentang aurat wanita. Dan janganlah mereka memukulkan kakinya


agar diketahui perhiasan yang mereka sembunyikan. Dan bertaubatlah
kepada Allah, hai orang-orang yang beriman supaya kamu beruntung’.” (Qs.
an-Nûr [24]: 31).
Kewajiban menggunakan Khumur muncul dari perintah dan hendaklah
mereka menutupkan Khumur/kain kerudung ke juyub (dada)-nya. Khumur
adalah jama’ dari Khimar yaitu kerudung yang menutupi kepala, dan juyub
adalah jama’ dari kata jaibun yaitu ujung pakaian (kancing pembuka) yang
ada di sekitar leher dan di atas dada. Dengan kata lain Khimar adalah kain
yang menutupi kepala tanpa menutupi wajah, terulur sampai sampai
menutupi ujung pakaian bawah (jilbab) yakni kancing baju di atas dada.
Dengan demikian untuk bagian atas badan wanita diwajibkan mengenakan
kerudung yang diulurkan sampai ujung pakaian (kancing pembuka)/di atas
dada. Sedangkan bawahnya diperintahkan menggunakan jilbab/jubah. Dalil
kewajibannya adalah sebagai berikut: (1) ungkapan Hendaklah mereka
mengulurkan jilbabnya ke seluruh tubuh mereka sebagaimana disebutkan
dalamfirman Allah SWT: “Hai Nabi katakanlah kepada isteri-isterimu,
anak-anak perempuanmu dan isteri-isteri orang mukmin: ‘Hendaklah
mereka mengulurkan jilbabnya ke seluruh tubuh mereka.’ Yang demikian
itu supaya mereka lebih mudah untuk dikenal, karena itu mereka tidak
diganggu. Dan Allah adalah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang.” (Qs.
al-Ahzab [33]: 59). (2) Kebolehan menanggalkan pakaian luar (jilbab) bagi
wanita menopouse dengan ungkapan tiadalah atas mereka dosa
menanggalkan pakaian (luar) mereka sebagaimana dalam firman Allah
SWT: “Dan perempuan-perempuan tua yang telah terhenti (dari haid dan
mengandung) yang tiada ingin kawin (lagi), tiadalah atas mereka dosa
menanggalkan pakaian (luar) mereka dengan tidak (bermaksud)
menampakkan perhiasan (tabarruj), dan berlaku sopan adalah lebih baik
bagi mereka. Dan Allah Maha Mendengar lagi Maha Mengetahui.” (Qs. an-
Nûr [24]: 60).
Etika Berpakaian Dalam Islam

2. Pakain jenis Jilbab


Istilah jilbab atau ْ‫( ﻠﺒَﺎب ِﺟ‬jilbabun) merupakan bentuk tunggal dari kata

jamak
‫( ﺟ َﻼﺑِﯿﺒ‬jilbab-jilbab mereka) . Kata jilbab dalam Al-Qur’an biasa
‫ِﮭ ﱠﻦ‬
diterjemahkan sebagai baju kurung yang lapang yang dapat menutup kepala,
wajah, dan dada. Istilah jilbab terkait dengan Khimar yang telah dijelaskan
sebelumnya. Namun, ada perbedaan pada bagian menutup wajah. Menurut
Ibnu Hajar Al ‘Asqolani dalam kitab, “Fathul Baari”, menjelaskan bahwa
kata jilbab dapat dibaca dengan dua wazan. Pertama dengan wazan ْ ‫ﺮدَاب ﺳ‬
sehingga dibaca jilbaabun. Kedua dengan wazan ِ‫ﱠﻤﺎر ﺳﻨ‬sehingga dibaca
jilibbaabun (Asqolani, 2008: 87). Lebih lanjut beliau memaparkan bahwa
ada delapan makna lughawy tentang jilbab: 1) ْ‫ ا‬p‫ ْﻟ‬p‫ ِﻤ‬pُ‫ﻘ َﻨ َﻌﺔ‬/ al-Miqna’ah, yaitu
sesuatu yang dibuat menutup kepala wanita serta hal-hal yang menarik dari
mukanya; 2)َ ‫ ﻤﺎر ِﺨ ْﻟ ا‬/ al-Khimaar, yaitu kerudung atau penutup kepala; 3) َ‫ﻣﺎ‬
‫ض ﻣ َﻦ ا‬ َ َ‫أ‬/ Maa a’radhu minal khimaar, yaitu sesuatu yang lebih lebar
‫ْﻟ ِﺨ َﻤﺎر‬ ‫ﺮ‬

‫ﻋ‬
Khimar: )4 ‫ ا ﱠﻟﺜﻮب ا ْﻟ َﻮاﺳ ُﻊ َد ْون اﻟ ِّﺮدَاء‬, dari kecil lebih yang luas bagian yaitu
dari
pada ridaa’ (kain yang dipakai oleh orang arab untuk melindungkan diri
dari dingin); 5)َ‫ ر َزا ِﻹ ْ ا‬/al-Izar, yaitu selubung yang menutupi bagian
bawah
tubuh; 6)ْ‫ ﻠﺤﻔَﺔُ ِﻤ ْﻟ ا‬/al-Milhafah, yaitu pakaian yang dipakai di luar pakaian
dalam untuk menutupi seluruh tubuh untuk melindungkan diri dari dingin;
َ ‫ ء ُة ُﻤ‬/al-Mulaah, yaitu pakaian yang mirip dengan milhafah, yang
7)َ ‫ﻼ اﻟ‬
berbeda adalah modelnya; 8)ْ‫ ﯿﺺ ِﻤ ْﻟﻘَ ا‬/al-Qamiis, yaitu pakaian yang dijahit
yang biasanya terbuat dari katun dan memiliki dua lengan .”(Asqolqni,
2008: 122). Berdasarkan penjelasan di atas maka dapat dipahami bahwa
jilbab berbeda dengan Khimar yang bermakna kerudung. Sehingga istilah
jilbab di dalam al-Qur’an berbeda dengan makna yang berkembang di
Indonesia yang menunjuk kepada kerudung penutup kepala. Hal ini
diperkuat dengan pendapat Murtadha az-Zabidi dalam kamusnya yang
bernama ‫ﺗﺎﺟﺎﻟﻌﺮوﺳﻤﻨﺠﻮاھﺮاﻟﻘﺎﻣﻮس‬/Tajul ‘arus min jawaahiri qamuus (kamus
mahkota pengantin dari mutiara), yang mana kamus ini merupakan syarah
dari kamus popular bernama ‫اﻟﻘﻮﻣﻮﺳﺎﻟﻤﺤﯿﻂ‬/ al-Qamus al-Muhith, beliau
menjelaskan dengan menukil seorang ahli bahasa yang bernama Al
Khafajiy, bahwa makna asal jilbab adalah milhafah, yakni pakaian yang
Titik Rahmawati dan Agus Khunaifi

dipakai di luar pakaian dalam untuk menutupi seluruh tubuh untuk


melindungkan diri dari dingin .”(Munawir, 2002: 34). Dengan demikian
jilbab merupakan jenis pakaian luar yang berfungsi untuk menutupi tubuh
perempuan secara Islami.
Sedangkan dalil tentang pakaian jenis jilbal terangkum dalam hadits
Nabi yaitu Ungkapan salah seorang di antara kami tidak mempunyai jilbab,
Rasulullah bersabda: “Hendaklah saudaranya meminjamkan jilbabnya.”
Sebagimana dalam hadits dari Ummu ‘Athiyah ra. Berkata: Rasulullah
memerintahkan kepada kami, nenek-nenek, wanita yang sedang haid, wanita
pingitan untuk keluar pada hari raya Fitri dan Adha. Maka bagi wanita yang
sedang haid janganlah sholat dan hendaklah menyaksikan kebaikan dan
dakwah kaum muslimin. Saya berkata: “Ya Rasulullah salah seorang di
antara kami tidak mempunyai jilbab”, Rasulullah bersabda: “Hendaklah
saudaranya meminjamkan jilbabnya.” (HR. Muslim, no 1475]. Pada Qs. al-
Ahzab [33]: 59 dan hadist dari Ummu ‘Athiyah, Allah dan Rasul-Nya
memerintahkan muslimah menggunakan sejenis pakaian yang disebut
jilbab. Dengan demikian maka dapat dipahami bahwa pakaian muslimah
dapat dibedakan dengan istilah jilbab.
Kata jilbab itu sendiri menurut pemahaman masyarakat pada saat itu
bermakna baju luar yang menutupi tubuh dari atas sampai bawah. Hal ini
didasarkan pada hadits yang diriwayatkan dari Ibnu Abbas, dia berkata
jilbab (pada nash tersebut): baju luar yang berfungsi menutupi tubuh dari
atas sampai bawah (tanah). Dalam kamus arab Al-Muhith, jilbab bermakna:
Pakaian yang lebar bagi wanita, yang menutupi tsiyab/mihnah (pakaian
harian yang biasa dipakai ketika berada di dalam rumah), bentuknya seperti
malhafah (kain penutup dari atas kepala sampai ke bawah). Demikian pula
yang disebutkan oleh al-Jauhari dalam kitab Ash Shihah. Definisi jilbab ini
juga tersirat dalam Qs. an-Nûr [24]: 60 walaupun pada ayat tersebut Allah
menggunakan istilah tsiyab untuk menyebut makna jilbab.
Adapun Hadist dari Ummu ‘Athiyah menerangkan dengan jelas ketika
wanita keluar rumah/dihadapan laki-laki non mahrom diwajibkan
menggunakan pakaian yang dipakai di atas pakaian dalam rumah (mihnah),
Etika Berpakaian Dalam Islam

sebagaimana Ummu ‘Athiyah berkata kepada Rasulullah Saw: “Salah


seorang dari kami tidak mempunyai jilbab”, maka Rasulullah menjawab:
“Hendaklah saudara perempuannya meminjamkan jilbabnya.” Artinya jika
seseorang tidak mempunyai jilbab dan saudaranya tidak meminjami maka
wanita itu tidak boleh keluar. Inilah indikasi (qarinah) bahwa perintah hadits
tersebut adalah wajib. Dan jilbab yang dimaksudkan pada hadist ini bukan
sekedar penutup aurat tetapi sebagaimana yang diriwayatkan dari Ibnu
Abbas bahwa jilbab: baju luar yang berfungsi menutupi tubuh langsung dari
atas sampai bawah.
Pengertian ini dapat ditemukan juga dalam Tafsir Jalalain yang
diartikan sebagai kain yang dipakai seorang wanita untuk menutupi seluruh
tubuhnya .”(Al-Mahalli dkk, 2003: 56). Jilbab selain harus luas
dipersyaratkan harus diulurkan langsung ke bawah sampai menutupi dua
telapak kaki. Hal ini sebagaimana yang diriwayatkan oleh Ibnu abbas dan
juga dapat dipahami dari nash-nash yudnîna ‘alaihinna min jalabibihinna di
sini bukan menunjuk sebagian tetapi untuk menjelaskan, sedangkan makna
yudnîna adalah yurkhîna ila asfal (mengulurkan sampai ke bawah/kedua
kaki). Jadi kesimpulannya jilbab harus diulurkan langsung ke bawah (tidak
potong-potong/atas bawah) sampai menutup dua telapak kaki (bukan mata
kaki). Hal ini diperkuat oleh hadits yang diriwayatkan oleh Ibnu Umar. Ibnu
Umar berkata: Rasulullah bersabda: “Barangsiapa yang menyeret
pakaiannya dengan sombong maka Allah tidak akan melihatnya pada hari
kiamat.” Ummu Salamah bertanya: “Bagaimana yang harus diperbuat para
wanita terhadap ujung baju (jilbab) mereka?” Rasulullah menjawab:
“Hendaklah mereka mengulurkan sejengkal.” Ummu Salamah bertanya lagi:
“Kalau demikian terlihat kaki mereka.” Rasulullah menjawab: “Hendaklah
mengulurkan bajunya sehasta dan jangan lebih dari itu.”
Dari sini jelas bahwa jilbab tidak boleh diulurkan bagian per bagian
misalnya baju potongan, tetapi diulurkannya langsung dari atas ke bawah.
Selain itu mengulurkannya harus sampai telapak kaki (bukan mata kaki),
tidak boleh kurang dari itu, oleh karena itu apabila jilbabnya terulur sampai
mata kaki dan sisanya (telapak kaki) ditutup dengan kaos kaki/sepatu, maka
Titik Rahmawati dan Agus Khunaifi

hal ini tidak cukup menggantikan keharusan irkha’ (terulurnya baju sampai
ke bawah). Dalam hal ini yang perlu diperhatikan adalah adanya irkha’,
yaitu jilbab harus diulurkan sampai menutupi kedua telapak kaki sehingga
dapat diketahui dengan jelas bahwa baju itu adalah baju di kehidupan
umum. Apabila jilbabnya sudah terulur sampai ujung kaki tetapi jika
berjalan kakinya masih terlihat sedikit seperti ketika menerima tamu,
berjalan di sekitar rumah, maka hal ini tidak apa-apa walaupun tetap
dianjurkan untuk ‘iffah (berhati-hati/menjaga diri). Hanya saja apabila
aktivitas wanita tersebut membuat kakinya banyak terlihat semisal
mengendarai sepeda, motor dan lain-lain maka diwajibkan untuk
menggunakan penutup kaki apa saja seperti kaos kaki, sepatu dan lain-lain.
3. Pakaian Jenis Mihnah
Istilah Mihnah diartikan sebagai pakaian wanita bagian dalam. Istilah
mihnah digunakan al-Qur’an dalam menjelaskan wanita yang telah
menopause yakni QS. an-Nûr [24]: 60. Ayat di atas menjelaskan bahwa
wanita menopause yang sudah tidak mempunyai keinginan seksual
diperbolehkan melepaskan tsiyabnya (pakaian luarnya/jilbab), berarti tersisa
mihnah, hanya saja selanjutnya diperintahkan untuk tidak menampakkan
kecantikan, bentuk tubuh, perhiasan (tidak tabarruj) yaitu diperbolehkan
menggunakan baju apa saja sejenis mihnah yang tidak menampakkan
kecantikan/bentuk tubuh seperti baju atas bawah panjang, daster, kulot
panjang dan lain-lain, tidak seperti celana ketat panjang karena hal itu
termasuk tabarruj. Tsiyab disini dipahami pakaian luar/jilbab bukan baju
biasa karena tidak mungkin Allah memerintahkan wanita menopause
telanjang. Berarti dapat dipahami pula bagi wanita yang belum menopause
diwajibkan untuk menggunakan tiga lapis/jenis pakaian ketika di hadapan
laki-laki non mahrom yaitu kerudung, mihnah dan jilbab.
Berdasarkan penjelasan d atas maka dapat disimpulkan bahwa penting
dalam akhlak berpakain bagi muslimah adalah larangan tentang tabaruj.
Tabarruj telah diharamkan oleh Allah SWT dengan larangan yang
menyeluruh dalam segala kondisi dengan dalil yang jelas. Hal ini
ditunjukkan dalam firman Allah SWT:
Etika Berpakaian Dalam Islam

‫ﻣﺘََﺒ ِﺖ ﺑِﺰﯾﻨَ ٖ ۖﺔ‬ َ ‫ﻻ ﺟﻮ َن ﻧِ َﻜﺎﺣﺎ ﻋ َﻠ ۡﯿ ﺟ ح أَن ﻀ ۡﻌ َﻦ‬ ‫ ِء‬pٓ‫وٱ ۡﻟَﻘ ٰ َﻮ ﻋ ﻣ َﻦ ٱﻟﻨِّﺴﺎ‬


‫ِﺮ‬ ‫ﺮ‬ ‫ﯾَ ﺛِﯿَﺎ َﺑ ُﮭ ﱠﻦ‬ ‫ﻓَﻠَ ۡﯿﺲ ِﮭ ﻨَﺎ‬ ‫ﯾَﺮ‬ ‫ٱ ٰﻟﺘِﻲ‬ ‫ﺪ‬
‫َﺟ‬ ‫ﻏ‬ ‫ﱠﻦ‬
‫ۡﯿ‬
٠٦ ‫ﻢ‬ٞ ‫ﻋ ِﻠﯿ‬
‫ﱠ©ُ ِ ﻤﯿ‬ ‫ﺮ‬ٞ ‫ ۡﻌ ِﻔ ۡﻔ ﺧ ۡﯿ‬pَ‫ن ﯾَ ۡﺴﺘ‬pَ‫وأ‬
‫وٱ ٌﻊ ﺳ‬ ‫َﻦ ﻟﱠ ُﮭ ۗ ﱠﻦ‬

“Dan perempuan-perempuan tua yang telah terhenti (dari haid dan


mengandung) yang tiada ingin kawin (lagi), tiadalah atas mereka dosa
menanggalkan pakaian (luar) mereka dengan tidak (bermaksud)
menampakkan perhiasan, dan berlaku sopan adalah lebih baik bagi mereka.
Dan Allah Maha Mendengar lagi Maha Mengetahui.” (Qs. an-Nûr (24): 60
Pemahaman dari ayat ini adalah larangan bertabarruj secara mutlak.
Allah membolehkan mereka (wanita yang berhenti haid dan tidak ingin
menikah) menanggalkan pakaian luar mereka (jilbab), tanpa bertabarruj.
Sedangkan pengertian tabarruj adalah menonjolkan perhiasan, kecantikan
termasuk bentuk tubuh dan sarana-sarana lain dalam berpenampilan agar
menarik perhatian lawan jenis. Sarana lain yang biasa digunakan misalnya
wangi-wangian, warna baju yang mencolok atau penampilan tertentu yang
“nyentrik” atau perhiasan yang berbunyi jika dibawa jalan. Orang tua
(menopouse) boleh tetap mengenakan jilbab dan boleh juga mengenakan
baju apa saja selain jilbab selama tidak menonjolkan perhiasan, kecantikan,
bentuk tubuh ketika di kehidupan umum seperti di jalan-jalan,pasar, mall,
dll. Jika wanita tua saja dilarang untuk bertabarruj, maka mafhum
muwafaqahnya yaitu wanita yang belum berhenti haid lebih dilarang untuk
bertabarruj.
Ayat lain yang melarang tabarruj adalah firman Allah SWT Q.S. Annur
(24):31
‫َﮭ ﻣ ۡﻨ َﮭ ۖﺎ‬ ‫زَﯾﻨﺘ ﱠﻻ ﻣﺎ‬ ‫ُﻓ ُﺮوﺟ َ ُﯾ ۡﺒ ِﺪﯾ‬ ‫و َﯾﺤ ﻈ‬ ‫ۡ َأ َﺼ‬ ‫ﻀ‬ ‫ﺖ‬ ‫وﻗُﻞ ۡ ﺆ‬
‫َﺮ‬ ‫ِإ‬ ‫ُﮭ ﱠﻦ‬ ‫ُﮭ ﱠﻦ ﻻ َﻦ‬ ‫َﻔ َﻦ‬ ‫ﻦ ۡﺑ ِﺮ ِھ‬ ‫ﻀ‬ ‫ﯾَ ۡﻐ‬ ‫ِﻣ ٰﻨ ﻟ‬
‫ظ‬ ‫و‬ ‫ﱠﻦ‬ ‫َﻦ‬ ‫ۡﻠ ُﻤ‬
‫ﻣ‬
‫ ِء ﺑُُﻌﻮﻟَ ِﺘ ِﮭ‬pٓ‫ءاﺑَﺎ‬
‫ِﺋ ِﮭ‬p‫ءاﺑ َٓﺎ‬ ‫ﻟﺒُُﻌﻮﻟَ ِﺘ ِﮭ‬ ‫ ُﮭ‬pَ‫زﯾ َﻨﺘ‬ ‫ﺟﯿُﻮﺑِ و َﻻ ُﯾ ۡﺒ‬ ‫و ۡﻟ َﯿ ﻀ ِﺮ ۡﺑ َﻦ ﺑِﺨ ﻋ َﻠ‬
‫ ۡو‬pَ‫ﱠﻦ أ‬
‫ ۡو‬pَ‫ﱠﻦ أ‬ ‫ ۡو‬pَ‫ﱠﻦ أ‬ ‫ﱠﻦ إِ ﱠﻻ‬ ‫ِﺪﯾ َﻦ‬ ‫ِﮭ ۖ ﱠﻦ‬ ‫ُﻤ ِﺮ ِھ ﱠﻦ ٰﻰ‬
‫ ۡﯾ ٰ َﻤﻨ‬pَ‫ﺖ أ‬ ‫ِو‬
‫َﻜ َﻣﻠ‬ ‫َﺧ ٰ َﻮِﺗ ِﮭ ﱠﻦ أَ‪ۡ p‬و ﻧِﺴﺎٓ‪p‬ﺋِ ِﮭ‬
‫ﻲ‬ ‫أَ‪ۡ p‬ﺑﻨ َٓﺎ‪ِp‬ﺋ ِﮭ ﱠﻦ أَ‪ۡ p‬و أَ‪ۡ p‬ﺑﻨَﺎٓ‪ِ p‬ء ﺑُﻌُﻮﻟَ ِﺘ ِﮭ ﱠﻦ أَ‪ۡ p‬و إِﺧ ٰ َﻮ ﻲ إِﺧ ٰ َﻮ ِﻧ ِﮭ‬
‫ﱠﻦ أَ‪ۡ p‬و ﻣﺎ‬
‫أ‬ ‫ﱠﻦ أَ‪ۡ p‬و ﺑَﻨ‬ ‫ِﻧ ِﮭ ﱠﻦ أَ‪ۡ p‬و ﺑَﻨ‬
‫ﻀ ِﺮ ۡﺑ َﻦ‬
‫ٱﻟ ِّﻨﺴﺎٓ ِ‪ِۖp‬ء و َﻻ‬ ‫ﻋ‬ ‫ﻋ َﻠ‬ ‫ﻏ ۡﯿ ِﺮ أُ‪ْ p‬و ِﻟﻲ ٱ ﻣ َﻦ ﺟﺎل أَ‪ِ p‬و ّ ﻞ ٱﻟﱠ ِﺬﯾ َﻦ َﮭ‬ ‫ٱﻟ ٰﺘﱠ‪ِp‬ﺒ ِﻌﯿ َﻦ‬
‫ﯾَ‬ ‫ت‬ ‫ۡﻮ‬ ‫ٰﻰ‬ ‫ْ‬
‫ُﺮوا‬ ‫َﻟ ۡﻢ ﯾَ‬ ‫ٱﻟ ﻄ‬ ‫ۡ ِﻹ ۡرﺑَ ِﺔ ٱﻟ ِﺮ‬
‫َر‬ ‫ﻈ‬
‫ۡﻔ‬
‫ﺤﻮ َن ‪١٣‬‬ ‫ٓ ْ‬
‫© ﺟ ِﻤﯿﻌًﺎ أَ‪p‬ﯾﱡَﮫ ٱ ۡﻟ ُﻤ ۡﺆ ِﻣُﻨﻮ َن‬ ‫ﻮا ِإ َﻟﻰ ٱ ﱠ ِ‬ ‫ﻣﺎ ُﯾ ۡﺨ ِﻔﯿ زﯾَﻨ ِﺘ‬ ‫ِﺑﺄَ ۡر ﺟ ِﻠ ۡ ﻌ َﻠ‬
‫ﱠ‬
‫ﻟَﻌَﻠ ُﻜ ۡﻢ ﺗُ‪ۡ p‬ﻔ ِﻠ‬ ‫و ُﺗﻮ ُﺑ‬ ‫َﻦ ﻣﻦ ِﮭ ۚ ﱠﻦ‬ ‫ِﮭ َﻢ ﻟ ُﯿ‬
‫ﱠﻦ‬

‫‪Artinya: Katakanlah kepada wanita yang beriman: "Hendaklah mereka‬‬


‫‪menahan pandangannya, dan kemaluannya, dan janganlah mereka‬‬
Titik Rahmawati dan Agus Khunaifi

Menampakkan perhiasannya, kecuali yang (biasa) nampak dari padanya.


dan hendaklah mereka menutupkan kain kudung kedadanya, dan janganlah
Menampakkan perhiasannya kecuali kepada suami mereka, atau ayah
mereka, atau ayah suami mereka, atau putera-putera mereka, atau putera-
putera suami mereka, atau saudara-saudara laki-laki mereka, atau putera-
putera saudara lelaki mereka, atau putera-putera saudara perempuan mereka,
atau wanita-wanita Islam, atau budak- budak yang mereka miliki, atau
pelayan-pelayan laki-laki yang tidak mempunyai keinginan (terhadap
wanita) atau anak-anak yang belum mengerti tentang aurat wanita. dan
janganlah mereka memukulkan kakinyua agar diketahui perhiasan yang
mereka sembunyikan. dan bertaubatlah kamu sekalian kepada Allah, Hai
orang-orang yang beriman supaya kamu beruntung.
Allah dalam ayat ini melarang salah satu bentuk tabarruj, yaitu
menggerakkan kaki sampai terdengar bunyi gelang kakinya sehingga orang
lain menjadi tahu perhiasan wanita yang menggerakkan kaki tersebut, yang
berarti wanita tersebut telah menonjolkan perhiasannya. Dalil ini juga
menjelaskan akan larangan tabarruj, yaitu menonjolkan perhiasan. Tabarruj
berbeda dengan perhiasan atau berhias. Tidak ada makna syara’ tertentu
terhadap kata tabarruj, sehingga penafsiran kata tabarruj diambil dari makna
lughawi (bahasa). Tabarruj secara bahasa berarti menonjolkan perhiasan,
kecantikan termasuk keindahan tubuh pada laki-laki non muhrim. Dalil lain
yang menerangkan bahwa tabarruj adalah menonjolkan perhiasan,
keindahan tubuh pada laki-laki asing adalah seperti yang diriwayatkan dari
Abi Musa Asy Sya’rawi: “Wanita yang memakai parfum, kemudian
melewati suatu kaum (sekelompok orang) supaya/sampai mereka mencium
aromanya maka berarti dia pezina.”
Diriwayatkan pula dengan sabda Rasulullah Saw: “Dua golongan
penghuni neraka, saya belum melihat sebelumnya adalah: wanita yang
berpakaian seperti telanjang dan wanita yang berjalan lenggak-lenggok di
atas kepala mereka seperti punuk unta, maka mereka tidak akan masuk
surga dan tidak mendapatkan baunya.” Kata telanjang, berlenggak-lenggok
dan seperti punuk unta menunjukkan arti agar tampak perhiasan dan
Etika Berpakaian Dalam Islam

kecantikannya. Atas dasar ini dapat dimengerti bahwa tabarruj tidak sama
dengan sekedar perhiasan atau berhias, namun bermakna menonjolkan
perhiasan. Adapun mengenai perhiasan, maka hukum asalnya adalah mubah
untuk dikenakan selama belum ada dalil yang mengharamkanya, hal ini
sesuai dengan kaidah syara’, Hukum asal suatu benda (asy yâ’) adalah
mubah. Perhiasan adalah asy yâ’ (benda). Perhiasan apapun bentuknya
adalah mubah selama belum ada dalil yang mengharamkannya. Sebagian
perhiasan memang diharamkan Allah antara lain: seperti yang terungkap
dari riwayat Ibnu Umar: “Sesungguhnya Nabi melaknat wanita yang
menyambung rambutnya dengan rambut orang lain, wanita yang rambutnya
minta disambungkan, wanita yang mentato, dan wanita yang minta ditato.”
Walaupun semula berhias dalam kondisi berkabung dibolehkan akan tetapi
bisa menjadi haram manakala berhiasnya menggunakan perhiasan yang
haram dan apabila berhiasnya sampai menjadikannya termasuk tabarruj
yaitu menonjolkan perhiasan dan kecantikan di hadapan laki-laki asing (non
mahrom).
2. Akhlak Berpakaian dalam Kitab Shoheh Bukhori
Kitab Shoheh Bukhori merupakan salah satu kitab hadits yang memiliki
kedudukan istimewa dikalangan umat Islam. Keistimewaan kitab shoheh
Bukhori ini juga diakui oleh kalangan ulama. Faktor-faktor yang menyebabkan
para ulama mengakui keistimewaan kitab ini diantaranya adalah; 1) dalam
kitab ini sang Imam Bukhari menetapkan kriteria hadis dalam kitabnya dengan
sangat ketat. Sebuah hadits dianggap shahih, bila dalam persambungan
sanadnya benar-benar ditandai dengan pertemuan langsung antara guru dan
murid, atau minimal ditandai dengan guru dan murid yang hidup pada satu
masa. kedua, kitab Shahih al-Bukhari menggunakan sistematika penulisan
model shahih dan sunan, yaitu model penulisan kitab yang disusun dengan cara
membagi menjadi beberapa Kitab, dan tiap-tiap Kitab dibagi ke dalam
beberapa Bab. Dalam kitab karya Imam al-Bukhari ini, terdapat 97 Kitab, yang
dibagi-bagi lagi kedalam Bab yang berjumlah 4550 Bab. Adapun jumlah
haditsnya, yaitu 7275 buah hadis, termasuk yang diulang-ulang, atau 4000
buah hadits tanpa pengulangan.
Titik Rahmawati dan Agus Khunaifi

Namun demikian dari banyaknya keistimewaan kitab ini yang di akui


para ulama akan tetapi masih ada juga yang mengkritik.Suatu hal yang wajar
apabila sebuah karya mendapat kritikan tetapi pada saat yang sama juga
mendapat pujian.Begitu pula dengan penilaian yang ditujukan kepada kitab
Jami` al-Shahih, ada yang mengkritik ada pula yang memuji. Di antara
kritikan yang ditujukan kepada kitab ini dilakukan oleh Dar al-Qutni berkenaan
dengan delapan puluh periwayat dan 110 buah hadis yang tidak memenuhi
standar tinggi sebagaimana hadis-hadis Imam Bukhari yang lain.Kritik itu
menunjukkan bahwa walaupun hadis-hadis tersebut tidak bercacat (salah atau
palsu) namun, ia tidak memenuhi standar tinggi yang telah digariskan oleh
Imam al-Bukhari .”(Azami, 1992: 146).
Kritik Dar al-Qutni tersebut disanggah oleh Ibn Hajar al-Asqalani, karena
setelah diadakan penelitian dengan seksama yang dikatakan oleh Dar al-Qutni
sebagai hadis-hadis yang mu’allaqbahkan munqati’”(Azami, 1992: 147)
ternyata semuanya marfu’dan muttasil, hanya saja perlu untuk diketahui bahwa
Imam al-Bukhari sering mengulang beberapa hadis, memenggal dan
meringkasnya dalam beberapa bab yang berbeda sesuai dengan kebutuhan
yang diperoleh dari hadis tersebut atau disesuaikan dengan judul bab tertentu,
hal ini ia lakukan karena adanya kebutuhan tertentu yang terdapat pada
sanadatau matan hadis tersebut. Di antara manfaat mengulang hadis pada
beberapa tempat adalah untuk memperbanyak atau menunjukkan adanya sanad
atau perbedaan lafal. Imam Bukhari jarang sekali menyebutkan satu macam
sanad dan satu macam lafal pada beberapa tempat yang berlainan.Kritik lain
terhadap kitab ini berkaitan dengan hadis Aisyah mengenai kasus tersihirnya
Nabi yang dilakukan oleh Labid Ibn A‟sam, mene ima hadis tentang
tersihirnya Nabi akanmembahayakan prinsip ‘Ismah al-Nabawi dan ikut
membenarkan tuduhan orang-orang kafir bahwa kita hanya mengikuti seorang
yang terkena pengaruh sihir, padahal tuduhan tersebut telah didustakan oleh
Allah. Kritik tersebut diantaranya dikemukakan oleh al-Jassas, Jamal al-Din al-
Qasami, Muhammad Abduh, dan Muhammad al-Gazali
Etika Berpakaian Dalam Islam

Hadis Tentang Pakaian dalam Shahih Bukhori


Pada Kitab Jami` al-Shahihnya Imam Bukhori Kitab tersebut berisikan
hadits-hadits shahih semuanya, berdasarkan pengakuan beliau sendiri, ujarnya:
“Saya tidak memasukkan dalam kitabku ini kecuali shahih semuanya. Jumlah
hadits yang dituliskan dalam kitab jami‟nya sebanyak 6.397 buah, dengan yang
terulang-ulang, belum dihitung yang mu’allaqdan mutabi’. Yang mu’allaq
sejumlah 1.341 buah, dan yang mutabi’sebanyak 384 buah, jadi seluruhnya
berjumlah 8.122 buah, di luar yang maqthu’dan mauquf. Sedang jumlah yang
tulen saja, yakni tanpa yang berulang,tanpa mu’allaq dan mutabi’ 2.513 buah.
Kitab ini merupakan seshahih-shahih kitab hadits setelah Al-qur`an.
Kitab hadits karya Imam Bukhari disusun dengan pembagian beberapa
judul. Judul-judul tersebut dikenal dengan istilah “Kitāb”. Jumlah judul (kitab)
yang terdapat di dalamnya adalah 97 kitab. Setiap kitab dibagi menjadi
beberapa subjudul yang dikenal dengan istilah “bab”. Jumlah total babnya
adalah 4550 bab, yang dimulai dengan kitab bad’u al-waḥy, dan disusul
dengan kitāb al-Imān, kitāb al-‘Ilm, kitāb al-Wadu’, dan seterunya dengan
jumlah hadis scara keseluruhan 7.275 buah hadits, termasuk yang terulang,
atau sebanyak 4.000 buah hadits tanpa pengulangan. Adapun Hadis yang
Terkait dengan Pakaian akan dijelaskan sebagai berikut ini.
a. Syarat – Syarat Berpakaian
1. Tidak Sombong ketika memakainya

ُ ‫رﺿﻲ ا ﱠ‬
‫ﻣﻮﺳﻰ ْ ﻘ ْ ﺳﺎ ﺑ ِ ﺪ ا ْ ﻦ َأِﺑﯿ‬ ‫ﺛ‬p‫ْ ﯿ ﺣﺪﱠ‬ ‫ﺛ‬p‫ﺑﻦ ﺣﺪﱠ‬ ‫ ْﺣ َﻤﺪ‬pَ‫ﻨَﺎ أ‬pَ‫ﺛ‬p‫ﺣﺪﱠ‬
‫© ﻋ ْﺒ ِﮫ ﻋ‬ ِ ‫ﺑﻦ َﺒ َﺔ ﻦ ِﻟ ِﻢ ِﻦ ﱠ‬ ‫ﻨَﺎ‬ ‫ٌﺮ‬ ‫ﯾُﻮ ُﻧﺲ ﻨَﺎ‬
‫ﻋ‬ ‫زھ‬
‫ﻋ‬
‫ل أَﺑُﻮ‬
‫ﺻﻠﱠﻰ ﻋ َﻠ َ ﻢ َﻗﺎل ْ ﱠﺮ َﺛ ْﻮ َﺑ ُﮫ ﺧَﯿ َﻼ َء ﻟَ ِإﻟَ ْﯿ ِﮫ ﯾَ ْﻮ َم ا ْﻟ ِﻘ َﯿﺎ َﻣ ِﺔ‬ ‫ْﻦ‬ ‫ﻋ ْﻨ ُﮫ‬
ُ©‫ﻗَﺎ ﻈ ْﺮ ا ﱠ‬ ‫ْﻢ ﯾَ ْﻨ‬ ‫ﺟ‬ ‫ﱠ‬
‫وﺳﻠ ﻦ‬ ‫ا ﱠ© ْﯿ‬ ‫ﱠ‬
‫اﻟﻨ ِﺒ ِﻲ ﻋ‬
‫ِﮫ‬
‫ﻣ‬
‫ﻋﻠَ ْﯿ ِﮫ‬
‫ﺻﻠﱠﻰ‬ ‫ل‬ ُ‫© إِ ﱠن ﺷ ِإ َزاري َﯾﺴ َﺘ ْﺮ ِﺧﻲ ِإ ﱠﻻ َأ ْن َأ َﺗ َﻌﺎھ َﺪ َذ ِﻟﻚ ﻣ ْﻨﮫ‬ ِ ‫َﺑ ْﻜ ٍﺮ َﯾﺎ رﺳﻮل ا ﱠ‬
©‫ا ﱠ‬ ‫ﻓَﻘَﺎ اﻟﻨﱠﺒِﻲ‬ ‫ﻲ‬ ‫ َﺣﺪ ﻘ‬pَ‫أ‬
‫ﺧﯿَﻼ َء‬
‫وﺳ ﱠﻠ َﻢ َﻟﺴ ﻣ ﱠﻤ ْﻦ ﺼﻨ‬
‫ُﻌﮫ‬ ‫َﯾ ﺖ‬
‫©‪p‬‬
‫ھ َﺮ ْﯾ رﺳﻮل ا ﱠ ِ‬ ‫ﻒ أَ‪ ِ p‬ﻟ ْ ﻦ َأ ِﺑﻲ اﻟ ِﺰﻧَﺎ ْ ﻦ ا َ ﺮ ْ ﻦ‬ ‫ﺑﻦ‬ ‫©‬‫ا ﱠ ِ‬ ‫ﺣﺪﱠ‪p‬ﺛَ‪p‬ﻨَﺎ‬
‫َْﻷ ﻋ ِج َأ ِﺑﻲ ﻋ َﺮةَ‪ p‬أَ‪ p‬ﱠن‬ ‫ِد ﻋ‬ ‫ْﺧﺒَﺮﻧَﺎ ﻚ‬ ‫ﯾُﻮﺳ‬ ‫ﻋ ْﺒ ُﺪ‬
‫ﻋ‬ ‫ﻣﺎ‬
‫ﻄ ًﺮ‬
‫ﯾَ ْﻮ َم ا ْﻟ ِﻘ َﯿﺎ َﻣ ِﺔ ْ ﱠﺮ ِإ َزارهُ َﺑ‬ ‫ﺻﻠﱠﻰ ا ﱠ© ﻋ َﻠ َ ﻢ َﻗﺎل ﻻ َﯾ‬
‫ﺟ‬ ‫إِﻟَﻰ ﻈ ُﺮ ا ﱠ©ُ ﻦ‬ ‫وﺳ ﱠﻠ ْﻨ‬ ‫ْﯿ‬
‫ِﮫ‬
‫ﻣ‬
‫‪2. Tidak berlebihan‬‬
‫ﻋ ْﻨﮫُ‬
‫ا ﱠ©ُ‬ ‫ْﯾ‬ ‫ْﻦ‬ ‫ٍﺪ ا ْﻟ َﻤ ْﻘ ُﺒ‬ ‫َأ ِﺑﻲ‬ ‫ﺣﺪﱠ‪p‬ﺛ ِ ﻌ‬ ‫ﺣﺪﱠ‪p‬ﺛَ‪p‬ﻨَﺎ آدَ‪ُ p‬م ﺣﺪﱠ‪p‬ﺛ ْ ﻌ‬
‫رﺿﻲ‬ ‫َﺮ َة ھ‬ ‫َأ ِﺑﻲ‬ ‫ِﺮي ﺳ ِﻌﯿ‬ ‫ﺑﻦ‬ ‫ﻨَﺎ ﯿ ُﺪ‬ ‫ﻨَﺎ َﺒ ُﺔ‬
‫َﺮ‬ ‫ﻋ‬ ‫ﺳ‬ ‫ﺷ‬
‫ﻣ ْﻦ ا ْ ِﻹ َزار ﻓَ‬
‫ﺻﱠﻠﻰ ﻋ َﻠ َ ﻢ َﻗﺎل ﻣﺎ ﺳﻔ ﻣ ْﻦ ا ْﻟ َﻜ‬ ‫ﻋ ْﻦ اﻟﻨﱠ ِﺒ ِﻲ‬
‫ِﻔﻲ اﻟﻨﱠﺎر‬
‫وﺳ ﱠﻠ َأ ﻞ ْﻌَﺒ ْﯿ ِﻦ‬ ‫ا ﱠ© ْﯿ‬
‫ِﮫ‬
‫‪Titik Rahmawati dan Agus Khunaifi‬‬

‫ﻋﺒﱠﺎ ٍس‬ ‫ﺣﻨَ ﻋ ْﻦ‬ ‫ْ ﻦ ﺑ ِ ﻌ ْ ﻋﺒَ ﺑ‬ ‫ْ ﺮ ﺣﺪﱠ‪p‬ﺛ ﺣ ﱠﻤﺎ ُد ْ ﯾ‬ ‫ﺳ َﻠ ن‬ ‫ﺣﺪﱠ‪p‬ﺛَ‪p‬ﻨَﺎ‬


‫ْﯿ ا ْﺑ ِﻦ‬ ‫َﯾﺤ َﯿﻰ ِﻦ ﯿ ٍﺪ ﻦ ْﯿ ِﻦ‬ ‫ﺑﻦ ٍﺪ‬ ‫ﻨَﺎ‬ ‫ب‬ ‫ْﯿ ﺑﻦ‬
‫ٍﻦ‬ ‫ِﺪ‬ ‫ﺳ‬ ‫ﻋ‬ ‫ز‬ ‫ﺣ‬ ‫َﻤﺎ‬
‫ﻋ‬
‫ﻋﻠَﻰ اﻟﱠﻨﺒِ ِ‬
‫ﻲ‪p‬‬
‫ﻋ ْﻦ ا ْﻟ َﻤ ْﺮأَ‪p‬ﺗَ‪ْ p‬ﯿ ﻈﺎھ‬ ‫ل ﺳ وأَﻧَﺎ أُ ِرﯾ ُﺪ أَ ْن ﺳﺄ َﻤ‬ ‫ُ ﮭ َﻤﺎ‬ ‫رﺿﻲ ا ﱠ©‬
‫ِﻦ اﻟﻠﱠﺘَ‪ْ p‬ﯿ ِﻦ ﺗ َﺮﺗَ‪p‬ﺎ‬ ‫َ‬
‫أ َل َﺮ‬ ‫ْ‬ ‫َ‬
‫َﻗﺎ ﻋ ْﻨ ﻟﺒِﺜﺖ َﻨﺔ‬
‫ﻋ‬
‫ﺸﺔُ‪p‬‬
‫ﺳ َﺄ‪ْ p‬ﻟﺘُ‪p‬ﮫُ‪ p‬ﻋ‬ ‫َ‬ ‫ِ ﺰ ًﻻ ﺧﻞ ا ْﻷ ك ﻓَﻠَ‬ ‫ﺻﻠﱠﻰ ا ﱠ© ﻋ َﻠ َ ﻢ َﻓ َ‬
‫ﺠﻌ ْﻠ ﺖ أَ‪َ p‬ھﺎﺑُﮫ َﯾ ْﻮ ًﻣﺎ‬
‫ﻓَﻘَﺎل ﺎﺋ‬ ‫ﺮ‬ ‫َرا ﱠﻤﺎ‬ ‫َﻓﺪَ ﻣ ْﻨ‬ ‫ﻓَﻨَﺰ ل‬ ‫وﺳ ﱠﻠ‬ ‫ْﯿ‬
‫ج‬ ‫ِﮫ‬
‫ﺧ‬
‫رأَ‪ْ p‬ﯾﻨَﺎ ﻟَ ُﮭ ﱠﻦ‬
‫ِﻓﻲ ا ْﻟ ﺠﺎ ﻻ ﻧَ ُﻌ ﱡﺪ اﻟﻨِّﺴﺎ ْ ﯿ ًﺌﺎ َﻓ َﻠ ﺟﺎ َء َ َﻛ ھ ﱠﻦ‬ ‫وﺣ ْﻔ ﺼُﺔ ﺛُ‪ p‬ﱠﻢ‬
‫ﺑِﺬَ‪ِ p‬ﻟﻚ‬
‫َء ﱠﻤﺎ ﺷ ا ْ ِﻹ ﻼ َﺮ َوذ ا ﱠ©‬ ‫ﻛ ﱠﻨﺎ ِھ ِﻠﯿ‬ ‫ﻗ َ ﺎل‬
‫ُم‬ ‫ِﺔ‬
‫ﺳ‬
‫ﻈﺖ ﻟﻲ‬
‫و ْ ﯿ ِﻨ وَﺑ ْﯿ َﻦ ا ْﻣ َ ﻼ ٌم ﻏ‬ ‫ﺷ ْ ﻦ ُأ ُﻣﻮ‬ ‫ﻏ ْﯿ ِﺮ أَ‪ْ p‬ن ُﻧﺪْﺧﻠَ‬ ‫ْ‬ ‫ﻋﻠ َ ﺣ ﻘ‬
‫َﻓ َﺄ ﻛ ﻠَ‬ ‫َﺮأَ‪p‬ﺗِﻲ‬ ‫َﻛﺎ ﻲ‬ ‫ِرﻧَﺎ ﻣ‬ ‫ﻲ‬ ‫ُﮭ ﱠﻦ ﻓِﻲ‬ ‫ﺎ ﻦ‬ ‫ْﯿﻨَﺎ‬
‫َن ﺑ‬ ‫ٍء‬
‫ﻣ‬
‫ﺼﺔَ‪p‬‬
‫ﺻﻠﱠﻰ ﻋ َﻠ َ ﻢ َﻓ َﺄ َﺗ ْﯿﺖ ْ‬ ‫ھَﺬا ْ ﺑ َﻨ ﺗُ ْﺆ ِذي اﻟﻨﱠ ِﺒﻲ‬ ‫ﺖ‬ ‫َﻓﻘُ ْﻠ ﺖ ﻟَ وإِﻧﱠ ﻚ َﻟ ك‬
‫وﺳ ﱠﻠ ﻔ‬ ‫ا ﱠ© ْﯿ‬ ‫ﻚ‬ ‫ﻟﻲ ُﺘ وا‬ ‫ﺗَﻘُﻮل‬ ‫ُﮭﻨَﺎ ﻗَﺎﻟَ‬ ‫َﮭﺎ‬
‫ِﮫ‬
‫ﺣ‬
‫ﺖ ﻟَ َﮭﺎ ﻓَﻘَﺎﻟَﺖ‬
‫َﻓﻘُ ْﻠ ﺖ ﻟَ َﮭﺎ إِﻧِّﻲ أُ‪َ p‬أ ْن َﺗ ْﻌ ﺼﻲ ا َ ﺳﻮ ْ ﻣ ِإ َﻟ ْﯿ َﮭﺎ ِﻓﻲ َأ َذاهُ َﻓﺄَ َﺗ ْﯿ ﺖ ﺳ َﻠ َﻤﺔ‬
‫ﻓَُﻘ ْﻠ‬ ‫ﺖ أُ ﱠم‬ ‫ﱠ© ر ﻟَﮫ و َﺗ َﻘ ﱠﺪ‬ ‫ك‬ ‫َﺣ ِﺬّ‪ُ p‬ر‬

‫و‬
‫ﱠ‬
‫وﺳﻠ َﻢ‬
‫ﺻﻠﱠﻰ ﻋ َﻠ‬ ‫©‬
‫اﱠ ِ‬ ‫أَﻋﺠ ﺐ ﻚ ﻋ َﻤ ُﺮ ﻗَ ْﺪ ْ ِﻓﻲ ُأ ُﻣﻮ ِرﻧَﺎ َﻓ َﻠ ْﻢ َﯾ ْﺒ ِإ ﱠﻻ َأ ْن ﺗ َْﺪﺧ ﻞ ﺑَ‬
‫ا ﱠ© ْﯿ‬ ‫رﺳﻮل‬ ‫ﻖ ْﯿ َﻦ‬ ‫ﺖ‬ ‫َد ﻠ‬ ‫ﻣ ْﻨ ﯾَﺎ‬
‫ِﮫ‬
‫ﺧ‬
‫وﺷ ِﮭ ْﺪ ُﺗ ُﮫ‬
‫ﺻﻠﱠﻰ ﻋ َﻠ َﻢ‬ ‫©‬
‫ا ﱠ ِ‬ ‫ﻏﺎ ْ‬ ‫ﺼﺎ‬ ‫رﺟ ْ ﻦ ا‬ ‫َوأ ْز َواﺟ ِﮫ ﻓَ ﱠ‬
‫َﺮددَت و‬
‫ا ﱠ© ْﯿ وﺳﻠﱠ‬ ‫رﺳﻮل‬ ‫ب ﻦ‬ ‫ِر إِذَ‪p‬ا‬ ‫ﻞ َْﻷ ْﻧ ﻣ‬ ‫َﻛﺎ‬
‫ِﮫ‬ ‫َن‬
‫ﻋ‬
‫©‬
‫رﺳﻮل ا ﱠ ِ‬
‫ﺻﻠﱠﻰ ﻋ َﻠ َﻢ ِ ﮭ َﺪ َأﺗَﺎ ِﻧﻲ ِﺑ َﻤﺎ ُ ﻜ ْ‬ ‫©‬
‫ا ﱠ ِ‬ ‫ُ ﻜ و ِإ َذ ﻏ ْ‬ ‫أَﺗَ ْﯿﺘُﮫُ َ‬
‫وﺷ ﻮن ﻦ‬ ‫ا ﱠ© ْﯿ وﺳ ﱠﻠ‬ ‫رﺳﻮل‬ ‫ﻮن ا ْﺒﺖ ﻦ‬ ‫ﻤ‬
‫ﯾ‬ ‫ِﮫ‬ ‫ﯾ‬ ‫ﺎ‬
‫ﻣ‬ ‫ﻋ‬ ‫ﺑ‬
‫ﻣ ِﻠﻚ‬
‫ﺻﻠﱠﻰ ﻋ َﻠ َ ﻢ َﻗ ْﺪ اﺳ َﺘ َﻘﺎ َم َﻟ ُﮫ ﻓ َﻠ ْﻢ َﯾ ْﺒ ﻖ إِ‬ ‫©‬
‫ا ﱠ ِ‬ ‫ﺻﻠﱠﻰ ا ﱠ© ﻋ َﻠ َﻢ و ْ ﺣ‬
‫وﺳﻠﱠ ﱠﻻ‬ ‫ا ﱠ© ْﯿ‬ ‫رﺳﻮل‬ ‫ﱠ‬
‫وﺳﻠ َﻛﺎ ﻦ ْﻮل‬ ‫ْﯿ‬
‫ِﮫ‬ ‫َن‬ ‫ِﮫ‬
‫ﻣ‬
‫ُ ﺖ ﻟَﮫُ‬
‫ﻧَﺨﺎ ف أَ ْن ﯾَﺄْﺗِﯿَﻨَﺎ ﻓَ ﺷ ِإ ﱠﻻ ِﺑﺎ َْﻷ ْﻧ ﺼ ِ‬
‫ي‪ p‬وھ َﻮ إِﻧﱠﮫُ ﻗَ ْﺪ ﺣ َأ ْﻣ ٌﺮ ﻗ‬ ‫ﻏﺴﺎ َن ﺑِﺎﻟﺸﺄْ ِم‬
‫ْﻠ ث‬ ‫ل ﺪ‬ ‫ﯾَُﻘﻮ‬ ‫ت ﺎ‬ ‫َﻤﺎ ﻌَﺮ‬ ‫ﻛ ﱠﻨﺎ‬
‫ِر‬
‫َ ْ ﺖ ﻓَﺈ ِ َذا‬
‫ﺻﻠﱠﻰ ﻋﻠَ َ ﻢ ِﻧﺴﺎ َء ُه ﻓﺠﺌ‬ ‫©‬
‫اﱠ ِ‬ ‫ھ َﻮ أَ‪َ p‬ﺟﺎ ﺴ ﻲ ل ُ ﻣ ْﻦ طﻠﱠ‬ ‫و َﻣﺎ‬
‫وﺳﻠﱠ‬ ‫ا ﱠ© ْﯿ‬ ‫رﺳﻮل‬ ‫َذاك ﻖ‬ ‫َء ا ْﻟﻐ ﺎﻧ ﻗَﺎ أَﻋ ﻢ‬
‫ِﮫ‬
‫ﻈ‬
‫َ وﻋﻠَﻰ َﺑﺎب‬
‫ﺻ ِﻌ َﺪ ُ ﺮ َﺑ ٍﺔ ﻟ ُﮫ‬ ‫ﻋ َﻠ وﺳﻠﱠ َﻢ ﻗَ ْﺪ‬ ‫ﺻﻠﱠﻰ‬ ‫ا ْﻟ ُﺒ َﻜﺎ ُء ْ ﺣﺠ ِﺮ ِ ﻠ و ِإ َذا اﻟﻨﱠ ِﺒﻲ‬
‫ﻣﺸ‬ ‫ِﻓﻲ‬ ‫ْﯿ‬ ‫ا ﱠ©‬ ‫ﻦ ِھ ﱠﻦ َﮭﺎ‬
‫ِﮫ‬ ‫ﻛ‬
‫ﻣ‬
‫ﻋَﻠﻰ‬
‫ﺻﻠﱠﻰ ﻋ َﻠ َﻢ‬ ‫ﺖ ﻓَﺈ ِ َذا‬ ‫ا ْﻟ َﻤ ُ ﺮ َﺑ وﺻﯿﻒ ﻓَﺄَﺗَ ْﯿﺘُﮫُ َﻓﻘُ اﺳﺘ َْﺄ ِذ ْن ﻟﻲ ﻓَ َﺄ‪ِ p‬ذ ﻟﻲ َﻓ َﺪ ْ‬
‫ا ﱠ© ْﯿ وﺳﻠﱠ‬ ‫اﻟﻨﱠﺒِﻲ‬ ‫ﻠ‬ ‫َن‬ ‫ﺖ‬ ‫ْﻠ‬ ‫ِﺔ ﺸ‬
‫ِﮫ‬
‫ﺧ‬
‫ظ َﻓ َﺬ َﻛ ْﺮت‬
‫وإِذَا أُ‪ p‬ﻣ َﻌﻠﱠﻘَﺔٌ َ‬ ‫ﺣﺸ ﻟﯿ‬ ‫ﺣﺼﯿ ٍﺮ ﻗَ ْﺪ أَ‪p‬ﺛﱠ‪َ p‬ﺮ ﻓِﻲ ْ ﻨ ِﺒ وﺗَ ر ِ ﻣ ْ ﻦ َأدَ‬
‫ﺮ‬ ‫ُھﺐ‬ ‫ُﻮھﺎ ﻒ‬ ‫ِﮫ ْﺤﺖ ْأ ﮫ ْﺮﻓَﻘَﺔٌ ٍم ﻣ‬
‫و َﻗ‬ ‫ﺟ‬
‫ﺳ‬
‫َ وﺳ ﱠﻠ َﻢ‬
‫ﺻﻠﱠﻰ ﻋﻠ‬ ‫©‬
‫اﱠ ِ‬ ‫ﺳ َﻠ ِ‬ ‫رد ﻋ ﻲ‬ ‫ﱠ‬ ‫ﺳ َﻠ ِ ﺬي‬ ‫ا ﱠﻟ ِﺬي ُﻗ ْﻠ ﺖ ﺼ وأ‬
‫ا ﱠ© ْﯿ‬ ‫رﺳﻮل‬ ‫َﻤﺔَ ﻓَ ﺤ‬ ‫ت ﻠَ أُ ﱡم‬ ‫َﻤﺔ وا ﱠﻟ‬ ‫ﻟﺤ ْﻔ ﺔ ِ ّم‬
‫ِﮫ‬ ‫ﻚ‬
‫ﻀ‬
‫وﻋﺸ ِﺮﯾ َﻦ ﻟَ ْﯿﻠَﺔً ﺛ‬
‫ﻓَﻠَ ِﺒ ﺚ ﺴ‬
‫ﱠﻢ ﻧَﺰل‬
‫ِﺗ ﻌًﺎ‬

‫‪b. Adab Berpakaian‬‬


‫‪1. Memakai dari kanan‬‬
‫ﻣﺴ ُﺮوق‬ ‫ْ ﻌ َﺒﺔُ‬
‫ﺖ ِ ّﺪ ْ‬ ‫ل أَ‪ p‬ﺷ ﺚ ﺳ َﻠ ْ‬ ‫ﺣﺪﱠ‪p‬ﺛ‬ ‫ﺣﺪﱠ‪p‬ﺛَ‪p‬ﻨَﺎ ﺣ ج ْ ﻨ‬
‫أَﺑِﻲ ﯾُ ث ﻦ‬ ‫ْﺧﺒَﺮﻧِﻲ أ ﻌ ﺑﻦ ْﯿ ﻌ‬ ‫َﻗﺎ ﺷ‬ ‫ﻨَﺎ‬ ‫ﺠﺎ ﺑﻦ َﮭﺎل‬
‫ﺤ‬ ‫ٍﻢ ﺳ‬ ‫ﻣ‬
‫ﻋ‬ ‫ِﻤ‬
‫ﺟ ِﻠ ِﮫ‬
‫ُ ﮭﻮ َ‬ ‫ﺻﻠﱠﻰ ﻋ َﻠ َﻢ ُﯾ ِﺤ ﺐ اﻟﺘﱠ‪p‬ﯿَ ﱡﻤ‬ ‫ﻛﺎ َن‬ ‫ْ ﻨ َﮭﺎ‬ ‫ا ﱠ©ُ‬ ‫ﻋﺎﺋ‬ ‫ﻋ ْﻦ‬
‫ر ِه ﺮ‬ ‫َﻦ ﻓِﻲ‬ ‫ﱠ‬
‫وﺳﻠ‬ ‫ا ﱠ© ْﯿ‬ ‫اﻟﱠﻨﺒِﻲ‬ ‫َﻗﺎ َﻟﺖ ﻋ‬ ‫رﺿﻲ‬ ‫ﺸﺔ‬
‫ط وَﺗ‬ ‫ِﮫ‬
‫و َﺗﻨَﻌﱡ ِﻠ ِﮫ‬
‫ﺻﱠﻠﻰ‬ ‫ْﻦ‬ ‫ْ ﻋ ﺸ‬ ‫ﺳ َﻠ ْ ﻦ َأِﺑﯿ ْ ُ ﺮوق‬ ‫ﺣﺪﱠ‪p‬ﺛَ‪p‬ﻨَﺎ أَ‪p‬ﺑُﻮ ا ْﻟ َﻮ ِﻟﯿ ِﺪ ﺣﺪﱠ‪p‬ﺛ ْ ﻌ ْ ﺷ ﺚ‬
‫ﱠ‬
‫ﻦ ﺎﺋ ﺔ اﻟﻨ ِﺒ ِﻲ ﻋ‬ ‫ﻣﺴ‬ ‫ْﯿ ِﮫ ﻋ ﻦ‬ ‫ﻨَﺎ َﺒ ُﺔ ﻦ أَ ﻌ ﺑ‬
‫ٍﻢ‬ ‫ِﻦ‬ ‫ﺷ ﻋ‬
‫ﻋ‬ ‫ﻋ‬
‫ﺿﻮ ِﺋ ِﮫ‬
‫© ﻋ َﻠ َ ﻢ َأ ﱠﻧ ُﮫ ﻛﺎ َن ُﯾ ْﻌ ِﺠﺒُﮫُ‪ p‬ﻣﺎ ﺳ ﻄﺎع ﻓِﻲ ِ ﻠ ُ‬‫اﱠ ُ‬
‫ﺗَ‪َ p‬ﺮ ِﮫ و‬ ‫اﻟﺘﱠ‪p‬ﯿَ ﱡﻤﻦ ا ﺘ‬ ‫ﱠ‬
‫وﺳﻠ‬ ‫ْﯿ‬
‫ﺟ و‬ ‫ِﮫ‬

‫‪2. Melepas dari kiri‬‬


‫‪Etika Berpakaian Dalam Islam‬‬

‫ﻋ ْﻨﮫُ‪ p‬أَ‪ p‬ﱠن‬ ‫ا ﱠ©ُ‬ ‫ْﯾ‬ ‫َ ﻤ َﺔ ْ ِ ﻟ ْ ﻦ َأ ِﺑﻲ اﻟ ِّﺰﻧَﺎ ْ ﻦ ا َ ﺮ ْ ﻦ‬ ‫ﺣﺪﱠ‪p‬ﺛَ‪p‬ﻨَﺎ ْ ﺒ ُﺪ ا ﱠ ِ‬


‫©‬
‫رﺿﻲ‬ ‫َْﻷ ﻋ ِج َأ ِﺑﻲ ﻋ َﺮ َة ھ‬ ‫ِد ﻋ‬ ‫ﻣﺴ َﻠ ﻦ ﻚ‬ ‫ﺑﻦ ﻋ‬
‫َﺮ‬ ‫ﻋ‬ ‫ﻣﺎ‬
‫ﻋ‬
‫ﻟ َﯿ ُﻜ ْﻦ‬
‫َﻧ َﺰ ﻓَ ْﻠﯿَ ْﺒﺪ َْأ ِﺑﺎﻟ ﺸ‬ ‫ﺻﻠﱠﻰ ﻋ َﻠ َ ﻢ َﻗﺎ ل ِإ َذا ا ﻞ أَ‪َ p‬ﺣﺪُ‪ُ p‬ﻛ ْﻢ ﻓَ ْﻠﯿَ ْﺒﺪَ‪p‬أْ‬ ‫©‬
‫رﺳﻮل ا ﱠ ِ‬
‫ع َﻤﺎل‬ ‫و ِإ َذا‬ ‫ﺑِﺎ ْﻟﯿَ ِﻤﯿ ِﻦ‬ ‫ْﻧ َﺘ َﻌ‬ ‫ﱠ‬
‫وﺳﻠ‬ ‫ا ﱠ© ْﯿ‬
‫ِﮫ‬
‫ھ َﻤﺎ ُﺗ ْﻨ َﺰع‬
‫ا ْﻟ ُﯿ ْﻤﻨَﻰ أَ ﱠوَﻟ ُﮭ َﻤﺎ ﺗُ َْﻨﻌﻞ َﺮ‬
‫وآﺧ‬

‫‪3. Mendoakan orang yang memakai pakaian baru‬‬

‫ﺣﺪﱠﺛَ‪p‬ﻨِﻲ أَ‪p‬ﺑِﻲ ﺣﺪﱠ‪p‬ﺛَ‪p‬ﺘْﻨِﻲ‬ ‫ص‬ ‫ْ ﻤ ﺑ ِ ﻌ ﺑ ِﻦ ا‬ ‫ﺣﺪﱠ‪p‬ﺛَ‪p‬ﻨَﺎ أَ‪p‬ﺑُﻮ ا ْﻟ َﻮ ِﻟﯿ ِﺪ ﺣﺪﱠﺛَ‪p‬ﻨَﺎ ﺳ ق ِ ﻌ ﺑ‬


‫ﻗَﺎل‬ ‫ﻗَﺎل‬ ‫ْﻟﻌَﺎ‬ ‫ِﺮو ِﻦ ﯿ ِﺪ‬ ‫إِ ﺤﺎ ﺑﻦ ﯿ ِﺪ ِﻦ‬
‫ﺳ‬ ‫ﻋ‬ ‫ﺳ‬
‫ﻣ ْﻦ‬
‫َ ﻢ ِﺑ ِﺜ َﯿﺎ ب ﻓِﯿ ِ ﺼ ْ ﻮدَا ُء‬ ‫ﺻﻠﱠﻰ ﻋ َﻠ‬ ‫ﺖ رﺳﻮل ا‬ ‫ﺧﺎ ِﻟ ٍﺪ ﺧﺎ ِﻟ ٍﺪ‬ ‫ُأ ﱡم‬
‫َﻗﺎل ﺳ‬ ‫َﮭﺎ ﻤ ﺔ‬ ‫وﺳ ﱠﻠ‬ ‫ا ﱠ© ْﯿ‬ ‫ﱠ©‬ ‫أُﺗِﻲ‬ ‫ﻗَﺎﻟَ‬ ‫ﺑِ ْﻨﺖ‬
‫ﯿ‬ ‫ِﮫ‬
‫ﺧ‬
‫ﱠ‬
‫وﺳﻠ َﻢ‬
‫ﺻﻠﱠﻰ ﻋ َﻠ‬ ‫ﻲ ﺑِﻲ‬ ‫ﺗَ‪َ p‬ﺮ ْو َن ﻧَ ﺴﻮ ِ ه ِ ﺼَﺔ ﻓَﺄ ا ْﻟ َﻘ ْﻮ ُم َﻗﺎ ل اْﺋﺘُ‪p‬ﻮﻧِﻲ ﺧﺎ ِﻟ ٍﺪ‬
‫ا ﱠ© ْﯿ‬ ‫اﻟﻨﱠﺒِﻲ‬ ‫ﺑِﺄُ‪ّ ِ p‬م ﻓَﺄُ‪ِ p‬ﺗ‬ ‫ﺖ‬ ‫ْﺳ ِﻜ‬ ‫ْﻜ ھﺎ ا ْﻟ ﻤ‬
‫ِﮫ‬ ‫ھ ِﺬ ﯿ‬
‫ﺨ‬
‫ُ ل ﯾَﺎ‬
‫ﻋ َﻠ ِ ِ و ﺸﯿﺮ ﺑَِﯿ ِﺪ ِه و َﯾﻘ‬ ‫ُﺮ‬ ‫َأ ْﺑ وَأ ْﺧ ﻣ ﱠﺮﺗَ‪ْ p‬ﯿ ِﻦ ﻞ‬ ‫ﻓَﺄَ ْﻟﺒَ ﺴﻨِﯿ ِ ﺪ و َﻗ‬
‫إِﻟَﻲ ﻮ‬ ‫ِﻢ ا ﻤ ﺔ ُﯾ‬ ‫ِإ َﻟﻰ‬ ‫ﻓَﺠﻌ َﯾ ْﻨ‬ ‫ِﻠﻲ ِﻠ ِﻘﻲ‬ ‫َﮭﺎ ِه ﺑَﯿ ﺎ‬
‫ْﻟ ﯿ‬ ‫ﻈ‬ ‫ل‬
‫ﺨ ﺼ‬
‫ﻣ ْﻦ‬
‫ُأ ﱠم ﺧﺎ ھ ﺳ وا ﺴﻨَﺎ ﺴﺎ ﺤﺒَﺸﯿﱠ ِﺔ ﺴﻦ ل ﺤﺎ ﺣﱠﺪﺛَ‪p‬ﺘْﻨِﻲ ا ْﻣ‬ ‫ُأ ﱠم ﺧﺎ ھ ﺳ‬
‫َﺮأَ‪p‬ة‬ ‫ا ْﻟﺤ ﻗَﺎ إِﺳ ق‬ ‫و َﯾﺎ ِﻟ ٍﺪ ﺬ ﻨَﺎ ﻟ ﺑِ ِﻠ ِن ا ْﻟ‬ ‫ِﻟ ٍﺪ ﺬَ‪p‬ا ﻨَﺎ‬
‫ا‬
‫ﺧﺎ ِﻟ ٍﺪ‬ ‫أَ‪ْ p‬ھ ِﻠﻲ أَ‪p‬ﻧﱠ َﮭﺎ َ‬
‫رأ ْﺗ ﻋَﻠﻰ‬
‫ُﮫ أُ‪ّ ِ p‬م‬

‫‪c. Larangan Berpakaian‬‬


‫‪1. memakai sutra‬‬
‫وﻧَﺤﻦ‬ ‫ﻋ‬ ‫ْﮭ ِﺪ َن‬
‫َﻤ‬ ‫ﻛﺘَﺎ‬ ‫ي أَﺗَﺎﻧَﺎ‬ ‫ﻋﺜْ‬ ‫ﺣﺪﱠﺛَ‪p‬ﻨَﺎ ﻗَﺘَ‪p‬ﺎدَ‪p‬ةُ‪ ْ p‬ﻌ ﺖ‬
‫اﻟﻨ‬
‫َﺮ‬ ‫ب‬ ‫َﻤﺎ‬ ‫ﻗَﺎل ﺳ ِﻤ أَﺑَﺎ‬
‫ْ ﻌ َﺒ ُﺔ ﺷ‬ ‫ﺪﱠ‪p‬ﺛَ‪p‬ﻨَﺎ‬ ‫ﻨَﺎ آدَ‪ُ p‬م‬
‫ﺣ‬ ‫ﺣﺪﱠ‪p‬ﺛ‬
‫ﺷﺎ َر‬
‫َﻢ َﻧ َﮭﻰ ْ ﻦ ِ ﺮﯾﺮ ِإ َ و‬ ‫ﺻﻠﱠﻰ ﻋ َﻠ‬ ‫©‬
‫ا ﱠ ِ‬ ‫ﺑ ِﻦ ﻓَ ْﺮﻗَ ٍﺪ ﺑِﺄَ‪p‬ذ‬ ‫ﻋﺘ‬ ‫ﻣ َﻊ‬
‫ﻜﺬا َأ‬
‫َ‬ ‫ﱠﻻ ﺤ‬ ‫وﺳ ﱠﻠ ا ْﻟ‬ ‫ا ﱠ© ْﯿ‬ ‫رﺳﻮل‬ ‫َرﺑِﯿﺠﺎ َن أَ‪ p‬ﱠن‬ ‫ﺒَﺔ‬
‫ھ‬ ‫ﻋ‬ ‫ِﮫ‬
‫ﻋ َﻼ َم‬
‫ِﺑﺈِ ﺻﺒََﻌ ْﯿ ِﮫ اﻟﻠﱠﺘَ‪ْ p‬ﯿ ِﻦ ﺗَ‪ِ p‬ﻠﯿَﺎ ِن ل ِﻓﯿ ْ ﻤﻨَﺎ َأ ﱠﻧ ُﮫ َﯾ ْﻌ ِﻨﻲ ا‬
‫َْﻷ ﻋ ِﻠ‬ ‫ا ْ ِﻹ ْﺑ َﮭﺎ َم ﻗَﺎ َﻤﺎ‬
‫ﻋ ْﻦ ا ْﺑ‬
‫ﺣﺪﱠﺛَ‪p‬ﻨَﺎ أَ‪p‬ﺑِﻲ ْ ﺖ ا ْﺑ َﻦ أَ‪ِp‬ﺑﻲ ْ ٍﺪ‬ ‫ﺐ ِ ﺮﯾ‬ ‫ﺣﺪﱠ‪p‬ﺛَ‪p‬ﻨَﺎ ﻋ ﺣﺪﱠ‪p‬ﺛ و‬
‫ِﻦ أَ‪ِp‬ﺑﻲ‬
‫ﻧَﺠﯿﺢ ﻦ ﻣﺠﺎھ‬ ‫ﻗَﺎل ﻌ‬ ‫ﺑﻦ ٍﺮ ﺟ‬ ‫ِﻠﻲ ﻨَﺎ ْھ‬
‫ﺳ‬
‫ﻋ‬ ‫ِﻤ‬
‫ب ﻓِﻲ آِﻧﯿَ ِﺔ اﻟﺬ‬
‫ﺻﱠﻠﻰ ﻋ َﻠ َ ﻢ َأ ْن ﻧَﺸ َﺮ‬ ‫ل ﻧَ َﮭﺎﻧَﺎ‬ ‫ﺣﺬَ رﺿﻲ ا ْ ﻨ ُﮫ‬ ‫ﻟَ ْﯿﻠَﻰ ْ‬
‫َھﺐ‬ ‫ﱠ‬
‫وﺳﻠ‬ ‫ا ﱠ© ْﯿ‬ ‫اﻟﻨﱠﺒِﻲ‬ ‫ﱠ© َﻗﺎ ﻋ‬ ‫ْﯾَﻔﺔ‬ ‫ﻦ‬
‫ِﮫ‬
‫ﻋ‬
‫ﻋﻠَ ْﯿ ِﮫ‬
‫ْ ن ﻧَﺠ‬ ‫ﻞ ِﻓﯿ وﻋ ْﻦ ُﻟ ْﺒ ﺤ ِ ّﺪﯾ َﺒ ِ‬
‫ﺎج‬ ‫ِ ْ ن ْﻧَﺄ‬ ‫وا ْﻟ ِﻔ‬
‫ِﻠﺲ وأَ‬ ‫واﻟ‬ ‫ِﺲ ا ْﻟ ِﺮﯾﺮ‬ ‫َﮭﺎ‬ ‫ﺔ ُﻛ َوأ‬

‫ﻀ‬
‫ﻣ َﻌﺎ ِو َﯾ ُﺔ ﺑﻦ‬ ‫َُﱠُ‬
‫ﻋ ﺷﻌ ﺑ ِﻦ أَ‪p‬ﺑِﻲ ْ ﻌ َﺜﺎ ﺣﺪ‪p‬ﱠﺛ‬ ‫ُﷴ ﺑﻦ ﻣ َﻘﺎ ﻞ أَ‪ْ p‬ﺧﺒ ﻋ ْﺒﺪُ‪ p‬ا ﱠ ِ‬
‫© أَ‪ ْ p‬ﻔ َﯿﺎ‬ ‫‪َp‬‬ ‫ﺣﺪﱠ‪p‬ﺛَ‪p‬ﻨَﺎ‬
‫ﻨَﺎ‬ ‫اﻟ ِء ﺸ‬ ‫ْﻦ أَ ﺚ‬ ‫ْﺧﺒَﺮﻧَﺎ ن‬ ‫َﺮﻧَﺎ‬ ‫ِﺗ‬
‫ﺳ‬
‫ﺤ ْﻤ ِﺮ‬
‫ﺻﻠﱠﻰ ﻋ َﻠ َﻢ ْ ﻦ ا ْﻟ َﻤ َﯿﺎ ِﺛﺮ‬ ‫ل ﻧَ َﮭﺎﻧَﺎ‬ ‫ﻣﻘَ ْ ﻦ ا ْﻟ َﺒﺮا ﺑ ﻋ ب‬ ‫ﺳ َﻮ ْﯾ ِﺪ ﺑ‬
‫ا ْﻟ ﻋ‬ ‫ﱠ‬
‫وﺳﻠ‬ ‫ا ﱠ© ْﯿ‬ ‫اﻟﻨﱠﺒِﻲ‬ ‫ِء ﻋ ِﻦ ﺎز ﻗَﺎ‬ ‫ِﺮ‬ ‫ِﻦ‬
‫ِﮫ‬ ‫ٍن‬
‫وا ْﻟ َﻘ ّﺴﻲ‬
‫َ وﺳ ﱠﻠ َﻢ‬ ‫َُﱠٌ‬
‫ﺻﻠﱠﻰ ﻋﻠ‬ ‫ﺺ‬ ‫ﻋ ْﻦ أَ‪َp‬ﻧ ل‬ ‫ﻋ ْﻦ‬ ‫ُﷴ أَ‪ْ p‬ﺧﺒ و ِﻛﯿ ٌﻊ أَ‪ ْ p‬ﻌ‬ ‫َ‪p‬‬ ‫ﺣﺪﱠ‪p‬ﺛَ‪p‬ﻨِﻲ‬
‫ا ﱠ© ْﯿ‬ ‫اﻟﻨﱠﺒِﻲ‬ ‫ٍﺲ ﻗَﺎ رﺧ‬ ‫ﻗَﺘَﺎ َدةَ‬ ‫ْﺧﺒَﺮَﻧﺎ َﺒﺔُ‬ ‫َﺮﻧَﺎ‬
‫ِﮫ‬ ‫ﺷ‬
‫ﻟ ِﺤ ﱠﻜ ٍﺔ ِﺑ ِﮭ َﻤﺎ‬
‫ﻟﻠﺰ َﺑ ْﯿ ِﺮ ْ ﺒ ِﺪ اﻟﺮ ﺣ َﻤ ِﻦ ﻓِﻲ ُﻟ ْﺒ ِ ﺮﯾ‬
‫ِﺲ ا ْﻟ ِﺮ ﺤ‬ ‫وﻋ‬
‫ﺷ))) ْﻌَﺒﺔُ‪p‬‬
‫ﻏ ﺣ)))ﺪ‬ ‫ﻦ ﺣ)))ﺪ‬ ‫ﺣ)))ﱠﺪﺛَ‪p‬ﻨِﻲ ))‬ ‫ﺷ))) ْﻌﺒَﺔُ‪p‬‬ ‫ﺣ)))ﺪﱠ‪p‬ﺛَ‪p‬ﻨَﺎ ﺳ))) َﻠ ْﯿ ﻦ)) ﺣ)))ﺮ ﺣ)))ﺪ‬
‫َُﱠُ‬
‫ْﻨ)))ﺪ ﺛَ‪p‬ﻨَﺎ‬ ‫ُﷴ ) ﺑَﺸ)))ﺎر ﺛَ‪p‬ﻨَﺎ‬ ‫َ‪p‬‬ ‫حو‬ ‫ب ﺛَ‪p‬ﻨَﺎ‬ ‫َﻤﺎن )ﺑ‬
‫ٌر‬ ‫ﺑ‬
‫ﻋ ْﻨ))ﮫُ‪ p‬ﻗَ))ﺎل‬
‫©‬
‫ﺐ ا ﱠ ُ‬ ‫ﻲ‪ْ p‬ﺑ)) ِﻦ ط‬
‫و ﻋ) ﻋ ِ‬ ‫ﻋ)) ْﻦ ﻋ ْﺒ)) ِﺪ ا ْﻟ ﺑ)) ْ ﺴ)) ﻋ) ز ﺑ))‬
‫أَ‪p‬ﺑِ))ﻲ ﺎ رﺿ)) ﻲ‬ ‫َﻤ ِﻠ))ﻚ ِﻦ ﯿ ﺮة ) ْﯾ)) ِﻦ ْھ))ﺐ )‬
‫ِﻟ ) )‬ ‫ْﻦ ِﻠ)‬ ‫ْﻦ ِﺪ‬
‫)‬ ‫ﻣ‬
‫وﺟ ِﮭ))) ِﮫ‬ ‫ﻲ ﻓِ)‬ ‫ا ْﻟ َﻐ‬ ‫ﻓﯿ‬ ‫ﻓَﺮأ‬
‫ﺐ‬ ‫ﻀ ))‬ ‫ﺖ‬ ‫ِ ﺖ‬ ‫ﺟ ))‬ ‫ﺳ))ﯿَﺮا َء ﻓَﺨ َﺮ‬
‫)‬ ‫َﮭ))ﺎ‬ ‫ْﯾ))‬
‫ﺣﻠﱠ))ﺔ‬ ‫َﻢ ﻠ ﱠ‬ ‫))ﻠﱠﻰ ا ﱠ©‬ ‫ﺴ))ﺎ‬ ‫ﻧ‬ ‫ﻲ‬ ‫اﻟﱠﻨﺒِ))ﻲ‬
‫وﺳ))‬ ‫ﻋ َﻠ ْﯿ)) ِﮫ‬ ‫ﺻ‬ ‫ﻛ‬
‫ﻓَ ﱠ‬
‫ﺸﻘ ْﻘﺘُ‪َ p‬ﮭﺎ ﺑَ ْﯿ َﻦ ﻧِﺴﺎﺋِﻲ‬
‫‪Titik Rahmawati dan Agus Khunaifi‬‬

‫‪2. Memakai Za’faran‬‬


‫ﻋﻠَ ْﯿ)) ِﮫ‬
‫ﺻ))ﻠﱠﻰ‬ ‫ل ﻧَ َﮭ))ﻰ‬ ‫ﻋ)) ْﻦ‬ ‫ﻋ ْﺒ)) ِﺪ ا‬ ‫ﻋ ْﺒ))ﺪُ‪ p‬ا ْﻟ)) ﻋ))‬ ‫ﺣ))ﺪﱠ‪p‬ﺛَ‪p‬ﻨَﺎ ﻣﺴ))ﺪ ﺣ))ﺪﱠ‪p‬ﺛ‬
‫ا ﱠ©‬ ‫اﻟﱠﻨﺒِ))ﻲ‬ ‫أَ‪p‬ﻧَ))ﺲ ﻗَ))ﺎ‬ ‫ْﻟﻌَﺰﯾ))ﺰ‬ ‫َﻮارث ْﻦ‬ ‫ﻨَﺎ‬ ‫د‬
‫وﺳ ﱠﻠ َﻢ َأ ْن َﯾ َﺘ َﺰﻋ َﻔﺮ اﻟﺮﺟﻞ‬
‫ﻋ ْﻨ ُﮭ َﻤ))ﺎ ﻗَ))ﺎل‬
‫©‬
‫ﺳ)) ﻋ)) ﻋ ْﺒ)) ِﺪ ﺑ)) دﯾﻨ)َ )ﺎ ﻋ)) ْﻦ ا ﻋ ر )) ا ﱠ ُ‬ ‫ﺣ))ﺪﱠ‪p‬ﺛَ‪p‬ﻨَﺎ أَ‪p‬ﺑُ))ﻮ ﻧَُﻌ)) ْﯿ ٍﻢ ﺣ))ﺪﱠ‪p‬ﺛ‬
‫ر ْﺑ)) ِﻦ َﻤ))ﺮ ﺿ ﻲ‬ ‫ا ﱠ© ِﻦ‬ ‫ْﻔ َﯿﺎن ْﻦ‬ ‫ﻨَﺎ‬
‫ﻋﻔَﺮا ٍن‬
‫ﺻﻠﱠﻰ ﻋ َﻠ َﻢ َأ ْن َﯾ ْﻠ َﺒ ا ْﻟ ِ ﺮ ُم َﺛ ْﻮﺑًﺎ ﺼ ﻏﺎ ﺑِ َﻮ ْر ٍس‬ ‫َﻧ َﮭﻰ اﻟﻨﱠ ِﺒﻲ‬
‫أَ‪ْ p‬و ﺑِﺰ‬ ‫ﻣ ﺤ ﺒُﻮ‬ ‫وﺳ ﱠﻠ ُﻤ‬ ‫ا ﱠ© ْﯿ‬
‫ﺲ‬ ‫ِﮫ‬

‫‪3. Memakai cincin emas bagi laki-laki‬‬


‫ﻣَﻘ)) ِﺮ ٍن ﻗَ))ﺎل‬
‫ﺳ)) ﺑ )‬ ‫ﺖ ﻣ َﻌﺎ ﺑ))‬ ‫ﺳ)‬ ‫ﺳ))ﻠَ ْﯿ ٍﻢ‬ ‫ﺷ ) ﺣ))ﱠﺪﺛَ‪p‬ﻨَﺎ ﺷ) ﺚ‬ ‫ﺣ))ﺪﱠ‪p‬ﺛَ‪p‬ﻨَﺎ آدَ‪ُ p‬م ﺣ))ﺪﱠ‪p‬ﺛ‬
‫َﻮ ْﯾ ِﻦ‬ ‫ِوَﯾ))ﺔ َﻦ‬ ‫ِﻤ‬ ‫ﻗَ))ﺎل‬ ‫أ )ﻌ ﺑ))ﻦ‬ ‫ْﻌﺒَﺔ‬ ‫ﻨَﺎ‬
‫ِﺪ‬ ‫ْﻌ‬
‫ﱠ ﻋ))) ْﻦ‬
‫ﻋ َﻠ وﺳ)))ﻠ‬ ‫ﺻ)))ﻠﱠﻰ‬ ‫ل ﻧَ َﮭﺎَﻧ)))ﺎ‬ ‫© ﻋ ْﻨ ُﮭ َﻤ)))ﺎ‬
‫ب ا ﱠ ُ‬ ‫ﺖ ا ﺑ))) ﻋ)))‬ ‫ﺳ))) ِﻤ ْﻌ‬
‫َﻢ‬ ‫ْﯿ)))‬ ‫ا ﱠ©‬ ‫اﻟﱠﻨﺒِ)))ﻲ‬ ‫ﯾَُﻘ)))ﻮ‬ ‫ْﻟَﺒ)))ﺮا َء َﻦ ﺎ ِز رﺿ))) ﻲ‬
‫ِﮫ‬
‫ق واﻟ))))‬
‫ﺤ وا ﺳ))))ﺘ‬ ‫ﺣ ْﻠَﻘ)))) ِﺔ ﺐ وﻋ))))‬ ‫ﺐ أَ‪ْ p‬و‬ ‫ﺧ))))ﺎﺗَ‪ِ p‬ﻢ‬ ‫ﺳ)))) ْﺒٍﻊ ﻧَ َﮭﺎَﻧ))))ﺎ ْ‬
‫ِﺪّ‪p‬ﯾﺒَﺎج‬
‫ْﻦ ا ْﻟ ِﺮﯾ))))ﺮ ِﻹ ْﺒ َﺮ‬ ‫اﻟ))))ﺬﱠ‪َ p‬ھ‬ ‫ﻗَ))))ﺎل‬ ‫اﻟ))))ﺬﱠ‪َ p‬ھ‬ ‫ﻦ‬
‫))))ﻋ‬
‫ﺠﻨَ)))ﺎﺋِﺰ‬
‫ﺾ وا‬ ‫وَأ َﻣ ﺴ))) ْﺒٍﻊ ﺑِ ِﻌَﯿ)))ﺎدَ‪p‬ةِ ا ْﻟ‬ ‫ﺤ ْﻤ))) ْ ﻟ ّ))) ِ‬
‫ﻲ‪ p‬وآِﻧﯿَ))) ِﺔ ﻀ‬ ‫وا ْﻟ ِﻤﯿﺜَ‪)))p‬ﺮةِ ا ْﻟ‬
‫ِﺗّ‪َp‬ﺒ)))ﺎعِ ا ْﻟ‬ ‫َﻤ)))ﺮﯾ‬ ‫َﺮَﻧ)))ﺎ ﺑِ‬ ‫ا ْﻟ ِ ﻔ ) ) )‬ ‫َﺮا ِء َﻘ ﺴ‬
‫ِﺔ‬ ‫وا‬
‫ﻈُﻠﻮ ِم‬
‫ا ْﻟ َﻤ‬ ‫ِر ا ْﻟ ِ و‬ ‫ِ ﺔ اﻟ ﱠﺪاﻋﻲ‬ ‫وﺗَ ِ ﺖ ا ط ِ ّد اﻟﺴ َﻼ‬
‫ﺼ‬ ‫ُﻤ ْﻘ وِإ ْﺑ ﻢ َﻧ‬ ‫و ِإﺟﺎ َﺑ‬ ‫ِم و َر‬ ‫َْﻟﻌﺎ ِﺲ‬ ‫ﻤ‬
‫ِﺮ‬ ‫َﺮا‬ ‫ﯿ‬
‫ﺴ‬ ‫ﺸ‬
‫رﺿ))ﻲ‬
‫ﻋ ) ْﻦ ﻋ)) ْﻦ ا ﻋ‬ ‫ﺣ))ﺪﱠ‪p‬ﺛَ‪p‬ﻨَﺎ ﺳ))ﺎ ﺣ))ﺪﱠ‪p‬ﺛ ﻋﺒَ ْﯿ))ﺪُ‪p‬‬ ‫ﺣ))ﺪﱠ‪p‬ﺛَ‪p‬ﻨَﺎ ﯾُﻮ )) ﻒ ﻣﻮﺳ))‬
‫ﻧَ))ﺎﻓِﻊ ْﺑ)) ِﻦ َﻤ))ﺮ‬ ‫ا ﱠ©‬ ‫ﻨَﺎ‬ ‫أَ‪ُp‬ﺑ))ﻮ أ َﻣﺔ‬ ‫ﻰ‬ ‫ﺳ ﺑ))ﻦ‬
‫ﺼ))ﮫُ‪p‬‬
‫ﺧﺎﺗ ﻣ)) ْﻦ أَ ْو ِﻓ ﻀ وﺟ ﻞ‬ ‫ﻋ َﻠ وﺳ))ﻠﱠ َﻢ اﺗﱠ‪p‬‬ ‫ﺻ))ﻠﱠﻰ‬ ‫©‬
‫© ﻋ ْﻨ ُﮭ رﺳ)) ا ﱠ ِ‬ ‫اﱠ ُ‬
‫ًﻤ))ﺎ ذَ‪َ p‬ھ)) ﺐ )) ﻌَ)) َﻓ‬ ‫َﺨ))ﺬ‬ ‫ْﯿ))‬ ‫ا ﱠ©‬ ‫ﻮ ل‬ ‫َﻤ))ﺎ أَ‪ p‬ﱠن‬
‫ٍﺔ‬ ‫ِﮫ‬
‫ر َﻣ))ﻰ ﺑِ)) ِﮫ‬ ‫ﻣْﺜَﻠ))ُﮫ ﻓَﻠَ‬
‫رآھ)) ْﻢ ﻗَ)) ْﺪ اﺗﱠ‪p‬‬ ‫© ﻓَﺎﺗﱠ‪َ p‬ﺨ))ﺬَ‪p‬‬
‫رﺳ)) ل ا ﱠ ِ‬ ‫ﻣ ﱠﻤ))ﺎ ﯾَ ِﻠ))ﻲ ﻛﱠﻔ)) وﻧ ﺶ ﻓِﯿ)) ِﮫ َُﱠٌ‬
‫َﺨ))ﺬُ‪p‬وھﺎ‬ ‫ﱠﻤ))ﺎ‬ ‫اﻟﻨﱠ))ﺎس‬ ‫ﻮ‬ ‫ُﷴ‬ ‫َ‪p‬‬ ‫ﮫ َﻘ))‬
‫ﻋ َﻤ))) َﺮ‬
‫ﻀ))) ل ا‬ ‫ﺧ))) َﻮاِﺗﯿ‬ ‫ﻀ))) ٍﺔ ﻓَﺎﺗﱠ‪َ p‬ﺨ)))ﺬَ‪p‬‬ ‫ﺧﺎﺗ ﻣ)))‬ ‫وﻗَ)))ﺎل ﻻ أَ‪ْ p‬ﻟﺒَﺴ)))ﮫُ‪ p‬أَ‪َp‬ﺑ)))ﺪً‪p‬ا ﺛُ‪ )))p‬ﱠﻢ اﺗ‬
‫ِﺔ ﻗَ)))ﺎ ْﺑ)))ﻦ‬ ‫َ ﻢ ا ْﻟ ِ ﻔ‬ ‫اﻟﻨﱠ)))ﺎس‬ ‫ًﻤ)))ﺎ ْﻦ ﻓِ‬ ‫َﺨ)))ﺬ‬
‫َ ﻣ)) ْﻦ‬
‫ﻋﺜْ ﺣﺘﱠ‪ ))p‬وﻗ))‬ ‫ﻋ َﻠ وﺳ))ﻠﱠ َﻢ أَ‪p‬ﺑُ))ﻮ ﺑَ ْﻜ))ﺮ ﻋ َﻤ))ﺮ‬ ‫ﺻ))ﻠﱠﻰ‬ ‫ﺨ))ﺎﺗَ‪َ p‬ﻢ ﺑَ ْﻌ))ﺪَ‪p‬‬ ‫ﻓَﻠَ))ﺒ ﺲ‬
‫َﻤ))ﺎن ﻰ ﻊ‬ ‫ﺛُ‪ ))p‬ﱠﻢ‬ ‫ﺛُ‪ ))p‬ﱠﻢ‬ ‫ْﯿ))‬ ‫ا ﱠ©‬ ‫اﻟﱠﻨﺒِ))ﻲ‬ ‫ا ْﻟ‬
‫ِﮫ‬
‫ُﻋﺜْ َﻤﺎ َن ﻓِﻲ ﺑِﺌْ ِﺮ أَ‪ِ p‬رﯾﺲ‬
‫‪4. Menyerupai lawan jenis‬‬
‫رﺿ))ﻲ‬ ‫َُﱠُ‬
‫ﻋﺒﱠ))ﺎ‬ ‫ﻋ)) ْﻦ ﻋ)) ﻋ ْﻜ ﻋ)) ْﻦ‬ ‫ﻏ ﺣ))ﺪ ﺷ))‬ ‫ﻦ ﺣ))ﺪ‬ ‫ُﷴ ))‬ ‫‪َp‬‬ ‫ﺣ))ﺪﱠ‪p‬ﺛَ‪p‬ﻨَﺎ‬
‫س‬ ‫ﻗَﺘَ‪))p‬ﺎدَ‪p‬ة ْﻦ ِﺮ َﻣ))ﺔ ا ْﺑ)) ِﻦ‬ ‫ْﻨ))ﺪ ﺛَ‪p‬ﻨَﺎ ْﻌَﺒﺔ‬ ‫ﺑ ﺑَﺸ))ﺎر ﺛَ‪p‬ﻨَﺎ‬
‫ٌر‬
‫ل ﺑِﺎﻟﻨِّﺴ))))ﺎ ِء‬
‫ﺸ))))ﺒ ﻣ)))) ْﻦ ﺎ))))‬ ‫ﻋ َﻠ وﺳ))))ﻠﱠ َﻢ ا‬ ‫ﺻ))))ﻠﱠﻰ‬ ‫ﻋ ْﻨ ُﮭ ل ﻟََﻌ)))) ﻮ))))ر ا ﱠ ِ‬
‫©‬ ‫©‬
‫اﱠ ُ‬
‫اﻟ ِ ﺮ ﺟ‬ ‫ِ ِﮭﯿ‬ ‫ْﻟ ُﻤﺘ‬ ‫ْﯿ))))‬ ‫ا ﱠ©‬ ‫ﺳ ل‬ ‫َﻦ‬ ‫َﻤ))))ﺎ ﻗَ))))ﺎ‬
‫َﻦ‬ ‫ِﮫ‬
‫ﺷ ْﻌﺒَﺔُ‬
‫ﺟﺎل ﻋ ْﻤ ٌﺮو أَ‪p‬‬ ‫وا ْﻟ ُﻤ َﺘ ﺸﺒ ﻣ ْﻦ اﻟ ِّﻨﺴﺎ ِء ِﺑﺎﻟ ِﺮ‬
‫ْﺧﺒَﺮﻧَﺎ‬ ‫ﺗَ‪p‬ﺎﺑََﻌﮫ‬ ‫ت‬ ‫ِ‬
‫َﮭﺎ‬
‫ل ﻟَﻌَ)) َﻦ‬
‫ﻋﺒﱠ))ﺎس‬ ‫ﻋ)) ْﻦ ﻋ)) ﻋ ْﻜ ﻋ)) ْﻦ‬ ‫ﺣ))ﺪﱠ‪p‬ﺛَ‪p‬ﻨَﺎ ﻣَﻌ))ﺎ )) ﻦ ﻀ)) ﺣ))ﺪ ھﺸ))‬
‫اﻟﻨﱠِﺒ))ﻲ‬
‫ﻗ َ)) ﺎ‬ ‫ﯾَﺤَﯿ))ﻰ ْﻦ ِﺮ َﻣ))ﺔ ا ْﺑ)) ِﻦ‬ ‫ذ ﺑ ﻓَ ﺎﻟَﺔ ﺛَ‪p‬ﻨَﺎ ﺎ ٌم‬
‫ﻣ)) ْﻦ‬
‫ت ﻣ)) ْﻦ وﻗَ) ل أَ‪ p‬ﺟ))ﻮ‬ ‫وا ْﻟ ُﻤﺘَ‪))p‬‬ ‫ﻋ َﻠ وﺳ))ﻠﱠ َﻢ ا ﺨﱠﻨﺜِ))ﯿ ﻣ)) ْﻦ ﺟ))ﺎ‬ ‫ﺻ))ﻠﱠﻰ ا ﱠ©‬
‫اﻟﻨِّﺴ))ﺎ ِء )ﺎ ْﺧ ِﺮ ھ ْﻢ‬ ‫َﺮ ِّ‪p‬ﺟ َﻼ‬ ‫َﻦ اﻟ ِّ‪p‬ﺮ ل‬ ‫ْﻟ ُﻤ‬ ‫ْﯿ))‬
‫ِﮫ‬
‫ﻋ َﻤ ُﺮ ُﻓ َﻼ ًﻧﺎ‬
‫ﺻﻠﱠﻰ ﻋ َﻠ َ ﻢ ُﻓ َﻼ ًﻧﺎ وَأ ْﺧ‬ ‫ُﺑﯿُﻮ ِﺗ ُﻜ ْﻢ َﻗﺎ ل ﻓَﺄ ج‬
‫وﺳ ﱠﻠ َﺮج‬ ‫ا ﱠ© ْﯿ‬ ‫ْﺧ َﺮ اﻟﻨﱠﺒِﻲ‬
‫ِﮫ‬

‫‪C. Penutup‬‬
‫‪Berdasarkan penelusuran hadis pada Shahih Bukhari, dapat disimpulkan bahwa‬‬
‫‪Konsep Akhlak berpakaian pada Shahih Bukhari meliputi pakaian untuk laki-laki‬‬
‫‪dan perempuan. Ada beberapa istilah yang digunakan dalam hadis untuk menyebut‬‬
‫‪pakaian, yaitu misalnya, Gamis, Selendang,Jubah, Selendang, Sorban, Taqanu`,‬‬
‫‪Kissa` dan Kamishah. Selain terkait jenis pakaian juga termasuk didalamnya tata‬‬
Etika Berpakaian Dalam Islam

cara berpakaian dari urutannya mendahulukan kanan untuk memakai,


mendahulukan yang kiri untuk melepas dan mendoakan orang yang berbaju baru
supaya berkah. Hal yang tidak kalah penting adalah syarat berpakaian itu sendiri
yang tidak boleh sombong saat memakainya, tidak boleh berlebihan (tabarruj)
dalam berpakaian. Akhlak adalah nilai yang melekat pada diri seseorang yang
melekat pada fungsi pakaian itu sendiri yaitu menutup aurat (sesuatu yang harus
ditutupi) dan motivasi berpakaian tidak hanya sekedar menutup secara fisik tetapi
menutup aib. Sehingga akhlak berpakaian landasannya adalah karena Alloh dan
tidak untuk kemewahan atau pujian manusia.

DAFTAR PUSTAKA

Al-Asqalani, Ibnu Hajar. “Fathul Bari.” Riyadh: Maktaba Al-Salfiyah 1379 (2008).

Al-Khatib, Dr Muhammad’Ajaj, and Nur Ahmad Musafiq. Ushul Al-Hadits: Pokok-


Pokok Ilmu Hadits. Gaya Media Pratama, 2007.

Al-Munawwir Kamus Arab-Indonesia. Surabaya: Pustaka Progressif, 2002.

As-Suyuthi, Jalaluddin, and Jalaluddin Al-Mahalli. “Tafsir Jalalain.” Beirut: Dar Al-
Fikr, 2003.

At-Thobari, Abu Ja’far Muhammad, and Ibnu Jarid. “Tafsir At-Thobari.” Bairut: Darul
Fikr, n.d.

Bahreisj, Hussein. “Al-Jami’ush Shahih Bukhori Muslim.” Karya utama, Surabaya,


tanpa tahun, n.d.

Kuntowijoyo. Metodologi Sejarah. Yogyakarta: Tiara Wacana, 2003.

M. Musthafa Azami. Metodologi Kritik Hadis. Jakarta: Pustaka Hidayah, 1992.

Mahmud Syaltut. Aqidah Dan Syari`ah Islam,. Jakarta: Bumi Aksara, 1994.

Moleong, Lexy J, and Tjun Surjaman. Metodologi Penelitian Kualitatif. Penerbit PT


Remaja Rosdakarya, 1991.
Titik Rahmawati dan Agus Khunaifi

Ṣahīh Al-BukharI. V l. 1. Damaskus: Maktabah Syāmilah, Da Thuq an Na ah, 1422.

Suharsimi Arikunto. Prosedur Penelitian: Suatu Pendekatan Praktik. Jakarta: Rineka


Cipta, 2005.

Kuntowijoyo, Metodologi Sejarah, Yogyakarta: Tiara Wacana, 2003)

You might also like