Perencanaan Pembangunan Kehutanan Daerah Dalam Perspektif

Download as pdf or txt
Download as pdf or txt
You are on page 1of 14

Perencanaan Pembangunan Kehutanan Daerah dalam ....

Khuswantoro, et al.

PERENCANAAN PEMBANGUNAN KEHUTANAN DAERAH


DALAM PERSPEKTIF GOOD GOVERNANCE
(Development Planning of Local Forestry in Good Governance Perspective)

Khuswantoro Akhadi1, Andy Fefta Wijaya2 dan Imam Hardjanto2


1
Mahasiswa Pascasarjana Magister Administrasi Publik, Universitas Brawijaya, Malang
Jl. MT Haryono 163, Malang, Jawa Timur: 65145, Telp: +62-0341-553737
Email: [email protected]
2
Dosen, Magister Administrasi Publik, Universitas Brawijaya, Malang
Jl. MT Haryono 163, Malang, Jawa Timur: 65145, Telp: +62-0341-553737

Diterima 10 Januari 2013, disetujui 19 April 2013

ABSTRACT

Sustainable use of forest resources is needed to establish a forestry management plan. Forest
management plans exist at the provincial level according to the conditions and problems.
Forestry planning at Provincial level depicts current forest conditions, institutional conditions,
the contribution of economy, social and ecology associated with the provincial level strategic
issues. This paper tries to elaborate the local development planning of forestry from good
governance perspective, and role of stakeholders of local development forest planning. The
research was based on qualitative descriptive approach to the study site in the province of
Yogyakarta and West Papua. The result shows that forest planning in the region is top-down
with respect to existing regional characteristics. To realize the principles of good governance, a
gap for each stakeholder role in the arrangement, implementation, monitoring and evaluation to
reporting should be made. The role of government in the area of forestry development
planning in terms of good governance, the rule of law for the regulation in the forestry sector
has been completed. Partnership is the key word synergy in the implementation of good
governance in forestry development in the area will attention to the aspects of partnership and
equity between all stakeholders in the arrangement, implementation, monitoring and evaluation
and reporting of forest development.

Keyword: Planning, Forestry, Good Governance, patnership

ABSTRAK

Rencana pengelolaan kehutanan perlu disusun untuk menjamin pemanfaatan sumberdaya


hutan yang berkelanjutan. Pada tingkat provinsi perencanaan kehutanan memuat potret kondisi
kehutanan saat ini, kondisi kelembagaan yang ada, kontribusi ekonomi, sosial dan ekologi
dikaitkan dengan isu strategis yang ada di tingkat provinsi. Tujuan penelitian ini adalah untuk
mengetahui bagaimana proses perencanaan pembangunan kehutanan di daerah dari perspektif
good governance dan peran stakeholder yang terlibat di daerah. pendekatan kualitatif diskriptif
dengan lokasi penelitian di Provinsi Daerah Istimewa Yogyakarta dan Provinsi Papua Barat.
Hasil penelitian ini menunjukan bahwa perencanaan pembangunan kehutanan di daerah
dilakukan melalui pendekatan topdown disesuaikan dengan kondisi wilayah. Untuk mewujudkan
prinsip good governance maka semua pihak harus dilibatkan dalam proses penyusunan,
implementasi, monitoring dan evaluasi serta pelaporan. Peran pemerintah dalam perencanaan
pembangunan daerah adalah sebagai pembuat regulasi dan aturan hukum. Kemitraan adalah
kata kunci dalam mewujudkan sinergi dalam rangka penerapan good governance dalam
pembangunan kehutanan dengan memperhatikan aspek transparansi dan keadilan antar semua
unsur mulai dari proses penyusunan, pelaksanaan, monitoring dan evaluasi serta pelaporan
pembangunan kehutanan.

Kata Kunci: Perencanaaan, Kehutanan, good governance, kemitraan

51
Jurnal Penelitian Kehutanan Wallacea
Vol. 2 No. 1, April 2013 : 51 - 64

I. PENDAHULUAN

Pembangunan adalah suatu proses perubahan yang dilakukan melalui upaya-


upaya secara sadar dan terencana (Riyadi dan Deddy, 2004). Selanjutnya di dalam
pembangunan harus secara terencana lebih detail seperti yang dikemukan oleh
Conyers dan Hill, 1990) yaitu perencanaan adalah suatu proses berkelanjutan yang
melibatkan keputusan dan pilihan, tentang cara-cara, alternatif menggunakan
sumberdaya yang tersedia, dengan tujuan untuk mencapai tujuan tertentu pada
beberapa waktu di masa depan.
Sepuluh tahun terakhir ini pengelolaan hutan di Indonesia sangat dipengaruhi
oleh sistem pemerintahan, dalam hal ini ditandai oleh terjadinya perpindahan
kekuasaan politik dan pemerintahan dari sentralisasi menjadi desentralisasi.
Tjokroamidjojo (1989) mengungkapkan banyaknya kelemahan dalam perencanaan,
sehingga proses yang benar sangat diperlukan dalam perencanaan terutama dalam
konteks otonomi daerah setelah pemberlakuan Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004.
Reformasi telah mendorong terjadinya perubahan mendasar atas paradigma
pengelolaan Kehutanan Indonesia. Perubahan tersebut diawali dengan bergesernya
sistem pengelolaan hutan yang semula berbasis negara (state based forest
management) menuju pengelolaan hutan yang bertumpu pada sumberdaya hutan
yang berkelanjutan (resources based management) dan berbasis masyarakat
(community base management).
Satu di antara implikasi perubahan sistem tersebut adalah diberlakukannya
desentralisasi pengelolaan hutan kepada pemerintah daerah dan masyarakat luas.
Sektor kehutanan juga berkehendak mendorong desentralisasi tersebut. Namun
tidaklah semudah yang dibayangkan banyak orang untuk melaksanakannya. Lahirnya
PP No. 38/2007 tentang pembagian kewenangan pemerintah pusat, pemerintah
daerah provinsi dan pemerintah daerah kabupaten/kota, urusan yang menjadi
kewenangan daerah terdiri dari urusan wajib dan urusan pilihan. Urusan pemerintahan
wajib adalah urusan pemerintahan yang wajib diselenggarakan oleh pemerintahan
daerah yang terkait dengan pelayanan kebutuhan dasar (basic services) bagi
masyarakat seperti pendidikan dasar, kesehatan, lingkungan hidup, perhubungan,
kependudukan dan sebagainya. Sedangkan urusan pemerintahan yang bersifat pilihan
adalah urusan yang secara nyata ada dan berpotensi untuk meningkatkan
kesejahteraan masyarakat sesuai dengan kondisi, kekhasan dan potensi unggulan

52
Perencanaan Pembangunan Kehutanan Daerah dalam ....
Khuswantoro, et al.

daerah yang bersangkutan (core competence). Penentuan potensi unggulan mengacu


pada hasil analisa Product Domestic Regional Bruto (PDRB), mata pencaharian
penduduk dan pemanfaatan lahan yang ada di daerah.
Permasalahan kehutanan saat ini sudah berkembang semakin kompleks.
Permasalahan dan tantangan dalam mewujudkan kelestarian hutan dan kesejahteraan
masyarakat sekaligus tidak bisa lagi hanya didekati dengan solusi yang bersifat teknis
kehutanan saja. Saat ini, peta permasalahan kehutanan telah bergeser dari
permasalahan yang bersifat teknis ke permasalahan ekonomi, sosial serta dampak
kebijakan sektor kehutanan yang kian hari kian kompleks dan harus ditangani segera
termasuk dalam perencanaan pengelolaannya.
Perencanaan dibuat untuk mencapai tujuan pada suatu organisasi.
Perencanaan merupakan suatu kegiatan pendahuluan yang harus dilakukan, sebelum
kegiatan pokok dilaksanakan. Perencanaan diperlukan karena adanya keterbatasan
sumber daya dan sumber dana yang tersedia sehingga tidak menyulitkan dalam
menentukan suatu pilihan kegiatan.
Perencanaan pembangunan dapat diartikan sebagai suatu proses perumusan
alternatif-alternatif atau keputusan-keputusan yang didasarkan pada data-data dan
fakta-fakta yang akan digunakan sebagai bahan untuk melaksanakan suatu rangkaian
kegiatan/aktifitas kemasyarakatan, baik yang bersifat fisik (material) maupun nonfisik
(mental dan spiritual), dalam rangka mencapai tujuan yang lebih baik. Sedangkan
perencanaan pembangunan daerah adalah suatu proses penyusunan tahapan-tahapan
kegiatan yang melibatkan berbagai unsur di dalamnya, guna pemanfaatan dan
pengalokasian sumber-sumber daya yang ada dalam rangka meningkatkan
kesejahteraan sosial dalam suatu lingkungan wilayah atau daerah dalam jangka waktu
tertentu (Riyadi dan Bratakusumah, 2004).
Perencanaan hutan adalah upaya untuk mendayagunakan fungsi hutan dengan
menciptakan kegiatan yang dapat mempengaruhi proses yang sedang berjalan, atau
menciptakan proses baru, agar hutan memberikan sumbangan maksimal untuk ikut
mempengaruhi dan meningkatkan kesejahteraan masyarakat (Purwanto dan Yuwono,
2005). Dari definisi ini terdapat tiga kata kunci yaitu fungsi hutan; mempengaruhi
proses; dan kesejahteraan masyarakat. Ini berarti hutan merupakan bagian dari suatu
sistem yang lebih besar sehingga memberikan sumbangan untuk memenuhi dan
meningkatkan kesejahteraan masyarakat.

53
Jurnal Penelitian Kehutanan Wallacea
Vol. 2 No. 1, April 2013 : 51 - 64

Posisi vertikal perencanaan hutan menghendaki adanya hubungan yang


konsisten dari tingkat nasional, wilayah, sampai tingkat operasional. Hal ini berkaitan
dengan fungsi hutan sebagai penjaga lingkungan maupun maupun penghasil banyak
komoditas yang diperlukan masyarakat luas. Kebijakan makro harus dapat
mengakomodasikan setiap kepentingan lokal, sebaliknya kegiatan operasional harus
dalam konteks kepentingan masyarakat luas serta untuk jangka waktu yang panjang
(Simon, 2001).
Pelaksanaan program kehutanan di daerah tidak boleh terpisah dengan
program dan rencana yang disusun dan difasilitasi oleh pemerintah pusat. Oleh karena
itu perlu komunikasi dan koordinasi yang efektif dengan didukung dengan pembagian
peran dan tanggung jawab masing-masing sehingga diperoleh sinkronisasi antara
pusat dan daerah. Pembagian peran dan tanggung jawab tersebut akan berjalan jika
ada tata hubungan kerja yang jelas antara masing-masing pihak.
Negara sebagai salah satu dari pilar governance adalah semua unsur
pemerintahan termasuk lembaga politik dan lembaga sektor publik. Unsur swasta
meliputi perusahaan swasta yang bergerak di berbagai bidang dan sektor informalnya.
Sedangkan masyarakat meliputi lembaga swadaya masyarakat, organisasi profesi, dan
lain-lain.
Pada pengelolaan hutan ketiga unsur tersebut harus bergandengan tangan
untuk mewujudkan masyakarat yang sejahtera dan berkeadilan dengan
mempertahankan kelestarian hutan. Pelibatan semua unsur dalam pengelolaan hutan
sangat baik, namun harus disesuaikan dengan peran dan tugas serta kapasitas
masing-masing. Penelitian dengan suatu studi kasus di Provinsi Daerah Istimewa
Yogyakarta dan Provinsi Papua Barat dilaksanakan pada tahun 2012. Penelitian ini
bertujuan untuk mengetahui bagaimana proses perencanaan kehutanan di daerah dari
perspektif good governance dan peran stakeholder yang terlibat di daerah.

II. METODE PENELITIAN

Penelitian ini berbasis pada pendekatan kualitatif diskriptif dengan lokasi


penelitian di Provinsi Daerah Istimewa Yogyakarta dan Provinsi Papua Barat. Data
dikumpulkan tahun 2012 dengan data primer berupa data hasil wawancara dan data
sekunder dari data laporan ataupun dokumen dari berbagai instansi. Wawancara
terstruktur dengan responden yang dipilih adalah perwakilan dari instansi terlibat

54
Perencanaan Pembangunan Kehutanan Daerah dalam ....
Khuswantoro, et al.

dalam proses perencanaan pembangunan di daerah. Di Provinsi Daerah Istimewa


Yogyakarta terdiri dari: Dinas Kehutanan dan Perkebunan, SKPD (Satuan Kerja
Perangkat Daerah) kabupaten yang mengurusi kehutanan, dan UPT (Unit Pelaksana
Teknis) Kementerian Kehutanan serta Bappeda. Sedangkan di Provinsi Papua Barat
responden berasal dari Dinas Kehutanan dan Perkebunan Provinsi Papua Barat, Dinas
Kehutanan Manokwari, dan UPT Kementerian Kehutanan lingkup Papua Barat. Dalam
penelitian ini pula berbagai literatur dijadikan sumber pustaka dalam mendukung
tujuan penelitian ini.

III. HASIL DAN PEMBAHASAN

A. Perencanaan Pembangunan Kehutanan Perspektif Good Governance

Perencanaan hutan adalah upaya untuk mendayagunakan fungsi hutan dengan


menciptakan kegiatan yang dapat mempengaruhi proses yang sedang berjalan, atau
menciptakan proses baru, agar hutan memberikan sumbangan maksimal untuk ikut
mempengaruhi dan meningkatkan kesejahteraan masyarakat (Purwanto dan Yuwono,
2005). Dari definisi ini terdapat tiga kata kunci yaitu fungsi hutan; mempengaruhi/
menciptakan proses; dan kesejahteraan masyarakat. Ini berarti hutan merupakan
bagian dari suatu system yang lebih besar sehingga sumbangannya untuk memenuhi
dan meningkatkan kesejahteraan masyarakat.
Menurut Wahyudi (2006) proses perencanaan dibagi menjadi dua yakni proses
bottom-up dan top-down. Sedangkan Abe (2002) menjelaskan bahwa ada dua model
perencanaan yaitu (1) perencanaan yang ditentukan langsung oleh pusat sehingga
pemerintah daerah hanya merupakan pelaksana atau pelengkap dari konsep yang ada,
(2) perencanaan merupakan hasil penguatan masyarakat setempat dengan
menggunakan mekanisme formal dan non formal yang ada.
Perencanaan kehutanan di daerah tidak bisa lepas dari perencanaan yang ada
di tingkat pusat. Proses penyusunannya disusun secara berjenjang mulai dari tingkat
pusat, provinsi, kabupaten, sampai unit terkecil. Semua tingkatan harus sinkron.
Perencanaan pada level bawah harus mengacu dan mendukung perencanaan yang ada
di bawah. Namun demikian untuk mengoptimalkan sudah barang tentu pada proses
perencanaan di daerah harus disesuaikan dengan kondisi dan karakteristik lokal.
Proses penyusunannnya juga harus melibatkan stakeholder yang ada di tingkat lokal.

55
Jurnal Penelitian Kehutanan Wallacea
Vol. 2 No. 1, April 2013 : 51 - 64

Pelibatan ini diharapkan mulai dari tahap penyusunan rencana sampai tahap akhir.
Oleh karena itu perlu dilakukan konsultasi publik dalam proses penyusunan rencana
kehutanan. Mekanisme yang tersedia adalah melalui musrenbang maupun
rakorbanghutda. Tujuan dari kegiatan ini adalah untuk menyerap aspirasi, masukan
dan saran untuk menyempurnakan dokumen rencana dimaksud.
Dari hasil wawancara terlihat bahwa program dan kegiatan yang diusulkan
dalam Rencana Kehutanan di Provinsi Daerah Istimewa Yogyakarta dan Provinsi
Papua Barat telah memperhatikan arahan umum dalam RKTN (Perencanaan
Kehutanan Tingkat Nasional). Program tersebut kemudian diperinci lagi ke dalam
arahan yang lebih detil melalui hasil analisa spasial dan analisa sosial ekonomi serta
berupaya memenuhi keinginan masyarakat melalui konsultasi publik yang
dilaksanakan. Arahan penggunaan lahan, strategi dan kebijakan, serta program yang
telah ditetapkan bersifat umum agar memudahkan penjabarannya pada perencanaan
di bawahnya. Kondisi dan karakteristik wilayah (kabupaten/kota) untuk masing-masing
provinsi mempunyai kekhususan, sehingga untuk menentukan program dan kegiatan
berikut target harus didiskusikan dengan stakeholder yang ada di daerah.
Menurut pandangan Glasson dalam Tarigan (2005) bahwa perencanaan top-
down dan perencanaan bottom-up hanya berlaku pada kondisi dimana terdapat
beberapa tingkatan dalam pemerintah atau instansi yang diberi wewenang untuk
melakukan suatu perencanaan. Pada umumnya kedua perencanaan tersebut saling
berkombinasi, namun tetap ada perencanaan yang bersifat dominan. Apabila top-down
yang dominan maka perencanaan tersebut disebut sentralistik, sedangkan apabila
bottom-up yang dominan maka disebut desentralistik.
Berdasarkan hasil bahasan yang telah dilakukan sesuai dengan konsep
pendekatan perencanaan yang disampaikan oleh Glasson dalam Tarigan, konsep
rencana pembangunan kehutanan di daerah menggunakan model pendekatan
perencanaan top-down dengan memperhatikan aspek teknis, potensi lokal baik potensi
sumberdaya alamnya maupun potensi sumberdaya manusia.

56
Perencanaan Pembangunan Kehutanan Daerah dalam ....
Khuswantoro, et al.

Analisis spasial,
sosial ekonomi
(spatial analysis, Visi:
social and economy) Terwujudnya Ekosistem
SDH untuk peningkatan
Produktivitas dan
Kondisi saat ini/ Pelestarian bagi
Kesejahteraan Masyarakat
Current conditions RKTP dan Kemanusiaan

RKTN, 4 strategi & 6


Kebijakan/
RTRWP 4 strategies and 6
Capaian/
Isu-isu strategis/ Policies
Achiement
Strategic Issues

Program penjabarannya
harus disesuaikan dengan
karakteristik wilayah/
Program must be in
Notice: accordance with the
x RKTP : Planning of Forestry at characteristics of the region Tujuan/Goals
Province level
x RKTN : Planning of Forestry at
National level
x RTRWP : Spatial plan at Province level
Aktivitas-aktivitas/ Target-
Activities target/Targets
Indikator-indikator
/Indicators

Sumber: Data diolah, 2012/data processed, 2012


Gambar 1. Alur kerangka perencanaan pembangunan daerah
Figure 1. Flow of Local Forest Development Planning Framework

Dari bagan di atas penulis mencoba untuk menyampaikan tahapan penyusunan


perencanaan pembangunan kehutanan di daerah sebagai berikut:
a. Identifikasi permasalahan kehutanan yang ada di daerah, isu-isu strategis,
mengkaji dokumen perencanaan tingkat nasional, RTRW provinsi.
b. Selanjutnya melakukan analisis sosial ekonomi dan analisis spasial sesuai dengan
karakteristik daerah.
c. Penentuan visi dan misi kehutanan daerah
d. Penentuan strategi dan kebijakan serta program
e. Menentukan capaian dan tujuan
f. Menentukan target-target dan indikator

57
Jurnal Penelitian Kehutanan Wallacea
Vol. 2 No. 1, April 2013 : 51 - 64

Dalam setiap tahapan ini diharapkan semua unsur yang ada dilibatkan sesuai
dengan peran dan wewenang masing-masing. Proses penyusunan rencana
pembangunan kehutanan di Provinsi Daerah Istimewa Yogyakarta dilakukan melalui
pendekatan teknokratis yakni overlay beberapa peta dan mengunakan analisis sosial
ekonomi. Disamping itu juga digunakan pendekatan partisipatif dengan melakukan
konsultasi publik pada saat proses penyusunan Rencana Pembangunan Kehutanan
dimaksud. Sementara itu, saat ini Provinsi Papua Barat sedang menyusun sebuah
perencanaan makro kehutanan yang berupa Grand Strategy Pembangunan Kehutanan.
Prosesnya hampir sama namun belum secara eksplisit mengacu pada Permenhut
Peraturan Menteri Kehutanan Republik Indonesia Nomor P.42/Menhut-II/2010 Tentang
Sistem Perencanaan Kehutanan maupun Permenhut Nomor P. 01/Menhut-II/2012
tentang Penyusunan Rencana Kehutanan Tingkat Provinsi. Hal ini dapat dimaklumi
mengingat proses penyusunan telah terlebih dahulu berjalan baru kemudian keluar
Permenhut nomor 01/Menhut-II/2012 tersebut. Perlu disampaikan sampai saat ini baru
empat provinsi yang telah selesai menyusun rencana kehutanan tingkat provinsi yakni
Provinsi Daerah Istimewa Yogyakarta, Jawa Tengah, Kalimantan Timur, dan Sulawesi
Barat. Bahkan dari keempat provinsi tersebut baru Provinsi Daerah Istimewa
Yogyakarta yang telah menetapkan melalui keputusan Gubernur No. 12 tahun 2012
tanggal 09 Januari 2012.
Dalam penyusunan perencanaan kehutanan diperlukan data dan informasi yang
valid serta terbaru sehingga dapat menjadi dasar untuk menyusun alternatif strategi
dan kebijakan yang tepat. Masing-masing tahapan ini harus bisa memberikan ruang
dan mengakomodasi kepentingan semua pihak. Pelibatan stakeholder yang terlibat
hendaknya dimulai dari tahap penyusunan, pelaksanaan, monitoring dan evaluasi
maupun pelaporannya. Disinilah konsep good governance mesti diterapkan.
Kepentingan pemerintah, swasta dan masyarakat harus direkonstruksi menjadi sebuah
dokumen perencanaan yang mampu menyerap kepentingan semua pihak.

B. Peran Stakeholders dalam Perencanaan Pembangunan Kehutanan

Berdasarkan hasil identifikasi stakeholder yang terlibat dalam perencanaan


pembangunan kehutanan di daerah (Provinsi Daerah Istimewa Yogyakarta dan Provinsi
Papua Barat adalah Kementerian Kehutanan, Pemerintah daerah/SKPD yang
membidangi kehutanan), sebagai aktor utama dalam proses penyusunan dan
implementasi Rencana Kehutanan. Sedangkan swasta yang terlibat dalam proses

58
Perencanaan Pembangunan Kehutanan Daerah dalam ....
Khuswantoro, et al.

perencanaan kehutanan adalah pengusaha bidang kehutanan (HPH maupun HTI).


Masyarakat diwakili oleh lembaga swadaya masyarakat, lembaga adat, dan kelompok
lain termasuk akedemisi. Peran masing-masing dalam perencanaan pembangunan
kehutanan sangat menentukan bagi maju mundurnya kehutanan di masa depan.
Berdasarkan hasil wawancara yang dilakukan, diperoleh bahwa peran SKPD
dan UPT Kementerian Kehutanan dalam proses penyusunan perencanaan kehutanan
terutama perencanaan makro sampai saat ini belum optimal. Hal ini disebabkan
karena lemahnya sosialisasi dan koordinasi antara instansi yang terlibat. SKPD dan
UPT sebagai wakil pemerintah harus menjadi motor utama dalam penyusunan
rencana-rencana kehutanan.

Negara/state Masyarakat/
community

Swasta/Private

Sumber: Sedarmayanti, 2009

Gambar 2. Hubungan Tiga Domain Governance


Figure 2. Relation Three Domains of Good Governance

Sesuai dengan prinsip good governance peranan pemerintah disampaikan oleh


Nasirin dan Hermawan (2010) menjelaskan tentang peranan dan wewenang
pemerintah yaitu: pertama, menciptakan kondisi politik, ekonomi dan sosial yang stabil.
Kedua, membuat peraturan yang efektif dan berkeadilan. Ketiga, menyediakan public
service yang efektif dan accountable. Keempat, menegakan HAM dan lingkungan
hidup. Kelima, mengurus standar kesehatan dan keselamatan public. Peran
pemerintah dalam bidang kehutanan adalah sebagai pembuat kebijakan dalam sistem
regulasi untuk pedoman dalam pengelolaan hutan, baik dalam bentuk rencana serta
perlindungan dalam pengelolaan kehutanan. Pemerintah pusat yang dalam hal ini
diwakili oleh Kementerian Kehutanan harus menjalankan fungsi tersebut agar bija
dijalankan di daerah. Namun demikian pemerintah daerah juga harus mendukung
kebijakan dari pusat dengan disesuaikan dengan kondisi dan karakteristik yang ada di

59
Jurnal Penelitian Kehutanan Wallacea
Vol. 2 No. 1, April 2013 : 51 - 64

daerah. Kebijakan secara nasional dapat dilaksanakan secara baik mulai dari tingkat
pusat sampai kabupaten jika terdapat mekanisme dan aturan main yang jelas.
Permasalahan perencanaan kehutanan yang tidak konsisten akan dapat dikurangi
dengan adanya sistem perencanaan pembangunan kehutanan yang integral.
Perencanaan Kehutanan disusun secara berjenjang dari tingkat nasional, regional
(provinsi dan Kabupaten) bahkan sampai unit pengelolaan terkecil yaitu KPH. Dengan
demikian konsistensi kebijakan makro kehutanan mulai dari tingkat pusat dan daerah
dapat terjaga. Sedangkan kebijakan yang terkait dengan regulasi hendaknya
dikembalikan pada tataran hukum yang lebih tinggi. Banyaknya peraturan daerah
tentang kehutanan yang dicabut karena dianggap melanggar membuktikan bahwa
koordinasi antara pemerintah pusat dan daerah belum berjalan. Sedangkan peran
swasta dalam pembangunan kehutanan adalah pertama menjalankan industri. Kedua
menciptakan lapangan kerja. Ketiga menyediakan insentif bagi karyawan. Keempat
meningkatkan standar hidup masyarakat khususnya masyarakat sekitar hutan. Kelima
memelihara lingkungan hidup sebagai akibat pengelolaan hutan yang dilaksanakan.
Keenam menaati peraturan. Ketujuh, transfer ilmu pengetahuan dan teknologi dan
kedelapan adalah menyediakan kredit bagi UKM (Usaha Kecil Menengah).
Dalam bidang kehutanan swasta adalah mitra dari pemerintah dalam
pembangunan kehutanan, perlindungan dan pengamanan hutan. Selain itu swasta
juga berperan dalam revitalisasi sektor industri kehutanan, membantu dalam proses
pemberantasan ilegal logging, membantu proses pemantapkan kawasan hutan,
rehabilitasi dan konservasi hutan dan lahan serta pemberdayaan masyarakat sekitar
hutan. Sedangkan peran masyarakat dalam konsteks good governance (Nasirin dan
Hermawan, 2010) adalah berkaitan dengan empat hal yaitu: menjaga agar hak-hak
masyarakat terlindungi, mempengaruhi kebijakan publik sebagai checks and balances
bagi pemerintah, mengawasi penyalahgunaan wewenang sosial pemerintah khususnya
kehutanan, dan terakhir mengembangkan SDM serta sarana komunikasi antar anggota
masyarakat.

60
Perencanaan Pembangunan Kehutanan Daerah dalam ....
Khuswantoro, et al.

Tabel 1. Stakeholder yang terlibat


Table 1. The Stakeholder involved

Provinsi Daerah Istimewa


Stakeholder yang Provinsi Papua Barat/Province
No. Yogyakarta/Province of Daerah
terlibat/ stakeholder involved of West Papua
Istimewa Yogyakarta
1. Pemerintah/state 5 UPT Kemenhut, 1 SKPD 7 UPT teknis, 1 SKPD Provinsi
(kementerian Kehutanan dan Provinsi dan 5 SKPD dan 13 SKPD kabupaten/Kota
SKPD terkait yang kabupaten/Kota, dan 1 KPH ( 5 dan 3 KPH
membidangi Kehutanan/ UPT of Ministry of Forestry, 1 (7UPT of Ministry of Forestry,
Ministry of forestry, Unit of Unit of Local development at 1 Unit of Local development
Local Government in charge Province level, 5 Unit of local at Province level, 13 Unit of
forestry) Province level at Regency and local Province level at Regency
1 Unit Management of and 3 Unit Management of
Forestry ) Forestry)

2. Swasta/private Industri pengolahan kayu dan 20 IUPHHK dan Industri


mebelair. pengolahan kayu
(Wood industry and meubelair) ( 20 IUPHHK and wood
Industry)

3. Masyarakat/community KTH, LSM, (Forum DAS, Masyarakat adat, LSM


ARUPA, DAMAR). UGM, (Paradisae, Perdu, Kamuki,
Instiper, Intan Cifor, Conservation Indonesia),
(KTH, NGOs (Forum DAS, UNIPA
ARUPA, DAMAR), University of (Local Community,
Gadjah Mada, Yogyakarta NGOs(Paradisae, Perdu,
Agricultural Institute, Institute Kamuki, Conservation of
of Agriculture) Indonesia) and Papua State of
University)
Sumber: data diolah, 2012/ data prossesed, 2012

Jika melihat tabel di atas maka secara jelas bahwa Provinsi Papua Barat lebih
banyak stakeholder yang terlibat mengingat luasan wilayahnya yang lebih luas. Namun
demikian peran masing-masing unsur dalam good governance sama dalam proses
penyusunan rencana pembangunan kehutanan di kedua provinsi tersebut. Yang
membedakan hanya luasan dan kompleksitas dari permasalahan yang dihadapi.
Peranan stakeholder yang terlibat ini akan optimal jika terjadi transparansi dalam
semua hal. Stakeholder-stakeholder tersebut harus dilibatkan mulai tahap awal
penyusunan rencana pembangunan kehutanan (RKTP) sampai pada tahap monitoring
dan evaluasi bahkan sampai pelaporannya dengan prinsip saling percaya dan masing-
masing pihak menaati aturan main yang telah disepakati. Pemerintah daerah
merupakan motor utama dalam proses penyusunan rencana pembangunan kehutanan
di daerah. Prinsip good governance akan berhasil manakala terjadi interaksi yang
proporsional sesuai dengan tugas dan peran masing-masing melalui kemitraan yang
berimbang dan transparan. Mekanisme ini dapat diwujudkan dengan lebih
mengoptimalkan forum-forum rutin terkait perencanaan pembangunan kehutanan baik
melalui rakorbanghutda maupun musrenbang di tingkat SKPD. Selain itu hal yang

61
Jurnal Penelitian Kehutanan Wallacea
Vol. 2 No. 1, April 2013 : 51 - 64

dapat dilakukan adalah membuka diskusi dan konsultasi publik terkait penyusunan
rencana pembangunan sebagai wahana untuk menjaring aspirasi, usulan-usulan dari
pihak yang terlibat dengan tetap mengacu dengan perencanaan nasional yang telah
disusun sebelumnya agar tidak menyimpang dari yang telah ditentukan.

IV. KESIMPULAN DAN SARAN

A. Kesimpulan

Hasil penelitian ini dapat disimpulkan bahwa proses penyusunan rencana


pembangunan kehutanan daerah di Provinsi Daerah Istimewa Yogyakarta dan Papua
Barat bersifat top-down dengan memperhatikan karakteristik wilayah yang ada dan
arahan umum dalam RKTN. Untuk mewujudkan prinsip good governance maka harus
dibuat celah untuk masing-masing stakeholder berperan mulai dari proses penyusunan,
pelaksanaan, monitoring dan evaluasi sampai pelaporan. Tahapan perencanaan
pembangunan kehutanan di daerah meliputi: identifikasi permasalahan kehutanan
yang ada di daerah, isu-isu strategis, mengkaji dokumen perencanaan tingkat nasional,
RTRW provinsi; selanjutnya melakukan analisis sosial ekonomi dan analisis spasial;
penentuan visi dan misi kehutanan daerah; penentuan strategi dan kebijakan serta
program; menentukan capaian dan tujuan; menentukan target-target dan indikator.
Dalam penelitian dapat disimpulkan pula bahwa, peran pemerintah dalam perencanaan
pembangunan kehutanan daerah ditinjau dari aspek good governance, bahwa rule of
law untuk regulasi di bidang kehutanan sudah lengkap, walaupun masih sering terjadi
tumpang tindih kebijakan.

B. Saran

Hal-hal yang dapat disarankan oleh penulis adalah perencanaan kehutanan di


daerah harus disusun berdasarkan data informasi yang komprehensif dan lebih
mempertegas tata hubungan antar stakeholder yang terlibat mulai dari proses
penyusunan, pelaksanaan, monitoring dan evaluasi. Alternatif yang dapat digunakan
adalah melalui forum-forum pertemuan seperti musrenbanghut, rakorbanghutda,
rakorbangreg, rakornas. Selanjutnya disampaikan juga bahwa sinkronisasi regulasi di
bidang kehutanan dari pusat sampai daerah sangat diperlukan sehingga tumpang
tindih dapat dihindari.

62
Perencanaan Pembangunan Kehutanan Daerah dalam ....
Khuswantoro, et al.

UCAPAN TERIMA KASIH

Penulis menyampaikan ucapan terima kasih kepada Kepala Badan Litbang


Kehutanan yang telah memberikan kesempatan tugas belajar; Kepala Dinas
Kehutanan dan Perkebunan Provinsi Daerah Istimewa Yogyakarta, Kepala Dinas
Kehutanan dan Perkebunan Provinsi Papua Barat, Kepala UPT Kementerian Kehutanan
Lingkup Provinsi Papua Barat dan Provinsi Daerah Istimewa Yogyakarta, Kepala Pusat
Pembinaan, Pendidikan dan Pelatihan Perencana Badan Perencanaan Pembangunan
Nasional atas dukungan dalam proses pendidikan dan penelitian. Disampaikan pula
terima kasih kepada Drs. Andy Fefta Wijaya, M.DA, Ph.D dan Dr. Imam Hardjanto,
MBA, MAP atas bimbingan dan petunjuk dalam penulisan karya ilmiah ini. Serta semua
pihak yang telah membantu dalam penelitian ini, semoga Tuhan Yang Maha Esa
memberikan balasan yang setimpal.

DAFTAR PUSTAKA

Abe, A. (2002). Perencanaan Daerah Partisipatif. Solo: Pondok Edukasi Sunandar.

Conyers, D., & Hills, P. (1990). An Introduction to Development Planning in The Third
World, Chichester. New York: John Wiley & Sons.

Departemen Kehutanan. (2010). Peraturan Menteri Kehutanan Republik Indonesia


Nomor: P.42/Menhut-II/2010 Tentang Sistem Perencanaan Kehutanan. Jakarta:
Biro hukum dan organisasi.

Gubernur DI Yogyakarta. (2012). Keputusan Gubernur Kepala Daerah Istimewa


Yogyakarta Nomor: 10/Kep/2012 tentang Rencana Kehutanan Tingkat Propinsi
Daerah Istimewa Yogyakarta.

Kementerian Kehutanan (2012). Permenhut Nomor P. 01/Menhut-II/2012 tentang


Penyusunan Rencana Kehutanan Tingkat Provinsi.

Nasirin, C. & Hermawan, D. (2010). Governance & Civil Society Interaksi Negara dan
Peran NGO dalam Proses Pembangunan. Malang: Indo Press.

Purwanto, R. H. dan Yuwono, T. (2005). Perencanaan Sumber Daya Hutan (Diktat


Kuliah). Yogyakarta: Fakultas Kehutanan UGM.

Riyadi., dan Deddy Supriady B. (2004). Perencanaan Pembangunan Daerah. Jakarta:


PT Gramedia Pustaka Utama.

Sedarmayanti. (2012). Good Govenance 1 (Edisi Revisi), Dalam Rangka Otonomi


Daerah Upaya Membangun Organisasi Efektif dan Efisiensi Melalui Restrukturisasi
dan Pemberdayaan. Bandung: CV Mandar Maju.

63
Jurnal Penelitian Kehutanan Wallacea
Vol. 2 No. 1, April 2013 : 51 - 64

Simon, H. (2001). Prosedur Perencanaan Tingkat Distrik. Prosiding Reguler V FKKM


Bandar Lampung ; Otonomi Sumber Daya Hutan. Yogyakarta: Debut Press.

Tarigan, R. (2005). Perencanaan Pembangunan Wilayah. Jakarta: Bumi Aksara.

Tjokroamidjojo, Bi. (1989). Perencanaan Pembangunan. Jakarta: CV. Haji Masagung.

Wahyudi, I. (2006). Metodologi Penelitian Partisipatif. Jakarta: Kerjasama Malang


Coruption Watch dan YAPPIKA.

64

You might also like