Kelompok 6. Jurnal 1
Kelompok 6. Jurnal 1
Kelompok 6. Jurnal 1
Oleh/By :
M. Hidayatullah1
Balai Penelitian Kehutanan Kupang
Jln. Untung Surapati No. 7 Kupang Nusa Tenggara Timur
Telepon (+62-380) 823357 email : [email protected]
ABSTRACT
Conversion of mangrove into embankment business units continued to increase in recent
years. On the one hand these activities can increase incomes through aquaculture
activities, meanwhile on the other hand this conversion contribute to the degradation of
mangrove ecosystem . Embankment with silvofishery pattern is expected to bridge these
two interests. This paper aims to provide information about the growth of Rhizophora
mucronata Lmk. on silvofishery embankment owned by local people in the Bipolo
village, Sulamu subdistrict, Kupang District. The study was conducted by measuring the
growth of mangrove periodically in order to describe the dynamics of growth in each
plot. Parameters measured were stem diameter, height and number of roots. The
measurement results showed that plot C which has trench pattern and can be reached by
tidal water showed better average growth and weight of fish when compared to plots A
and B with the same pattern but the location of the pond only can be reached by the
highest tide. Average plant growth 3 years for each parameter in a row of stem diameter,
height and number of roots is, plot A: 16.70 mm, 109.43 cm and 5.31 strands, plot B:
16.55 mm, 113.13 cm and 5.76 while the plot strands C: 17.77 mm, 117.88 cm and 5.92
strands. While the average weight of fish on each plot (A,B,C and D) after the
maintenance for 7 months are : 145.36 g, 147.14 g and 170.47 g. The choice of plants and
the right location is very crucial in silvofishery.
PENDAHULUAN
Menurut Santoso, (2000) hutan mangrove merupakan hutan yang
terdapat di daerah pantai yang selalu atau secara teratur tergenang air laut dan
terpengaruh oleh pasang surut air laut tetapi tidak terpengaruh oleh iklim.
Sedangkan daerah pantai adalah daratan yang terletak di bagian hilir Daerah
Aliran Sungai (DAS) yang berbatasan dengan laut dan masih dipengaruhi oleh
pasang surut, dengan kelerengan kurang dari 8%. Sementara itu Soerianegara
(1987) mendefinisikan hutan mangrove sebagai hutan yang tumbuh pada tanah
lumpur aluvial di daerah pantai dan muara yang dipengaruhi oleh pasang surut air
laut.
Hutan mangrove memiliki manfaat sebagai penyedia berbagai kebutuhan
hidup manusia, fungsi sosial, ekonomi dan ekologi mangrove mendukung dalam
proses pembangunan berkelanjutan. Beberapa fungsi dan manfaat hutan
mangrove diantaranya adalah sebagai pelindung garis pantai, tempat berpijah
aneka biota laut, sebagai pengatur iklim mikro, penghasil keperluan rumah tangga
dan industri, penghasil bibit ikan, sebagai bahan baku obat-obatan, pariwisata,
penelitian dan pendidikan serta manfaat-manfaat yang lainnya. Namun demikian
kondisi hutan mangrove dengan beragam manfaat tersebut dalam beberapa tahun
terakhir semakin menurun, kondisi yang sama juga terjadi pada hutan mangrove
di Nusa Tenggara Timur (NTT). Pemanfaatan kawasan yang kurang
memperhatikan aspek kelestarian dan keseimbangan lingkungan, masih rendahnya
pemahaman masyarakat akan fungsi dan manfaat mangrove menjadi penyebab
terjadinya hal tersebut.
Luas hutan mangrove di NTT mencapai 40.614.11 ha (BPHM Wilayah I
Bali, 2011), sebagian besar dari jumlah tersebut mengalami tekanan yang besar
sehingga terlihat pada beberapa lokasi kualitas ekosistem mangrove semakin
menurun. Dalam beberapa tahun terakhir kerusakan ekosistem hutan mangrove di
NTT diduga semakin tinggi, sementara kegiatan penanaman dan rehabilitasi
mangrove sangat terbatas sehingga belum mampu mengimbangi laju kerusakan
hutan mangrove.
Selain memberi dampak positif melalui peningkatan taraf hidup dan
kesempatan kerja bagi masyarakat, pemanfaatan wilayah pesisir juga memberi
dampak negatif karena pemanfaatan yang kurang terkendali. Konversi lahan
untuk kegiatan budidaya perikanan tambak merupakan salah satu kegiatan yang
turut mendorong penurunan kualitas ekosistem mangrove, pembuatan unit-unit
tambak semakin gencar dilakukan karena aktifitas tersebut dapat menjadi sumber
pendapatan bagi masyarakat (Hidayatullah, M. dkk, 2011).
Melihat kondisi diatas, maka kegiatan rehabilitasi dan penyelamatan
hutan mangrove perlu segera dilakukan untuk memperbaiki fungsi dan
manfaatnya. Kegiatan rehabilitasi atau penanaman pada kawasan pesisir
mendesak untuk dilakukan mengingat banyak manfaat yang dapat diperoleh
dengan keberadaan tanaman mangrove. Konsep silvofishery yang memadukan
antara usaha tambak dengan penanaman mangrove diharapkan dapat
menjembatani dua kepentingan tersebut, sehingga kegiatan budidaya perikanan
tambak tidak mengorbankan kelestarian ekosistem mangrove.
Aspek keuntungan yang diperoleh dari sistem silvofishery dapat
meningkatkan lapangan kerja (aspek sosial), dapat mengatasi masalah pangan dan
energi (aspek ekonomi) serta menjaga kestabilan ekosistem mikro dan konservasi
tanah (aspek ekologi) (Wibowo dan Handayani, 2006). Pola ini dipandang
sebagai pendekatan teknis, karena dapat meningkatkan kesejahteraan masyarakat
sekaligus perbaikan lingkungan. Masyarakat di desa Bipolo kecamatan Sulamu
kabupaten Kupang mulai mengembangkan sistem ini pada awal tahun 2009
dengan keterbatasan pemahaman yang dimiliki, menggunakan jenis Rhizophora
mucronata. Masyarakat meyakini bahwa tambak silvofishery tersebut dapat
memperbaiki kualitas ekologi mikro tambak, sekaligus mampu meningkatkan
produksi serta memperpanjang masa produksi tambak. Penanaman dilakukan
dengan sistem empang parit dengan jarak tanam yang berbeda tanpa adanya
pembutaan guludan sebagai area penanaman. Tulisan ini bertujuan untuk (a).
mendapatkan data tentang pertumbuhan mangrove pada tambak silvofishery, (b).
mendapatkan data tentang produktifitas tambak pada masing-masing plot
silvofishery.
METODE PENELITIAN
A. Lokasi dan Waktu
2. Produktifitas silvofishery
Produktifitas silvofishery dianalisis secara kuantitatif dengan
menghitung perbedaan pertumbuhan ikan pada masing-masing plot setiap periode
pengamatan. Selanjutnya data-data tersebut dibahas secara deskriptif untuk
melihat pengaruh masing-masing plot terhadap produktifitas tambak.
B. Pertumbuhan Mangrove
Penanaman mangrove dari jenis Rhizophora mucronata pada unit-unit
tambak di Bipolo dilakukan pada tahun 2009 dengan model empang parit,
penanaman dilakukan dengan membuat jalur-jalur dengan jarak tanam yang
berbeda. Plot C memperlihatkan rata-rata pertumbuhan yang lebih baik pada
setiap parameternya bila dibandingkan dengan plot A dan B. Pada plot A dan B
terdapat indikasi serangan hama ulat kantong yang menyerang pucuk daun,
kemudian menyebar kesemua daun dan batang sehingga pertumbuhan tanaman
terganggu. Pada beberapa tanaman, serangan hama ulat kantong ini menyebabkan
kematian pada tanaman mangrove, namun demikian penanggulangannya masih
dilakukan secara manual, dengan membersihkan daun yang terserang. Saat ini
petani masih mencari jenis pestisida yang tepat untuk menganggulangi serangan
tersebut yang tidak mengganggu perkembangan ikan di dalam tambak.
Pengambilan data dilakukan secara rutin setiap 3-4 bulan untuk
mendapatkan data pertumbuhan tanaman. Pertumbuhan mangrove pada masing-
masing plot setiap periode pengukuran terlihat pada tabel 1.
Tabel 1. Pertumbuhan mangrove pada plot silvofishery
Jarak Diameter rata-rata
Jumlah Tinggi rata-rata (cm) Jumlah akar rata-rata
(mm)
Plot Tanam
Pohon Mei Agust Des Mei Agust Des Mei Agust Des
(m)
2011 2011 2011 2011 2011 2011 2011 2011 2011
A 2x2 336 92.71 97.32 109.43 11.31 12.79 16.7 3.09 3.68 5.31
B 2x1 133 89.62 97.05 113.13 11.86 13.59 16.55 3.32 4.31 5.76
C 3x2 1220 93.83 102.38 117.88 12.06 14.27 17.77 3.51 4.34 5.92
Jarak antara garis pantai dengan lokasi tambak berkisar antara 0,9 – 1,2
km, lokasi plot C merupakan yang terdekat dengan garis pantai dan terpisah dari
plot A dan B. Lokasi plot yang jauh dari garis pantai menyebabkan tidak dapat
dijangkau secara maksimal oleh air pasang, sehingga untuk kebutuhan tambak
juga menggunakan air dari sumur bor, plot-plot ini hanya dapat dijangkau oleh air
pasang ketika terjadinya pasang tertinggi. Lokasi plot C yang relatif lebih dekat
dengan garis pantai menyebabkan kuantitas air yang masuk kedalam tambak lebih
besar dibandingkan dengan dua plot yang lain, sehingga proses keluar masuknya
serasah dan mineral yang bermanfaat untuk pertumbuhan tanaman pada plot C
lebih baik dibandingkan dengan plot A dan B. Kondisi ini diduga menjadi salah
satu penyebab mengapa pertumbuhan tanaman di dalam plot C lebih bagus, selain
disebabkan adanya indikasi serangan hama ulat kantong pada plot A dan B.
Kondisi air tambak yang selalu tergenang menyebabkan proses sirkulasi
air menjadi terganggu, sehingga proses keluar masuknya serasah dan mineral
yang dibutuhkan untuk pertumbuhan tanaman agak terhambat. Arief (2003),
mengatakan bahwa Rhizophora merupakan jenis yang masuk dalam zona
proksimal yaitu kawasan (zona) yang terdekat dengan laut. Terletak di belakang
zona Avicennia dan Sonneratia dengan kadar garam yang lebih rendah dari jenis
Avicennia dan Sonneratia dan perakaran tanaman terendam hanya selama air
pasang berlangsung.
Idealnya untuk mendukung pertumbuhan tanaman, bisa dibuat guludan
sebagai area penanaman khusus di dalam tambak. Guludan tersebut dikondisikan
agar tanaman tidak selalu tergenang, tanaman hanya akan terendam pada saat
volume air banyak, sedangkan pada saat volume air sedikit tanaman tidak
terendam air. Sementara itu untuk current area atau area pemeliharaan ikan,
dilakukan pada tempat yang lebih rendah sehingga pada saat volume air
sedikitpun tetap dalam keadaan terendam air.
Pertumbuhan tanaman pada semua plot terlihat kurang bagus, salah satu
penyebab hal tersebut diduga karena jenis tanah di dalam tambak kurang tepat
untuk pertumbuhan jenis R. mucronata. Hasil analisis memperlihatkan bahwa
komposisi pasir di dalam tambak cukup besar yaitu pada kisaran 27,33 % – 34 %
(Lab. Fakultas Pertanian, UNDANA, 2011), karena pada umumnya menurut
Noor, dkk (2006), jenis R. mucronata dan Avicennia marina tumbuh dengan baik
pada tanah berlumpur, terutama pada daerah endapan lumpur terbentuk.
C. Produktifitas Silvofishery
KESIMPULAN
DAFTAR PUSTAKA
BPS Kabupaten Kupang 2007. Kabupaten Kupang dalam Angka Tahun 2008.
BPS Kabupaten Kupang.
BPHM Wilayah I, 2011. Statistik Pembangunan. Balai Pengelolaan Hutan
Mangrove Wilayah I, Denpasar – Bali.
Dinas Kehutanan Propinsi NTT, 2006. Statistik Kehutanan Provinsi Nusa
Tenggara Timur.
Hidayatullah, M, dkk, 2011. Ekologi Silvofishery dan Dinamika Tegakan
Mangrove Di Nusa Tenggara Timur. Laporan Hasil Penelitian. Balai
Penelitian Kehutanan Kupang. Tidak dipublikasikan.
Kardi, M. Ghufran 2010. Nikmat Rasanya, Nikmat Untungnya. Pintar Budidaya
Ikan di Tambak secara Intensif. Penerbit ANDI. Yogyakarta.
Noor, Y. R, Khazali, M dan Suryadiputra, I. N. N, 2006. Panduan Pengenalan
Mangrove di Indonesia. Wetlands International.
Nybakken, J.W. 1992. Biologi Laut Suatu Pendekatan Ekologis. Alih bahasa oleh
M. Eidman., Koesoebiono., D.G. Bengen., M. Hutomo., S. Sukardjo. PT.
Gramedia Pustaka Utama. Jakarta, Indonesia.
Raswin, M. 2003. Pembesaran Ikan Bandeng. Modul : Pengelolaan Air Tambak.
Direktorat Pendidikan Dasar dan Menengah. Kementerian Pendidikan
Nasional.
Santoso, N. 2000. Pola Pengawasan Ekosistem Mangrove. Makalah Disampaikan
pada Lokakarya Nasional. Pengembangan Sistem Pengawasan Ekosistem
Laut Tahun 2000. Jakarta.
Soerianegara, 1987. Masalah Penentuan Batas Lebar Jalur Hijau Hutan
Mangrove. Proseding Seminar III Ekosistem Mangrove. Jakarta.
Wibowo, K dan Handayani, T. 2006. Pelestarian Hutan Mangrove Melalui
Pendekatan Mina Hutan (Silvofishery). Jurnal Teknologi Lingkungan.
Vol. 7. No 3. Pusat Teknologi Lingkungan. BPPT. Jakarta.