Appt
Appt
Appt
Oleh karena itu, varietas cabai merah yang telah dilepas perlu diketahui
pertumbuhan dan hasil benihnya apabila ditanam di dataran menengah. Hal ini
penting karena menurut Epstein (1972) cit. Hayati (2001), setiap varietas
tanaman mempunyai pertumbuhan yang berbeda walaupun ditanam pada
tempat dengan kondisi yang sama. Falconer (1970) menambahkan, perbedaan
lingkungan yang spesifik memiliki efek yang besar terhadap beberapa genotipe.
Genotipe A mungkin superior daripada genotipe B di lingkungan X, tetapi inferior
di lingkungan Y, sehingga setiap varietas cabai merah tentu akan memberikan
hasil yang berbeda jika ditanam di dataran menengah, karena selain dipengaruhi
oleh genetik tanaman cabai merah itu sendiri, juga dipengaruhi oleh kondisi
lingkungan tempat tumbuhnya. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui
pertumbuhan dan hasil benih lima varietas cabai merah di dataran menengah.
BAHAN DAN METODE
Bahan tanam yang digunakan dalam penelitian ini adalah bibit tanaman
cabai merah dari lima varietas, yaitu Branang, Gantari, Lembang-1, dan Kusuma
yang berasal dari Balitsa, serta Lokal Pakem yang berasal dari BP2TPH
Ngipiksari Pakem. Kelima varietas cabai merah tersebut ditanam pada bulan
Desember 2011 hingga Mei 2012. Lokasi tanamnya adalah tanah sawah milik
seorang petani di Dusun Pandanpuro Kelurahan Hargobinangun Kecamatan
Pakem Kabupaten Sleman Provinsi D. I. Yogyakarta dengan ketinggian tempat
505 meter diatas permukaan laut. Penanaman kelima varietas cabai merah
tersebut disusun dalam rancangan acak kelompok lengkap dengan empat blok
sebagai ulangan. Ukuran petak percobaan 20 m2, jarak antar petak 50 cm, dan
jarak antar blok 50 cm, tiap lubang tanam ditanami dengan satu bibit cabai.
Lahan sawah yang digunakan ditaburi dengan dolomit 2 ton/ha. Tanaman
ditanam dengan jarak tanaman 50 cm x 50 cm. Pemeliharaan tanaman yang
dilakukan adalah penyulaman pada umur 7-14 hari setelah tanam. Penyiangan
pada umur periode kritis, yaitu 40 dan 60 hari setelah tanam. Pemupukan
diberikan dengan dosis 200 kg/ha SP-36, dan pupuk kandang 30 ton/ha sebagai
pupuk dasar dan ditambahkan pupuk susulan sebanyak 150 kg/ha Urea + 300
kg/ha ZA + 150 kg/ha KCl, masing-masing 1/3 bagian dan diberikan pada umur
tanaman 3, 6 dan 9 minggu setelah tanam dengan cara ditugal pada lubang di
antara dua tanaman cabai merah. Untuk memacu pertumbuhan vegetatif
diberikan pupuk daun (gandasil D) 10-30 gram/10 liter air setiap 7-8 hari,
sedangkan untuk memacu pertumbuhan generatif diberikan pupuk daun
(gandasil B) 10-30 gram/10 liter air setiap 7-8 hari serta pupuk Mono Kalium
Phosphate (MKP) 20 gram/liter menjelang berbunga 3-6 kali semprot interval 2
minggu.
Pengendalian hama dan penyakit dilakukan secara mekanik dan
penyemprotan pestisida. Pengendalian mekanik dilakukan dengan eradikasi
tanaman. Insektisida yang digunakan diantaranya berbahan aktif Deltamethrin
dengan konsentrasi 2 cc/liter dan, insektisida berbahan aktif karbofuran dengan
dosis 2-4 gram/lubang tanam, insektisida berbahan aktif abamectin 2 cc/liter,
insektisida berbahan aktif diafenthiuron 2 cc/liter. Sementara fungisida yang
digunakan diantaranya berbahan aktif Mankozeb dengan konsentrasi 3-6
gram/liter, fungisida berbahan aktif propineb 2,5 gram/liter. Setiap aplikasi
pestisida ditambahkan perekat berbahan aktif alkyl aril polyglikol eter 0,5 ml/liter.
Untuk hama lalat buah digunakan insektisida berbahan aktif metil eugenol
1cc/perangkap dengan jumlah perangkap 40 buah/ha.
Pengamatan dilakukan terhadap jumlah daun, luas daun, tinggi tanaman,
diameter batang, jumlah cabang produktif, volume akar, sistem perakaran, indeks
luas daun, laju asimilasi bersih, laju pertumbuhan tanaman, bobot kering total,
jumlah buah per cabang, jumlah buah per tanaman, bobot buah per tanaman,
bobot buah per petak, bobot buah per hektar, kadar capsaicin, bobot benih per
tanaman, bobot 100 biji, rendemen biji, daya berkecambah, indeks vigor
hipotetik. Untuk mengetahui fluktuasi suhu dan kelembaban, dilakukan
pengamatan terhadap suhu udara dan kelembaban udara mingguan serta suhu
rerata bulanan yang diestimasi dari data ketinggian tempat menggunakan rumus
Asmara dan Notohadiningrat (1993). Data hasil pengamatan dianalisis dengan
sidik ragam pada tingkat kepercayaan 95%, dan untuk mengetahui perbedaan
diantara perlakuan dilakukan dengan Uji Jarak Ganda Duncan (Duncans Multiple
Range Test) pada tingkat kepercayaan 95%. Untuk mengetahui hubungan antara
dua variabel dilakukan analisis korelasi sederhana.
HASIL DAN PEMBAHASAN
Suhu mingguan di pertanaman pada saat penelitian berlangsung yaitu
berkisar antara 26,4o36,4oC dan suhu rerata bulanan (Desember-Mei) yaitu
mentranslokasikan
asimilat
tersebut,
diperlukan
suatu
sistem
pengangkutan yang baik agar laju translokasi asimilat berlangsung optimal. Laju
translokasi asimilat akan bergantung kepada diameter batang. Diameter batang
yang besar diduga memiliki luas potongan melintang floem yang lebih besar.
Menurut Gardner et al. (1991), luas potongan melintang floem dapat membatasi
laju translokasi asimilat. Lembang-1 memiliki diameter batang tertinggi
Gambar 1. Sistem perakaran pada fase panen umur 23 minggu setelah tanam.
B (Branang), G (Gantari), K (Kusuma), L (Lembang-1), dan C (Lokal
Pakem).
Produksi dan perluasan daun yang cepat sangat penting bagi produksi
tanaman agar dapat memaksimalkan penyerapan cahaya dan asimilasi. Varietas
cabai merah yang memiliki luas daun yang tinggi memiliki kemampuan untuk
memanfaatkan radiasi matahari dengan optimal sehingga mampu menghasilkan
asimilat yang tinggi. Luas daun erat kaitannya dengan indeks luas daun. Indeks
luas daun menggambarkan rasio permukaan daun terhadap luas tanah yang
ditempati tanaman. Indeks luas daun yang tinggi memungkinkan tanaman cabai
untuk menghasilkan asimilat yang tinggi, menyerap radiasi paling banyak,
memiliki laju asimilasi CO2 yang tinggi, dan mentranslokasikan sejumlah besar
hasil asimilasi ke bagian tanaman yang lain. Varietas Lokal Pakem memiliki luas
daun dan indeks luas daun yang tinggi tetapi tidak berbeda nyata dengan
Lembang-1 (tabel 2). Sehingga kedua varietas tersebut mampu memanfaatkan
radiasi matahari untuk fotosintesis dangan lebih baik.
Tabel 2. Rerata volume akar, luas daun, dan indeks luas daun umur 40 dan
60 hst
Volume akar (ml)
Luas daun (cm2)
Indeks luas daun
Varietas
40 hst
60 hst
40 hst
60 hst
40 hst
60 hst
Lembang-1
0,77cd
2,10b
85,07c
418,08ab 0,03c
0,17ab
Lokal Pakem
1,57a
3,75a
174,82a
586,45a
0,07a
0,23a
Kusuma
0,96bc
2,80ab 143,78ab 443,42ab 0,06ab
0,18ab
Branang
0,52d
1,92b
71,45c
254,90b
0,03c
0,10b
Gantari
1,27ab
2,79ab 115,06bc 419,73ab 0,05bc
0,17ab
CV (%)
26,50
25,22
23,47
29,94
23,47
29,94
Keterangan: Angka-angka yang diikuti oleh huruf yang sama pada kolom yang sama
tidak berbeda nyata berdasarkan uji DMRT pada taraf 5%.
Laju
asimilasi
bersih
menggambarkan
kemampuan
tanaman
menghasilkan bahan kering per satuan luas daun per satuan waktu. Laju
asimilasi bersih dipengaruhi oleh indeks luas daun. Setiap varietas cabai merah
tidak berbeda nyata terhdap laju asimilasi bersih (tabel 3). Hal ini dipengaruhi
oleh indeks luas daun yang tinggi yang akan memicu banyaknya penaungan
terhadap daun yang ada dibawahnya. Sehingga daun-daun yang berada
dibawah tidak dapat menghasilkan asimilat dengan baik sehingga tidak dapat
memenuhi kebutuhan respirasinya dan berakibat terhadap penurunan laju
asimilasi bersih.
Laju pertumbuhan tanaman menggambarkan kemampuan tanaman
menghasilkan bahan kering per satuan luas tanah per satuan waktu. Kelima
varietas cabai merah tidak menunjukkan perbedaan yang nyata terhadap laju
pertumbuhan tanaman (tabel 3). Hal ini dipengaruhi oleh indeks luas daun yang
tinggi yang memicu banyaknya penaungan terhadap daun dibawahnya. Laju
asimilasi bersih dan laju pertumbuhan tanaman yang tidak berbeda nyata
menyebabkan kemampuan setiap varietas menghasilkan bahan kering juga tidak
berbeda nyata (tabel 3). Namun, analisis korelasi menunjukkan laju pertumbuhan
tanaman berkorelasi positif dengan bobot kering total. Hal ini sesuai dengan
penelitian Indradewa (1990) cit. Mawarsih (2011), semakin tinggi laju
pertumbuhan tanaman semakin banyak bahan kering yang dapat ditimbun oleh
tanaman.
Tabel 3. Rerata laju asimilasi bersih, laju pertumbuhan tanaman, dan bobot
kering total umur 40 dan 60 hari setelah tanam (hst)
Laju pertumbuhan
Bobot kering total (g)
Laju asimilasi bersih
Varietas
tanaman
(g/cm2/minggu)
40 hst
60 hst
(g/cm2/minggu)
Lembang-1
0,71a
2,14a
0,65b
3,72a
Lokal Pakem
0,71a
2,31a
1,23a
4,95a
Kusuma
0,71a
2,06a
0,98ab
3,88a
Branang
0,71a
1,79a
0,62b
2,74a
Gantari
0,71a
2,10a
0,98ab
3,91a
CV (%)
0,17*
15,25*
25,47
25,27
Keterangan: Angka-angka yang diikuti oleh huruf yang sama pada kolom yang sama
tidak berbeda nyata berdasarkan uji DMRT pada taraf 5%; *) data telah
ditransformasi menggunakan persamaan x+0,5.
Komponen hasil cabai mencakup jumlah cabang produktif, jumlah buah
per cabang, jumlah buah per tanaman, dan bobot buah per tanaman. Buah
merupakan sink terkuat yang paling banyak menggunakan asimilat. Jumlah
cabang
produktif
menggambarkan
banyaknya
cabang
yang
mampu
tanaman berkorelasi positif dengan bobot buah per hektar dan bobot buah per
tanaman. Hal ini sesuai dengan hasil penelitian Amrullah (2000), bobot buah total
per tanaman pada cabai merah dipengaruhi secara positif oleh tinggi tanaman.
Tabel 4. Rerata jumlah cabang produktif, jumlah buah per cabang, jumlah
buah per tanaman, dan bobot buah per tanaman umur 23 mst.
Bobot buah per
Jumlah cabang Jumlah buah
Jumlah buah
Varietas
tanaman
produktif
per cabang
per tanaman
(g/tanaman)
Lembang-1
13,25a
14,33ab
175,70a
589,33a
Lokal Pakem
10,55abc
16,29a
160,50a
356,03b
Kusuma
12,80ab
11,44abc
132,90a
436,64ab
Branang
9,20c
9,65bc
72,95b
345,93b
Gantari
9,75bc
7,95c
72,85b
475,29ab
CV (%)
17,62
26,69
22,19
24,18
Keterangan: Angka-angka yang diikuti oleh huruf yang sama pada kolom yang sama
tidak berbeda nyata berdasarkan uji DMRT pada taraf 5%.
Nilai komersial lainnya dari buah cabai adalah rasa pedas yang
dimilikinya. Tingkat kepedasan cabai merah bergantung kepada kadar capsaicin.
Semakin tinggi kadar capsaicin maka semakin pedas rasa buah cabai. Kadar
capsaicin setiap varietas berbeda tergantung varietasnya, sehingga setiap
varietas cabai memiliki tingkat kepedasan yang berbeda tergantung potensi
genetiknya. Kusuma dan Lokal Pakem memiliki kadar capsaicin tertinggi
dibandingkan varietas lainnya (tabel 5).
Tabel 5. Rerata bobot buah per petak, bobot buah per hektar dan kadar
capsaicin
Bobot buah per petak
Bobot buah per
Kadar
Varietas
2
(g / 7,5 m )
hektar (ton/ha)
capsaicin (%)
Lembang-1
7663,30a
10,22a
0,63
Lokal Pakem
5525,70bc
7,37bc
0,91
Kusuma
6534,10ab
8,71ab
1,12
Branang
4874,80c
6,50c
0,86
Gantari
6376,90abc
8,50abc
0,31
CV (%)
15,05
15,05
Keterangan: Angka-angka yang diikuti oleh huruf yang sama pada kolom yang sama
kecuali kadar capsaicin, menunjukkan tidak berbeda nyata berdasarkan uji
DMRT pada taraf 5%.
Hasil benih menggambarkan kemampuan tanaman menghasilkan benih
ditinjau dari segi kuantitas dan kualitas. Setiap varietas cabai memiliki
kemampuan yang berbeda untuk memberikan hasil benih sesuai potensi
genetiknya. Varietas Lembang-1 memberikan bobot buah per tanaman dengan
rendemen biji tertinggi (tabel 6). Hal ini menunjukkan bahwa Lembang 1 memiliki
dan
Lokal
Pakem
(25,28
(1,12%) dan Lokal Pakem (0,91%) dibandingkan dengan varietas cabai merah
lainnya.
UCAPAN TERIMA KASIH
Ucapan terima kasih penulis sampaikan kepada Ir. Setyastuti Purwanti,
M.S. dan Ir. Toekidjo, M.P. selaku pembimbing dan BP2TPH Ngipiksari
Yogyakarta yang telah membiayai penelitian ini.
DAFTAR PUSTAKA
Agustin, Widi., S. Ilyas, S.W. Budi, I. Anas, dan F.C. Suwarno. 2010. Inokulasi
Fungi Mikoriza Arbuskula (FMA) dan pemupukan P untuk meningkatkan
hasil dan mutu benih cabai (Capsicum annuum L.). J. Agron. Indonesia 38
: 218 224.
Amrullah. 2000. Tingkat Kandungan Klorofil Daun dan Kontribusinya Serta
Pengaruh Pemupukan NPKMg dan Pemberian Metanol Terhadap
Kandungan Klorofil, Pertumbuhan dan Produktivitas Tanaman Cabai
Merah (Capsicum annuum L.). Program Pascasarjana. Institut Pertanian
Bogor. Thesis.
Anonim. 2012. Luas Panen, Produksi, dan Produktivitas cabai 2009-2011.
<http://bps.go.id/tab_sub/view.php?kat=3&tabel=1&daftar=1&id_subyek=
55¬a b=19>. Diakses tanggal 23 Juni 2012.
Asmara, A. A. dan T. Notohadiningrat. 1993. Laporan penelitian mengkaji
hubungan antara ketinggian tempat dan rerata temperatur di Indonesia.
Jurusan Ilmu Tanah. Fakultas Pertanian. Universitas Gadjah Mada,
Yogyakarta.
Daryanto, A. 2009. Studi Heterosis dan Daya Gabung Karakter Agronomi Cabai
(Capsicum annuum L.) pada Hasil Persilangan Half Diallel. Institut
Pertanian Bogor. Skripsi.
Falconer, D. S. 1970. Introduction To Quantitative Genetics. The Ronald
Company Press, New York.
Gardner, F. P., R. B. Pearce, and R. L. Mitchell. 1991. Physiology of Crop Plants
(Fisiologi Tanaman Budidaya, alih bahasa : Susilo dan Subiyanto). UIPress, Jakarta.
Hayati, M. 2001. Pengujian pertumbuhan, hasil dan rendemen Oleoresin pada
dua varietas cabai merah (Capsicum annuum L.) dengan Pemberian
Dekamon. Agrista 5 : 266 273.
Kulkarni, M. and Phalke, S. 2009. Evaluating variability of root size system and its
constitutive traits in hot pepper (Capsicum annuum L.) under water stress.
Scientia Horticulturae 120: 159-166.
Mawarsih, 2011. Pengaruh Penggantian Pupuk Dasar Anorganik Dengan Pupuk
Organik Terhadap Pertumbuhan Dan Hasil Cabai Merah (Capsicum
annuum L.). Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta.
Suwandi. 1996. Persebaran dan potensi wilayah pengembangan cabai merah.
dalam: teknologi produksi cabai merah. Balai Penelitian Tanaman
Sayuran. Bandung : 14-19.
Syukur, M., S. Sujiprihati, R. Yunianti, dan D. A. Kusumah. 2010. Evaluasi daya
hasil cabai hibrida dan daya adaptasinya di empat lokasi dalam dua
tahun. J. Agron. Indonesia 38 : 43 51.