Madura

Bottled Drinking Water (AMDK) is processed water, without other food ingredients and food additives, packaged, and safe to drink. AMDK itself which is widely known in the community is national product AMDK. However, local products have emerged to try to compete with national product AMDK. As for local product AMDK which is produced mainly in Madura, the average product is made from Islamic boarding schools. From the level of competition, the idea is emerged for forecasting primarily in the field of sales using the fuzzy Sugeno method. The results obtained from fuzzy Sugeno are turned out to produce a MAPE that the value for local AMDK is 6.4795 and a national AMDK is 2.5353, so that the conclusion about national production is closer to the real value than local AMDK. This study contributes that the predictive value of sales competition is quite accurate based on the MAPE value is below 10. This study provides recommendations to local sellers to make improvements in factors in order ...

Digital collection of 30 folktales in 3 languages ( Local, Indonesian, and English) and analytical linguistic form. This collection is an excellent resources of Indonesia in Bahasa Indonesia, as well as additional resources of local folktales in English. Additionally, linguistic scholars would be able to fourth form as linguistic studies.

Diceritakan dalam sejarah Madura bahwa cucu Bukabu mempunyai anak bernama Dewi Saini alias Puteri Kuning (disebut Puteri Kuning karena kulitnya yang sangat kuning) Kesenangannya bertapa. Dengan perkawinan batin dengan Adipoday (suka juga bertapa) putera kedua dari Penembahan Blingi bergelar Ario Pulangjiwo, lahirlah dua orang putera masing masing bernama Jokotole dan Jokowedi. Kedua putera tersebut ditinggalkan begitu saja dihutan, putera yang pertama Jokotole diambil oleh seorang pandai besi bernama Empu Kelleng didesa Pakandangan dalam keadaan sedang disusui oleh seekor kerbau putih, sedangkan putera yang kedua Jokowedi ditemukan di pademawu juga oleh seorang Empu. Kesenangan Jokotole sejak kecil ialah membuat senjata-senjata seperti, keris, pisau dan perkakas pertanian, bahannya cukup dari tanah liat akan tetapi Jokotole dapat merubahnya menjadi besi, demikian menurut cerita. Pada usianya yang mencapai 6 tahun bapak angkatnya mendapat panggilan dari Raja Majapahit (Brawijaya VII) untuk diminta bantuannnya membuat pintu gerbang. Diceritakan selama 3 tahun keberangkatannya ke Majapahit Empu Kelleng belum juga ada kabarnya sehingga mengkhawatirkan nyai Empu Kelleng Pakandangan karena itu nyai menyuruh anaknya Jokotole untuk menyusul dan membantu ayahnya, dalam perjalanannya melewati pantai selatan pulau Madura ia berjumpa dengan seorang yang sudah tua didesa Jumijang yang tak lain adalah pamannya sendiri saudara dari Ayahnya yaitu Pangeran Adirasa yang sedang bertapa dan iapun memenggil Jokotole untuk menghampirinya lalu Jokotolepun menghampiri, Adirasa lalu menceritakan permulaan sampai akhir hal ihwal hubungan keluarga dan juga ia memperkenalkan adik Jokotole yang bernama Jokowedi, selain itu Jokotole menerima nasihat-nasihat dari Adirasa dan ia juga diberinya bunga melati pula, bunga melati itu disuruhnya untuk dimakannya sampai habis yang nantinya dapat menolong bapak angkatnya itu yang mendapat kesusahan di Majapahit dalam pembuatan pintu gerbang. Pembuatan pintu gerbang itu harus dipergunakan alat pelekat, pelekat yang nantinya akan dapat keluar dari pusar Jokotole sewaktu ia dibakar hangus, oleh karena itu nantinya ia harus minta bantuan orang lain untuk membakar dirinya dengan pengertian jika Jokotole telah hangus terbakar menjadi arang pelekat yang keluar dari pusarnya supaya cepat cepat diambil dan jika sudah selesai supaya ia segera disiram dengan air supaya dapat hidup seperti sediakala.

Kearifan lokal menjadi sumber pengetahuan dan pandangan dunia masyarakat pemilik-nya. Akan tetapi, modernitas dan berbagai perkembangannya yang sering dipersepsi sebagai sebu-ah tata nilai baru yang lebih unggul dibanding nilai lokal memberikan ancaman terhadap eksis-tensinya. Penelitian ini bertujuan untuk mendeskripsikan kearifan lokal Madura dan eksistensinya di era modern. Penelitian ini dilakukan dengan metode deskriptif-kualitatif. Sumber data peneliti-an ini adalah kumpulan cerpen Celurit Hujan Panas (2019) karya Zainul Muttaqin. Teknik pengumpulan data yang digunakan dalam penelitian ini adalah teknik simak-catat. Analisis data dilakukan dengan penyajian data, reduksi data, dan penarikan kesimpulan. Hasil penelitian menunjukkan bahwa kearifan lokal Madura lebih didominasi oleh sejumlah tata nilai yang bersifat sakral de-ngan mengedepankan aspek-aspek spiritualitas orang Madura. Berbagai kearifan lokal tersebut harus bergulat dengan dirinya sendiri dan pengaruh dari luar untuk tetap dapat bertahan. Di era modern ini, kearifan lokal Madura berada dalam ambang pergeseran, yaitu pemertahanan ter-hadap sejumlah tata nilai luhur yang telah diwariskan selama bergenerasi atau ikut dalam arus modernisasi yang mengedepankan pembangunan dan rasionalitas. Abstract: Local wisdom is a source of knowledge and worldview of the people. However, modernity and its various developments, which are often perceived as a new value system that is superior to local values, pose a threat to its existence. This research aims to describe the local wisdom of Madurese and its existence in the modern era. This study used descriptive-qualitative method. The data source of this study was Zainul Muttaqin's short story anthology Celurit Hujan Panas (2019). The data were collected by reading-taking note technique. The data analysis techniques included presenting data, reducing data, and drawing conclusions. The results of the study showed that Madurese local wisdom was more dominated by a number of sacred values with an emphasis on aspects of Madurese spirituality. Various local wisdoms must wrestled with themselves and external influences to stay afloat. In this modern era, Madura's local wisdom is on the verge of shifting, i.e. maintaining a number of noble values that have been passed on for generations or participating in the stream of modernization that prioritizes development and rationality.

Madura memiliki kekayaan kesenian tradisional yang amat banyak, beragam dan amat bernilai. Dalam menghadapi dunia global yang membawa pengaruh materalisme dan pragmatisme, kehadiran kesenian tradisional dalam hidup bermasyarakat di Madura sangat diperlukan, agar kita tidak terjebak pada moralitas asing yang bertentangan dengan moralitas lokal atau jati diri bangsa.
Terlebih lagi sebagai orang asli Madura harus mengenal budaya Madura yang masih hidup, bahkan yang akan dan telah punah. Pengenalan terhadap berbagai macam kebudayaan Madura tersebut akan diharapkan mampu menggugah rasa kebangsaan akan kesenian daerah.
Kebudayaan disini, menghasilkan kelakuan dan benda-benda kebudayaan tertentu, sebagaimana yang diperlukan sesuai dengan motivasi atau rangsangan yang dihadapi. Resep-resep yang ada dalam setiap kebudayaan terdiri atas serangkaian petunjuk-petunjuk untuk mengatur, menyeleksi, dan merangkaikan simbol-simbol yang diperlukan, sehingga simbol-simbol yang telah terseleksi itu secara bersama-sama dan diatur sedemikian rupa diwujudkan dalam bentuk kelakuan atau benda-benda kebudayaan.
Dengan mengenal budaya Madura, maka kita juga harus mengenal simbol-simbol masyarakat Madura. Untuk itu dalam makalah ini, penulis menjelaskan apa itu simbol kebudayaan.

Representatives of one of the world’s largest Muslim organizations, the Indonesian Nahdlatul ‘Ulama (NU), propagate an “Islam of the archipelago” (Islam Nusantara) that harmonizes Islamic practices and local culture. They paint a picture of a pluralist and inclusive Indonesian Islam that accommodates diverse local cultures, contrasting it with a potentially homogenizing “Arabization” — a term used in reference to the perceived ideological radicalization of Islamic lifestyle. Strikingly, in Madura, a region that is considered a stronghold of the NU, there is an affinity to “Arabness” that is not primarily dedicated to questions of the right interpretation of Islam but rather to local hierarchies, social life, political influence, and economic activities. Madurese engagement with cultural markers that are labelled as “Arab” is relatively ambivalent in nature. On the one hand, the Madurese treat “Arabness” as a symbol of Islamic piety that illustrates a special connection to the Holy Land, access to religious learnedness, and the power of blessings. On the other hand, the Madurese can be critical of Arabic culture and customs, especially Wahabist ideology. In the context of pilgrimage to the holy Muslim sites of Mecca and Medina, Madurese Muslims newly imagine and localize “Arabness”. By transferring Arabic cultural markers into economic, cultural, social, and symbolic capital, Madurese Muslims make “Arabness” meaningful beyond debates about Islam Nusantara and Arabization.

Tulisan ini merupakan pengantar editor dari buku Madura Perantauan yang dikarang oleh Ahmad Fatoni. Penulis buku Madura Perantauan ini hendak mempertahankan tesis lama mengenai identitas kultural orang Madura, yang menyatakan bahwa "identitas kemaduraan orang-orang dari pulau Madura, sesungguhnya turut dibentuk oleh faktor-faktor geo-kultural setempat (kultur tegalan)". Implikasi teoretiknya adalah, adanya pergeseran makna identitas, dari stigma umum "orang Madura berwatak keras, menuju orang Madura pekerja keras."

dan Muhammad Wahid (26) melakukan perencanaan di rumah Wilson sang eksekutor.  Kamis, 26 Juni 2014 pukul 02.00 WIB Wilson Yanuardi (26) membunuh Raden Rohmat (27), di dalam angkot 03 Jurusan Baranangsiang-Bubulak dengan cara menyebetkan celurit ke perut Raden.  Sabtu, 28 Juni 2014 para pelaku di tangkap polisi, dan memberikan keterangan bahwa dia melakukan perbuatan tersebut karena emosi istrinya selingkuh dengan korban. Dia melakukannya di latar belakangi oleh tradisi "Carok Madura" yaitu adat dimana harga diri seorang istri dibawa oleh laki-laki lain. Fakta Hukum 1) Subjek Hukum: Wilson Yanuardi 26 tahun (pelaku utama, eksekutor, perencana); Raden Rohmat 27 tahun (korban); Indah Mawarni 22 tahun (istri pelaku); Reno Wicaksono 40 tahun (rekan pelaku 1); Reynaldy Mulyadi 32 tahun (rekan pelaku 2); Mamat Supardi 30 tahun (rekan pelaku 3); dan Muhammad Wahid 26 tahun (rekan pelaku 4).

The appreciation of society placing a homosexual as something abnormal and immoral, also assumed as threatening ignominy. This research observed the homosexual phenomenon in Islamic Boarding School in Sumenep, that are traditional Islamic boarding house Al-Amanah and modern Islamic boarding houses An-Naqiyah. The research results was a Islamic boarding houses society who remained assumed that homosexual as sin, immoral, and disease, obviously different with their assumption toward a alaq dalaq in the Islamic boarding houses, that assumed that it was something usual and permitted to be done. It occurred in a line with the lessening of the kyai's authorities who are very tightly coherent in the society and Moslem students/santri (mass), both of the social, culture, economy, education, and religion, are in line with the mass who lack in acknowledgment and silent ness of the mass when they have an information of the kyai, that alaq dalaq behavior is a full of sin and prohibited.

Abstrak Tadisi Molang Are merupakan tradisi yang dilaksanakan pada hari lahir bayi yang ke 40. Tadisi Molang Are diyakini oleh masyarakat madura, khususnya masyarakat blumbungan, kecamatan larangan, kabupaten pamekasan karena berawal sejak kelahiran nabi Muhammad SAW. ketika beliau berumur 7 hari, paman nabi yaitu yaitu Abu Thalib membawanya mengelilingi Ka'bah menggunakan nampan. Hal itu dilakukannya sebagai bentuk rasa syukur atas lahirnya Rasulullah SAW. dan memberi tahu kabar gembira kepada para sanak famili dan tetangga di sekitarnya. Tradisi tersebut tetap ditiru oleh masyarakat sampai sekarang, meskipun hanya sekedar mengelilingi undangan karena ingin mendapat syafaat dari Nabi Muhammad SAW. dengan mengikuti cara saat kelahiran beliau. Beberapa objek yang merupakan sasaran dalam prosesi ini yaitu bayi, kereta kecil, gunting, kembang tujuh rupa, dan kambing. Dari beberapa objek tersebut sehingga membentuk prosesi-prosesi pelaksanaan yang diantaranya prosesi aqiqah, mengundang masyarakat setempat, membaca dan shalawat, bayi dibaa mengelilingi undangan, potong rambut, ditiup, undangan mencuci sebagian anggota tubuh dengan kembang tujuh rupa, menyemprotkan minyak pada undangan, penyelipan uang, bayi diletakkan di tengah-tengah undangan, doa dan penutup. Pada prosesi-prosesi mengandung makna pengharapan-pengaharapan baik kepada sang bayi. Mulai dari doa untuk keselamatan sang bayi, shalawat untuk mendapat syafaat dari Nabi Muhammad SAW. hingga ditutup kembali dengan pembacaan doa agar semua permintaan dan peng harapan dikabulakan oleh Allah SWT. Tradisi ini diaksanakan pada saat bayi berumur 40 hari karena agar sang ibu juga dapat mengiku pembacaan doa dengan sempurna karena sudah suci dari nifas. Tradisi ini dilaksanan karena agar mendapat syafaat dari nabi Muhammad SAW. dan juga merupakan bentuk rasa syukur kepada Allah SWT. Karena telah melimpahkan karuni terbesar yaitu seorang bayi. Tidak cuman hal itu tradisi ini lakukan karena merupakan tali silaturrahim dengan sanak famili dan masyarakat stempat, juga untuk membari tahu bahwa bertambahnya umat nabi Muhammad SAW. Dalam tradisi molang are terdapat beberapa perubahan diantaranya: 1. Dulu menggunakan cobik, namun sekarang sudah menggunakan kereta kecil 2. Pencipta wewangian yang awalnya menggunakan kemenyan 3. Pada pembacaan shalawat, sekarang agar lebih meriah menggunakan rebbana. Latar Belakang Kebudayaan daerah merupakan cerminan bagi kebudayaan nasional. Hal itu meupakan landasan utama untuk menunjukkan jati diri bangsa indonesia. Berbagai macam tradisi budaya yang dimiliki nusantara ini sangat beragam.Masyarakat adalah salah satu pencipta budaya, setiap masyarakat memiliki budaya yang berbeda. Sehinga denagn budaya, dapat membedakan antara masyarakat lainnya. Disetiap msyarakat yang berbudaya akan menampakkan ciri khas masing-masing yang berbeda, seperti Molang Are dari Desa Blumbungan Kecamaan Larangan Kabupaten Pamekasan Madura didalamnya terdapat ritual perayaan ketika bayi baru lahir yang bermur 40 hari. Selanjutnya, penulisan artikel ini dilakukan untuk mengetahui lebih jauh tentang tradisi yang ada di Desa Blumbungan yang salah satunya yaitu Molang Are. Dengan penulisan artikel ini, ingin mengurai tentang budaya Molang Are yang dilestarikan oleh masyarakat Blumbungan.

Kedatangan masyarakat Tionghoa ke Nusantara sudah berlangsung selama ribuan tahun lamanya dan hubungan antara Tiongkok dengan kerajaan-kerajaan Nusantara dicatat pertama kali dalam "Kronik Han". Dengan adanya catatan itu menunjukkan berlangsungnya arus migrasi baik dari Nusantara maupun dari Tiongkok.

Konstantinos Retsikas has written a comprehensive and complex book on several aspects of social life in Eastern Java. The book “Becoming” is based on ethnographic long-term research of almost ten years from the late 1990s onwards. The research took place in the town Probolinggo. Focusing on different social aspects that during a person’s life-time become relevant in most areas of Java and on the nearby island Madura. The title “Becoming” raises the expectation that the focus of the book is going to be on socialisation processes, which is not the case. Instead, it deals mainly with the second part of the title, with “understandings of the person”. It looks at communication norms during rituals as well as every-day communication in several bounded groups and differing social categories. By doing so, the author in fact writes an ethnography on social norms in the Javanese town Probolinggo.

PDRB provinsi Jawa Timur menduduki peringkat ke dua setelah DKI Jakarta dalam kontribusinya terhadap PDB Nasional yaitu mencapai 15,14 %. Namun, di daerah ini terdapat beberapa kabupaten yang memiliki pendapatan relatif kecil. Beberapa dari kabupaten tersebut yang menduduki beberapa posisi terendah berada di Pulau Madura. Oleh karenanya, penulis ingin meneliti kondisi perekonomian disana dengan menggunakan teori kutub pertumbuhan (growth pole theory).

Teori ini dikemukakan oleh Perroux pada tahun 1955, atas dasar pengamatan terhadap proses pembangunan. Perroux mengakui kenyataan bahwa pembangunan tidak terjadi dimana-mana secara serentak, tetapi muncul di tempat-tempat tertentu dengan intensitas yang berbeda. Tempat-tempat itulah yang dinamakan titik-titik dan kutub-kutub pertumbuhan. Dari titik-titik dan kutub-kutub pertumbuhan itulah pembangunan akan menyebar melalui berbagai saluran dan mempunyai akibat akhir yang berlainan pada perekonomian secara keseluruhan.

Berdasarkan teori tersebut, kami mencoba mengaplikasikannya ke dalam penelitian kami terhadap Pulau Madura. Berdasarkan PDRB dan PDRB perkapita, kami tentukan bahwa kutub pertumbuhan di Madura berada di Kabupaten Sumenep, karena daerah ini memiliki PDRB dan PDRB perkapita tertinggi diantara kabupaten lain di Madura.
Jenis data yang kami gunakan adalah data sekunder, yang bersumber dari data BPS, buku dan jurnal terkait subjek ekonomi pembangunan dan ekonomi regional, e-paper, e-news serta laporan resmi dari Pemerintah Kabupaten di Madura. Kemudian kami olah dengan pendekatan Analisis Gravitasi dan Analisis Location Quotient (LQ).

Hasil perhitungan menggunakan Analisis Gravitasi menunjukkan bahwa daerah yang memiliki keterkaitan paling kuat dengan Kabupaten Sumenep adalah Kabupaten Pamekasan. Hal ini berarti bahwa daerah yang harus dianalisis menggunakan LQ untuk menentukan sektor-sektor mana yang perlu dikembangkan guna memunculkan spread effect yang besar bagi Madura adalah 2 kabupaten ini.

Hasil perhitungan menggunakan Analisis LQ pada 2 kabupaten tersebut menunjukkan bahwa sektor yang menjadi basis di keduanya adalah sektor pertanian. Hal ini wajar mengingat karakteristik utama masyarakat Madura yang sangat agraris. Sedangkan sektor yang menjadi non-basis di keduanya adalah sektor perdagangan, hotel & restoran, dikarenakan letak keduanya yang berada di ujung Pulau Madura dan jauhnya dari Surabaya sebagai ibukota provinsi. Disamping, karena kurangnya pengembangan hal-hal yang dapat menjadi multiplier bagi sektor ini, seperti pariwisata.

Sektor yang menjadi basis di Kabupaten Sumenep namun menjadi non basis di Kabupaten Pamekasan yaitu sektor pertambangan & penggalian serta industri pengolahan. Adapun sektor yang menjadi basis di Kabupaten Pamekasan namun menjadi non-basis di Kabupaten Sumenep yaitu: listrik, gas & air bersih; konstruksi; keuangan, persewaan & jasa perusahaan; serta jasa. Dari kondisi tersebut, bisa memunculkan term of trade yang bersifat komplementer sehingga kedua kabupaten tersebut dapat memenuhi kebituhan masing-masing, yang sisanya bisa diekspor keluar daerah untuk pengembangan sektor tersebut.

Strategi yang perlu dilakukan untuk mengembangkan Pulau Madura berdasarkan analisis yang telah dilakukan adalah sebagai berikut: melakukan sinergisitas antar pemerintah kabupaten, terutama antara Sumenep dengan Pamekasan terkait program-program serta kegiatan-kegiatan pengembangan daerah, memperbaiki infrastruktur yang rusak seperti jalan provinsi Sumenep-Pamekasan dan pengembangan layanan jaringan listrik dan fasilitas kepariwisataan. Juga dengan menggencarkan promosi potensi daerah ke stakeholder di luar Madura guna menarik investor dan wisatawan.

Saran kami adalah agar terjadi sinergisitas antar pemerintah kabupaten di Madura, melakukan promosi yang lebih masif guna menarik investor dan wisatawan, serta benar-benar mengembangkan sektor-sektor potensial, terutama di Sumenep agar mampu menjadi penarik bagi daerah-daerah di sekitarnya.

Koleksi digital 30  cerita rakyat dalam 3 bahasa (lokal, Bahasa Indonesia,  Bahasa Inggris) dan format analisis bahasa.  Koleksi ini sangat baik sebagai muatan lokal bagi pengajaran karakter. Selain itu guru bahasa Inggris dapat memanfaatkan pula sebagai bahan bacaan yang asli dari bangsa Indonesia. koleksi ini sekaligus menambah koleksi cerita rakyat seluruh Indonesia maupun koleksi cerita rakyat dunia. Bagi peneliti bahasa (linguistics), form analisis bahasa sangat menarik dan membantu bagaimana kata-kata dirangakaikan menjadi kalimat.

This article examines the relationship between religion-politics and knowledge developed by the Kiai Tua and the Kiai Muda in Madura. The Kiai Tua, represented by Aliansi Ulama Madura (AUMA/The Alliance of Madurese Ulema), and the Kiai Muda, represented by Forum Kiai Muda (FKM/The Forum of Young Ulema), have actively propagated the idea of Islamism in Madura. Employing Foucault’s theory of power relations, this article finds that the relation of power and knowledge, which has been constructed by the AUMA, the FKM, and their organizational networks, seems to put Madura in a risk as this idea will bring about the intolerant and exclusive view. Their religious understanding and publicity have a militant and robust desire to make their ideological narratives, mainly the ideology of Islamic revival, along with the aspiration to establish a global Islamic leadership system, come into existence. This resistant attitude subsequently makes this ideology goes into an extreme, radical, and int...

Salah satu daerah di Jawa Timur yang paling menonjol dalam perhelatan
pemilu di Indonesia adalah Madura. Pulau yang memiliki 4 (empat) Kabupaten; Bangkalan, Sampang, Pamekasan, dan Sumenep tersebut dihubungkan dengan jembatan Suramadu dari akses Ibukota Provinsi yakni Kota Surabaya. Ada budaya lokal yang unik dan berbeda dari kabupaten/kota di Jawa Timur dalam pelaksanaan pemilu baik di pentas lokal maupun nasional. Hal ini dikarenakan adanya partisipasi dan pengaruh yang sangat kuat dari Kyai, Blater dan Klebun yang mendominasi dalam intervensi pemilih maupun dalam mobilisasi masyarakat untuk melakukan pelanggaran pemilu.

menghilangkan bekas stiker mobil murah ,menghilangkan bekas stiker mobil produk,menghilangkan bekas stiker mobil sabun ,menghilangkan bekas stiker mobil obat ,menghilangkan bekas stiker mobil cairan ,menghilangkan bekas stiker mobil yang bagus,menghilangkan bekas stiker mobil terjangkau ,menghilangkan bekas stiker mobil perawatan,menghilangkan bekas stiker mobil pembersih ,menghilangkan bekas stiker mobil penghilang

Tar Remover :menghapus noda aspal dan lem bekas stiker  mobil


Cara Pemakaian :
1. Semprotkan SG. Tar Remover ke noda aspal atau lem stiker.
2. kemudian lap dengan menggunakan lap microfiber

Catatan :
1. Gunakan SG. Tar Remover pada body mobil yang terkena noda aspal atau lem bekas stiker
2. Untuk noda lem stiker , setelah pemakaian disarankan untuk mencuci mobil dengan shampoo mobil


Berat : 300 gr
harga : 110.000

Pemesanan bisa grosir maupun eceran dan siap dikirim keseluruh wilayah di indonesia , Pemesanan Bisa WhatsApp/Sms : 089.696.376.996 ( Bpk Ulum ) atau kunjungi lapak kami di https://www.bukalapak.com/u/perawatanmobilterbagus

This paper focuses on two pilgrimage sites in eastern Madura, the supposed graves of Sheikh Yusuf Al-Maqassari and Prince Dipanagara. It contrasts the scholarly history of these two figures with the stories that have grown up around them in eastern Madura. The Madurese stories of the two figures have shown remarkable resilience in the face of radically different stories that draw their authority from modern scholarship and Indonesian nationalism. The "true" burial places of the two figures are in the city of Makassar, but their "alternative" graves in Madura are sites of vibrant stories that give expression to local history, local story-telling conventions, local nationalist aspirations and the authority of Islam. The vitality of the alternative graves with their alternative origin stories raises several interesting questions about the connection between sites of religious importance and the construction of local identity and history.

This article examines the relationship between religion-politics and knowledge developed by the Kiai Tua and the Kiai Muda in Madura. The Kiai Tua, represented by Aliansi Ulama Madura (AUMA/The Alliance of Madurese Ulema), and the Kiai Muda, represented by Forum Kiai Muda (FKM/The Forum of Young Ulema), have actively propagated the idea of Islamism in Madura. Employing Foucault’s theory of power relations, this article finds that the relation of power and knowledge, which has been constructed by the AUMA, the FKM, and their organizational networks, seems to put Madura in a risk as this idea will bring about the intolerant and exclusive view. Their religious understanding and publicity have a militant and robust desire to make their ideological narratives, mainly the ideology of Islamic revival, along with the aspiration to establish a global Islamic leadership system, come into existence. This resistant attitude subsequently makes this ideology goes into an extreme, radical, and int...

Penelitian ini menemukan bahwa ada tiga masalah pokok yang
mengemuka dalam pengembangan program pariwisata di Kabupaten
Sumenep. Tiga masalah pokok itu adalah masalah desain dan fokus
program pariwisata yang belum tertata secara baik (belum koheren dan
berbasis data), partisipasi yang belum maksimal, dan belum
mengemukanya pertimbangan keberpihakan pada kelompok masyarakat
kelas menengah ke bawah. Ada beberapa asas dan prinsip yang perlu
digarisbawahi dan dikemukakan yang kiranya dapat menjadi kerangka
etis bagi pengembangan program pariwisata di Kabupaten Sumenep.
Setidaknya ada tiga asas dan prinsip, yakni asas keberlanjutan, asas manfaat, adil dan merata, dan asas partisipatif

Madurese is one of many ethnic groups in the world that has unique characteristics, in terms of nature, nature, behavior, language, religion, belief, self-esteem, work ethic, social interaction, including parenting patterns in children. The pattern of parenting in Madurese children varies and has its own characteristics because of differences in the family background of the mother who plays a central role in the care of the child. There are several backgrounds of family / mothers in Madurese society thus affecting parenting patterns in children. First, the mother farmed. Second, mothers working outside the home. Third, mothers who wander. Patterns of parenting in children because of the diverse background is the first, the pattern of self-care, ie the child was taken while working so that children are taken care of while working. Second, the pattern of child care that is deposited by grandparents / relatives. Third, the nurturing pattern that is imposed on the older sister. Fourth, parenting pattern by babysitter. Fifth, self-care patterns by children.

Keywords: Indigenous, Ethnic Madurese, Patterns of Parenting

“Kompolan” adalah perkumpulan yang diisi dengan aktivitas spiritualitas dan perekonomian yang biasa dilakukan oleh masyarakat Madura. Kompolan yang ada di masyarakat Madura ini sebenarnya sudah berjalan dengan prinsip ekonomi syariah. Kompolan ini memang tidak menggunakan akad-akad yang sudah mempunyai fatwa dari DSN MUI, namun prinsip dan tujuannnya sebenarnya sama.

Pinjaman yang diberikan jika kita lihat dari fatwa DSN MUI maka akan masuk dalam akad Qardh. Dalam akad Qardh peminjam dilarang mengambil tambahan jika disyaratkan dalam pernjanjian akad.

Salah satu masalah utama yang dihadapi bahasa Madura menghadapi tantangan keterpinggirannya adalah masalah kelembagaan. Saat ini, kita menyaksikan nyaris tidak ada lembaga yang betul-betul ―hidup‖ di masyarakat yang memikirkan dan mengupayakan pelestarian khazanah bahasa Madura.
Pesantren pada dasarnya memiliki potensi yang besar untuk ikut terlibat dalam upaya pelestarian bahasa Madura. Kehidupan sehari-hari pesantren di Madura banyak menggunakan bahasa Madura sebagai bahasa pengantar. Selain itu, melalui pengajian kitab kuning dan pembelajaran di kelas, pembacaan syi‘ir-syi‘ir berbahasa Madura, penerjemahan kitab-kitab keislaman klasik ke dalam bahasa Madura, pesantren menunjukkan sumbangannya pada pelestarian bahasa Madura.
Namun demikian, transformasi kelembagaan yang dialami sebagian besar pesantren di Madura ternyata juga berdampak pada terkikisnya penggunaan bahasa Madura dalam dunia seharihari pesantren.  emunculan dan semakin kukuhnya sistem pendidikan (sekolah) formal di lingkungan pesantren pada satu sisi telah melemahkan peran pesantren dalam melestarikan bahasa Madura. Saat ini, pengajian kitab kuning di pesantren yang masih menggunakan bahasa Madura sebagai pengantarnya sudah semakin jarang.
Pesantren yang masih cenderung menggunakan bahasa Madura justru banyak ditemukan pada pesantren-pesantren dengan jumlah santri yang relatif sedikit dan atau belum mengadopsi sistem pendidikan formal yang kuat. Situasi ini di satu sisi menjadi dilematis, karena pesantren seperti ini relatif lebih sulit untuk dijangkau oleh instansi pemerintah yang berperan melestarikan bahasa ibu.
Meski demikian, melihat potensi kultural dan rekam jejak pesantren dalam melestarikan bahasa Madura, kiranya sangat penting untuk merevitalisasi lembaga pendidikan yang telah berusia ratusan tahun ini untuk tetap berkontribusi bagi pelestarian khazanah bahasa Madura. Tentu saja ini membutuhkan dukungan dari berbagai pihak, termasuk lembaga pendidikan dan kebudayaan yang ada di Madura.