USUL FIKIH DAN UPAYA REORIENTASI FIKIH INDONESIA
Munawir Haris
Jurusan Syariah Sekolah Tinggi Agama Islam (STAIN) Sorong
Klamono KM.17, Jl. Sorong-Aimas, Klablim, Sorong Timur, Kota Sorong, Papua Barat 98414
Email:
[email protected]
Abstract: In classical fiqh which is based on the classic Proposal of Jurisprudence, it is often considered outdated and
has no effectiveness in dealing with new problems. This paper tries to provide a description of substantive clarification
between sharia and fiqh, which is the area of proposal (sharia) and which branch area (fiqh ) Then the discussion continued
with its urgency through a hermeneutic approach in carrying out Indonesian local jurisprudence. The Qur’anic texts are
fixed, God’s laws also do not change and do not change. He never subsided from time to time and from society to other
communities. Therefore, changes and changes are only about efforts to adjust and apply the laws of God to the conditions
of society and the situation of the times. In other words, fiqh is essentially the result of efforts to harmonize the Shari’a
with the conditions of the society and its era. Especially in the Indonesian context, fiqh must also be adapted to the
socio-cultural conditions of the Indonesian people known as Indonesian Islamic Jurisprudence or Nusantara Islamic
Jurisprudence.
Keywords: Methodology in Islamic Jurisprudence, Islamic Jurisprudence, Indonesia
Abstrak: Dalam fikih klasik yang didasarkan pada Usul Fikih klasik, sering dianggap ketinggalan zaman dan tidak memiliki
efektivitas dalam menangani masalah-masalah baru, Tulisan ini mencoba memberikan uraian klarifikasi secara substantif
antara syariah dan fikih, mana wilayah usul (syariah) dan mana wilayah cabang (fikih). Kemudian pembahasan dilanjutkan
dengan urgensinya melalui pendekatan hermeneutik dalam menjalankan fikih lokal Indonesia. Teks-teks Alquran adalah tetap,
hukum-hukum Allah juga tidak berubah dan tidak berganti. Ia tidak pernah surut dari masa ke masa dan dari masyarakat
ke masyarakat lainnya. Oleh sebab itu, perubahan dan pergantian hanyalah mengenai upaya penyesuaian dan penerapan
hukum-hukum Allah tersebut dengan kondisi masyarakat dan situasi zaman. Dengan kata lain, fikih pada hakekatnya
merupakan hasil usaha penyelarasan syariat dengan kondisi mayarakat dan zamannya. Khusus konteks Indonesia, fikih juga
harus disesuaikan dengan kondisi sosio-kultural bangsa Indonesia yang dikenal dengan istilah Fikih Indonesia atau Fikih
Nusantara.
Kata kunci: Usul Fikih, Fikih, Indonesia
Pendahuluan
Pada zaman Nabi hidup, bibit konflik antara
sekelompok ahl al-naqli dan ahl al-aqly sudah ada
di kalangan para sahabat dengan sepengetahuan
nabi. Setelah nabi wafat, dilakukan upaya teoritisasi
hukum abad ke-2 Hijriah. Saat itu, konflik sangat
nyata telihat. Hal ini tampak dari adanya dua
orinteasi utama dalam pemikiran hukum Islam,
yaitu ahl-hadits (kelompok yang lebih mengutamakan hadis) dan ahl al-ra’y (kelompok yang
lebih mengutamakan penalaran rasional). Usul
Fikih terlibat dalam menghadapi problem klasik
ini, melerai konflik antara wahyu dan akal.
MIZANI: Wacana Hukum, Ekonomi dan Keagamaan
Volume 5, No. 1, 2018
Jika disepakati Imam Syafi’i adalah Bapak
Usul Fikih dengan kitab Risalah-nya, maka
munculnya ilmu ini dan pengarangnya boleh
jadi sebagai latar belakang munculnya Usul Fikih
itu sendiri.1 Maka dari segi ini, Usul Fikih lahir
dengan misi regulasi. Hadirnya imam Syafi’i
menandai babak baru dalam kancah pemikiran
hukum Islam, orang mestilah menguasai teori
untuk menjadi seorang Faqih. Sejak itu, prasyarat
1
Hasil penelitian tentang pernikiran hukum sebelum Imam
Syafi’i bisa dibaca pada Ahmad Hasan, Pintu Ijtihad Sebelum
Tertutup, Terj. Agah Garnadi (Bandung: Pustaka, 1994), h. 117.
Contoh kasus-kasus keputusan hukum yang dikecam sebagai
tidak konsisten oleh Syafi’i banyak ditampilkan.
19 |
Munawir Haris
penguasaan teori hukum untuk mendapatkan
hukum dari dalilnya menjadi aturan main yang
baku.2 Dalam hal ini, Usul Fikih menguraikan
dalil-dalil, metode deduksi hukum-hukum fikih
dari sumbernya. Fikih adalah produk akhir dari
Usul Fikih, namun keduanya merupakan bidang
yang berbeda dan berdiri sendiri.3
Secara umum, tujuan diciptakan syariat
Islam adalah terwujudnya suatu kemaslahatan
di tengah-tengah masyarakat dengan baik, tidak
mengenal batasan ruang dan waktu.4 Dalam
konteks Indonesia, fikih yang dipahami oleh
mayoritas umat adalah syariah. Padahal, keduanya
sangat berbeda, ibarat cabang dan asal. Dari
sini, maka dianggap wajar adanya gagasan fikih
mazhab nasional5 atau fikih Indonesia6 walaupun
pada mulanya terjadi reaksi dari pihak-pihak
yang menentangnya.7 Untuk itu, diperlukan
kajian serius terhadap persoalan syariah untuk
melahirkan fikih nuansa baru dewasa ini,
sehingga tidak tercabut dari akar kultur budaya
dimana konsumen fikih (masyarakat) berada.
Perlunya langkah berani dari para akademisi
untuk melakukan terobosan baru, sehingga fikih
dan syariah selalu dinamis sesuai dengan konteks
2
Kecuali Mazhab Hanafi berbeda dari tradisi yang diterapkan
oleh Syafi’i dan para penggemarnya. Untuk lebih juah tentang
hal itu lihat: lmran Ahsan Khari Nyazee, Theories of Islamic
Law: The Methodology of ljtihad (lslamabad: The lntemational
lnstitute of lslamic Thought, 1994), h. 30.
3
Dalam kacamata usul fiqh hukum selalu memiliki sumber
dan memahami sumber-sumber itu mesti dengan kualifikasi
penguasaan terhadap kaidah-kaidah deduksi dan interpretisi.
Kalau nash al-Qur’an dan Sunnah tidak dipahami secara tepat,
maka tidak ada hukum yang bisa dideduksi darinya, terutama
jika nash itu bukan merupakan dalil yang berdiri sendiri.
4
Imam Sythibi sebagai Bapak Maqashid al-Syari’ah Pertama
sekaligus sekilas tentang Maqashid al-Syari’ah versi Syathibi.
mencoba menggabungkan teori-teori (nadhariyyat) Ushul Fiqh
dengan konsep Maqashid al-Syari’ah, sehingga produk hukum
yang dihasilkan lebih hidup dan lebih kontekstual. Musthafa
Said al-Khin, al-Kafi al-Wafi fi Ushul al-Fiqh al-Islamy, Beirut:
Muassasah risalah, 2000, h. 8. Lihat juga Abu Ishaq al-Syathibiy,
al-Muwafaqat Fi Ushul al-Syari’ah, Juz II, Tahqiq Abdullah
Daraz (Beirut: Dar al-Kutub al-Ilmiyyah, t.th), h. 3-7
5
Hazairin, Tujuh Serangkai tentang Hukum, (Jakart:
Tintamas, 1974), h. 115
6
Hasbi As-Shiddiqiy, Syari’at Islam Menjawab Tantangan
Zaman, (Jakarta: Bulal Bintang, 1966), h. 43
7
Dalam hal ini diwakili oleh Ali Yafie dan Ibrahim Hosen.
Lihat Ali Yafie, “Matarantai Yang Hilang”, Pesantren, No. 2 Vol.
II 1985, h. 30. Lihat pula Ibrahim Hosen, “Pemerintah sebagai
Mazhab”, Pesantren, No. 2 Vol. II 1985, h. 45-46.
| 20
dan relevansi masyrakat setempat dengan tetap
menjunjung tinggi nilai dan spirit Alquran dan
hadis sebagai induk dari peradaban Islam.
Tulisan ini mencoba memberikan uraian
klarifikasi secara substantif antara syariah dan
fikih, mana wilayah usul (syariah) dan mana
wilayah cabang (fikih). Kemudian pembahasan
dilanjutkan dengan urgensinya melalui
pendekatan hermeneutik dalam menjalankan
fikih lokal Indonesia. Kemudian dari sana dapat
dipahami keberanian tokoh-tokoh Nasional
melakukan upaya reorientasi fikih Indonesia/
fikih Nusantara untuk mencari kemaslahatan
umat. Tulisan ini diakhiri dengan kesimpulan
sebagai sebuah refleksi.
Syariah dan Fikih
Dalam realitasnya, fikih yang dihasilkan
para ulama merupakan hasil pemahaman dan
interpretasi para ulama terhadap hukam syariah
(aturan-aturan partikular dalam Alquran) dan
bukan terhadap syariah (nilai universal, manhaj
dan metode Alquran sebagai landasan dalam
menetapkan hukum) itu sendiri. Dalam arti
bahwa yang menjadi fokus kajian para ulama
adalah teks-teks yang berkaitan dengan aturan
dan kaidah hukum yang bersifat partikular dalam
Alquran dan hadis, dan seringkali mengabaikan
manhaj dan metode yang digunakan syariah
dalam menetapkan kaidah dan aturan hukum
tersebut. Padahal, sebagaimana dikemukakan
dalam QS. Al-Jatsiyah (45) ayat 1-8, Alquran
secara eksplisit memerintahkan untuk mengikuti
syariah sementara al-ahkam al-syari`ah harus
dipahami sebagai implementasi partikular dari
syariah yang ditetapkan maksud, tujuan, dan
konteks ketika diturunkannya.8
8
Di samping itu, pemahaman dan interpretasi ulama
terhadap Ahkam Asyariah yang berupa fiqh tersebut, baik sadar
maupun tidak, dipengaruhi oleh kondisi sosial budaya tempat
ulama tersebut hidup. Bahkan sungguhnya hasil pemahaman
dan interpretasi ulama tersebut dapat dikatakan sebagai respon
terhadap budaya dan kebiasaan masyarakat yang dihadapi.
Pengertian ini memunjukkan bahwa fiqh merupakan produk
pemikiran ulama (faqih) yang bersifat temporal, lokal, dan
kontekstual yang diderivasi dan disimpulkan dari syariah dan
al-Ahkamu Asyariah. Lokalitas dan kontekstualitas pada dasarya
merupakan sifat dasar dari fiqh, dan ini yang membedakannya
dengan syariah yang berasal dari Allah dan Rasul-Nya yang
MIZANI: Wacana Hukum, Ekonomi dan Keagamaan
Volume 5, No. 1, 2018
Usul Fikih dan Upaya Reorientasi Fikih Indonesia
Syariat Islam dengan kedua sumber pokoknya
Alquran dan sunah dengan demikian tidaklah
lahir dalam masyarakat yang tanpa kultural, di
samping sebagai konsep Ilahi yang mengajarkan
tentang kebenaran, sekaligus menjadi pedoman
hidup manusia dalam segala aspeknya. Antara
syariah dan fikih bukan saja berbeda dalam arti
harfiahnya, tetapi juga berbeda secara terminologis
dan substansialnya.9 Secara harfiyah, kata syariah
berarti jalan menuju tempat mata air, atau
tempat yang dilalui air sungai. Penggunaannya
dalam Alquran diartikan sebagai jalan lurus
yang membawa kemenangan. Sedangkan dalam
terminologi ulama ushul fikih, syariah adalah
titah (kitab) Allah Swt yang berhubungan dengan
perbuatan orang-orang mukallaf (muslim, baligh
dan sehat akal), baik berupa tuntutan, ketetapan
atau pilihan (sebab, syarat dan penghalang).10
Mahmud Syaltut dalam bukunya al-Islam
’Aqidah wa Syari’ah memberikan definisi syariah
dengan peraturan yang diturunkan Allah Swt
kepada umat manusia agar dijadikan sebagai
pedoman dalam berhubungan dengan Tuhannya,
dengan sesamanya, dengan lingkungannya dan
dengan kehidupan.11 Syariah meliputi semua
aspek ajaran Islam yakni: aqidah, ibadah,
muamalah dan akhlaq12.
Sementara fikih dalam istilah Indonesia disebut dengan “Fikih”, “Fikih” atau “Fekih”13 secara
etimologis bisa diartikan dengan paham atau
pengertian,14 mengetahui sesuatu, memahaminya
sampai pada hal yang sangat dalam.15 Sedangkan
dalam pengertian terminologis, fikih adalah hukumdiyakini bersifat universal.
9
Mun’im A. Sirry, Sejarah Fiqh Islam sebuah Pengantar
(Surabaya: Risalah Gusti, 1995/1416), h. 17
10
Abd. Wahhab Khallaf, ’Ilm Ushul al-Fiqh (Kuwait: Dar
al-Qalam, 1978/1398), h. 100. Lihat pula Badran Abu al-“Ayn
Badran, Ushul al-Fiqh al-Islamiy (Iskandariyah: Muassasah alSaqafat al-Jami’iyyah, t.th.), h. 26
11
Mahmud Syaltut, al-Islam ‘Aqidah wa Syari’ah (Mesir: Dar
al-Qalam, 1966), h. 12
12
Ahmad Rafiq, Hukum Islam di Indonesia (Jakarta: Raja
Grafindo Persada, 1995), h. 4
13
Istilah-istilah tersebut dapat dilihat pada Mohammad
Daud Ali, Hukum Islam, Pengantar Ilmu Hukum dan Tata
Hukum Islam di Indonesia (Jakarta: Raja Grafindo Persada,
1993), h. 43
14
Lihat antara lain: Q.S. al-Taubah (9): 122; al-Kahfi (18);
57; al-Isra (17): 16; al-An’am (6): 25.
15
Badran Abu al-“Ayn Badran, Ushul al-Fiqh al-Islamiy..., h. 23
MIZANI: Wacana Hukum, Ekonomi dan Keagamaan
Volume 5, No. 1, 2018
hukum syara’ yang bersifat praktis (amaliyah)
yang diperoleh berdasarkan dalil-dalil yang rinci
(tafshiliy).16 Sementara Hasbi As-Shiddiqi memberikan rumusan bahwa fikih adalah koleksi hukum
Islam dalam berbagai mazhab, termasuk yang di
luar mazhab empat (Syafi’i, Hambali, Hanafi dan
Maliki), fatwa sahabat, tabi’in dan tabi’ut tabi’in
yang diperoleh berdasarkan hasil ijtihad.17
Sebenarnya antara syariah dan fikih mempunyai hubungan yang erat, sebab fikih adalah
formula yang dipahami dari syariah. Demikian
pula syariah tidak bisa dijalankan dengan baik,
tanpa dipahami melalui fikih atau pemahaman
yang memadai dan diformulasikan secara baku.
Fikih sebagai hasil usaha mamahami, sangat
dipengaruhi oleh tuntutan ruang dan waktu yang
melibatkan Fukaha yang memformulasikannya.
Karena itulah, sangat wajar jika kemudian ada
perbedaan dalam rumusan mereka: ada fikih
Syafi’i, Maliki, Hanafi dan Hambali, bukan
syariah Syafi’i, Maliki, Hanafi, Hambali atau pun
mazhab yang lain.18
Sebagaimana diketahui, syariah sebagai hukum
yang ditetapkan Allah, baik yang terekam dalam
Alquran maupun hadis sebagian besar bersifat
global dan berbentuk pedoman. Dalam pengertian
seperti ini, syariah adalah hukum in abstracto,
sedangkan fikih merupakan hukum terapan hasil
pemahaman yang mendalam dari sumbernya, dan
dikatakan sebagai hukum in concreto.19
Perbedaan antara syariah dan fikih dapat
diformulasikan secara rinci sebagai berikut:
1. Syariah mempunyai ruang lingkup yang luas,
meliputi segala aspek kehidupan manusia;
sementara fikih hanya menyangkut halhal yang pada umumnya dipahami sebagai
aturan-aturan hukum semata.
2. Syariah ditetapkan oleh Allah dengan wahyu,
sedangkan fikih ditetapkan oleh manusia
(mujtahid) melalui ijtihad.
3. Syariah bersifat sempurna dan tidak berubah,
16
‘Abd. Wahhab, ’Ilm Ushul al-Fiqh..., h. 11
Hasbi As Shiddiqi, Pengantar Ilmu Perbandingan Mazhab
(Jakarta: Bulan Bintang, 1975), h. 23
18
Ahmad Rafiq, Hukum Islam di Indonesia..., h. 5
19
Ahmad Rafiq, Hukum Islam di Indonesia..., h. 237
17
21 |
Munawir Haris
sedangkan fikih terus berkembang dan
berubah sesuai dengan perbedaan tempat,
waktu, dan orang yang memahaminya.
4. Syariah bersifat umum dan universal, sedangkan fikih bersifat lokal.
5. Ketentuan syariah menjadi kaharusan bagi
manusia untuk malaksanakan atau meninggalkan tanpa mengenal batas ruang dan
waktu. Setiap orang yang memenuhi syarat
untuk melaksanakan suatu perintah, maka
harus melakukannya. Sedangkan fikih yang
dipahamai seseorang tidak menjadi keharusan
bagi orang lain untuk mengikutinya.
6. Syariah mempunyai kebenaran yang mutlak,
sementara fikih karena dihasilkan dari
produk ijtihad, maka terdapat kemungkinan
terjadi kesalahan.20
Dari sini dapat diberikan suatu kesimpulan
bahwa syariah Islam adalah satu dan tidak
berubah-ubah. Hukum-hukum Allah dan teksteks Alquran adalah tetap, tidak berubah dan tidak
berganti. Ia tidak pernah surut dari masa ke masa
dan dari masyarakat ke masyarakat lainnya. Oleh
sebab itu, perubahan dan pergantian hanyalah
mengenai upaya penyesuaian dan penerapan
hukum-hukum Allah tersebut dengan kondisi
masyarakat dan situasi zaman. Dengan kata lain,
fikih pada hakekatnya merupakan hasil usaha
penyelarasan syariat dengan kondisi mayarakat
dan zamannya. Khusus konteks Indonesia, fikih
juga harus disesuaikan dengan kondisi sosiokultural bangsa Indonesia yang dikenal dengan
istilah “Fikih Indonesia atau Fikih Nusantara”
sebagaimana akan dijelaskan pada pembahasan
berikutnya.
Hermeneutik
Syariah
dan
Implikasinya Terhadap
Teori ilmu pengetahuan berputar pada subjek
ke objek, objek ke subjek, dan kembali pada
20
Perbedaan Syari’ah dan Fiqh tersebut adalah pendapat
Umar Sulaiman dalam kitab Tarikh al-Fiqh al-Islamiy yang
dikutip oleh Mun’im A. Sirry, pada buku yang sama pada
halaman. 17-18. Bandingkan dengan S. Waqar Ahmad Husaini,
Sistem Pembinaan Masyarakat Islam (Bandung: Pustaka Salman
ITB, 1983/1403), h. 76-79.
| 22
subjek-objek.21 Hermeneutik yang dibangun
oleh Otto Apel misalnya, secara metodologis
merenovasi kembali peranan subjek sebagai
sang penafsir atas objeknya. Dimana penafsiran
terhadap sesuatu objek misalnya, dihasilkan melalui proses komunikasi intersubyektif sebagai
suatu syarat dasar bagi pemahaman yang oleh
Apel disebut dengan hermeneutik kritis. 22 Dalam
dunia antropologis pengetahuan, Otto Apel
memberikan “prinsip regulatif”, yaitu prinsip
pemikiran yang selalu berupaya perbaikan dan
penyempurnaan seiring dengan perubahan ruang
dan waktu. Prinsip ini akan memberikan ruang
emansipatoris membentuk masyarakat yang bebas
dengan memperkenalkan konsep komunikatif.
Hermeneutik kritis membentuk kondisi progress
possibility bagi kehidupan beragama manusia.
Hermeneutik kritis merupakan upaya kombinasi
epistimologi Amerika dengan epistimologi Jerman,
yaitu epistimologi miliorisme oleh pemikiran
21
Pada abad pertengagan yang laris dibicarakan dengan
penekanan obyek. Antitesis kemudian muncul rasionalisme
modern dengan aksentuasi kutub subyek. Kemudian muncul teori.
22
Teori kritis merupakan ideologi eksritik (Kritik Ideologi),
yaitu suatu refleksi-diri untuk membebaskan pengetahuan
manusia bila pengetahuan itu terjerumus dan membeku baik
transendental maupun empiris. Teori kritis sebagai suatu
metodologi yang berisi di dalam ketegangan dialektis antara filsafat
dan ilmu social. Bagi Apel menggunakan istilah kritik ideologi
dan kritik ilmu pengetahuan. Apel mengkritik epistimologi
neopositivistik dengan menggunakan term “erklären” (ekplanasi)
dan “verstehen”(pemahaman). Erklären merupakan dasar
pemahaman bagi ilmu-ilmu alam, sedangkan verstehen menjadi
dasar bagi ilmu-ilmu budaya (humaniora). Apel membedakan
istilah kedua di atas dengan pendekatan kritik ideologi.
Aple mendukung kritik ilmu pengetahuan, berdasarkan
pandangan Habermas tentang teori kepentingan-kepentingan
kognitif. Menurut Apel bahwa kritik ilmu pengetahuan
merupakan sumbangan pertatutan teori dan praksis dalam
masyarakat. Menurut Apel menganggap teori itu telah berhasil
menunjukan kesalah pahaman dari positivisme logis yang
merasa yakin dapat mempersatuakan ilmu-ilmu di bawah satu
metodologi, yaitu metodologi empiris-analitis ilmu-ilmu tentang
alam. Aspek praksis pemikiran Apel adalah sebagai berikut:
1) Mediation of Various traditions. 2) Co-understanding, 3)
Consensus 4) One Common joint history. Lihat Lihat F. Budi
Hardiman, Kritik Idiologi: Menyingkap Kepentingan Pengetahuan
Bersama Jürgen Habermas (Yogyakarta: Buku Baik, 2004), H.
324-325. Lihat juga Moh. Dahlan, “Pemikiran Hermeneutik
Karl Otto Apel: Dari Teoritis Menuju Praktis”, dalam Nafisul
Atho’-Arif Fahrudin, Hermeneutik Transendental: Dari Konfigurasi
Filosofis menuju Prakziz Islamic studies (Yogyakarta: IRCiSoD,
2003), h. 183. Lihat juga Lihat juga Franz Magis-Suseno, Filsafat
sebagai Ilmu Kritis (Yogyakarta: Kanisisu, 1992), h. 46-48.
MIZANI: Wacana Hukum, Ekonomi dan Keagamaan
Volume 5, No. 1, 2018
Usul Fikih dan Upaya Reorientasi Fikih Indonesia
James.23 Dimana asumsi manusia berada dalam tak
keberdayaannya, sehingga berusaha membangun
pragmatisme lewat studi yang berkenaan dengan
psikologi dan kebutuhan vital manusia. Dalam
hal ini, filsafat pragmatisme lebih mementingkan
aspek manfaat ke depan, akibat-akibat, dan hasil
praksis filsafat. Kemudian epistimologi from life
menempatkan bahasa pada tempat yang sesuai
dengan konteksnya.
Namun demikian, kalau ditarik ke wilayah
fikih dewasa ini, tidak bisa dipungkiri bahwa
meminjam istilah Gidden, dunia ini dan saat
ini berjalan sebagaimana mahluk Juggernaut
(truk besar), sebuah dunia yang berjalan tanpa
kendali (the runway world), menerjang apa saja
di depannya. Orang hanya bisa pasrah dan berdoa, memohon keselamatan agar tidak ikut
diterjang. Efek dari paradigma otoritatif yang
subjektif melahirkan interpretatif stereotipe.
Satu pihak masih adanya truth claim, itu dapat
dilihat misalnya seperti kejadian pengkafiran,
fatwa hukuman mati terhadap Ulil Abshar
Abdalla, dalam tulisannya di harian Kompas.24
Demikian pula Nashr Hamid Abu Zayd, dengan
dua bukunya, Al-Imam al-Syafi’i dan Naqd AlKhithab al-Dini,25 kasus Taslima Nasrin berkat
novelnya berjudul Lajja,26 dan masih banyak
23
James mengkritik pragmatik Peirce, dengan mengarahkan
tidak menyukai pragmatik Peirce. Ia menyamaratakan doktrin
Peirce untuk meliputi semua konsep, kepercayaan, dan
tindakan; ia juga menerapkan seorang yang pragmatis gagasan
ke kebenaran seperti halnya ke maksud/arti. James, tertarik
akan terungkap bagaimana sistem kesusilaan, agama, dan
iman bisa dipertahankan di dalam suatu peradaban ilmiah.
Ia berargumentasi bahwa perasaan, seperti halnya logika,
adalah rumit ke rasionalitas dan isu-isu kehidupan-moral yang
agung dan kepercayaan religius, contoh lompatan-lompatan
iman. Sedemikian, mereka tergantung pada apa yang ia sebut
“kehendak untuk percaya” dan tidak melulu pada bukti
ilmiah, yang mana tidak pernah dapat menceritakan kami,
harus berbuat apa atau apa yang bermanfaat. James Kritikus
membebankan dengan relativism (kepercayaan yang menilai
tergantung pada situasi spesifik) dan dengan kelayakan sangat
bodoh untuk pengusulan bahwa jika suatu tindakan atau
gagasan berhasil/bekerja halal orang berniat, harus benar. Tetapi
James dapat dengan teliti diuraikan sebagai seorang pluralis yang
percaya dunia yang kompleks untuk tiap orang filosofi untuk
menjelaskan segalanya.
24
Ulil Abshar-Abdalla, “Menyegarkan Kembali Pemahaman
Islam”, Kompas, 18 November 2002.
25
Moch. Nur Ichwan, Meretas Kesarjanaan Al-Quran: Teori
Hermeneutika Nasr Abu Zayd (Bandung: Teraju, 2003), h. 22-26.
26
Novel ini berkisah tentang “13 hari kehidupan keluarga
MIZANI: Wacana Hukum, Ekonomi dan Keagamaan
Volume 5, No. 1, 2018
lagi kejadian-kejadian serupa. Inilah problem
internal umat Islam yang sangat konservatif
dengan hal-hal baru di dalam wacana Islam.
Kejadian semacam itu, pada dasarnya disebabkan oleh sikap yang tekstualis-paradigmatis
terhadap kitab suci,27 tafsir terhadap fikih klasik
yang apa adanya, sehingga “takut” mengikuti
perubahan-perubahan zaman seiring dengan
kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi,
yang selalu melahirkan “kerumitan-kerumitan
baru”. Ziauddin Zardar dalam bukunya, Islam,
Postmodernism and Other Future, menyatakan
bahwa tafsir semacam itu adalah “penjelasan
orang-orang yang malas untuk berpikir secara
otokritik”.28
Langkah awal yang mesti diperbuat adalah
“berani untuk melakukan penelaahan yang
kritis dan rasional atas segenap warisan-warisan
otoritatif masa silam, termasuk fikih lokal di
mana umat hidup.29 Dengan demikian, umat
Islam mestinya harus mulai “berani untuk
berhenti mencari legitimasi otoritas agama
maupun “teks-teks yang dianggap suci” untuk
membangun konfigurasi intelektual”.30 Jadi,
yang perlu dilakukan, seperti ungkatan Thomas
Khun, ‘pergeseran paradigma’ (shifting paradigm)
dari otoritatif-dogmatis, ke arah paradigma
komunikatif-dialektik, antara gagasan dipertautkan dan diolah untuk menggagas nilai-nilai
universal untuk dapat “diobjektifkan”, dan
proses itu diandaikan akan terus berlanjut dalam
suasana “bebas dari paksaan”.
Sebagai contoh, dahulu trend kontroversi
istilah bayi tabung (kloning) karena proses
pembuatannya tidak dalam rahim manusia.
Di mana seorang perempuan sebagai dokter
Hindu yang diteror dan dikecam ketakutan oleh kaum
fundamentalis di Banglades yang ingin membalas pembakaran
Masjid Babri di Ayodhya, India, oleh fundametalisme Hindu”.
Lihat Umi Kulsum, “Ketika Agama Menjadi Topeng Kekerasan”
dan “Taslima Nasrin: Perjuang Anti-Komunalisme”, Kompas, 19
Juni 2004, h. 58.
27
Ulil Abshar-Abdalla, “Menghindari Bibliolatri: Tentang
Pentingnya Menyegarkan Kembali Pemahaman Islam”, Teks
Ceramah di Paramadina, 8 Februari 2003.
28
Pernyataan itu dikutip dari Airlangga Pribadi dalam
“Melampaui Nalar Sakralisasi Agama”, Jawa Pos, 27 Juni 2004, h. 4.
29
Airlangga Pribadi, “Melampaui Nalar…”, h. 4
30
Airlangga Pribadi, “Melampaui Nalar…”, h. 4.
23 |
Munawir Haris
mempunyai anak yang divonis gagal kehamilan,
yang mengancam kehidupan anaknya, kemudian ibunya sebagai dokter membuat keputusan bahwa ovum dan sperma dimasukkan
ke dalam rahimnya sampai bayi itu lahir. Kasus
ini yang menjadi sebuah tantangan umat Islam
untuk membentuk masyarakat yang maju sesuai
perkembangan teknologi.
Begitu juga memahami keberagamaan
(fikih termasuk di dalamnya) meminjam
istilah M. Amin Abdullah harus ditempatkan
secara seimbang antara pendekatan normatif
dan historis. Maka dibutuhkan kreativitas dan
inovasi secara konsisten. Kritik atau dialog
dalam studi agama merupakan jalan lain untuk
menemukan pemahaman yang kompleks baik
individu maupun kelompok terhadap tradisi
teks keagamaan. Hal ini membentuk masyarakat
yang komunikatif yang mengedepankan etikadialogis sebagai dasar paksis dalam membaca
intersubjektif keberagamaan manusia.31
Dengan demikian, prosess posibiliy dalam
tradisi hermenuetika kritis perlu terus dihadapkan dengan syariah untuk menghasilkan fikih
dengan paradigma baru. Kalau hanya menyerah
dan menerima apa adanya, maka nilai-nilai
universal syariah bisa tergusur dan terciutkan
oleh angin globalisasi dan teknologi yang tidak
mengenal ampun, seperti perumpamaan Gidden
di atas. Nilai-nilai fikih lokal dengan demikian
diharuskan tumbuh di setiap negara, tak terkecuali
Indonesia yang mayoritas beragama Islam.
Reorientasi Fikih Indonesia
Agaknya sudah menjadi kesepakatan di
kalangan pemikir kontemporer bahwa perubahan sosial tidak hanya mengubah fikih
dalam pengertian furu’ (cabang cari syariah),
tetapi juga menimpa pada tataran usul (inti
agama). Seiring perubahan sosial demikian
besarnya yang mempengaruhi konsep dan
lembaga hukum sehingga dibutuhkan filsfat
hukum sekaligus antropologi hukum.32
31
M. Amin Abdullah, Studi Agama: Normativitas atau
Historisitas?, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 1996), h. vi-vii.
32
Muhammad Khalid Masud, Islamic Legal Philosophy:
| 24
Sebagaimana telah disinggung dalam pendahuluan, sebenarnya ide tentang “Fikih Nasional/
Fikih Indonesia” dimunculkan oleh Prof. Hazairin
(guru besar hukum Islam dan hukum adat
Universitas Indonesia) dan Prof. Hasbi As Shiddiqi
(guru besar Ilmu Syariah) IAIN Sunan Kalijaga
Yogyakarta yang sekarang berubah menjadi UIN.
Meskipun konsep yang diajukan dua guru besar
itu tampil sendiri-sendiri, tetapi tidak terlepas dari
kerangka pembaruan yang selalu didengungkan
dan diinginkan di Indonesia.
Pada tahun lima puluhan, Hazairin menggulirkan idenya tentang fikih mazhab nasional
dalam lapangan yang langsung mempunyai
kepentingan kemasyarakatan. Secara garis besar,
inti dari gagasan beliau adalah sebagai berikut:
1. Perlunya memberikan corak kenasionalan
bagi perkembangan hukum Islam di
Indonesia, dengan merangkumnya dalam
suatu mazhab nasional guna menonjolkan
hal-hal yang sifatnya spesifik.
2. Dalam rangka memberikan identitas Nasional
terhadap hukum Islam Indonesia, diadakan
pembedaan dalam dua bidang:
- Hukum Islam yang berkaitan dengan
ibadah;
- Hukum Islam yang berkaitan dengan
kemasyarakatan
3. Mazhab Syafi’i tetap dipertahankan dalam
bidang ibadah, sedangkan bidang kemasyarakatan didirikan mazhab Nasional.
4. Untuk membentuk mazhab Nasional
diperlukan lahirnya mujtahid-mujtahid baru
yang bercorak nasional untuk melakukan
ijtihad/penerapan hukum Islam yang sesuai
dengan situasi dan kondisi di Indonesia.33
Gagasan tersebut dipertajam lagi oleh Hasbi
sekitar tahun enam puluhan. Beliau menyatakan
perlunya membina fikih yang berkepribadian
A Stud Of Abu Ishaq Al-Shatib’s Life And Thouth, (Delhi:
Internasional Islamic Publishers, 1989), h. 1.
33
Syamsul Wahidin dan Abdurrahman, Perkembangan Ringkas
Hukum Islam di Indonesia, (Jakarta: Akademika Pressindo, 1984),
h. 87-88. Lihat pula Hazairin, Hendak Kemana Hukum Islam,
(Jakarta: Tintamas, 1976), h. 3-6, Pengarang yang sama, Hukum
Keluarga Nasional, (Jakarta: Tintamas, 1982), h. 5-6.
MIZANI: Wacana Hukum, Ekonomi dan Keagamaan
Volume 5, No. 1, 2018
Usul Fikih dan Upaya Reorientasi Fikih Indonesia
atau fikih yang berwawasan keindonesiaan, fikih
yang cocok dengan keadaan dan kebutuhan
mayarakat Indonesia, fikih yang mampu
memecahkan persoalan-persoalan hukum yang
timbul di kalangan mayarakat Indonesia. Hal
ini mengingat pada waktu itu fikih kurang
mendapat sambutan yang hangat dari umat
Islam Indonesia. Salah satu sebabnya adalah
adanya bagian-bagian fikih yang berdasarkan‘Urf
di Timur Tengah yang tidak sesuai dengan rasa
kesadaran hukum masyarakat Indonesia yang
telah melembaga dalam hukum adat. Bagianbagian fikih seperti ini tentunya terasa asing
bagi mereka, akan tetapi dipaksakan untuk dilaksanakan dengan dasar taqlid.
Agar fikih mendapat dukungan yang hangat
dari masyarakat di kalangan bangsa Indonesia,
maka dalam mengkaji fikih para ulama
Indonesia harus mencari pendapat yang lebih
sesuai dengan watak dan tabiat bangsa Indonesia
serta cocok dengan alam pikiran masa kini.
Salah satu hal yang perlu dikembangkan
untuk dapat membentuk fikih Indonesia adalah
‘Urf. Menurut Hasbi, ‘Urf yang menjadi salah
satu sumber hukum ialah adat kebiasan yang
dipandang baik oleh akal sehat dan dapat diterima oleh tabiat manusia.34 Karena itu, para
fukaha dahulu pun dalam mengeluarkan fatwa
hukum, dalam banyak hal berdasarkan ‘urf di
lingkungan masyarakatnya. Selanjutnya, dalam
menggunakan ‘urf sebagai sumber hukum, timbul
permasalahan, ‘urf mana yang dijadikan sebagai
norma dan patokan. Apakah ‘urf Arab, Mesir, Irak,
India yang telah ditransfer ulama-ulama dahulu
ke dalam kitab-kitab fikih yang mereka susun?
padahal pepatah Indonesia mengatakan:” Lain
Lubuk lain Ikannya, lain Ladang lain Belalang”
dan pepatah Jawa: “Seje Deso mowo coro”.
Maksudnya tidaklah sama ‘urf dari setiap bangsa.
34
Hasbi As Shiddiqi, Pokok-pokok Ilmu Dirayah Hadis,
(Jakarta: Bulan Bintang, 1981), h. 34. Menurut Azhar Basyir,
‘Urf itu ada dua macam. “Urf Shahih dan urf Fasid. Dalam
hal ini, yang pertamalah yang dapat dijadikan sebagai dasar
penentuan hukum, yakni ‘urf/adat istiadat yang dapat diterima
oleh masyarakat luas, dibenarkan oleh akal sehat, membawa
kemaslahatan serta tidak menyalahi ketentuan nash al-Qur’an
dan Sunnah Rasul. Lihat Ahmad Azhar Basyir, ‘Pokok-pokok
Ijtihad Dalam Hukum Islam” dalam Jalaludin Rahmat (ed),
Ijtihad Dalam Sorotan (Bandung, Mizan, 1992), h. 52.
MIZANI: Wacana Hukum, Ekonomi dan Keagamaan
Volume 5, No. 1, 2018
Masing-masing bangsa mempunyai ‘urf sendirisendiri yang merupakan bagian dari struktur
kebudayaan yang mereka miliki. Sedangkan
suatu kebudayaan dibentuk oleh lingkungan dan
sekelilingnya. Karena itu, karakter kebudayaan
Timur Tengah yang ditempa lingkungan alam
yang gersang dan panas, tentu tidak sama karakter
kebudayaan yang ditempa lingkungan alam yang
subur dan teduh. Bagi orang Indonesia, memakai
pakaian yang ringkas tidak sampai menimbulkan
masalah bagi kesehatan, namun bagi bangsa
Arab akan berakibat fatal. Zat cair dalam tubuh
mereka bisa cepat mengering lantaran tingkat
penguapan yang tinggi. Oleh sebab itu, sesuatu
yang harus bagi masyarakat Arab belum tentu
harus pula bagi masyarakat Indonesia, demikian
pula sebaliknya. Adalah suatu kesalahan besar jika
adat istiadat Makkah dipaksakan diterapkan di
Indonesia.35
Sebagai contoh yang paling jelas tentang adanya pengaruh ‘urf dalam menentukan hukum
ialah berbedanya fatwa imam Syafi’i ketika dia
berdomisili di Iraq yang disebut qaul qadim
(pendapat lama) dengan fatwa ketika dia di Mesir
yang disebut dengan qaul jadid (pendapat baru).
Contoh lain adalah sistem hukum yang dianut
masyarakat Hijaz (Maliki) berciri tradisionalis,
sedangkan di Iraq (Abu Hanifah) bercirikan
rasionalis seperti yang dipegang oleh Umar bin
Khattab dan kemudian dikembangkan oleh
Abdullah bin Mas’ud di Iraq.36
Secara ringkas, pikiran Hasbi tentang Fikih
Indonesia dapat dijelaskan sebagai berikut:
1. Fikih Islam yang berkepribadian Indonesia
adalah hal yang mungkin bahkan patut dibina.
2. ‘Urf masyarakat Indonesia dapat dijadikan
sebagai sumber fikih yang diterapkan di
Indonesia.
3. Terhadap masalah-masalah baru yang belum
ada ketetapan hukumnya, juga tidak ada
dalam ‘urf, supaya dilakukan ijtihad dengan
menggunakan, metode analogi deduksi
rasional dengan pendekatan kontekstual
35
Nourouzzaman Shiddiqi, Jeram-jeram Peradaban Muslim,
(Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 1990), h h. 240.
36
Nourouzzaman Shiddiqi, Jeram-jeram…, h. 241
25 |
Munawir Haris
(sosio kulturals historis) pada dalil-dalil nash.
4. Ijtihad supaya dilakukan secara kolektif
(jama’i) dengan melibatkan pakar agama dan
seluruh cabang ilmu pengetahuan.
5. Teori dan kaidah produk pemikiran fukaha
terdahulu tetap relevan dan supaya dijadikan
sebagai acuan dalam pemikiran pembaharuan
hukum Islam.
6. Terhadap masalah-masalah hukum yang
telah ada ketetapan hukumnya produk
ijtihad fukaha terdahulu, dalam memilih
salah satu di antaranya mana yang terbaik
dan paling cocok dengan situasi dan kondisi
masyarakat Indonesia, supaya dilakukan
kajian komparasi terhadap seluruh mazhab
yang telah ada.
7. Pembaruan hukum yang meninggalkan atau
bertentangan dengan Alquran dan sunah,
tidak dapat dibenarkan.37
Pada hakekatnya, gagasan dari kedua tokoh tersebut di atas, mempunyai titik tujuan yang sama,
yaitu terbentuknya fikih yang berkepribadian
Indonesia, fikih yang cocok dengan keadaan dan
kebutuhan masyarakat Indonesia dan fikih yang
mampu menjawab persoalan-persoalan hukum
yang timbul di kalangan masyarakat Indonesia.
Kedua tokoh tersebut berjasa sebagai penggagas
pertama tentang fikih Indonesia dan mempunyai
andil besar dalam catatan sejarah pembaharuan
fikih di Indonesia. Sebagai bukti dari manifestasi
fikih Indonesia antara lain:
a) Undang-undang Nomor I tahun 1974 tentang
perkawinan;
b) Undang-undang Nomor 7 tahun 1989 tentang
Peradilan Agama;
c) Instruksi Presiden Nomor I tahun 1991 tentang
Kompilasi Hukum Islam di Indonesia.
Pada masa-masa berikutnya, muncul tokohtokoh baru yang mempunyai gagasan serupa
sekalipun kita tidak dapat mengatkaan secara
pasti bahwa gagasan mereka itu dipengaruhi
oleh dua tokoh di atas. Di antara mereka adalah
Abdurrahman Wahid (Pribumisasi Islam, 1988),
37
| 26
Nourouzzaman Shiddiqi, Jeram-jeram…, h. 250
Munawir Syadzali (Reaktualisasi Ajaran Islam,
1988); Masdar Farid Mas`udi (Zakat sebagai Pajak,
1991); Syeikhul Hadi Permono (Kontekstualisasi
Fikih Dalam Era Globnalisasi, 1994); Ali Yafie
(Menggagas Fikih Sosial, 1994)38.
Gagasan tentang fikih Indonesia yang dimunculkan oleh tokoh-tokoh sebagaimana dijelaskan sebelumnya, nampaknya dapat memberikan fenomena baru bagi perkembangan
hukum Islam di Indonesia dengan hasil-hasil
konkrit yang dapat kita rasakan manfaatnya.
Rumusan tentang fikih Indonesia menurut
penggagasnya, sebenarnya sudah menampilkan
suatu rumusan yang operasional dan mendekati
sempurna, namun demikian gagasan tersebut
perlu adanya dukungan dan langkah-langkah ke
arah konsep yang lebih sempurna seiring dengan
kemajuan zaman dan dinamika masyarakat.
Tanpa melupakan penghargaan kita kepada
kitab-kitab fikih yang telah mengantarkan kita
untuk dapat memahami hukum Islam, kita juga
melihat keterbatasan-keterbatasannya. Formulasi
hukum yang ada di sana sudah berusia relatif agak
lama. Sedangkan pergeseran kemaslahatan akibat
perkembangan kebudayaan sangat cepat. Di
sinilah dituntut keberadaan Ijtihad untuk dapat
menjawab persoalan yang muncul dan belum
dijelaskan pada kitab-kitab fikih terdahulu. Kita
meyakini bahwa sampai saat ini pintu ijtihad
masih terbuka. Ijtihad dilakukan dengan “bebas
bertanggung jawab”. Bebas dalam arti ijtihad
tidak dilarang, dan bertanggung jawab dalam
arti diperbolehkan atau diwajibkannya ijtihad itu
hanya bagi mereka yang memenuhi prakualifikasi,
dengan bermaksud untuk mencari kemaslahatan
umat secara umum.39
Orang-orang yang telah memenuhi prakualifikasi berijtihad dapat disebut sebagai
38
Semula Ali Yafie mengkritik dan bahkan tegas-tegas
menolak kehadiran fiqh Indonesia. Lihat Yudian W. Asmin
dalam Sudarnoto Abd Hakim dkk (ed), Islam Berbagai Perspekti,
(Yogyakarta: LPMI, 1995), h. 223. namun belakang beliau
cenderung mendukungnya. Hal ii terlihat dalam tulisan-tulisan
a.l. “Pengembangan Ilmu Fiqh”, Fiqh Dalam Pembaharuan
Islam di Indonesia” Lihat Ali Yafie, Menggagas Fiqh Sosial,
(Bandung: Mizan, 1994 ), h. 107-122.
39
Syeikhul Hadi Permono, Kontekstual Fiqh Dalam Era
Globalisasi, (Surabaya, 1994), h. 28
MIZANI: Wacana Hukum, Ekonomi dan Keagamaan
Volume 5, No. 1, 2018
Usul Fikih dan Upaya Reorientasi Fikih Indonesia
Mujtahid atau Faqih yang mampu beristinbat
(mengeluarkan) hukum dari dalil-dalilnya
secara metodologis sesuai dengan rambu-rambu
metodologis fikih (Usul Fikih). Orang-orang
seperti itulah yang seharusnya kita produksi
dalam jumlah yang besar pada saat sekarang
ini, bukan hanya orang-orang yang mampu
membaca kitab-kitab kuning, faham tentang
produk-produk fikih namun tidak mengerti
metodologi fikih. Dengan kata lain, harus mengaktualkan ijtihad sesuai dengan fungsinya, mencetak kader-kader mujtahid, fukaha, ulama dan
para peneliti dengan spesialisasi khusus yang
betul-betul mengerti metodologi fikih. Dari sini
proses ijtihad dalam menentukan hukum bisa
berjalan secara prosedural. Penggunaan Qiyas,
Istihsan, Maslahah Mursalah, ‘Urf dan sebagainya
tidak menyimpang dari rambu-rambu yang telah
digariskan oleh Islam. Yang menjadi permasalahan
berikutnya adalah bagaimana upaya untuk
mewujudkan gagasan tentang aktualisasi ijtihad
dan menciptakan kader-kader mujtahid, ulama
dan peneliti yang betul-betul paham metodologi
fikih sebagaimana yang ditawarkan di atas?
Selama ini kajian tentang metodologi fikih
sebenarnya sudah diberikan dalam berbagai
tingkatan misalnya di madrasah-madrasah,
pesantren, perguruan-perguruan tinggi agama,
khususnya di fakultas Syari’ah namun dirasa
masih kurang dan perlu ditingkatkan lagi dengan
menambah jam-jam pelajaran, bobot sksnya dan
penyempurnaan metodologi pengajaran. Bahkan
kalau perlu, didirikan fakultas Usul Fikih atau
paling tidak jurusan Usul Fikih, yang pada konteks
sekarang ini barangkali lebih tepat dilaksanakan
di tingkat Pascasarjana di lingkungan UIN, yang
selama ini hanya memberikan bobot 3 sks dalam
mata kuliah Metodologi Fikih.
sangat tinggi dan sifat luwes yang dapat menjamin
kemampuannya untuk menampung segala macam
persoalan dan permaslahan yang timbul akibat
perkembangan masyarakat dan kemajuan zaman
dalam segala bidang dan menjamin relevansinya
sepanjang masa dalam berbagai kondisi dan
lingkungan sosial. Ini membawa konsekuensi
hukum Islam seharusnya sanggup menghadapi,
memberikan jawaban dan antisipasinya terhadap
semua per-kembangan dan kejadian-kejadian
baru, kapan dan dimana saja, sehingga tetap
aktual. Karena itu, sangat diperlukan upaya-upaya
konkrit untuk direalisasikan obsesi tersebut. Kalau
tidak, maka hal itu dapat membuat hukum Islam
(fikih lokal) akan ditinggalkan karena dianggap
kurang bisa menyajikan kekayaan yang dimiliki
Islam sebagai agama terakhir yang sempurna,
pada gilirannya, kharismanya sebagai agama akan
luntur dan dianggap sebagai barang antik yang
hanya layak untuk dipajang dalam mesium.40
Oleh sebab itu, diperlukan keberanian untuk
selalu mengorientasikan prosses posibiliy syariah
dimana para pemikir dan intelektual agama
tersebut hidup. Contoh gagasan fikih Nasional/
Indonesia tentu fikih yang berkepribadian dan
berwawasan keindonesiaan, yang cocok dengan
keadaan dan kebutuhan masyarakat Indonesia
seperti dimunculkan oleh Hazairin dan Hasbi AsShiddiqi perlu disambut dengan baik. Fikih dalam
tawaran ini, paling tidak mampu memecahkan
persoalan-persoalan hukum yang timbul di
kalangan masyarakat Indonesia seiring dengan
dinamika sosial dan kemajuan zaman. Maka,
harus disosialisasikan reorientasi gagasan di atas
dengan mengaktualkan gerakan ijtihad, mencetak
kader-kader mujtahid dan fukaha yang betul-betul
menguasai teori, metodologi Usul Fikih, materi,
dan memahami kondisi sosial masyarakat.
Penutup
Pustaka Acuan
Setiap orang muslim meyakini ajaran terakhir yang diwahyukan Allah Swt. kepada RasulNya, tidak ada rasul yang diutus dan wahyu yang
diturunkan sesudahnya. Hal ini memberikan pengertian bahwa Islam yang dinyatakan sempurna
pada akhir hayat Rasulullah itu benar-benar
membawa ajaran yang memiliki dinamika yang
MIZANI: Wacana Hukum, Ekonomi dan Keagamaan
Volume 5, No. 1, 2018
Abdalla, Ulil Abshar, “Menghindari Bibliolatri:
Tentang Pentingnya Menyegarkan Kembali
Pemahaman Islam”, Teks Ceramah di
Paramadina, 8 Februari 2003.
Abdalla, Ulil Abshar, “Menyegarkan Kembali
40
Nourouzzaman Shiddiqi, Jeram-jeram..., h. 234
27 |
Munawir Haris
Pemahaman Islam”, Kompas, 18 November
2002.
Abdullah, M. Amin, Studi Agama: Normativitas
atau Historisitas?, Yogyakarta: Pustaka Pelajar
1996.
Ali, Mohammad Daud, Hukum Islam, Pengantar
Ilmu Hukum dan Tata Hukum Islam di
Indonesia, Jakarta: Raja Grafindo Persada, 1993.
Ash-Shiddiqi, Hasbi, Pokok-pokok Ilmu Dirayah
Hadis, Jilid I, Jakarta: Bulan Bintang, 1981.
Ash-Shiddiqi, Hasbi, Syari’at Islam Menjawab
Tantangan Zaman, Jakarta: Bulan Bintang,
1966.
Asmin, Yudian W. dalam Sudarnoto Abd Hakim
dkk (ed), Islam Berbagai Perspektif, Yogyakarta:
LPMI, 1995.
Asyur, Muhammad Thahir bin, Maqashid alSyari’ah al-Islamiyyah, Malaysia: Dar al-Fajr,
1999.
Badran, Abu al-“Ayn Badran, Ushul al-Fiqh alIslamiy, Iskandariyah: Muassasah al-Saqafat alJami’iyyah, t.th.
Basyir, Azhar, ‘Pokok-pokok Ijtihad Dalam Hukum
Islam” dalam Jalaluddin Rakhmat (ed), Ijtihad
Dalam Sorotan, Bandung: Mizan, 1992.
Dahlan, Moh., “Pemikiran Hermeneutik Karl
Otto Apel: Dari Teoritis Menuju Praktis”, dalam
Nafisul Atho’-Arif Fahrudin, Hermeneutik
Transendental: Dari Konfigurasi Filosofis menuju
Prakziz Islamic Studies, Yogyakarta: IRCiSoD,
2003.
Hardiman, F. Budi, Kritik Idiologi: Menyingkap
Kepentingan Pengetahuan Bersama Jürgen
Habermas, Yogyakarta: Buku Baik, 2004.
Hasan, Ahmad, Pintu Ijtihad Sebelum Tertutup,
Terj. Agah Garnadi, Bandung: Pustaka, 1994.
Hazairin, Hendak Kemana Hukum Islam, Jakarta:
Tintamas, 1976.
Hazairin, Hukum Keluarga Nasional, Jakarta:
Tintamas, 1982.
Hazairin, Tujuh Serangkai tentang Hukum, Jakart:
Tintamas, 1974.
Hosen, Ibrahim, “Pemerintah sebagai Mazhab”,
Jurnal Pesantren, No. 2 Vol. II 1985.
| 28
Husaini, Waqar Ahmad, Sistem Pembinaan
Masyarakat Islam, Bandung: Pustaka Salman
ITB, 1983/1403.
Ichwan, Moch. Nur, Meretas Kesarjanaan AlQuran: Teori Hermeneutika Nasr Abu Zayd
Bandung: Teraju, 2003.
Khallaf, Abd. Wahhab,’Ilm Ushul al-Fikih, Kuwait:
Dar al-Qalam, 1978/1398.
Khin, Musthafa Said al-, al-Kafi al-Wafi fi Ushul
al-Fiqh al-Islamy, Beirut: Muassasah al-Risalah,
2000.
Kulsum, Umi, “Ketika Agama Menjadi Topeng
Kekerasan” dan “Taslima Nasrin: Perjuang
Anti-Komunalisme”, Kompas, 19 Juni 2004.
Nourouzzaman Shiddiqi, Jeram-jeram Peradaban
Muslim, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar , 1990).
Nyazee, lmran Ahsan Khari, Theories of Islamic
Law: The Methodology of ljtihad Islamabad:
The lntemational lnstitute of lslamic Thought,
1994.
Permono, Syeikhul Hadi, Kontekstual Fiqh Dalam
Era Globalisasi, Surabaya, 1994.
Qardlawi, Yusuf, “Awamil al-Sa’ah Wa al-Murunah
Fi al-Syari’at al-Islamiyyah”, Terjemahaan S. Agil
Husein Al-Munawwar dengan judul Keluasan
dan Keluwesan Hukum Islam, Semarang: Dina
Utama Semarang/Toha Putra Group, 1993.
Rafiq, Ahmad, Hukum Islam di Indonesia, Jakarta:
Raja Grafindo Persada, 1995.
Sirry, Mun’im A., Sejarah Fiqh Islam sebuah
Pengantar, Surabaya: Risalah Gusti, 1995/1416.
Suseno, Franz Magis, Filsafat sebagai Ilmu Kritis,
Yogyakarta: Kanisius, 1992.
Syaltut, Mahmud, al-Islam ‘Aqidah wa Syari’ah,
Mesir: Dar al-Qalam, 1966.
Syathibi, Abu Ishaq al-, al-Muwafaqat Fi Ushul alSyari’ah, Juz II,Tahqiq Abdullah Daraz, Beirut:
Dar al-Kutub al-Ilmiyyah, t.th.
Turabi, Hasan al-, Qadhaya al-Tajdid: Nahwa
Manhaj Ushuly, T.Tp: Dar al-Hady, 2000.
Wahidin,
Syamsul
dan
Abdurrahman,
Perkembangan Ringkas Hukum Islam di
Indonesia Jakarta: Akademika Pressindo, 1984.
Yafie, Ali, Menggagas Fiqh Sosial, Bandung: Mizan,
1994.
MIZANI: Wacana Hukum, Ekonomi dan Keagamaan
Volume 5, No. 1, 2018