Al-Ahwal Al-Syakhsiyah, IAI Al-Qolam
Maqashid (2021) Vol 4 No 2 : November-2021
http://ejournal.alqolam.ac.id/index.php/maqashid
p-ISSN: 2127128301
© Maqashid 2021
MENUJU DASAR-DASAR BARU FIKIH ISLAM: Kajian
Konseptual Ilmu Fikih
Bashori Alwi (
[email protected])
ARTICLE INFO
Article History
Recieved Oktober 2021
Accepted November 2021
Available November 2021
Keywords:
Islamic basics, fiqh study,
fatwa, primary and
secondary sources,
problem solver of people's
problems
ABSTRACT
Fiqh is a major need in Islam, therefore it must be able to
become a problem solver in the problems of the umat, Fiqh
must be relative and flexible, so that it can be used by
Muslims wherever they live. To be taqlid to previous
madhhab scholars is a necessity, but reforms in relevant
Islamic thought are eagerly awaited by the people of this
modern era, especially in this digital era. So that people can
continue to carry out their activities according to the
provisions of the Shari'a that have been outlined by the
Prophet Muhammad. The most important formulation in the
renewal of Islamic law is not to deviate or contradict the
provisions of the texts, 2). Provide benefits for the ummah
and avoid harm, 3). It really comes from the results of
common sense of thinking, which has a general standard of
truth, not because of any particular interest that drives it.
2
Menuju Dasar-Dasar Baru Fiqih Islam
Kajian Konseptual Ilmu Fiqih
Pendahuluan
Kemampuan keberagamaan seseorang dapat dilihat sejauh mana ia menjalani ajaranajaran Agama dalam segala aspek kehidupannya, seorang yang mampu melakukan atau
mengaplikasinya, menunjukan bahwa ia telah memiliki pemahaman yang mendalam
terhadap agamanya. Orang yang memiliki pemahaman yang tinggi terhadap agama dia
disebut sebagai fāqih (orang yang mengerti agama).
Aplikasi kehidupan seseorang fakih, sebenarnya telah ada sejak zaman Rasulullah
SAW, Karena kajian-kajian keagamaan sejatinya telah diajarkan oleh Rasul baik melalui
al-Quran sebagai wahyu atau haditsnya. Dalam al-Quran mengandung berbagai macam
hukum fikih, masyarakat Muslim saat itu tidak merasa kesulitan untuk memahaminya
dengan insting dan modal bahasanya, untuk memahami teks-teks yang ada, Mereka
dengan mudah mampu menyerap yang dipesankan syara’. Jika ada problem, mereka
merujuk pada Rasulullah SAW.
Dalam periode Rasulullah SAW, fikih direalisasikan dalam batasan dan ketentuan
beragama setiap hari, seperti interaksi sosial yang meliputi keimanan, kesopanan, jual
beli, dan interaksi sosial yang lainnya. Rasulullah SAW adalah sumber refrensi utama
dalam setiap problematika masyarakat pada saat itu. Dalam memutuskan problematika
yang terjadi Rasulullah SAW akan memeberikan solusi dengan wahyu dari Allah SWT
atau dengan hadist. Segala hal yang diputuskan oleh Rasulullah SAW adalah solusi yang
terbaik karena segal hal yang disampaikan oleh beliau adalah hal dapat dijamin
kebenarannya dikarenakan apapun yang diucapkan oleh beliau adalah Wahyu dari Allah
SWT.1
Pada periode Sahabat, setelah wafatnya Rasulullah SAW. Maka seleseilah proses
wahyu dari Allah yang selama Rasulullah SAW masih hidup wahyu itu diturunkan pada
saat beliau masih di Makkah al-Mukarromah dan di Madinah al-Munawwaroh, yang
diturunkan pada kurun waktu dua puluh dua tahun dua bulan dua puluh dua hari melalui
Jibril,2 selain dari Al-Qur’an wahyu yang terputus adalah Hadist Rasulullah SAW yang
juga merupakan wahyu dari Allah SWT. Solusi yang terjamin kebenarannya atas
problematika ummat sudah terputus, sementara problematika ummat terus berjalan,
diantaranya berbagai persoalan yang sama sekali tidak pernah terjadi pada masa Rasul
masih hidup.
Begitu banyaknya persoalan yang timbul pada ummat Islam pada saat itu, dan
ditambah pula semakin banyaknya pemeluk Islam dari berbagai daerah, serta para
Sahabat sadar Rasulullah SAW merupakan utusan penutup, setelah beliau wafat maka
tidak akan ada lagi utusan yang akan menerima wahyu. Karena dasar itulah para Sahabat
untuk melakukan Ijtihād dalam menyelesaikan permasalahan yang membelitnya. Mereka
berfatwa dan memutuskan legitimasi hukum Syari’ah. Dalil Naqli yang berupa al-Qur’an
dan Hadits adalah sumber hukum yang utama. Kemampuan mereka dalam memahami
Bahasa Arab, Asbāb al-Nuzūl, Maqāshid al-Syarī’ah, dan mengalami masa-masa hidup
Fadlolan Mushaffa’ Mu’thi, Studi Komparatif Antar Madzhab Fiqih, Shlmat di Pesawat dan
Angkasa, (Syauqi Pers: Tuban, 2007), hlm 13.
2
Mohammad Daud Ali, Hukum Islam…, (Rajawali Pers: Jakarta, 2006), hlm. 169.
1
Bashori Alwi, Maqashid Jurnal Hukum Islam Vol.4, No.2 (2021)
bersama Rasul adalah modal yang sangat berarti dalam mencari dan memberikan solusi
atas problem Ummat saat itu.
Seiring dengan perkembangan sejarah, Islam telah berproses dalam rentang waktu
yang cukup panjang, kemudian dalam bentangan waktu itu. Periode hukum Islam dibagi
dalam dua fase yang berbeda namun tidak dapat dipisahkan, yaiut pada fase proses
tasyrī’ diperiode Rasulullah SAW dan periode setelah tasyrī’ yang merupakan periode
para Sahabat Rasulullah SAW, para Tabi’in dan para penerusnya sampai periode saat ini.
Syari’at Islam yang merupakan pemutus mata rantai problematika masyarakat pada
periode pasca tasyrī’ sudah mengalami perkembangan yang amat luas dikarenakan
bersentuhan dengan berbagai macam budaya. Problematika yang dihadapi pasti akan
semakin berkembang dan semakin kompleks bila disbandingkan dengan masa tasyrī’
(Masa Rasulullah SAW ).3 Oleh karena itu pengalaman Ijtihād yang dilakukan oleh para
sahabat pada masanya, perlu dikembangan pada masa-masa selanjutnya termasuk juga
pada saat dewasa ini. Tentu prolem yang terjadi pada masa sahabat atau setelahnya
tidaklah sama dengan masa-masa sekarang, sehingga memerlukan kajian secara holistik4
untuk menjadi sulutif dalam menghadapi problem yang yang ada.
Tentunya, untuk melakukan pengkajian terhadapa khazanah keislaman yang sudah
ada perlu juga melakukan elaborasi teoritis terhadap keilmuan tersebut dengan
mengkaitkannya pada tataran praksis sosial kemasyarakatan, memahami ilmu-ilmu
keislaman pada umumnya dan ilmu fiqh pada khususnya memerlukan pengetahuan yang
cukup baik terhadap khazanah ilmu-ilmu keislaman maupun ilmu-ilmu sosial
kemasyarakatan. Kemudian dia harus bersikap kritis terhadap ilmu atau pengatahuan
yang dia dapatkan itu, baik terhadap khazanah ilmu-ilmu keislaman maupun terhadap
realita sosial yang teradi di masyaraka. Apabila pemerhati ilmu ini tidak memiliki sikap
kritis, atau hilang sikap kritisnya, maka sudah pasti ilmu-ilmu itu semakin jauh dari
masyarakat, sementara mereka membutuhkan pengetahuan atau ilmu yang dapat
memecahkan problem yang terus berlangsung mengikuti arus waktu dan perkembangan
budaya5.
Sikap kritis seorang pemerhati ilmu terhadap fenomena kemasyarakatan yang
berkembang harus terus dipertajam, karena perkembangan keilmuaan tergantung
seberapa juah ketajaman mereka menganalisa dan menuangkannya kepada publik untuk
kemudian dapat dikomsumsi oleh umat. Jika pemerhati ilmu lemah dalam mengnalisa
fenomena, maka ia akan selalu terjebak pada al-Muhāfadzah li al-qādim, mereka akan
terus bertaklid pada sebuah pemikiran yang sudah lama dituangkan dalam khazanah
keislaman. fenomena yang terjadi pada ummat sekarang belum tentu sama dengan masa
dulu di saat pemikiran itu dituangkan.
3
Syafiq A. Mughni, Pengntar, Studi Islam Perspektif Insider Outsider, (IRCiSoD: Yogakarta,
2013), hlm. 5.
4
Sebuah Studi Islam yang tidak hanya dilakukan dengan analisis teks, melainkan harus juga
dikaitkan dengan konteks dasarnya, baik konteks dasar pada saat teks diturunkan maupun konteks yang
melatari pada saat teks akan diterapkan dalam waktu dan ruang yang berbeda.
5
Muhyar Fanani, Pudarnya Pesona Ilmu Agama, (Pustaka Pelajar: Yogyaarta, 2007), hlm. 13.
3
4
Menuju Dasar-Dasar Baru Fiqih Islam
Kajian Konseptual Ilmu Fiqih
Pengertian Fiqih
Kata fiqh, dalam bahasa berasal dari kata (– فقهfa-qa-ha) berarti faham atau
pengetahuan tantang sesuatu.6 Beberapa kali kata fiqh termuat dalam al-Quran, dengan
kata kerja nafqah, yafqah, tafqahūn, yafqahūn, yatafaqqahūn, atau dengan kata lainnya,
sebagaimana dalam al-Quran surat al-Taubah: 122,
ِ فَلَوالَ نَ َفر ِمن ُك ِل فِرقٍَة ِمنْ هم طَآئَِفةٌ لِي ت َفقَّهواْ ِِف
الدي ِن
ُ ََ
ُْ ْ
َ ْ
Artinya: Mengapa tidak pergi dari tiap-tiap golongan di antara mereka beberapa
orang untuk memperdalam pengetahuan mereka tentang agama.
Maka dapat difahami bahwa fiqh adalah pengetahuan tantang agama, tanpa dibatasi
oleh disiplin ilmu tertentu, akan tetapi pada perkembangan selajutnya fiqh dikhususkan
pada pengetahuan tentang hukum-hukum Syarī’ah ‘Amaliyyah. Kemudian secara istilah
fiqh ialah sebuah kajian ilmiyah yang menjelaskan tentang aturan dan ketentuan syari’at
Islam dengan dasar-dasar hukum yang terperinci, sehingga kemudian ia menjadi ilmu
fikih. Penejelasan lain yang dapat kita pahami bahwa Ilmu fiqh adalah kajian ilmiyah
yang memiliki peran menjelaskan dan menguraikan dasar-dasar hukum yang dikandung
dalam Al-Qur’an dan Sunnah dengan penjelasan yang terperinci. Guna diterapkan pada
perbuatan manusia yang telah dewasa, sehat akalnya, dan berkewajiban melaksanakan
hukum Islam.7
Hasan Ahmad al-Khatib mengungkapkan bahwa fikih merupakan kajian ilmiyah
yang berisikan sekumpulan hukum syari’ah yang telah dibukukan oleh beberapa
Madzhab, baik dari empat Madzhab ataupun Madzhab yang lain, yang merupakan
nukilan fatwa dan ketentuan yang disampaikan oleh para Tabi’in dan Sahabat, ataupun
yang bersumber dari Sa’id al-Musayyab, Abu Bakar bin Abdurrahman, ‘Urwah bin
Zubayr, Sulaiman Yasar, al-Qasim bin Muhammad, Kharijah bin Zaid, dan ‘Ubaydillah
Abdillah. Yang merupakan fuqahā tujuh yang tersebar di Makkah, Madinah, Syam,
Mesir, Iraq, Bashrah dan lainnya.
Secara kajian ilmu pengetahuan prespektif pada Ulama Islam, fikih merupakan
kajian ilmu pengetahuan yang khusus mengkaji syari’at Islam yang tertuang Al-Qur’an
dan Sunnah, serta dalil-dalil Syari’ah yang lain setelah diformulasikan oleh para ulama
dengan mempergunakan kaidah-kaidah fiqhiyah dan Ushūl al-Fiqh. Dapat disimpulkan
bahwa fikih adalah formulasi hukum yang tertuang dalam Al-Qur’an dan Sunnah yang
berbentuk hukum ‘Amaliyyah yang akan diamalkan oleh ummatnya.8
6
Hamka Haq, Islam Rahmah Untuk Bangsa, (RMBOOKS: Jakarta selatan, 2009), hlm. 46, lihat
juga, Syamsul Anwar, Hukum Perjanjian Syariah, Studi tentang Teori Akad dalam Fikih Muamalat”,
(Rajawali Perss: Jakarta, 2007), hlm. 5.
7
Mohammad Daud Ali…, Hukum…, hlm. 49.
8
Mukallaf artinya orang yang sudah dibebani atau diberi tanggungjawab melaksanakan ajaran
Syari’at Islam dengan tanda-tanda seperti bāligh, berakal, sadar, sudah masuk Islam.
Bashori Alwi, Maqashid Jurnal Hukum Islam Vol.4, No.2 (2021)
Kata fiqh ini erat kaitannya dengan kata syariah dan hukum fikih. Syari’at dan
hukum adalah hal yang memiliki objek yang sama dalam kajiannya, yaitu aturan-aturan,
norma-norma atau cara hidup manusia dalam beragama. Kemudian dalam konteks
kekinian, kata syari’ah9 merupakan kata yang memiliki makna yang lebih kompleks bila
dibandingkan dengan kata fiqh dan hukum, kata syari’at didalamnya tidak hanya
mencakup fikih dan hukum, syari’at memiliki cakupan makna yang lebih luas, akidah
dan akhlak merupakan salah satu cakupan dari kata syari’at. Oleh karena itu makna kata
syari’ah ialah mentauhidkan Allah, serta menaati-Nya, Iman kepada Rasul-rasul-Nya,
Iman terhadap kitab-kitab-Nya, dan hari kiamat. Atau lebih tepat dikatakan bahawa
syari’ah adalah al-Tharīqah al-Mustaqīmah.10 Pendek kata, syari’ah memiliki makna
penyerahan diri kepada Allah.11 Manusia atau Ummat Islam pada khususnya tidak akan
pernah terjerumus dalam perjalanan hidupnya kepada kesesatan Ketika masih hidup di
dunia selama mereka konsisten menjalankan syari’ah tersebut.
Fikih jika difahami secara bahasa, fikih merupakan pemahaman terhadap (atau ilmu
tentang) ajaran Agama (syari’ah) sebagaimana yang tedapat dalam al-Quran, dengan
kata lain fikih adalah satu ilmu yang digunanakan oleh manusia dalam rangka
memahami syari’ah. Sebagaimana keterangan yang telah disampaikan, syari’at
merupakan ketentuan dan aturan dari Allah SWT, sehingga ia merupakan kebenaran
yang absolute, kekal-abadi, sakral serta tidak dapat berubah kecuali yang pembuat
syari’ah itu sendiri yang merubahnya. Lain halnya dengan fikih, fikih adalah sebuah
katagori kajian ilmu, sebagaimana sebuah kajian ilmu, fikih memiliki sifat yang relatif
dan profane, rumusan-rumusan yang ada didalamnya terpengaruhi oleh kondisi, tempat
dan waktu.12
Sedangkan kata hukum berasal dari dari hukm atau hakama, adalah norma, kaidah,
pedoman untuk menilai sebuah perbuatan atau berupa benda. Hukm dan hukum
mengandung hubungan yang erat. Sebab setiap aturan dan sumbernya mengandung
norma atau kaidah. Karena itu, dalam kehidupan sehari-hari kita tidak terlepas dari tema
pembicaraan tentang hukum suatu perbuatan atau benda.13
Adapun maksud kata hukum yang berkaitannya dengan fikih, adalah menyangkut
perbuatan manusia. Yang berarti mencega atau menolak ketidakadilan, kedzaliman dan
penganiayaan. Sehingga hal-hal yang berkaitan dengan perbuatan manusia dalam
mencegah dan mewujudkan kemaslahatan ummat disebut hukum.
9
Kata Syari’ah dalam bahasa arab berarti jalan lurus. Kata ini dahulu digunakan untuk
menununjukkan suatu jalan ke tempat memperoleh air yang telah dikenal dan digunakan secara umum.
Sehingga kata syari’ah ini merupakan jalan yang sudah jelas arahnya untuk dilalui banyak orang.
10
Shobirin, Fiqh Madzhab Penguasa, (Brilian Media Utama: Kudus, 2009), hlm. 25.
11
Hamka Haq, Islam…, hlm. 41.
12
Akh. Minhaji. Pengantar, Muhyar Fanani, Ilmu Ushul Fiqh di Mata Filsafat Ilmu, (Walisongo
Perss: Semarang, 2009), hlm. 13,
13
Mohammad Daud Ali, Hukum…, hlm. 44.
5
6
Menuju Dasar-Dasar Baru Fiqih Islam
Kajian Konseptual Ilmu Fiqih
Sumber Atau Dalil Fikih Islam
Sumber merupakan asal dari segala sesuatu. Sumber hukum Islam merupakan
dasar atau asal hukum Islam. Sumber hukum dalam literasi Indonesia seringkali disebut
“dalil” hukum Islam atas dasar hukum Islam. Namun jika diperhatikan secara etimologi
dua kata “sumber dan dalil” bukan kata yang sinonim, kata sumber dalam bahasa Arab
diterjemahkan dengan kata Mashādir yang bearti suatu wadah yang padanya digali dan
ditemukan norma hukum, sedangkan dalil atau dengan sebutan al-Adillah merupakan
petunjuk yang membawa dalam menemukan hukum tertentu.14
Kata “sumber” dalam kajian hukum Islam tidak lain adalah al-Qur’an15 dan
Sunnah,16 hal itu dikarenakan keduanya merupakan sumber utama hukum-hukum
syari’at. Berbeda dengan Ijma’,17 Qiyās,18 keduanya bukanlah dalil naqli, maka tidak
bisa dikategorikan sumber hukum islam, keduanya tidak dapat dijadikan sumber hukum
islam yang dapat digali, tetapi dapat dijadikan cara untuk dapat menemukan suatu
hukum. Berbeda dengan kata dalil, selain al-Qur’an dan Sunnah, Ijma’, Qiyas dan
lainnya juga dapat dikategorikan sebagai dalil. Karena semuanya dapat menuntun kepada
penemuan suatu hukum Islam.19 Pembahasan pokok yang dimaksud ialah dalil dalam
hukum Islam yang dapat dijadikan dasar dalam menggali hukum Islam. Menurut
Aswadie Syukur, sumber atau dalil hukum Islam ada dua macam:
Mohammad Daud Ali, Hukum…, hlm. 79.
Al-qur’an adalah wahyu Allah yang turun kepada nabi Muhammad melalui Malaikat Jibril
untuk dijadikan pedoman hidup bagi umat manusia untuk mencapai kebahagiaan dan keseahteraan dunia
dan akhirat,
Semenara S. Hussein Nasr mengatakan bahwa al-Qur-an adalah inti sari dari semua pengetahuan,
namun pengetahuan yang ada dalam al-Qur’an hanyalah benih-benih atau prinsip-prinsipnya saja, adalah
sama sekali tidak berguna dan bakal mustahil, manakala kita mencari penjelasan ilmiyah yang terinci di
dalam al-Qur’an seperti yang telah dilakukan oleh para penafsir, sama halnya yang dilakukan di dunia
barat yang menghubungkan pengetahuan dengan injil. Menurutnya, al-Qur’an memuat pondasi awal dalam
ilmu pengetahuan, karena di dalamnya terdapat prinsip-prinsip ilmu pengetahuan, termasuk di dalamnya
kosmologi, ilmu astronomi (ilmu yang memperlajari tentang Matahari, Bulan, Planet, hubungan ruang dan
waktu di alam semesta dan lainnya), oleh karena membaca al-Qur’an hendaknya dibaca dengan arti yang
seluas-luasnya. Selain hlm tersebut, al-Qur’an juga memuat sejarah, akidah, dan ajaran-ajaran sosial atau
hlm-hlm yang berkaitan dengan pergaulan hidup seseorang.
16
Sunnah atau kadang juga disebut sebagai Hadits adalah sumber hukum Islam setelah al-Qur’an,
berupa perkataan (Qauliyyah), perbuatan (Fi’liyyah), dan sikap diam (Taqririyyah) Rasulullah yang
(sekarang) tercatat dalam kitab-kitab Hadits, ia merupakan penafsiran serta penjelasan otentik tentang alQur’an.
17
Ijma’ adalah persetujuan atau kesesuaian pendapat para ahli mengenai suatu masalah pada suatu
tempat di suatu masa. Persetujuan tersebut diperoleh dengan suatu cara dan tempat yang sama. Namun
pada masa kini, terjadinya ijma’ ini sangat sukar dicari, karena ummat Islam sudah semakin luas dan
tersebar di seantero dunian. Ijma’ yang hakiki hanya mungkin terjadi pada masa Khulafau al-Rasidin (Abu
Bakar dan Umar), dan sebagian masa pada pemerintahan Khalīfah Utsman.
18
Adalah menetapkan hukum suatu kejadian atau peristiwa yang tidak ada dasar nashnya dengan
cara membandingkannya kepada suatu kejadian atau peristiwa yang lain yang telah ditetapkan hukumnya
berdasarkan nash karena ada persamaan 'illat antara kedua kejadian atau peristiwa itu. Sebagian ulama
menolak qiyas sebagai dasar dari pengambilan hukum, namun sebagian yang lain menjadikan qiyas
sebagai sumber hukum Islam jika memang tidak memungkinkan untuk mendapatkan nash yang jelas baik
dari al-Qur’an maupun hadits.
19
Abdul Halim Barakatullah, dkk, Hukum Islam, Menjawab Tantangan Zaman yang terus
berkembang, (Pustaka Pelajar: Yogyakarta, 2006), hlm.5, lihat juga Muhammad Tholhah Hasan, Prospek
Islam Dalam Menghadapi Tantangan Zaman, (Lantabora Perss: Jakarta, 2003), hlm. 214.
14
15
Bashori Alwi, Maqashid Jurnal Hukum Islam Vol.4, No.2 (2021)
1. Sumber formil
Sumber formil (asli) ialah yang bearsal dari wahyu (Syari’ah), baik yang
berupa al-Qur’an maunpun Sunnah. Keduanya telah diperintah oleh Rasul untuk
dijadikan pegangan dalah menjalani hidup bagi ummat Islam khususnya dan
ummat manusia pada umumnya.
2. Sumber assesoir
Sumber assesoir (tambahan) merupakan sumber yang bermula dari hasil
Ijtihād para ulama, seperti Ijma’, Qiyas, dan lainnya.20
Sementara munurut Imam Syafi’i dalam kitab al-Risālah mengatakan bahwa
sumber hukum Islam ada empat: pertama. al-Qur’an, kedua. Hadits atau sunnah, ketiga.
al-Ijma’ dan keempat. al-Qiyās.21 Pendapat ini beliau sandarkan pada al-Qur’an surat anNisa’ ayat 59. Yang terjemahannya berbunyi:
“Hai orang-orang yang beriman, taatilah Allah, taatilah Rasul dan orang-orang
yang memegang kekuasaan diantara kamu. Dan jika diantara kamu berbeda
pendapat mengenai sesuatu, kembalikanlah kepada Allah dan Rasul”.
Perkataan “taatilah Allah” dan “taatilah Rasul” dalam ayat tersebut menunjuk
kepada al-Qur’an dan Sunnah atau Hadits Rasulullah sebagai hukum Islam, sedangkan
“taatilah” orang-orang yang memegang kekuasaan diantara kamu menunujuk kepada alIjma’, kemudian kata “jika diantara kamu berbeda pendapat mengenai sesuatu,
kembalikanlah kepada Allah dan Rasul” menunjuk kepada al-Qiyās. Ke-empat dasar ini
menurut Imam Syafi’i dapat dijadikan sumber atau dalil dalam pengambilan suatu
hukum.22
Ruang Lingkup dan Produk Fikih
Dari segi ilmu pengetahuan yang berkembang dalam kalangan ulama Islam, fikih itu
ialah ilmu pengetahuan yang membiacarakan, membahas, memuat hukum-hukum Islam
yang bersumber bersumber pada Al-Qur’an, Sunnah dalil-dalil Syar’i yang lain; setelah
diformulasikan oleh para ulama dengan mempergunakan kaidah-kaidah Ushūl al-Fiqh.
Dengan demikian berarti bahwa fikih itu merupakan formulasi dari Al-Qur’an dan
Sunnah yang berbentuk hukum ‘Amaliyyah yang akan diamalkan oleh ummatnya.
Hukum itu berberbentuk ‘Amaliyyah yang akan diamalkan oleh setiap Mukallaf.23
Jika melihat definisi fikih pada masa klasik, maka ia menunjuk kepada subuah
pemahaman tentang Agama secara menyeluruh, setidaknya ia memahami tiga dari
Abdul Halim …., Hukum Islam…, hlm. 22.
Penempatan urutan sumber dasar sebagai dalil dalam pengambilan hukum ini tidaklah sama
diantara para Imam pendiri Madzhab, Imam Abu Hanifah menempatkan akal atau ar-ra’yu sebagai dasar
utama dalam menggali suatu hukum, sementara Imam Malik bin Anas mengutamakan sunnah atau hadits
sebagai dasar setela al-Qur’an. Sementara imam syafii sendiri mendahulukan al-Qur’an sebagai dasar
utama dalam pengambilan hukum.
22
Mohammad Daud Ali, Hukum…, hlm. 76.
23
Orang yang sudah dibebani dan diberi tanggungjawab melaksanakan ajaran syari’at Islam
dengan tanda-tanda seperti baligh, berakal, sadar, sudah masuk Islam.
20
21
7
8
Menuju Dasar-Dasar Baru Fiqih Islam
Kajian Konseptual Ilmu Fiqih
beberapa ruang lingkup dalam pembidangan ajaran agama Islam, diantaranya adalah
‘Akīdah, Syarī’ah dan Akhlāq, namun secara khusus ruang lingkup fikih dapat dilihat
dari beberapa kitab klasik, muatan yang terkandung dalam kitab-kitab tersebut hanyalah
ada dua yakni: fikih Ibadah dan non-Ibadah. Walaupun belakangan muncul berbagai
problem yang baru dan modern maka muncullah Istilah fikih kontemporer. Fikih ibadah
merupakan sebuah kajian yang memuat bahasan terkait dengan tatacara beribadah secara
vertikal atau sering disebut dengan ibadah Mahdloh, sedangkan non-Ibadah adalah suatu
kajian yang memuat bahasan tentang hubungan manusia dengan manusia, atau hubungan
manusia dengan makhluk lainnya.
Adapun fikih ibadah meliputi pembahasan sebagai berikut: al-Thāharah (bersuci),
Ubūdiyyah (peribadatan), al-Shiyām (puasa), al-Zakāh (mengeluarkan Sebagian hartanya
untuk fakir dan miskin), Hājj, Janāzah (penyelenggaraan jenazah), Jihād (perjuangan),
al-Nadzar, Udhiyah (kurban), Zabihah (penyembelihan), al-Shoyysid (perburuan), dan
‘Aqiqah, Sedangkan fikih non-Ibadah meliputi: Muamalat, pernikahan, kuliner, pakaian,
rumah, kewanitaan, pembaguan harta warisan, pengadilah, kedokteran, politik.
Sedangkan hal-hal yang baru dalam permasalahan Ummat dan belum pernah terbahas
sebelumnya maka disebutnya dengan istilah problem kontemporer, fikih yang dapat
memecahkan problem tersebut dikatakan fikih kontemporer.
Ruang lingkup fikih merupakan produk manusia yang bersifat umum dan tidak
mengikat, karena kajian semacam hal tersebut merupakan acuan-acuan bagi yang
membutuhkan terhadap ketentuan dalam pelaksanakan suatu perkara tertuntu. Adapun
kegunaan dan sifat-sifat kajian dalam fikih tebagi dalam empat produk:
1. Fatwa-fatwa
2. Keputusan PA
3. Peraturan perundangan
4. Kitab-kitab Fikih
Fatwa-fatwa yang dimaksud dalam hal ini adalah Fatwa ulama atau lembaga fatwa
yang disahkan oleh pemerintah, sedangkan sifatnya adalah Kasuistik dan dinamis, karena
merupakan respon atau jawaban pertanyaan yang diajukan oleh peminta fatwa. Selain itu
sifatnya Tidak punya daya ikat.
Keputusan pengadilan Sifatnya: Pertama. Mengikat kepada pihak-pihak yang
berperkara. Kedua. Dinamis, karena merupakan usaha memberi jawaban atau
menyelesaikan masalah yang diajukan Kasuistik, respon terhadap permasalahan, tidak
punya daya ikat. Putusan pengadilan ini tentu sangat bervariatif, seseorang yang
memiliki permasalahan yang sama, akan tidak selalu mendapat keputusan setelah
menyelesaikan perkaranya, bisa saja yang satu berat dan yang lain ringan, karena hal ini
hanya mengikat kepada yang berperkara saja, dan juga disesuai dengan latar belakang
yang menimpanya.
Peraturan perundangan mengikat secara luas, kepada siapa saja yang terkait dengan
bunyi undang-undangnya, dan tentu pemberlakuannya sejak mulai disyahkan sampai ada
pembaruan atau pemcabutan terhadap undang-undang tersebut, atau diganti dengan
Undang-undang yang lain. Sedangkan perumusnya adalah (untuk di Indonesia) DPR.
Bashori Alwi, Maqashid Jurnal Hukum Islam Vol.4, No.2 (2021)
Fikih, sebagaimana yang telah dijelaskan diatas, bahwa fikih adalah kajian tentang
hukum Islam yang berkaitan dengan perbuatan manusia dari dalil-dalil yang rinci, fikih
yang dihasilkan dari hasil pemikiran ini tidak bersifat mengikat, dan bukan merupakan
kasus yang husus, namun apabila didapati sebuah kasus di masyarakat berkaitan dengan
kegiatan keagamaan atau sosial kemasyarakatan, kemudian membutuhkan suatu
pemecahan maka fikih ini dapat membantu dalam memecahkan permasalahan yang
terjadi.
Munuju Dasar-Dasar Fikih Islam
Untuk menciptakan ajaran yang fleksibel dan dinamis serta mampu menjawab
persoalan masyarakat pada setiap zaman (waktu) dan makān (tempat), maka perlu
kiranya mengkaji ulang, bukan hanya pada materi-meteri yang menjadi tradisi, tetapi
juga terhadap dasar-dasar fikih yang sudah diletakkan oleh para funding father kita
terdahulu, untuk kemudian dikembangan sesuai dengan kondisi yang terjadi saat ini.
Karena tentu kondisi masa Imam Madzhab tidaklah sama dengan kondisi saat ini.
Pemahaman terhadap dasar-dasar fikih ini perlu terus disesuaikan dengan
konteksnya,24 dalam rangka untuk memberikan kemungkinan-kemungkian dan alternatif
dalam menjawab masalah-masalah baru, hal ini dimaksudkan agar hukum Islam selalu
mampu merealisasikan tujuan syari’ah semaksimal mungkin, yaitu mampu
merealisasikan kemaslahatan hidup manusia di dunia dan akhirat. Hal ini dimaksudkan
agar hukum Islam tidak ketinggal zaman dan mampu menjawab permasalahan yang
dihadapi masyarakat.25
Sejatinya, peletakan dasar-dasar fikih Islam telah dimulai pada abad kedua Hijriyah,
ketika munculnya Dinasti Abbasiyyah, oleh Imam Syafi’i dalam kitabnya ar-Risālah,
bersamaan juga dengan peletakan dasar-dasar bagi ilmu lainya. Seperti bahasa Arab oleh
Imam Sibawayh dalam kitabnya yang terkenal, yang didalamnya mengakui adanya
sinonimitas, sama halnya dengan ulama yang mendahuluinya, seperti Al-Khalil dan
ulama yang semasa dengannya, seperti Al-Kisa’i, sehingga tidak diragukan bahwa AsSyafi’i sangat dipengaruhi oleh Madzhab yang mengakui sinonimitas tersebut, sehingga
As-Syafi’i tidak menekankan hadits secara harfiyah (lafdzi), dan mencukupkan
periwayatan secara makna saja, akan tetapi problem bahasa bukanlah satu-satunya dasar
yang mempengaruhi Imam Syafi’i, ada problem-problem lain yang menjadi dasar
24
Namun Wahyudi tidak sepakat dengan mengkaitkan ketentuan hukum itu dengan konteks
budaya atau yang lainnya, Mengapa? karena para ulama tidak menjadikan asbāb al-nuzūl dan sosiokultural-politik sebagai bagian dari sarana untuk mengetahui apa yang terkandung dalam al-Qur’an dan
tidak semua ayat al-Quran ada asbāb al-nuzūl-nya. Jika demikian, maka tidak semua ayat al-Quran punya
“keterkaitan” dengan sosio-kultural-politik. Jika kita memaksakan konteks sejarah, sosial dan budaya
sebagai bagian dari sarana untuk mengetahui kandungan al-Qur’an, maka akan banyak ayat al-Quran
terbuang karena tidak memiliki asbāb al-nuzūl, menurutnya Al-Quran adalah kalām dari Allah yang
sifatnya azal yang tidak terpengaruh dengan ruang waktu, termasuk juga di dalamnya konteks sosial,
budaya, ekonomi dan politik.
25
Abdul Halim …., Hukum Isla…, hlm. 22.
9
10
Menuju Dasar-Dasar Baru Fiqih Islam
Kajian Konseptual Ilmu Fiqih
pemikirannya, problem-problem yang dimaksud adalah problem sosial-keagamaan,26
Problem Politik,27 problem bahasa, hal ini dapat dilihat karya-karya yang dihasilkannya.
Hal semacam inilah yang menurut shahrur perlu peninjauan kembali terhadap dasar
tersebut dari akar-akar dan dasar-dasar yang dijadikan pijakan oleh Ulama Salaf.28
Gerakan pemahaman terhadap dasar-dasar semacam hal di atas dewasa ini dikenal
dengan istilah pembaharuan dalam Hukum Islam. Propaganda pembaharuan ini
sebenarnya sudah ada sejak pada 18, dimana pemikiran generasi Muslim saat itu lebih
banyak bertaklid, sehingga gerakan ini dimaksudkan untuk mendobrak taklid dan
mengangkat semangat kembali untuk ijtihād. Pembaharuan hukum Islam ini merupakan
bagian dari apa yang terjadi dalam Islam, jadi pembaharuan dalam Islam lebih luas
meliputi pembaharuan dalam bidang pendidikan, politik, kebudayaan, hukum, dan
sebagainya. Banyak tokoh yang muncul dalam gerakan ini misalnya Syah Waliyulloah
(1703) dari India, Muhammad Ibnu Abdu al-Wahab (1703-1787) dari Saudi, kemudian
disusul oleh, Muhammad ‘Abduh, Rasyīd Ridlo, dan tokoh-tokoh pembaharu lainnya.
Hal yang perlu digarisbawahi dalam gagasan pembaharuan di sini adalah bahwa
pembaharuan berobjek pada hasil pemikiran hukum Islam atau pembaharuan dalam
pemikiran fikih yang telah ada sejak lama, dapat kita pahami pembaharuan hukum Islam
berarti ialah gerakan ijtihād untuk menetapkan ketentukan hukum Islam yang dapat
menjawab problematika ummat yang ditimbulkan oleh kemajuan zaman ini, baik
problema tersebut benar-benar baru terjadi dimasyarakat saat ini, sehingga memerlukan
Ijtihād baru untuk memecahkannya ataupun problem tersebut sudah sama seperti dahulu
namun memerlukan jawaban yang disesuaikan dengan konteks kekinian. Hal demikian
tersebut semua berobjek pada hasil pemikiran manusia, dan masih dalam kategori fikih,
yang merupakan hasil dari pemikiran ulama terdalu, bukan pada ketentuan yang masuk
kategori Syari’ah.
Dalam hal ini, Arkon juga berpendapat Islam memiliki kesiapan diri guna
menghadapi perkembangan modernitas serta kapasitas apa saja. Arkon mengungkapkan
bahwa hal itu bisa terjadi dikarenakan Islam memiliki apa yang disebut sebagai “Jauhār
26
Problem Sosial keagamaan merupakan suatu keniscayaan dalam kehidupan manusia beragama,
karena mereka tidak bisa terlepas dari kehidupannya yang majmuk, hidup bersama baik dalam keluarga
kecilnya atau pada saat interaksi sosial kemasyarakatan, sehingga dalam menentukan suatu hukum
keagamaan akan terasa lebih fleksibel jika dasar problem sosial ini menjadi pertimbangank hukum. Hal ini
juga terlihat pada masa-masa Rasulullah SAW, Sahabat dalam memberikan hukum pada Ummat, bahkan
tidak jarang Rasulullah SAW memberikan jawaban berbeda pada sutu permasalan yang sama yang dialami
dua atau lebih dari Sahabatnya. karena Rasul telah melihat suatu faktor sosial yang tidak sama yang
menimpa pada sahabatnya.
27
Pengaruh politik dalam penetapan hukum sangatlah berpengarus, terutama yang terjadi dewasa
ini, pemahaman terhadap al-Quran telah berpadu dengan kepentingan kekusaan, suatu contoh kasus 4
Nopember 2016, betapa para Ulama, Ilmuan yang bergelar Doktor sampai yang Professor, dalam
memahami surat al-Ma’idah ayat 51, sungguh sangat beragam, dan semuanya mengaku memiliki dasar
yang kuat. Tentu hasil pemikiran tersebut akan berpengaruh terhadap kekuasaan kelompok atau individu
tertentu. Dalam hal ini penulis berpendapat bahwa pemahaman al-Qur’an tidak cukup hanya
mengandalkan kekuatan akal, tetapi perlu kekuatan mental dan hati yang tulus dalam berpikir, sehingga
hasil pemikiran itu bukan hanya untuk dijual akan tetapi benar-benar untuk mendapat keridlaan Allah.
28
Muhammad Shahrur, Metodelogi Fiqih Islam Kontemporer, terjemah, Sahiron Syamsuddin,
(Elsa Pers: Yogyakarta, 2004), hlm. 252.
Bashori Alwi, Maqashid Jurnal Hukum Islam Vol.4, No.2 (2021)
al-Islāmi”, yang terkandung didalamnya doktrin dan konsep tentang teologi yang lugas,
tentang dinamika nalar yang memberikan kerangka makro pemikiran-pemikiran yang
memberikan relevansi terhadap setiap perubahan, dan lainnya. Namun ia juga
menyatakan bahwa posisi Islam ditengah-tengah arus modernitas tidak dapat
mengendalikan kekuatan akar-akar ajarannya, tetapi juga ditentukan oleh kreatifitas pikir
dan sikap para pemeluknya didalam memahami agamanya dan modernitas itu sendiri
secara benar, sehingga melahirkan pemikiran dan sikap yang “Islami dan Sekaligus
Modern”.29
Sebenarnya Ulama al-Salafu al-Shōlih telah memberikan peluang atau ruang pada
dinamika pemikiran-pemikiran pengembangan hukum Islam selanjutnya, hal ini tertuang
pada beberapa prinsip yang memungkinkan untuk dilakukan pengembangan secara
aktual dan transformatif, prinsip-prinsip tersebut antara lain:
1. Qiyās, merupakan metodologi analogi yang dinamik
2. Mashlahatul al-mursalah, merupakan sebuah prinsip hukum yang
memperhatikan kebaikan sosial
3. Mengakui nilai ‘Urf, maka akan mudah untuk membumikan hukum.
4. al-Hukmu Yadūru Ma’a al-Illati Wujūdan wa ‘Adamān, hukum akan mengalami
perkembangan karena disebabkan ada atau tidaknya illat, maka akan mudah
mensosialisasikan perubahan-perubahan hukum secara dinamik dan proposional.
Upaya serupa ini terjadi pula di tanah air kita, karena bagaimana pun, konteks yang
terjadi di Indonesia tidaklah sama dengan pemikiran dunia Islam lainnya, sehingga
ketentuan hukum yang diberlakukan di Indonesia ini perlu disesuaikan dengan kondisi
yang tejadi. Hal ini bukan bermaksud untuk mengatakan bahwa apa yang ditetapkan oleh
ulama salaf itu tidak benar, akan tetapi perlu reaktualisasi dan kontekstual dalam
pemberlakuan hukum-hukum tersebut, sehingga hukum Islam dapat berlaku secara
fleksibel.
Pemikiran semacam ini terjadi pada era 40-an, sebagaimana dalam studinya Damsir
terhadap formulasi fikih Indonesia, Prof. Hasbi, Prof Hazairin, menawarkan tentang
perlunya membangun fikih Indonesia, yaitu fikih yang menggunakan unsur-unsur hukum
Islam yang disesuaikan dengan konteks ke-Indonesiaan yang modern. Kajian tentang
fikih ke-Indonesiaan ini mendapat perhatian yang serius dari kalangan para ahli hukum
Islam di Indonesia, termasuk juga Munawir Sjadzali yang waktu itu menjabat sebagai
Menteri Agama, ia melontarkan wacana pentingnya reaktualisasi hukum Islam yang
disesuaikan dengan konteks ke-Indonesiaan.30
Adalah Abdurrahman Wahid atau Gus Dur yang tidak kalah pentingnya dalam
gagasan pembaharuan Hukum Islam di Indonesia, sosok yang sangat kontroversial itu
memberikan ide gagasannya yang populer saat itu, yaitu “Pribumisasi Islam”. Gagasan
pribumisasi Islam ini juga termasuk pribumisasi hukum Islam, gagasan ini muncul
sebagai respon dan upaya solutif terhadap keberadaan hukum Islam di Indonesia yang
29
30
Tholhah, Prospek Islam…., hlm. 273.
Abdul Halim …., Hukum Isla..., hlm. 22.
11
12
Menuju Dasar-Dasar Baru Fiqih Islam
Kajian Konseptual Ilmu Fiqih
telah mengalami suatu proses legal-formalistik dan sudah tidak memperhatikan aspek
kontekstualisasi dari pemahaman dan pengalamannya, hal ini dapat mengurangi nilai
kemanusiaan dari pelaksanaan hukum yang ada.31
Gagasan atau ide pembaharuan semacam ini, tidak perlu dijadikan suatu yang
kontroversial, bahkan perlu dibumisasikan di tanah air kita ini, bukan hanya dikalangan
akademisi atau pelajar di Perguruan Tinggi di Indonesia, akan tetapi justru yang lebih
layak adalah mereka yang belajar di Pondok Pesantren Salaf, dimana mereka memiliki
dasar-dasar yang kuat dalam pemahaman terhadap fan fikih ini. Mengingat kebutuhan
masyarakat yang kian mendesak untuk mandapat jawaban yang fleksibel, humanis, dan
kontekstual dari permasalahan yang mereka hadapi di era ini.
Kesimpulan
Fikih, sebagaimana yang telah dijelaskan, merupakan hasil pemikiran para ulama
yang bersifat relatif dan fleksibel. Oleh karenanya, bertaklid terhadap pemikiran
terdahulu bukan suatu ciri dalam dunia pemikiran Islam, tetapi hendaklah generasi
Muslim ini terus mencari dasar-dasar dalam Nash (al-Qur’an dan Sunnah), kemudian
dikontekstualkan dan mengupayakan penyesuaian dengan perkembangan periode
sekarang. Sebagaimana para pendahulu seperti para Sahabat dan Tabi’in serta Ulama
Salaf, mereka telah mengkaji al-Quran dan al-Hadis dengan baik sehingga menghasilkan
rumusan yang tertuang dalam kitab-kitabnya, karena mereka yang lebih dekat masanya
dengan Rasulullah SAW, dimana pada saat itu Syari’at itu diberlakukan. Tentunya
generasi saat ini tidak mungkin tiba-tiba langsung memahami al-Qur’an tanpa menelaah
apa yang telah ditanamkan oleh para pendahulu kita.
Hal yang paling penting dalam memutuskan suatu persoalan ummat ketika tidak
ditemukan dalam nash, adalah pertama. Tidak menyimpang atau bertentangan dengan
ketentuan Nash, kedua. Memberikan kemaslahatan bagi ummat dan menghindari
kemudlaratan, ketiga. Benar-benar berasal dari hasil pemikiran akal sehat, yang memiliki
standar kebenaran umum, bukan karena kepentingan tertentu yang mendorongnya.
Sehingga yang ketentuan tersebut benar-benar memecahkan masalah yang terjadi pada
masyarakat bukan malah menambah masalah, atau juga bukan memacahkan masalah
lama dan menimbulkan masalah baru. Hal ini tentu tidak diinginkan dalam dunia hukum
Islam.
31
Ibid…, hlm. 23.
Bashori Alwi, Maqashid Jurnal Hukum Islam Vol.4, No.2 (2021)
Daftar Pustaka
Anwar, Syamsul, Hukum Perjanjian Syariah, Studi tentang Teori Akad dalam Fikih
Muamalat: Rajawali Perss, Jakarta, 2007
Barakatullah, Abdul Halim, dkk, Hukum Islam, Menjawab Tantangan Zaman yang terus
berkembang: Pustaka Pelajar, Yogyakarta, 2006
Daud Ali, Mohammad, Hukum Islam: Rajawali Pers, Jakarta, 2006.
Fanani, Muhyar, Ilmu Ushul Fiqh di Mata Filsafat Ilmu: Walisongo Perss: Semarang,
2009
_______, Pudarnya Pesona Ilmu Agama, Pustaka Pelajar: Yogyaarta, 2007.
Ghazaly, Abd. Rahman, Fiqh Munakahat: Kencana Predana Media Group, Jakarta, 2006
Haq, Hamka, Islam Rahmah Untuk Bangsa: RMBOOKS, Jakarta selatan, 2009.
Hasan, Muhammad Tholhah, Prospek Islam Dalam Menghadapi Tantangan Zaman:
Lantabora Perss, Jakarta, 2003
Minhaji, Ak., Pengantar, Fanani, Muhyar, Ilmu Ushul Fiqh di Mata Filsafat Ilmu:
Walisongo Perss, Semarang, 2009
Mughni, Syafiq A., Pengantar, Studi Islam Perspektif Insider/ Outsider, IRCiSoD,
Yogakarta, 2013.
Mushaffa’ Mu’thi, Fadlolan, Studi Komparatif Antar Madzhab Fiqih, Shalat di Pesawat
dan Angkasa: Syauqi Pers, Tuban, 2007.
Ritonga, A Rahman, dkk, Fiqh Ibadah: Gaya Media Pratama, Jakarta, 1997
Shahrur, Muhammad, Metodelogi Fiqih Islam Kontemporer, terjemah, Sahiron
Syamsuddin, Elsaq Pers: Yogyakarta, 2004.
Shobirin, Fiqh Madzhab Penguasa: Brilian Media Utama, Kudus, 2009.
Zubaidi, Ahmad, dkk, Menjawab persoalan Fiqih Ibadah: al-Mawardi Prima, Jakarta
2001
13