Academia.eduAcademia.edu

SAREKAT ISLAM DAN PERGERAKAN POLITIK DI PALEMBANG

2001, Dra. Triana Wulandari, Muchtaruddin Ibrahim

Sarekat Islam merupakan organisasi pertama diIndonesia yang bersifat kerakyatan. Organisasi ini menjadi pelopor kebangkitan politik bangsa yang bernafaskan Islam. Berdirinya Sarekat Islam dilatarbelakangi dari adanya kesadaran bersama tokoh-tokoh bangsa yang terpelajar. Kesadarannya ini didasari karena tidak rela melihat bangsanya diperlakukan seperti kuda tunggangan yang tidak pemah diberi kesempatan untuk melepas lelah barang sekejap pun oleh Kolonialis Belanda. Karena itu Sarekat Islam tampil ke depan untuk mendobrak dinding-dinding penyekat yang telah dibangun beratus tahun lamanya oleh Kolonialis Belanda.

RESENSI BUKU KARYA DRA. TRIANA WULANDARI, MUCHTARUDDIN IBRAHIM “SAREKAT ISLAM DAN PERGERAKAN POLITIK DI PALEMBANG” Oleh: Shifa Aulya Faradziba Identitas Buku: Judul Asli: Sarekat Islam Dan Pergerakan Politik Di Palembang. Diterbitkan oleh Departemen Pendidikan Nasional, Jakarta. Penulis Dra. Triana Wulandari, Muchtaruddin Ibrahim. Tahun 2001. Jumlah Halaman: 89. Sarekat Islam merupakan organisasi pertama diIndonesia yang bersifat kerakyatan. Organisasi ini menjadi pelopor kebangkitan politik bangsa yang bernafaskan Islam. Berdirinya Sarekat Islam dilatarbelakangi dari adanya kesadaran bersama tokoh-tokoh bangsa yang terpelajar. Kesadarannya ini didasari karena tidak rela melihat bangsanya diperlakukan seperti kuda tunggangan yang tidak pemah diberi kesempatan untuk melepas lelah barang sekejap pun oleh Kolonialis Belanda. Karena itu Sarekat Islam tampil ke depan untuk mendobrak dinding-dinding penyekat yang telah dibangun beratus tahun lamanya oleh Kolonialis Belanda. Meluasnya pengaruh Sarekat Islam, bukan saja karena kepiawan para propagandisnya yang fasih dalam menyampaikan pesan, tetapi juga dipercepat oleh misi yang ditawarkan, seperti yang berada dalam tujuan anggaran dasar Sarekat Islam yaitu kerakyatan, persaudaraan, dan tolong menolong sesama anggotanya. Dengan demikian, Sarekat Islam dianggap menjadi organisasi politik pertama yang berhasil membangkitkan kesadaran politik bangsa Indonesia. Secara administratif, Palembang termasuk ke dalam wilayah Provinsi Sumatra Selatan. Kota ini terletak diantara kanan kiri Sungai Musi. Dahulu daerah ini bernama Palembang dengan ibu kotanya juga bernama Palembang. Nama ini mulai dikenal waktu masa Pemerintahan Kesultanan Palembang. Kemudian setelah Palembang jatuh ke tangan kekuasaan Belanda daerah ini dijadikan daerah setingkat karesidenan dan dinamai Karesidenan Palembang. Ada yang berpendapat bahwa nama Palembang berasal dari kata pa dan limbang. Limbang artinya membersihkan biji besi atau logam dari tanah atau benda kotoran lainnya. Sedangkan kata pa dalam bahasa Melayu artinya adalah menunjuk nama suatu tempat. Dengan demikian Palembang berarti tempat yang sedang berlangsung suatu usaha pembersihan biji besi. Letak dan kedudukan Palembang sangat strategis, sehingga Palembang pernah mengalami kejayaan baik di bidang politik maupun di bidang budaya. Dalam bidang budaya, Palembang telah mempertemukan dua peradaban besar dunia, terutama pada masa keemasan Kerajaan Sriwijaya. Peradaban besar itu antara lain peradaban India dengan ajaran agamanya dan peradaban Cina dengan ilmu pengetahuannya. Dalam percaturan politik, Palembang dalam masa Sriwijaya berhasil menjalin persahabatan antara Jawa dan Sumatra. Dalam perkembangan lebih lanjut pusat kekuasaan Kerajaan Sriwijaya berpindah dari Palembang ke Bukit Siguntang. Perpindahan pusat kerajaan ini, dilakukan oleh para pelarian dari kerajaan di hulu Sungai Batanghari Sembilan atau Sungai Batanghari Jambi. Pada tahun 683 Masehi kerajaan ini telah berpusat di Bukit Siguntang dan Dapunta Hyang adalah pendiri pertama dusun ini. Rajanya ini masih merupakan turunan dart dinasti Syaelendra. Pemindahan pusat kekuasaan biasanya dilakukan tidaklah bersifat kekerasan, hal ini karena hubungan antara kerajaan-kerajaan Sungai yang pemah mertjadi rever's port capital telah terjalin sedemikian baik dan menunjukkan adanya sistim konfederasi. Setelah mengalami perkembangan, pada tahun 775 Masehi kerajaan Sriwijaya mendirikan suatu pangkalan di semenanjung Malaya tepatnya di daerah Ligor (tanah genting Kra). Melalui jalan tradisional lewat Selat Malaka dan melalui tanah genting Kra pada waktu itu merupakan pintu gerbang pelayaran perdagangan dunia. Dalam tahun 683 pengaruh Palembang sebagai ibukota pelabuhan sungai dan pada tahun 775 digantikan oleh Ligor. Kemudian pada tahun 824 berpindah ke Jawa dan akhirnya tahun 850 kembali ke Palembang sebagai asal mulanya dinasti. Pada tahun 1016/1017 merupakan puncak kesempurnaan Sriwijaya dan kerajaan merupakan kerajaan maritim terbesar di Asia Tenggara. Pada abad XII Sriwijaya mulai mengalami kemunduran. Keadaan ini karena terjadi penggantian pimpinan. Tetapi kemudian pada permulaan abad XIII Masehi, Sriwijaya muncul kembali sebagai suatu kekuatan maritim yang pemah memiliki hegemoni tunggal di Asia Tenggara. Kemudian pada akhir abad 14, Sriwijaya dapat ditlaklukan oleh Jawa. Penaklukan ini terkenal dengan expedisi Tumasik 1377-1397 dan expedisi merupakan realisasi dari sumpah Palapa Patih Gajahmada. Usaha ini merupakan kelanjutan politik magis Kartanegara untuk mengakhiri kelruasaan Sriwijaya yang berpusat di Palembang. Berdirinya Palembang menjadi Kesultanan Palembang berkaitan erat dengan berkembangnya Kerajaan Demak. Dikarenakan pendiri Kerajaan Demak yakni Raden Patah merupakan keturunan Palembang. Berdirinya Palembang sebagai kekuatan baru telah menjadi penghalang bagi Banten untuk meluaskan wilayah kekuasaannya. Padahal Banten pada waktu itu sedang berusaha untuk menaklukkan Pajajaran. Namun Banten belum merasa puas bila pelabuhan Palembang belum dikuasai. Banten melihat Palembang sangat penting artinya bagi lalu lintas pelayaran di Selat Malaka. Banten melakukan serangan ke Palembang pada tahun 1596 dan langsung dibawah pimpinan Sultan Mohammad Kanjeng Ratu Banten. Pihak Palembang dipimpin langsung oleh Ki Gedeng Suro. Dalam pertempuran ini Palembang nyaris kalah, karena desakan hebat dari Banten. Tetapi nasib sial menimpa Banten, karena Sultan Mohammad yang berdiri di barisan depan terkena peluru dan tewas seketika. Sejak tahun 1642 Palembang diperintah oleh Pangeran Seda Ing Pasarean. Pada masa ini timbul perselisihan dengan orang barat (VOC) yang telah beberapa lama menetap di Palembang. Dalam tahun 1757-1775 Kerajaan Palembang diperintah oleh putra Sultan Mahmud Badaruddin yang kemudian bergelar Sultan Ahmad Najamuddin I Adikusuma. Kemudian dalam tahun 1775 Sultan Ahmad Najamuddin I digantikan oleh putranya yang bergelar Sultan Muhammad Bahauddin. Sultan ini memerintah sampai tahun 1903. Pada awal abad ke-19 Kerajaan Palembang diperintah oleh Sultan Mahmud Badaruddin II yangjuga disebut Sultan Mahmud Temate. Masa pemerintahan Sultan Mahmud Badaruddin II merupakan zaman keemasan bagi Kerajaan Palembang. Pada 24-4-1812 keraton Palembang jatuh ke tangan Inggris di bawah pimpinan Mayor Jenderal Gillispie. Dalam masa 1819 - 1821 Kesultanan Palembang kembali merdeka penuh dan mengalami kemajuan. Jatuhnya Malaka ke tangan Portugis, membuat kedudukan Kota Palembang menjadi penting bukan saja bagi pedagang muslim dari Malaka, tetapi juga menjadi tempat berkumpul bagi para pedagang Melayu, Jawa dan Cina. Pada tahun 1617 Gubernur Jenderal Jan Piter Zoon Coen yang berkedudukan di Batavia mengirim utusan yang bernama Cryor van Raeburch, dengan maksud untuk mengadakan hubungan dagang dengan Palembang. Penyerahan Palembang dari lnggris kepada Belanda agaknya tidaklah diterima begitu saja oleh Raffles. Pada 1818 setelah ia kembali menjadi Residen Bengkulu mengirimkan dua expedisi yang terdiri atas 200 - 400 orang untuk merebut Palembang. Perubahan terjadi terhadap Palembang ketika masa Kerajaan Sriwijaya, agama rakyatnya adalah Budha, tetapi setelah Kesultanan Palembang, agama yang dipeluk rakyatnya adalah Islam. Ketika masa kejayaan Sriwijaya Islam telah masuk melalui jalan niaga. Proses Islamisasi di Palembang berjalan lancar. Kelancaran ini didukung oleh jatuhnya Sriwijaya, expedisi Ming dibawah Cheng Ho, kedatangan Portugis yang membawa misi Perang Salib dan perebutan kekuasaan di Kraton Demak. Palembang sebagai negeri asal Raden Patah, pendiri kerajaan Demak, mengakui kekuasaan Demak. Sedangkan, proses Islamisasi di daerah pedalaman Palembang peranan para mubalig, kyai, guru agama, haji, adalah sangat penting. Pada tahun 1911 di Surakarta berdiri sebuah perkumpulan yang diberi nama Kong Sing. Anggota perkumpulan tersebut terdiri atas dua golongan, yaitu golongan orang-orang Jawa dan orang-orang Cina. Pada mulanya perkumpulan ini dapat berjalan dengan baik, tetapi kemudian terjadi perpecahan, sebab anggota golongan Cina yang semula hanya 50 persen berkembang menjadi 60 persen, akibatnya mereka berambisi untuk menguasai perkumpulan tersebut. Kemudian mereka membentuk perkumpulan baru dengan nama Sarekat Dagang Islam. Sarikat Dagang Islam didirikan pada 1911 di Solo oleh seorang pengusaha batik di Laweyan Solo yang bernama Haji Samanhudi. Dasar organisasi ini adalah, agama, yaitu Islam dan dasar ekonomi. Ide penndirian SDI ini sebenarnya adalah atas dorongan RM. Tirtohadisuryo, mahasiswa STOVIAyang putus kuliah. Sarikat Islam tumbuh di Palembang dibawa oleh tokoh-tokoh dari Jawa melalui Lampung. SI dapat berkembang secara cepat karena para tokohnya merasa mempunyai kewajiban untuk menyebarluaskan ke seluruh penjuru tanah air. Adapun pendapat lain bahwa Sarikat Islam masuk Palembang melalui Lampung pada tahun 1911 dibawa oleh RM. Tirtohadisuryo dan R. Gunawan. Tokoh-tokoh Sarekat Islam Palembang antara lain Raden Nangling dan M. Wahyu, seorang pokrol. Raden Ngangling menjabat sebagai ketua atau Presiden Sarikat Islam Lokal untuk Kresidenan Palembang. Berdirinya Sarikat Islam di daerah ini adalah karena adanya perubahan sikap politik dari pemerintahan Hindia Belanda terhadap daerah jajahan. Sejak tahun 1911 Sarikat Islam telah masuk daerah Palembang yang dibawa oleh seorang tokoh SI bemama Raden Gunawan. Dengan mobilitas yang tinggi, Raden Gunawan dapat menembus sekat-sekat yang telah diciptakan oleh pemerintah kolonial Belanda yang dikenal dengan sebutan politik pecah belah ( devide et empera). Ia berhasil memobilisasi massa untuk bangkit dan mendirikan Sarikat Islam di seluruh pelosok daerah Karesidenan Palembang. Keberhasilan Sarikat Islam menaklukan hati umat Islam, sebenarnya tidaklah terlepas dari konsep yang ditawarkan yaitu solidaritas, persaudaraan, dan persatuan. Kedatangan Sarikat Islam di daerah ini bukan hanya diterima oleh kalangan pribumi, melainkan mendapat simpati dan tanggapan dari golongan masyarakat Timur Asing yang berdomisili di daerah ini seperti orang Arab, orang India dan orang-orang Cina. Pada tahun 1914 Sarikat Islam sudah dapat berdiri di daerah Uluan atau pedalaman, seperti di daerah afdeling Pegunungan Palembang. Bahkan organisasi ini telah dapat masuk pada daerah onderafdeling dan marga-marganya. Langkah yang dilakukan oleh Raden Gunawan dalam menyebarkan Sarekat Islam adalah dengan mendekati tokoh atau pemuka dan bahkan pejabat setempat. Lewat tokoh-tokoh tersebut Saiikat Islam diperkenalkan secara jelas, baik anggaran dasar maupun tujuannya, sehingga dapat berkembang dengan cepat. Berkat peran para tokoh itu pula, semua aktivitas Sarikat Islam dapat berjalan dengan lancar. Kegiatan Sarikat Islam yang dilakukan di daerah afdeling Pegunungan Palembang dan daerah sekitamya tampak berperan ganda. Pada satu sisi, kegiatannya ditujukan untuk menyatukan dan membangkitkan semangat Islam yang telah tenggelam dalam kekuasaan penjajah Belanda. Sedang pada sisi lain, kegiatannya diarahkan terhadap gerakan missionaris Katholik di Tanjungsakti. Dengan demikian berdirinya Sarikat Islam di daerah ini saat itu dapat membendung meluasnya pengaruh agama Katholik. Pada bulan Juli-Agustur 1914 terjadi puncak kejadian dimana berpuluh-puluh orang tiap malamnya melaporkan bahwa telah memeluk agama Islam. Proses ini terus berlanjut sampai pada tahun 1916, meskipunjumlahnya berkurang tetapi penganut agama Islam terus bertambah. Pada tahun 1914 Sarikat Islam telah berdiri di Labat, ibukota afdeling Pegunungan Pelembang. Berdirinya Sarikat Islam di daerah tersebut juga atas jasa Raden Gunawan, dan tokoh-tokoh daerah ini seperti Anang Abdurrahman, dibantu oleh kawan-kawannya. Dalam periode 1914-1920, anggota Sarikat Islam di Onderafdeling Lematang Ulu sudah tercatat kurang lebih 5000 orang. Pemimpin-pemimpin Sarikat Islamdi daerah yang terkenal antara lain adalah Anang Abdurrahman sebagai Presiden Sarikat Islam Lokal daerah Lahat, Nang Buyung dan M. Nasir sebagai Presiden Sarikat Islam Lokal Lematang Ulu, dan Haji Muhammad Apil sebagai Presiden Sarikat Islam Lokal Marga Gumai Lembak yang termasuk daerah onderafdeling Lematang Ulu. Sedangkan Presiden SI lokal onderafdeling Lematang Ilir, yang beribukota Muara Enim adalah Sahim. Presiden Sarikat Islam Lokal daerah Langkayat adalah Dulwahid dan sebagai Presiden Sarikat Islam Lokal daerah Tanah Abang adalah Topah. Dalam tahun 1914 Raden Gunawan memasuki daerah Pagaralam, daerah onderafdeling Pasemah dan berhasil mendirikan cabang Sarikat Islam di daerah tersebut. Tokoh setempat yang ikut mendirikannya adalah seorang pesirah bemama Sanibar Sadat dan dialah yang kemudian menjadi Presiden Sarikat Islam Lokal yang pertama. Tetapi tanpa adanya alasan yang jelas ia kemudian mengundurkan diri. Untuk mengisi kekosongan pimpinan Sarikat Islam, mala diadakan rapat anggota yang mana hasil dari rapat tersebut menetapkan Aburahim bin Alis se bagai ketua, dengan Tame sebagai wakil dan Senamak Penantian sebagai sekretaris. Pada tanggal 29 September-6 Oktober 1918 diadakan Kongres Sarikat Islam III, yang mana membicarakan kesukaran-kesukaran hidup yang dialami rakyat sebagai akibat dari kekejaman yang dilakukan Pemerintah Hindia Belanda. Oleh karena itu untuk meningkatkan kesejahteraan rakyat, kongres menuntut penurunan pajak, menghapuskan hak atas tanah partikelir, untuk kepentingan rakyat dan memperluas pengajaran. Sekitar tahun 1914 - 1920 hampir di seluruh Karesidenan Palembang telah berdiri cabang-cabang Sarekat Islam yang memiliki jumlah anggota cukup banyak. Tokoh-tokoh Sarekat Islam di Palembang waktu itu antara lain Raden Nangling dan M. Yahya (Poksol). Presiden lokal Sarekat Islam untuk Keresidenan Palembang waktu itu adalah Raden Nangling. Melihat semakin meluasnya pengaruh Sarekat Islam di daerah Palembang tersebut pemerintah kolonial Belanda merasa cemas dan khawatir, sehingga mulai membatasi berbagai kegiatan Sarekat Islam yang kemudian mengakibatkan terjadi banyak konflik antara kolonial Belanda dengan anggota Sarikat Islam. pada awal abad ke-19 daerah Rawas dan sekitarnya merupakan basis perlawanan Sultan Mahmud Badharuddin II terhadap pemerintah kolonial Belanda. Perlawanan itu terjadi sebagai akibat dari intensifikasi kekuasaan Belanda ke daerah Pedaleman/Uluan. Pada tahun 1915 pimpinan Sarekat Islam mempersiapkan massanya untuk mengadakan perlawanan fisik terhadap pemerintah kolonial Belanda yang bertindak sewenang-wenang. Mereka mulai dilatih untuk berperang dengan dibekali dan diajari dengan ilmu-ilmu kebathinan. Pada tahun 1920 Sarekat Islam di daerah Musi Rawas telah dilarang oleh pemerintah Belanda, tetapi secara diam-diam mereka tetap menyampaikan ajaran-ajaran Islam yang bercita-cita membebaskan dirt dart penjajahan kolonial Belanda. Sementara itu Sarekat Islam di Muara rupit di bawah pimpinan Daud Wijaya selalu berhubungan dengan Sarekat Abang dengan perantaraan Adi Akup. Masyarakat umum sering menghubungkan pemberontakan Kelambit dengan "Sarekat Abang" yang sering menimbulkan kesalahpahaman Sarekat Abang sering diasosiasikan dengan Partai Komunis Indonesia (PKI). Karena itulah perlu dijelaskan bahwa Sarekat Abang yang dimaksud bukanlah PKI, melainkan suatu bagian dari organisasi Sarekat Islam yang mendapat pengaruh dart Turki Muda yang para pengikutnya selalu memakai ikat kepala kain merah. Sebagai suatu organisasi massa Sarekat Islam selalu membela kepentingan rakyat banyak. Pimpinan Cabang SI mulai berusaha menggerakkan perlawanan terhadap pemerintah kolonial Belanda di Keresidenan Palembang. Perlawanan tersebut dimulai dengan adanya aksi pembangkangan rakyat (mata gawe) Marga (Dusun) Tulung Selapan, rakyat tidak bersedia membayar pajak kepada pemerintah kolonial Belanda. Dalam aksi kerusuban itu seorang mata gawe dusun Tulung Selapan berhasil menikam seorang Asisten Demang sampai meninggal dunia. Upaya untuk memadamkan perlawanan pemerintah Belanda di Palembang terpaksa mengirimkan 40 orang serdadu ke dusun Tulung Selapan, tapi belum berhasil juga memadamkan aksi pemberontakan tersebut. Aksi perlawanan rakyat Tulung Selapan baru berhasil dipadamkan setelah pemerintah kolonial Belanda memperoleh bantuan dari seorang Pasirah yaitu Pasirah Kayu Agung yang bernama Haji Bakeri Gelar Pangeran Koesoma Joeda. Berkat bantuan Pasirah Kayu Agung akhirnya ketentuan mata gawe (rakyat) Tulung Selapan kembali seperti sediakala dan para mata gawe itu juga akhirnya mau kembali mematuhi dan membayar pajak yang telah ditetapkan oleh pemerintah kolonial Belanda. Di Bandung pada tanggal 4 Juli 1927 berdiri organisasi baru yang bernama PNI (Perserikatan Nasionalis Indonesia), yang berdasarkan sosionasionalistis. Organisasi ini mulai masuk Palembang pada pertengahan tahun 1927 dan dapat berkembang dengan pesat serta meluas ke berbagai pelosok daerah Sumatra Selatan. Pada bulan September 1927 berdirilah cabang Partai Nasional Indonesia di Palembang dengan pengurus, Samidin sebagai ketua, Wahyudi sebagai sekretaris, dan Udin Saleh sebagai bendahara. Sejak awal PNI telah menjalankan politik non-kooperasi, dengan tujuan mencapai Indonesia merdeka. Karena itulah partai ini selalu "diperhatikan" oleh pemerintah kolonial Belanda. Bahkan pernah mendapat "peringatan'' dart Gubernur J enderal pada sidang Volksraad tanggal 15 Mei 1928. Partai Sarekat Islam Indonesia(PSII) merupakan suatu partai politik yang berlandaskan agama dan memperoleh pengaruh besar di Sumatera Selatan (Palembang). Berbagai aksi PSII tersebut justru mendapat sambutan dari masyarakat Kota Palembang dan sekitarnya. Selanjutnya PSII cabang Palembang meminta kepada Ketua Umum PSII untuk memnunjuk Abdul Saleh Mattjik sebagai anggota Jntjnah Tanfidyah yang ditempatkan di Palembang dengan tugas memberi bimbingan kepada cabang-cabang PSII di daerah Sumatera Selatan dan membentuk cabang-cabang baru. PSII dibubarkan karena mengalami perpecahan akibat kembalinya Dr. Sukiman dari negeri Belanda. Kemudian mereka mendirikan organisasi baru yakni Partai Islam Indonesia (PII) pada tahun 1932. Cabang PII mulai berdiri di Palembang pada tahun 1936, dengan tokoh-tokohnya antara lain: KH. Cikwan, KH. Mansyur Ashari, Rahman Thalib, M. Yayah, M. Hawit, Raden lb~ahim dan A. Karim. Kemuman pada tahun 1936 di Kota Palembang berdiri sebuah parpol baru yaitu PARINDRA dengan para tokohnya antara lain Dr. Maas, Salam Astrokusumo, MJ. Suud, RM. Akib dan Azhari. Sebagai partai politik yang berazaskan kooperasi PARINDRA juga mempunyai wakil di dalam Palembangraad. Organisasi ini dipimpin oleh dr. M. Isa, mempunyai beberapa cabang dengan anggota kurang lebih 2.100 orang.