PENDAHULUAN
Penilaian kembali aktiva tetap atau sering disebutrevaluasi aktiva tetap adalah penilaian kembali ktiva perusahaan, yang diakibatkan adanya kenaikan nilai aktiva tetap tersebut di pasaran atau karena rendahnya nilai aktifa tetap tersebut dalam laporan keuangan yang disebabkan oleh devaluasi atau sebab lain. Sehingga nilai aktiva tetap dalam laporan keuangan tidak lagi mencerminkan nilai yang wajar.
Dewan Standar Akuntansi Keuangan (DSAK) Ikatan Akuntan Indonesia mengesahkan tiga Exposure Draft menjadi PSAK yaitu PSAK No 13 (revisi 2007) Properti Investasi, PSAK No. 16 (revisi 2007) Aset Tetap dan PSAK No. 30 (revisi 2007) Sewa. Ketiga PSAK tersebut berlaku efektif untuk penyusunan laporan keuangan untuk periode yang dimulai pada atau setelah 1 periode akuntansi. Ketiga PSAK tersebut terutama membahas mengenai standar perlakuan akuntansi untuk aset tetap. Pengesahan ketiga PSAK tersebut dilakukan sebagai bagian dari proses konvergensi PSAK terhadap International Financial Reporting Standard (IFRS). Oleh karena itu materi PSAK baru tersebut diambil seluruhnya dari IFRS dengan beberapa penyesuaian karena ada beberapa nomor IFRS yang belum diadopsi di dalam PSAK. Dengan berlaku secara efektif ketiga PSAK tersebut maka PSAK lama yaitu PSAK No. 13 (1994) Akuntansi untuk Investasi, PSAK No. 16 (1994) Aktiva Tetap dan Aktiva lain-lain, PSAK No. 17 (1994) Akuntansi Penyusutan dan PSAK No. 30 (1990) Akuntansi Sewa Guna Usaha menjadi tidak berlaku untuk penyusunan laporan keuangan sebuah entitas.
Pelaksanaan penilaian kembali aktiva tetap menurut perundang-undangan perpajakan mengacu pada pasal 19 ayat (1) Undang-undang nomor17 tahun 2000 tentang Perubahan ketiga atas Undang-undang Nomor 7 tahun 1983 tentang pajak penghasilan, bahwa undang-undang memberikan kewenangan kepada Menteri Keuangan untuk menetapkan peraturan tentang penilaian kembali aktiva apabila terjadi ketidaksesuaian antara unsur biaya dan penghasilan karena perkembangan harga. Untuk mengatur masalah penilaian kembali dikeluarkan keputusan Menteri Keuangan Nomor: 486/KMK.03/2002 tanggal 28 November 2002 tentang penilaian kembali aktiva tetap perusahaan selanjutnya diikuti dengan keputusan Direktur Jenderal Pajak No. Kep.519/Pj/2002 tentang tata cara dan prosedur pelaksanaan penilaian kembali aktiva tetap perusahaan untuk tujuan perpajakan.
ANALISIS DAN PEMBAHASAN
Revaluasi Aset tetap menurut standar akuntansi
PSAK 16 (revisi 2007) tentang aset tetap telah dinyatakan berlaku efektif untuk penyusunan dan penyajian laporan keua.ngan entitas yang dimulai pada atau setelah tanggal 1 Januari 2008 menggantikan PSAK 16 (1994) tentang Aktiva Tetap dan Aktiva Lain-Lain dan PSAK 17 (1994) tentang Akuntansi Penyusutan. Aset tetap menurut PSAK 16 (revisi 2007) paragraf 6 adalah aset berwujud yang: (a) dimiliki untuk digunakan dalam produksi atau penyediaan barang atau jasa, untuk direntalkan kepada pihak lain, atau untuk tujuan administratif; dan (b) diharapkan untuk digunakan selama lebih dari satu periode.
PSAK 16 (revisi 2007) mengatur bahwa revaluasi atas aset tetap harus dilakukan dengan keteraturan yang cuk'Up reguler untuk memastikan bahwa jumlah tercatat tidak berbeda secara material dari jumlah yang ditentukan dengan menggunakan nilai wajar secara tanggal neraca. Penentuan nilai aset dengan menggunakan nilai wajar umumnya dilakukan melalui penilai yang memiliki kualifikasi profesional seperti appraisal. Penilai biasanya menggunakan bukti pasar untuk melakukan penilaian terhadap tanah dan bangunan. Sedangkan untuk menilai aset tetap lainnya seperti peralatan maka penilai akan menggunakan profesional judgement untuk menentukan nilai pasar wajamya karena dalam hal ini tidak ada pasar yang memperjualbelikan aset tetap yang serupa. Profesional judgement dari appraisal dapat dilakukan dengan menggunakan pendekatan penghasilan atau depreciated replacement cost approach (paragraf33).
PSAK juga mengatur frekuensi pelaksanaan revaluasi aset tergantung pada perubahan ¢lai wajarnya, jika nilai wajar aset tercatat berbeda secara material dengan nilai revaluasi, maka revaluasi lanjutan perlu dilakukan. Aset tetap yang memiliki perubahan nilai wajar secara fluktuatif dan signifikan maka revaluasi dapat dilaksanakan setiap tahun sedangkan aset tetap yang tidak mengalami perubahan nilai wajar secara fluktuatif dan signifikan tidak perlu dilakukan revaluasi tiap tahun tetapi dapat dilakukan revaluasi setiap tiga atau lima tahun (PSAK 16 revisi 2007 paragraf 34). Paragraf 36 dan 40 PSAK 16 (revisi 2007) juga mengatur bahwa apabila aset tetap suatu entitas akan.direvaluasi maka seluruh aset tetap dalam kelompok yang sama harus direvaluasi dan kenaikan aset tercatat akibat revaluasi langsung dikreditkan ke ekuitas pada bagian selisih penilaian kembali aset tetap.
Salah satu perbedaan pokok antara PSAK No. 16 (2007) tersebut dibandingkan dengan PSAK No. 16 (1994) adalah dalam hal pengukuran setelah pengakuan awal. Pada PSAK No.16 (2007) disebutkan bahwa suatu entitas harus memilih model biaya (cost model) atau model revaluasi sebagai kebijakan akuntansi suatu entitas dan menerapkan kebijakan tersebut terhadap seluruh aset tetap dalam kelompok yang sama. Apabila entitas menggunakan model biaya maka setelah diakui sebagai aset, suatu aset tetap dicatat sebesar biaya perolehan dikurangi dengan akumulasi penyusutan dan akumulasi rugi penurunan nilai aset. Model biaya ini sama perlakuannya dengan standar akuntansi yang sudah ada sebelumnya.
Sedangkan pada model revaluasian, setelah diakui sebagai suatu aset, suatu aset tetap yang nilai wajarnya dapat diukur secara andal harus dicatat pada jumlah revaluasian, yaitu nilai wajar pada tanggal revaluasi, dikurangi dengan akumulasi penyusutan dan akumulasi rugi penurunan nilai yang terjadi setelah tanggal revaluasi. Revaluasi harus dilakukan dengan keteraturan yang cukup regular untuk memastikan bahwa jumlah tercatat tidak berbeda secara material dari jumlah yang ditentukan dengan menggunakan nilai wajar pada tanggal neraca.
Sedangkan dalam PSAK No.16 suatu entitas hanya diperkenankan menggunakan model biaya dan tidak diperkenankan menggunakan model revaluasian. Karena itu tidak ada uraian lebih lanjut mengenai revaluasi aset tetap. Namun demikian dalam PSAK 1994 terdapat pengecualian yaitu suatu entitas diperkenankan melakuan revaluasi atas aktiva tetap sepanjang revaluasi tersebut dilakukan dengan mengikuti peraturan pemerintah. Dalam hal ini peraturan pemerintah yang relevan adalah peraturan dibidang perpajakan. Kewajiban tersebut diantaranya adalah pengenaan pajak penghasilan final atas kenaikan aktiva tetap sebagai hasil revaluasi dan pencatatan atas hasil revaluasi yang dilakukan. Pengecualian ini dilakukan untuk mengakomodasi mekanisme pencatatan apabila suatu entitas melakukan revaluasi untuk tujuan perpajakan. Keputusan Menteri Keuangan No.486/KMK/.03/2002 mewajibkan bahwa atas kenaikan hasil revaluasi aset tetap dicatat dalam akun selisih lebih penilaian kembali aktiva tetap perusahaan. Oleh karena itu salah satu pertimbangan penting dalam melakukan revaluasi aset tetap berdasarkan PSAK 16 (1994) adalah bagaimana dampak perpajakannya.
Dengan mengadopsi model revaluasian sesuai PSAK 16 (2007) maka revaluasi aset tetap dalam rangka penyajian laporan keuangan tidak lagi harus mengikuti ketentuan perpajakan. Suatu entitas yang memilih model revaluasian mempunyai pilihan untuk melaporkan atau tidak atas hasil revaluasi untuk tujuan perpajakan. Apabila entitas bermaksud tidak melaporkan hasil revaluasian tersebut untuk tujuan perpajakan maka akan terjadi beda temporer antara laporan keuangan dengan laporan fiskalnya sehingga pengaruh pajak tangguhan atas revaluasi tersebut perlu dihitung. Beberapa paragraf dalam PSAK 16 (2007) menjelaskan mengenai nilai wajar aset tetap pada saat revaluasian. Nilai wajar tanah dan bangunan biasanya ditentukan melalui penilaian yang dilakukan oleh penilai yang memiliki kualifikasi professional berdasarkan bukti pasar. Jika tidak ada nilai wajar karena sifat dari aset tetap yang khusus dan jarang diperjual-belikan, kecuali sebagai bagian dari bisnis yang berkelanjutan, entitas dapat menggunakan pendekatan penghasilan atau biaya pengganti yang telah disusutkan. Belum ada pedoman yang lebih lanjut mengenai bagaimana suatu entitas atau profesi penilai dalam menentukan nilai wajar. Bahkan dalam kasus penentuan nilai wajar pabrik dan peralatan PSAK cenderung menyerahkan kepada profesi penilai. Sehingga dikhawatirkan akan mengurangi reliabilitas laporan keuangan.
PSAK 16 (2007) menyebutkan bahwa frekuensi revaluasi tergantung kepada perubahan nilai wajar dari suatu aset tetap yang direvaluasi. Jika terjadi perbedaan nilai wajar secara material dari jumlah yang tercatat maka revaluasi selanjutnya perlu dilakukan. Beberapa aset tetap yang mengalami perubahan nilai wajar signifikan dan fluktuatif perlu dilakukan revaluasi setiap tahun. Sedangkan untuk perubahan nilai wajar yang tidak signifikan tidak perlu dilakukan revaluasi setiap tahun. Namun demikian, aset tersebut mungkin perlu direvaluasi setiap tiga atau lima tahun sekali.
Pengelompokan aset tetap merupakan hal yang penting dan harus diperhatikan oleh entitas pada saat melakukan revaluasi aset tetap. PSAK 16 (2007) menyebutkan bahwa jika suatu aset tetap direvaluasi, maka seluruh aset tetap dalam kelompok yang sama harus direvaluasi.
Definisi suatu kelompok aset tetap menurut PSAK 16 (2007) adalah pengelompokan aset yang memiliki sifat dan kegunaan yang serupa dalam operasi normal entitas. Contoh dari kelompok aset yang terpisah adalah: tanah, tanah dan bangunan, mesin, kapal, pesawat udara, kendaraan bermotor, perabotan, dan peralatan kantor. Oleh karena itu system informasi akuntansi suatu entitas perlu didisain sedemikian rupa sehingga mampu membuat kelompok-kelompok aset tetap sesuai dengan PSAK ini.
Aset-aset dalam suatu kelompok aset tetap harus direvaluasi secara bersamaan bertujuan untuk menghindari revaluasi aset secara selektif dan bercampurnya biaya perolehan dan nilai lainya pada saat yang berbeda-beda. Namun, suatu kelompok aset dapat direvaluasi secara bergantian (rolling basis) sepanjang revaluasi dari kelompok aset tersebut dapat diselesaikan secara lengkap dalam waktu yang singkat dan sepanjang revaluasi dimutakhirkan.
Pada saat dilakukan revaluasi, apabila jumlah tercatat aset meningkat maka kenaikan tersebut langsung dikreditkan ke ekuitas pada bagian surplus revaluasi. Namun apabila sebelumnya pernah diakui penurunan nilai aset akibat revaluasi dalam laporan laba rugi, maka terhadap kenaikan aset tersebut harus diakui terlebih dahulu dalam laporan laba rugi sebesar nilai penurunan yang diakui sebelumnya. Sisa nilai setelah sebagian diakui dalam laporan laba rugi tersebut dicatat sebagai kenaikan yang langsung dikreditkan ke ekuitas. Pengaruh pajak tangguhan perlu dihitung dan disesuaikan dengan bagian yang diakui dalam laporan laba rugi tersebut.
Pada saat dilakukan revaluasi, apabila jumlah tercatat aset turun maka penurunan tersebut diakui dalam laporan laba rugi. Namun apabila sebelumnya terhadap aset tersebut penah dilakukan revaluasi dan dicatat sebagai kenaikan yang langsung dikreditkan ke ekuitas maka terhadap penurunan nilai akibat revaluasi tersebut langsung didebitkan ke ekuitas pada bagian surplus revaluasi dengan catatan jumlah maksimal yang dapat didebet adalah sebesar saldo surplus revaluasi. Sisa nilai penurunan dibebankan ke laporan laba rugi.
Dampak atas pajak penghasilan, jika ada, terhadap kenaikan atau penurunan nilai aset akibat hasil revaluasi harus diperhitungkan dan dicatat sesuai dengan pencatat kenaikan atau penurunan revaluasi. Pajak tangguhan diperhitungkan dan dibebankan ke ekuitas atau laporan laba rugi mengikuti mekanisme pengakuan hasil revaluasi.
Pada saat aset tetap direvaluasi, akumulasi penyusutan pada tanggal revaluasi dapat diperlakukan dengan salah satu cara yaitu:
disajikan kembali secara proporsional sehingga dengan perubahan dalam jumlah tercatat bruto dari aset sehingga jumlah tercatat aset setelah revaluasi sama dengan jumlah revaluasian. Metode ini sering digunakan apabila aset direvaluasi dengan cara memberikan indeks untuk menentukan biaya pengganti yang telah disusutkan.
dieliminasi terhadap jumlah tercatat bruto dari aset dan jumlah tercatat neto Metode ini sering digunakan untukbangunan setelah dieliminasi disajikan kembali sebesar jumlah revaluasian dari aset tersebut.
Jumlah penyesuaian yang timbul dari penyajian kembali atau eliminasi akumulasi penyusutan tersebut membentuk bagian kenaikan atau penurunan nilai aset seperti yang dijelaskan dalam mekanisme pencatatan hasil revaluasi di ekuitas seperti yang dijelaskan dalam paragraf sebelumnya.
Pemindahan surplus revaluasi aset tetap ke laba ditahan yang telah disajikan dalam ekuitas dapat dilakukan pada saat aset tetap tersebut dihentikan penggunaannya atau pada saat pelepasan. Namun, sebagian surplus revaluasi dipindahkan ke saldo laba sejalan dengan penggunaan aset oleh entitas. Pemidahan tersebut dilakukan sebesar selisih jumlah penyusutan antara jumlah penyusutan berdasarkan nilai revaluasian dengan jumlah penyusutan berdasarkan biaya perolehan aset tersebut. Namun pemindahan surplus revaluasi tersebut dilakukan langsung ke saldo laba, tidak melalui laporan laba rugi.
Periode transisi
Sebelum terbitnya PSAK 16 (Revisi 2007) sudah terdapat perbedaan antara PSAK dengan peraturan perpajakan (UU PPh No. 36 tahun 2008), seperti tentang metode penyusutan, umur manfaat aset tetap dan kapan aset tetap disusutkan. Dengan terbitnya PSAK 16 (Revisi 2007) terdapat tambahan perbedaan lagi yaitu adanya model revaluasi dalam Standar Akuntansi Keuangan (SAK) di Indonesia kemudian melahirkan Peraturan Menteri Keuangan (PM.K) No. 79 tahun 2008 tanggl 23 Mei 2008 tentang penilaian Kembali Aktiva Tetap untuk Tujuan Perpajakan. PMK tersebut mengatur revaluasi aktiva tetap menurut pajak.
PSAK 16 (2007) mengatur periode transisi pada saat tahun pertama penerapannya. Suatu entitas yang sebelum penerapan PSAK 16 (2007) telah melakukan revaluasi aset tetap dan kemudian memilih menggunakan model biaya sebagai kebijakan akuntansi pengukuran aset tetap maka nilai revaluasi aset tetap tersebut dianggap sebagai biaya perolehan (deem cost). PSAK ini juga mengatur bahwa nilai revaluasi yang diperkenankan sebagai deem cost adalah nilai revaluasi pada saat PSAK ini diterbitkan atau nilai revaluasi sebelum tanggal 29 Mei 2007. Dengan kata lain bahwa revaluasi aset tetap setelah tanggal PSAK ini terbit sampai dengan tanggal 1 Januari 2008 atau tanggal penerapan pertama kali pernyataan ini tidak boleh diakui sebagai deem cost. Demikian juga entitas yang mempunyai saldo selisih revaluasi aset tetap pada saat PSAK ini belum diterapkan maka pada saat penerapan pertama kali PSAK ini harus mereklasifikasi seluruh saldo selisih nilai revaluasi aset tetap tersebut ke saldo laba.
Dalam kaitannya dengan PSAK 30 (2007), aset yang diperoleh melalui sewa pembiayaan tidak diatur secara jelas apakah disertakan dalam revaluasi aset tetap jika suatu kelompok aset dilakukan revaluasi. Namun demikian jika mengacu kepada difinisi dari aset tetap sesuai PSAK 16 (2007) bahwa aset tetap adalah aset berwujud yang dimiliki untuk digunakan dalam proses produksi atau penyediaan barang atau jasa, untuk disewakan kepada pihak lain, atau untuk tujuan administrasi dan diharapkan untuk digunakan selama lebih dari satu periode.
Selain difinisi tersebut, PSAK 16 (2007) juga mendifinisikan kelompok aset tetap yang harus direvaluasi seluruhnya secara bersamaan adalah merupakan kelompok aset yang memiliki sifat dan kegunaan yang serupa dalam operasi normal entitas. Karena itu aset tetap dari leasing menurut penulis termasuk kategori Sebagai aset tetap.
PSAK 13 (2007) mengenai properti investasi mengatur revaluasi aset tetap dalam hal dilakukannya pengukuran setelah perolehan awal aset tetap. Properti investasi yang dicatat dengan menggunakan model revaluasian maka terhadap biaya penyusutannya tidak dihitung. Kenaikan atau penurunan atas nilai properti investasi dibebankan ke laporan laba rugi.
Revaluasi Aset tetap menurut pajak
Pelaksanaan penilaian kembali aktiva tetap menurut perundang-undangan perpajakan mengacu pada pasal 19 ayat (1) Undang-undang nomor17 tahun 2000 tentang Perubahan ketiga atas Undang-undang Nomor 7 tahun 1983 tentang pajak penghasilan, bahwa undang-undang memberikan kewenangan kepada Menteri Keuangan untuk menetapkan peraturan tentang penilaian kembali aktiva apabila terjadi ketidaksesuaian antara unsur biaya dan penghasilan karena perkembangan harga. Untuk mengatur masalah penilaian kembali dikeluarkan keputusan Menteri Keuangan Nomor: 486/KMK.03/2002 tanggal 28 November 2002 tentang penilaian kembali aktiva tetap perusahaan selanjutnya diikuti dengan keputusan Direktur Jenderal Pajak No. Kep.519/Pj/2002 tentang tata cara dan prosedur pelaksanaan penilaian kembali aktiva tetap perusahaan untuk tujuan perpajakan.
Tujuan Penilaian Kembali
Tujuan penilaian kembali aktiva tetap perusahaan dimaksudkan agar perusahaan dapat melakukan penghitungan penghasilan dan biaya lebih wajar sehingga mencerminkan kemampuan dan nilai perusahaan yang sebenarnya.
Tindakan penilaian kembali ini dilakukan karena aktiva tetap yang didasarkan padaharga perolehan (historical cost), dianggao kurang mencerminkan nilai atau potensi nyata yang dimiliki perusahaan, sebagai akibat adanya fluktuasi harga atau nilai tukar yang cukup tinggi. Melalui penilaian kembali ini nilai aktiva tetap bertambah besar menyebabkan beban penyusutan di tahun-tahun mendatang bertambah besar yang dapat berakibat mengurangi Pajak Penghasilan yang terutang.
Walaupun tindakan penilaian kembali aktiva tetap mengakibatkan berkurangnya laba bersih perusahaan, sebenarnya tindakan ini mengandung beberapa manfaat antara lain :
Neraca menunjukan posisi kekayaan yang wajar. Dengan demikian berarti pemakai laporan keuangan menerima informasi yang lebih akurat. Selisih lebih penilaian kembalidapat digunakan tambahan cadangan modal
Kenaikan nilai aktiva tetap, mempunyai konsekuensi naiknya beban penyusutan aktiva tetap yang dibebankan kedalam laba rugi, atau dibebankan ke harga pokok produksi
Wajib Pajak yang dapat melakukan penilaian kembali
Wajib pajak yang dapat melakukan penilaian kembali aktiva tetap adalah wajib pajak badan dalam negeri dan Bentuk Usaha Tetap (BUT) yang selanjutanya disebut perusahaan, dapat melakukan penilaian kembali aktiva tetap perusahaan untuk tujuan perpajakan, dengan syarat telah memenuhi semua kewajiban pajaknya sampai dengan masa pajak terakhir sebelum masa pajak dilakukannya penilaian kembali. Wajib pajak badan dalam negeri dan bentuk usaha tetap tidak termasuk Wajib Pajak yang memperoleh izin menyelenggarakan pembukuan dalam mata uang dollar Amerika Serikat.
Aktiva tetap yang dapat dinilai Kembali
Aktiva tetap perusahaan yang dapat dinilai kembali adalah aktiva tetap berwujud yang terletak atau berada di Indonesia yang dimiliki dan dipergunakan untuk mendapatkan, menagih, dan memelihara penghasilan yang merupakan Objek Pajak. Penilaian kembali dapat meliputi seluruh atau sebagian aktiva tetap perusahaan termasuk aktiva tetap perusahaan yang sudah pernah dilakukan kembali berdasarkan ketentuan yang berlaku sebelumnya. Penilaian aktiva tetap berwujud ini dapat dilakukan paling banyak 1(satu) kali dalam tahun buku yang sama.
Nilai Pasar atau nilai wajar
Penilaian kembali aktiva tetap perusahaan harus dilakukan berdasarkan nilai pasar atas nilai wajar aktiva tetap tersebut yang berlaku pada saat penilaian kembali yang ditetapkan oleh perusahaan jasa atau ahli penilai yang diakui/ memperoleh izin pemerintah
Dalam hal nilai pasar atau nilai wajar yang ditetapkan oleh perusahaan jasa penilai atau ahli penilai yang diakui pemerintah ternyata kemudian tidak mencerminkan keadaan yang sebenarnya, maka Direktur Jenderal Pajak akan menetapkan kembali nilai pasar atau nilai wajar aktiva bersangkutan.
Perhitungan PPh atas selisih penilaian kembali
Selisih lebih penilaian kembali diatas nilai sisa buku fiskal semula setelah dikompensasikan terlebih dahulu dengan sisa kerugian fiskal tahun-tahun sebelumnya berdasarkan ketentuan Pasal 6 Ayat (2) Undang-undang Pajak Penghasilan yang berlaku, dikenakan Pajak Penghasilan yang bersifat final sebesar 10%
Kompensasi kerugian fiskal tetap harus dilakukan terlebih dahulu. Meskipun dalam tahun pajak dilakukanny penilaian kembalii terhadap penghasilan kena pajak dari keuntungan usaha dan atau sumber lainnya
Apabila kondisi keuangan Wajib Pajak tidak memungkinkan untuk melunasi sekaligus Pajak Penghasilan yang terutang atas selisih lebih penilaian kembali seperti yang dijelaskan sebelumnya, dapat mengajukan permohonan pembayara secara angsuran paling lama 12 (dua belas) bulan sesuai dengan ketentuan pasal 9 ayat (4) Undang-Undang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan. Pada pasal 9 ayat (4) dimaksud mengatur masalah kewenangan Direktur Jenderal Pajak dapat memberikan persetujuan atau menunda pembayaran pajak termasuk kekurangan pembayaran. Dalam hal besarnya Pajak Penghasilan yang terutang lebih dari Rp. 2.000.000.000.000,00 ( Dua Triliun Rupiah) Wajib pajak dapat mengajukan permohonan pembayaran secara angsuran lebih dari 1 (satu) tahun hingga paling lama 5 (lima) tahun kepada direktur Jenderal Pajak. Besarnya angsuran tersebut ditetapkan secara prorata setiap tahun sesuai dengan lamanya masa angsuran yang diatur.
PPh yang terutang
Masa Angsuran
Diatas
Rp.2.000.000.000.000,00 s.d. Rp.4.000.000.000.000,00
2 tahun
Diatas
Rp.4.000.000.000.000,00 s.d. Rp.6.000.000.000.000,00
3 tahun
Diatas
Rp.6.000.000.000.000 ,00 s.d. Rp.8.000.000.000.000,00
4 tahun
Diatas
Rp.8.000.000.000.000,00
5 tahun
Bagi wajib pajak yang tidak mungkin untuk melunasi sekaligus pembayaran Pajak Penghasilan final yang terutang dalam rangka penilaian kembali ini, dapat mengajukan permohonan pembayaran secara angsuran kepada kantor wilayah dengan menggunakan formulir yang telah ditetapkan bersamaan dengan pengajuan permohonan persetujuan penialaian kembali aktivaa tetap perusahaan.
Dengan permohonan wajib pajak tersebut, kepala kantor wilayah wajib menerbitkan keputusan persetujuan (seluruhnya atau sebagian) menggunakan formulir sesuai keputusan Direkture Jenderal Pajak bersamaan dengan penerbitan Keputusan Persetujuan atau Penolakan Direktur Jenderal Pajak.
Dalam hal besarnya Pajak Penghasilan Final yang terutang sebagaimana dimaksud diatas lebih dari Rp.2.000.000.000.000,00 (dua triliun rupiah) maka wajib pajak dapat mengajukan permohonan pembayaran secara angsuran untuk lebih dari satu tahun hingga paling lama lima tahun kepada Direktur Jenderal Pajak, paling lambat 14 hari kerja setelah tanggal keputusan Persetujuan atau Penolakan Direktur Jenderal Pajak.
Dengan dasar permohonan Wajib Pajak diatas Direktur Jenderal Pajak juga menerbitkan keputusan persetujuan atau keputusan penolakan dalam batas waktu 14 hari kerja setalah diterimanya permohonan Wajib Pajak. Setelah lewat batas waktu tersebut yaitu tiga puluh hari kerja setelah diterimanya permohonan wajib pajak atau paling lambat 14 hari kerja setelah tanggal diterimanya permohonan, ternyata belum diterbitkan Keputusan Persetujuan atau Penolakan maka permohonan Wajib Pajak dianggap diterima. Penerbitan surat Keputusan Persetujuan Wajib Pajak diterbitkan paling lambat tiga hari kerja setelah berakhirnya batas waktu tersebut dengan pemberlakuan persetujuan yang berlaku sejak akhir tanggal batas waktu.
Permohonan dinilai kembali
Wajib Pajak yang melakukan penilaian kembali aktiva tetap perusahaan untuk tujuan perpajakan wajib mendapatkan persetujuan Direktur Jenderal Pajak dengan mengajukan permohonan kepada Kepala Kantor Wilayah yang membawahi Kantor Pelayanan Pajak tempat Wajib Pajak Terdaftar, paling lambat 30 hari kerja setelah tanggal dilakukannya penilaian kembali aktiva tetap dengan melampirkan.
Fotokopi surat izin usaha jasa penilai yang dilegalisir oleh instansi pemerintah yang berwenang menerbitkan surat izin usaha tersebut;
Laporan Penilaian perusahaan jasa penilai atau ahli profesional yang diakui pemerintah;
Daftar penilaian kembali aktiva tetap perusahaan untuk tujuan perpajakan
Laporan keuangan tahun buku terakhir sebelum penilaian kembali aktiva tetep yang telah diaudit akuntan publik;
Surat Keterangan tidak mempunyai tunggakan pajak dari Kepala Kantor Pelayanan Pajak tempat wajib pajak terdaftar.
Permohonan Wajib Pajak yang terlambat diajukan aatau tidak dilengkapi dengan lampiran seperti diatas tidak dapat dipertimbangkan. Apabila permohonan Wajib Pajak menurut hasil penelitian telah memenuhi persyaratan formal dan material, maka Kepala Kantor Wilayah wajib menerbitkanKeputusan Persetujuan Direktur Jenderal Pajak paling lambat tiga puluh hari kerja setelah diterimanya permohonan Wajib Pajak.
Dalam hal tertentu Direktur Jenderal Pajak belum menerbitkan Keputusan Persetujuan atau Keputusan Penolakan, maka permohonan wajib pajak dianggap diterima dan Kepala Kantor Wilayah wajib menerbitkan Keputusan Peretujuan Direktur Jenderal Pajak paling lambat 3 hari setelah tanggal berakhirnya batas waktu tersebut. Keputusan peretujuan Direktur Jenderal Pajak berlaku terhitung sejak tanggal akhir batas waktu yang ditetapkan.
Dasar Penyusutan Aktiva Tetap
Dasar penyusutan fiskal aktiva tetap perusahaan yang telah memperoleh persetujuan penilaian kembali mulai bulan dilakukannya penilaian kembali adalah Nilai Sisa Buku Fiskal yang baru. Terhadap penyusutan fiskal aktiva tetap perusahaan yang tidak memperoleh persetujuan penilaian kembali menggunakan dasar penyusutan fiskal dan sisa manfaat fiskal semula sebelum dilakukannya penilaian kembali.
Untuk Nilai Sisa Buku Baru Aktiva Tetap perusahaan kelompok bangunan dan bukan bangunan yang penyusutannya menggunakan metode garis lurus merupakan nilai perolehan fiskal baru aktiva tetap perusahaan tersebut pada tanggal penilaian kembali.
Sisa masa manfaat fiskal aktiva tetap perusahaan yang yang telah dilakukan penilaian kembali mulai bulan dilakukannya penilaian kembali disesuaikan kembali menjadi masa manfaat penuh untuk kelompok tetap perusahaan tersebut. Dasar penyusutan fiskal dan sisa masa manfaat fiskal aktiva tetap perusahaan untuk menghitung punusutan dalam bagian tahun pajak sampai dengan bulan sebelum dilakukannya penilaian kembali adalah dasar penyusutan fiskal dan sisa masa manfaat fiskal pada awal tahun pajak yang bersangkutan dan penyusutan fiskal dihitung secara prorata sesuai dengan banyaknya bulan dalam bagian tahun pajak.
Batas Waktu Pembayaran
Pajak Penghasilan Final yang terutang atas selisih lebih penilaian kembali aktiva tetap perusahaan harus dibayar lunas ke Kas Negara dengan menggunakan Surat Setoran Pajak paling lambat 15 hari kerja setelah tanggal diterbitkannya Keputusan Persetujuan Direktur Jenderal Pajak atau paling lambat pada tanggal jatuh tempo setiap angsuran pembayaran dalam hal wajib pajak memperoleh Keputusan Persetujuan Kepala Kantor Wilayah atau keputusan Persetujuan Direktur Jenderal Pajak. Keterlambatan atas pembayaran dan atas angsuran pembayaran pajak dikenakan sanksi administrasi berupa bunga sesuai ketentuan Undang-undang ketentuan umum dan Tata cara Perpajakan beserta peraturan pelaksanaan yang berlaku.
Dalam hal wajib pajak dikenakan snksi tambahan Pajak Penghasilan Final sebesar 20% karena melakukan pengalihan aktiva tetap perusahaan yang telah memperoleh persetujuan penilaian kembali sebelum berakhirnya masa manfaat baru golongan aktiva dimaksud, maka tambahan Pajak Penghasilan Final tersebut harus dibayar lunas ke Kas Negara paling lambat 15 hari kerja setelah akhir bulan terjadinya pengalihan aktiva tetap perusahaan.
Wajib Pajak melakukan pengalihan
Dalam hal Wajib pajak melakukan pengalihan aktiva tetap perusahaan yang telah memperoleh persetujuan penilaian kembali sebelum berakhirnya masa manfaat baru, maka atas pengalihan tersebut dikenakan tambahan Pajak Penghasilan yang bersifat final sebesar 20% dari selisih lebih penilaian kembali diatas nilai sisa buku fiskal semula tanpa dikompensasikan dengan sisa kerugian fiskal tahun-tahun sebelumnya.
Sanksi tambahan PPh Final sebesar 20% karena melakukan pengalihan aktiva tetap tersebut harus dibayar lunas ke Kas Negara paling lambat 15 hari kerja setelah akhir bulan terjadinya pengalihan aktiva tetap perusahaan. Sebagai unsur pengecualian dari ketentuan diatas dalam hal :
Pengalihan aktiva tetap perusahaan yang bersifat force Majeur berdasarkan keputusan atau kebijakan Pemerintah atau keputusan pengadilan
Pengalihan aktiva tetap perusahaan dalam rangka memenuhi persyaratan penggabungan, peleburan atau pemekaran usaha untuk tujuan perpajakan; atau
Penarikan aktiva tetap perusahaan dari penggunaan karena mengalami kerusakan berat yang tidak dapat diperbaiki lagi.
Terjadinya pengalihan aktiva tetap perusahaan dapat menimbulkan keuntungan atau kerugian. Keuntungan atau kerugian yaitu sebesar selisih antar a nilai pengalihan dengan nilai sisa buku fiskal pada saat pengalihan merupakan penghasilan atau pengurang penghasilan bruto berdasarkan ketentuan yang berlaku umum pada Undang-undang Pajak Penghasilan
Selisih lebih penilaian kembali aktiva tetap perusahaan diatas nilai sisa buku komersial semula setelah dikurangi dengan Pajak Penghasilan Final sebesar 10% harus dibukukan dalam neraca komersial pada perkiraan modal dengan nama “selisih lebih penilaian kembali aktiva tetap perusahaan tanggal...”
Terhadap pemberian saham bonus atau pencatatan tambahan nilai nominal saham tanpa penyetoran yang berasal dari kapitalisasi selisih lebih penilaian kembali aktiva tetap perusahaan sampai dengan sebesar selisih lebih penilaian kembali secara fiskal bukan merupakan objek pajak berdasarkan pasal 4 ayat 1 huruf g Undang-undang Pajak Penghasilan jo.Pasal 1 huruf b. Peraturan Pemerintah Nomor 138 tahun 2000 (penghitungan penghasilan kena pajak dan pelunasan pajak penghasilan dalam tahun berjalan. Selisih lebih penilaian kembali secara fiskal diatas lebih besar dari selisih lebih penilaian kembali secara komersial.
Penerapan PSAK 16 (revisi 2007) dan PMK No.79 tahun 2008 bagi Perusahaan di Indonesia
Jika dicermati mengenai mengenai revaluasi aset tetap menurut standar akuntansi (PSAK 16 revisi 2007) dan ketentuan perpajakan (PMK No.79 tahun 2008) seperti yang sudah diuraikan sebelurnnya, maka dapat dilihat beberapa hal yang berbeda. Perbedaan tersebut dilihat dari obyek penerapan revaluasi dan jangka waktu revaluasi (tabel 1). Perbedaan tersebut tentunya akan berpengaruh pada perhitungan pajak.
Keterangan
PSAK 16 revisi 2007
PMK No. 79 tahun 2008
Obyek Revaluasi
dapat dilakukan hanya pada kelompok aset yang ingin diterapkan model revaluasi
tersebut.
harus diterapkan pada seluruh
aset tetap.
Jangka Waktu Revaluasi
Dapat dilak:ukan secara berkala sesuai dengan perubahan nilai wajar secara . fluktuatif dan signifikan ( paragraf 34)
dapat dilakukan kembali setelah
5 tahun terhitung sejak revaluasi
terakhir (pasal 3)
jika secara fiskal perusahaan mengalami kerugian, maka sebaiknya perusahaan melakukan revaluasi atas aset tetapnya, karena dalam pembayaran pajak perusahaan akan lebih diuntungkan. Sebaliknya, jika secara fiskal perusahaan mengalami laba, maka revaluasi aset tetap sebaiknya tidak dilakukan, karena dalam pembayaran pajak perusahaan akan mengalami kerugian jika dibandingkan dengan bila perusahaan tidak melakukan revaluasi aset tetap.
Jika boleh untuk memilih, maka perusahaan-perusahaan yang ada di Indonesia akan cenderung tetap mencatat aset tetapnya seharga nilai perolehan. Hal ini disebabkan karena sistem perpajakan di Indonesia tidak mendukung standar ini. Di dalam peraturan perpajakan, revaluasi aset dikenai pajak final sebesar 10% dan harus dibayar pada tahun tersebut (tidak boleh dicicil dalam 5 tahun misalnya) dan tidak menghasilkan hutang pajak tangguhan yang bisa dibalik di tahun berikutnya bila nilai aset turun. Bayangkan apabila perusahaan memutuskan memakai revalution model dan setiap tahun harga asetnya meningkat, maka setiap tahun harus membayar pajak final. Padahal kenaikan harga aset tersebut tidaklah membawa aliran kas masuk ke dalam perusahaa. Bila aturan perpajakan tidak mendukung, maka dapat dipastikan perusahaan akan enggan menerapkan revaluation model.
Selain itu jika perusahaan memakai revaluation model, maka siap-siap untuk keluar uang lebih banyak untuk menyewa jasa penilai. Hal ini dikarenakan banyaknya aset tetap yang tidak memiliki nilai pasar sehingga ketergantungan kepada jasa penilai akan besar untuk menilai aset-aset ini. Kemudian yang jadi masalah jika temyata nilai wajar yang ditetapkan penilai berbeda dengan nilai wajar yang di tetapkan auditor dari akuntan publik, biasanya nilai wajar dari auditor yang akan dipakai. Sistem pencatatan akuntansi juga sedikit lebih rumit daripada memakai historical cost. Ketika perusahaan pertama kali berubah dari historical cost model ke revalution model, maka akumulasi penyusutan di hapus dan beban penyusutan dihitung kembali berdasarkan nilai wajar yang barn. Demikian selanjutnya apabila revaluasi menerbitkan nilai baru, maka beban penyusutan dihitung kembali .
Beda pengaturan antara akuntansi dan pajak
PSAK 16 (Revisi 2007) memperbolehkan perusahaan untuk memilih model pencatatan aset tetap (setelah pengakuan awal) apakah menggunakan model biaya ataupun model revaluasian. Sistimatika dan aturan main pencatatan akuntansi aset tetap jika perusahaan memilih model revaluasian juga diatur dengan cukup jelas dalam PSAK 16 (Revisi 2007) tersebut. Sedangkan dari segi perpajakan, pengaturan mengenai penilaian kembali (revaluasi) aktiva tetap perusahaan diatur terakhir berdasarkan Peraturan Menteri Keuangan No. 79/PMK.03/2008 yang mulai berlaku sejak 23 Mei 2008 (download di sini : PMK No.79/PMK.03/2008), menggantikan Keputusan Menteri Keuangan No. 486/KMK.03/2002.
Beberapa perbedaan antara pengaturan menurut KMK No. 486/KMK.03/2002 dengan PMK No. 79/PMK.03/2008 diantaranya adalah :
KMK yang lama mengatur bahwa revaluasi dapat dilakukan terhadap seluruh atau sebagian aktiva tetap perusahaan (pasal 3 ayat (2)), sedangkan PMK yang baru mengharuskan revaluasi dilakukan terhadap seluruh aktiva tetap (pasal 3 ayat (1)).
Revaluasi aktiva tetap menurut KMK yang lama dapat dilakukan paling banyak 1 (satu) kali dalam tahun buku yang sama (pasal 3 ayat (3)), sedangkan PMK yang baru mengatur bahwa penilaian kembali aktiva tetap perusahaan tidak dapat dilakukan kembali sebelum lewat jangka waktu 5 (lima) tahun terhitung sejak penilaian kembali aktiva tetap perusahaan terakhir yang dilakukan berdasarkan Peraturan Menteri Keuangan ini (pasal 3 ayat (2)).
Pengaturan ini sepertinya agak bertentangan dengan perlakuan akuntansi menurut PSAK 16 (Revisi 2007) yang merupakan hasil adopsian dari IAS 16 dimana dalam paragraf 31 diatur bahwa (apabila perusahaan menerapkan model revaluasian) maka revaluasi harus dilakukan dengan keteraturan yang cukup regular untuk memastikan bahwa jumlah tercatat tidak berbeda secara signifikan dari nilai wajar pada tanggal neraca. Selanjutnya dalam par. 34 dijelaskan lagi bahwa jika nilai wajar dari aset yang direvaluasi berbeda secara material dari jumlah tercatatnya, maka revaluasi lanjutan perlu dilakukan.
Jadi, apabila setiap tahun terjadi perubahan nilai wajar secara signifikan terhadap jumlah tercatat aset tetap, maka dengan sendirinya revaluasi harus dilakukan secara tahunan. Sedangkan perpajakan mengatur bahwa aktiva tetap baru boleh dinilai kembali setelah jangka waktu 5 tahun sejak revaluasi yang terakhir dilakukan.
Seandainya perusahaan secara akuntansi menerapkan model revaluasian dalam mencatat aset tetapnya dan dalam 2 tahun kemudian nilai wajar aset tetap mengalami peningkatan signifikan sehingga perlu dilakukan revaluasi kembali jelas akan menghadapi masalah karena dengan sendirinya revaluasi yang dilakukan sudah menyimpang dari ketentuan perpajakan.
PMK 79 tahun 2008 tentang Penilaian Kembali Aktiva Tetap untuk Tujuan Pajak Penghasilan memiliki perbedaan yang cukup pokok dengan PSAK 16 tahun 2007. Perbedaan tersebut terdapat dalam hal aturan mengenai mekanisme revaluasi aset, yang antara lain revaluasi aset harus melalui izin dari Direktur Jenderal Pajak. Beberapa perbedaan lain dapat dikumpulkan sebagai berikut:
Aturan Menurut PMK 79 tahun 2008
Aturan Menurut PSAK 16
Penilaian kembali aset tetap Perusahaan dilakukan terhadap :
a. Seluruh aset tetap berwujud, termasuk tanah yang berstatus hak milik atau hak guna bangunan; atau
b. seluruh aset tetap berwujud tidak termasuk tanah, yang terletak atau berada di Indonesia, dimiliki, dan dipergunakan untuk mendapatkan, menagih, dan memelihara penghasilan yang merupakan Objek Pajak (Pasal 3 ayat 1);
Revaluasi yang dilakukan pada sekelompok aset dengan kegunaan yang serupa dilaksanakan secara bersamaan (paragraf 36)
Penilaian kembali aset tetap perusahaan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) tidak dapat dilakukan kembali sebelum lewat jangka waktu 5 (lima) tahun terhitung sejak penilaian kembali aset tetap perusahaan terakhir yang dilakukan berdasarkan Peraturan Menteri Keuangan ini (Pasal 3 ayat 2);
Frekuensi pelaksanaan revaluasi sendiri tergantung pada perubahan niali wajar suatu aset. Jika nilai wajar yang tercatat berbeda secara material dengan nilai revaluasi, maka revaluasi lanjutan perlu dilaksanakan. Untuk aset tetap yang mempunyai perubahan nilai wajar secara fluktuatif dan sifatnya signifikan, revaluasi dapat dilaksanakan tiap tahun. Sedangkan untuk beberapa aset lain yang tidak mengalami perubahan secara fluktuatif dan signifikan, revaluasi tidak perlu dilaksanakan setiap tahun. Untuk aset seperti itu revaluasi dapat dilakukan setiap tiga tahun atau lima tahun. (Paragraf 34)
Selisih lebih penilaian kembali aset tetap perusahaan di atas nilai sisa buku komersial semula setelah dikurangi dengan Pajak Penghasilan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5 harus dibukukan dalam neraca komersial pada perkiraan modal dengan nama “Selisih Lebih Penilaian Kembali Aset Tetap Perusahaan Tanggal ……………… “ (Pasal 9 ayat 1);
Jika jumlah tercatat aset meningkat akibat revaluasi, kenaikan tersebut langsung dikredit ke ekuitas pada bagian surplus revaluasi. Namun, jika revaluasi tersebut merupakan revaluasi lanjutan setelah revaluasi pertama maka kenaikan atas revaluasi harus diakui dalam laporan laba rugi hingga sebesar jumlah penurunan nilai aset akibat revaluasi yang pernah diakui sebelumnya dalam laporan laba rugi.
Jika jumlah tercatat aset turun akibat revaluasi, penurunan tersebut diakui dalam laporan laba rugi. Namun, penurunan nilai akibat revaluasi tersebut langsung didebit ke ekuitas pada bagian surplus revaluasi selama penurunan tersebut tidak melebihi saldo kredit surplus revaluasi untuk aset tersebut
Perbedaan aturan dalam perhitungan pajak menurut akuntansi dan pajak telah diantisipasi sendiri oleh pemerintah, yaitu dengan adanya peraturan mengenai rekonsiliasi fiskal, yaitu Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 138 tahun 2000.
KESIMPULAN
PSAK No.16 (2007) disebutkan bahwa suatu entitas harus memilih model biaya (cost model) atau model revaluasi sebagai kebijakan akuntansi suatu entitas dan menerapkan kebijakan tersebut terhadap seluruh aset tetap dalam kelompok yang sama. Apabila entitas menggunakan model biaya maka setelah diakui sebagai aset, suatu aset tetap dicatat sebesar biaya perolehan dikurangi dengan akumulasi penyusutan dan akumulasi rugi penurunan nilai aset. Model biaya ini sama perlakuannya dengan standar akuntansi yang sudah ada sebelumnya.
Aset-aset dalam suatu kelompok aset tetap harus direvaluasi secara bersamaan bertujuan untuk menghindari revaluasi aset secara selektif dan bercampurnya biaya perolehan dan nilai lainya pada saat yang berbeda-beda. Namun, suatu kelompok aset dapat direvaluasi secara bergantian (rolling basis) sepanjang revaluasi dari kelompok aset tersebut dapat diselesaikan secara lengkap dalam waktu yang singkat dan sepanjang revaluasi dimutakhirkan.
saat aset tetap direvaluasi, akumulasi penyusutan pada tanggal revaluasi dapat diperlakukan dengan salah satu cara yaitu disajikan kembali secara proporsional sehingga dengan perubahan dalam jumlah tercatat bruto dari aset sehingga jumlah tercatat aset setelah revaluasi sama dengan jumlah revaluasian dandieliminasi terhadap jumlah tercatat bruto dari aset dan jumlah tercatat neto Metode ini sering digunakan untukbangunan setelah dieliminasi disajikan kembali sebesar jumlah revaluasian dari aset tersebut.
20