e-ISSN : ______________.
Website : jurnal.umj.ac.id/index.php/fbc
Email :
[email protected]
KAIS
Kajian Ilmu Sosial
Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik
Universitas Muhammadiyah Jakarta
KAMPANYE POLITIK CALON LEGISLATIF PEREMPUAN
(STUDI FENOMENOLOGI PADA PEMILIHAN UMUM 2019)
Robby Milana1), Nani Nurani Muksin2)
Magister Ilmu Komunikasi, FISIP Universitas Muhammadiyah Jakarta
2)
Magister Ilmu Komunikasi, FISIP Universitas Muhammadiyah Jakarta
[email protected]*,
[email protected]*
1)
Abstrak
Demokrasi di Indonesia membuka peluang bagi kaum perempuan untuk terlibat secara aktif
dalam politik, termasuk menjadi kandidat pada pemilihan umum (pemilu). Tujuan dari
penelitian adalah menggambarkan pengalaman kampanye politik calon legislatif perempuan
pada pemilu tahun 2019. Sebagai landasan teoritis, studi ini menggunakan teori komunikasi
politik, kampanye politik dan fenomenologi. Metode yang digunakan adalah deskriptifkualitatif dan dengan menggunakan pendekatan fenomenologi. Informan penelitian adalah 2
orang calon legislatif perempuan pada pemilu tahun 2019. Hasil penelitian menemukan tiga
faktor penting, yaitu: Pertama, calon legislatif perempuan merasa percaya diri dalam
melakukan kampanye pemilu dikarenakan adanya pengalaman berkampanye pada periode
sebelumnya dan telah memiliki modal sosial. Namun demikian calon legislatif tidak
menampik bahwa kampanye bukan sebuah proses yang mudah dan sederhana. Kedua, pesan
komunikasi politik yang diproduksi dan disampaikan bersifat realistis. Ketiga, saluran
komunikasi interpersonal tatap muka dan door to door dianggap sebagai saluran paling efektif
dalam menyampaikan pesan komunikasi politik, dibanding saluran komunikasi bermedia,
termasuk saluran media sosial.
Kata Kunci: Fenomenologi, kampanye politik, Pemilu 2019, Calon Legislatif Perempuan
PENDAHULUAN
Sejak dunia memasuki era digital,
proses dan lanskap komunikasi politik
dianggap turut berubah (Krupnikov &
Searles, 2019). Media sosial dianggap
sebagai saluran komunikasi penting bagi
kandidat selama melakukan kampanye
pemilu, termasuk untuk menjangkau
pemilih, memobilisasi pendukung dan
mempengaruhi agenda publik (Stier et al.,
2018).
Namun di Indonesia situasinya sedikit
berbeda.
Meskipun
media
sosial
memberikan pengaruh, tapi pengaruhnya
masih dianggap tidak signifikan. Oleh
sebab itu kandidat belum optimal dalam
memanfaatkan internet sebagai medium
berkampanye dan memperoleh dukungan
41
KAIS Kajian Ilmu Sosial
Volume 2 No. 1 Mei 2021
42
massa (Prihatini et al., 2019). Para kandidat
lebih banyak memilih saluran tatap muka
sebagai saluran yang dianggap paling
efektif dalam mempengaruhi keputusan
memilih.
Secara teoritis, komunikasi politik
dalam kampanye pemilihan umum (pemilu)
merupakan proses melakukan produksi dan
pengorganisasian
pesan
komunikasi,
membangun aliansi multipihak, mobilisasi
pendukung, publikasi, menjalin relasi
kepada
pemilih,
dan
membentuk
lingkungan infomasi (Strömbäck &
Kiousis, 2014). Terdapat lima elemen
inheren
dalam
komunikasi,
yakni
komunikator, pesan, media, receiver dan
efek (Sapienza et al., 2015).
Pada kampanye pemilu, pihak yang
menjadi komunikator adalah kandidat atau
calon legislatif (caleg). Para kandidat itu
akan memproduksi dan menyampaikan
pesan-pesan komunikasi politik kepada
pemilih melalui saluran (media) yang
dianggap
paling
efektif.
Pemilih
(voters/receivers) bukan semua anggota di
dalam masyarakat, melainkan kelompok
tertentu (khalayak) yang ada di tengah
masyarakat dan telah ditargetkan oleh
kandidat.
Konstitusi Republik Indonesia telah
mengatur dan menjamin bahwa kaum lakilaki dan perempuan memiliki hak untuk
mencalonkan
diri
dalam
pemilu
(Hardjaloka, 2012). Namun berbeda dengan
laki-laki, pencalonan kandidat perempuan
dilindungi
dan
dimotivasi
melalui
affirmative action, di mana perempuan
mendapatkan
kuota
sebesar
30%
representasi di dalam parlemen dan partaipartai politik harus mematuhinya (Partini,
2012).
Akan tetapi, meski telah diatur oleh
affirmative action, menjadi kandidat
perempuan di Indonesia bukan perkara
mudah. Alasan utamanya adalah karena
budaya patriaki masih memiliki pengaruh
kuat dalam proses politik (Wahyudi, 2019).
Oleh karena itu, bagi sebagian perempuan,
berhasil melakukan kampanye pemilu dan
duduk menjadi anggota Dewan Perwakilan
Rakyat
(DPR)
merupakan
sebuah
pencapaian.
Penelitian
ini
mendeskripsikan
tentang kegiatan komunikasi politik caleg
perempuan saat berkompetisi dalam pemilu
2019. Bagaimana pengalaman subjektif
para kandidat saat berkampanye, pesanpesan apa yang diproduksi dan media apa
yang dianggap paling efektif?
Tujuan dari penelitian ini adalah
untuk
mendeskripsikan
pengalaman
kampanye politik caleg perempuan dalam
pemilu legislatif tahun 2019.
KAJIAN TEORITIS
1. Komunikasi Politik
Komunikasi politik merupakan
sebuah konsep multitafsir (Blumler, 2015).
Sejak memasuki abad ke 21, di mana dunia
memasuki era digital, maka teori, definisi
dan atribut-atribut komunikasi politik
banyak mengalami tren-tren baru (Archetti,
2016).
Menurut Pippa Norris (2015),
komunikasi politik adalah proses interaktif
mengenai transmisi informasi antara
politisi, media dan publik. Prosesnya
berjalan secara downward dari pemerintah
kepada warga negara, secara horizontal di
antara para aktor politik, dan secara upward
dari opini publik kepada pemerintah.
Menurut
Archetti,
literatur
dalam
komunikasi politik dibagi menjadi tiga
kategori utama, yaitu terkait dengan faktor
produksi pesan, isi pesan dan efek pesan
(Archetti, 2016).
Menurut Norris (2015), produksi
pesan adalah bagaimana pesan dihasilkan
oleh politisi, seperti partai atau kelompok
Robby Milana, Nani Nurani Muksin: Kampanye Politik Calon Legislatif Perempuan
(Studi Fenomenologi pada Pemilihan Umum 2019)
kepentingan,
lalu
ditransmisikan
menggunakan saluran langsung (seperti
iklan politik) atau saluran tidak langsung
(seperti koran, radio dan televisi). Isi pesan
mencakup jumlah dan bentuk reportase
politik yang ditampilkan dalam berita di
televisi, keseimbangan partisan dalam pers,
ulasan mengenai kampanye dan event
tertentu dalam pemilihan, reportase agenda
setting dalam isu-isu politik, dan
representasi kaum minoritas dalam
pemberitaan media. Efek pesan menaruh
perhatian pada tingkat masyarakat. Isu
kuncinya terfokus pada analisis dampak
potensial yang mungkin muncul di tengah
masyarakat seperti pada pengetahuan
politik dan opini publik, sikap politik dan
nilai-nilai politik, serta pada tingkah laku
politik. Metode yang digunakan umumnya
dengan menggunakan survey atau studi
eksperimen.
Brian
McNair
(2011)
mendefinisikan
komunikasi
politik
mencakup; (1) Semua bentuk komunikasi
yang dilakukan oleh politisi dan aktor
politik lain untuk mencapai tujuan-tujuan
spesifik; (2) Komunikasi yang ditujukan
kepada aktor-aktor politik oleh kelompokkelompok non-politisi seperti pemilih dan
kolumnis koran; (3) Komunikasi mengenai
aktor-aktor politik beserta aktivitas mereka,
seperti yang terdapat di dalam news report,
editorial, dan bentuk-bentuk lain dalam
diskusi media.
Tema-tema yang dibicarakan dalam
komunikasi politik di antaranya terkait
dengan kampanye pemilu, studi media,
opini publik, propaganda, hubungan
internasional, proses informasi, retorika,
aktor-aktor politik, ekonomi media, agenda
setting, dan pemilu (Graber & Smith,
2005). Secara teoritis dan praktis, ada tiga
aktor utama yang terdapat dalam proses
komunikasi politik, yaitu pemerintah,
media dan warga negara (Sánchez Medero,
2020). Fenomena komunikasi politik dalam
suatu masyarakat merupakan bagian yang
tidak terpisahkan dari dinamika politik
dimana komunikasi itu bekerja.
2. Kampanye Politik
Kampanye politik adalah kegiatan
yang bertujuan untuk memberi informasi
dan mempengaruhi perilaku audiens dalam
jumlah besar pada waktu tertentu dengan
menggunakan
seperangkat
tindakan
komunikasi
yang
terorganisir
dan
menampilkan
berbagai
pesan
yang
termediasi dengan menggunakan berbagai
saluran untuk menghasilkan manfaat (atau
efek) non-komersial pada individu dan
masyarakat (Atkin & Rice, 2013).
Merujuk pada definisi di atas dapat
peneliti simpulkan bahwa dalam kampanye
politik setidaknya terdapat tujuh hal, yaitu;
(1) Adanya kegiatan memberi informasi
kepada khalayak, (2) Adanya usaha
mempengaruhi khalayak sebagai calon
pemilih, (3) Dilakukan pada periode
tertentu, (4) Menggunakan tindakan
komunikasi yang teroganisir, (5) Memiliki
pesan spesifik, (6) Pesan disebarkan
melalui media, dan (7) Ada efek tertentu.
Pada UU Nomor 10 Tahun 2008
Tentang Pemilihan Anggota DPR, DPD dan
DPRD, kampanye didefinisikan sebagai
kegiatan yang dilakukan oleh peserta
pemilu untuk meyakinkan para pemilih
dengan menawarkan visi, misi dan program
yang ditawarkan oleh calon peserta Pemilu.
Pemilu merupakan ajang interaktif
untuk memperoleh respon dan preferensi
politik dari konstituen (Stier et al., 2018).
Kampanye politik dalam pemilu (atau
kampanye pemilu) dengan demikian
merupakan
sebuah
medium
untuk
memperoleh
respon,
perhatian
dan
dukungan dari massa pemilih agar seorang
kandidat dapat memenangkan kompetisi
politik.
3. Fenomenologi
43
KAIS Kajian Ilmu Sosial
Volume 2 No. 1 Mei 2021
44
Menurut Creswell, fenomenologi
adalah sebuah studi yang berupaya untuk
menjelaskan makna pengalaman hidup
sejumlah orang tentang suatu konsep atau
gejala, termasuk di dalamnya konsep diri
atau pandangan hidup mereka sendiri
(Creswell, 2007). Engkus Kuswarno
mendefinisikan fenomenologi
sebagai
upaya menggambarkan fenomena dari suatu
komunitas menurut pandangan mereka
sendiri (Kuswarno, 2007).
Berdasarkan dua definisi di atas,
dalam fenomenologi sebuah fenomena
dialami dan dimaknai tidak berdasarkan
dari pemahaman orang lain, melainkan dari
pemahaman individu yang mengalaminya
sendiri.
Moleong memberikan gambaran
utama yang menjadi karakteristik dalam
studi fenomenologi. Menurut Moleong,
dalam fenomenologi tidak terdapat asumsi
bahwa peneliti mengetahui arti sesuatu bagi
orang-orang yang sedang ditelitinya. Inkuiri
(penyelidikan) fenomenologis dimulai
dengan diam. Diam merupakan tindakan
untuk menangkap pengertian sesuatu yang
sedang diteliti. Mereka berusaha untuk
masuk ke dalam dunia konseptual para
subjek yang ditelitinya, sehingga mereka
mengerti apa dan bagaimana suatu
pengertian yang dikembangkan oleh
mereka di sekitar peristiwa dalam
kehidupan sehari-hari (Kuswarno, 2007).
Hal ini berarti bahwa dalam studi
fenomenologi peneliti membiarkan segala
sesuatu menjadi nyata sebagaimana aslinya,
tanpa
memaksakan
kategori-kategori
peneliti terhadapnya.
Edmund Husserl dianggap sebagai
“bapak fenomenologi.” Menurut Husserl,
fenomenologi dipahami sebagai metode
filosofis yang berasal dari “prinsip dari
semua prinsip.” Setiap intuisi prensentif asli
adalah sumber yang melegitimasi kognisi
(Russon, 2020). Setelah Husserl, banyak
sarjana lain yang menggeluti fenomenologi,
di antaranya Heidegger, Sartre, Merleau-
Ponty, Schutz. Namun meski masingmasing sarjana memiliki perbedaan
pandangan, pada prinsipnya fenomenologi
fokus pada pengalaman subjektif individu,
verstehen (pemahaman), kesadaran dan
intersubjektivitas (van Manen & van
Manen, 2021).
METODE
Pendekatan penelitian ini adalah
kualitatif, sifat atau jenis penelitian adalah
deskriptif,
dan
metode
penelitian
menggunakan
fenomenologi.
Metode
fenomenologi digunakan, sebagaimana
dinyatakan John W. Creswell (Creswell,
2007),
sebagai
upaya
untuk
menggambarkan makna dari pengalaman
hidup sejumlah orang tentang suatu konsep
atau gejala.
Teknik pengumpulan data dilakukan
dengan wawancara mendalam terhadap 2
informan
caleg
perempuan
yang
berpartisipasi pada pemilu tahun 2019,
yaitu Kurniasih Mufidayati (Partai Keadilan
Sejahtera) dan Anggia Erma Rini (Partai
Kebangkitan Bangsa). Pengumpulan data
juga dilakukan melalui observasi dengan
mengamati aktivitas kampanye caleg
perempuan di media sosial. Informan
diambil secara purposif dengan kriteria: (1)
Aktor politik perempuan dari sebuah partai
politik, (2) Menjadi caleg pada pemilu
legislatif tahun 2019, (3) Pernah
beraktivitas dalam pemilu atau pilkada di
masa sebelumnya.
Analisis data dilakukan dengan
menggunakan teknik analisis data Creswell
yang terdiri dari empat tahap, yaitu (1)
Tahap mendeskripsikan fenomena yang
dialami oleh informan, (2) Tahap
mengidentifikasi dan menginventarisir hasil
wawancara, atau tahap horizontalization,
(3) Tahap memilih pernyataan-pernyataan
penting untuk dimasukan ke dalam satu
Robby Milana, Nani Nurani Muksin: Kampanye Politik Calon Legislatif Perempuan
(Studi Fenomenologi pada Pemilihan Umum 2019)
grup dan diberi nama meaning unit. Pada
tahap ini juga dilakukan klasifikasi
mengenai pernyataan-pernyataan yang
bermakna mengenai
what
(textural
description)
dan
how
(structural
description), dan (4) Tahap melakukan
deskripsi menyeluruh mengenai data.
HASIL DAN PEMBAHASAN
Berdasarkan hasil analisis, kajian ini
membagi pembahasan ke dalam tiga
bagian, yaitu pengalaman kampanye
pemilu, produksi pesan dan saluran yang
digunakan. Ketiga bagian tersebut bukan
merupakan proposisi yang terpisah-pisah,
melainkan merupakan satu kesatuan yang
saling mempengaruhi.
Pengalaman Kampanye Pemilu
Fenomenologi adalah sebuah studi
yang berupaya untuk menjelaskan makna
pengalaman hidup sejumlah orang tentang
suatu konsep atau gejala, termasuk di
dalamnya konsep diri atau pandangan hidup
mereka sendiri (Creswell, 2007). Salah satu
poin penting dalam studi fenomenologis
adalah pengalaman yang tersembunyi di
dalam aspek filosofis dan psikologis
individu dapat terungkap melalui narasi
(Frechette et al., 2020), sehingga peneliti
dan pembaca seolah dapat mengerti
pengalaman hidup yang dialami oleh subjek
penelitian sebagaimana adanya (Nicholls,
2019).
Pengalaman
kandidat
dalam
melakukan kampanye politik merupakan
pengalaman yang bersifat subjektif.
Mufidayati dan Anggia sama-sama
menyatakan bahwa kampanye pemilu
bukan sebuah proses yang mudah dan
sederhana. Namun keduanya sama-sama
diuntungkan karena pernah menjadi aktivis
organisasi dan pernah menjadi caleg di
periode sebelumnya. Sehingga kesiapan
mental, masalah pendanaan, manajemen
SDM dan membangun jaringan sudah
dipersiapkan secara matang.
Hal pertama yang dilakukan oleh
Mufidayati adalah mendatangi kantongkantong pemilih yang sebelumnya pernah
dirawat olehnya. Konstituen yang dimaksud
Mufidayati adalah (1) khalayak yang
ditargetkan, (2) tokoh-tokoh simpul dan (3)
relawan. Mufidayati merasa bersyukur
bahwa konstituen masih ingat padanya,
sehingga tahap perkenalan diri tidak perlu
dilakukan dan Mufidayati dapat langsung
melakukan komunikasi politik kepada
konstituen yang sebagian besar ibu-ibu.
Mufidayati tidak mengejar audiens
yang terlalu luas, melainkan konstituen
yang spesifik. Hal demikian, merujuk pada
Atkin dan Rice (2012), dapat memberikan
dua keuntungan dalam proses kampanye.
Pertama, efisiensi pesan dapat ditingkatkan
jika subset audiens diprioritaskan sesuai
dengan sentralitasnya dalam mencapai
tujuan kampanye, serta adanya potensi
penerimaan dari audiens untuk dipengaruhi.
Kedua, efektivitas dapat ditingkatkan jika
isi pesan, bentuk, gaya dan saluran
disesuaikan dengan atribut eudiens sasaran
(Atkin & Rice, 2012).
Sedikit berbeda dengan Mufidayati,
Anggia hanya mendatangi tokoh-tokoh
simpul. Tokoh-tokoh simpul itu yang
nantinya akan menjadi “penyambung lidah”
Anggia dalam menyampaikan pesan-pesan
komunikasi politiknya. Jika dilihat dalam
kerangka komunikasi politik, maka Anggia
mengambil strategi dengan memanfaatkan
peran opinion leader atau tokoh dalam
melaksanakan
kampanye
politiknya.
Strategi demikian, merujuk pada Kingdon
merupakan strategi yang efektif, karena
adanya fakta bahwa pemilih lebih memilih
untuk mengikuti tokoh atau orang yang
memahami politik, dibanding jika mereka
45
KAIS Kajian Ilmu Sosial
Volume 2 No. 1 Mei 2021
46
bergerak sendirian (Kingdon, 1970).
Pemanfaatan transfer informasi melalui
opinion leader efektif dilakukan pada
masyarakat yang masih menganut tradisi
pra-modern yang dalam kesehariannya
didominasi oleh komunikasi interpersonal
(Norris, 2015).
Selain perbedaan dalam pola
pendekatan kepada audiens, khalayak
Anggia pun lebih luas dibanding
Mufidayati, yakni bukan hanya terbatas
pada ibu-ibu, melainkan warga Nahdatul
Ulama (NU), baik yang perempuan maupun
laki-laki, baik usia muda maupun tua.
Dikarenakan
perbedaan
dalam
melakukan pendekatan terhadap pemilih,
maka terdapat perbedaan dalam “merasa”
yang dialami oleh kedua kandidat.
Mufidayati merasa senang, terharu dan
percaya diri dalam berkampanye. Perasaanperasaan yang muncul sebagai representasi
kondisi “bertemu kembali” dalam sebuah
setting politik yang identik. Sementara
Anggia merasa percaya diri dalam
berkampanye, dikarenakan dirinya sudah
merasa diwakili oleh tokoh-tokoh yang
dipercaya oleh pemilih.
Pengalaman kampanye keduanya
juga terkait dengan kegiatan melakukan
pembentukan tim kampanye, blusukan
(door to door), kampanye melalui media
sosial, pertemuan tatap muka, pemasangan
alat
peraga,
pertemuan
terbatas,
menyampaikan
janji
politik
dan
menyebarkan identitas diri melalui fitur
tertentu.
Namun
Mufidayati
juga
melakukan beberapa hal lain yang tidak
dilakukan oleh Anggia, yaitu mapping
(pemetaan pemilih) dan advokasi kepada
konstituen.
Namun Mufidayati dan Anggia
memiliki perasaan yang sama dalam
konteks
menghadapi
kompetitor.
Mufidayati dan Anggia sama-sama merasa
bukan tokoh penting dan bukan incumbent.
Hal ini memberikan dampak bahwa mereka
harus bekerja lebih keras dibandingkan
caleg lain yang telah memiliki popularitas
dan sumber-sumber daya lebih. Namun
demikian keduanya menolak untuk
membagi-bagi uang kepada pemilih dengan
alasan
tidak
mencerdaskan,
dapat
menciderai
demokrasi
serta
dapat
menurunkan integritas sebagai politisi
perempuan.
Pandangan ini dalam fenomenologi
disebut sebagai kesadaran dan refleksi diri
(Zahavi, 2009), di mana kedua kandidat
merasa perlu mempertahankan idealisme
untuk tidak melakukan “money politics”
kepada khalayak pemilih dikarenakan
kandidat memiliki barometer ideologi,
nilai-nilai dan interpretasi terhadap pemilu
yang bersih dan sehat.
Pesan Komunikasi Politik
Pesan komunikasi politik yang
diproduksi dan disebarkan oleh Mufidayati
dan Anggia memiliki dua kategori, yakni
pesan utama dan pesan turunan. Pesan
utama Mufidayati adalah mengajak
masyarakat untuk cerdas berpolitik dan
mengajak masyarakat untuk memilih PKS.
Pesan ini cukup unik, mengingat sebagai
kandidat Mufidayati tidak berpesan kepada
khalayak untuk memilih dirinya. Namun
Mufidayati memiliki pendapat bahwa jika
khalayak memilih PKS, otomatis dirinya
juga akan dipilih.
Sementara pesan utama Anggia
adalah mengajak masyarakat untuk
berpartisipasi politik sebagai bagian dari
ibadah dan mengajak masyarakat untuk
memilih dirinya agar ketika berada di
dalam
sistem,
Anggia
dapat
memperjuangkan aspirasi khalayak.
Pesan utama yang disampaikan
Mufidayati dan Anggia sama-sama bersifat
Robby Milana, Nani Nurani Muksin: Kampanye Politik Calon Legislatif Perempuan
(Studi Fenomenologi pada Pemilihan Umum 2019)
“realis” dibanding “idealis.” Hal ini
dilakukan karena Mufidayati dan Anggia
sama-sama memiliki asumsi bahwa
khalayak
pemilih
memiliki
tingkat
kecerdasan yang baik, sehingga tidak perlu
menggunakan
narasi-narasi
imajinatif
dalam penyampaikan pesan komunikasi
politik.
Di samping pesan utama, kedua
kandidat juga memiliki pesan turunan.
Pesan turunan Mufidayati adalah saling
tolong menolong di jalan Allah,
memperjuangkan sembako murah, masalah
ketenagakerjaan, perlindungan terhadap
perempuan dan buruh migran, isu stunting,
BPJS, serta advokasi terhadap perempuan
dan buruh migran di luar negeri. Pesan
turunan yang disampaikan Anggia adalah
mengenai kesehatan dan keberpihakan
kepada UMKM.
Pesan turunan yang disampaikan
kedua kandidat lebih berupa janji-janji
politik. Meski pun pada kasus Mufidayati,
kegiatan perlindungan dan advokasi
terhadap kaum perempuan dan buruh
migran
sudah
dilakukan.
Artinya,
Mufidayati tidak hanya menyampaikan
janji politik yang belum dilaksanakan,
melainkan juga mengungkap “janji” politik
untuk melaksanakan sesuatu lebih baik lagi
jika dirinya menjadi anggota DPR.
Pesan merupakan elemen penting
dalam kampanye politik, baik bagi kandidat
maupun bagi pemilih. Oleh karena itu pesan
diharapkan (1) berisi informasi mengenai
isu yang relevan dan (2) pemilih akan
mengevaluasi kandidat secara baik melalui
isu yang dianggap menyentuh kebutuhan
mereka (Dalager, 1996). Pesan kampanye
yang disampaikan oleh kedua kandidat,
baik pesan utama maupun pesan
turunannya, sudah menganut kaidah yang
demikian.
Kandidat
tampak
telah
memahami target audiens dan kebutuhan
mereka, sehingga
kandidat
mampu
memilih, memproduksi dan mengemas
pesan yang efektif sesuai target audiens itu.
Saluran Komunikasi Politik
Pesan yang sudah diproduksi harus
disebarluaskan
atau
didistribusikan.
Kandidat politik memerlukan saluran
komunikasi untuk mendistribusikan pesanpesan mereka agar sampai ke tengah
khalayak.
Saluran
yang
digunakan
Mufidayati dan Anggia sama, yaitu saluran
komunikasi interpersonal, saluran media
sosial dan media luar ruang. Namun
Mufidayati dan Anggia mengatakan bahwa
media luar ruang bukanlah saluran
komunikasi
politik
yang
terlalu
diperhatikan. Sifatnya hanya “harus ada”
sebagai alat peraga.
Oleh karena itu kedua kandidat
menekankan pada saluran komunikasi
interpersonal dan media sosial. Saluran
interpersonal yang digunakan Mufidayati
dan Anggia adalah dalam bentuk pertemuan
terbatas dan door to door. Pertemuan
terbatas berupa rapat, seminar atau
pengajian. Sementara door to door
dilakukan
dengan
cara
mendatangi
konstituen langsung ke rumah-rumah.
Kandidat merasa bahwa saluran
komunikasi interpersonal lebih efektif
dibanding penggunaan media sosial.
Kesimpulan ini muncul melalui tiga alasan,
yakni: Pertama, komunikasi interpersonal
bersifat lebih akrab, sehingga ketika
kandidat menyampaikan pesan politik,
konstituen merasa tidak ada jarak yang
terlalu jauh. Kedua, komunikasi yang
dilakukan spontan dan lebih segar.
Konstituen dapat melihat langsung apa
yang diucapkan kandidat beserta bahasa
tubuh
yang
menyertainya.
Ketiga,
konstituen dianggap masih belum terlalu
akrab dengan kampanye melalui media
47
KAIS Kajian Ilmu Sosial
Volume 2 No. 1 Mei 2021
digital, termasuk media sosial. Alasan
ketiga ini berlaku bagi Mufidayati dan
Anggia. Manurut Mufidayati, meski
berkampanye di dapil Jakarta yang
penduduknya relatif melek teknologi,
namun konstituen masih belum terlalu
familiar menyimak informasi melalui media
digital. Bagi Anggia terlebih lagi, sebab
konstituennya yang diapproach kebanyakan
di desa dan masih bersifat komunitarian.
Pandangan dan keputusan kedua
kandidat untuk mengutamakan saluran
komunikasi
interpersonal
merupakan
strategi yang terbukti efektif. Secara
teoritis, sebagaimana pernah dinyatakan
oleh Lynda Lee Kaid, komunikasi
interpersonal
merupakan
saluran
komunikasi
paling
efektif
untuk
menyampaikan persuasi politik (Lee Kaid,
1977). Hal tersebut berkaitan dengan
karakter target audiens, kondisi geografis
dan event. Event yang dimaksud adalah
“siapa” yang sedang berkampanye. Jika
kampanye dilakukan oleh seorang calon
presiden yang ingin pesan politiknya
disampaikan secara nasional, maka
menggunakan saluran komunikasi massa
atau media digital menjadi kebutuhan
penting. Tidak demikian jika dilakukan
oleh seorang calon lagislatif yang ruang
kampanyenya lebih terbatas.
Namun, meski mengunggulkan
penggunaan
saluran
komunikasi
interpersonal tatap muka, Mufidayati dan
Anggia tetap menggunakan saluran media
sosial dalam berkampanye. Platform yang
digunakan adalah Facebook dan Instagram.
Keduanya dijalankan dengan menggunakan
bantuan relawan. Meskipun menggunakan
dua jenis media sosial yang berbeda, namun
konten yang dikelolanya sama antara satu
platform dengan platform media sosial
lainnya.
48
Kurniasih dan Anggia menggunakan
pesan komunikasi politik “hard selling”
dan “soft selling.” Media sosial
memungkinkan
keduanya
melakukan
pesan-pesan demikian. Pesan “hard
selling” adalah informasi atau ajakan untuk
memilih kandidat atau mendukung partai
tempat mereka bernaung. Dengan kata lain,
sifat pesannya langsung “berjualan.”
Sementara pesan “soft selling” lebih halus,
yaitu tidak menyampaikan ajakan untuk
memilih caleg secara langsung. Melainkan
agar tetap dapat menjalin engagement
kepada konstituen. Pesan “soft selling”
antara lain quotes mengenai kebajikan,
ucapan peringatan hari besar, ucapan duka
cita, ucapan suka cita, dan ajakan untuk
melakukan kebaikan-kebaikan.
Meski pun saluran media sosial
dianggap sebagai
“pelengkap”
dari
kampanye, namun Kurniasih dan Anggia
menganggap efeknya tetap ada, terutama
dalam
memberikan
awareness
dan
mempertahankan
engagement
kepada
konstituen.
Menariknya,
informasiinformasi di media sosial masih terus
dipublikasikan secara up-to-date meski
masa pemilu telah usai.
KESIMPULAN
Berdasarkan hasil penelitian dan
pembahasan di atas, maka dapat
disimpulkan bahwa kampanye politik yang
dilakukan oleh Kurniasih Mufidayati dan
Anggia Erma Rini memiliki world of view
yang tidak berbeda dengan kandidat lain.
Perbedaan hanya terletak pada strategi
teknis dalam membidik audiens, pola
pendekatan kepada audiens, pemilihan isu
dan produksi pesan, serta bagaimana
memilih saluran yang dianggap paling
efektif menurut pandangan mereka sendiri.
Robby Milana, Nani Nurani Muksin: Kampanye Politik Calon Legislatif Perempuan
(Studi Fenomenologi pada Pemilihan Umum 2019)
Mufidayati dan Anggi merupakan dua
orang kandidat yang sebelumnya pernah
sama-sama memiliki pengalaman menjadi
calon anggota legislatif. Sehingga ketika
mencalonkan kembali pada tahun 2019,
pengalaman masa lalunya berperan penting,
terutama dalam mensuplai informasi
mengenai target audiens, pesan dan
pemilihan saluran. Satu hal yang dianggap
mesti dimiliki oleh kandidat perempuan,
selain pengalaman, adalah modal sosial
yang mumpuni.
SARAN
Saran ditujukan kepada politisi
perempuan
agar
ke
depan
dapat
memanfaatkan media digital lebih optimal,
selain menggunakan saluran komunikasi
interpersonal tatap muka. Sebab, di era
digital penggunaan media sosial dapat
menjadi salah satu strategi praktis untuk
menangkap lebih banyak pemilih, terutama
bagi kaum Milenial dan Generasi Z yang
secara kuantitatif mendominasi populasi
penduduk sekaligus sebagai pengguna
internet terbesar di Indonesia. Selain pesan,
masalah lain yang perlu dipertimbangkan
adalah proses menentukan, mengemas dan
memproduksi pesan. Pesan bukan hanya
harus sesuai dengan target audiens, namun
juga memiliki harus relevansi dengan
kebutuhan audiens.
DAFTAR PUSTAKA
Archetti, C. (2016). Theorizing Political Communication in the 21st Century : People ,
Practices and Context in an Age of Interconnection and Fragmentation. International
Journal of Press/Politics Conference, Oxford (UK), 28-30 September 2016, September,
17.
Atkin, C. K., & Rice, R. E. (2012). Theory and Principles of Public Communication
Campaigns. In C. K. A. and R. E. Rice (Ed.), Public Communication Campaigns (Fourth
Edi, pp. 2–19). Sage Publications. https://doi.org/10.4135/9781544308449.n1
Atkin, C. K., & Rice, R. E. (2013). Advances In Public Communication Campaigns. In E.
Scharrer (Ed.), The International Encyclopedia of Media Studies (pp. 526–551). WileyBlackwell. https://doi.org/10.1002/9781444361506.wbiems129
Blumler, J. G. (2015). Core Theories of Political Communication: Foundational and Freshly
Minted. Communication Theory, 25(4), 426–438. https://doi.org/10.1111/comt.12077
Creswell, J. W. (2007). Qualitative Inquiry and Research Design; Choosing Among Five
Approaches. In Sage Publication (Second Edi). Sage Publication.
https://doi.org/10.1016/j.aenj.2008.02.005
Dalager, J. K. (1996). Voters, Issues, and Elections: Are the Candidates’ Messages Getting
Through? The Journal of Politics, 58(2), 486–515. https://doi.org/10.2307/2960236
Frechette, J., Bitzas, V., Aubry, M., Kilpatrick, K., & Lavoie-Tremblay, M. (2020). Capturing
Lived Experience: Methodological Considerations for Interpretive Phenomenological
Inquiry. International Journal of Qualitative Methods, 19, 1–12.
https://doi.org/10.1177/1609406920907254
Graber, B. D. A., & Smith, J. M. (2005). Political Communication Faces the 21st Century.
Journal of Commuincation, 479–507.
49
KAIS Kajian Ilmu Sosial
Volume 2 No. 1 Mei 2021
Hardjaloka, L. (2012). Potret Keterwakilan Perempuan dalam Wajah Politik Indonesia
Perspektif. Jurnal Konstitusi, 9(15), 28.
Kingdon, J. W. (1970). Opinion Leaders in the Electorate. Oxford Journals, 34(2), 256–261.
Krupnikov, Y., & Searles, K. (2019). New Approaches to Method and Measurement in the
Study of Political Communication Effects. Political Communication, 36(2), 209–213.
https://doi.org/10.1080/10584609.2018.1526239
Kuswarno, E. (2007). Tradisi Fenomenologi pada Penelitian Komunikasi Kualitatif Sebuah
Pedoman Penelitian dari Pengalaman Penelitian. Sosiohumaniora, 9(2), 161–176.
Lee Kaid, L. (1977). The Neglected Candidate: Interpersonal Communication in Political
Campaigns. Western Journal of Speech Communication, 41(4), 245–252.
https://doi.org/10.1080/10570317709389616
Nicholls, C. D. (2019). Innovating the Craft of Phenomenological Research Methods Through
Mindfulness. Methodological Innovations, 12(2), 1–13.
https://doi.org/10.1177/2059799119840977
Norris, P. (2015). Political Communication. In J. Wright (Ed.), International Encyclopedia of
the Social & Behavioral Sciences: Second Edition (Second Edi, Vol. 17, pp. 342–349).
Elsevier. https://doi.org/10.1016/B978-0-08-097086-8.95025-6
Partini. (2012). Politik Adil Gender: Sebuah Paradoks. Jurnal Pemikiran Sosiologi Volume,
1(1).
Prihatini, E. S., Djajadikerta, H. G., Cowan, E., Sigit, M., & Rahman, A. (2019). Partai
Politik Mana yang Paling Populer di Jagat Maya Indonesia? The Conversation.
https://theconversation.com/partai-politik-mana-yang-paling-populer-di-jagad-mayaindonesia-111991
Russon, J. (2020). To Account for the Appearances: Phenomenology and Existential Change
in Aristotle and Plato. Journal of the British Society for Phenomenology, 52(2), 155–168.
https://doi.org/10.1080/00071773.2020.1796515
Sánchez Medero, R. (2020). Democratization in Political Communication. Political Studies
Review. https://doi.org/10.1177/1478929920924930
Sapienza, Z. S., Iyer, N., & Veenstra, A. S. (2015). Reading Lasswell’s Model of
Communication Backward: Three Scholarly Misconceptions. Mass Communication and
Society, 18(5), 599–622. https://doi.org/10.1080/15205436.2015.1063666
Stier, S., Bleier, A., Lietz, H., & Strohmaier, M. (2018). Election Campaigning on Social
Media: Politicians, Audiences, and the Mediation of Political Communication on
Facebook and Twitter. Political Communication, 35(1), 50–74.
https://doi.org/10.1080/10584609.2017.1334728
Strömbäck, J., & Kiousis, S. (2014). Strategic Political Communication in Election
Campaigns. Political Communication, June. https://doi.org/10.1515/9783110238174.109
van Manen, M., & van Manen, M. (2021). Doing Phenomenological Research and Writing.
Qualitative Health Research, 31(6), 1069–1082.
https://doi.org/10.1177/10497323211003058
Wahyudi, V. (2019). Peran Politik Perempuan dalam Persfektif Gender. Politea : Jurnal
Politik Islam, 1(1), 63–83. https://doi.org/10.20414/politea.v1i1.813
50
Zahavi, D. (2009). Phenomenology of Self. In T. Kircher (Ed.), The Self in Neuroscience and
Robby Milana, Nani Nurani Muksin: Kampanye Politik Calon Legislatif Perempuan
(Studi Fenomenologi pada Pemilihan Umum 2019)
Psychiatry (pp. 56–75). Cambridge University Press.
https://doi.org/10.1017/cbo9780511543708.004
51