Academia.eduAcademia.edu

PEMBAGIAN ILMU MENURUT AL-GHAZALI (Tela'ah Buku Ihya' 'Ulum ad-Din

2020, Al-Fikra : Jurnal Ilmiah Keislaman

https://doi.org/10.24014/af.v19i2.11338

This study was initiated by the sharing of knowledge found in Islamic religious education such as the presence of fardhu 'ain and fardhu kifayah, which influence the education system in Indonesia. This study aims to investigate the classification of knowledge according to Al-Ghazali's perspective in his book entitled Ihya' 'Ulum ad-Din. Therefore, this study was written under the title of "The Classification of Knowledge by Al-Ghazali (A Study of Ihya' 'Ulum ad-Din Book)." Judging from the title, this scientific work is library research in which data collection technique used was documentation. Data were collected through written legacy such as writings, pictures, archives, and books about theoretical opinions, arguments, and laws related to research problems. The sharing of knowledge is something that has long been happening in the world of Islamic education where many experts or scholars classify knowledge based on different perspectives. In Islam, knowledge is the basis for worship. Thus, knowing the meaning, object, and source of knowledge is indispensable in an education. In the book of Ihya' 'Ulum ad-Din, Al-Ghazali classified knowledge into two types, namely fardhu'ain knowledge and fardhu kifayah knowledge. Fardhu'ain knowledge is a science or knowledge that is required to be studied by every human being, while fardhu kifayah knowledge is a science that if there is at least someone or a group of people who studies it, the obligation to study will fall on the communities in that area. The results showed that in the book of Ihya' 'Ulum ad-Din, Al-Ghazali classified knowledge into two, fardhu'ain knowledge and fardhu kifayah knowledge. Muamalah knowledge such as aqidah (things to do and not to) and mukasyafah knowledge are included in fardhu'ain knowledge. Meanwhile, knowledge of shari'ah and knowledge of non-shari'ah matters (praiseworthy knowledge, disgraceful knowledge, and allowed knowledge) are included in the fardhu kifayah knowledge.

Al-Fikra: Jurnal Ilmiah Keislaman, Vol.19,No.2, Juli – Desember,2020 (180 – 198) DOI:1024014/af.v19.i2.11338. PEMBAGIAN ILMU MENURUT AL-GHAZALI (Tela’ah Buku Ihya’ ‘Ulum ad-Din) Yuri Indri Yani STAIN Bengkalis Riau [email protected] Hakmi Wahyudi UIN Sultan Syarif Kasim Riau [email protected] Mhd. Rafi’i Ma’arif Tarigan STIT HASIBA Barus [email protected] Abstract This study was initiated by the sharing of knowledge found in Islamic religious education such as the presence of fardhu 'ain and fardhu kifayah, which influence the education system in Indonesia. This study aims to investigate the classification of knowledge according to Al-Ghazali's perspective in his book entitled Ihya’ ‘Ulum ad-Din. Therefore, this study was written under the title of “The Classification of Knowledge by Al-Ghazali (A Study of Ihya’ ‘Ulum ad-Din Book).” Judging from the title, this scientific work is library research in which data collection technique used was documentation. Data were collected through written legacy such as writings, pictures, archives, and books about theoretical opinions, arguments, and laws related to research problems. The sharing of knowledge is something that has long been happening in the world of Islamic education where many experts or scholars classify knowledge based on different perspectives. In Islam, knowledge is the basis for worship. Thus, knowing the meaning, object, and source of knowledge is indispensable in an education. In the book of Ihya’ ‘Ulum ad-Din, AlGhazali classified knowledge into two types, namely fardhu’ain knowledge and fardhu kifayah knowledge. Fardhu'ain knowledge is a science or knowledge that is required to be studied by every human being, while fardhu kifayah knowledge is a science that if there is at least someone or a group of people who studies it, the obligation to study will fall on the communities in that area. The results showed that in the book of Ihya' 'Ulum ad-Din, Al-Ghazali classified knowledge into two, fardhu'ain knowledge and fardhu kifayah knowledge. Muamalah knowledge such as aqidah (things to do and not to) and mukasyafah knowledge are included in fardhu'ain knowledge. Meanwhile, knowledge of shari'ah and knowledge of non-shari'ah matters (praiseworthy knowledge, disgraceful knowledge, and allowed knowledge) are included in the fardhu kifayah knowledge. Keywords: Classification, Knowledge, Al-Ghazali 180 Yuri Indri Yani, Hakmi Wahyudi, Mhd.Rafi’I Ma’arif Tarigan: Pembagian Ilmu Menurut al-Ghazali (Tela’ah Buku Ihya’ Ulum ad-Din). DOI:10.24014/af.v19.i2.11338. “ilmu-ilmu non agama’ yang telah Pendahuluan dan menimbulkan ketimpangan yang agama merupakan satu totalitas nyata antara dua klasifikasi ilmu yang integral yang tidak dapat (Hamdi, 2001). Ilmu pengetahuan Dalam dipisahkan satu dengan yang bukunya yang lainnya. Sesungguhnya Allah-lah berjudul “Ihya’ Ulum ad-Din”, al- yang akal bagi Ghazali memang membagi ilmu manusia untuk mengkaji dan menjadi dua bagian yakni ilmu menganalisis ada terpuji dan tercela, beliau juga dalam alam ini sebagai pelajaran menjelaskan bagian-bagian dan dan bimbingan bagi manusia hukum-hukum mempeajarinya. Di dalam menjalankan dalamnya terkandung penjelasan kehidupannya di dunia. Secara tentang kedudukan dan sesuatu normatif, sangat yang fardhu kifayah, penjelasan menghargai tentang penguasaan tentang Ilmu Kalam dan Ilmu ilmu pengetahuan. Sehingga, Fiqih dalam Ilmu Agama sampai ilmu dalam dipandang batas menciptakan apa yang Islam Islam mana, dan penjelasan secara utuh dan universal, tidak tentang keutamaan ilmu akhirat ada istilah pembagian ilmu. (al-Ghazali, 1995). Melihat Namun dalam perspektif fenomena fakta sejarah dan dari beberapa terjadi sumber lain yang penulis baca, dijabarkan banyak diantara tokoh mengetahui lebih jauh mengenai merujuk pada pendapat yang Al- seperti yang pembagian yang telah dan untuk diatas, ilmu yang terjadi Ghazali. Bahkan diantara mereka dalam dunia pendidikan saat ini, banyak yang menyebutkan dalam maka tulisannya, bahwa akar mula dari melakukan pembagian ilmu ini adalah ketika tentang “Pembagian al-Ghazali memandang sebagai Menurut al-Ghazali fardhu ain untuk menuntut “ilmu Buku Ihya’ ‘Ulum ad-Din)”. penulis tertarik kajian untuk pustaka Ilmu (Tela’ah agama” dan fardhu kifayah untuk 181 p-ISSN: 1693-508X e-ISSN: 2502-7263 Al-Fikra: Jurnal Ilmiah Keislaman, Vol.19,No.2, Juli – Desember,2020 (180 – 198) DOI:1024014/af.v19.i2.11338. Kajian Teori dan Ilmu Mukasyafah dimana Dalam muqaddimah buku Ihya’ Ulumiddin, Ilmu Mu’amalah adalah alat untuk al-Ghazali mencapai Ilmu Mukasyafah. Ilmu memperkenalkan dua kelompok Mukasyafah sendiri tidak dapat di besar ilmu, yaitu ilmu praktik ajarkan keagamaan (‘ilm mu’amalah) dan melainkan ilmu pengungkapan ruhiyah (‘ilm langsung dengan rahmat Allah ‘Ilm mukasyafah). berurusan mu’amalah dengan prasyarat kepada kepada ilmu orang memang orang itu di lain dapat orang yang pantas untuk memperoleh ilmu yang kedua. mendapatkan dan memikulnya, ‘Ilm mukashafah merupakan apa seperti yang pewaris Nabi. dibicarakan secara tersirat melalui lambang oleh dan dan nabi Nabi dan para Dalam bab kedua buku singkat kiasan para Ihya’ Ulum ad-Din al-Ghazali mengelompokkan ilmu menjadi (Fajari, 2016). terbagi fardu ‘ain dan fardu kifayah. menjadi dua. Pertama,ilmu dzahir Fardu ‘ain menunjukkan ilmu-ilmu yakni amal yang terkait dengan perintah dan perbuatan anggota badan. Ilmu larangan agama. Fardu kifayah ini menyangkut adat kebiasaan mencakup dan ibadah.Ilmu Bathin, yakni penguasaannya wajib bagi suatu ilmu mengenai amal perbuatan masyarakat hati melalui anggota badan. Ilmu mengikat bagi tiap individu. Ilmu ini menyangkut hal ihwal hati dan fardu kifayah budi pekerti jiwa baik yang terpuji dua, yaitu maupun (shar’iyyah), yang diambil dan Ilmu ilmu Mu’amalah mengenai yang tercela ilmu-ilmu yang Muslim tapi tidak terbagi menjadi ilmu-ilmu agama berkisar tentang wahyu Allah dan (Baharuddin, 2011). Dari paparan di atas dapat Sunnah Rasulullah, seperti ilmu Al-Ghazali tafsir, hadith, fiqh, usul al-fiqh, mengklasifiksikan ilmu menjadi dan lain-lain, serta ilmu non dua bagian yakni Ilmu Mu’amalah agama (ghayru syar’iyyah) yang disimpulkan bahwa 182 p-ISSN: 1693-508X e-ISSN: 2502-7263 Yuri Indri Yani, Hakmi Wahyudi, Mhd.Rafi’I Ma’arif Tarigan: Pembagian Ilmu Menurut al-Ghazali (Tela’ah Buku Ihya’ Ulum ad-Din). DOI:10.24014/af.v19.i2.11338. Ilmu berasal dari hasil penalaran akal manusia, adalah dan ilmu yang mempunyai otoritas percobaan, seperti kedokteran, dalam praktik-praktik ibadah. Di matematika, ekonomi, astronomi, dalamnya dan lain (Fajari, 2016). antara Ilmu yang Fardhu’ain Tujuannya menyelamatkan jiwa Ilmu pengalaman, Mu’amalah yang fardhu’ain terdapat doktrin korelasi dan praktik. agar mendapatkan kebahagiaan adalah ilmu yang merujuk pada di akhirat (Soleh, 2014). kewajiban agama yang mengikat Mu’amalah terbagi menjadi tiga setiap bagian yakni Aqidah, Berbuat dan muslim dan muslimah. kategori fardu ‘ain, yaitu ilmu-ilmu Ilmu Tidak Berbuat. yang harus dimiliki oleh setiap Pertama, aqidah berkaitan orang Islam, tidak bisa ditawar, dengan kepercayaan atau bisikan demi hati. kebaikan dan Jika dalam pengalaman kehidupan suatu ilmu itu masih mengandung akhirat. Ilmu yang masuk dalam keraguan di dalam hati, maka kategori ini mengacu pada ilmu- hendaklah seseorang itu segera ilmu yang mengarah pada jalan menghilangkan menuju pada keselamatan hidup tersebut dari hatinya. keselamatannya sesudah mati di (‘ilm tariq keraguan Contohnya, seorang alakhirah). Walaupun demikian, hamba telah bersyahadat, namun pelaksanaan tugas mencari ilmu dalam hatinya masih terdapat fardu ‘ain ini harus disesuaikan keraguan terhadap kalam Allah dengan tingkat kebutuhan baik Swt. Jika hamba itu meninggal jangka panjang maupun pendek dan dan kemampuan masing-masing tersebut individu (Soleh, 2014). Ilmu yang tidak fardhu’ain sendiri terbagi menjadi Namun jika sebaliknya, sebelum dua, yakni Ilmu Mu’amalah dan hamba tersebut meninggal dia Ilmu Mukasyafah. telah mempercayai sepenuh hati serta 183 masih dalam maka dalam dia keraguan meninggal keadaan beri’tikad bahwa Islam. kalam p-ISSN: 1693-508X e-ISSN: 2502-7263 Al-Fikra: Jurnal Ilmiah Keislaman, Vol.19,No.2, Juli – Desember,2020 (180 – 198) DOI:1024014/af.v19.i2.11338. Allah itu qadim maka hamba wajiblah pelajaran itu di dahului tersebut dengan belajar tentang tanda- meninggal dalam tanda masuknya waktu shalat, keadaan Islam. Oleh karena itu, sangatlah seorang hamba tentang syarat dan rukun sah shalat serta amalan Sunnah penting bagi tersebut mempelajari ilmu-ilmu sebelum dan sesudah shalat. yang dapat menambah keyakinan Jika dia hidup sampai bulan serta iman dan taqwanya kepada Ramadhan, Allah Swt. agar hilang keraguan baginya tersebut dari hatinya. Namun jika puasa, yakni mengetahui kapan dalam hatinya tidak ada keraguan waktu mulai dan tentang hal serta syarat tidaklah wajib maka untuk wajiblah mempelajari berakhirnya tersebut maka puasa baginya untuk halyang dibolehkan serta dilarang mempelajari hal yang demikian. selama berpuasa. Dan begitu pun Akan seterusnya sampai akhir hayat tetapi alangkah lebih baaiknya jikalau pun dia tidak ragu namun dia dan hal- seorang hamba tersebut. Contoh tetap lainnya adalah pada saat peperangan, apabila mempelajarinya. Kedua,berbuat dalam hal musuh sudah mendekat maka ini berkaitan dengan kegiatan dan wajiblah aktivitas yang dilakukan dalam mengeluarkan waktu tertentu dan sebab tertentu melawan musuh tersebut karena yang jika tidak maka dia bisa dibunuh mengharuskan seorang baginya untuk pedangnya musuh. Namun dan hamba tersebut berbuat hal yang oleh jika demikian (al-Ghazali, 1995). seandainya musuh masih jauh Misalnya, seorang hamba namun dia telah mengeluarkan hidup terus dari pagi hingga pedangnya maka hal itu boleh- masuk boleh waktu Dhuhur. Maka sebelum masuk waktu Dhuhur dia wajib mempelajari tata cara bersuci dan shalat. Bahkan saja untuk senantiasa bersiaga terhadap musuh. Dengan kata lain ilmu itu menjadi wajib ketika sudah 184 p-ISSN: 1693-508X e-ISSN: 2502-7263 Yuri Indri Yani, Hakmi Wahyudi, Mhd.Rafi’I Ma’arif Tarigan: Pembagian Ilmu Menurut al-Ghazali (Tela’ah Buku Ihya’ Ulum ad-Din). DOI:10.24014/af.v19.i2.11338. datang keadaan-keadaan yang kita melihatnya shalat dengan mewajibkannya. belum memakai pakaian yang terbuat yang dari sutera, maka kewajiban kita telah adalah memberitahu saudara kita belajar hal demikian maka itu yang muallaf adi bahwa dalam lebih bagus baginya akan tetapi Islam seorang laki-laki tidak boleh masih memakai pakaian yang terbuat Jika datang keadaan mewajibkan namun belum ada dia kewajiban dari sutera ketika shalat. Maka atasnya atas ilmu tersebut. Ketiga, tidak berbuat yang laki-laki muallaf tadi wajib dimaksudkan disini adalah suatu meninggalkan hal demikian dan ilmu mengganti yang hanya dipelajari pakainnya dengan menurut perkembangan keadaan bahan yang lain. Maka keadaan tertentu dan sebab tertentu saja. ini dinamakan dengan keadaan Jika tidak termasuk ke dalam yang mewajibkan dia untuk tidak keadaan tersebut maka tidak ada berbuat. kewajiban baginya mempelajari hal Selain untuk tersebut (al- tersebut diatas, fardhu’ain Ghazali, 1995). hal-hal yang terdapat ilmu lainnya yakni ilmu orang tentang sifat-sifat mahmudah dan yang bisu tidaklah wajib baginya mazmumah (al-Ghazali: 1995). mempelajari yang Ilmu ini menjadi wajib karena diharamkan sebab dia sendiri saban hari manusia tidak akan tidak bisa berbicara. Demikian pernah telapas akan hal ini. juga dengan orang buta tidaklah Setiap wajib baginya mempelajari apa kecendrungan untuk berbuat dan yang diharamkan untuk dilihat bebuat karena dia sendiri tidak bisa mahmudah melihat apa pun. mazmumah (tercela). Contohnya, bagi kata-kata manusia jahat punya atau sifat (terpuji) dan Contoh lainnya adalah ada Oleh karena itu ilmu ini seorang lelaki muallaf yang baru menjadi fardhu’ain bagi setiap masuk agama Islam. Suatu hari muslim 185 untuk mempelajarinya p-ISSN: 1693-508X e-ISSN: 2502-7263 Al-Fikra: Jurnal Ilmiah Keislaman, Vol.19,No.2, Juli – Desember,2020 (180 – 198) DOI:1024014/af.v19.i2.11338. agar senantiasa terjaga iman dan dan taqwanya (Baharuddin et.all., 2011:100). kepada Allah Swt. terlintas begitu saja Ilmu Mukasyafah adalah barangsiapa yang tidak mengenal sesuatu maka dia tidak akan tahu ilmu bagaimana mendapatkan kesudahan dari segala ilmu. Para sesuatu itu, bagaimana menjaga Arifin (ahli Ilmu Ma’rifah yaitu ilmu sesuatu itu serta ancaman apa menganal saja mengatakan bahwa, cara yang dapat mengancam sesuatu tersebut. Maka kita harus mengenali lawan tahu supaya kita bagaimana melawannya. cara Kita harus mengenal sifat mazmumah agar kita tahu bagaimana cara mengatasinya dalam diri kita. Ilmu Mukasyafah atau Ilmu Ladunni adalah ilmu yang diperoleh seorang hamba berupa anugerah yang langsung biberikan oleh Allah. Bisa saja didapat dengan sebab dan potensi dasar yang sudah ada, maupun tanpa sebab dan potensi prasyarat yang dibutuhkan. Dalam konteks ini termasuk di dalamnya dan merupakan Allah Ta’ala) “Orang yang tidak mempunyai bahagian dari ilmu Mukasyafah ini, aku takut akan buruk kesudahannya (tidak memperoleh husnul khatimah). Sekurang-kurang bahagian dari padanya, ialah membenarkan ilmu itu dan tunduk kepada ahlinya”. Ilmu Mukasyafah ibarat sebuah cahaya yang lahir dari Ilmu Mukasyafah atau Ilmu Ladunni bathin adalah intuisi atau ilham-ilham yang dianugerahkan kepada manusia, yang mungkin dirasakan seolah hanya hasil pikir dalam hati ketika pengucian dan pembersihannya terbebas dari sifat-sifat tercela. Dari yang cahaya itu tersingkaplah hal-hal yang tadinya masih belum terurai dan tidak jelas dan tersembunyi menjadi jelas dan terbuka. Seperti mengetahui makna kenabian, malaikat, makna mizan, wahyu, sirat, permusuhan setan dan malaikat dan seterusnya. Hati manusia itu layaknya sebuah cermin yang dapat 186 p-ISSN: 1693-508X e-ISSN: 2502-7263 Yuri Indri Yani, Hakmi Wahyudi, Mhd.Rafi’I Ma’arif Tarigan: Pembagian Ilmu Menurut al-Ghazali (Tela’ah Buku Ihya’ Ulum ad-Din). DOI:10.24014/af.v19.i2.11338. menerima cahaya (ilham). Jika saling bertukar pikiran secara saja cermin itu tidak berkarat atau rahasia. kotor akibat kotoran dunia atau Ilmu yang Fardhu Kifayah maka Ilmu yang fardhu kifayah tentulah cermin tersebut dapat adalah ilmu yang merujuk kepada menerima cahaya yang dikirim hal-hal yang merupakan perintah padanya. Ilmu menuju akhirat Ilahi (ilmu mukasyafah) ini layaknya komunitas sebuah cara muslim dan muslimat sebagai menggosok cermin tersebut agar satu kesatuan. Dengan kata lain bersih dan bisa menerima cahaya ilmu kembali didefinisikan sebagai kewajiban peyakit hati lainnya, ilmu mengenai sehingga dengan yang bersifat mengikat (kelompok fardhu orang) kifayah dapat demikian terbukalah dinding atau kemasyarakatan, hijab antara cermin (hati) tadi sudah ada sekelompok orang dengan Allah Ta’ala. Dan salah yang melakukannya, yang lain satu cara untuk membersihkan terbebas cermin mengerjakan (hati) dengan tersebut mencegah menuruti hawa adalah namun dari jka kewajiban fardhu kifayah diri dari tersebut (Ali, 2010: 392). Ilmu nafsu dan yang fardlu kifayah terbagi berpengan teguh dalam segala menjadi dua, yakni Ilmu Syari’ah hal kepada ajaran Nabi-Nabi as. dan Ilmu Bukan Syariah. Ilmu Mukasyafah tidak dituliskan dalam kitab-kitab dan Ilmu Syari’ah Ilmu syari’ah adalah ilmu orang yang dianugerahi oleh agama yang diperoleh dari Nabi- Allah ilmu ini juga tidak Nabi as. Dan tidak ditujukan kepada orang untuk akal manusia seperti Ilmu sesame Berhitung, Ilmu Kedokteran atau mengatakannya lain selain kepada mereka yang juga dianugerahi Pendengaran oleh Bahasa Allah ilmu Mukasyafah). bermusyawarah 187 Yakni ini (Ilmu dengan bersama dan maupun (Al-Ghazali, Ilmu 1995:62). Ilmu syari’ah adalah ilmu yang semuanya terpuji. Akan tetapi p-ISSN: 1693-508X e-ISSN: 2502-7263 Al-Fikra: Jurnal Ilmiah Keislaman, Vol.19,No.2, Juli – Desember,2020 (180 – 198) DOI:1024014/af.v19.i2.11338. terkadang tercampur dengan apa mengungkapkan yang diketahui (Akbar, 2017:63). disangkakan syari’ah padahal itu adalah ilmu tercela. apa yang Cabang (Furu’) Ilmu Ilmu syari’ah terbagi menjadi dua, Furu’ adalah ilmu yaitu ilmu terpuji dan ilmu tercela. yang memperjelas dari bagian- Adapun ilmu Syari’ah yang bagian pokok (ushul) agar bisa terpujiterbagi bagian menjadi empat dipahami oleh akal pikiran serta pokok, cabang untuk memperluas pemahaman pengantar tentang suatu hal sehingga dari yakni: ilmu (Furu’), (muqaddimah) dan ilmu pemahaman itu pelengkap. dipahami yang Pokok (Ushul) Ghazali, 1995:64). Cabang Yang termasuk kedalam pula lainnya (al- (furu') yaitu Pokok (Ushul) ada empat, yakni: sesuatu Kitabullah ‘Azza wa Jalla, Sunnah pokok-pokok ini, bukan dengan Rasul Saw., Ijma’ Ummat dan kepastian peninggalan-peninggalan dengan sahabat 1995:62). yang diketahui oleh akal. Oleh Ijma' itu pokok dari segi bahwa itu sebab itu meluaslah pemahaman menunjuk Ijma’ itu sehingga dari lafal itu difahami adalah pokok dalam tingkatan oleh apa yang dilafalkan oleh ketiga. Demikian juga atsar, maka lainnya. Ini terbagi menjadi tiga itu juga menunjuk atas sunnah macam, yaitu: Pertama, berkaitan karena dengan (al-Ghazali, atas para menyaksikan sunnah. sahabat wahyu itu dan yang dapat difahami lafal-lafalnya dari tetapi pengertian-pengertian kemaslahatan- kemaslahatan dunia dan itu penurunannya, dengan keadaan termuat dalam kitab fikih dan dapat mengetahui apa yang gaib yang bertanggung jawab adalah (tidak para fuqaha. Mereka itulah ulama diketahui) oleh mereka. Barang kali tersebut tidak cukup selain kalimat untuk dunia. Kedua, sesuatu yang berkaitan dengan kemaslahatan kemaslahatan akhirat. Yaitu ilmu 188 p-ISSN: 1693-508X e-ISSN: 2502-7263 Yuri Indri Yani, Hakmi Wahyudi, Mhd.Rafi’I Ma’arif Tarigan: Pembagian Ilmu Menurut al-Ghazali (Tela’ah Buku Ihya’ Ulum ad-Din). DOI:10.24014/af.v19.i2.11338. dan menyangkut dengan kepentingan akhlak yang terpuji dan tercela, duniawi. Ilmu-ilmu furu’ termuat sesuatu yangdiridhai di sisi Allah dalam dan sesuatu yang dibencinya. bertanggung jawab terhadapnya Ketiga, muqaddimah yaitu ilmu- para ulama Fiqih dan termasuk ilmu yang berlaku sebagai alat ulama dunia. Kedua menyangkut seperti ilmu bahasa dan tata dengan bahasa itu Yaitu ilmu hal keadaan hati, budi merupakan alat bagi ilmu (al- pekerti terpuji dan tercela, hal- Qur’an) dan sunnah Nabi saw. ihwal Bahasa dibenci Allah (Al-Ghazali, 1102: mengenai keadaan karena dan bukanlah hati keduanya tata bahasa itu termasuk ke dalam golongan ilmu-ilmu syari'at itu sendiri, tetapi kitab-kitab fiqih. kepentingan yang dilerai Yang akhirat. dan yang 64). Ilmu Pengantar (Muqaddimah) Ilmu mendalami pengantar adalah syara' ilmuyang merupakan alat seperti karena syari'at ini datang dengan ilmu Bahasa dan tata Bahasa. bahasa Arab. Setiap syari'at tidak Keduamya merupakan alat untuk jelas kecuali mengetahui isi Kitabullah dan keduanya maka disebabkan dengan menjadilah bahasa, bahasa itu sebagai alat (Akbar, 2017: 64). Contohnya adalah hadist riwayat Bukhari dan Muslim Sunnah Rasu Saw. Bahasa dan Tata Bahasa itu bukan lah Ilmu Syari’ah. tapi disebabkan harus dipelajari karena Agama. Artinya: “Hakim (Qadhi) itu Karena Syari’ah (Agama Islam) tidak mengadili perkara ketika ini datangnya dengan Bahasa sedang marah”. Keadaan ini juga Arab. Dan semua agama tidak diqiyaskan bahwa seorang hakim lahir tersebut Bahasa. juga tidak mengadili selain dengan Maka suatu jadilah ketika mau buang air, lapar atau mempelajari Bahasa itu sebagai merasa sakit. alat (Al-Ghazali, 1995: 65). Ilmu menjadi 189 Furu’ dua: itu terbagi Ilmu Penyempurnaan pertama p-ISSN: 1693-508X e-ISSN: 2502-7263 Al-Fikra: Jurnal Ilmiah Keislaman, Vol.19,No.2, Juli – Desember,2020 (180 – 198) DOI:1024014/af.v19.i2.11338. Ilmu penyempurnaan hadist. Dan mengetahui umur adalah ilmu untuk menyempurkan mereka pemahaman pokok. membedakan antara hadist mural Contoh mengani Al-Qur’an, ilmu dan hadist musnad (Al-Ghazali, megenai penyempurna Al-Qur’an yang supaya dapat 1995: 65). berkaitan dengan kata-katanya Dari penjelasan di atas seperti mempelajari Qira’ah (cara dapat disimpulkan bahwa ilmu membaca) dan bunyi hurufnya. syari’ah adalah ilmu murni yang Dan yang berhubungan dengan bersumber pengertiannya, tafsir, nabi as. dimana semua ilmu yang karena pengertian itu tergantung menacngkup dalam kategori ilmu kepada naqal (keadaan disekitar ini adalah sesuatu yang sudah ayat itu, baik sebab turunnya dan mutlak suasananya ketentuannya seperti yang diperoleh langsung dariNabi- hukum maupun berdasarkan Al- kitab Qur’an, Hadist, Ijma’ dan Atsar. suci). Dan yang berhubungan Ilmu ini digolongkan kedalam ilmu dengan yang dalam sejarah tiap-tiap hukumnya, seperti bersifat fardhu kifayah mengetahui nasikh dan mansukh, karena apabia ilmu ini sudah yang umum dan yang khusus, dipelajari oleh sebagian orang yang nash dan dhahir dan cara maka gugurlah kewajiban bagi mengqiyaskan antara ayat satu yang dengan yang lain yaitu ilmu yang mengingat disebut dengan Ushulul-Fiqh. setiap manusia itu berbeda-beda Adapun ilmu penyempurna dalam lainnya. Selain kemampuan keahlian itu dari maupun pada hadist Nabi dan atsar yaitu kemampuannya, maka ilmu-ilmu mengenai perawi-perawi hadist, terrtentu yang namanya, keturunannya, nama- manusia bisa nama sahabat, kepribadiannya dipelajari dan kejujuran belum keadaan mampu dipelajari oleh sebagian ilmu mengenai perawi-perawi mereka dalam dan meriwayatkan bagi dan olehnya atau sebagian mampu terkadang bahkan belum manusia lainnya. 190 p-ISSN: 1693-508X e-ISSN: 2502-7263 Yuri Indri Yani, Hakmi Wahyudi, Mhd.Rafi’I Ma’arif Tarigan: Pembagian Ilmu Menurut al-Ghazali (Tela’ah Buku Ihya’ Ulum ad-Din). DOI:10.24014/af.v19.i2.11338. sebagian dunia. Seperti ilmu kedokteran, orang ada yang ahli dalam ilmu ilmu berhitung, ilmu pertanian, Contohnya, dan Al-Qur’an mendalami sebagian senantiasa ilmu orang dalam Hadist tersebut. mempelajarinya. siasat pembekaman, perang, penjahitan dan ahli lain-lain. Inilah ilmu yang jikalau senantiasa suatu negeri kosong dari pada lainnya dan pertenunan, Dengan kata orang-orang yang lain, kewajiban mempelajari ilmu menegakkannya, Al-Qur’an sudah bisa dianggap berdosalah penduduk negeri itu. gugur yang Akan tetapi apabila ada satu dan orang saja diantara mereka yang begitu pun sebalikya, kewajiban menegakkan ilmu tersebut, maka mempelajari ilmu Hadist sudah itu bisa dianggap gugur bagi yang terlepasnya mempelajari kewajiban tersebut. bagi mempelajari orang ilmu Hadist ilmu Al-Qur’an. telah niscaya mencukupi dan yang lain dari adalah ilmu Contohnya Sehingga terciptalah kerjasama ilmiah dari kedua golongan ahli bekam. Jikalau kosonglah negeri tersebut. dari Ilmu Bukan Syari’ah segeralah datang kepada manusia. Ilmu bukan Syari’ah sendiri tukang bekam maka kebinasaan Maka terbagi menjadi tiga, yaitu ilmu sesungguhnya Dialah yang yang terpuji, ilmu yang tercela menurunkan dan ilmu yang dibolehkan. pulalah yang yang menurunkan penyakit, Dia Pertama, ilmu yang terpuji obat dan memberi petunjuk cara adalah ilmu-ilmu yang baik dan memakainya serta menyediakan bermanfaat untuk kemaslahatan sebab-sebab untuk merawatinya. masyarakat banyak dan dalam Maka tidak dibolehkan membawa menegakkan diri urusan duniawi. sendiri kepada Jika ilmu tidak dipelajari maka kebinasaan akan nyiakan obat itu. berdampak pada dengan suatu menyia- kelangsungan hidup manusia di 191 p-ISSN: 1693-508X e-ISSN: 2502-7263 Al-Fikra: Jurnal Ilmiah Keislaman, Vol.19,No.2, Juli – Desember,2020 (180 – 198) DOI:1024014/af.v19.i2.11338. Adapun terhitung ilmu yang diperbolehkan namun tidak Demikian pula, ilmu sejarah yang utama untuk dipelajari. fardlu adalah ilmu mendalami hal- mencatat hal halus dan lebih mendalam penting tentang ilmu kedokteran, ilmu Ghazali, 1995: 29). Ilmu lain yang berhitung dan lain-lainnya yang termasuk dalam kategori ilmu termasuk tidak begitu diperlukan yang namun adalah geometri, astronomi, dan begitu penting dan memiliki manfaat dalam menambah khazanah-khazanah peristiwa-peristiwa dan sejenisnya diperbolehkan (Al- (mubah) musik (Bakar, 1997:241). Dari paparan diatas, bahwa Al-Ghazali membagi ilmu ilmu pengetahuan. Kedua, ilmu tercela adalah yang bisa menghantarkan ilmu-ilmu yang tidak baik dan manusia haram untuk dipelajari. Adapun hari akhir menjadi dua, yaitu ilm ilmu yang termasuk ilmu tercela al-mu’amalah (ilmu-ilmu praktis) adalah dan ‘ilm al-mukashafah (ilmu-ilmu ilmu sihir, mantera- kepada kebahagiaan mantera ilmu tenung dan ilmu spiritual). Sebuah ilmu yang balik mata (ilmu sulap). termasuk dalam kategori ilmu yang jenis pertama adalah ilmu- ilmu dibolehkan, diantara ilmu yang yang terkait dengan keyakinan dibolehkan adalah ilmu tentang dan ibadah, seperti bagaimana pantun-pantun yang tak cabul, tata cara shalat, puasa, zakat, berita-berita dan dan juga bagaimana menentukan 1995: tentang mana yang benar dan termasuk salah, mana yang baik dan buruk, kategori dan lain-lain. Sedangkan ilmu Ketiga, sejarah sebagainya 62).Ilmu ilmu (Al-Ghazali, mubah pengetahuan dalam netral, tidak dilarang (mubah). jenis Ilmu spiritual, berbeda dengan jenis menggubah syair-syair, kedua, yaitu ilmu-ilmu tidak ilmu yang pertama. Ilmu jenis menggunakan kata-kata vulgar kedua ini adalah ‘ilm al-khafi wal- atau bathin (ilmu rahasia dan ada di misalnya, sepanjang tidak senonoh, 192 p-ISSN: 1693-508X e-ISSN: 2502-7263 Yuri Indri Yani, Hakmi Wahyudi, Mhd.Rafi’I Ma’arif Tarigan: Pembagian Ilmu Menurut al-Ghazali (Tela’ah Buku Ihya’ Ulum ad-Din). DOI:10.24014/af.v19.i2.11338. dalam) yang menjadi tujuan akhir serta mengolah bahan koleksi dari segala macam ilmu yang perpustakaan lain. Ilmu yang kedua hanya bisa memerlukan dicapai oleh orang yang jiwanya (Mestika, 2004:3). Analisis data siap menerima, dan Tuhanpun dalam penelitian ini menjadi hal berkenan memberikannya. yang saja tanpa riset sangat lapangan penting, karena Oleh karena itu, ilmu jenis dengan analisis inilah, data yang ini tidak bisa diperoleh lewat rasio ada akan tampak manfaatnya dan panca indra, akan tetapi dalam lewat penyucian jiwa. Namun al- mencapai tujuan akhir penelitian Ghazali (Arikunto, 1991:3). Oleh sebab itu ilmu menempatkan tersebut sesuatu tidak yang kedua sebagai berlawanan memecahkannya analisis data yang dan peneliti lakukan adalah berupa analisa melainkan sesuatu yang konsep-konsep pembagian ilmu berhubungan erat. yang yang digambarkan oleh Imam pertama adalah sangat penting Ghazali dalam kitab “Ihya ulum untuk mencapai ilmu yang kedua. ad-Din”. Metode Penelitian Pembahasan Ilmu Jenis penelitian ini adalah Berdasarkan Library Research yang berarti al-Ghazali, riset kesimpulan kepustakaan atau pandangan dapat bahwa diambil ada dua kepustakaan murni. Penelitian ini sistem di mana ilmu itu dapat akan konsep diperoleh, yaitu usaha nyata dan pembagian ilmu dalam kitab Ihya’ inspirasi Tuhan; usaha akal dan ‘Ulum ad-Din karya al-Ghazali badan di satu sisi dan Nur Ilahi di tentang pembagian ilmu. sisi yang lain. Dua pendekatan ini Penelitian pustaka riset sejalan dengan dua macam ilmu serangkaian di atas, dan di sinilah mystik al- pustaka menggali adalah atau kegiatan yang berkenaan dengan Ghazali metode pendidikan lebih kuat dari pada pengumpulan data pustaka, membaca dan mencatat 193 masuk kemampuan dalam akal ranah manusia. p-ISSN: 1693-508X e-ISSN: 2502-7263 Al-Fikra: Jurnal Ilmiah Keislaman, Vol.19,No.2, Juli – Desember,2020 (180 – 198) DOI:1024014/af.v19.i2.11338. Namun ini tidak berarti al-Ghazali qur’an, al-sunna, al-ijma’, dan menolak peran akal di dalamnya, atsar sahabat, (2) cabang (furu’), ia menempatkannya yang terdiri dari ilmu fiqih dan pada posisi kedua setelah “nur” ilmu tentang hal-ikhwal hati; (3) Tuhan. pengantar hanyalah Dengan meskipun kata al-Ghazali lain, menolak (muqaddimat), ilmu bahasa dan tata bahasa; keilmuan yang berbasis logika dan spekulatif dan (mutammimat), keilmuan yang lebih memilih menggunakan yaitu (4) dan ilmu-ilmu pelengkap yang mencakup yang berhubungan pendekatan wahyu dan mystik, dengan al-qur’an dan al-hadits tapi ia masih memberikan ruang (Al-Ghazali, 1995:63). yaitu lewat Sedangkan ilmu-ilmu yang deduksi dan pengamatan empiris. termasuk dalam kategori kedua, Sikap al-Ghazali terhadap yaitu ilmu-ilmu non-agama, al- beragam ilmu pengatahuan yang Ghazali membaginya ke dalam berkembang pada saat itu dapat tiga kelompok. bagi peran akal, Yaitu; pertama, ilmu-ilmu dilihat juga dari klasifikasi ilmu yang dalam kitab Ihya’ ‘ulum al-Din, mahmudah) di mana hukum secara mempelajarinya adalah fardhu tegas membedakan al-Ghazali antara ilmu-ilmu terpuji (al-’ulum al- pengetahuan yang ia susun. Di kifayah seperti kedokteran, dan agama (al- ‘ulum al-shar’iya) dan ilmu ilmu-ilmu non agama (al- ‘ulum bermanfaat ghair Ilmu-ilmu tubuh agama adalah ilmu-ilmu yang hisab mulia dan hukumnya wajib ‘ain muamalah manusia seperti dalam bagi untuk hal pembagian warisan.Kedua, Al-Ghazali ilmu-ilmu yang diperbolehkan (al- membagi ilmu-ilmu agama ini ‘ulum al-mubahah) seperti syair dalam empat macam, yaitu: (1) dan sejarah, dan Ketiga, ilmu- pokok (ushul), yang terdiri dari al- ilmu yang tercela (al-‘ulum al- al-shar’iya). setiap mempelajarinya. Muslim hisab. Kedokteran bagi manusia, keselamatan sedang menunjang ilmu kehidupan 194 p-ISSN: 1693-508X e-ISSN: 2502-7263 Yuri Indri Yani, Hakmi Wahyudi, Mhd.Rafi’I Ma’arif Tarigan: Pembagian Ilmu Menurut al-Ghazali (Tela’ah Buku Ihya’ Ulum ad-Din). DOI:10.24014/af.v19.i2.11338. madhmumah), yang tidak yaitu ada ilmu-ilmu manfaatnya, mampu untuk mempelajarinya. Karena jika tidak maka seperti ilmu sihir, ilmu nujum, dan berdosalah ilmu Al-Ghazali penduduk negeri tersebut apabila melarang mempelajari ilmu-ilmu tidak melakasanakannya. Namun tersebut jika telah ada salah satu di antara ramalan. karena menimbulkan dapat kesusahan bagi mereka ia dan yang seluruh mempelajarinya pemiliknya atau bagi orang lain. maka gururlah kewajiban bagi Termasuk yang lain dan terselamatkanlah dalam kategori alGhazali juga mempelajari ini, melarang yang Contoh dari kasus di atas arah adalah: “disuatu negeri tidak ada kekufuran, seperti mempelajari seorang pun yang mempunyai bagian-bagian rumit dari suatu atau nhilmu memahami kedokteran baik karena alasan bagian-bagiannya yang jelas atau tidak ada yang mampu atau pun mempelajari rahasia ada yang mampu namun tidak ilahiyyat, seperti metafisika yang mempelajari ilmu tersebut. Dalam menjadi bagian dari ilmu filsafat kasus ini, ilmu kedokteran yang (Al-Ghazali, 1995:36). merupakan fardhu kifayah tadi membawa ilmu-ilmu negeri itu dari dosa tadi. manusia sebelum ke tentang Berkaitan menguasai ilmu ilmu bisa berubah hukumnya menjadi yang yang menjadi fardhu kifayah fardhu’ain bagi seluruh penduduk apabila dalam suatu negeri tidak di daerah tersebut terutama bagi ada orang yang mempelajari ilmu orang tersebut, mental atau pun materi untuk maka dengan pun berdosalah yang mampu seluruh penduduk negeri itu jika mempelajarinya. tidak segera mengutus orang demikian untuk mempelajari ilmu tersebut. maka berdosalah seluruh negeri Dan ilmu yang fadhu kifayah ini tersebut bisa berubah hukumnya menjadi menjerumuskan diri mereka ke fardlu’ain dalam kebinasaan. 195 bagi orang yang Jika secara tidak hal dilaksanakan karena telah p-ISSN: 1693-508X e-ISSN: 2502-7263 Al-Fikra: Jurnal Ilmiah Keislaman, Vol.19,No.2, Juli – Desember,2020 (180 – 198) DOI:1024014/af.v19.i2.11338. seperti Konsep-konsep al-Ghazali pemerintahan, di atas dalam kadar tertentu apabila tidak ada penduduk atau berpengaruh terhadap konsep- masyarakat dalam pemerintahan konsep Al-Zarnuji. yang mempelajari ilmu tersebut, sufistik terlihat maka pemerintah wajib untuk pemikiran-pemikiran mengarahkan serta membiayai Namun masyarakatnya Ghazali, Kasus dalam lainnya suatu yang dikira Nuansa jelas berbeda pada al-Zarnuji. dengan al-Zarnuji altidak mampu dan bisa mempelajari menempatkan sufisme sebagai ilmu ilmu tersebut. maka yang terselamatkanlah negeri itu dari bahkan dosa dan kebinasaan. Sufisme Dilihat dari klasifikasi ilmu paling tidak ke tinggi memasukkan dalam keilmuannya. dan Ia klasifikasi menempatkan di atas, terlihat bahwa al-Ghazali fiqh, satu cabang ilmu yang dinilai secara oleh tegas membedakan al-Ghazali sebagai ilmu antara ilmu-ilmu agama dengan sekunder, justru sebagai ilmu ilmu-ilmu non-agama. Namun yang demikian, al-Ghazali tidak menempatkan kedua keilmuan paling berkaitan utama dengan karena kehidupan keagamaan orang Islam setiap tersebut pada posisi “konflik” atau harinya. Oleh karena bertentangan, tapi lebih pada Zarnuji dalam karyanya ta’lim al- posisi “independen” satu dengan muta’allim sering membicarakan lainnya. Hal ini terlihat pada ilmu bersama-sama dengan fiqh. keputusan-keputusan tentang “hukum” masing-masing Al-Zarnuji al-Ghazali mempelajari cabang ilmu ilmu memandang sebagai mencapai itu, al- sarana derajat yang untuk tinggi pengetahuan dalam klasifikasinya dihadapan Tuhan. Terkait dengan di masalah atas, di mana ia sangat ini, mempertimbangkan aspek menggunakan kemanfaatan dalam seperti mempelajarinya. yang al-Zarnuji istilah taqwa, nampak dalam kutipan berikut: “belajar ilmu itu 196 p-ISSN: 1693-508X e-ISSN: 2502-7263 Yuri Indri Yani, Hakmi Wahyudi, Mhd.Rafi’I Ma’arif Tarigan: Pembagian Ilmu Menurut al-Ghazali (Tela’ah Buku Ihya’ Ulum ad-Din). DOI:10.24014/af.v19.i2.11338. adalah mulia sebab ia dapat tetapi juga pendekatan intelektual menghantarkan ke atau rasio. Dengan kata lain, yang aktifitas belajar tidak menjadikan menjadikannya menerima pahala manusia menerima begitu saja Tuhan dan kebahagiaan yang ajaran-ajaran agama (taqlid), tapi abadi” 1984:40). juga memerlukan pertimbangan Hanya dengan ilmu seseorang akal atau rasio. Sebagaimana dapat tampak dalam kutipan berikut: derajat manusia taqwa (Al-Zarnuji, menjalankan setiap kewajiban agama di satu sisi, dan “…dan di sisi lainnya dapat menghindari murid) beriman kepada Allah atas setiap dasar larangan-larangan yang hendaknya akal. (seorang Sebab imannya ditetapkan oleh agama. Dua hal seorang ini, yaitu menjalankan perintah benar menurut pandangan kita, agama akan dinilai sebagai dosa selama dan menjauhi muqallid, meskipun laranganlarangannya, adalah dua tidak faktor akal”(Al-Zarnuji, 1984:40). penting dalam konsep taqwa. Dan untuk dapat sampai dipertimbangkan melalui Dari sini tampak bahwa ke derajat taqwa ini, seseorang pengembangan memerlukan ilmu pengetahuan kesadaran intelektualitas, dalam yang pandangan al-Zarnuji, ajaran- sangat penting sinilah mendekatkan diri kepada Tuhan. untuk dapat memfasilitasinya melaksanakan ajaran agama. kemudian Di bisa dipahami Di sini intelektual nampak dan adalah untuk bahwa ada mengapa al-Zarnuji menjadikan kesamaan pendekatan keilmuan fiqh dalam posisi tinggi dan mulia. antara al-Ghazali dan al-Zarnuji, namun al-Zarnuji dapat menghantarkan manusia ke seorang ulama derajat taqwa, menurut al-Zarnuji memberikan ruang yang lebih yang bermazhab hanafiyah, tidak luas bagi peran akal di dalamnya hanya dibandingkan dengan al-Ghazali Aktifitas pendekatan 197 belajar, agar mengedepankan spirtitual belaka, sebagai Hanafiyah yang bermazhab Shafi’iyah. p-ISSN: 1693-508X e-ISSN: 2502-7263 Al-Fikra: Jurnal Ilmiah Keislaman, Vol.19,No.2, Juli – Desember,2020 (180 – 198) DOI:1024014/af.v19.i2.11338. Secara singkat dari pembagian ilmu di atas dapat dikatakan bahwa konsep keilmuan al-Zarnuji terpengaruh kuat oleh perkembangan ilmu pengetahuan pada masanya yang didominasi oleh ilmu-ilmu agama yang sudah “menyatu” dengan tasawuf. Namun sebagai ulama Hanafiyah, al-Zarnuji memberikan porsi yang terlihat lebih besar pada peran akal dalam pengembangan ilmu pengetahuan. DAFTAR PUSTAKA Al-Ghazali, I. 2015. Ihya’ ’Ulumiddin. Terjemahan oleh Zuhri Mohammad. Semarang: CV. Asy Syifa’. Al-Ghazali, A. H. M. 1995. Ihya’ Ulum al-Din, juz I. Beirut: Badawi Thaba’ah. Al-Zarnuji. 1984. Ta’lim alMuta’allim thariq al-ta’allum. Beirut: Daar Ibn Kathir. Arikunto, S. 1991. Prosedur Penelitian. Jakarta: Rineka Cipta. Baharuddin. U, Minarti. S. 2011.Dikotomi Pendidikan Islam, Historisitas dan Implikasi pada Masyarakat Islam. Bandung: Remaja Rosdakarya. Bakar, O. 1992. Hierarki Ilmu: Membangun Rangka-Pikir Islamisasi Ilmu. Terjemahan Oleh Purwanto. 1997. Bandung: Mizan. Bakar. O. 1997. Tauhid dan Sains, terj. Yuliani Lipoto, Bandung : Mizan. Daud, M. A. 2015.Pendidikan Agama Islam. Jakarta: Raja Grafindo Parsada. Hamdi, A. Z.2001. Epistemologi dalam Konstruksi Filsafat AlGhazali. Jurnal Al-Tahrir. Ismail, Y. 1979. Terjemah Ihya’ ’ulumuddin (Jilid 1). Semarang: CV. Fauzan. Mestika, Z. 2004. Metode Penelitian Kepustakaan. Jakarta: Yayasan Bogor Indonesia. Soleh, A. K. 2014. Filsafat Islam dari Klasik hingga Kontemporer. Jogjakrta: ArRuzz Media. Zed. M 2004. Metode Penelitian Kepustakaan. Jakarta: Yayasan Bogor Indonesia. 198 p-ISSN: 1693-508X e-ISSN: 2502-7263