Al-Fikra: Jurnal Ilmiah Keislaman, Vol.19,No.2, Juli – Desember,2020 (180 – 198)
DOI:1024014/af.v19.i2.11338.
PEMBAGIAN ILMU MENURUT AL-GHAZALI
(Tela’ah Buku Ihya’ ‘Ulum ad-Din)
Yuri Indri Yani
STAIN Bengkalis Riau
[email protected]
Hakmi Wahyudi
UIN Sultan Syarif Kasim Riau
[email protected]
Mhd. Rafi’i Ma’arif Tarigan
STIT HASIBA Barus
[email protected]
Abstract
This study was initiated by the sharing of knowledge found in Islamic religious education
such as the presence of fardhu 'ain and fardhu kifayah, which influence the education
system in Indonesia. This study aims to investigate the classification of knowledge
according to Al-Ghazali's perspective in his book entitled Ihya’ ‘Ulum ad-Din. Therefore,
this study was written under the title of “The Classification of Knowledge by Al-Ghazali (A
Study of Ihya’ ‘Ulum ad-Din Book).” Judging from the title, this scientific work is library
research in which data collection technique used was documentation. Data were
collected through written legacy such as writings, pictures, archives, and books about
theoretical opinions, arguments, and laws related to research problems. The sharing of
knowledge is something that has long been happening in the world of Islamic education
where many experts or scholars classify knowledge based on different perspectives. In
Islam, knowledge is the basis for worship. Thus, knowing the meaning, object, and source
of knowledge is indispensable in an education. In the book of Ihya’ ‘Ulum ad-Din, AlGhazali classified knowledge into two types, namely fardhu’ain knowledge and fardhu
kifayah knowledge. Fardhu'ain knowledge is a science or knowledge that is required to be
studied by every human being, while fardhu kifayah knowledge is a science that if there is
at least someone or a group of people who studies it, the obligation to study will fall on
the communities in that area. The results showed that in the book of Ihya' 'Ulum ad-Din,
Al-Ghazali classified knowledge into two, fardhu'ain knowledge and fardhu kifayah
knowledge. Muamalah knowledge such as aqidah (things to do and not to) and
mukasyafah knowledge are included in fardhu'ain knowledge. Meanwhile, knowledge of
shari'ah and knowledge of non-shari'ah matters (praiseworthy knowledge, disgraceful
knowledge, and allowed knowledge) are included in the fardhu kifayah knowledge.
Keywords: Classification, Knowledge, Al-Ghazali
180
Yuri Indri Yani, Hakmi Wahyudi, Mhd.Rafi’I Ma’arif Tarigan: Pembagian Ilmu
Menurut al-Ghazali (Tela’ah Buku Ihya’ Ulum ad-Din).
DOI:10.24014/af.v19.i2.11338.
“ilmu-ilmu non agama’ yang telah
Pendahuluan
dan
menimbulkan ketimpangan yang
agama merupakan satu totalitas
nyata antara dua klasifikasi ilmu
yang integral yang tidak dapat
(Hamdi, 2001).
Ilmu
pengetahuan
Dalam
dipisahkan satu dengan yang
bukunya
yang
lainnya. Sesungguhnya Allah-lah
berjudul “Ihya’ Ulum ad-Din”, al-
yang
akal
bagi
Ghazali memang membagi ilmu
manusia untuk mengkaji
dan
menjadi dua bagian yakni ilmu
menganalisis
ada
terpuji dan tercela, beliau juga
dalam alam ini sebagai pelajaran
menjelaskan bagian-bagian dan
dan bimbingan bagi manusia
hukum-hukum mempeajarinya. Di
dalam
menjalankan
dalamnya terkandung penjelasan
kehidupannya di dunia. Secara
tentang kedudukan dan sesuatu
normatif,
sangat
yang fardhu kifayah, penjelasan
menghargai tentang penguasaan
tentang Ilmu Kalam dan Ilmu
ilmu
pengetahuan.
Sehingga,
Fiqih dalam Ilmu Agama sampai
ilmu
dalam
dipandang
batas
menciptakan
apa
yang
Islam
Islam
mana,
dan
penjelasan
secara utuh dan universal, tidak
tentang keutamaan ilmu akhirat
ada istilah pembagian ilmu.
(al-Ghazali, 1995).
Melihat
Namun dalam perspektif
fenomena
fakta sejarah dan dari beberapa
terjadi
sumber lain yang penulis baca,
dijabarkan
banyak
diantara
tokoh
mengetahui lebih jauh mengenai
merujuk
pada
pendapat
yang
Al-
seperti
yang
pembagian
yang
telah
dan
untuk
diatas,
ilmu
yang
terjadi
Ghazali. Bahkan diantara mereka
dalam dunia pendidikan saat ini,
banyak yang menyebutkan dalam
maka
tulisannya, bahwa akar mula dari
melakukan
pembagian ilmu ini adalah ketika
tentang
“Pembagian
al-Ghazali memandang sebagai
Menurut
al-Ghazali
fardhu ain untuk menuntut “ilmu
Buku Ihya’ ‘Ulum ad-Din)”.
penulis
tertarik
kajian
untuk
pustaka
Ilmu
(Tela’ah
agama” dan fardhu kifayah untuk
181
p-ISSN: 1693-508X
e-ISSN: 2502-7263
Al-Fikra: Jurnal Ilmiah Keislaman, Vol.19,No.2, Juli – Desember,2020 (180 – 198)
DOI:1024014/af.v19.i2.11338.
Kajian Teori
dan Ilmu Mukasyafah dimana
Dalam muqaddimah buku
Ihya’
Ulumiddin,
Ilmu Mu’amalah adalah alat untuk
al-Ghazali
mencapai Ilmu Mukasyafah. Ilmu
memperkenalkan dua kelompok
Mukasyafah sendiri tidak dapat di
besar ilmu, yaitu ilmu praktik
ajarkan
keagamaan (‘ilm mu’amalah) dan
melainkan
ilmu pengungkapan ruhiyah (‘ilm
langsung dengan rahmat Allah
‘Ilm
mukasyafah).
berurusan
mu’amalah
dengan
prasyarat
kepada
kepada
ilmu
orang
memang
orang
itu
di
lain
dapat
orang
yang
pantas
untuk
memperoleh ilmu yang kedua.
mendapatkan dan memikulnya,
‘Ilm mukashafah merupakan apa
seperti
yang
pewaris Nabi.
dibicarakan
secara
tersirat
melalui
lambang
oleh
dan
dan
nabi
Nabi
dan
para
Dalam bab kedua buku
singkat
kiasan
para
Ihya’
Ulum
ad-Din
al-Ghazali
mengelompokkan ilmu menjadi
(Fajari, 2016).
terbagi
fardu ‘ain dan fardu kifayah.
menjadi dua. Pertama,ilmu dzahir
Fardu ‘ain menunjukkan ilmu-ilmu
yakni
amal
yang terkait dengan perintah dan
perbuatan anggota badan. Ilmu
larangan agama. Fardu kifayah
ini menyangkut adat kebiasaan
mencakup
dan ibadah.Ilmu Bathin, yakni
penguasaannya wajib bagi suatu
ilmu mengenai amal perbuatan
masyarakat
hati melalui anggota badan. Ilmu
mengikat bagi tiap individu. Ilmu
ini menyangkut hal ihwal hati dan
fardu
kifayah
budi pekerti jiwa baik yang terpuji
dua,
yaitu
maupun
(shar’iyyah), yang diambil dan
Ilmu
ilmu
Mu’amalah
mengenai
yang
tercela
ilmu-ilmu
yang
Muslim tapi
tidak
terbagi
menjadi
ilmu-ilmu
agama
berkisar tentang wahyu Allah dan
(Baharuddin, 2011).
Dari paparan di atas dapat
Sunnah Rasulullah, seperti ilmu
Al-Ghazali
tafsir, hadith, fiqh, usul al-fiqh,
mengklasifiksikan ilmu menjadi
dan lain-lain, serta ilmu non
dua bagian yakni Ilmu Mu’amalah
agama (ghayru syar’iyyah) yang
disimpulkan
bahwa
182
p-ISSN: 1693-508X
e-ISSN: 2502-7263
Yuri Indri Yani, Hakmi Wahyudi, Mhd.Rafi’I Ma’arif Tarigan: Pembagian Ilmu
Menurut al-Ghazali (Tela’ah Buku Ihya’ Ulum ad-Din).
DOI:10.24014/af.v19.i2.11338.
Ilmu
berasal dari hasil penalaran akal
manusia,
adalah
dan
ilmu yang mempunyai otoritas
percobaan, seperti kedokteran,
dalam praktik-praktik ibadah. Di
matematika, ekonomi, astronomi,
dalamnya
dan lain (Fajari, 2016).
antara
Ilmu yang Fardhu’ain
Tujuannya menyelamatkan jiwa
Ilmu
pengalaman,
Mu’amalah
yang
fardhu’ain
terdapat
doktrin
korelasi
dan
praktik.
agar mendapatkan kebahagiaan
adalah ilmu yang merujuk pada
di akhirat (Soleh, 2014).
kewajiban agama yang mengikat
Mu’amalah terbagi menjadi tiga
setiap
bagian yakni Aqidah, Berbuat dan
muslim dan
muslimah.
kategori fardu ‘ain, yaitu ilmu-ilmu
Ilmu
Tidak Berbuat.
yang harus dimiliki oleh setiap
Pertama, aqidah berkaitan
orang Islam, tidak bisa ditawar,
dengan kepercayaan atau bisikan
demi
hati.
kebaikan
dan
Jika
dalam
pengalaman
kehidupan
suatu ilmu itu masih mengandung
akhirat. Ilmu yang masuk dalam
keraguan di dalam hati, maka
kategori ini mengacu pada ilmu-
hendaklah seseorang itu segera
ilmu yang mengarah pada jalan
menghilangkan
menuju pada keselamatan hidup
tersebut dari hatinya.
keselamatannya
sesudah
mati
di
(‘ilm
tariq
keraguan
Contohnya,
seorang
alakhirah). Walaupun demikian,
hamba telah bersyahadat, namun
pelaksanaan tugas mencari ilmu
dalam hatinya masih terdapat
fardu ‘ain ini harus disesuaikan
keraguan terhadap kalam Allah
dengan tingkat kebutuhan baik
Swt. Jika hamba itu meninggal
jangka panjang maupun pendek
dan
dan kemampuan masing-masing
tersebut
individu (Soleh, 2014). Ilmu yang
tidak
fardhu’ain sendiri terbagi menjadi
Namun jika sebaliknya, sebelum
dua, yakni Ilmu Mu’amalah dan
hamba tersebut meninggal dia
Ilmu Mukasyafah.
telah mempercayai sepenuh hati
serta
183
masih
dalam
maka
dalam
dia
keraguan
meninggal
keadaan
beri’tikad
bahwa
Islam.
kalam
p-ISSN: 1693-508X
e-ISSN: 2502-7263
Al-Fikra: Jurnal Ilmiah Keislaman, Vol.19,No.2, Juli – Desember,2020 (180 – 198)
DOI:1024014/af.v19.i2.11338.
Allah itu qadim maka hamba
wajiblah pelajaran itu di dahului
tersebut
dengan belajar tentang tanda-
meninggal
dalam
tanda masuknya waktu shalat,
keadaan Islam.
Oleh karena itu, sangatlah
seorang
hamba
tentang syarat dan rukun sah
shalat
serta
amalan
Sunnah
penting
bagi
tersebut
mempelajari ilmu-ilmu
sebelum dan sesudah shalat.
yang dapat menambah keyakinan
Jika dia hidup sampai bulan
serta iman dan taqwanya kepada
Ramadhan,
Allah Swt. agar hilang keraguan
baginya
tersebut dari hatinya. Namun jika
puasa, yakni mengetahui kapan
dalam hatinya tidak ada keraguan
waktu
mulai
dan
tentang
hal
serta
syarat
tidaklah
wajib
maka
untuk
wajiblah
mempelajari
berakhirnya
tersebut
maka
puasa
baginya
untuk
halyang dibolehkan serta dilarang
mempelajari hal yang demikian.
selama berpuasa. Dan begitu pun
Akan
seterusnya sampai akhir hayat
tetapi
alangkah
lebih
baaiknya jikalau pun dia tidak
ragu
namun
dia
dan
hal-
seorang hamba tersebut.
Contoh
tetap
lainnya
adalah
pada saat peperangan, apabila
mempelajarinya.
Kedua,berbuat dalam hal
musuh sudah mendekat maka
ini berkaitan dengan kegiatan dan
wajiblah
aktivitas yang dilakukan dalam
mengeluarkan
waktu tertentu dan sebab tertentu
melawan musuh tersebut karena
yang
jika tidak maka dia bisa dibunuh
mengharuskan
seorang
baginya
untuk
pedangnya
musuh.
Namun
dan
hamba tersebut berbuat hal yang
oleh
jika
demikian (al-Ghazali, 1995).
seandainya musuh masih jauh
Misalnya, seorang hamba
namun dia telah mengeluarkan
hidup terus dari pagi hingga
pedangnya maka hal itu boleh-
masuk
boleh
waktu
Dhuhur.
Maka
sebelum masuk waktu Dhuhur
dia wajib mempelajari tata cara
bersuci
dan
shalat.
Bahkan
saja
untuk
senantiasa
bersiaga terhadap musuh.
Dengan kata lain ilmu itu
menjadi
wajib
ketika
sudah
184
p-ISSN: 1693-508X
e-ISSN: 2502-7263
Yuri Indri Yani, Hakmi Wahyudi, Mhd.Rafi’I Ma’arif Tarigan: Pembagian Ilmu
Menurut al-Ghazali (Tela’ah Buku Ihya’ Ulum ad-Din).
DOI:10.24014/af.v19.i2.11338.
datang keadaan-keadaan yang
kita melihatnya shalat dengan
mewajibkannya.
belum
memakai pakaian yang terbuat
yang
dari sutera, maka kewajiban kita
telah
adalah memberitahu saudara kita
belajar hal demikian maka itu
yang muallaf adi bahwa dalam
lebih bagus baginya akan tetapi
Islam seorang laki-laki tidak boleh
masih
memakai pakaian yang terbuat
Jika
datang
keadaan
mewajibkan
namun
belum
ada
dia
kewajiban
dari sutera ketika shalat. Maka
atasnya atas ilmu tersebut.
Ketiga, tidak berbuat yang
laki-laki
muallaf
tadi
wajib
dimaksudkan disini adalah suatu
meninggalkan hal demikian dan
ilmu
mengganti
yang
hanya
dipelajari
pakainnya
dengan
menurut perkembangan keadaan
bahan yang lain. Maka keadaan
tertentu dan sebab tertentu saja.
ini dinamakan dengan keadaan
Jika tidak termasuk ke dalam
yang mewajibkan dia untuk tidak
keadaan tersebut maka tidak ada
berbuat.
kewajiban
baginya
mempelajari
hal
Selain
untuk
tersebut
(al-
tersebut diatas,
fardhu’ain
Ghazali, 1995).
hal-hal
yang
terdapat ilmu
lainnya
yakni
ilmu
orang
tentang sifat-sifat mahmudah dan
yang bisu tidaklah wajib baginya
mazmumah (al-Ghazali: 1995).
mempelajari
yang
Ilmu ini menjadi wajib karena
diharamkan sebab dia sendiri
saban hari manusia tidak akan
tidak bisa berbicara. Demikian
pernah telapas akan hal ini.
juga dengan orang buta tidaklah
Setiap
wajib baginya mempelajari apa
kecendrungan untuk berbuat dan
yang diharamkan untuk dilihat
bebuat
karena dia sendiri tidak bisa
mahmudah
melihat apa pun.
mazmumah (tercela).
Contohnya,
bagi
kata-kata
manusia
jahat
punya
atau
sifat
(terpuji)
dan
Contoh lainnya adalah ada
Oleh karena itu ilmu ini
seorang lelaki muallaf yang baru
menjadi fardhu’ain bagi setiap
masuk agama Islam. Suatu hari
muslim
185
untuk
mempelajarinya
p-ISSN: 1693-508X
e-ISSN: 2502-7263
Al-Fikra: Jurnal Ilmiah Keislaman, Vol.19,No.2, Juli – Desember,2020 (180 – 198)
DOI:1024014/af.v19.i2.11338.
agar senantiasa terjaga iman dan
dan
taqwanya
(Baharuddin et.all., 2011:100).
kepada
Allah
Swt.
terlintas
begitu
saja
Ilmu Mukasyafah adalah
barangsiapa yang tidak mengenal
sesuatu maka dia tidak akan tahu
ilmu
bagaimana
mendapatkan
kesudahan dari segala ilmu. Para
sesuatu itu, bagaimana menjaga
Arifin (ahli Ilmu Ma’rifah yaitu ilmu
sesuatu itu serta ancaman apa
menganal
saja
mengatakan bahwa,
cara
yang
dapat
mengancam
sesuatu tersebut. Maka kita harus
mengenali
lawan
tahu
supaya
kita
bagaimana
melawannya.
cara
Kita
harus
mengenal sifat mazmumah agar
kita
tahu
bagaimana
cara
mengatasinya dalam diri kita.
Ilmu
Mukasyafah
atau
Ilmu
Ladunni
adalah
ilmu
yang
diperoleh seorang hamba berupa
anugerah
yang
langsung
biberikan oleh Allah. Bisa saja
didapat
dengan
sebab
dan
potensi dasar yang sudah ada,
maupun tanpa sebab dan potensi
prasyarat
yang
dibutuhkan.
Dalam konteks ini termasuk di
dalamnya
dan
merupakan
Allah
Ta’ala)
“Orang
yang
tidak
mempunyai bahagian dari
ilmu Mukasyafah ini, aku
takut
akan
buruk
kesudahannya
(tidak
memperoleh
husnul
khatimah). Sekurang-kurang
bahagian dari padanya, ialah
membenarkan ilmu itu dan
tunduk kepada ahlinya”.
Ilmu
Mukasyafah
ibarat
sebuah cahaya yang lahir dari
Ilmu Mukasyafah atau Ilmu
Ladunni
bathin
adalah
intuisi
atau
ilham-ilham yang dianugerahkan
kepada manusia, yang mungkin
dirasakan seolah hanya hasil pikir
dalam hati ketika pengucian dan
pembersihannya
terbebas
dari
sifat-sifat
tercela.
Dari
yang
cahaya itu tersingkaplah hal-hal
yang tadinya masih belum terurai
dan tidak jelas dan tersembunyi
menjadi
jelas
dan
terbuka.
Seperti
mengetahui
makna
kenabian,
malaikat,
makna
mizan,
wahyu,
sirat,
permusuhan setan dan malaikat
dan seterusnya.
Hati manusia itu layaknya
sebuah
cermin
yang
dapat
186
p-ISSN: 1693-508X
e-ISSN: 2502-7263
Yuri Indri Yani, Hakmi Wahyudi, Mhd.Rafi’I Ma’arif Tarigan: Pembagian Ilmu
Menurut al-Ghazali (Tela’ah Buku Ihya’ Ulum ad-Din).
DOI:10.24014/af.v19.i2.11338.
menerima cahaya (ilham). Jika
saling bertukar pikiran secara
saja cermin itu tidak berkarat atau
rahasia.
kotor akibat kotoran dunia atau
Ilmu yang Fardhu Kifayah
maka
Ilmu yang fardhu kifayah
tentulah cermin tersebut dapat
adalah ilmu yang merujuk kepada
menerima cahaya yang dikirim
hal-hal yang merupakan perintah
padanya. Ilmu menuju akhirat
Ilahi
(ilmu mukasyafah) ini layaknya
komunitas
sebuah
cara
muslim dan muslimat sebagai
menggosok cermin tersebut agar
satu kesatuan. Dengan kata lain
bersih dan bisa menerima cahaya
ilmu
kembali
didefinisikan sebagai kewajiban
peyakit
hati
lainnya,
ilmu
mengenai
sehingga
dengan
yang
bersifat
mengikat
(kelompok
fardhu
orang)
kifayah
dapat
demikian terbukalah dinding atau
kemasyarakatan,
hijab antara cermin (hati) tadi
sudah ada sekelompok orang
dengan Allah Ta’ala. Dan salah
yang melakukannya, yang lain
satu cara untuk membersihkan
terbebas
cermin
mengerjakan
(hati)
dengan
tersebut
mencegah
menuruti
hawa
adalah
namun
dari
jka
kewajiban
fardhu
kifayah
diri
dari
tersebut (Ali, 2010: 392). Ilmu
nafsu
dan
yang
fardlu
kifayah
terbagi
berpengan teguh dalam segala
menjadi dua, yakni Ilmu Syari’ah
hal kepada ajaran Nabi-Nabi as.
dan Ilmu Bukan Syariah.
Ilmu
Mukasyafah
tidak
dituliskan dalam kitab-kitab dan
Ilmu Syari’ah
Ilmu syari’ah adalah ilmu
orang
yang
dianugerahi
oleh
agama yang diperoleh dari Nabi-
Allah
ilmu
ini
juga
tidak
Nabi as. Dan tidak ditujukan
kepada
orang
untuk akal manusia seperti Ilmu
sesame
Berhitung, Ilmu Kedokteran atau
mengatakannya
lain
selain
kepada
mereka yang juga dianugerahi
Pendengaran
oleh
Bahasa
Allah
ilmu
Mukasyafah).
bermusyawarah
187
Yakni
ini
(Ilmu
dengan
bersama
dan
maupun
(Al-Ghazali,
Ilmu
1995:62).
Ilmu syari’ah adalah ilmu yang
semuanya terpuji. Akan tetapi
p-ISSN: 1693-508X
e-ISSN: 2502-7263
Al-Fikra: Jurnal Ilmiah Keislaman, Vol.19,No.2, Juli – Desember,2020 (180 – 198)
DOI:1024014/af.v19.i2.11338.
terkadang tercampur dengan apa
mengungkapkan
yang
diketahui (Akbar, 2017:63).
disangkakan
syari’ah
padahal itu adalah ilmu tercela.
apa
yang
Cabang (Furu’)
Ilmu
Ilmu syari’ah terbagi menjadi dua,
Furu’
adalah
ilmu
yaitu ilmu terpuji dan ilmu tercela.
yang memperjelas dari bagian-
Adapun ilmu Syari’ah yang
bagian pokok (ushul) agar bisa
terpujiterbagi
bagian
menjadi
empat
dipahami oleh akal pikiran serta
pokok,
cabang
untuk memperluas pemahaman
pengantar
tentang suatu hal sehingga dari
yakni:
ilmu
(Furu’),
(muqaddimah)
dan
ilmu
pemahaman
itu
pelengkap.
dipahami
yang
Pokok (Ushul)
Ghazali, 1995:64).
Cabang
Yang termasuk kedalam
pula
lainnya
(al-
(furu')
yaitu
Pokok (Ushul) ada empat, yakni:
sesuatu
Kitabullah ‘Azza wa Jalla, Sunnah
pokok-pokok ini, bukan dengan
Rasul Saw., Ijma’ Ummat dan
kepastian
peninggalan-peninggalan
dengan
sahabat
1995:62).
yang diketahui oleh akal. Oleh
Ijma' itu pokok dari segi bahwa itu
sebab itu meluaslah pemahaman
menunjuk
Ijma’
itu sehingga dari lafal itu difahami
adalah pokok dalam tingkatan
oleh apa yang dilafalkan oleh
ketiga. Demikian juga atsar, maka
lainnya. Ini terbagi menjadi tiga
itu juga menunjuk atas sunnah
macam, yaitu: Pertama, berkaitan
karena
dengan
(al-Ghazali,
atas
para
menyaksikan
sunnah.
sahabat
wahyu
itu
dan
yang
dapat
difahami
lafal-lafalnya
dari
tetapi
pengertian-pengertian
kemaslahatan-
kemaslahatan
dunia
dan
itu
penurunannya, dengan keadaan
termuat dalam kitab fikih dan
dapat mengetahui apa yang gaib
yang bertanggung jawab adalah
(tidak
para fuqaha. Mereka itulah ulama
diketahui)
oleh
mereka.
Barang
kali
tersebut
tidak
cukup
selain
kalimat
untuk
dunia.
Kedua,
sesuatu
yang
berkaitan dengan kemaslahatan
kemaslahatan akhirat. Yaitu ilmu
188
p-ISSN: 1693-508X
e-ISSN: 2502-7263
Yuri Indri Yani, Hakmi Wahyudi, Mhd.Rafi’I Ma’arif Tarigan: Pembagian Ilmu
Menurut al-Ghazali (Tela’ah Buku Ihya’ Ulum ad-Din).
DOI:10.24014/af.v19.i2.11338.
dan
menyangkut dengan kepentingan
akhlak yang terpuji dan tercela,
duniawi. Ilmu-ilmu furu’ termuat
sesuatu yangdiridhai di sisi Allah
dalam
dan sesuatu yang dibencinya.
bertanggung jawab terhadapnya
Ketiga, muqaddimah yaitu ilmu-
para ulama Fiqih dan termasuk
ilmu yang berlaku sebagai alat
ulama dunia. Kedua menyangkut
seperti ilmu bahasa dan tata
dengan
bahasa
itu
Yaitu ilmu hal keadaan hati, budi
merupakan alat bagi ilmu (al-
pekerti terpuji dan tercela, hal-
Qur’an) dan sunnah Nabi saw.
ihwal
Bahasa
dibenci Allah (Al-Ghazali, 1102:
mengenai
keadaan
karena
dan
bukanlah
hati
keduanya
tata
bahasa itu
termasuk
ke
dalam
golongan ilmu-ilmu syari'at itu
sendiri,
tetapi
kitab-kitab
fiqih.
kepentingan
yang
dilerai
Yang
akhirat.
dan
yang
64).
Ilmu Pengantar (Muqaddimah)
Ilmu
mendalami
pengantar
adalah
syara'
ilmuyang merupakan alat seperti
karena syari'at ini datang dengan
ilmu Bahasa dan tata Bahasa.
bahasa Arab. Setiap syari'at tidak
Keduamya merupakan alat untuk
jelas kecuali
mengetahui isi Kitabullah dan
keduanya
maka
disebabkan
dengan
menjadilah
bahasa,
bahasa
itu
sebagai alat (Akbar, 2017: 64).
Contohnya adalah hadist
riwayat Bukhari dan Muslim
Sunnah Rasu Saw. Bahasa dan
Tata Bahasa itu bukan lah Ilmu
Syari’ah.
tapi
disebabkan
harus
dipelajari
karena
Agama.
Artinya: “Hakim (Qadhi) itu
Karena Syari’ah (Agama Islam)
tidak mengadili perkara ketika
ini datangnya dengan Bahasa
sedang marah”. Keadaan ini juga
Arab. Dan semua agama tidak
diqiyaskan bahwa seorang hakim
lahir
tersebut
Bahasa.
juga
tidak
mengadili
selain
dengan
Maka
suatu
jadilah
ketika mau buang air, lapar atau
mempelajari Bahasa itu sebagai
merasa sakit.
alat (Al-Ghazali, 1995: 65).
Ilmu
menjadi
189
Furu’
dua:
itu
terbagi
Ilmu Penyempurnaan
pertama
p-ISSN: 1693-508X
e-ISSN: 2502-7263
Al-Fikra: Jurnal Ilmiah Keislaman, Vol.19,No.2, Juli – Desember,2020 (180 – 198)
DOI:1024014/af.v19.i2.11338.
Ilmu
penyempurnaan
hadist. Dan mengetahui umur
adalah ilmu untuk menyempurkan
mereka
pemahaman
pokok.
membedakan antara hadist mural
Contoh mengani Al-Qur’an, ilmu
dan hadist musnad (Al-Ghazali,
megenai
penyempurna
Al-Qur’an
yang
supaya
dapat
1995: 65).
berkaitan dengan kata-katanya
Dari penjelasan di atas
seperti mempelajari Qira’ah (cara
dapat disimpulkan bahwa ilmu
membaca) dan bunyi hurufnya.
syari’ah adalah ilmu murni yang
Dan yang berhubungan dengan
bersumber
pengertiannya,
tafsir,
nabi as. dimana semua ilmu yang
karena pengertian itu tergantung
menacngkup dalam kategori ilmu
kepada naqal (keadaan disekitar
ini adalah sesuatu yang sudah
ayat itu, baik sebab turunnya dan
mutlak
suasananya
ketentuannya
seperti
yang
diperoleh
langsung
dariNabi-
hukum
maupun
berdasarkan
Al-
kitab
Qur’an, Hadist, Ijma’ dan Atsar.
suci). Dan yang berhubungan
Ilmu ini digolongkan kedalam ilmu
dengan
yang
dalam
sejarah
tiap-tiap
hukumnya,
seperti
bersifat
fardhu
kifayah
mengetahui nasikh dan mansukh,
karena apabia ilmu ini sudah
yang umum dan yang khusus,
dipelajari oleh sebagian orang
yang nash dan dhahir dan cara
maka gugurlah kewajiban bagi
mengqiyaskan antara ayat satu
yang
dengan yang lain yaitu ilmu yang
mengingat
disebut dengan Ushulul-Fiqh.
setiap manusia itu berbeda-beda
Adapun ilmu penyempurna
dalam
lainnya.
Selain
kemampuan
keahlian
itu
dari
maupun
pada hadist Nabi dan atsar yaitu
kemampuannya, maka ilmu-ilmu
mengenai perawi-perawi hadist,
terrtentu
yang
namanya, keturunannya, nama-
manusia
bisa
nama sahabat, kepribadiannya
dipelajari
dan
kejujuran
belum
keadaan
mampu dipelajari oleh sebagian
ilmu
mengenai
perawi-perawi
mereka
dalam
dan
meriwayatkan
bagi
dan
olehnya
atau
sebagian
mampu
terkadang
bahkan
belum
manusia lainnya.
190
p-ISSN: 1693-508X
e-ISSN: 2502-7263
Yuri Indri Yani, Hakmi Wahyudi, Mhd.Rafi’I Ma’arif Tarigan: Pembagian Ilmu
Menurut al-Ghazali (Tela’ah Buku Ihya’ Ulum ad-Din).
DOI:10.24014/af.v19.i2.11338.
sebagian
dunia. Seperti ilmu kedokteran,
orang ada yang ahli dalam ilmu
ilmu berhitung, ilmu pertanian,
Contohnya,
dan
Al-Qur’an
mendalami
sebagian
senantiasa
ilmu
orang
dalam Hadist
tersebut.
mempelajarinya.
siasat
pembekaman,
perang,
penjahitan
dan
ahli
lain-lain. Inilah ilmu yang jikalau
senantiasa
suatu negeri kosong dari pada
lainnya
dan
pertenunan,
Dengan
kata
orang-orang
yang
lain, kewajiban mempelajari ilmu
menegakkannya,
Al-Qur’an sudah bisa dianggap
berdosalah penduduk negeri itu.
gugur
yang
Akan tetapi apabila ada satu
dan
orang saja diantara mereka yang
begitu pun sebalikya, kewajiban
menegakkan ilmu tersebut, maka
mempelajari ilmu Hadist sudah
itu
bisa dianggap gugur bagi yang
terlepasnya
mempelajari
kewajiban tersebut.
bagi
mempelajari
orang
ilmu
Hadist
ilmu
Al-Qur’an.
telah
niscaya
mencukupi
dan
yang
lain
dari
adalah
ilmu
Contohnya
Sehingga terciptalah kerjasama
ilmiah dari kedua golongan ahli
bekam. Jikalau kosonglah negeri
tersebut.
dari
Ilmu Bukan Syari’ah
segeralah
datang
kepada
manusia.
Ilmu bukan Syari’ah sendiri
tukang
bekam
maka
kebinasaan
Maka
terbagi menjadi tiga, yaitu ilmu
sesungguhnya
Dialah
yang
yang terpuji, ilmu yang tercela
menurunkan
dan ilmu yang dibolehkan.
pulalah yang yang menurunkan
penyakit,
Dia
Pertama, ilmu yang terpuji
obat dan memberi petunjuk cara
adalah ilmu-ilmu yang baik dan
memakainya serta menyediakan
bermanfaat untuk kemaslahatan
sebab-sebab untuk merawatinya.
masyarakat banyak dan dalam
Maka tidak dibolehkan membawa
menegakkan
diri
urusan
duniawi.
sendiri
kepada
Jika ilmu tidak dipelajari maka
kebinasaan
akan
nyiakan obat itu.
berdampak
pada
dengan
suatu
menyia-
kelangsungan hidup manusia di
191
p-ISSN: 1693-508X
e-ISSN: 2502-7263
Al-Fikra: Jurnal Ilmiah Keislaman, Vol.19,No.2, Juli – Desember,2020 (180 – 198)
DOI:1024014/af.v19.i2.11338.
Adapun
terhitung
ilmu
yang
diperbolehkan
namun
tidak
Demikian pula, ilmu sejarah yang
utama
untuk
dipelajari.
fardlu adalah ilmu mendalami hal-
mencatat
hal halus dan lebih mendalam
penting
tentang ilmu kedokteran, ilmu
Ghazali, 1995: 29). Ilmu lain yang
berhitung dan lain-lainnya yang
termasuk dalam kategori ilmu
termasuk tidak begitu diperlukan
yang
namun
adalah geometri, astronomi, dan
begitu
penting
dan
memiliki
manfaat
dalam
menambah
khazanah-khazanah
peristiwa-peristiwa
dan
sejenisnya
diperbolehkan
(Al-
(mubah)
musik (Bakar, 1997:241).
Dari
paparan
diatas,
bahwa Al-Ghazali membagi ilmu
ilmu pengetahuan.
Kedua, ilmu tercela adalah
yang
bisa
menghantarkan
ilmu-ilmu yang tidak baik dan
manusia
haram untuk dipelajari. Adapun
hari akhir menjadi dua, yaitu ilm
ilmu yang termasuk ilmu tercela
al-mu’amalah (ilmu-ilmu praktis)
adalah
dan ‘ilm al-mukashafah (ilmu-ilmu
ilmu
sihir,
mantera-
kepada
kebahagiaan
mantera ilmu tenung dan ilmu
spiritual).
Sebuah
ilmu
yang
balik mata (ilmu sulap).
termasuk dalam kategori ilmu
yang
jenis pertama adalah ilmu- ilmu
dibolehkan, diantara ilmu yang
yang terkait dengan keyakinan
dibolehkan adalah ilmu tentang
dan ibadah, seperti bagaimana
pantun-pantun yang tak cabul,
tata cara shalat, puasa, zakat,
berita-berita
dan
dan juga bagaimana menentukan
1995:
tentang mana yang benar dan
termasuk
salah, mana yang baik dan buruk,
kategori
dan lain-lain. Sedangkan ilmu
Ketiga,
sejarah
sebagainya
62).Ilmu
ilmu
(Al-Ghazali,
mubah
pengetahuan
dalam
netral, tidak dilarang (mubah).
jenis
Ilmu
spiritual, berbeda dengan jenis
menggubah
syair-syair,
kedua,
yaitu
ilmu-ilmu
tidak
ilmu yang pertama. Ilmu jenis
menggunakan kata-kata vulgar
kedua ini adalah ‘ilm al-khafi wal-
atau
bathin (ilmu rahasia dan ada di
misalnya,
sepanjang
tidak
senonoh,
192
p-ISSN: 1693-508X
e-ISSN: 2502-7263
Yuri Indri Yani, Hakmi Wahyudi, Mhd.Rafi’I Ma’arif Tarigan: Pembagian Ilmu
Menurut al-Ghazali (Tela’ah Buku Ihya’ Ulum ad-Din).
DOI:10.24014/af.v19.i2.11338.
dalam) yang menjadi tujuan akhir
serta mengolah bahan koleksi
dari segala macam ilmu yang
perpustakaan
lain. Ilmu yang kedua hanya bisa
memerlukan
dicapai oleh orang yang jiwanya
(Mestika, 2004:3). Analisis data
siap menerima, dan Tuhanpun
dalam penelitian ini menjadi hal
berkenan memberikannya.
yang
saja
tanpa
riset
sangat
lapangan
penting,
karena
Oleh karena itu, ilmu jenis
dengan analisis inilah, data yang
ini tidak bisa diperoleh lewat rasio
ada akan tampak manfaatnya
dan panca indra, akan tetapi
dalam
lewat penyucian jiwa. Namun al-
mencapai tujuan akhir penelitian
Ghazali
(Arikunto, 1991:3). Oleh sebab itu
ilmu
menempatkan
tersebut
sesuatu
tidak
yang
kedua
sebagai
berlawanan
memecahkannya
analisis
data
yang
dan
peneliti
lakukan adalah berupa analisa
melainkan
sesuatu
yang
konsep-konsep pembagian ilmu
berhubungan
erat.
yang
yang digambarkan oleh Imam
pertama adalah sangat penting
Ghazali dalam kitab “Ihya ulum
untuk mencapai ilmu yang kedua.
ad-Din”.
Metode Penelitian
Pembahasan
Ilmu
Jenis penelitian ini adalah
Berdasarkan
Library Research yang berarti
al-Ghazali,
riset
kesimpulan
kepustakaan
atau
pandangan
dapat
bahwa
diambil
ada
dua
kepustakaan murni. Penelitian ini
sistem di mana ilmu itu dapat
akan
konsep
diperoleh, yaitu usaha nyata dan
pembagian ilmu dalam kitab Ihya’
inspirasi Tuhan; usaha akal dan
‘Ulum ad-Din karya al-Ghazali
badan di satu sisi dan Nur Ilahi di
tentang
pembagian
ilmu.
sisi yang lain. Dua pendekatan ini
Penelitian
pustaka
riset
sejalan dengan dua macam ilmu
serangkaian
di atas, dan di sinilah mystik al-
pustaka
menggali
adalah
atau
kegiatan yang berkenaan dengan
Ghazali
metode
pendidikan lebih kuat dari pada
pengumpulan
data
pustaka, membaca dan mencatat
193
masuk
kemampuan
dalam
akal
ranah
manusia.
p-ISSN: 1693-508X
e-ISSN: 2502-7263
Al-Fikra: Jurnal Ilmiah Keislaman, Vol.19,No.2, Juli – Desember,2020 (180 – 198)
DOI:1024014/af.v19.i2.11338.
Namun ini tidak berarti al-Ghazali
qur’an, al-sunna, al-ijma’, dan
menolak peran akal di dalamnya,
atsar sahabat, (2) cabang (furu’),
ia
menempatkannya
yang terdiri dari ilmu fiqih dan
pada posisi kedua setelah “nur”
ilmu tentang hal-ikhwal hati; (3)
Tuhan.
pengantar
hanyalah
Dengan
meskipun
kata
al-Ghazali
lain,
menolak
(muqaddimat),
ilmu bahasa dan tata bahasa;
keilmuan yang berbasis logika
dan
spekulatif
dan
(mutammimat),
keilmuan
yang
lebih
memilih
menggunakan
yaitu
(4)
dan
ilmu-ilmu
pelengkap
yang mencakup
yang
berhubungan
pendekatan wahyu dan mystik,
dengan al-qur’an dan al-hadits
tapi ia masih memberikan ruang
(Al-Ghazali, 1995:63).
yaitu lewat
Sedangkan ilmu-ilmu yang
deduksi dan pengamatan empiris.
termasuk dalam kategori kedua,
Sikap al-Ghazali terhadap
yaitu ilmu-ilmu non-agama, al-
beragam ilmu pengatahuan yang
Ghazali membaginya ke dalam
berkembang pada saat itu dapat
tiga kelompok.
bagi
peran
akal,
Yaitu; pertama, ilmu-ilmu
dilihat juga dari klasifikasi ilmu
yang
dalam kitab Ihya’ ‘ulum al-Din,
mahmudah)
di
mana
hukum
secara
mempelajarinya
adalah
fardhu
tegas
membedakan
al-Ghazali
antara
ilmu-ilmu
terpuji
(al-’ulum
al-
pengetahuan yang ia susun. Di
kifayah seperti kedokteran, dan
agama (al- ‘ulum al-shar’iya) dan
ilmu
ilmu-ilmu non agama (al- ‘ulum
bermanfaat
ghair
Ilmu-ilmu
tubuh
agama adalah ilmu-ilmu yang
hisab
mulia dan hukumnya wajib ‘ain
muamalah manusia seperti dalam
bagi
untuk
hal pembagian warisan.Kedua,
Al-Ghazali
ilmu-ilmu yang diperbolehkan (al-
membagi ilmu-ilmu agama ini
‘ulum al-mubahah) seperti syair
dalam empat macam, yaitu: (1)
dan sejarah, dan Ketiga, ilmu-
pokok (ushul), yang terdiri dari al-
ilmu yang tercela (al-‘ulum al-
al-shar’iya).
setiap
mempelajarinya.
Muslim
hisab.
Kedokteran
bagi
manusia,
keselamatan
sedang
menunjang
ilmu
kehidupan
194
p-ISSN: 1693-508X
e-ISSN: 2502-7263
Yuri Indri Yani, Hakmi Wahyudi, Mhd.Rafi’I Ma’arif Tarigan: Pembagian Ilmu
Menurut al-Ghazali (Tela’ah Buku Ihya’ Ulum ad-Din).
DOI:10.24014/af.v19.i2.11338.
madhmumah),
yang
tidak
yaitu
ada
ilmu-ilmu
manfaatnya,
mampu untuk mempelajarinya.
Karena
jika
tidak
maka
seperti ilmu sihir, ilmu nujum, dan
berdosalah
ilmu
Al-Ghazali
penduduk negeri tersebut apabila
melarang mempelajari ilmu-ilmu
tidak melakasanakannya. Namun
tersebut
jika telah ada salah satu di antara
ramalan.
karena
menimbulkan
dapat
kesusahan
bagi
mereka
ia
dan
yang
seluruh
mempelajarinya
pemiliknya atau bagi orang lain.
maka gururlah kewajiban bagi
Termasuk
yang lain dan terselamatkanlah
dalam kategori
alGhazali
juga
mempelajari
ini,
melarang
yang
Contoh dari kasus di atas
arah
adalah: “disuatu negeri tidak ada
kekufuran, seperti mempelajari
seorang pun yang mempunyai
bagian-bagian rumit dari suatu
atau
nhilmu
memahami
kedokteran baik karena alasan
bagian-bagiannya yang jelas atau
tidak ada yang mampu atau pun
mempelajari
rahasia
ada yang mampu namun tidak
ilahiyyat, seperti metafisika yang
mempelajari ilmu tersebut. Dalam
menjadi bagian dari ilmu filsafat
kasus ini, ilmu kedokteran yang
(Al-Ghazali, 1995:36).
merupakan fardhu kifayah tadi
membawa
ilmu-ilmu
negeri itu dari dosa tadi.
manusia
sebelum
ke
tentang
Berkaitan
menguasai
ilmu
ilmu
bisa berubah hukumnya menjadi
yang yang menjadi fardhu kifayah
fardhu’ain bagi seluruh penduduk
apabila dalam suatu negeri tidak
di daerah tersebut terutama bagi
ada orang yang mempelajari ilmu
orang
tersebut,
mental atau pun materi untuk
maka
dengan
pun
berdosalah
yang
mampu
seluruh penduduk negeri itu jika
mempelajarinya.
tidak segera mengutus orang
demikian
untuk mempelajari ilmu tersebut.
maka berdosalah seluruh negeri
Dan ilmu yang fadhu kifayah ini
tersebut
bisa berubah hukumnya menjadi
menjerumuskan diri mereka ke
fardlu’ain
dalam kebinasaan.
195
bagi
orang
yang
Jika
secara
tidak
hal
dilaksanakan
karena
telah
p-ISSN: 1693-508X
e-ISSN: 2502-7263
Al-Fikra: Jurnal Ilmiah Keislaman, Vol.19,No.2, Juli – Desember,2020 (180 – 198)
DOI:1024014/af.v19.i2.11338.
seperti
Konsep-konsep al-Ghazali
pemerintahan,
di atas dalam kadar tertentu
apabila tidak ada penduduk atau
berpengaruh terhadap konsep-
masyarakat dalam pemerintahan
konsep
Al-Zarnuji.
yang mempelajari ilmu tersebut,
sufistik
terlihat
maka pemerintah wajib untuk
pemikiran-pemikiran
mengarahkan serta membiayai
Namun
masyarakatnya
Ghazali,
Kasus
dalam
lainnya
suatu
yang
dikira
Nuansa
jelas
berbeda
pada
al-Zarnuji.
dengan
al-Zarnuji
altidak
mampu dan bisa mempelajari
menempatkan sufisme sebagai
ilmu
ilmu
tersebut.
maka
yang
terselamatkanlah negeri itu dari
bahkan
dosa dan kebinasaan.
Sufisme
Dilihat dari klasifikasi ilmu
paling
tidak
ke
tinggi
memasukkan
dalam
keilmuannya.
dan
Ia
klasifikasi
menempatkan
di atas, terlihat bahwa al-Ghazali
fiqh, satu cabang ilmu yang dinilai
secara
oleh
tegas
membedakan
al-Ghazali
sebagai
ilmu
antara ilmu-ilmu agama dengan
sekunder, justru sebagai ilmu
ilmu-ilmu
non-agama.
Namun
yang
demikian,
al-Ghazali
tidak
menempatkan
kedua
keilmuan
paling
berkaitan
utama
dengan
karena
kehidupan
keagamaan orang Islam setiap
tersebut pada posisi “konflik” atau
harinya. Oleh karena
bertentangan, tapi lebih pada
Zarnuji dalam karyanya ta’lim al-
posisi “independen” satu dengan
muta’allim sering membicarakan
lainnya. Hal ini terlihat pada
ilmu bersama-sama dengan fiqh.
keputusan-keputusan
tentang
“hukum”
masing-masing
Al-Zarnuji
al-Ghazali
mempelajari
cabang
ilmu
ilmu
memandang
sebagai
mencapai
itu, al-
sarana
derajat
yang
untuk
tinggi
pengetahuan dalam klasifikasinya
dihadapan Tuhan. Terkait dengan
di
masalah
atas,
di
mana
ia
sangat
ini,
mempertimbangkan
aspek
menggunakan
kemanfaatan
dalam
seperti
mempelajarinya.
yang
al-Zarnuji
istilah
taqwa,
nampak
dalam
kutipan berikut: “belajar ilmu itu
196
p-ISSN: 1693-508X
e-ISSN: 2502-7263
Yuri Indri Yani, Hakmi Wahyudi, Mhd.Rafi’I Ma’arif Tarigan: Pembagian Ilmu
Menurut al-Ghazali (Tela’ah Buku Ihya’ Ulum ad-Din).
DOI:10.24014/af.v19.i2.11338.
adalah mulia sebab ia dapat
tetapi juga pendekatan intelektual
menghantarkan
ke
atau rasio. Dengan kata lain,
yang
aktifitas belajar tidak menjadikan
menjadikannya menerima pahala
manusia menerima begitu saja
Tuhan dan kebahagiaan yang
ajaran-ajaran agama (taqlid), tapi
abadi”
1984:40).
juga memerlukan pertimbangan
Hanya dengan ilmu seseorang
akal atau rasio. Sebagaimana
dapat
tampak dalam kutipan berikut:
derajat
manusia
taqwa
(Al-Zarnuji,
menjalankan
setiap
kewajiban agama di satu sisi, dan
“…dan
di sisi lainnya dapat menghindari
murid) beriman kepada Allah atas
setiap
dasar
larangan-larangan
yang
hendaknya
akal.
(seorang
Sebab
imannya
ditetapkan oleh agama. Dua hal
seorang
ini, yaitu menjalankan perintah
benar menurut pandangan kita,
agama
akan dinilai sebagai dosa selama
dan
menjauhi
muqallid,
meskipun
laranganlarangannya, adalah dua
tidak
faktor
akal”(Al-Zarnuji, 1984:40).
penting
dalam
konsep
taqwa. Dan untuk dapat sampai
dipertimbangkan
melalui
Dari sini tampak bahwa
ke derajat taqwa ini, seseorang
pengembangan
memerlukan ilmu pengetahuan
kesadaran intelektualitas, dalam
yang
pandangan
al-Zarnuji,
ajaran-
sangat
penting
sinilah
mendekatkan diri kepada Tuhan.
untuk
dapat
memfasilitasinya
melaksanakan
ajaran
agama.
kemudian
Di
bisa
dipahami
Di
sini
intelektual
nampak
dan
adalah
untuk
bahwa
ada
mengapa al-Zarnuji menjadikan
kesamaan pendekatan keilmuan
fiqh dalam posisi tinggi dan mulia.
antara al-Ghazali dan al-Zarnuji,
namun
al-Zarnuji
dapat menghantarkan manusia ke
seorang
ulama
derajat taqwa, menurut al-Zarnuji
memberikan ruang yang lebih
yang bermazhab hanafiyah, tidak
luas bagi peran akal di dalamnya
hanya
dibandingkan dengan al-Ghazali
Aktifitas
pendekatan
197
belajar,
agar
mengedepankan
spirtitual
belaka,
sebagai
Hanafiyah
yang bermazhab Shafi’iyah.
p-ISSN: 1693-508X
e-ISSN: 2502-7263
Al-Fikra: Jurnal Ilmiah Keislaman, Vol.19,No.2, Juli – Desember,2020 (180 – 198)
DOI:1024014/af.v19.i2.11338.
Secara
singkat
dari
pembagian ilmu di atas dapat
dikatakan
bahwa
konsep
keilmuan al-Zarnuji terpengaruh
kuat oleh perkembangan ilmu
pengetahuan pada masanya yang
didominasi oleh ilmu-ilmu agama
yang sudah “menyatu” dengan
tasawuf. Namun sebagai ulama
Hanafiyah,
al-Zarnuji
memberikan
porsi
yang
terlihat
lebih
besar pada peran akal dalam
pengembangan
ilmu
pengetahuan.
DAFTAR PUSTAKA
Al-Ghazali,
I.
2015.
Ihya’
’Ulumiddin.
Terjemahan
oleh Zuhri Mohammad.
Semarang: CV. Asy Syifa’.
Al-Ghazali, A. H. M. 1995. Ihya’
Ulum al-Din, juz I. Beirut:
Badawi Thaba’ah.
Al-Zarnuji. 1984. Ta’lim alMuta’allim thariq al-ta’allum.
Beirut: Daar Ibn Kathir.
Arikunto, S. 1991. Prosedur
Penelitian. Jakarta: Rineka
Cipta.
Baharuddin. U, Minarti. S.
2011.Dikotomi Pendidikan
Islam,
Historisitas
dan
Implikasi pada Masyarakat
Islam. Bandung: Remaja
Rosdakarya.
Bakar, O. 1992. Hierarki Ilmu:
Membangun Rangka-Pikir
Islamisasi Ilmu. Terjemahan
Oleh
Purwanto.
1997.
Bandung: Mizan.
Bakar. O. 1997. Tauhid dan
Sains, terj. Yuliani Lipoto,
Bandung : Mizan.
Daud, M. A. 2015.Pendidikan
Agama Islam. Jakarta: Raja
Grafindo Parsada.
Hamdi, A. Z.2001. Epistemologi
dalam Konstruksi Filsafat AlGhazali. Jurnal Al-Tahrir.
Ismail, Y. 1979. Terjemah Ihya’
’ulumuddin
(Jilid
1).
Semarang: CV. Fauzan.
Mestika,
Z.
2004.
Metode
Penelitian
Kepustakaan.
Jakarta:
Yayasan
Bogor
Indonesia.
Soleh, A. K. 2014. Filsafat Islam
dari
Klasik
hingga
Kontemporer. Jogjakrta: ArRuzz Media.
Zed. M 2004. Metode Penelitian
Kepustakaan.
Jakarta:
Yayasan Bogor Indonesia.
198
p-ISSN: 1693-508X
e-ISSN: 2502-7263