AKTUALISASI PEMIKIRAN PENDIDIKAN AL-GHAZALI
Oleh:
Nur Kholik
KATA PENGANTAR
Bismillahirrahmanirrahim. Alhamdulillahirabbil’alamin.
Segala puji bagi Allah subhanahu wata’ala atas segala rahmat dan hidayah-Nya kepada
kita semua. Semoga kita semua senantiasa berada di shirath al-mustaqim, jalan yang diridhaiNya, amin. Selanjutnya, shalawat beserta salam semoga selalu tercurahkan kepada Rasulullah
shallallahu ‘alaihi wasallam, suritauladan umat manusia yang menjanjikan syafa’t bagi umatnya
yang taat. Semoga kita semua termasuk ke dalam barisan umat yang mendaatkan syafa’at kelak
di hari kiamat, amin.
Makalah yang hendak membahas pemikiran pendidikan al-Ghazali serta aktualisasinya di
kehidupan modern ini mungkin tidak akan terealisasikan tanpa ada dorongan dari Bapak H.
Maragustam Siregar, selaku dosen pengampu mata kuliah Filsafat Pendidikan yang memberikan
amanah kepada saya untuk menyusun makalah mengenai tema tersebut. Semoga perhatian dan
bimbingan beliau dapat saya serap dengan baik dan menjadi ilmu yang bermanfaat. Amin.
Selanjutnya, saya berterimakasih kepada semua teman-teman saya di kelas yang selalu
menjadi sahabat, baik dalam ranah akademik maupun dalam ranah praktis. Dukungan dan
motivasi mereka sangat membantu saya dalam berproses selama perkuliahan. Semoga mereka
selalu dipanjangkan umurnya dan dimudahkan dalam menimba ilmu bersama-sama, amin.
Terakhir, semoga makalah ini mampu memperkaya khazanah keilmuan bagi saya pribadi
dan bagi semua pihak seluas-luasnya dan dapat menjadi rujukan yang dapat dipertimbangkan
bagi makalah dan penelitian-penelitian terkait kedepannya, amin.
2
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah
Islam adalah rumah dengan banyak ruang yang memiliki dimensi dan dinamikanya
masing-masing. Islam tidak hanya sekedar institusi keagamaan yang mengurus peribadatan
manusia sebagai umat dengan Allah Swt. sebagai Tuhan. Melainkan lebih dari itu, Islam
meliputi segala aspek kehidupan manusia, baik dalam perihal duniawi maupun ukhrawi,
kaitannya dengan hubungan vertikal maupun terkait hubungan horizontal. Dapat dikatakan
bahwa Islam merupakan titik kulminasi holistik dari semua peradaban manusia, yang dilantarkan
pada kehadiran Muhammad saw. Sebagai figur sentral dan motornya.
Di satu sisi, Islam lahir atas kehendak Allah dalam proses skenario kehidupan manusia
untuk menyempurnakan agama serta tatanan moral yang didistribusikan oleh nabi dan rasul-Nya
terdahulu. Namun, di sisi lain Islam lahir sebagai kontemplasi dari peradaban manusia yang
memiliki dialektika dengan ruang dan waktu yang dinamis. Ketika menempatkan Islam sebagai
ajaran agung, maka sudah menjadi sunnatullah jika Islam harus membuktikan dirinya sebagai
tatanan, pedoman dan tuntunan yang harus diikuti. Oleh karena itu, nilai-nilai dan norma yang
ditetapkannya pun harus dapat mengakomodir kebutuhan umatnya dalam semua sektor
kehidupan termasuk pendidikan.
Pendidikan dalam Islam menempati posisi strategis dengan porsi yang signifikan. Dengan
al-Qur’an dan hadis sebagai referensi utama, pengembangan pendidikan Islam senantiasa
berjalan secara dinamis. Karakteristik pendidikan pada masa Rasulullah, sahabat, tabi’in, tokoh
klasik sampai modern tentu berbeda. Masing-masing memiliki metode dan style yang
disesuaikan dengan kebutuhan dan keadaan pada masanya. Tidak hanya itu, berbagai aspek yang
berhubungan dengan ilmu pendidikan seperti filsafat pendidikan, teknologi, kurikulum dan
lingkungan pendidikannya pun sudah barang tentu memiliki perbedaan satu sama lain.
Di balik aplikasi pendidikan tersebut, pemikiran filosofis yang melandasi itu semua tentu
menjadi sangat penting sebagai dasar pemikiran dan pengetahuan yang hendak dipahami dan
diterapkan. Hal ini dikarenakan pengetahuan tersebut mempunyai andil yang cukup besar bagi
yang bersangkutan dalam mengambil standing point dalam menentukan kebijakan,
mempersiapkan materi pembelajaran, mengelola sumber daya, dan menanamkan ghirah al-ta’lim
wa al-ta’allum kepada peserta didik yang tidak lain adalah generasi masa depan Islam.
Peradaban dan pemikiran pendidikan Islam memiliki aspek normatif dan historis yang
bersinergi dalam membangun konsep pendidikan Islam yang utuh dan komprehensif. Jika secara
normatif Islam ditampilkan melalui khazanah keilmuan yang dirujukkan dan disarikan dari teksteks keagamaan, maka secara historis dapat dipahami melalui tokoh-tokoh Islam yang memiliki
kontribusi aktif dalam pertumbuhan dan pembaharuan pendidikan Islam. Pada umumnya,
klasifikasi periodik terhadap para tokoh ini dibagi ke dalam dua tempat besar yakni periode
klasik dan modern. Dalam periode klasik dikenal beberapa figur pokok yang berperan dalam
3
membangun fondasi pendidikan Islam dengan pemikiran-pemikirannya seperti Ibn Maskawih,
al-Mawardi, al-Farabi, Ibn Sina, al-Ghazali, dan lain-lain. 1
Nama al-Ghazali menjadi salah satu tokoh yang memiliki kontribusi yang signifikan
dalam pendidikan Islam. Produk-produk intelektualnya mampmenjadi formula dan konsep bagi
pemikir sezamannya serta pemikir-pemikir sesudahnya serta menampilkan wajah baru peradaban
pendidikan yang sebelumnya didominasi oleh pemikir-pemikir Yunani. Maka dari itu, sosok alGhazali seolah tidak pernah habis menjadi topik pembahasan, baik di dunia Islam sendiri
maupun oleh masyarakat dunia. Banyak analisis yang lahir karena terinspirasi dan termotivasi
sepak terjang al-Ghazali yang fenomenal. Hal ini pula yang menjadi latar belakang dalam
penyusunan makalah sederhana ini.
B. Rumusan Masalah
Rumusan masalah dalam makalah ini adalah sebagai berikut:
1. Apa saja konsep pemikiran al-Ghazali dalam pendidikan Islam?
2. Apa saja kontribusi dan signifikansi pemikiran al-Ghazali dalam pendidikan Islam?
3. Bagaimana aktualisasi pemikiran pendidikan al-Ghazali dalam dunia pendidikan
modern?
C. Tujuan dan Kegunaan Penulisan
Penulisan makalah ini bertujuan untuk mengetahui konsep pemikiran al-Ghazali dalam
pendidikan Islam,kontribusi dan signifikansi pemikiran al-Ghazali dalam pendidikan Islam, dan
aktualisasi pemikira pendidikan al-Ghazali dalam dunia pendidikan modern. Adapun kegunaan
penulisan makalah ini secara teoritis adalah mampu memberikan kontribusi pemikiran dan
memperkaya khazanah keilmuan Islam terutama di bidang pemikiran Islam, pemikiran
pendidikan Islam, filsafat pendidikan Islam, studi tokoh, dan lain-lain. Sementara itu, secara
praktis makalah ini diharapkan mampu menjadi rujukan dan menjadi pijakan lahirnya
pembahasan dan penelitian lain yang berkaitan dengan topik ini, memperkaya wawasan penulis,
pelaku pendidikan, dan masyarakat luas terhadap pemikiran al-Ghazali dalam pendidikan Islam.
M. Wafiq Amali, “Pendidikan Islam dalam Pemikiran Klasik” dalam www.wafiq-amali.blogspot.com.,
diposting pada Rabu, 12 Oktober 2011, diakses pada Kamis, 19 Maret 2015, Pukul 21.30 WIB.
1
4
BAB II
PEMBAHASAN
A. Profil dan Produk Intelektual al-Ghazali
Sejarah merupakan bagian penting dari perjalanan sebuah umat, bangsa, negara, maupun
individu. Melalui sejarah, manusia dapat mengambil banyak pelajaran dari proses kehidupan
suatu umat, bangsa atau individu.2Sebelum menelusuri lebih jauh tentang gagasan dan pemikiran
al-Ghazali dalam dunia pendidikan, pembahasan mengenai profil dan produk-produk
intelektualnya menjadi penting sebagai acuan dan benang merah terhadap pemikiran
pendidikannya.
1. Biografi
Nama lengkap al-Ghazali adalah Abu Hamid Muhammad bin Muhammad al-Ghazali alThusi al-Naysaburi. Ia lahir dikota Thus, yang merupakan kota kedua setelah Naysabur yang
terletak di wilayah Khurasan, Persia pada tahun 450 H. atau 1058 M.3Ayahnya adalah seorang
sufi yang sangat wara’ yang hanya makan dari usaha tangannya sendiri. Pekerjaannya adalah
memintal wol dan menjualnya di pasar. Ia meninggal sewaktu al-Ghazali masih kecil dan
sebelum meninggal ia menitipkannya pada seorang sufi lain untuk mendapat bimbingan dan
pendidikan. 4
Sejak kecil al-Ghazali dikenal sebagai anak yang senang menuntut ilmu pengetahuan dan
penggandrung mencari kebenaran, maka tidaklah mengherankan jika sejak masa kanak-kanak ia
telah belajar dengan sejumlah guru di kota kelahirannya. Masa kecilnya dimulai dengan
belajar Fiqhpada ulama terkenal yang bernama Ahmad ibn Muhammad al-Razakani di Thus
kemudian belajar kepada Abu Nashr al-Isma’ili di Jurjan dan akhirnya ia kembali ke Thus
lagi.Sebagai gambaran kecintaannya akan ilmu pengetahuan, dikisahkan pada suatu hari dalam
perjalanan pulangnya ke Thus, beliau dan teman-temannya dihadang oleh sekawanan pembegal
yang kemudian merampas harta dan kebutuhan yang mereka bawa. Para pembegal merebut tas
al-Ghazali yang berisi buku-buku yang ia senangi, kemudian ia meminta dengan penuh iba pada
kawanan pembegal itu agar sudi mengembalikan tasnya. Kawanan itupun merasa iba dan kasihan
padanya sehingga mengembalikan tas itu. Setelah peristiwa itu, ia menjadi semakin rajin
mempelajari dan memahami kandungan kitab-kitabnya dan berusaha mengamalkannya. Bahkan
ia selalu menyimpan kitab-kitab itu disuatu tempat khusus yang aman. 5
Setelah belajar di Thus, ia melanjutkan belajar di Naysabur, tempat dimana ia menjadi
murid al-Juwaini. 6 Darinya ia belajar ilmu kalam, ushul fiqh, dan ilmu pengetahuan agama
lainnya.Gurunya mempercayakan kedudukannya padanya untuk menjadi badal dalam
2
Fatah Syukur NC., Sejarah Peradaban Islam (Semarang: PT. Pustaka Rizki Putra, 2010), hlm. 3
Abudin Nata, Pemikiran Para Tokoh Pendidikan Islam..., hlm. 81.
4
Ahmad Daudy, Kuliah Filsafat Islam (Jakarta: PT. Bulan Bintang, 1989), 97.
5
Abudin Nata, Pemikiran Para Tokoh Pendidikan Islam..., hlm. 81.
6
M. Amin Abdullah, Antara Al-Ghazali dan Kant: Filsafat Etika Islam (Bandung: Mizan, 2002), hlm. 28.
3
5
membimbing murid-murid sambil menulis buku. 7 Dengan kecerdasan dan kemauan belajarnya
yang luar biasa serta kemampuannya dalam mendebat segala sesuatu yang tidak sesuai dengan
penalaran yang jernih, al-Juwaini kemudian memberikan predikat bahrun mughriq (laut yang
dalam nan menenggelamkan).8
Selanjutnya, al-Ghazali kemudian menujuMu’askaruntuk bertemu dengan Nidzam alMulk, yang merupakan perdanamenteri Sultan Bani Saljuk.Dengan semakin mencuatnya nama
al-Ghazali, Nidzam al-Mulk kemudian memerintahkannya pergi ke Baghdad untuk mengajar di
al-Madrasah al-Nidzamiyyah, dimana semua orang mengagumi pandangan-pandangannya yang
pada akhirnya ia menjadi imam bagi penduduk Irak setelah sebelumnya menjadi Imam di
Khurasan. Namun, ditengah ketenarannya sebagai seorang ulama, disisi lain pada saat ini ia
mengalami fase skeptisisme yang membuat keadaannya terbalik. Ia kemudian meninggalkan
Baghdad dengan segala kedudukan dan fasilitas kemewahan yang diberikan padanya untuk
menyibukkan dirinya dengan ketakwaan. 9
Perjalanannya kemudian berlanjut ke Damaskus dimana ia menghabiskan waktunya
untuk ber-khalwah, beribadah dan beri’tikaf. Dari sini ia kemudian menuju Baitul Maqdis untuk
menunaikan ibadah haji. Setelah itu, ia kemudian kembali ke Naysabur atas desakan Fakhr alMulk, putera Nidzam al-Mulk untuk kembali mengajar. 10 Hanya saja, ia menjadi guru besar
dalam bidang studi lain, tidak seperti dahulu lagi. Selama periode mengajarnya yang kedua ini, ia
juga menjadi imam ahli agama dan tasawuf serta penasehat spesialis dalam bidang
agama. 11 Setelah mengajar diberbagai tempat di atas, pada tahun 500 H. Atau 1107 M., alGhazali kemudian kembali kekampung halamannya untuk pendekatan diri kepada Tuhannya
sambil mengisi waktunya dengan mengajar pada madrasah yang ia dirikan disebelah rumahnya
untuk para penuntut ilmu dan tempat khalwat bagi para sufi. Sampai pada hari Senin, 14 Jumadil
Akhirah 505 H. atau 18 Desember 1111 M., al-Ghazali wafat di usia kurang lebih 55 tahun. 12
2. Produk Intelektual
al-Ghazali termasuk salah seorang ulama dan pemikir besar yang sangat produktif dalam
menulis. Jumlah kitab dan risalah-risalah yang ditulisnya sampai kini belum disepakati secara
definitif oleh para penulis sejarahnya. Meskipun demikian, diperkirakan al-Ghazali memiliki 99
buah tulisan. Muhammad bin al-Hasan bin ‘Abdullah al-Husaini al-Wasithi dalam al-Thabaqat
al-‘Aliyah fiManaqib al-Syafi’iyah menyebutkan bahwa karya al-Ghazali berjumlah 98
karangan. al-Subki dalam Thabaqat al-Syafi’iyyahmenyebutkan sebanyak 58 karangan. Thasy
Kubra Zadeh dalam Miftah al-Sa’adah wa Mishbah al-Siyadah menyebutkan bahwa karyanya
mencapai 80 buah.13
Al-Ghazali, Mutiara Ihya’ ‘Ulumuddin: Ringkasan yang Ditulis Sendiri oleh Sang Hujjatul Islam (Bandung:
Mizan, 2003), hlm. 9.
8
Samsul Nizar, Filsafat Pendidikan Islam: Pendekatan Historis, Teoritis dan Praktis(Jakarta: Ciputat Pers,
2002), hlm. 87.
9
Al-Ghazali, Mutiara Ihya’ ‘Ulumuddin..., hlm. 10.
10
Ahmad Daudy, Kuliah Filsafat Islam..., hlm. 98.
11
Abudin Nata, Pemikiran Para Tokoh Pendidikan Islam..., hlm. 84.
12
Ahmad Daudy, Kuliah Filsafat Islam..., hlm. 99.
13
Al-Ghazali, Mutiara Ihya’ ‘Ulumuddin..., hlm. 11.
7
6
Tema atau topik yang ditulis oleh al-Ghazali meliputi berbagai macam bidang keilmuan
seperti al-Qur’an, akidah, ilmu kalam, ushul fiqh, fiqh, tasawuf, mantiq, falsafah, kebatinan dan
sebagainya. Abdurrahman Badawi dalam bukunya, Mu’alafat al-Ghazali membagi kitab yang
berkaitan dengan al-Ghazali kedalam tiga kelompok. Pertama, kelompok kitab yang dapat
dipastikan merupakan karangan al-Ghazali sendiri sebanyak 72 kitab. Kedua, kelompok kitab
yang diragukan sebagai karyanya sebanyak 22 kitab dan ketiga, kelompok kitab yang dipastikan
bukan karyanya terdiri atas 31 kitab. 14
Di antara banyak karangan al-Ghazali, berikut adalah karya-karya yang paling populer
dalam beberapa dsiplin keilmuan dan dijadikan rujukan para pemikir semasa maupun setelahnya:
a. Di bidang teologi: 1) al-Munqidh min al-Dhalal 2) al-Iqtishad fi al-I`tiqad 3) alRisalah al-Qudsiyyah 4) Kitab al-Arba'in fi Ushul al-Din 5) Mizan al-‘Amal 6) alDurrah al-Fakhirah fi Kasyf ‘Ulum al-Akhirah.
b. Di bidang tasawuf: 1) Ihya’‘Ulum al-Din2) Misykah al-Anwar3) Kimiya al-Sa'adah4)
Bidayah al-Hdayah.
c. Di bidang filsafat: 1) Maqasid al-Falasifah 2) Tahafut al-Falasifah.
d. Di bidang Fiqih: 1) al-Mushtasfa min `Ilm al-Ushul2) al-Wajiz.
e. Bidang logika: 1) Mi`yar al-‘Ilm 2) al-Qistas al-Mustaqim 3) Mihak al-Nazar fi alManthiq.
Dari kesekian karya al-Ghazali terdapat beberapa masterpiece atau magnum opus yang
sampai sekarang sangat lekat dengan al-Ghazali. Pertama, Ihya’‘Ulum al-Din yang menjadi
rujukan kajian tasawuf paling komprehensif dan aplkatif dan kedua, Tahafut al-Falasifah yang
menjadi refleksi al-Ghazali dalam mengkritik para filosof tradisional pada masa itu. Karya ini
disintesis oleh Ibn Rusyd dengan judul kitabnya, Tahafut al-Tahafut yang tidak sependapat
dengan pemikiran al-Ghazali. Di samping itu tentu masih banyak karya al-Ghazali yang
memegang peran besar dalam pengembangan keilmuan Islam d beberapa disiplin ilmu.
Dilihat dari cuplikan karya-karya di atas tentu dapat dipahami keluasan wawasan dan
profesionalitas al-Ghazali di berbagai bidang keilmuan seperti filsafat, ilmu hikmah, pendidikan,
akhlak, dan lain-lain.Ide, gagasan dan pengalaman al-Ghazali mampu menjadi oase di tengah
sahara pada masa Bani ‘Abbasiyah yang lekat dengan kemunduran intelektualitas para tokoh
pemikir Islam. Al-Ghazali mampu membangkitkan kembali geliat pemikiran Islam. Oleh karena
itu juga, al-Ghazali mendapatkan banyak gelar keilmuan seperti hujjah al-Islam, zain al-din,
bahrun mughriq, dan banyak lagi sebagai bukti jam terbang dan kapasitas keilmuannya di
kalangan umat Islam.
B. Kontribusi Pemikiran Pendidikan al-Ghazali
Salah satu konsentrasi pemikiran al-Ghazali adalah di bidang pendidikan.Untuk
mengetahui pemikiran al-Ghazali dalam bidang pendidikan, lebih dahulu kita harus mengetahui
dan memahami pandangan al-Ghazali yang berkenaan ilmu pengetahuan dengan berbagai
14
Ahmad Daudy, Kuliah Filsafat Islam..., hlm. 99.
7
aspeknya, antara lain tujuan pendidikan, kurikulum, metode, pendidik dan murid. Hal ini
merupakan access point ke dalam konsep pemikiran al-Ghazali dalam pendidikan Islam.
Pendidikan adalah suatu proses dimana suatu bangsa mempersiapkan generasi mudanya
untuk menjalankan kehidupan dan untuk memenuhi tujuan hidup secara efektif dan
efisien. 15 Selain mewariskan nilai-nilai budaya dari generasi ke generasi untuk memelihara
identitas masyarakat, pendidikan juga bertugas mengembangkan potensi manusia untuk dirinya
sendiri dan masyarakatnya. 16Dalam kitab Ihya’ ‘Ulum al-Din, al-Ghazali memulai pandangannya
dengan nada provokatif tentang keutamaan bagi mereka yang memiliki ilmu pengetahuan dengan
mengutip al-Qur’an surat al-Mujadilah ayat 11, yang artinya:
.
“Hai orang-orang beriman apabila dikatakan kepadamu: "Berlapang-lapanglah
dalam majlis", Maka lapangkanlah niscaya Allah akan memberi kelapangan untukmu.
dan apabila dikatakan: "Berdirilah kamu", Maka berdirilah, niscaya Allah akan
meninggikan orang-orang yang beriman di antaramu dan orang-orang yang diberi ilmu
pengetahuan beberapa derajat. dan Allah Maha mengetahui apa yang kamu
kerjakan.”(QS. al-Mujadilah:11). 17
Selanjutnya, al-Ghazali melampirkan sebuah hadis nabi yang bernada majaz metaforik
yang diriwayatkan oleh ibnu Abbas tentang keutamaan ilmuwan atas orang awam, pernyataan
tersebut adalah:
“Para orang-orang yang berilmu memiliki derajat diatas orang-orang mukmin
sebanyak tujuh ratus derajat, jarak di antara dua derajat tersebut adalah perjalanan lima
ratus tahun”.
Konsep pemikiran al-Ghazali tentang pendidikan lebih cenderung bersifat empirisme, hal
ini dikarenakan ia sangat menekankan pada pengaruh pendidikan terhadap anak didik.
Menurutnya, pendidikan seorang anak sangat tergantung kepada orangtua yang mendidiknya.
Lebih lanjut, dapat dikatakan bahwa dalam peranannya, pendidikan sangat menentukan
kehidupan suatu bangsa.
15
Azyumardi Azra, Esei-esei Intelektual Muslim dan Pendidikan Islam (Jakarta: Logos Wacana Ilmu, 1998),
hlm. 3.
Umar Shihab, Kontekstualitas Al-Qur’an: Kajian Tematik Atas Ayat-ayat Hukum Dalam AlQur’an (Jakarta: Penamadani, 2008), hlm. 152.
17
Departemen Agama RI, Al-Qur’an dan Terjemahnya (Jakarta: CV. Naladana, 2004), hlm. 793.: Lihat juga
software al-Qur’an Digital, versi 2.1 (2004).
16
8
Melihat dan memahami beberapa karyanya yang berkaitan dengan pendidikan, al-Ghazali
adalah penganut asas kesetaraan dalam dunia pendidikan.Ia tidak membedakan kelamin penuntut
ilmu, juga tidak pula dari golongan mana ia berada. Selama dia muslim maka hukumnya wajib,
tidak terkecuali bagi siapapun. Al-Ghazali juga merupakan penganut konsep pendidikan tabula
rasa(kertas putih), dimana pendidikanlah yang dapat mewarnai seorang anak yang bagai kertas
putih tersebut dengan hal-hal yang benar. Hal tersebut tercermin dalam salah satu kitabnya, Ihya’
’Ulum al-Din yang mengatakan bahwa seorang anak ketika lahir masih dalam
keadaan fitrah (suci).
Secara garis besar, pembagian pemikiran pendidikan al-Ghazali adalah sebagai berikut:
1. Tujuan Pendidikan
Al-Ghazali menjadikan trans-internalisasi ilmu dan proses pendidikan merupakan sarana
utama untuk menyiarkan ajaran Islam, memelihara jiwa, dan taqarrub kepada Allah. Pendidikan
yang baik merupakan jalan untuk mendekatkan diri kepada Allah dan mendapatkan kebahagiaan
dunia akhirat.Intinya, pendidikan menurut al-Ghazali bertujuan untuk mendekatkan diri kepada
Allah Swt., sebagaimana tujuan penciptaan manusia yang termaktub dalam QS. al-Dzariyat:
5618yang berbunyi:
.
“Dan aku tidak menciptakan jin dan manusia melainkan supaya mereka mengabdi
kepada-Ku.”
Tujuan pendidikan ini dapat diklasifikasikan dalam 3 kategori: Pertama, tujuan
mempelajari ilmu pengetahuan semata-mata untuk ilmu pengetahuan itu sendiri sebagai wujud
ibadah kepada Allah Swt. Kedua, tujuan utama pendidikan Islam adalah pembentukan akhlaq alkarimahdan ketiga, tujuan pendidikan Islam adalah mengantarkan peserta didik mencapai
kebahagiaan dunia dan akhirat.19Perumusan ketiga tujuan pendidikan tersebut dapat menjadikan
program pendidikan yang dijalankan bersinergi dengan tujuan penciptaan manusia dimuka bumi
ini, yaitu untuk beribadah pada Allah sehingga pada gilirannya mampu mengantarkan peserta
didik pada kedekatan diri dengan Allah Swt.
Menurut Nata, 20 pendidikan Islam itu secara umum mempunyai corak spesifik yaitu
adanya cap agama dan etika yang terlihat nyata pada sasaran-sasaran dan sarananya, tetapi tanpa
mengabaikan masalah keduniawian. al-Ghazali pada prinsipnya sejalan dengan trend-trend
keagamaan semacam ini, namun, disatu sisi ia tetap memberikan ruang yang cukup dalam sistem
pendidikan bagi perkembangan duniawi, dengan catatan bahwa masalah-masalah dunia hanya
dimaksudkan sebagai jalan untuk menuju kebahagiaan hidup di alam akhirat yang lebih utama
dan kekal.Dengan demikian, dapat disimpulkan bahwa tujuan pendidikan dalam pandangan alGhazali adalah memanfaatkan pengetahuan yang ditujukan untuk mendapatkan kemanfaatan dari
pengetahuan itu sendiri yang dengannya dapat menjaga keseimbangan alam semesta dengan
18
Suwito, Sejarah Sosial Pendidikan Islam (Jakarta: Prenada Media Kencana, 2005), hlm. 83.
Samsul Nizar, Filsafat Pendidikan Islam..., hlm. 87.
20
Abudin Nata, Pemikiran Para Tokoh Pendidikan Islam..., hlm. 86.
19
9
melestarikan kehidupan manusia dan alam sekitarnya, sekaligus sebagai sebuah aplikasi dari
tugas penciptaan manusia di muka bumi.
2. Kurikulum
Pandangan al-Ghazali tentang kurikulum dapat diketahui berdasarkan pandangannya
dalam membagi ilmu pengetahuan menjadi tiga kategori besar, yaitu: pertama, ilmu yang tercela
yang tidak pantas dipelajari (al-madhmum), seperti sihir, nujum, ramalan, dan sebagainya.
Kedua, ilmu yang terpuji yang pantas untuk dipelajari (al-mahmud) yang meliputi ilmu
yang fardlu ‘ain untuk dipelajari dan ilmu yang hanya fardlu kifayah untuk dipelajari dan ketiga,
ilmu terpuji dalam kadar tertentu atau sedikit, dan tercela jika mempelajarinya secara mendalam,
seperti ilmu logika, filsafat, ketuhanan, dan lain-lain. Menurut Nata, 21 yang dimaksud dari
kategorisasi ketiga ilmu tersebut adalah sebagai berikut:
Pertama, ilmu-ilmu tercela. Yang termasuk ilmu ini dalam pandangan al-Ghazali ialah
ilmu yang tidak ada manfaatnya, baik dunia maupun akhirat dan terkadang hanya membawa
mudharat bagi orang yang memilikinya maupun bagi orang lain. Ilmu sihir misalnya dapat
memisahkan persahabatan antar sesama manusia, menimbulkan dendam, permusuhan dan
kejahatan. Sementara ilmu nujum menurut al-Ghazali dapat dibagi menjadi dua, yaitu ilmu
nujum berdasarkan perhitungan (hisab), dan ilmu meramal nasib dengan petunjuk bintang
(istidlaly). Tapi al-Ghazali masih memberi toleransi dengan mengatakan seperlunya saja demi
kebaikan, seperti ilmu nujum untuk mengetahui letak kiblat.
Kedua, ilmu-ilmu terpuji. al-Ghazali menjelaskan bahwa ilmu ini ialah ilmu-ilmu yang
erat kaitannya dengan peribadatan dan macam-macamnya. Ia membagi jenis ilmu ini menjadi
dua bagian, yaitu: yang fardlu ‘ain, yaitu ilmu agama dengan segala jenisnya, mulai dari kitab
Allah, ibadat pokok, hingga ilmu syari’at yang dengannya ia akan paham apa yang harus
ditinggalkan dan apa yang harus dilakukan. Sedangkan yang fardlu kifayah adalah semua ilmu
yang tidak mungkin diabaikan untuk kelancaran semua urusan, seperti ilmu kedokteran, ilmu
hitung dan lain-lain. Menurutnya, jika tidak ada yang mempelajari ilmu itu maka berdosalah
seluruhnya, tetapi jika telah ada seseorang yang menguasainya dan dapat mempraktekkannya
maka tuntutan wajibnyapun telah lepas dari yang lain.
Ketiga, ilmu-ilmu yang terpuji dalam kadar tertentu atau sedikit, dan tercela jika
mempelajarinya secara mendalam, karena dengan mempelajarinya dapat menyebabkan
terjadinya kesemrawutan dan kekacauan antara keyakinan dan keraguan yang dapat membawa
pada kekafiran, seperti ilmu filsafat. Ilmu ini tidaklah wajib bagi setiap orang, karena menurut
tabiatnya tidak semua orang dapat mempelajari ilmu itu dengan baik. Ia berpendapat bahwa
orang yang mempelajari ilmu tersebut bagai anak kecil yang masih menyusu, dan akan sakit
apabila diberikan makanan yang bermacam-macam yang belum dapat dicerna oleh perutnya.
Sampai di sini dapat dipahami bahwa pada prinsipnya, al-Ghazali lebih menekankan pada
muatan ilmu-ilmu keagamaan dengan segala cabangnya dan juga ilmu-ilmu yang erat kaitannya
dengan kemaslahatan manusia pada umumnya. Sehingga menurut al-Ghazali, selayaknya
seorang pelajar pemula mempelajari ilmu agama asasi terlebih dahulu sebelum mempelajari
ilmu furu’. Ilmu kedokteran, matematika dan ilmu terapan lain harus mengalah pada ilmu agama
21
Abudin Nata, Pemikiran Para Tokoh Pendidikan Islam..., hlm. 89-92.
10
dalam pandangannya, karena ilmu agama meliputi keselamatan di akhirat, sedangkan yang
terapan hanya untuk keselamatan di dunia. Ia juga lebih menekankan pada segi pemanfaatan
ilmu pengetahuan dengan berdasarkan pada tujuan iman dan taqarrub pada Allah Swt. Hal ini
menjadi wajar dengan melihat latar belakang kehidupan beliau sebagai seorang sufi.
3. Metode
Menurut al-Ghazali, metode perolehan ilmu dapat dibagi berdasarkan jenis ilmu itu
sendiri, yaitu ilmu kasbi dan ilmu ladunni. Ilmu kasbi dapat diperoleh melalui metode atau cara
berpikir sistematik dan metodik yang dilakukan secara konsisten dan bertahap melalui proses
pengamatan, penelitian, percobaan dan penemuan, yang memperolehnya dapat menggunakan
pendekatan ta’lim insani. Dalam hal ini, Fazlur Rahman berpendapat bahwa ‘ilm dalam al-Quran
ialah pengetahuan yang diperoleh melalui belajar, berfikir, dan pengalaman. 22 Adapun ilmu
ladunni dapat diperoleh orang-orang tertentu dengan tidak melalui proses perolehan ilmu pada
umumnya tetapi melalui proses pencerahan oleh hadirnya cahaya ilahi dalam kalbu, yang mana
memperolehnya adalah menggunakan pendekatan ta’lim rabbani.
Selain itu, al-Ghazali juga memakai pendekatan behavioristik dalam pendidikan yang
dijalankan. Hal ini terlihat dari pernyataannya, jika seorang murid berprestasi hendaklah seorang
guru mengapresiasi murid tersebut, dan jika melanggar hendaklah diperingatkan, bentuk
apresiasi gaya al-Ghazali tentu berbeda dengan pendekatan behavioristik dalam Eropa modern
yang memberikan reward dan punishment-nya dalam bentuk kebendaan dan simbol-simbol
materi. al-Ghazali menggunakan tsawab (pahala) dan uqubah (dosa) sebagai reward and
punishment-nya. Disamping itu, ia juga mengelaborasi dengan pendekatan humanistik yang
mengatakan bahwa para pendidik harus memandang anak didik sebagai manusia
secara holistik dan menghargai mereka sebagai manusia. Bahasa al-Ghazali tentang hal ini
adalah bagaimana seorang guru harus bersikap lemah lembut dan penuh kasih sayang pada murid
selayaknya mereka adalah anak kandung sendiri. 23 Dengan ungkapan seperti ini tentu ia
menginginkan sebuah pemanusiaan anak didik oleh guru. Lebih lanjut dapat dikatakan bahwa
pendidikan adalah sebagai kerja yang memerlukan hubungan yang erat antara dua pribadi, yaitu
guru dan murid. Dengan demikian, faktor keteladanan merupakan metode pengajaran yang
utama dan sangat penting dalam pandangannya. 24
Menurut al-Ghazali, pendidikan tidak semata-mata sebagai suatu proses yang dengannya
guru menanamkan pengetahuan (knowledge) yang diserap oleh siswa. Lebih dari itu, ia adalah
interaksi yang saling mempengaruhi dan menguntungkan antara guru dan murid dalam tataran
sama, yang pertama mendapatkan jasa karena memberikan pendidikan dan yang terakhir dapat
mengolah dirinya dengan tambahan pengetahuan yang didapatkannya (values).
4. Pendidik
Dalam pandangan al-Ghazali, pendidik merupakan orang yang berusaha membimbing,
meningkatkan, menyempurnakan dan mensucikan hati sehingga menjadi dekat dengan Tuhan. Ia
22
Fazlurr Rahman, Membuka Pintu Ijtihad (Bandung: Pustaka Setia, 1984), hlm. 198-201.
Al-Ghazali, Mutiara Ihya’ ‘Ulumuddin..., hlm. 35.
24
Abudin Nata, Pemikiran Para Tokoh Pendidikan Islam..., hlm. 95.
23
11
juga memberikan perhatian yang sangat besar pada tugas dan kedudukan seorang pendidik. Hal
ini tercermin dalam tulisannya:
“Sebaik-baik ihwal adalah ilmu pengetahuan. Hal itulah yang dianggap
keagungan dalam kerajaan langit. Tidak selayaknya ia menjadi seperti jarum yang
memberi pakaian kepada orang lain sementara dirinya telanjang, atau seperti sumbu
lampu yang menerangi yang lain sementara dirinya terbakar. Maka, barang siapa yang
memikul beban pengajaran, maka sesungguhnya ia telah memikul perkara yang besar,
sehingga haruslah ia menjaga etika dan tugasnya.” 25
Dengan demikian, pendidik yang dapat diserahi tugas mengajar adalah seorang pendidik
yang selain memiliki kompetensi dalam bidang yang diajarkan yang tercermin dalam
kesempurnaan akalnya, juga haruslah yang berakhlak baik dan memiliki fisik yang kuat.
Disamping syarat-syarat umum ini, ia juga memberikan kriteria-kriteria khusus, antara lain
memperlakukan murid dengan penuh kasih sayang, tidak meminta upah, demi mendekatkan diri
pada Allah Swt., memperingati murid dari akhlak tercela dengan cara-cara yang simpatik, halus
tanpa cacian, makian dan kekerasan, tidak mengekspose kesalahan murid didepan umum,
menjadi teladan bagi muridnya dengan menghargai ilmu-ilmu dan keahlian lain yang bukan
keahlian dan spesialisasinya, menghargai perbedaan potensi yang dimiliki oleh muridnya dan
memperlakukannya sesuai dengan tingkat perbedaan yang dimilikinya itu, memahami perbedaan
bakat, tabiat dan kejiwaan murid sesuai dengan perbedaan usianya, dan berpegang teguh pada
prinsip yang diucapkannya dan berupaya merealisasikannya.26
5. Peserta Didik
Kaitannya dengan peserta didik, al-Ghazali menjelaskan bahwa mereka adalah makhluk
yang telah dibekali dengan potensi atau fitrah untuk beriman kepada Allah Swt. Fitrah itu
sengaja disiapkan oleh Allah Swt. sesuai dengan kejadian manusia yang tabiat dasarnya adalah
cenderung kepada agama tauhid (Islam). 27 Untuk itu, seorang pendidik betugas mengarahkan
fitrah tersebut agar dapat tumbuh dan berkembang sesuai dengan tujuan penciptaannya sebagai
manusia. Menurut al-Ghazali, murid memiliki etika dan tugas yang sangat banyak, yaitu:
pertama, mendahulukan kesucian jiwa daripada kejelekan akhlak. Kedua, mengurangi hubungan
keluarga dan menjauhi kampung halamannya sehingga hatinya hanya terikat pada ilmu. Ketiga,
tidak bersikap sombong terhadap ilmu dan menjauhi tindakan tidak terpuji kepada guru.
Keempat, mencurahkan perhatian terhadap ilmu yang terpenting, yaitu ilmu akhirat, dan terakhir,
tujuan murid ialah untuk mnghiasi batinnya dengan sesuatu yang akan mengantarkannya kepada
Allah Swt.28
6. Komprehensivitas Pendidikan
Al-Ghazali lahir sebagai peletak dasar perkawinan multiaspek disiplin ilmu, seperti
kalam, tasawuf, falsafah, dan fiqih.Kehidupannya penuh dinamika yang mencolok dan dihiasi
dengan krisis intelektual dan spiritual di masa Dinasti Abbasiyah.Akan tetapi dalam perjalanan
itu, al-Ghazali menggoreskan jejak langkah pengajaran sufistik yang menekankan aspek akhlak
Al-Ghazali, Mutiara Ihya’ ‘Ulumuddin..., hlm. 35.
Abudin Nata, Pemikiran Para Tokoh Pendidikan Islam..., hlm. 96-99.
27
Samsul Nizar, Filsafat Pendidikan Islam..., hlm. 89.
28
Al-Ghazali, Mutiara Ihya’ ‘Ulumuddin..., hlm. 32-35.
25
26
12
karimah sebagai mindset. Bila kini ahli pendidikan menyebutnya sebagai kurikulum berbasis
komptensi, al-Ghazali jauh sebelumnya telah meletakkan dasar pondasi yang kuat bahwa
perpaduan yang komprehensif dari kekuatan intelektual, emosional, dan spritual, yang berpadu
pada tasawuf, falsafah dan fiqih, merupakan suatu keniscayaan bagi pelaku dan peserta didik saat
ini. 29
C. Aktualisasi Pemikiran Pendidikan al-Ghazali di Dunia Pendidkan Modern
Dari pemaparan di atas, pemikiran al-Ghazali dalam pendidikan dapat di-highlight dalam
beberapa poin penting, yakni bahwa pendidikan yang ideal adalah yang bersifat empirik dan
tujuan utama dari pendidikan Islam, sebagaimana dikutip oleh Athiyah al-Abrasyi30adalah upaya
untuk taqarrub kepada Allah Swt. Pendidikan yang bersifat empirik dirujukkan pada
ketauladanan pendidik pada peserta didiknya. Sebab jika tujuan pendidikan diarahkan selain
untuk mendekatkan diri pada Allah akan menyebabkan kesesatan dan kemudaratan. Kaitannya
dengan hal ini, pendapat al-Ghazali tentang empirisme itu diikuti oleh M. Arifin yang
menyatakan bahwa paham ini menekankan pengaruh pendidikan terhadap anak
didik.Menurutnya seorang anak tergantung kepada orangtua dan pendidikannya. Hati seorang
anak itu bersih, murni, sederhana,dan suci. Jika anak menerima ajaran yang baik dan kebiasan
hidup yang baik, maka anak itu menjadi baik. Sebaliknya jika anak itu dibiasakan melakukan
perbuatan buruk dan dibiasakan kepada hal-hal yang jahat, maka anak itu akan berakhlak jelek. 31
Adapun pendapat al-Ghazali tentang tujuan pendidikan, menurut Asma Hasan Fahmi,
tujuan akhir dari dari pendidikan Islam yaitu terwujudnya insan kamil (manusia paripurna).
Menurutnya, tujuan akhir pendidikan Islam dapat di-breakdown menjadi tujuan keagamaan,
tujuan pengembangan akal dan akhlak, tujuan pengajaran kebudayaan, dan tujuan pembicaraan
kepribadian yang kesemuanya berjalan secara sinergis menuju tujuan akhir dimaksud dan
akhirnya dipakai untuk menghambakan diri kepada Allah Swt.32Hal senada dikemukakan oleh
Umar Muhammadal-Syaibani, bahwa filsafat pendidikan harus memiliki pemikiran yang jelas
dan menyeluruh tentang wujud dan aspek-aspek ketuhanan, kemanusiaan, kealaman, serta
mengedepankan nilai-nilai kemanusiaan (kebaikan, keindahan, dan kebenaran).33
Di samping itu, al-Ghazali mengedepankan egalitarian dalam pendidikan, selama
seseorang adalah muslim, maka ia pun wajib mendapatkan dan menuntut ilmu. Sebagai seorang
sufi, filsafat pendidikan yang dipakai al-Ghazali berbeda dengan para sufi tradisional. Al-Ghazali
tidak membedakan antara ilmu dengan ma’rifah. Memang ia pernah menyebutkan bahwa secara
etimologi, ada perbedaan di antara keduanya, dan ia tidak keberatan atas terma ma’rifah untuk
29
Samsul Nizar, Filsafat Pendidikan Islam..., hlm. 89.
Muhammad Athiyyah al-Abrasyi, Prinsip-prinsip Dasar Pendidikan Islam, terj. Abdullah Zaki al-Kaaf
(Bandung: Pustaka Setia, 2003), hlm. 13.
31
M. Arifin, Filsafat Pendidikan Islam(Jakarta: Bumi Aksara, 1991), hlm. 87.
32
Arif Saifuddin dkk., “Filsafat Pendidikan Islam: Hakikat, Tujuan, dan Fungsi Pendidikan Islam” dalam
www.slideshare.net., diposting pada 18 Desember 2013, diakses pada Kamis, 19 Maret 2015, Pukul 22.00 WIB.
33
Abdul Munir Mulkhan, “Pemikiran Pendidikan Islam” dalam www.slideshare.net., diposting pada 21
Januari 2014., diakes pada Kamis, 19 Maret 2015., Pukul 21.45 WIB. Lihat juga dalam Abdul Munir Mulkhan,
Paradigma Intelektual Muslim (Sipres, 1993).
30
13
konsep (tasawuf) dan ‘ilm untuk aksyen (tasqiq). Akan tetapi, dalam berbagai kitabnya, ia sering
memakai dua terma itu sebagai arti yang sama. 34
Secara packaging, pemikiran pendidikan al-Ghazali dapat diidentifikasi ke dalam
kelompok yang menyeimbangkan antara teks dan konteks sehingga terjadi sebuah harmoni di
antaranya serta tetap terbuka dan tidak pobhia terhadap produk pemikiran Barat, selagi masih
dapat diterapkan dan tidak mengganggu prinsip dasarnya. Pendapat ini oleh Abdul Munir
Mulkhan dibahasakan sebagai pemajuan pendidikan Islam. Menurutnya hal itu dapat dicapai
dengan memadukan doktrin dan pemikiran rasional dan spritual guna memecahkan persoalan
kongkrit. Adapun bahan yang dapat dipakai untuk membangun teori (ilmu) pendidikan ialah
filsafat yang memanfaatkan pengalaman intelektual bangsa-bangsa di dunia.35
Pendidikan yang hanya terbatas pada belantara kulit-kulit teori hanya akan melahirkan
pendidikan yang bersifat dogmatisd dan tidak kreatif. Sebaliknya pendidikan yang berwawasan
nilai, secara metodologis tidak hanya merupakan transformasi dan proses intruksional melainkan
sampai pada proses internalisasi dan trans-internalisasi nilai. Pendidikan berwawasan nilai akan
meletakan kebenaran ilmiah adalah pada kebenaran yang bersifat hipotetik-verifikatif yang selalu
mendorong para ilmuwan untuk meneruskan kebenaran yang telah diajukan oleh para ilmuwan
lain.Sedangkan kaitannya dengan nilai ilahiyah dalam pendidikan yang berwawasan nilai tidak
berhenti sampai pada apa yang di sebutkan di atas, namun sampai pada tataran haqiqah dan ma
'rifah dan nilai seperti itulah yang ingin dicapai dalam pendidikan Islam. Semua itu akan tercapai
dengan pendidikan Islam yang menanamkan kemuliaan dan perasaan terhonnat ke dalam jiwa
manusia, bahkan kesungguhan untuk mencapainya. 36 Sementara itu, dengan terealisasikannya
atau termanifestasikan nilai penghambaan seseorang dalam kehidupannya, maka ia akan menjadi
individu yang baik dan ber-akhlakul karimah.
Berlandaskan atas pemahaman tersebut, pemikiran pendidikan al-Ghazali tidak dapat
lepas dari fungsi agama Islam sebagai directive system dan defensive system dalam kehidupan
yang juga sebagai supreme morality yang memberikan landasan dan kekuatan etik spiritual
masyarakat, ketika mereka berdialektika dalam proses perubahan. Maka pendidikan agama
memegang peranan yang amat penting dan strategis dalam rangka mengaktualisasikan ajaranajaran, nilai-nilai luhur dan mensosialisasikan serta mentransformasikan nilai-nilai itu dalam
dunia pendidikan, yang selanjutnya akan dimanifestasikan oleh peserta didik pada konteks
dialektika kehidupan, untuk membentuk insan kamil.
Al-Ghazali menerangkan bahwa tujuan manusia sebagai individu adalah mencapai
kebahagiaan dan kebahagiaan yang paling utama harus diketemukan di kehidupan yang akan
datang. Sarana utama kepada tujuan itu ada dua macam, yakni amal baik lahiriah berupa
ketaatan kepada aturan-aturan tingkah laku yang diwahyukan dalam kitab suci dan
upaya bathiniyah untuk mencapai keutamaan jiwa. Amal baik lahiriyah bermanfaat karena
ketaatan di samping dibalas langsung untuk kebaikan itu sendiri, juga mendukung akan
perolehan keutamaan, namun kondisi batin lebih penting dalam pandangan Tuhan daripada amal
34
Saeful Anwar, Filsafat Ilmu al-Ghazali: Dimensi Ontologi dan Aksiologi (Bandung: Pustaka Setia, 2007),
hlm. 94.
Abdul Munir Mulkhan, “Pemikiran Pendidikan Islam”...: Lihat juga dalam Abdul Munir Mulkhan, Nalar
Spiritual Pendidikan Islam (Jakarta: Tiara Wacana, 2003).
36
Hanun Asrohah, Sejarah Pendidikan Islam (Jakarta: Logos, 1999), hlm.189.
35
14
baik lahiriyah dan lebih mendatangkan pahala keutamaan. Di samping itu berpendapat bahwa
kejahatan dan kebaikan hanya dapat diketahui melalui wahyu. Dalam masalah keutamaan, alGhazali menyamakan dengan ketaatan kepada Tuhan, dan karenanya pengkajian tentang
keutamaan Islam secara mendasar merupakan deskripsi tentang cara yang tepat untuk
melaksanakan perintah-perintah Tuhan. al-Ghazali selanjutnya membagi perintah-perintah ini
kepada dua bagian, yaitu yang berkaitan dengan Tuhan (hablun min Allah)dan hubungan
manusia kepada sesamanya (hablun min al-nas). Adapun titik kulminasi dari keutamaan dan
kebahagian tertinggi adalah melihat Tuhan atau berdekatan dengan-Nya. Interprestasi ini hanya
dapat dilakukan oleh orang-orang yang benar-benar terpelajar (ulama) bukan ahli hukum, teolog
maupun filosof, melainkan hanya ahli tasawuf (mistik).
Al-Ghazali membahas keutamaan ini dalam Ihya’‘Ulum al-Dindan kitab al-Arba' in fi
Ushul al-Din yang merupakan sebuah penyingkapan dari Ihya’‘Ulum al-Din. 37 Sedangkan
pembahasan al-Ghazali tentang akhlak dapat dilihat dalam kedua kitabnya, Ihya’‘Ulum alDin dan Mizan al-‘Amal.Ide-ide fundamental ini memiliki peranan penting dalam konstruksi
akhlak tasawuf al-Ghazali yang semata-mata bergantung pada rahmat Tuhan. Dari filsafat
pemikiran itu dapat dimengerti kenapa al-Ghazali bersikap demikian, memang ini merupakan
hasil dari tahun-tahun terakhir kehidupannya, ketika ia menjalani kehidupan mistiknya, perhatian
utamanya selama periode ini adalah kesejahteraan manusia di akhirat dan itulah yang mendasari
teori akhlaknya murni bercorak religius dan mistik.
Al-Ghazali menilai pendidikan saat itu kosong dan terlepas dari nilai-nilai al-akhlaq alkarimah, suri tauladan dari guru. Hal ini berdampak pada murid-muiridnya dalam mencapai
tujuan pendidikan, hingga dapat dikatakan pendidikan telah gagal dalam membentuk peserta
didik yang memiliki akhlak, moral, dan budi pekerti yang baik.38al-Ghazali berpendapat bahwa
kecerdasan yang tidak didasari dengan moral yang baik hanya akan mengarahkannya pada
kesesatan dan kemudharatan.
Jika berbicara pengetahuan secara teori, al-Ghazali merupakan ilmuan muslim pertama
yang mengkonsep ilmu secara sistematis menjadi dua, yaitu ilmu fardhu ‘ain dan ilmu fardhu
kifayah. Konsep ini ditulis dan dijelaskan panjang lebar dalam salah satu magnum opus-nya,
Ihya’ Ulum al-Din. Yang menarik, kitab ini ditulis pada saat umat Islam sedang menghadapi
perang salib. Hebatnya, kitab itu mampu menyadarkan dan menghidupkan tradisi keilmuan umat
Islam pada masa itu.
Poin penting yang menjadi kritikan al-Ghazali adalah pengajaran ilmu-ilmu agama yang
materialistik dan mudahnya konsep-konsep asing masuk dalam pemikiran umat Islam.Imam alGhazali berjasa dalam mengajari umat bagaimana membaca pemikiran asing dengan konsep
Islam. Bentuk kritis al-Ghazali terhadap pemikiran-pemikiran paripetik filsafat Yunani dapat
dlihat di dalam kitabnya, Tahafut al-Falasifah terutama tentang konsep Tuhan, kejadian alam,
dan konsep manusia. Dalam hal ini, al-Ghazali membersihkan konsep-konsep yang Aristotelian,
untuk dikembalikan kepada konsepsi Islam.
37
Amin Abdullah,Antara Ghazali dan Kant (Bandung: Mizan, 2002), hlm. 145.
Hanun Asrohah, Sejarah Pendidikan Islam...:Lihat juga Azyumardi Azra, Paradigma Baru Pendidikan
Nasional: Rekonstruksi dan Demokratisasi (Jakarta: Kompas, 2002), hlm. 178.
38
15
Selanjutnya, proyek al-Ghazali yang terkait dengan pendidikan, baik secara metodik
maupun didaktik tertuang dalam beberapa karyanya seperti al-Munkidh min al-Dhalal, Bidayah
al-Hidayah, dan lain-lain. Materi-materi yang terdapat dalam kitab-kitab hikmahnya ini adalah
kampanye dalam rangka mencangankan sistem pendidikan Islam yang berkarakter. al-Ghazali
menilai bahwa sistem pendidikan yang berkembang pada masa itu masih menyimpang jika
ditinjau dari segi tujuan dan targetnya. Pendidikan saat itu lebih memproduksi tukang daripada
ilmuwan, memproduksi ulama’ dunia daripada ulama’ akhirat. Hal yang demikianlah yang
menurut al-Ghazali menjadi titik lemah umat Islam pada saat itu, baik dari segi keilmuan,politik,
dan peradaban.
Oleh karena itu, al-Ghazali mencanangkan usulan pembaharuan di berbagai sektor yang
seperti telah dipaparkan sebelumnya, mulai dari konsep dasar manusia dan akhlak sebagai
pondasi dari formulasi pendidikan Islam yang holistik, koheren dan komprehensif. Sebut saja
ketika membahas soal konsep keilmuan fardlu ‘ain dan fardlu kifayah. Dinamisasi kedua konsep
ini sangat signifikan menunjang pembaharuan pendidikan yang lebih beradab. Dalam perspektif
al-Ghazali, pengajaran yang baik itu bukan bersifat juz’i (parsial) tapi kulli (komprehensif).
Dalam artian, kurikulum yang membentuk kerangka utuh yang menggabungkan seluruh ilmu
agama seperti tauhid, tasawuf, dan fikih serta menggabungkan antara ilmu agama dengan
keterampilan duniawi.
Konsep kurikulum al-Ghazali lantas diperjelas oleh Naquib al-Attas dalam
bukunya,Risalah untuk Kaum Muslimin. 39 Menurut al-Attas, kekacauan ilmu terjadi ketika
seorang pelajar mendapat pengajaran yang tidak tepat mengenai konsep fardhu ‘ain dan fardhu
kifayah. Kesalahan itu terletak pada strategi pembelajaran. Yakni cara mengajarkan ilmu fardhu
kifayah yang melepaskan secara total dengan konsepsi ilmu fardhu ‘ain. Apalagi pengajarpengajar ilmu fardhu ‘ain meng-kelirukan. Dalam penjelasan al-Attas, kegoncangan adab terjadi
ketika terjadi ketimpangan praktik konsep fardhu ‘ain dan fardhu kifayah, yakni mendahulukan
ilmu fardhu kifayah sebelum melandasinya dengan ilmu fardhu ‘ain.
Pemahaman ini dapat dikontekstualisasikan dengan pendidikan modern sebagai desain
kurikum pendidikan Islam yang berasaskan dinamisasi konsep fardhu ‘ain dan fardhu kifayah.
Dalam pengajaran, pendidikan berkarakter lebih tepat dipraktikkan dengan konsepsi ilmu fardhu
‘ain dan fardhu kifayah. Sebab, jika ilmu fardhu kifayah berelemen dasar fardhu ‘ain, maka
dalam pengajaran ilmu-ilmu yang disebut fardhu kifayah tidak melepaskan dari dimensi
ketuhanan. Itu berarti, karakter keilmuannya berdasarkan iman. 40 Hal yang terpenting dalam
konsep pendidikan al-Ghazali adalah penanaman nilai-nilai religius dalam proses pengajaran,
sehingga akan terbentuk kepribadian siswa yang matang dan tangguh untuk mengembangkan
ilmu pengetahuan. Al-Ghazali tidak menganjurkan untuk tabu mempelajari ilmu umum, alGhazali menganjurkan untuk mencari ilmu tersebut dengan pondasi ilmu agama. Dengan
demikian, mutu dari keilmuan yang dimiliki siswa dapat bermanfaat untuk kemajuan dunia Islam
secara utuh dan menyeluruh.
39
Selengkapnya lihat M. Naquib al-Attas, Risalah untuk Kaum Muslimin (Kuala Lumpur: International
Institute of Islamic Thought and Civilization (ISTAC), 2001).
40
Kholil Hasib, “Mendesain Kurikulum Pendidikan dengan Konsep al-Ghazali” dalam
www.hidayatullah.com., diposting pada Senin, 30 April 2012, diakses pada Kamis, 19 Maret 2015, Pukul 22.00 WIB.
16
Semangat dan kecerdasan al-Ghazali dalam memetakan permasalahan pendidikan pada
saat itu dikaji dengan sangat detail, mulai dari segi ontologis, epitemologis sampai dengan ranah
aksiologis. Selain itu, aspek yang dijangkau oleh al-Ghazali dalam merumuskan formula dan
konsep pendidikan Islam juga sangat luas. Jika membicarakan arah pendidikan Islam, al-Ghazali
menawarkan rute pendidikan yang komprehensif dan terbuka untuk mencapai satu tujuan
kulminatif yakni keridhaan Allah Swt. Paradigma al-Ghazali ini mampu menginspirasi ilmuwan
dan tokoh-tokoh lain terutama yang mengaitkan diri di bidang pengembangan pendidikan Islam
dari masa ke masa.
Khazanah di Indonesia secara umum, corak pendidikan al-Ghazali memiliki dua aspek
penting yaitu terletak pada pengajaran moral religius dengan tanpa mengabaikan kepentingan
dunia. Seperti yang bisa di perhatikan saat ini di lembaga- lembaga penyelenggara pendidikan
kita, pengajaran moral religius dan mental dilaksanakan hanya beberapa jam pelajaran selama
masa belajar aktif. Seperti ilmu- ilmu umum lainnya, ilmu yang sifatnya mengajarkan tentang
moral religius perlu juga diberikan ruang dan waktu yang memadai untuk menghasilkan output
yang maksimal. Dengan demikian akan terbentuk kepribadian dan kematangan kepada siswa
setelah selesai masa studinya. Proses pemikiran al-Ghazali, dimulai dari cara pengenalan sistem
pendidikan yang dilaksanakan pada zamannya, jika diteliti secara baik tidak menutup
kemungkinan bahwa pemikirannya menjadi bagian terpenting dalam melengkapi aturan dan
etika pendidikan kita.
17
BAB III
KESIMPULAN
Dari pembahasan di atas dapat disimpulkan beberapa poin sebagai berikut:
Konsep pemikiran al-Ghazali tentang pendidikan lebih cenderung bersifat empirisme, hal
ini dikarenakan ia sangat menekankan pada pengaruh pendidikan terhadap anak didik.
Menurutnya, pendidikan seorang anak sangat tergantung kepada orangtua yang mendidiknya.
Lebih lanjut, dapat dikatakan bahwa dalam peranannya, pendidikan sangat menentukan
kehidupan suatu bangsa.
al-Ghazali adalah penganut asas kesetaraan dalam dunia pendidikan.Ia tidak
membedakan kelamin penuntut ilmu, juga tidak pula dari golongan mana ia berada. Selama dia
muslim maka hukumnya wajib, tidak terkecuali bagi siapapun. Al-Ghazali juga merupakan
penganut konsep pendidikan tabula rasa(kertas putih), dimana pendidikanlah yang dapat
mewarnai seorang anak yang bagai kertas putih tersebut dengan hal-hal yang benar. Hal tersebut
tercermin dalam salah satu kitabnya, Ihya’ ’Ulum al-Din yang mengatakan bahwa seorang anak
ketika lahir masih dalam keadaan fitrah (suci).
Secara garis besar, pembagian pemikiran pendidikan al-Ghazali adalah tentang hakikat
ilmu dan amal, tujuan pendidikan, metode pengajaran, kurikulum atau materi pengajaran,
pendidik, peserta didik dan komprehensivitas pendidikan.
Pendidikan bertujuan untuk mendekatkan diri kepada Allah Swt., pembentukan akhlaq
al-karimah dan mengantarkan peserta didik mencapai kebahagiaan dunia dan akhirat.
Kurikulum al-Ghazali lebih menekankan pada muatan ilmu-ilmu keagamaan dengan
segala cabangnya dan juga ilmu-ilmu yang erat kaitannya dengan kemaslahatan manusia pada
umumnya. Sehingga menurut al-Ghazali, selayaknya seorang pelajar pemula mempelajari ilmu
agama asasi terlebih dahulu sebelum mempelajari ilmu furu’. Ilmu kedokteran, matematika dan
ilmu terapan lain harus mengalah pada ilmu agama dalam pandangannya.
Menurut al-Ghazali, metode perolehan ilmu dapat dibagi berdasarkan jenis ilmu itu
sendiri, yaitu ilmu kasbi dan ilmu ladunni. Ilmu kasbi dapat diperoleh melalui metode atau cara
18
berpikir sistematik dan metodik yang dilakukan secara konsisten dan bertahap melalui proses
pengamatan, penelitian, percobaan dan penemuan, yang memperolehnya dapat menggunakan
pendekatan ta’lim insani.
Menurut al-Ghazali, pendidikan tidak semata-mata sebagai suatu proses yang dengannya
guru menanamkan pengetahuan (knowledge) yang diserap oleh siswa. Lebih dari itu, ia adalah
interaksi yang saling mempengaruhi dan menguntungkan antara guru dan murid dalam tataran
sama, yang pertama mendapatkan jasa karena memberikan pendidikan dan yang terakhir dapat
mengolah dirinya dengan tambahan pengetahuan yang didapatkannya (values).
Dalam pandangan al-Ghazali, pendidik merupakan orang yang berusaha membimbing,
meningkatkan, menyempurnakan dan mensucikan hati sehingga menjadi dekat dengan Tuhan. Ia
juga memberikan perhatian yang sangat besar pada tugas dan kedudukan seorang pendidik.
Pendidik yang dapat diserahi tugas mengajar adalah seorang pendidik yang selain
memiliki kompetensi dalam bidang yang diajarkan yang tercermin dalam kesempurnaan akalnya,
juga haruslah yang berakhlak baik dan memiliki fisik yang kuat.
Kaitannya dengan peserta didik, al-Ghazali menjelaskan bahwa murid memiliki etika dan
tugas yang sangat banyak, yaitu: pertama, mendahulukan kesucian jiwa daripada kejelekan
akhlak. Kedua, mengurangi hubungan keluarga dan menjauhi kampung halamannya sehingga
hatinya hanya terikat pada ilmu. Ketiga, tidak bersikap sombong terhadap ilmu dan menjauhi
tindakan tidak terpuji kepada guru. Keempat, mencurahkan perhatian terhadap ilmu yang
terpenting, yaitu ilmu akhirat, dan terakhir, tujuan murid ialah untuk mnghiasi batinnya dengan
sesuatu yang akan mengantarkannya kepada Allah Swt.
al-Ghazali jauh sebelumnya telah meletakkan dasar pondasi yang kuat bahwa perpaduan
yang komprehensif dari kekuatan intelektual, emosional, dan spritual, yang berpadu pada
tasawuf, falsafah dan fiqih, merupakan suatu keniscayaan bagi pelaku dan peserta didik saat ini.
Poin penting yang menjadi kritikan al-Ghazali adalah pengajaran ilmu-ilmu agama yang
materialistik dan mudahnya konsep-konsep asing masuk dalam pemikiran umat Islam.Imam alGhazali berjasa dalam mengajari umat bagaimana membaca pemikiran asing dengan konsep
Islam. Bentuk kritis al-Ghazali terhadap pemikiran-pemikiran paripetik filsafat Yunani dapat
dlihat di dalam kitabnya, Tahafut al-Falasifah terutama tentang konsep Tuhan, kejadian alam,
dan konsep manusia. Dalam hal ini, al-Ghazali membersihkan konsep-konsep yang Aristotelian,
untuk dikembalikan kepada konsepsi Islam.
19
PENUTUP
Bismillahirrahmanirrahim. Alhamdulillahirabbil’alamin.
Segala puji bagi Allah subhanahu wata’ala atas segala rahmat dan hidayah-Nya kepada
kita semua. Semoga kita semua senantiasa berada di shirath al-mustaqim, jalan yang diridhaiNya, amin. Selanjutnya, shalawat beserta salam semoga selalu tercurahkan kepada Rasulullah
shallallahu ‘alaihi wasallam, suritauladan umat manusia yang menjanjikan syafa’t bagi umatnya
yang taat. Semoga kita semua termasuk ke dalam barisan umat yang mendaatkan syafa’at kelak
di hari kiamat, amin.
Akhirnya makalah yang membahas pemikiran pendidikan al-Ghazali serta aktualisasinya
di kehidupan modern ini berhasil terealisasikan tanpa ada dorongan dari Bapak H. Maragustam
Siregar, selaku dosen pengampu mata kuliah Filsafat Pendidikan yang memberikan amanah
kepada saya untuk menyusun makalah mengenai tema tersebut. Semoga perhatian dan
bimbingan beliau dapat saya serap dengan baik dan menjadi ilmu yang bermanfaat. Amin.
Selanjutnya, saya berterimakasih kepada semua teman-teman saya di kelas yang selalu
menjadi sahabat, baik dalam ranah akademik maupun dalam ranah praktis. Dukungan dan
motivasi mereka sangat membantu saya dalam berproses selama perkuliahan. Semoga mereka
selalu dipanjangkan umurnya dan dimudahkan dalam menimba ilmu bersama-sama, amin.
Kekurangan dan kesalahan yang ada dalam makalah ini adalah sebuah keniscayaan.
Meskipun saya sudah berusaha untuk meminimalisir kedua hal tersebut, maka dari itu saya
memohon maaf dan memohon koreksi dari semua pihak agar makalah ini menjadi lebih baik
lagi. Terakhir, semoga makalah ini mampu memperkaya khazanah keilmuan bagi saya pribadi
dan bagi semua pihak seluas-luasnya dan dapat menjadi rujukan yang dapat dipertimbangkan
bagi makalah dan penelitian-penelitian terkait kedepannya, amin.
DAFTAR PUSTAKA
Abdullah, M. Amin. 2002. Antara Al-Ghazali dan Kant: Filsafat Etika Islam. Bandung: Mizan.
Abrasyi, Muhammad Athiyyah al-. 2003.Prinsip-prinsip Dasar Pendidikan Islam. terj. Abdullah
Zaki al-Kaaf. Bandung: Pustaka Setia.
Amali, M. Wafiq. “Pendidikan Islam dalam Pemikiran Klasik” dalam www.wafiqamali.blogspot.com. diposting pada Rabu, 12 Oktober 2011. diakses pada Kamis, 19
Maret 2015, Pukul 21.30 WIB.
20
Anwar, Saeful. 2007. Filsafat Ilmu al-Ghazali: Dimensi Ontologi dan Aksiologi. Bandung:
Pustaka Setia.
Arifin, M. 1991. Filsafat Pendidikan Islam. Jakarta: Bumi Aksara.
As’ari, Hasan. 1994. Menyingkap Zaman Keemasan Islam. Bandung: Mizan.
Asrohah, Hanun. 1999. Sejarah Pendidikan Islam. Jakarta: Logos.
Attas, M. Naquib al-. 2001.Risalah untuk Kaum Muslimin. Kuala Lumpur: International Institute
of Islamic Thought and Civilization (ISTAC).
Azra, Azyumardi. 1998. Esei-esei Intelektual Muslim dan Pendidikan Islam. Jakarta: Logos
Wacana Ilmu.
________
2002.Paradigma
Baru
Pendidikan
Nasional:
Rekonstruksi
dan
Demokratisasi. Jakarta: Kompas.
Daudy, Ahmad. 1989. Kuliah Filsafat Islam. Jakarta: PT. Bulan Bintang.
Ghazali, Al-. 2003.Mutiara Ihya’ ‘Ulumuddin: Ringkasan yang Ditulis Sendiri oleh Sang
Hujjatul Islam. Bandung: Mizan.
Hasib, Kholil. “Mendesain Kurikulum Pendidikan dengan Konsep al-Ghazali” dalam
www.hidayatullah.com. diposting pada Senin, 30 April 2012. diakses pada Kamis, 19
Maret 2015, Pukul 22.00 WIB.
Hasyim, Yusuf. “Pengantar Pemikiran Pendidikan Islam” dalam www.slideshare.net. diposting
pada November 2013. diakses pada Kamis, 19 Maret 2015, Pukul 21.30 WIB.
Jalaluddin & Usman Said. 1999.Filsafat Pendidikan Islam.Jakarta: Rajagrafindo Persada.
Mulkhan, Abdul Munir. “Pemikiran Pendidikan Islam” dalam www.slideshare.net. diposting
pada 21 Januari 2014. diakes pada Kamis, 19 Maret 2015., Pukul 21.45 WIB.
_________ 1993.Paradigma Intelektual Muslim. Sipres.
_________ 2003. Nalar Spiritual Pendidikan Islam. Jakarta: Tiara Wacana.
Nata, Abudin. 2003. Pemikiran Para Tokoh Pendidikan Islam: Seri Kajian Filsafat Pendidikan
Islam. cet. III.Jakarta: Rajagrafindo Persada.
Nizar, Samsul. Filsafat Pendidikan Islam: Pendekatan Historis, Teoritis dan Praktis.Jakarta:
Ciputat Pers.
Rahman, Fazlur. 1984.Membuka Pintu Ijtihad. Bandung: Pustaka Setia.
Ramayulis & Samsul Nizar. 2011.Filsafat Pendidikan Islam. Jakarta: Kalam Mulia.
RI, Departemen Agama. 2004. Al-Qur’an dan Terjemahnya. Jakarta: CV. Naladana
Saifuddin, Arif dkk.“Filsafat Pendidikan Islam: Hakikat, Tujuan, dan Fungsi Pendidikan Islam”
dalam www.slideshare.net. diposting pada 18 Desember 2013. diakses pada Kamis, 19
Maret 2015, Pukul 22.00 WIB.
Shihab, Umar. 2008. Kontekstualitas Al-Qur’an: Kajian Tematik Atas Ayat-ayat Hukum Dalam
Al-Qur’an. Jakarta: Penamadani.
software al-Qur’an Digital. versi 2.1 (2004).
Suwendi, 2004. Sejarah dan Pemikiran Pendidikan Islam. Jakarta: Rajagrafindo Persada.
Suwito. 2005. Sejarah Sosial Pendidikan Islam. Jakarta: Prenada Media Kencana.
Syukur, Fatah. 2010. Sejarah Peradaban Islam. Semarang: PT. Pustaka Rizki Putra.