KATA PENGANTAR
Puji syukur kehadirat Allah SWT, karena atas segala nikmat dan kesempatan yang diberikan, kami dapat berkumpul dan mengerjakan makalah yang berjudul “Hukum Dagang dan Perkembangannya” dengan tepat waktu dan sebaik mungkin.
Makalah ini disusun guna menyelesaikan tugas Pengantar Hukum Indonesia yang akan dikumpulkan dalam waktu dekat ini. Makalah ini juga dikerjakan untuk memenuhi nilai tugas dan mendapatkan nilai seperti yang sebaik mungkin seperti yang kami harapkan.
Terima kasih ditujukan kepada bapak H. Muhammad Arifin, SH., M.Hum dan Indra Yakup, SH. selaku dosen Pengantar Hukum Indonesia atas waktu yang diberikan kepada kami untuk menyelesaikan makalah ini. Terima kasih kepada teman-teman kelompok III yang sudah menyisihkan waktunya untuk mencari bahan sebanyak mungkin dan bersama-sama mengerjakan makalah ini.
Dalam penyusunan makalah ini, kami selaku penyusun masih merasa banyak kekurangan yang harus diperbaiki. Oleh karena itu, kami dengan senang hati menerima saran dan kritik dari para pembaca. Kami berharap agar makalah ini dapat bermanfaat bagi para pembaca.
Medan, Maret 2014
DAFTAR ISI
KATA PENGANTAR 1
DAFTAR ISI 2
BAB I PENDAHULUAN 3
A. LATAR BELAKANG 3
B. RUMUSAN MASALAH 4
BAB II PEMBAHASAN 5
A. SEJARAH HUKUM DAGANG INDONESIA 5
B. PERKEMBANGAN HUKUM DAGANG DI INDONESIA 13
1. TERPISAHNYA KEPAILITAN DARI KUHD 13
2. PENGHAPUSAN BEBERAPA PASAL DALAM KUHD 17
3. PERKEMBANGAN MODEL-MODEL DAGANG 20
1. LISENSI 21
2. FRANCHISE 23
3. JOINT VENTURE 25
4. EKSPOR DAN IMPOR 28
5. MERGER DAN AKUISISI 29
BAB III PENUTUP 32
A. KESIMPULAN 32
B. SARAN 33
DAFTAR PUSTAKA 34
BAB I
PENDAHULUAN
LATAR BELAKANG
Pada era globalisasi yang serba canggih ini, perkembangan dan pertumbuhan ekonomi masyarakat dunia mengalami perubahan yang sangat dahsyat. Kebutuhan-kebutuhan hukum masyarakat yang melakukan kegiatan perniagaan sejajar dengan perkembangan perniagaan itu sendiri.
Kegiatan perniagaan makin lama tidak dapat dipenuhi secara cukup lagi oleh peraturan-peraturan hukum perdata umum yang sudah ada hingga dirasakan perlu adanya hukum perikatan khusus yang berupa himpunan aturan yang hanya terdiri dari masalah-masalah yang terkait dengan perniagaan dan pelayaran.
R. Soekardono, Hukum Dagang Indonesia, PT Dian Rakyat, Jakarta, hlm. 3. Penegakan hukum (rule of law) merupakan tanggung jawab pemerintah yang harus direalisasikan untuk memberikan pelayanan dan keadilan hukum bagi warganya demi terciptanya ketertiban dan keselarasan dalam kehidupan.
Untuk mengantisipasi hal-hal yang tidak diinginkan, para pebisnis dan orang-orang yang ingin terjun langsung di dunia bisnis hendaknya terlebih dahulu mengetahui dan memahami hukum bisnis (dagang) secara detail agar bisnis yang ditekuni berjalan dengan baik dan memberikan manfaat bagi dirinya dan menyejahterakan masyarakat pada umumnya.
Nurin Dewi Arifiah, Pelaksanaan Perjanjian Bisnis Waralaba Serta Perlindungan Hukumnya Bagi Para Pihak (Studi Di Apotek K-24 Semarang), Tesis Mahasiswa Universitas Diponegoro, Semarang, 2008, hlm. 18.
RUMUSAN MASALAH
Bagaimana sejarah hukum dagang di Indonesia?
Bagaimana perkembangan model-model dagang?
BAB II
PEMBAHASAN
SEJARAH HUKUM DAGANG INDONESIA
Sebelum berbicara mengenai bagaimana sejarah hukum dagang, ada baiknya kita ketahui apa itu definisi hukum dagang. Hukum dagang dapat definisikan dengan berbagai macam pengertian, yaitu antara lain:
Purwosutjipto
Mengartikan bahwa hukum dagang sebagai hukum perikatan yang timbul dalam lapangan perusahaan.
C. S. T. Kansil
Kansil menyamakan hukum dagang dengan hukum perusahaan, sehingga hukum perusahaan adalah hukum yang mengatur tingkah laku manusia yang turut melakukan perdagangan dalam usahanya memperoleh keuntungan.
Zainal Asikin, Pengantar Tata Hukum Indonesia, PT Rajagrafindo Persada, Jakarta, 2012, hlm. 107-108.
Dari definisi-definisi di atas, dapat disimpulkan bahwa hukum dagang adalah hukum perikatan yang timbul khusus dari lapangan perusahaan.
H.M.N. Purwosutjipto, Pengertian Pokok Hukum Dagang Indonesia (Jilid 1: Pengetahuan Dasar Hukum Dagang, Djambatan, Jakarta, 2007, hlm. 5.
Hukum dagang di Indonesia terhimpun dalam suatu bentuk hukum tertulis yang dikodifikasi (KUHD (Kitab Undang-Undang Hukum Dagang)) dan yang tidak dikodifikasi (seperti UU No. 10 Tahun 1998 tentang Perbankan dan UU No. 1 Tahun 1995 tentang Perseroan Terbatas).
KUHD yang hingga kini dipakai di Indonesia bukanlah kitab dagang hasil karya murni bangsa Indonesia, melainkan hasil penyelarasan hukum dari Belanda, dimana Belanda juga memiliki asal-usul tersendiri mengenai hukum yang mereka pakai tersebut. Berikut ini adalah kilas balik yang menceritakan bagaimana KUHD bisa sampai ke Indonesia:
Romawi
Romawi merupakan negara pertama yang menghimpun segala aturan-aturan hukum dalam suatu bentuk hukum tertulis. Pada abad ke-5 SM disusunlah hukum tertulis tadi yang mengutamakan keadilan, kemanusiaan, dan persamaan hak.
Anonim, Kepercayaan Dan Kebudayaan Romawi Kuno, http://sejarahnasionaldandunia.blogspot.com/2013/02/kepercayaan-dan-kebudayaan-romawi-kuno.html, diakses tanggal 8 Maret 2014, jam 21:43 WIB. Pada masa Kekaisaran Romawi Timur, di bawah pemerintahan Justianus, Kaisar Bizantium, terciptalah kumpulan aturan-aturan hukum yang paling sempurna pada saat itu yang disebut Corpus Juris Civilis atau Codex Justianus.
Corpus Juris Civilis ditulis dalam bahasa latin dan terdiri dari 4 bagian, yaitu:
Institusionil (lembaga). Bagian ini memuat tentang lembaga-lembaga yang ada pada masa kekaisaran Romawi, termasuk didalamnya Consules Mercatorum (pengadilan untuk kaum pedagang).
Pandecta. Bagian ini memuat asas-asas dan adagium hukum, seperti asas facta sun servanda (berjanji harus ditepati); asas partai otonom (kebebasan berkontrak); unus testis nullus testis (satu saksi bukanlah saksi), dan lain-lain.
Codex. Memuat uraian pasal demi pasal yang tidak memisahkan antara hukum perdata dan hukum dagang.
Novelete. Berisi karangan/cerita.
Anonim, Pengertian Dasar Hukum Dagang, Makalah Mahasiswa USU Medan, hlm. 9.
Corpus Juris Civilis dijadikan prinsip dasar dalam perumusan dan kodifikasi hukum di negara-negara Eropa daratan seperti Jerman, Belanda, Perancis, Italia, Amerika Latin, dan Asia.
Anonim, Sistem Hukum (3) Eropa Kontinental (Civil Law),
http://donxsaturniev.blogspot.com/2010/07/sistem-hukum-4-eropa-kontinental-civil.html, diakses tanggal 8 Maret 2014, jam 22:08 WIB.
Perancis
Perancis mengikuti jejak Romawi untuk mengadakan kodifikasi hukum untuk memperoleh kepastian dan kesatuan hukum serta untuk memepermudah dalam menemukan hukum. Perancis mengkodifikasikan hukum dengan bercermin dari Corpus Juris Civilis yang dibuat oleh Romawi.
Raja Lodewijk XIV yang memerintah negara Perancis di tahun 1613-1715 menghasilkan kodifikasi hukum pertama di Perancis, yaitu
C. S. T. Kansil, Hukum Perusahaan Indonesia (Aspek Hukum Dalam Ekonomi Bagian 1), PT Pradnya Paramita, Jakarta, 2001, hlm. 35.:
Ordonnance du Commerce 1673, yang berisi tentang aturan-aturan dagang, namun masih terbatas pada suatu daerah tertentu dan belum sama aturan antara daerah yang satu dengan yang lain. Dengan kata lain, kodifikasi hukum tentang aturan dagang ini belum diunifikasi (diberlakukan secara menyeluruh)
Ordonnance de la Marine 1681, yang berisi tentang aturan-aturan hukum perdagangan laut (untuk pedagang kota pelabuhan).
Semangat rasionalisme yang menyebabkan revolusi Perancis, membawa Perancis sejak 21 Maret 1804 menjadi peletak tata hukum baru
Ahmad Syauqi, Sejarah Civil Law Dan Common Law System, Hubungannya Dalam Perkembangan Hukum Di Indonesia, Makalah Mahasiswa Universitas Mataram, 2012, hlm. 6. melalui penerbitan kodifikasi hukum yang disebut Code Napoleon yang diperkenalkan oleh kaisar Napoleon Bonaparte di Perancis dan diberlakukan pada tahun 1808 yang merupakan perkembangan dari Ordonnance du Commerce dan Ordonnance de la Marine tadi. Code Napoleon terdiri dari:
Code Civil, yang berisi tentang aturan-aturan perdata;
Code Penal, yang berisi tentang aturan-aturan pidana; dan
Code du Commerce, yang berisi tentang aturan-aturan dagang.
Belanda
Belanda merupakan negara yang menjadi salah satu sasaran ekspansi (perluasan wilayah dengan cara menjajah) negara Perancis. Sewaktu Prancis menguasai Belanda (1806-1813), Code Napoleon itu diberlakukan di Belanda berdasarkan asas konkordansi (pemberlakuan hukum dari negara asal dengan hukum negara yang dijajah) dan Belanda masih menggunakan hukum-hukum tersebut hingga 24 tahun sesudah kemerdekaan Belanda dari Perancis di tahun 1813.
Pada Tahun 1814 Belanda mulai menyusun Kitab Undang-Undang Hukum Perdata (Sipil) atau KUHS Negeri Belanda, berdasarkan kodifikasi hukum Belanda yang dibuat oleh Mr. J. M. Kemper. Namun, sayangnya Kemper meninggal dunia pada tahun 1824 sebelum menyelesaikan tugasnya dan dilanjutkan oleh Nicolai yang menjabat sebagai Ketua Pengadilan Tinggi Belgia. Keinginan Belanda tersebut terealisasi pada tanggal 6 Juli 1880 dengan pembentukan dua kodifikasi yang baru diberlakukan pada tanggal 1 Oktober 1838 oleh karena telah terjadi pemberontakan di Belgia, yaitu:
Burgerlijk Wetboek (BW), yang merupakan Kitab Undang-Undang Hukum Perdata Belanda.
Wetboek van Koophandel (WvK), yang merupakan Kitab Undang-Undang Hukum Dagang Belanda.
Keduanya merupakan hasil penyempurnaan dari Code Civil dan Code du Commerce yang diterjemahkan dari bahasa Perancis ke bahasa nasional Belanda.
Alam S. Anggara, Sejarah Terbentuknya Hukum Perdata (BW), http://tentangasa.wordpress.com/2011/04/10/sejarah-terbentuknya-hukum-perdata-bw/, diakses tanggal 9 Maret 2014, jam 16:33 WIB.
Indonesia
Belanda mengikuti jejak Perancis untuk melakukan ekspansi. Namun, Belanda hanya menjamah 2 negara, yaitu Papua Nugini dan Indonesia. Indonesia pada saat itu masih disebut Nusantara dan masih berbentuk kerajaan-kerajaan. Belanda kemudian mengubah nama Nusantara menjadi Hindia Belanda.
Pada saat Belanda menjajah Indonesia, Ratu Belanda pada waktu itu memerintahkan Scholten van Oudharlem untuk meneliti ke Indonesia dan memastikan apakah hukum Belanda bisa diterapkan disana. Selama 2 tahun Oudharlem meneliti, dia menyimpulkan bahwa:
Aturan-aturan yang berlaku di Belanda dapat juga diberlakukan di Hindia Belanda.
Akan tetapi, aturan-aturan yang telah ada di Hindia Belanda tidak boleh dihapus dan harus ditaati dengan tujuan agar hukum Belanda tersebut dapat diterima oleh penduduk Hindia Belanda.
Melalui Staatblaad No. 23/1847, BW dan WvK Belanda yang telah diberlakukan berdasarkan asas konkordansi kemudian dikodifikasikan oleh Oudharlem, Meyer, dan Scheineither. Di tanggal 30 April 1847, dikodifikasikanlah:
Kitab Undang-Undang Hukum Perdata (KUHPerdata) yang merupakan penyesuaian dari Burgerlijk Wetboek; dan
Kitab Undang-Undang Hukum Dagang (KUHD) yang merupakan penyesuaian dari Wetboek van Koophandel.
Keduanya mulai dianggap berlaku sejak tanggal 1 Mei 1848.
Pada KUHD terdapat perubahan yang terjadi berdasarkan Staatblaad 1938-276 yang mulai berlaku tanggal 17 Juli 1938. Perubahan ini memuat dua hal, yakni:
Penghapusan pasal 2 sampai dengan 5 pada Bab I, Buku I KUHD;
Memasukkan istilah “perusahaan” dalam hukum dagang, yang tercantum dalam pasal 6, 16, 36, dan lain-lain.
H.M.N. Purwosutjipto, Loc. Cit., hlm. 14.
Terlepas dari perubahan-perubahan KUHD itu, Belanda yang ingin menerapkan hukum-hukum tersebut di Hindia Belanda mengeluarkan pasal 163 IS (Indische Staatsregeling) di tahun 1926 yang membagi penduduk di Hindia Belanda manjadi 3 golongan, yaitu:
Golongan Eropa (Warga negara Belanda dan negara Eropa lain yang berdiam di Hindia Belanda);
Golongan Timur Asing (Tionghoa dan bukan Tionghoa); dan
Golongan Bumiputera.
Kemudian dikeluarkan pasal 131 IS yang disebut dengan “penundukan secara sukarela” yang menetapkan:
Bagi orang-orang Eropa yang tinggal di Hindia Belanda berlaku hukum perdata barat;
Bagi golongan Timur Asing (Tionghoa dan bukan Tionghoa) berlaku hukum adatnya masing-masing dan hukum perdata barat;
Sedangkan bagi golongan bumiputera berlaku hukum adatnya masing-masing tetapi apabila ingin menundukkan diri kepada aturan hukum perdata barat, diperbolehkan.
Melalui asas konkordansi dan pasal 131 IS, bangsa Indonesia memakai KUHPerdata dan KUHD untuk menunjang kegiatan perdagangan. Setelah Indonesia merdeka, dikeluarkan Pasal II Peralihan UUD 1945 yang berbunyi:
“Segala badan negara dan peraturan yang masih ada masih berlangsung selama belum diadakan yang baru menurut UUD ini.”
Melalui pasal tersebut, Indonesia tetap memakai KUHPerdata dan KUHD hingga sekarang.
PERKEMBANGAN HUKUM DAGANG DI INDONESIA
Hukum dagang di Indonesia tidak bergerak secara statis, melainkan terus-menerus mengikuti perkembangan zaman. Seiring berjalannya waktu, perkembangan hukum dagang di Indonesia bergerak semakin pesat. Perubahan-perubahan tersebut kebanyakan diakibatkan oleh masyarakat yang mulai berubah cara atau sistem-sistemnya dalam berdagang ataupun dalam menerapkan hukum dagang.
TERPISAHNYA KEPAILITAN DARI KUHD
PENGERTIAN KEPAILITAN
Dalam kepustakaan Belanda (Eropa Continental) digunakan kata “faillisement”, sedangkan kepustakaan common law dikenal istilah “bankruptcy” yang masing-masing bermakna kepailitan. Pailit berasal dan bahasa Perancis “faillete” yang berarti pemogokan atau kemacetan pembayaran.
Ida Nadira, Hukum Dagang Indonesia, Ratu Jaya, Medan, 2014, hlm. 207.
Pengertian kepailitan secara definitif tidak ada pengaturannya atau penyebutannya di dalam UU Kepailitan. Namun, secara umum, kepailitan adalah suatu sitaan dan eksekusi atas seluruh kekayaan si debitur (orang-orang yang berutang) untuk kepentingan semua kreditor-kreditornya (orang-orang berpiutang).
Adrian Sutedi, Hukum Kepailitan, Ghalia Indonesia, Bogor, 2009, hlm. 24.
SEJARAH KEPAILITAN DI INDONESIA
Sebelum tahun 1905
Adapun sistematika KUHD pada waktu itu (sebelum tahun 1905) adalah sebagai berikut:
Buku I mengatur tentang Dagang Pada Umumnya;
Buku II mengatur tentang Hak-Hak dan Kewajiban yang Terbit dari Pelayaran; dan
Buku III mengatur tentang Kepailitan.
Ida Nadira, Op. Cit., hlm. 196.
Untuk kasus kepailitan yang terjadi sebelum tahun 1905, diatur dalam:
Buku ketiga KUHD yang berjudul De Voorzieningen in Geval van Onvermogen van Kooplieden (Peraturan tentang Ketidakmampuan Pedagang), yang kemudian dicabut oleh Pasal 2 Verordening ter Invoerting van de Faillissementsverordening (Stbl. 1906-348) yang hanya berlaku untuk pedagang saja; dan
Reglement op de Rechtsvordering (Rv) (Stbl. 1847-52 jo. 1849-63) di buku ketiga, bab ketujuh yang berjudul: Van den Staat van Kennelijk Onvermoegen (Tentang Keadaan Nyata-Nyata Tidak Mampu) yang berlaku bagi yang bukan pedagang dan telah dicabut oleh Stbl. 1906-348.
Adrian Sutedi, Op. Cit., hlm. 1.
Namun pelaksanaan kedua peraturan ini memiliki banyak formalitas yang harus dilakukan hingga memakan waktu lama sehingga timbul keinginan untuk membuat peraturan kepailitan yang lebih sederhana lagi. Sehubungan dengan itu, pada tahun 1905 dibuatlah Faillisement Verordening op Het Faillisement en de Surseance van Betaling voor de Eropeanen Nederlands Indie (Peraturan untuk Kepailitan dan Penundaan Pembayaran untuk orang-orang Eropa) atau sering disebut Faillisement Verordening (FV) (Stbl. 1905-217), yang mulai berlaku pada tanggal 1 November 1906. Dengan berlakunya FV, maka peraturan yang ada sebelumnya dihapuskan. Sistematika KUHD setelah adanya FV terdiri dari:
Buku I mengatur tentang Dagang Pada Umumnya; dan
Buku II mengatur tentang Hak-Hak dan Kewajiban yang Terbit dari Pelayaran.
Ida Nadira, Op. Cit., hlm. 197.
Setelah Indonesia Merdeka
Pada tahun 1945, digunakanlah aturan hukum kepailitan yang masih berlaku berdasarkan Pasal II Peralihan UUD 1945. Namun, di tahun 1947, pemerintah Belanda di Jakarta menerbitkan Peraturan Darurat Kepailitan (Noodsregeling Faillissmenten) yang bertujuan untuk menghapus hukum kepailitan bekas asuhan Jepang. Oleh karena tugas ini sudah lama selesai jadi peraturan itu sudah dianggap tidak berlaku lagi atau tidak pernah ada.
Pada tahun 1947-1998, FV relatif sangat sedikit digunakan, karena keberadaan peraturan itu kurang dikenal dan dipahami oleh masyarakat. Akibatnya, FV tidak dirasakan sebagai suatu peraturan yang menjadi milik masyarakat pribumi. FV juga memiliki beberapa kelemahan seperti: tidak diberikan jangka waktu yang jelas untuk menyelesaikan kasus kepailitan
Adrian Sutedi, Op. Cit., hlm. 2. dan karena sebagian besar pengusaha pribumi masih belum banyak yang melakukan transaksi bisnis yang besar.
Ibid, hlm. 3. Oleh karena itu, FV kemudian disempurnakan menjadi Perpu No. 1 Tahun 1998 dan dikuatkan melalui UU No. 4 Tahun 1998 yang mengakibatkan FV yang sudah lama tidak beroperasi, menjadi hidup kembali.
Dalam perkembangannya, UU No. 4 Tahun 1998 diganti dengan UU No. 37 Tahun 2004 tentang Kepailitan dan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang. Undang-undang ini lahir karena perkembangan perekonomian dan perdagangan serta pengaruh globalisasi yang melanda dunia usaha, kemudian juga mengingat umumnya modal yang dimiliki oleh para pengusaha merupakan pinjaman dari berbagai sumber, baik dari bank, penanaman modal, penerbitan obligasi, maupun cara lain yang diperbolehkan, telah menimbulkan banyak permasalahan penyelesaian utang-piutang.
Ibid, hlm. 8.
UU No. 37 Tahun 2004 inilah yang kemudian digunakan hingga sekarang dalam peyelesaian utang-piutang dalam lingkup perekonomian dan perdagangan di Indonesia.
.
PENGHAPUSAN BEBERAPA PASAL DALAM KUHD
Saat ini, beberapa pasal dari Buku I KUHD tentang perdagangan pada umumnya, sudah dianggap tidak sesuai lagi dengan perkembangan dalam dunia perdagangan. Hal ini berkaitan dengan pencabutan pasal 2 s/d pasal 5 perihal pedagang dan perbuatan perniagaan.
Menurut pasal 2 KUHD (lama), pedagang adalah mereka yang melakukan perbuatan perniagaan sebagai pekerjaan sehari-hari. Perbuatan perniagaan itu selanjutnya diperjelas oleh pasal 3 KUHD (lama), yaitu perbuatan pembelian barang-barang untuk dijual kembali. Berdasarkan ketentuan pasal 3 KUHD (lama) tersebut, dapat dicatat bahwa:
Perbuatan perniagaan hanya perbuatan pembelian saja, sedangkan perbuatan penjualan tidak termasuk didalamnya, karena penjualan adalah tujuan pembelian; dan
Pengertian barang di sini berarti barang bergerak. Tidak termasuk di dalamnya barang tetap.
H.M.N. Purwosutjipto, Op. Cit., hlm. 10.
Pasal 4 KUHD (lama) kemudian memerinci lagi beberapa kegiatan yang termasuk dalam kategori perbuatan perniagaan, yang salah satunya adalah perbuatan jual-beli perlengkapan kapal dan keperluan kapal. Dengan demikian, bila mengacu pada pendapat Purwosutjipto di atas mengenai ketentuan pasal 3 KUHD (lama), kelihatan bertentangan dengan pasal 4 KUHD (lama) yang menyebut jual-beli sebagai perbuatan perniagaan.
Sedangkan Pasal 5 KUHD (lama) hanya menambahkan kegiatan-kegiatan yang termasuk perbuatan perniagaan khususnya perbuatan-perbuatan perniagaan di laut, seperti perbuatan yang timbul dari kewajiban–kewajiban menjalankan kapal untuk melayari laut, kewajiban-kewajiban mengenai tubrukan kapal, tolong-menolong dan menyimpan barang di laut, dan lain-lain.
Anonim, Pengertian Dasar Hukum Dagang, Op. Cit., hlm. 2.
Ada beberapa keberatan yang dapat dicatat berkaitan dengan prinsip hukum dagang yang pada pokoknya diperuntukkan bagi kaum pedagang (koopmanrecht):
Perkataan “barang” dalam pasal 3 KUHD (lama) berarti barang bergerak. Padahal dalam lalu lintas perniagaan sekarang, barang tetap juga merupakan obyek perniagaan.
Perbuatan “menjual” dalam pasal 3 KUHD (lama), tidak termasuk dalam pengertian perbuatan perniagaan, tetapi bertolak belakang dengan ketentuan pasal 4 KUHD (lama), yang menyebutkan perbuatan menjual adalah termasuk dalam pengertian perbuatan perniagaan. Jadi, ada pertentangan antara pasal 3 dan pasal 4 KUHD (lama).
Bila terjadi perselisihan antara pedagang dengan non-pedagang, muncul beberapa pendapat mengenai pemberlakuan hukum dagang:
Menurut H.R, hukum dagang baru berlaku bila bagi tergugat perbuatan yang dipertentangkan adalah perbuatan perniagaan. Ini artinya bila tergugat adalah pedagang, dan penggugat bukan pedagang, maka disini akan berlaku hukum dagang. Akhirnya hukum dagang juga diberlakukan bagi non-pedagang. Pendapat H.R ini telah melanggar prinsip hukum dagang bagi pedagang.
Pendapat kedua, menyatakan bahwa hukum dagang berlaku kalau perbuatan yang disengketakan itu bagi kedua belah pihak merupakan perbuatan perniagaan.
Ida Nadira, Op. Cit., hlm .13-14.
Dari pendapat di atas terlihat dengan jelas bahwa prinsip Hukum Dagang Bagi Pedagang (koopmanrecht) tidak bisa dipertahankan lagi dalam situasi saat ini karena pedagang berpeluang melakukan sengketa dengan siapapun termasuk yang bukan pedagang.
Oleh karena itu, sejak tanggal 17 Juli 1938, hukum dagang (KUHD) mulai diberlakukan bagi semua orang, baik pedagang maupun bukan pedagang. Melalui Staatblaad 1938/276, pasal 2 sampai dengan pasal 5 KUHD dihapuskan dan istilah perusahaan masuk ke dalam hukum dagang dengan menggantikan istilah pedagang dan perbuatan perdagangan.
Perusahaan dapat didefinisikan sebagai setiap bentuk usaha yang memiliki unsur-unsur, seperti terus-menerus, terang-terangan, dan memiliki pembukuan, dimana perusahaan ini melakukan produksi dalam menghasilkan barang-barang yang kemudian diperdagangkan dengan tujuan akhir yaitu memperoleh laba (keuntungan). Istilah perusahaan ini dapat ditemukan dalam KUHD di pasal 6, 16, 36, dan lain-lain.
PERKEMBANGAN MODEL-MODEL DAGANG
Kebutuhan masyarakat yang semakin banyak menyebabkan perdagangan semakin berkembang sehingga model-model dagang juga ikut mengalami perkembangan yang cukup pesat, terutama di hal-hal yang berkaitan tentang merek dagang yang kemudian dapat berkembang menjadi lisensi, usaha franchise, joint venture, dan lain sebagainya.
PENGERTIAN MEREK
Dalam Pasal 1 butir 1 UU Merek 1992 diberikan definisi tentang merek yaitu: tanda yang berupa gambar, nama, kata, huruf-huruf, angka-angka, susunan warna, atau kombinasi dari unsur-unsur tersebut yang memiliki daya pembeda dan diguakan dalam kegiatan perdagangan barang dan jasa.
Saidin, Aspek Hukum Hak Kekayaan Intelektual (Intellectual Property Rights), PT RajaGrafindo Persada, Jakarta, 1997, hlm. 267.
Sedangkan secara umum merek dapat disimpulkan sebagai suatu tanda yang membedakan barang-barang yang sejenis yang dihasilkan atau diperdagangkan seseorang atau kelompok orang atau badan hukum dengan barang-barang yang sejenis yang dihasilkan orang lain, yang memiliki daya pembeda maupun sebagai jaminan atas mutunya dan digunakan dalam kegiatan perdagangan barang atau jasa.
Ibid, hlm. 270. Contoh: Dunlop, Sampoerna, Samsung, dan lain sebagainya.
Setelah mengetahui tentang pengertian merek dan bagaimana contoh dari merek, maka selanjutnya akan dibahas tentang perkembangan model-model dagang, yang terdiri dari:
LISENSI
Lisensi adalah izin yang diberikan oleh pemilik merek terdaftar kepada seorang atau beberapa orang secara bersama-sama atau badan hukum untuk menggunakan merek tersebut, baik untuk seluruh atau sebagian atau jenis barang atau jasa yang didaftarkan.
Ibid, hlm. 300.
Pemberian lisensi kepada pihak lain harus dituangkan dalam bentuk perjanjian lisensi, dan setiap pelepasan hak dengan perjanjian (termasuk perjanjian lisensi) harus dituangkan dalam bentuk akta otentik, jadi tidak boleh dilakukan secara lisan. Setiap perjanjian lisensi itu wajib dimintakan pencatatan pada Kantor Merek dan dicatat dalam Daftar Umum Merek serta diumumkan dalam Berita Resmi Merek untuk memberikan status kepastian hukum yang kuat.
Ibid, hlm. 301.
Perjanjian lisensi dilakukan secara ketat yang memuat aturan
Rais Rozali, Perjanjian Lisensi/License Agreement, http://zalirais.wordpress.com/2013/09/27/perjanjian-lisensi-license-agreement/, diakses tanggal 13 Maret 2014, jam 14:55 WIB., antara lain:
Hak dan kewajiban para pihak;
Persyaratan dan mekanisme alih teknologi kekayaan intelektual serta hasil kegiatan penelitian dan pengembangan;
Pihak penerima alih teknologi kekayaan intelektual serta hasil kegiatan penelitian dan pengembangan;
Status perlindungan hukum; dan
Royalti atau imbalan.
FRANCHISE
Franchise atau waralaba adalah sebuah kontrak hubungan kerjasama antara pihak pemilik bisnis dan pihak investor, dimana pemilik bisnis membolehkan investor untuk menggunakan merek dagang dan sistem bisnisnya, serta memberikan pelatihan dan petunjuk bisnis dan melakukan kontrol serta pengawasan keatasnya.
Franchise mempunyai karakteristik pelaksanaan sebagai berikut
Nurin Dewi Arifiah, Op. Cit., hlm. 30-31.:
Unsur dasar
Ada 3 (tiga) unsur dasar yang harus selalu dipunyai, yaitu:
Pihak yang mempunyai bisnis franchise disebut sebagai franchisor;
Hak-hak franchisor antara lain:
Hak untuk berusaha dalam bisnis tertentu;
Hak untuk menggunakan identitas perusahaan;
Hak untuk menguasai/monopoli keahlian (keterampilan) operasional, manajemen pemasaran, dan lain-lain;
Hak untuk menentukan wilayah lokasi usaha;
Hak untuk menentukan jumlah perusahaan.
Saidin, Op. Cit., hlm. 334.
Pihak yang mejalankan bisnis franchise yang disebut sebagai franchisee; dan
Adanya bisnis franchise itu sendiri.
Konsep bisnis total.
Penekanan pada bidang pemasaran dengan konsep P4 yakni Product, Price, Place serta Promotion.
Franchise memakai/menjual produk.
Franchisor menerima Fee dan Royalty.
Franchise fee: Biaya pembelian hak waralaba yang dikeluarkan oleh pembeli waralaba (franchisee) setelah dinyatakan memenuhi persyaratan sebagai franchisee sesuai kriteria franchisor. Umumnya franchise fee dibayarkan hanya satu kali saja dan akan dikembalikan oleh franchisor kepada franchisee dalam bentuk fasilitas pelatihan awal, dan dukungan set up awal dari outlet pertama yang akan dibuka oleh franchisee.
Royalty: Pembayaran oleh pihak franchisee kepada pihak franchisor sebagai imbalan dari pemakaian hak franchise oleh franchisee.
Adanya pelatihan manajemen dan skill khusus.
Pendaftaran Merek Dagang, Paten atau Hak Cipta.
Bantuan pendanaan dari pihak franchisor.
Pembelian produk langsung dari franchisor.
Bantuan promosi dan periklanan dari franchisor.
Pelayanan pemilihan lokasi oleh franchisor.
Daerah pemasaran yang ekslusif.
Pengendalian/penyeragaman mutu.
Mengandung unsur merek dan sistem bisnis.
JOINT VENTURE
Joint Venture atau usaha patungan merupakan persetujuan diantara dua pihak atau lebih untuk melakukan kerjasama di dalam suatu proyek, seringkali suatu joint venture dilakukan apabila perusahaan-perusahaan dengan teknologi yang saling melengkapi ingin menciptakan barang atau jasa yang akan saling memperkuat posisi masing-masing perusahaan.
Fikriyaah, Joint Venture Di Indonesia, http://fumarolla.wordpress.com/2009/11/22/join-venture-di-indonesia/, diakses tanggal 15 Maret 2014, jam 15:15 WIB.
Unsur-unsur yang terdapat dalam joint venture ialah:
Kerja sama antara pemilik modal asing dan nasional.
Membentuk perusahaan baru antara pengusaha asing dan nasional.
Didasarkan pada kontraktual atau perjanjian.
Akan tetapi tidak semua usaha wajib didirikan joint venture antara pemilik modal asing dengan pemilik modal nasional. Jenis perjanjian joint venture antara lain:
Joint Venture Domestik, yang didirikan antara perusahaan yang terdapat di dalam negeri.
Joint Venture Internasional, yang didirikan di Indonesia oleh dua perusahaan dimana salah satunya perusahaan asing.
Anonim, Joint Venture, http://goodaymo.blogspot.com/2012/10/joint-venture.html?m=1, diakses tanggal 15 Maret 2014, jam 15:25 WIB.
Hal-hal yang harus diperhatikan dalam pelaksanaan joint venture:
Jumlah rincian tentang semua pihak yang tergabung dalam kesepakatan perjanjian joint venture ini beserta nama-nama mereka dan kontribusi masing masing. Seluruh data ini mesti diarsipkan sebagai syarat administrasi dan mengandung kekuatan hukum. Sebagai antisipasi atas kemungkinan terburuk dalam kelangsungan kerja sama.
Arsip mesti mencatat atas perjanjian penyertaan modal usaha ventura ini, tentang tujuan diadakannya kerja sama tersebut serta poin-poin persetujuan lainnya.
Perjanjian yang membahas semua kontribusi dari pihak pihak yang terlibat dalam pelaksanaan kerja sama usaha.
Perjanjian joint venture harus membahas tentang kepemilikan modal masing masing pihak dan kesepakatan pembagian hasil hingga pembagian hasil yang dicapai bisa dilakukan dengan seadil-adilnya.
Perjanjian joint venture harus membahas tentang manajemen usaha tersebut serta peran dari masing-masing pihak dalam pelaksanaan usaha.
Hasil dari pembahasan tentang hak atas kekayaan intelektual juga mesti dilampirkan dengan lengkap pada perjanjian joint venture ini.
Ketentuan tentang tugas serta kedudukan setiap pihak dalam joint venture ini juga mesti dibahas sebelumnya dengan detail dan dicantumkan di dalam perjanjian joint venture. Hal ini bisa mendukung pelaksanaan bisnis dengan baik dan terciptanya sistem manajemen yang baik.
Perjanjian joint venture harus membahas tentang penulisan laporan pertanggung-jawaban masing-masing pihak yang terlibat.
Perjanjian joint venture adalah serangkaian dokumentasi kesepakatan bisnis yang harus dibuat berdasarkan kekuatan hukum. Dalam ruang lingkup bisnis yang lebih besar dengan resiko yang lebih tinggi, perjanjian penyertaan modal usaha ventura seharusnya dibuat dengan kesaksian pihak notaris hingga legalitasnya bisa terjamin dan lebih sistematis dan mengacu pada undang undang yang berlaku di Indonesia.
Dody Tabrani, Perjanjian Joint Venture Modal Usaha Ventura, http://www.ukmkecil.com/modal-usaha/perjanjian-joint-venture-modal-usaha-ventura, diakses tanggal 15 Maret 2014, jam 15:38 WIB.
EKSPOR DAN IMPOR
EKSPOR
Pengertian ekspor menurut UU Kepabeanan adalah kegiatan mengeluarkan barang dari daerah pabean, dimana barang yang dimaksud terdiri dari barang dari dalam negeri (daerah pabean), barang dari luar negeri (luar daerah pabean), barang bekas atau baru.
Adapun tata cara pelaksanaan ekspor adalah sebagai berikut:
Pembuatan dokumen Pemberitahuan Ekspor Barang (PEB) yang dapat dibuat dengan mengisi formulir atau dikirim melalui media elektronik. Pejabat Bea dan Cukai akan membukukan PEB ke dalam Buku Catatan Pabean dan memberi nomor dan tanggal pendaftaran; dan
Penelitian dokumen dan serangkaian pemeriksaan fisik barang-barang ekspor oleh petugas Bea dan Cukai.
Irwan Nurdiyanto, Prosedur Pelaksanaan Ekspor Impor, Makalah Mahasiswa Universitas Sebelas Maret, Surakarta, 2011, hlm. 4.
IMPOR
Pengertian impor menurut UU Kepabeanan adalah kegiatan memasukkan barang ke dalam daerah pabean. Semua barang yang dimaksudkan adalah semua atau seluruh barang dalam bentuk dan jenis apa saja yang masuk ke dalam daerah pabean.
Anonim, Syarat Ekspor Impor, http://b4smi.wordpress.com/2010/11/21/syarat-ekspor-impor/, diakses tanggal 13 Maret 2014, jam 21:56 WIB.
Adapun tata cara pelaksanaan impor adalah sebagai berikut:
Importir mempersiapkan dokumen Pemberitahuan Impor Barang (PIB); dan
Importir akan menghitung bea masuk dan pajak sendiri yag wajib ia bayar atas barang yang diimpor.
MERGER DAN AKUISISI
MERGER
Merger adalah adalah penggabungan dari dua perusahaan atau lebih dengan cara tetap mempertahankan berdirinya salah satu perusahaan dan melikuidasi (membubarkan) perusahaan-perusahaan lainnya.
Uchi Itachi, Merger dan Akuisisi, http://metrix-edu.blogspot.com/2012/04/merger-dan-akuisisi.html?m=1, diakses tanggal 15 Maret 2014, jam 16:15 WIB.
AKUISISI
Akuisisi berasal dari sebuah kata dalam bahasa Inggris acquisition yang berarti pengambilalihan. Kata akuisisi aslinya berasal dari bahasa Latin, acquisitio, dari kata kerja acquirere. Akuisisi adalah pembelian suatu perusahaan oleh perusahaan lain atau oleh kelompok investor. Akuisisi sering digunakan untuk menjaga ketersediaan pasokan bahan baku atau jaminan produk akan diserap oleh pasar.
Anonim, Merger dan Akuisisi, http://id.wikipedia.org/wiki/Merger_dan_akuisisi, diakses tanggal 15 Maret 2014, jam 16:11 WIB.
Contoh: Bank Danamon merupakan hasil pengambilalihan dibawah Badan Penyehatan Perbankan Nasional (BPPN) dari delapan bank, yaitu PT. Bank Tamara Tbk, PT. Bank Tiara Asia Tbk, PT. Bank Rama Tbk, PT JayaBank International, PT. Bank Risyad Salim International, PT. Bank Duta Tbk., PT. Bank Pos Nusantara, dan PT. Bank Nusa Nasional.
Persyaratan yang harus dilengkapi adalah sebagai berikut :
Salinan akta pendirian dan perubahan masing-masing perusahaan yang bergabung.
Salinan Izin Usaha Tetap bagi perusahaan yang akan meneruskan kegiatan usaha. Jika belum memiliki IUT, perlu dilengkapi dengan BAP (berita pemeriksaan) oleh BKMD setempat.
Risalah RUPS (rapat umum pemegang saham) tentang persetujuan untukbergabung dari masing-masing perusahaan yang tergabung.
Salinan LKPM (laporan keuangan penanaman modal) periode terakhit untuk perusahaan PMA dan PMDN yang akan meneruskan kegiatau usaha.
Setelah persyaratan dilengkapi, perusahaan mengisi formulir di kantor BKPM dengan lengkap dan melampirkan permohonan merger. Persetujuan akan dikeluarkan oleh Menives atau kepala BKPM dalam bentuk surat persetujuan.
Anonim, Merger dan Akuisisi Bank Nasional: Realitas dan Tantangan, Makalah Mahasiswa HI, Jakarta, 2011, hlm. 7.
BAB III
PENUTUP
KESIMPULAN
Kitab Undang-Undang Hukum Perdata (KUHD) yang kini digunakan di Indonesia tidak berasal dari buah karya pemuda-pemudi Indonesia. KUHD merupakan penyelarasan dari hukum dari Belanda, yaitu Wetboek van Koophandel (WvK). WvK sendiri juga merupakan hasil penyelarasan, yaitu dari Code du Commerce negara Perancis, yaitu negara yang sempat menjajah Belanda. Code du Commerce tadi dibuat berdasarkan Corpus Juris Civilis negara Romawi yang merupakan aturan hukum yang paling sempurna pada waktu itu. Jadi, dapat dikatakan bahwa ada hubungan yang sangat erat antara hukum dagang yang pernah berlaku di negara lain di zaman dahulu dengan hukum dagang yang berlaku di Indonesia hingga hari ini.
Di era modern ini, perkembangan model-model perdagangan kini semakin luas yang dapat dilihat dari adanya aturan-aturan hukum yang ditambahkan oleh pemerintah mengenai penyelesaian kasus-kasus atau tata cara perdagangan tertentu, seperti: Franchise atau waralaba, lisensi, joint venture, ekspor dan impor, serta merger dan akuisisi.
SARAN
Mengingat bahwa perdagangan di Indonesia semakin pesat seiring dengan berjalannya waktu, kami berharap pemerintah terus memantau bagaimana perkembangan perdagangan tersebut dan berperan aktif dalam menciptakan hukum-hukum yang dapat membantu mempermudah ataupun menyelesaikan segala permasalahan perniagaan yang mungkin muncul akibat pesatnya pekembangan perniagaan di masa kini.
Saran kami bagi para pebisnis ataupun orang-orang yang tertarik untuk berkecimpung di dunia bisnis (dagang) sebaiknya memahami dengan baik berbagai aturan hukum dagang agar bisnis yang ditekuni dapat berjalan dengan baik dan memberi manfaat bagi dirinya.
DAFTAR PUSTAKA
Buku-buku
Asikin, Z., 2012, Pengantar Tata Hukum Indonesia, Cet. 1, PT Rajagrafindo Persada, Jakarta.
Kansil, C. S. T., 2001, Hukum Perusahaan Indonesia (Aspek Hukum Dalam Ekonomi Bagian 1), Cet. 6, PT Pradnya Paramita, Jakarta.
Nadira, I., 2014, Hukum Dagang Indonesia, Cet. 2, Ratu Jaya, Medan.
Purwosutjipto, H.M.N., 2007, Pengertian Pokok Hukum Dagang Indonesia (Jilid 1: Pengetahuan Dasar Hukum Dagang, Cet. 14, Djambatan, Jakarta.
Saidin, 1997, Aspek Hukum Hak Kekayaan Intelektual (Intellectual Property Rights), Cet. 2, PT RajaGrafindo Persada, Jakarta.
Soekardono, R., 2012, Hukum Dagang Indonesia, Cet. 9, PT Dian Rakyat, Jakarta.
Sutedi, A., 2009, Hukum Kepailitan, Cet. 1, Ghalia Indonesia, Bogor.
Website/Situs Internet
Alam S. Anggara, “Sejarah Terbentuknya Hukum Perdata (BW)”, http://tentangasa.wordpress.com/2011/04/10/sejarah-terbentuknya-hukum-perdata-bw/, diakses tanggal 9 Maret 2014, jam 16:33 WIB.
Anonim, “Joint Venture”, http://goodaymo.blogspot.com/2012/10/joint-venture.html?m=1, diakses tanggal 15 Maret 2014, jam 15:25 WIB.
Anonim, “Kepercayaan Dan Kebudayaan Romawi Kuno”, http://sejarahnasionaldandunia.blogspot.com/2013/02/kepercayaan-dan-kebudayaan-romawi-kuno.html, diakses tanggal 8 Maret 2014, jam 21:43 WIB.
Anonim, “Merger dan Akuisisi”, http://id.wikipedia.org/wiki/Merger_dan_akuisisi, diakses tanggal 15 Maret 2014, jam 16:11 WIB.
Anonim, “Sistem Hukum (3) Eropa Kontinental (Civil Law)”, http://donxsaturniev.blogspot.com/2010/07/sistem-hukum-4-eropa-kontinental-civil.html, diakses tanggal 8 Maret 2014, jam 22:08 WIB.
Anonim, “Syarat Ekspor Impor”, http://b4smi.wordpress.com/2010/11/21/syarat-ekspor-impor/, diakses tanggal 13 Maret 2014, jam 21:56 WIB.
Dody Tabrani, “Perjanjian Joint Venture Modal Usaha Ventura”, http://www.ukmkecil.com/modal-usaha/perjanjian-joint-venture-modal-usaha-ventura, diakses tanggal 15 Maret 2014, jam 15:38 WIB.
Fikriyaah, “Joint Venture Di Indonesia”, http://fumarolla.wordpress.com/2009/11/22/join-venture-di-indonesia/, diakses tanggal 15 Maret 2014, jam 15:15 WIB.
Rais Rozali, “Perjanjian Lisensi/License Agreement”, http://zalirais.wordpress.com/2013/09/27/perjanjian-lisensi-license-agreement/, diakses tanggal 13 Maret 2014, jam 14:55 WIB.
Uchi Itachi, “Merger dan Akuisisi”, http://metrix-edu.blogspot.com/2012/04/merger-dan-akuisisi.html?m=1, diakses tanggal 15 Maret 2014, jam 16:15 WIB.
Lain-lain
Ahmad Syauqi, Sejarah Civil Law Dan Common Law System, Hubungannya Dalam Perkembangan Hukum Di Indonesia, Makalah Mahasiswa Universitas Mataram, 2012.
Anonim, Merger dan Akuisisi Bank Nasional: Realitas dan Tantangan, Makalah Mahasiswa HI, Jakarta, 2011.
Anonim, Pengertian Dasar Hukum Dagang, Makalah Mahasiswa USU Medan.
Irwan Nurdiyanto, Prosedur Pelaksanaan Ekspor Impor, Makalah Mahasiswa Universitas Sebelas Maret, Surakarta, 2011.
Nurin Dewi Arifiah, Pelaksanaan Perjanjian Bisnis Waralaba Serta Perlindungan Hukumnya Bagi Para Pihak (Studi Di Apotek K-24 Semarang), Tesis Mahasiswa Universitas Diponegoro, Semarang, 2008.
Kelompok 3 40