MAKALAH
“HUKUM PERLINDUNGAN KONSUMEN”
Diajukan untuk memenuhi salah satu tugas mata kuliah Hukum Dagang yang diampu oleh bapak Agus Satory, S.H., M.H.
Oleh :
DINI NURAENI 010120309
FAKULTAS HUKUM
UNIVERSITAS PAKUAN
BOGOR
2021
KATA PENGANTAR
Puji syukur kehadirat Allah SWT yang telah memberikan rahmat dan hidayah-Nya sehingga saya dapat menyelesaikan tugas makalah tentang hukum Dagang yang berjudul “HUKUM PERLINDUNGAN KONSUMEN” ini tepat pada waktunya dan tak lupa pula penulis panjatkan shalawat dan salam kepada junjungan Nabi MUHAMMAD SAW, dan keluarga juga sahabat-sahabat serta pengikutnya.
Adapun tujuan dari penulisan dari makalah ini adalah untuk memenuhi tugas bapak Agus Satory S.H, M.H pada mata kuliah Hukum Dagang. Selain itu, makalah ini juga bertujuan untuk menambah wawasan tentang hukum perlindungan konsumen bagi para pembaca dan juga bagi penulis. Saya mengucapkan terima kasih kepada bapak Agus Satory S.H, M.H selaku dosen pengajar Hukum Dagang yang telah memberikan tugas ini sehingga dapat menambah pengetahuan dan wawasan sesuai dengan bidang studi yang saya tekuni.
Saya juga mengucapkan terima kasih kepada semua pihak yang telah membagi sebagian pengetahuannya dan memberikan bantuan sehingga saya dapat menyelesaikan makalah ini. Saya menyadari, makalah yang saya tulis ini masih jauh dari kata sempurna. Oleh karena itu, kritik dan saran yang membangun akan saya nantikan demi kesempurnaan makalah ini.
Indramayu, 31 Oktober 2021
Penulis,
DAFTAR ISI
BAB HALAMAN
KATA PENGANTAR ii
DAFTAR ISI iii
BAB I PENDAHULUAN 1
Latar Belakang 1
Rumus Masalah 4
Tujuan Penulisan 4
BAB II TINJAUAN PUSTAKA 5
2.1 Definisi Perlindungan Konsumen 5
2.2 Sejarah Hukum Perlindungan Konsumen 8
BAB III PEMBAHASAN 10
3.1 Sejarah Hukum Perlindungan Konsumen di Indonesia 10
3.2 Sumber Hukum Perlindungan Konsumen 11
3.3 Kepentingan dan Transaksi Konsumen 12
3.4 Hak dan Kewajiban Konsumen dan Pelaku Usaha 13
3.5 Asas-asas Hukum Perlindungan Konsumen 15
3.6 Tujuan Hukum Perlindungan Konsumen 16
3.7 Pengertian Klausula Baku 17
BAB IV PENUTUP 20
4.1 Kesimpulan 20
4.2 Saran 22
DAFTAR PUSTAKA 23
BAB 1
PENDAHULUAN
Latar Belakang
Di Indonesia perlindungan hukum oleh negara dasar atau landasannya adalah Pancasila sebagai ideologi dan falsafah negara. Prinsip perlindungan hukum di Indonesia adalah prinsip pengakuan dan perlindungan terhadap harkat dan martabat manusia yang bersumber pada Pancasila.Perlindungan hukum pada dasarnya merupakan upaya melindungi kepentingan seseorang dengan cara mengalokasikan suatu kekuasaan kepadanya untuk bertindak dalam kepentingan tersebut. Selanjutnya, salah satu sifat dan sekaligus merupakan tujuan dari hukum adalah memberikan perlindungan (pengayoman) kepada masyarakat. Oleh karena itu, menurut Satjipto Rahardjo, perlindungan hukum terhadap masyarakat tersebut harus diwujudkan dalam bentuk adanya kepastian hukum. Perlindungan hukum dengan demikian, merupakan gambaran dari bekerjanya fungsi hukum untuk mewujudkan tujuan-tujuan hukum, yakni keadilan, kemanfaatan dan kepastian hukum.
Perlindungan hukum merupakan salah satu unsur terpenting dari suatu negara hukum, karena dalam pembentukan suatu negara hukum menyangkut pula berbagai peraturan hukum yang mengatur warga negaranya. Hal tersebut mengingat dalam suatu negara senantiasa terjadi suatu hubungan hukum antara berbagai pihak anggota masyarakat, baik warga negara maupun warga negara asing. Dari berbagai hubungan hukum yang terjadi akan melahirkan hak dan kewajiban antara pihak dan dalam hal demikian diperlukan adanya suatu perlindungan hukum bagi setiap orang. Perlindungan hukum merupakan kewajiban Negara, oleh karena itu negara wajib memberi perlindungan hukum kepada setiap orang jika dirugikan oleh pihak lain.
https://fhukum.unpatti.ac.id/jurnal/sasi/article/view/222/pdf
Sistem perekonomian yang semakin kompleks berdampak pada perubahan
konstruksi hukum dalam hubungan antara produsen dan konsumen. Perubahan
konstruksi hukum diawali dengan perubahan paradigma hubungan antara
konsumen dan produsen. Hubungan yang semula dibangun atas prinsip caveat
emptor (yang menekankan keharusan konsumen berhati-hati dalam melakukan
transaksi dengan produsen), berubah menjadi prinsip caveat venditor (yang
menekankan pada kesadaran produsen untuk melindungi konsumen).
Konstruksi hubungan hukum antara PUJK dengan konsumen semestinya setara
(equal), namun secara de facto maupun de jure konsumen ada dalam posisi yang
lemah di hadapan penyedia jasa. Terdapat banyak faktor yang menyebabkan
lemahnya posisi konsumen, antara lain adalah faktor ketidaktahuan konsumen atau
kurangnya informasi dan ketiadaan daya tawar konsumen, serta posisi konsumen
yang seolah-olah berada satu langkah di belakang pelaku usaha. Di sisi lain, PUJK
tampak lebih well informed dan powerful di hadapan konsumennya. Dapat
dikatakan bahwa seluruh rangkaian dari produk layanan jasa keuangan dipahami
dengan baik oleh penyedia jasa, namun tidak bagi konsumen. Dengan demikian,
ketidak seimbangan kedudukan hubungan hukum antara konsumen dan PUJK
dibangun itulah yang seringkali menimbulkan berbagai macam kerugian bagi
konsumen.
Berdasarkan kondisi tersebut diperlukan upaya pemberdayaan konsumen
melalui pembentukan undang-undang yang dapat melindungi kepentingan
konsumen secara integratif dan komprehensif serta dapat diterapkan secara efekƟf
di masyarakat. Peranti hukum tidak dimaksudkan untuk mematikan usaha para
pelaku usaha, tetapi justru untuk mendorong iklim berusaha yang sehat dan
melahirkan perusahaan-perusahaan yang tangguh dalam menghadapi persaingan
melalui pelayanan dan penyediaan barang dan/atau jasa yang berkualitas. Sikap
keberpihakan kepada konsumen itu juga dimaksudkan sebagai wujud kepedulian
yang tinggi terhadap konsumen (wise consumerism).
Perjanjian Baku dan Perlindungan Konsumen dalam Transaksi Bisnis Sektor Jasa Keuangan: Penerapan dan Implementasinya di Indonesia | Satory | Padjadjaran Journal of Law (unpad.ac.id)
Dalam Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen Pasal 4 menjelaskan bahwa satu hak dari konsumen adalah hak atas kenyamanan, keamanan, dan keselamatan dalam mengkonsumsi barang dan atau jasa.
Suatu produk untuk sampai kepada konsumen tidak terjadi secara langsung dari produsen, tapi selalu melalui berbagai jalur perantara seperti agen, grosir, distributor, dan pedagang eceran. Keadaan ini menambah kesulitan bagi pihak korban atau konsumen yang akan melakukan tuntutan atas kerugian yang dideritanya. Belum lagi bila rangkaian antara produsen dan konsumen melalui batas-batas nasional, maka permasalahan hukumnya akan lebih komplek lagi.
Husni Syawali dan Neni Sri Imaniyati, Op Cit.hal 49
Faktor utama yang menjadi kelemahan dari konsumen adalah tingkat kesadaran dari konsumen akan hak-haknya sebagai konsumen. Hal inilah yang sering dijadikan oleh produsen atau pelaku usaha untuk mendapatkan keuntungan sepihak. Oleh karena itu Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen, dimaksudkan agar menjadi landasan hukum yang kuat bagi masyarakat agar dapat melakukan upaya pemberdayaan konsumen melalui pembinaan dan Pendidikan konsumen.
repository.usu.ac.id, Tinjauan Yuridis terhadap Perlindungan Konsumen atas beredarnya makanan yang kadaluarsa, hlm.8
Permasalahan yang dihadapi konsumen tidak hanya sekedar bagaimana memilih barang, tetapi jauh lebih kompleks dari itu yang menyangkut pada kesadaran semua pihak, baik pengusaha, pemerintah maupun konsumen itu sendiri tentang pentingnya perlindungan konsumen. Pengusaha menyadari bahwa mereka harus menghargai hak-hak konsumen, memproduksi barang dan jasa yang berkualitas, aman untuk digunakan atau dikonsumsi, mengikuti standar yang berlaku, dengan harga yang sesuai. Pemerintah menyadari bahwa diperlukan undang-undangs erta peraturan-peraturan di segala sektor yang berkaitan dengan berpindahnya barang dan jasa dari pengusaha ke konsumen. Pemerintah juga bertugas untuk mengawasi berjalannya peraturan serta undang-undang tersebut dengan baik.
https://www.academia.edu/37741449/HUKUM_PERLINDUNGAN_KONSUMEN
Rumusan Masalah
Bagaimana sejarah hukum perlindungan konsumen di Indonesia ?
Apa sumber hukum perlindungan konsumen ?
Apa kepentingan dan transaksi konsumen ?
Apa hak dan kewajiban konsumen dan pelaku usaha ?
Apa asas hukum perlindungan konsumen ?
Apa tujuan hukum perlindungan konsumen ?
Apa klausula baku ?
1.3 Tujuan Penulisan
Untuk menjelaskan sejarah hukum perlindungan konsumen di Indonesia
Untuk menjelaskan sumber hukum perlindungan konsumen
Untuk menjelaskan kepentingan dan transaksi konsumen
Untuk menjelaskan hak dan kewajiban konsumen dan pelaku usaha
Untuk menjelaskan asas-asas hukum perlindungan konsumen
Untuk menjelaskan tujuan hukum perlindungan konsumen
Untuk menjelaskan klausula baku
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Definisi Perlindungan Konsumen
Definisi hukum konsumen menurut A.Z Nasution adalah keseluruhan asas - asas dan kaidah - kaidah hukum yang mengatur hubungan dan masalah antara berbagai pihak satu sama lain berkaitan dengan barang dan atau jasa konsumen di dalam pergaulan hidup. Sedangkan hukum perlindungan konsumen merupakan bagian dari hukum konsumen yang mengatur asas - asas atau kaidah - kaidah bersifat mengatur dan juga mengandung sifat yang melindungi kepentingan konsumen.
Berkaitan dengan pengertian hukum konsumen dan hukum perlindungan konsumen yang telah disebutkan diatas, maka ada beberapa pokok pemikiran dari pengertian perlindungan konsumen yaitu :
Hukum konsumen memiliki cakupan yang lebih luas dibandingkan dengan hukum perlindungan konsumen.
Subjek yang terlibat dalam perlindungan konsumen adalah masyarakat sebagai konsumen, dan di sisi lain pelaku usaha, atau pihak-pihak lain yang terkait, misalnya distributor, media cetak dan televisi, agen atau biro periklanan, Yayasan Lembaga Konsumen Indonesia (YLKI), Badan Pengawas Obat dan Makanan (BPOM), dan sebagainya.
Objek yang diatur adalah barang, dan/atau jasa yang ditawarkan oleh pelaku usaha/produsen kepada konsumen.
Ketidaksetaraan kedudukan konsumen dengan pelaku usaha mengakibatkan pemerintah mengeluarkan kaidah - kaidah hukum yang dapat menjamin dan melindungi konsumen.
Beberapa poin mengenai penjelasan terhadap hukum perlindungan Konsumen, empat poin di atas dijelaskan menurut pandangan umum dari pendapat para ahli hukum tentang Konsumen.
Definisi hukum perlindungan konsumen tidak dicantumkan di dalam UUPK tetapi yang dicantumkan hanya mengenai definisi perlindungan konsumen. Definisi tersebut terdapat dalam Pasal 1 angka 1 UU No.8/1999 tentang Perlindungan Konsumen , yaitu segala upaya yang menjamin adanya kepastian hukum untuk memberi perlindungan kepada konsumen. Rumusan pengertian perlindungan konsumen yang terdapat dalam Pasal l angka 1 Undang - Undang Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen (Selanjutnya disebut Undang-Undang Perlindungan Konsumen/UUPK) tersebut cukup memadai. Kalimat yang menyatakan segala upaya yang menjamin adanya kepastian hukum diharapkan sebagai benteng untuk meniadakan tindakan sewenang-wenang yang merugikan pelaku usaha hanya demi untuk kepentingan perlindungan konsumen.
Undang-Undang No 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen (UUPK 1999) mengelompokan norma-norma perlindungan konsumen (hukum materiil) ke dalam dua kelompok, yaitu:
Perbuatan yang dilarang bagi pelaku usaha (Bab IV UUPK 1999) dan
Ketentuan pencantuman klausula baku (Bab V UUPK 1999). Pengelompokan tersebut ditujukan untuk memberikan perlindungan terhadap konsumen akibat perbuatan yang dilakukan pelaku usaha.
Menurut Taufik Simatupang bidang-bidang perlindungan konsumen dapat dirinci sebagai berikut :
Keselamatan fisik
Peningkatan serta perlindungan kepentingan ekonomis konsumen.
Standar untuk keselamatan dan kualitas barang dan jasa.
Pemerataan fasilitas kebutuhan pokok.
Upaya -upaya untuk memungkinkan konsumen untuk melaksanakan tuntutan ganti kerugian.
Program pendidikan dan penyebarluasan informasi.
Pengaturan masalah - masalah khusus seperti makanan,minuman, obat - obatan dan kosmetik.
Perlindungan hukum konsumen merupakan bagian dari hukum publik dan hukum privat. Dikatakan bagian hukum publik karena sebenarnya disinilah peran pemerintah untuk melindungi seluruh konsumen dari produk produk yang tidak berkualitas atau dari pelaku usaha yang beritikad buruk. Keperluan adanya hukum untuk memberikan perlindungan konsumen Indonesia merupakan suatu hal yang tidak dapat dijelaskan, sejalan dengan tujuan pembangunan nasional kita; yaitu pembangunan manusia Indonesia seutuhnya. Mengenai peraturan perundang-undangan yang bertujuan untuk memberikan perlindungan keamanan, keselamatan atau kesehatan kepada rakyat Indonesia saat ini dapat dijumpai dalam berbagai Undang-Undang, Peraturan Pemerintah dan berbagai Peraturan atau Keputusan Menteri dari Berbagai Departemen. Peraturan Perundang-undangan tersebut antara lain seperti :
Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) Pasal 202, 203,204, 205, 263, 364, 266, 382 bis, 383, 388 dsb. Pasal-pasal tersebut mengatur pemidanaan dari perbuatan-perbuatan memasukkan bahan berbahaya ke dalam sumber air minum umum; menjual, menawarkan, menerima makan atau membagikan barang yang dapat membahayakan jiwa atau kesehatan orang;memalsukan surat; melakukan persaingan curang; melakukan penipuan terhadap pembeli; penjual, menawarkan atau menyerahkan makanan, minuman dan obat-obatan palsu. Kitab Undang-Undang Hukum Perdata Pasal 1473-1512; Pasal 1320-1338. Pasal-Pasal tersebut mengatur perbuatan yang berkaitan dengan perlindungan kepada pembeli dan perlindungan kepada pihak-pihak yang terkait dalam perjanjian.
Ordonansi Bahan-Bahan Berbahaya Tahun 1949, Ordonansi yang menentukan larangan untuk setiap pemasukan pembuatan, pengangkutan, persediaan, penjualan, penyerahan, penggunaan dan pemakaian bahan berbahaya yang bersifat racun atau berposisi racun terhadap kesehatan manusia. Undang-Undang tentang Obat Keras Tahun 1949, Undang-Undang ini memberikan kewenangan pengawasan oleh pemerintah terhadap pemasukan, pengeluaran, pengangkutan bahan-bahan obat keras yang akan diproduksi atau diedarkan.
Undang-Undang No. 23 Tahun 1992 Tentang Kesehatan. Undang Undang ini memberikan kewenangan pengawasan pemerintah terhadap hal-hal yang berkaitan dengan kesehatan.(Sekarang telah diganti Undang-Undang No. 36 Tahun 2009).
Undang-Undang No. 10 Tahun 1961 tentang Barang. Undang-Undang ini merupakan landasan untuk mengatur hal-hal yang berkaitan dengan standar barang.
Undang-Undang No. 22 Tahun 1954 tentang Undian. Undang-Undang ini ditetapkan untuk mengatur kegiatan undian, dan karena bersifat umum, maka untuk melindungi kepentingan umum tersebut perlu adanya pengawasan yang dilakukan oleh pemerintah, sehingga terjaminnya setiap janji pengelola kepada peserta undian.
Peraturan Perundang-undangan yang maksudnya memberikan perlindungan dan dalam bentuk keputusan atau peraturan Menteri, dapat ditemui dalam Bidang kesehatan seperti produksi dan pendaftaran Makanan dan Minuman, wajib Daftar Makanan, Makanan Kadaluarsa, Bahan Tambahan Makanan, Penandaan, label dsb.
Sejarah Hukum Perlindungan Konsumen
Sejarah Lahirnya Perlindungan Hukum Konsumen Aktivitas ekonomi dirasakan hidup, apabila tercipta suasana yang mendukung kelancaran arus produksi barang dan jasa dari produsen ke konsumen. Globalisasi ditandai dengan perdagangan bebas, namun belum banyak memberikan perbaikan ekonomi di Indonesia. Anggapan bahwa perdagangan bebas, menguntungkan konsumen dalam bentuk mutu dan harga barang ataupun jasa barangkali masih merupakan mitos yang diciptakan untuk mempertahankan dominasi perusahaan dan produsen atas konsumen dalam system ini. Dalam hal ini terdapat indikasi peningkatan sengketa antara produsen sebagai pelaku usaha dan konsumen. Dari sinilah kita baru disadarkan Kembali urgensinya perlindungan terhadap kepentingan-kepentingan konsumen. Gerakan konsumen internasional sejak tahun 1960 memiliki wadah yang cukup berwibawa. Yaitu International Organization of Consumers Union (IOCU) yang kemudian sejak tahun 1995 berubah nama menjadi Customers International (CI). Anggota CI menepati 203 organisasi konsumen yang berasal dari sekitar 90 negara di dunia Gerakan perlindungan konsumen berlangsung 4 tahap, dimulai dari tahun 1881 hingga tahun 1965.
Tahun 1881-1914 pada tahun globalisasi (factor eksternal) mempengaruhi perkembangan perlindungan konsumen. Sedangkan faktor internalnya bergantung pada konsumennya sendiri. Ada sebuah novel yang dikarang oleh Hampton Sinclear yang memicu banyak orang untuk membuat Gerakan perlindungan konsumen. Novel ini kurang lebih berisikan tentang pengolahan daging yang tidak higienis yang menyebabkan timbulnya penyakit.
Tahun 1920-1940 juga muncul buku berjudul ‘YOUR MONEY WORTH’ yang berisikan hak-hak konsumen. Tahun 1950-1960 Amerika Serikat, Inggris, Belanda, Australia, Belgia memprakarsai untuk mempersatukan Gerakan perlindungan konsumen. Hingga berdiri International Organisation of Consumen Union. Pada tahun 1965 terjadi pemantapan Gerakan perlindungan konsumen di tingkat nasional dan internasional. Pusatnya ;
Amerika Latin & Karibia : Chili
Asia Pasific : Malaysia
Afrika : Zimbabwe
Amerika Timur & Tengah : Inggris
Negara-negara maju : London
https://www.academia.edu/18380101/SEJARAH_LAHIRNYA_HUKUM_PERLINDUNGAN_KONSUMEN
BAB III
PEMBAHASAN
3.1 Sejarah Hukum Perlindungan Konsumen di Indonesia
Masalah perlindungan konsumen di Indonesia baru mulai terjadi pada dekade 1970-an. Hal ini ditandai dengan berdirinya Yayasan Lembaga Konsumen Indonesia selanjutnya disingkat YLKI pada bulan Mei 1973. Ketika itu, gagasan perlindungan konsumen disampaikan secara luas kepada masyarakat melalui berbagai kegiatan advokasi konsumen, seperti pendidikan, penelitian, pengujian, pengaduan, dan publikasi media konsumen. Ketika YLKI berdiri, kondisi politik bangsa Indonesia saat itu masih dibayang – bayangi dengan kampanye penggunaan produk dalam negeri. Namun seiring perkembangan waktu, gerakan perlindungan konsumen seperti yang dilakukan YLKI dilakukan melalui koridor hukum yang resmi, yaitu bagaimana memberikan bantuan hukum kepada masyarakat atas konsumen. 11 Setelah YLKI, muncul beberapa organisasi serupa, antara lain Lembaga Pembinaan dan Perlindungan Konsumen LP2K di Semarang yang berdiri sejak Februari 1988 dan pada tahun 1990 bergabung sebagai anggota Consumers International CI, Yayasan Lembaga Bina Konsumen Indonesia YLBKI dan perwakilan YLKI di berbagai provinsi di Tanah Air. 12 YLKI merupakan salah satu lembaga perlindungan konsumen swadaya masyarakat yang bisa dikatakan sebagai pelopor gerakan perlindungan konsumen pertama di Tanah Air. Tujuan pendirian lembaga ini adalah untuk 11 Happy Susanto, Op.Cit., hal.9. 12 Celina Tri Kristiyanti, Op.,Cit., hal.15. Universitas Sumatera Utara 24 membantu konsumen agar hak – hak nya bisa terlindungi. Di samping itu, tujuan YLKI adalah untuk meningkatkan kesadaran kritis konsumen tentang hak dan tanggung jawabnya sehingga bisa melindungi dirinya sendiri dan lingkungannya. 13 Gerakan konsumen Indonesia terus mengalami perkembangan, termasuk yang diprakarsai oleh YLKI mencatat prestasi besar setelah naskah akademik UU No. 8 Tahun 1999 berhasil dibawa ke DPR. 14 Gerakan dan perjuangan untuk mewujudkan sebuah undang – undang tentang perlindungan konsumen dilakukan selama bertahun – tahun. Baru pada era reformasi, keinginan terwujudnya UU No. 8 Tahun 1999 bisa terpenuhi. Pada masa pemerintahan Presiden BJ. Habibie, tepatnya pada tanggal 20 April 1999, RUUPK secara resmi disahkan sebagai UU No. 8 Tahun 1999. Masalah perlindungan konsumen kemudian ditempatkan ke dalam koridor suatu sistem hukum perlindungan konsumen yang merupakan bagian dari sistem hukum nasional. 15 Dan tanpa mengurangi penghargaan terhadap upaya yang terus – menerus dilakukan oleh YLKI, salah satu andil yang juga mendorong kehadiran UU No. 8 Tahun 1999 adalah juga karena cukup kuatnya tekanan dari dunia Internasional. Setelah pemerintah RI mengesahkan UU Nomor 7 Tahun 1994 tentang Agreement Estabilizing the world Trade Organization Persetujuan Pembentukan Organisasi Perdagangan Dunia, maka ada kewajiban bagi Indonesia untuk mengikuti standar – standar hukum yang 13 Happy Susanto, Op.Cit., hal.10. 14 Celina Tri Kristiyanti, Op.Cit., hal.17 15 Happy Susanto,Op.Cit., hal. 11. Universitas Sumatera Utara 25 berlaku dan diterima luas oleh negara – negara anggota WTO. Salah satu di antaranya adalah perlunya eksistensi UU No. 8 Tahun 1999. 16
https://text-id.123dok.com/document/oz13nrvq9-sejarah-singkat-perlindungan-konsumen-di-indonesia.html
3.2 Sumber Hukum Perlindungan Konsumen
Hukum perlindungan konsumen yang berlaku di Indonesia memiliki dasar hukum yang telah ditetapkan oleh pemerintah. Dengan adanya dasar hukum yang pasti, perlindungan terhadap hak-hak konsumen bisa dilakukan dengan penuh optimisme. Hukum Perlindungan Konsumen merupakan cabang dari Hukum Ekonomi. Alasannya, permasalahan yang diatur dalam hukum konsumen berkaitan erat dengan pemenuhan kebutuhan barang / jasa. Pada tanggal 30 Maret 1999, Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) telah menyepakati Rancangan Undang-Undang (RUU) tentang perlindungan konsumen untuk disahkan oleh pemerintah setelah selama 20 tahun diperjuangkan. RUU ini sendiri baru disahkan oleh pemerintah pada tanggal 20 april 1999.
Di Indonesia, dasar hukum yang menjadikan seorang konsumen dapat mengajukan perlindungan adalah:
Undang Undang Dasar 1945 Pasal 5 ayat (1), pasal 21 ayat(1), Pasal 21 ayat (1), Pasal 27 , dan Pasal 33.
Undang Undang No. 8 Tahun 1999 Tentang Perlindungan Konsumen (Lembaran Negara Republik Indonesia tahun 1999 No. 42 Tambahan lembaran Negara Republik Indonesia No. 3821
Undang Undang No. 5 tahun 1999 Tentang Larangan Praktek Monopoli dan Persaingan Usaha Usaha Tidak Sehat.
Undang Undang No. 30 Tahun 1999 Tentang Arbitrase dan Alternatif Penyelesaian Sengketa
Peraturan Pemerintah No. 58 Tahun 2001 tentang Pembinaan Pengawasan dan Penyelenggaraan Perlindungan Konsumen
Surat Edaran Dirjen Perdagangan Dalam Negeri No.235/DJPDN/VII/2001 Tentang Penangan pengaduan konsumen yang ditujukan kepada Seluruh dinas Indag Prov/Kab/Kota
Surat Edaran Direktur Jenderal Perdagangan Dalam Negeri No. 795 /DJPDN/SE/12/2005 tentang Pedoman Pelayanan Pengaduan Konsumen
3.3 Kepentingan dan Transaksi Konsumen
Kepentingan konsumen
Kepentingan fisik : berhubungan dengan keamanan,keselamatan tubuh dan jiwa terhadap penggunaan barang dan atau jasa.
Kepentingan sosial ekonomi : memperoleh hasil optimal dari penggunaan sumber-sumber ekonomi mereka dalam mendapatkan barang dan atau jasa kebutuhan hidup.
Kepentingan hukum : mendapatkan perlindungan dan advokasi hukum.
Transaksi konsumen
Yaitu proses terjadinya peralihan kepemilikan atau penikmatan barang dan atau jasa dari penyelenggara jasa kepada konsumen. Tahap Transaksi
Tahap pra transaksi
Mencari informasi tentang barang dan atau jasa yang akan digunakan konsumen. Informasi dapat berupa : label pada produk, pamflet, brosur, periklanan.
Tahap ini merupakan tahap penentuan pilihan konsumen.
Tahap ini konsumen rentan untuk dirugikan oleh pelaku usaha.
Tahap ini konsumen harus hati-hati, teliti dan cermat.
Tahap transaksi
Telah terjadinya kesepakatan antara konsumen dengan pelaku usaha
Terjadinya peralihan barang dan atau jasa.
Tahap purna transaksi
Transaksi konsumen telah terjadi dan pelaksanaannya telah diselenggarakan.
Pada tahap ini terjadi adanya barang dan atau jasa yang tidak memenuhi harapan sebelumnya, tidak sesuai dengan mutu produk dan layanan purna jual yang dijanjikan pengusaha tidak cocok tentang jaminan mutu atau garansi.
https://www.academia.edu/37741449/HUKUM_PERLINDUNGAN_KONSUMEN
3.4 Hak dan Kewajiban Konsumen dan Pelaku Usaha
Hak-hak konsumen
Sesuai dengan Pasal 5 Undang-undang Perlindungan Konsumen, Hak-hak Konsumen adalah :
Hak atas kenyamanan, keamanan dan keselamatan dalam mengkonsumsi barang dan/atau jasa;
Hak untuk memilih barang dan/atau jasa serta mendapatkan barang dan/atau jasa tersebut sesuai dengan nilai tukar dan kondisi serta jaminan yang dijanjikan;
Hak atas informasi yang benar, jelas dan jujur mengenai kondisi dan jaminan barang dan/atau jasa;
Hak untuk didengar pendapat dan keluhannya atas barang dan/atau jasa yang digunakan;
Hak untuk mendapatkan advokasi, perlindungan dan upaya penyelesaian sengketa perlindungan konsumen secara patut;
Hak untuk mendapat pembinaan dan pendidikan konsumen;
Hak untuk diperlakukan atau dilayani secara benar dan jujur serta tidak diskriminatif;
Hak untuk mendapatkan kompensasi, ganti rugi/penggantian, apabila barang dan/atau jasa yang diterima tidak sesuai dengan perjanjian atau tidak sebagaimana mestinya;
Hak-hak yang diatur dalam ketentuan peraturan perundang-undangan lainnya.
Kewajiban konsumen
Sesuai dengan Pasal 5 Undang-undang Perlindungan Konsumen, Kewajiban Konsumen adalah :
Membaca atau mengikuti petunjuk informasi dan prosedur pemakaian atau pemanfaatan barang dan/atau jasa, demi keamanan dan keselamatan;
Beritikad baik dalam melakukan transaksi pembelian barang dan/atau jasa;
Membayar sesuai dengan nilai tukar yang disepakati;
Mengikuti upaya penyelesaian hukum sengketa perlindungan konsumen secara patut.
https://rennymagdawiharnani.wordpress.com/sih/hukum-dagang/dasar-hukum-perlindungan-konsumen/
Hak-hak pelaku usaha
Hak untuk menerima pembayaran yang sesuai dengan kesepakatan mengenai kondisi dan nilai tukar barang dan atau jasa yang diperdagangkan
Hak untuk mendapatkan perlindungan hukum dari tindakan konsumen yang beritikad tidak baik.
Hak untuk melakukan pembelaan diri sepatutnya di dalam penyelesaian hukum sengketa konsumen.
Hak untuk rehabilitasi nama baik apabila terbukti secara hukum bahwa kerugian konsumen tidak diakibatkan oleh barang dan atau jasa yang diperdagangkan.
Kewajiban pelaku usaha
Beritikad baik dalam melakukan kegiatan usahanya.
Memberikan informasi yang benar, jelas dan jujur mengenai kondisi dan jaminan barang dan atau jasa serta memberi penjelasan penggunaan, perbaikan dan pemeliharaan.
Memperlakukan atau melayani konsumen secara benar dan jujur serta tidak diskriminatif.
Menjamin mutu barang dan atau jasa yang diproduksi dan atau diperdagangkan berdasarkan ketentuan standar mutu barang dan atau jasa yang berlaku.
Memberikan kesempatan kepada konsumen untuk menguji,dan atau mencoba barang dan atau jasa tertentu serta memberi jaminan dan atau garansi atas barang yang dibuat dan atau diperdagangkan.
Memberi kompensasi, ganti rugi, dan atau penggantian atas kerugian akibat penggunaan, pemakaian dan pemanfaatan barang dan atau jasa yang diperdagangkan.
Memberikan kompensasi, ganti rugi dan atau penggantian apabila barang dan jasa yang diterima atau dimanfaatkan tidak sesuai dengan perjanjian.
3.5 Asas-asas Hukum Perlindungan Konsumen
Asas Manfaat; mengamanatkan bahwa segala upaya dalam penyelenggaraan perlindungan konsumen harus memberikan manfaat sebesar-besarnya bagi kepentingan konsumen dan pelaku usaha secara keseluruhan,
Asas Keadilan; partisipasi seluruh rakyat dapat diwujudkan secara maksimal dan memberikan kesempatan kepada konsumen dan pelaku usaha untuk memperoleh haknya dan melaksanakan kewajibannya secara adil,
Asas Keseimbangan; memberikan keseimbangan antara kepentingan konsumen, pelaku usaha, dan pemerintah dalam arti materil maupun spiritual,
Asas Keamanan dan Keselamatan Konsumen; memberikan jaminan atas keamanan dan keselamatan kepada konsumen dalam penggunaan, pemakaian dan pemanfaatan barang dan/atau jasa yang dikonsumsi atau digunakan;
Asas Kepastian Hukum; baik pelaku usaha maupun konsumen mentaati hukum dan memperoleh keadilan dalam penyelenggaraan perlindungan konsumen, serta negara menjamin kepastian hukum.
3.6 Tujuan Hukum Perlindungan Konsumen
Sesuai dengan pasal 3 Undang-undang Perlindungan Konsumen, tujuan dari Perlindungan Konsumen adalah
Meningkatkan kesadaran, kemampuan dan kemandirian konsumen untuk melindungi diri,
Mengangkat harkat dan martabat konsumen dengan cara menghindarkannya dari ekses negatif pemakaian barang dan/atau jasa,
Meningkatkan pemberdayaan konsumen dalam memilih, menentukan dan menuntut hak-haknya sebagai konsumen,
Menciptakan sistem perlindungan konsumen yang mengandung unsur kepastian hukum dan keterbukaan informasi serta akses untuk mendapatkan informasi,
Menumbuhkan kesadaran pelaku usaha mengenai pentingnya perlindungan konsumen sehingga tumbuh sikap yang jujur dan bertanggung jawab dalam berusaha,
Meningkatkan kualitas barang dan/atau jasa yang menjamin kelangsungan usaha produksi barang dan/atau jasa, kesehatan, kenyamanan, keamanan dan keselamatan konsumen.
3.7 Pengertian Klausula Baku
Klausula baku menurut UUPK
Pengaturan klausula baku dalam produk undang-undang untuk pertama kalinya diatur dalam UUPK, yang memberi batasan bahwa klausula baku adalah setiap aturan atau ketentuan dan syarat-syarat yang telah dipersiapkan dan ditetapkan terlebih dahulu secara sepihak oleh pelaku usaha, yang dituangkan dalam suatu dokumen dan atau perjanjian yang mengikat dan wajib dipenuhi oleh konsumen. Penekanannya adalah pada prosedur pembuatan yang bersifat sepihak, bukan mengenai isinya. Padahal, pengertian ‘klausula eksonerasi’ tidak hanya mempersoalkan prosedur pembuatannya, melainkan juga isinya yang bersifat pengalihan kewajiban atau tanggung jawab pelaku usaha.
Secara umum klausula baku yang dimuat dalam perjanjian baku tidak dilarang dan tetap berlaku bagi para pihak yang membuat transaksi. Larangan hanya pada pencantuman klausula baku yang disebut eksonerasi, yaitu klausula yang membebaskan, membatasi atau mengalihkan tanggung jawab pelaku usaha yang pada gilirannya akan memberatkan atau merugikan konsumen dari praktik pencantuman klausula baku tersebut. UUPK telah memberikan rambu-rambu perbuatan yang dilarang untuk mencantumkan klausula baku yang diatur dalam Pasal 18 ayat (1) UUPK. Dalam ketentuan Pasal 18 ayat (1) UUPK menentukan bahwa pelaku usaha
dalam menawarkan barang atau jasa yang ditujukan untuk diperdagangkan dilarang membuat atau mencantumkan klausula baku pada setiap dokumen dan atau perjanjian dimana klausula tersebut akan mengakibatkan:
Pengalihan tanggung jawab pelaku usaha;
Menyatakan bahwa pelaku usaha berhak menolak penyerahan kembali barang yang dibeli konsumen;
Menyatakan bahwa pelaku usaha berhak menolak penyerahan Kembali uang yang dibayarkan atas barang atau jasa yang dibeli konsumen;
Menyatakan pemberian kuasa dari konsumen kepada pelaku usaha, baik secara langsung maupun tidak langsung untuk melakukan segala tindakan sepihak yang berkaitan dengan barang yang dibeli oleh konsumen secara angsuran;
Mengatur perihal pembuktian atas hilangnya kegunaan barang atau jasa yang dibeli oleh konsumen;
Memberi hak kepada pelaku usaha untuk mengurangi manfaat jasa atau
mengurangi harta kekayaan konsumen yang menjadi objek jual beli jasa;
Menyatakan tunduknya konsumen kepada peraturan yang berupa aturan baru, tambahan, lanjutan dan atau pengubahan lanjutan yang dibuat sepihak oleh pelaku usaha dalam masa konsumen memanfaatkan jasa yang dibelinya;
Menyatakan bahwa konsumen memberi kuasa kepada pelaku usaha untuk
membebankan hak tanggungan, hak gadai atau hak jaminan terhadap barang yang dibeli oleh konsumen secara angsuran.
Selanjutnya Pasal 18 ayat (2) UUPK menentukan bahwa pelaku usaha dilarang mencantumkan klausula-klausula baku yang letak atau bentuknya sulit terlihat atau tidak dapat dibaca secara jelas atau yang pengungkapannya sulit dimengerti. Sebagai konsekuensi atas pelanggaran terhadap ketentuan Pasal 18 ayat (1) dan (2) tersebut dalam Pasal 18 ayat (3) UUPK dinyatakan 'batal demi hukum' atas setiap klausula baku yang telah ditetapkan pelaku usaha pada dokumen atau perjanjian yang memuat ketentuan yang dilarang Pasal 18 ayat (1) maupun Pasal 18 ayat (2) tersebut.
Pelaku usaha yang mencantumkan klausula baku dengan letak atau bentuk
seperti diuraikan di atas dalam dokumen atau perjanjian baku yang dibuatnya dikenakan sanksi sebagai berikut:
Sanksi Perdata
Perjanjian standar yang dibuat oleh pelaku usaha jika digugat di depan pengadilan oleh konsumen, akan menyebabkan hakim harus membuat keputusan bahwa perjanjian baku tersebut batal demi hukum;
Pelaku usaha yang pada saat ini telah mencantumkan klausula baku dalam dokumen atau perjanjian baku yang digunakannya wajib merevisinya agar sesuai dengan UUPK;
Konsumen yang dirugikan akibat pencantuman klausula baku dapat menuntut ganti rugi secara perdata.
Sanksi Pidana
Pelaku usaha yang melanggar ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 18, menurut Pasal 62 ayat (1) UU PK dipidana dengan pidana penjara paling lama 5 (lima) tahun atau pidana denda paling banyak Rp2.000.000.000,00 (dua miliar rupiah). Selanjutnya beberapa hukuman tambahan menurut Pasal 63 UUPK, dapat berupa:
Perampasan barang tertentu
Pengumuman keputusan hakim
Pembayaran ganti rugi
Kewajiban penarikan barang dari peredaran
Pencabutan izin usaha
Perjanjian Baku dan Perlindungan Konsumen dalam Transaksi Bisnis Sektor Jasa Keuangan: Penerapan dan Implementasinya di Indonesia | Satory | Padjadjaran Journal of Law (unpad.ac.id)
BAB IV
KESIMPULAN DAN SARAN
Kesimpulan
Perlindungan hukum merupakan salah satu unsur terpenting dari suatu negara hukum, karena dalam pembentukan suatu negara hukum menyangkut pula berbagai peraturan hukum yang mengatur warga negaranya. Selama masih banyak konsumen yang dirugikan, masalahnya tidak akan pernah tuntas. Hak konsumen yang diabaikan oleh pelaku usaha perlu di cermati secara seksama. Jika tidak berhati-hati dalam memilih produk barang/jasa yang diinginkan,konsumen hanya akan menjadi objek eksploitasi dari pelaku usaha yang tidak bertanggung jawab. Tanpa disadari, konsumen menerima begitu saja barang/jasa yang dikonsumsinya. konstruksi hukum dalam hubungan antara produsen dan konsumen. konsumen dan produsen. Hubungan yang semula dibangun atas prinsip caveat. lemah di hadapan penyedia jasa. Terdapat banyak faktor yang menyebabkan. yang seolah-olah berada satu langkah di belakang pelaku usaha dengan baik oleh penyedia jasa, namun tidak bagi konsumen di masyarakat. Peranti hukum tidak dimaksudkan untuk mematikan usaha para melalui pelayanan dan penyediaan barang dan/atau jasa yang berkualitas yang tinggi terhadap konsumen (wise consumerism). Suatu produk untuk sampai kepada konsumen tidak terjadi secara langsung dari produsen, tapi selalu melalui berbagai jalur perantara seperti agen, grosir, distributor, dan pedagang eceran. Keadaan ini menambah kesulitan bagi pihak korban atau konsumen yang akan melakukan tuntutan atas kerugian yang dideritanya. Faktor utama yang menjadi kelemahan dari konsumen adalah tingkat kesadaran dari konsumen akan hak-haknya sebagai konsumen. Hal inilah yang sering dijadikan oleh produsen atau pelaku usaha untuk mendapatkan keuntungan sepihak. Pengusaha menyadari bahwa mereka harus menghargai hak-hak konsumen, memproduksi barang dan jasa yang berkualitas, aman untuk digunakan atau dikonsumsi, mengikuti standar yang berlaku, dengan harga yang sesuai. Pemerintah menyadari bahwa diperlukan undang-undangs erta peraturan-peraturan di segala sektor yang berkaitan dengan berpindahnya barang dan jasa dari pengusaha ke konsumen. Perlindungan hukum konsumen merupakan bagian dari hukum publik dan hukum privat. Dikatakan bagian hukum publik karena sebenarnya disinilah peran pemerintah untuk melindungi seluruh konsumen dari produk produk yang tidak berkualitas atau dari pelaku usaha yang beritikad buruk. Pasal-pasal tersebut mengatur pemidanaan dari perbuatan-perbuatan memasukkan bahan berbahaya ke dalam sumber air minum umum; menjual, menawarkan, menerima makan atau membagikan barang yang dapat membahayakan jiwa atau kesehatan orang;memalsukan surat; melakukan persaingan curang; melakukan penipuan terhadap pembeli; penjual, menawarkan atau menyerahkan makanan, minuman dan obat-obatan palsu. Pasal-Pasal tersebut mengatur perbuatan yang berkaitan dengan perlindungan kepada pembeli dan perlindungan kepada pihak-pihak yang terkait dalam perjanjian. Ordonansi Bahan-Bahan Berbahaya Tahun 1949, Ordonansi yang menentukan larangan untuk setiap pemasukan pembuatan, pengangkutan, persediaan, penjualan, penyerahan, penggunaan dan pemakaian bahan berbahaya yang bersifat racun atau berposisi racun terhadap kesehatan manusia. Undang-Undang tentang Obat Keras Tahun 1949, Undang-Undang ini memberikan kewenangan pengawasan oleh pemerintah terhadap pemasukan, pengeluaran, pengangkutan bahan-bahan obat keras yang akan diproduksi atau diedarkan. 23 Tahun 1992 Tentang Kesehatan. Undang Undang ini memberikan kewenangan pengawasan pemerintah terhadap hal-hal yang berkaitan dengan kesehatan.(Sekarang telah diganti Undang-Undang No. 10 Tahun 1961 tentang Barang. Undang-Undang ini merupakan landasan untuk mengatur hal-hal yang berkaitan dengan standar barang. 22 Tahun 1954 tentang Undian. Undang-Undang ini ditetapkan untuk mengatur kegiatan undian, dan karena bersifat umum, maka untuk melindungi kepentingan umum tersebut perlu adanya pengawasan yang dilakukan oleh pemerintah, sehingga terjaminnya setiap janji pengelola kepada peserta undian. Anggapan bahwa perdagangan bebas, menguntungkan konsumen dalam bentuk mutu dan harga barang ataupun jasa barangkali masih merupakan mitos yang diciptakan untuk mempertahankan dominasi perusahaan dan produsen atas konsumen dalam system ini. Gerakan konsumen internasional sejak tahun 1960 memiliki wadah yang cukup berwibawa. Ada sebuah novel yang dikarang oleh Hampton Sinclear yang memicu banyak orang untuk membuat Gerakan perlindungan konsumen. Novel ini kurang lebih berisikan tentang pengolahan daging yang tidak higienis yang menyebabkan timbulnya penyakit. Tahun 1920-1940 juga muncul buku berjudul ‘YOUR MONEY WORTH’ yang berisikan hak-hak konsumen. Tahun 1950-1960 Amerika Serikat, Inggris, Belanda, Australia, Belgia memprakarsai untuk mempersatukan Gerakan perlindungan konsumen.
Saran
Dari kesimpulan diatas perlindungan konsumen sangat penting bagi konsumen sendiri, dengan adanya dasar hukum konsumen dapat melindungi konsumen dari hal-hal yang akan merugikan konsumen yang ditimbulkan pelaku usaha.
DAFTAR PUSTAKA
https://fhukum.unpatti.ac.id/jurnal/sasi/article/view/222/pdf
Perjanjian Baku dan Perlindungan Konsumen dalam Transaksi Bisnis Sektor Jasa Keuangan: Penerapan dan Implementasinya di Indonesia | Satory | Padjadjaran Journal of Law (unpad.ac.id)
Husni Syawali dan Neni Sri Imaniyati, Op Cit.hal 49
repository.usu.ac.id, Tinjauan Yuridis terhadap Perlindungan Konsumen atas beredarnya makanan yang kadaluarsa, hlm.8
(2) (DOC) HUKUM PERLINDUNGAN KONSUMEN | Azmam Aufa - Academia.edu
(2) (DOC) SEJARAH LAHIRNYA HUKUM PERLINDUNGAN KONSUMEN | Boulevard Shop - Academia.edu
| Page