Peran Aktif Media dalam Komunikasi Politik
MAKALAH
Makalah diajukan untuk untuk memenuhi tugas dalam mata kuliah Komunikasi Politik
Dosen Pengampu: Dr. Abu Khaer, MA.
Disusun oleh:
Agus Miftahorrahman
1810100008
FAKULTAS AGAMA ISLAM
KOMUNIKASI PENYIARAN ISLAM
UNIVERSITAS NURUL JADID
PAITON PROBOLINGGO
2020
KATA PENGANTAR
بسم الله الر حمن الر حيم
Alhamdulillah segala puji dan syukur penulis panjatkan kepada Tuhan Yang Maha Esa, yang telah memberikan rahmat dan hidayah-Nya serta keselamatan bagi kita semua. Sehingga penulisan makalah ini dapat diselesaikan.
Sholawat serta salam semoga tercurah limpahkan kepada teladan kita Nabi Muhammad SAW, Berkat rahmat dan hidayahnya penulis dapat menyelesaikan tugas ini yaitu mata kuliah komunikasi politik dengan judul makalah “Peran Aktif Media dalam Komunikasi Politik”, dengan harapan dapat memberikan manfaat bagi kita semua.
Dalam penulisan makalah ini penulis ucapkan terimakasih kepada teman-teman yang telah membantu dalam pembuatan makalah ini, khususnya kepada dosen pengampu, yang telah memberikan tugas dan petunjuk kepada penulis.
Dalam penulisan makalah ini penulis merasa masih banyak kekurangan baik dari teknis penulisan maupun materi, mengingat akan kemampuan yang dimiliki penulis. Untuk itu kritik dan saran dari semua pihak sangat penulis harapkan demi penyempurnaan makalah ini. Semoga makalah ini dapat memberikan wawasan yang lebih luas kepada pembaca.
Situbondo, 01 November 2020
Penulis,
.
Agus Miftahorrahman
DAFTAR ISI
KATA PENGANTAR 2
DAFTAR ISI 3
BAB I 4
1.1 Latar Belakang 4
1.2 Rumusan Masalah 5
1.3 Tujuan Penelitian 5
BAB II 6
2.1 Pengaruh Media dalam Praktik Komunikasi Politik 6
2.2 Media dan Pengawasan Komunikasi Politik 9
PENUTUP 11
DAFTAR PUSTAKA 12
BAB I
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Transformasi politik menjadi bagian dari kontribusi media. Kini media memiliki kontribusi besar dalam membangun pemahaman masyarakat hingga perilaku politiknya. Dalam merespons perubahan politik pasca Orde Baru, sebagian pekerja media menghadapi realitas politik yang penuh dinamika. Kondisi demikian melahirkan perubahan perilaku politik di kalangan masyarakat. Salah satu faktor determinan adalah publikasi media yang memberitakan transformasi politik dan pers memiliki kebebasan berekspresi sehingga dalam pemberitaannya cenderung independen. Hal inilah yang melatari terjadinya perubahan perilaku politik masyarakat di sejumlah daerah di Indonesia.
Berbagai persoalan yang mengiringi pola dan intensitas berpolitik di kalangan yang dilatari dari besarnya pengaruh media massa. Hal ini menarik dicermati dalam paradigma akademik. Justru aspek yang cukup menarik namun belum mendapat perhatian akademik yang baik, adalah pada dimensi media.
Mencermati berbagai tayangan media yang bermuatan media terutama yang bermuatan politik mengalami proses dekonstruksi terjadi melalui proses penafsiran kemudian menjadi realitas sosial baru dalam kesadaran umum melalui tahap eksternalisasi, subjektifikasi, dan internalisasi yang berlangsung dalam proses konstruksi sosial media dalam media.
Dalam perspektif media komunikasi Indonesia kontemporer, kehadiran media massa menghadapi dilema terkait dengan tuntutan reformasi media massa. Terutama terkait dengan komunikasi politik, Idy Subandy Ibrahim mencermati komunikasi politik pasca reformasi ditandai dengan meleburnya politik dalam budaya pop.
Idy Subandy Ibrahim, Budaya Populer sebagai Komunikasi: Dinamika Popscape dan Mediascape di Indonesia Kontemporer, (Jakarta: Jalasutra, 2007), h. 189
Salah satu elemen demokrasi adalah kebebasan pers yang kelak membangun kesadaran politik masyarkat. Kontribusi media cukup signifikan terhadap konstruk kesadaran, pemahaman dan perilaku politik masyarakat, termasuk kehadiran media yang turut mempengaruhi perilaku politik. Masyarakat memasuki era baru yang dikenal era reformasi, yang ditandai mundurnya Soeharto sebagai presiden 21 Mei 1998 melahirkan liberalisasi dan relaksasi politik. Pada era ini, konstelasi politik di tanah air mengalami transformasi paradigma dan sistem cukup signifikan.
Bachtiar Effendi, Repolitisasi Islam: Pernahkah Islam Berhenti Berpolitik? (Bandung: Mizan, 2000), h.195
Berbagai persoalan yang mengiringi pola dan intensitas berpolitik di kalangan yang dilatari dari besarnya pengaruh media massa. Hal ini menarik dicermati dalam paradigma akademik. Justru aspek yang cukup menarik namun belum mendapat perhatian akademik yang baik, adalah pada dimensi media. Hal ini dianggap unik sebab pola politik media terkadang sulit diukur melalui pendekatan media dan kaitannya dengan perilaku politik secara normatif bahkan empiris.
Berdasarkan latar belakang persoalan ini, maka tulisan ini berusaha mencari rumusan bagaimana peran media membentuk kesadaran politik masyarakat, apakah pemberitaan politik media massa mendukung kegiatan politik masyarakat dan bagaimana politikus membentuk pencitraan dirinya melalui media dalam kegiatan politik dalam masyarakat.
1.2 Rumusan Masalah
Dalam makalah yang Kami susun ini, Kami berusaha untuk menemukan beberapa inti masalah dalam serta korelasi antara media dan komunikasi politik serta efek timpal balik antara keduanya. Berdasarkan hal tersebut, Kami telah menentukan beberapa rumusan masalah yang Kami angkat dalam makalah ini sebagai berikut ;
Apa saja pengaruh media dalam komunikasi politik
Bagaimana media memberikan pengaruh dan melakukan pengawasan dalam komunikasi politik?
1.3 Tujuan Penelitian
Adapun beberapa tujuan dari penyusunan makalah ini adalah untuk menemukan jawaban dari rumusan masalah yang kami susun diantaranya sebagai berikut ;
Pengaruh apa saja yang media berikan terhadap praktisi komunikasi politik di Indonesia
Bagaimana cara media memberikan pengaruh dan melakukan pengawasan terhadap praktik komunikasi politik di Indonesia
BAB II
PEMBAHASAN
2.1 Pengaruh Media dalam Praktik Komunikasi Politik
Dari berbagai literatur yang dikaji mengenai komunikasi politik, umumnya dikaitkan dengan peranan media massa dalam proses komunikasi yang dilaluinya. Hal ini mencerminkan adanya kecenderungan makalah dan karya tulis yang terkait komunikasi politik masih didominasi mengenai kampanye politik untuk mendulang suara atau membangun kekuatan politik yang diorientasikan pada kekuasaan.
Kampanye politik tersebut tidak bisa melepaskan diri dari pengaruh media massa, baik media cetak maupun elektronik. Konsekuensinya, pendekatan analisis yang digunakannyapun pada gilirannya lebih banyak menggunakan analisis media massa, terutama berkaitan dengan teori-teori hubungan antara media dan masyarakat, seperti teori tentang pesan, mekanisme penyebaran informasi yang terjadi, serta efek-efek psikologis dan sosiologis yang ditimbulkannya. Terkait dengan hal ini, Kraus dan Davis dalam bukunya The Effects of Mass Communication on Political Behaviour menegaskan tema komunikasi politik telah dilakukan dan dipublikasikan sejak 1959, memberikan informasi bahwa media juga melakukan konstruksi realitas politik dalam masyarakat. Di samping itu, juga mengungkap masalah-masalah posisi komunikasi politik dalam kasus-kasus kegiatan politik praktis dalam proses transformasi dan pembentukan komunikasi politik masyarakat.
Kraus dan Davis, The Effects of Mass Communication on Political Behaviour.
New York: Hasting House Publiahers, 1975. h, 19-59
Sementara itu, Graber memandang bahwa komunikasi politik merupakan proses pembelajaran, penerimaan dan persetujuan atas kebiasaan-kebiasaan (customs) atau aturan-aturan (rules), struktur, dan faktor-faktor lingkungan yang berpengaruh terhadap kehidupan politik. Sementara itu, Dan D. Nimmo dan Keith Sanders dalam Handbook of Political Communication (1981), juga mengungkap masalah-masalah komunikasi politik dalam kasus-kasus kegiatan politik praktis yang dikaitkan dengan peran media massa. Dalam konteks komunikasi politik, Dan Nimmo menjelaskan pengaruh-pengaruh politik dimobilisasi dan ditransmisikan antara institusi pemerintahan formal di satu sisi dan komunikasi memilih masyarakat pasa sisi lain.
Pada prinsipnya, komunikasi politik tidak hanya terbatas pada even-even politik seperti pemilu saja, tetapi komunikasi politik mencakup segala bentuk komunikasi yang dilakukan dengan maksud menyebarkan pesan-pesan politik dari pihak-pihak tertentu untuk memperoleh dukungan massa. Secara teoritis fenomena komunikasi politik yang berlangsung dalam suatu masyarakat, seperti telah diuraikan sebelumnya, merupakan bagian yang tak terpisahkan dari dinamika politik, tempat komunikasi itu berlangsung. Karena itu, kegiatan komunikasi politik di Indonesia juga tidak bisa dilepaskan dari proses politik nasional yang menjadi latar kehidupannya.
Untuk memahami kerangka konseptual pergumulan politik di Indonesia, dikenal konsep "revolusi partisipasi" akan dicoba diadaptasi. Partisipasi politik ormas yang mengawali ledakannya pada awal 1990-an dan kemudian semakin tidak terbendung lagi pada saat menjelang suksesi 1997. Tulisan itu pun sesungguhnya diadaptasi dari konsep "revolusi partisipasi" Perkembangan teoretis dalam studi ilmu politik yang me- nyangkut lahirnya konsep partisipasi politik dan ciri-ciri teori partisipasi politik yang berorientasi Barat. Hal ini sulit dihindari, karena menurutnya, sifat-sifat yang biased dan western-oriented merupakan ciri pertarna dan teori partisipasi politik Barat. Apa yang dapat diadaptasi dan teori-teori tersebut dalam konteks ini adalah bahwa partisipasi politik.
Samuel C Patterson, A More Perfect Union: Introduction to American Government. New York: Hasting House Publiahers, 1975.
Blake dan Haroldaen dalam A Taxonomy of Concepts in Communication menyatakan bahwa "komunikasi politik adalah komunikasi yang memiliki pengaruh aktual dan potensial mengenai fungsi dari pernyataan politik atau entitas politik lainnya".
Blake Reed H. and Edwin 0. Haroldaen, A Taxonomy of Concepts in Communication, (New York: Hasting House Publiahers, 1975), h. 44. Sedangkan Dan Nimmo mendefinisikan "komunikasi politik sebagai kegiatan komunikasi yang berdasarkan konsekuensinya (aktual maupun potensial) mengatur kegiatan manusia di dalam situasi konflik.
Dan Nimmo, Political Communication and Publik Opinion and America, diterbitkan Goodyear Pubhlising, edisi Indonesianya, Komunikasi Politik: Khalayak dan Efek, Bandung; Rosda Karya, 2000.
Jika kita mengambil definisi komunikasi politik Blake di atas maka jelas bahwa untuk mengetahui "pernyataan politik" dan fungsi atau pengaruhnya maka media massa merupakan salah satu saluran komunikasi yang paling penting, selain komunikator dan isi pesan itu sendiri.
Adapun prinsip-prinsip komunikasi politik: pertama, konsistensi. Dalam melakukan komunikasi politik, informasi yang disampaikan harus konsisten dengan substansi platform partai dan konsisten terhadap paradigma partai dan solusi atas problem-problem yang dihadapi oleh konstituen dan publik. Kedua, replikasi. Dalam melakukan komunikasi politik, informasi harus disampaikan berulang kali, sehingga konstituen dan publik paham betul dengan content/isi platform partai dan apa yang sedang diperjuangkan oleh partai. Ketiga, evidence. Dalam komunikasi politik informasi yang disampaikan oleh partai harus ada dan dapat dibuktikan kebenaran dan eksistensinya.
Begitu pula partai harus memberikan bukti-bukti konkrit atas apa yang telah dan sedang mereka kerjakan. Kebanyakan makalah komunikasi, menurut Halloran, tidak seimbang antara makalah mengenai akibat yang ditimbulkan oleh komunikasi di satu sisi dan peran komunikator itu dalam mendisain isi pesan di sisi lain. Dalam komunikasi massa, misalnya, makalah lebih banyak menitikberatkan pada masalah efek atau pengaruh media terhadap khalayak daripada apa yang se- benarnya mempengaruhi isi media. Keadaan ini juga berlaku pada makalah media dan politik.
Pentingnya media massa dalam penyebaran politik diuraikan Reese dan Shoemaker telah coba membuka tabir tentang faktor-faktor yang sangat mempengaruhi isi media. Menurutnya, terdapat sejumlah faktor yang berpengaruh terhadap isi suatu media, di antaranya adalah pengaruh pekerja media (penyiar atau jurnalis), pengaruh organisasi media, pengaruh ekstramedia, dan pengaruh ideologi.
Lihat Pamela J. Shoemaker and Stephen D. Reese, Mediating the Massage: Theories of Influences on Mass Media Content, 2nd edition, (New York: Longman, 1996). Makalah Reese dan Shoemaker tersebut menunjukkan bahwa pengaruh "siapa" (menurut taksonomi Lasswell) atau "kelompok yang mempengaruhi isi media" (menurut Reese dan Sheomaker) atau juga "komunikator politik" (yang oleh Nimmo disebut sebagai komunikator profesional) dalam menyampaikan "isi pesan" ternyata tidak kalah pentingnya dari pengaruh lainnya, seperti "media", "khalayak", dan "efek atau akibat komunikasi" yang dilakukan.
Berkaitan dengan posisi penting komunikator dalam menentukan isi media, Nimmo secara detil membagi komunikator politik ke dalam tiga kelompok, yaitu politikus, profesional, dan aktivis. Politikus sebagai komunikator politik dalam pelaksanaannya terkadang bertindak sebagai wakil partisan dan terkadang pula bertindak sebagai ideolog. sebagai wakil partisipan, komunikator politik mewakili kelompok tertentu dalam tawar-menawar dan mencari kompromi pada masalah- masalah politik. Mereka bertindak dengan tujuan mempengaruhi opini orang lain, mengejar perubahan atau mencegah perubahan opini. Mereka adalah makelar yang membujuk orang lain agar ikut dan setuju dengan ide yang ditawarkannya.
Anwar Arifin, Komunikasi Politik: Paradigma, Teori, Aplikasi, Strategi dan Komunikasi Politik Indonesia, Jakarta: Balai Pustaka, 2003.
Salah satu karya yang mengungkap landasan teoritis tentang komunikasi politik terungkap dalam buku Political Communication, Issues and Strategies for Research. Buku yang disunting Steven H. Chaffee (1975) ini juga mengungkap kasus di lapangan yang masih terbatas pada kegiatan-kegiatan politik praktis.
Dalam operasionalisasinya, komunikasi politik dikembangkan berdasarkan sejumlah teori tindakan komunikatif terkait rasio dan rasionalisasi masyarakat dikembangkan para ilmuan komunikasi. Di antaranya, Jurgen Habermas menulis Theori des Kommunikativen Handelns, secara umum menerangkan bahwa; the theory of communicative action memiliki tiga tujuan yang terkait satu sama lain:
Mengembangkan konsep rasionalitas yang tidak lagi terikat pada dan dibatasi oleh premis-premis subjektif filsafat modern dan teori sosial.
Merekonstruksi konsep masyarakat dua-level yang mengintegrasikan dunia kehidupan dan paradigma sistem.
Mensketsakan, berdasarkan latar belakang di atas, teori kritis tentang modernitas yang menganalisis dan membahas patalogi-patalogi dengan suatu cara yang lebih menyarankan adanya perubahan arah daripada pengabaian proyek pencerahan.
Jurgen Habermas, Theori des Kommunikativen Handelns, Bab I: Handlungsrationalitat und gesellschaftliche Rationalisierung, Suhrkamp Verlag, 1981.
2.2 Media dan Pengawasan Komunikasi Politik
Dalam perspektif Allan G. Johnson yang menegaskan bahwa sistem sosial dalam struktur organisasi sebagai alternatif menguatnya pengaruh individu.
Allan G. Johnson, The Blackwell Dictionary of Sociology: A User's Guide to Sosiological Language, (First Publiseh, USA, 1995), h. 225. Jika perspektif ini diadopsi, maka tampaknya rasionalitas masyarakat dalam menentukan pilihan politiknya banyak dipengaruhi dari akses berita politik media. Dalam realitasnya, aspek rasionalitas masyarakat dalam menentukan pilihan-pilihan politiknya pada umumnya masih dipengaruhi pemberitaan media. Pilihan politik yang mengedepankan rasionalitas, sejatinya diputuskan berdasarkan hati nurani atau pilihannya secara personal tanpa intervensi siapapun. Menurut Allan G. Johnson, pilihan rasional ditentukan pada kepentingan diri yang tetap dipertautkan dengan sistem sosial.
Ibid
Selain itu, media juga mengembangkan pengkajian wacana politik dengan menggunakan analisis wacana. Wacana (discourse) tidak hanya mencakup ucapan-ucapan dan bentuk-bentuk komunikasi nonverbal, tetapi juga mencakup segala macam "teks" dalam pengertiannya yang luas. Bila dilihat dari perspektif extra linguistic, kata "text" dapat diperlebar pemakaiannya meliputi pesan-pesan yang dirumuskan melalui sistem tanda, seperti tanda lampu lalu lintas, upacara-upacara ritual keagamaan, atau adat masyarakat tertentu, gaya-gaya pakaian, gerak tubuh, atau juga kode indikator yang bersifat elektronik.
Anthony C. Thiselton, New Horizon In Hermeneutics, (Michigan: Zondervan Publikation House, 1992), h. 55. Bandingkan Jorge J. E. Gracia, A Theory of Textuality: The Logic and Epistemology, (New York: State University of New York Press, 1995), h. 4.Jorge J. E. Gracia memaknai, kata "text" berasal dari bahasa Latin textus yang berarti texture, tissue, structure, in relation to language, construction, combination, dan connection. Sedangkan secara terminologi, Gracia memberikan pengertian sebagai berikut: A text is a group of entities. Used as sign, which are selected, arranged, and inteoried by an author in certain context to convey some spesific meaning to an audience. Dari definisi yang dikemukakan di atas, terdapat enam unsur dalam pengertian teks, yakni (1) adanya entitas yang menempati teks. Sebuah teks pasti, setidaknya, terdiri atas goresan pena, baik berupa titik, garis, maupun polesan
Kebanyakan komunikasi, baik lisan maupun tertulis, dari yang biasa sampai yang terinci, terdiri atas aksi-aksi yang kompleks yang membentuk "pesan-pesan" atau "wacana" (discourse). Sedangkan studi tentang struktur pesan disebut sebagai analisis wacana (discourse analysis). Menurut Scott Jacobs, ada tiga hal yang perlu mendapat perhatian dalam studi ini: pertama, analisis wacana disusun oleh para komunikator dengan cara dan prinsip tertentu agar seseorang mengetahui arti yang ingin disampaikan. Kedua, analisis wacana dipandang sebagai masalah aksi. Sehingga, pengguna bahasa mengetahui bukan hanya aturan-aturan tata bahasa, melainkan jugs aturan-aturan untuk menggunakan unit-unit yang lebih besar untuk mencapai tujuan pragmatik dalam situasi sosial tertentu. Ketiga, analisis wacana dipandang sebagai suatu pencarian prinsip-prinsip yang digunakan oleh komunikator aktual dari prespektif mereka, atau dengan kata lain, analisis wacana tertarik pada aturan-aturan transaksi pesan.
Stephen W. Littlejohn, Theories of Human Communication, 6th edition, (California: Wadawort Publishing Company, 1999), h. 83-84.
Merangkai logika dan metode yang suda terhimpun di awal, hal tersebut menjelaskan betapa media dapat memberikan masukan, pengawasan sekaligus –juga- kontrol terhadap komunikasi politik jika dalam praktisi politik praktisnya di dalam pemerintahan terdapat penyelewengan atau penyalahgunaan kuasa dalam praktisi politik praktis.
Media sebagai penyambung lidah dan pewarta memiliki peranan sentral dalam praktisi pengawasan ini. Dengan kekuatan pemberitaan dan pembentukan Citra serta perangkaian wacana, media memiliki peran aktif dalam menjaga kondusifitas sebuah komunikasi politik. Di sini peran media sebagai lembaga yang independen dan tidak berpihak benar-benar diuji apakah sebuah media bisa menjadi independen secara berkelanjutan atau dalam praktiknya mendapat intervensi dan akhirnya menjadi sebuah media yang condong kepada beberapa aspek secara khusus.
Eksistensi media sebagai lembaga yang nun-kubu dan independen akan menjadi kunci dari pelaksanaan dan pengawasan terhadap praktisi komunikasi politik yang sehat dan tidak condong serta membuat opini publik yang ditujukan untuk tujuan tertentu dan memberikan pengaruh buruk baik kepada individu maupun keseluruhan. Independensi menjadi inti dari peranan media sebagai pengawas, pembentuk dan unit yang memberikan pengaruh dalam dinamika komunikasi politik baik secara langsung maupun tidak langsung.
PENUTUP
Dalam konteks politik modern, media massa tidak hanya menjadi bagian integral dari politik, tetapi juga memiliki posisi yang sentral dalam politik. Rancangan kebijakan harus disebarluaskan agar rakyat mengetahui dan ikut mendiskusikannya dalam berbagai bentuk forum diskusi publik. Tuntutan atau aspirasi msyarakat yang beraneka ragam harus diartikulasikan. Semuanya membutuhkan saluran atau media untuk menyampaikannya. Media massa merupakan saluran komunikasi politik yang banyak digunakan untuk kepentingan-kepentingan seperti ini. Hal tersebut dikarenakan sifat media massa yang dapat mengangkat pesan- pesan (informasi dan pencitraan) secara massif dan menjangkau khalayak atau publik yang beragam, jauh, dan terpencar luas. Pesan politik melalu media massa akan sangat kuat mempengaruhi perilaku politik masyarakat. Pentingnya perilaku politk dalam menunjang keberhasilan pembangunan politik tampak dari perhatian ilmuwan politik yang tetap besar terhadap masalah ini. Asumsi umum menunjukkan bahwa demokrasi dapat dipelihara dan dipertahankan karena terdapat partisipasi warga negara yang aktif dalam urusan kewarganegaraan. Partisipasi aktif mereka dalam kehidupan politik tidak dapat dipisahkan dari ketersediaan informasi, dan saluran atau media yang paling efektif untuk penyebaran informasi adalah media massa.
DAFTAR PUSTAKA
Arifin, Anwar, Komunikasi Politik: Paradigma, Teori, Aplikasi, Strategi dan Komunikasi Politik Indonesia, Jakarta: Balai Pustaka, 2003.
Blake dan Haroldaen, "Critical Events Analysis" dalam Political Communication: Issues and Strategies for Research terbitan London, 1975.
Bungin, Burhan Pornomedia: Sosiologi Media, Konstruksi Sosial Tekhnologi Telematika dan Perayaan Seks di Media Massa, Jakarta: Kencana, 2003.
Chaffee, Steven H. , Political Communication, Issues and Strategies for Research. 1975.
Feith, Herbet., dan Lance Castles, Indonesian Political Thinking 1945- 1965, Cornell University Press, 1970.
Habermas, Jurgen., Theori des Kommunikativen Handelns, Bab I: Handlungsrationalitat und gesellschaftliche Rationalisierung, Suhrkamp Verlag, 1981.
Hikayat, M.Mahi, Komunkasi Politik, Teori dan Praktek,
Jakarta:Simbiosa Rekatama Media, 2010.
Kraus dan Davis, The Effects of Mass Communication on Political Behaviour , 1959.
Knapp, Mark L., Nonverbal Communication in Human Interaction, Free Pres, 1972.
Krippendorff, Klaus., Analisis Isi: Pengantar Teori dan Metodologi,
Jakarta: Raja Grafindo Persada, 1993.
Littlejohn, Stephen W., Theoris of Human Communication (sevent edition), New Mexico, 2002.
Mulyana, Deddy., Komunikasi politik: Suatu Pengantar, Bandung: Rosda, 2001.
Nimmo, Dan., Political Communication and Public Opinion and America, diterbitkan Goodyear Pubhlising, edisi Indonesianya, Komunikasi Politik: Khalayak dan Efek, Bandung; Rosda Karya, 2000.