Academia.eduAcademia.edu

Mengoyak Persebatian Utsmaniyah-Aceh

2020

Mengoyak Persebatian Utsmaniyah-Aceh “These proposals did not get enough support at the meeting of the Council of Ministers led by the prime minister. Jadi tidak cukup untuk meyakinkan bahwa proposal ini harus diterima. Maksudnya proposal untuk menjadi vasal tadi. Mengapa? Karena “If the protection request of the Acehnese were accepted, the other Muslim rulers in the region would also demand Ottoman protection and ask for vassal status. Ini kalau seandainya Aceh disetujui ni sebagai vassal kita, nanti itu yang lain minta juga. Itu artinya kan tidak mau Turki Utsmani menjadikan nusantara sebagai bagian dari sistem pemerintahannya.” Kata-kata di atas keluar dari pemaparan Oman Fathurahman, seorang pegawai di Kementerian Agama Republik Indonesia yang juga seorang pensyarah dari Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah, Jakarta. Ia menyampaikan hal tersebut pada 25 Agustus 2020 dalam rangka menanggapi sebuah film bertajuk Jejak Khilafah di Nusantara yang terbit beberapa hari sebelumnya. Tak menunggu lama, sejumlah media massa langsung menjadi perpanjangan kata tanpa periksa. Ada yang membuat judul “Fix, Tak Ada Jejak Khilafah di Nusantara”, “Terbongkar, Aceh Pernah 2 Kali Ajukan Diri jadi Negara Bawahan Kekhalifahan Turki Utsmani/Ottoman Tetapi Selalu Ditolak, Ternyata Ini Alasannya”, “Filolog: Aceh Ditolak jadi Negara bawahan Turki Utsmani”, “Akademisi UIN sebut Sistem Khilafah Tak Ada di Nusantara”, atau “Aceh Ajukan Vassal ke Utsmaniyah Tapi Ditolak, Ini Alasannya”. Apa yang disampaikan Oman pada dasarnya bukanlah berasal dari penelitiannya. Ia hanya memilih dan memperbesar bahagian dari tulisan İsmail Hakkı Göksoy, seorang cerdik pandai di Turki, yang berjudul “Ottoman-Aceh relations as documented in Turkish sources” dalam bunga rampai berjudul Mapping the Acehnese Past (2011). Nusantara Meski bersilang fikir, pada dasarnya pembuat film dan Oman berada dalam kamar yang sama. Keduanya sama menggunakan terminologi ‘nusantara’ untuk membahas yang silam. Oman, seperti tertulis di atas, tiba-tiba menyusupkan kata ‘nusantara’ saat menerjemahkan “the other Muslim rulers in the region would also demand Ottoman protection and ask for vassal status”. Padahal kata tersebut tak ada dalam tulisan İsmail. Kata tersebut begitu saja disusupkan, yang membawa Oman menyerupai pembuat film, bahwa himpunan hari ini (Indonesia, nusantara) adalah sama dengan himpunan di masa silam. Tapi, apa itu ‘nusantara’? Riwanto Tirtosudarmo, dalam tulisannya yang berjudul “The Orang Melayu and Orang Jawa in the ‘Lands Below the Winds’” (2005) menyebutkan bahwa “Nusantara adalah Javanese version of the Malay world.” Karena menggunakan terminologi bukan Melayu, maka himpunan-dinamis yang ada di masa silam itu, yang melibatkan banyak negara lama, sebutlah macam Melaka, Kelantan, Kedah, Patani, Johor, Aru/Deli, dan pusat-pusat peradaban lain ketika atau sebelum itu, menjadi rusak. Kisahnya terasa digunting-gunting karena, sekali lagi, pembuat film dan Oman memaksakan himpunan yang ada hari ini sebagai himpunan yang sama dengan masa silam itu. Sebagai misal adalah mengenai Bahadur Shah, penguasa Gujarat, yang dikenal dengan nama Sulthan Qutb-ud-Din Bahadur Shah. Bahadur Shah diceritakan oleh İsmail sebagai pihak yang sedang meminta pertolongan militer kepada Utsmaniyah untuk melawan Portugis. Akan tetapi, ketika pasukan Utsmaniyah di bawah pimpinan Suleyman Pasha tiba di Gujarat pada 1538, Bahadur Syah telah tewas dibunuh Portugis. Nama Bahadur sendiri ada dalam khazanah Medan, yang dahulu merupakan sebahagian dari wilayah Kesulthanan Deli. Deli sendiri tak terbahaskan dalam film maupun pemaparan Oman sebab terlempar oleh karena dimasukkannya wilayah-wilayah yang tak punya posisi dalam sejarah. Di daerah Glugur dan Istana Maimoon terdapat daerah sekalian makam dan zuriatnya dengan nama “Bahadur”, yang di masa silam di antaranya telah di-Tengku-kan. Salah satu yang telah diTengku-kan itu adalah Tengku Muhammad Bahadur, yang bernama asli Sahibzada Ghulam Muhammad Jafir Bahadur bin Nawab Ghulam Hasan Khan Bahadur bin Nawab Ghulam Rasul Khan Bahadur bergelar Sharaf ul-Umara, Shukoh ul-Mulk, Nasir ud-Daula. Ia lahir di Madras pada 1867 dan sudah memasuki Medan sejak akhir abad 19. Keberadaan Bahadur di Medan tentu dapat diperdalam mengingat antara Negeri Deli dan Negeri Aceh memiliki pertalian yang amat rapat, sebelum Deli tegak sebagai negara sendiri. Bahkan di kemudian hari sebutan untuk Negeri Deli adalah Serambi Aceh, sebagaimana Aceh adalah Serambi Mekkah. Apalagi, İsmail juga menyebutkan bahwa ketika pasukan Suleyman Pasha mundur dari Gujarat, banyak tentaranya yang memasuki Aceh dan bertugas di sana. Apakah orang-orang Gujarat ada yang turut serta dalam pasukan Utsmaniyah ke Aceh dan kemudian merembes ke Deli atau tidak, tentu memerlukan kajian tersendiri. *** Oman Fathurahman sendiri bukanlah peneliti yang asing dalam kajian Islam, Melayu, dan Utsmaniyah. Ia pernah menulis “New Textual Evidence for Intellectual and Religious Connections between the Ottomans and Aceh” dalam bunga rampai berjudul From Anatolia to Aceh: Ottomans, Turks, and Southeast Asia (2015). Hanya saja, dalam tulisannya itu ia membatasi diri untuk tidak membahas ikhwal politik. “Makalah ini kemudian mencoba untuk mengisi kesenjangan tersebut dengan diskusi tentang naskah Arab dan Melayu yang lebih terkait dengan koneksi-koneksi keislaman dalam bidang intelektual daripada dalam bidang diplomatik atau politik, antara Ottoman dan Aceh pada khususnya, dan Asia Tenggara pada umumnya, di abad ketujuh belas dan kesembilan belas.” Berbeda dengan tulisannya, ia justru menjadi pembicara ikhwal politik dalam dunia Utsmaniyyah, yang pandangannya itu kemudian digemakan oleh sejumlah media massa. Karena tak meneliti ikhwal relasi hubungan politik itulah maka ia mengutip-kutip pandangan kepada İsmail Hakkı Göksoy yang memang kuat dalam kajian sejarah Islam di Asia Tenggara dalam kaitannya dengan Utsmaniyah. İsmail, misalnya, pernah menulis “Politik Pan-Islam dan Perlindungan Politik: Perspektif Melayu dan Respons Utsmaniyyah (2010)”. Apa lengkapnya teks dan konteks İsmail Hakkı Göksoy itu, yang digunting oleh Oman bahwa Aceh bukan bahagian dari Kekhalifahan Utsmaniyyah? “Usulan tersebut tidak mendapat dukungan yang cukup pada pertemuan Dewan Menteri yang dipimpin oleh sadrazam (perdana menteri). Jika permintaan perlindungan orang Aceh diterima, penguasa Muslim lainnya di wilayah tersebut juga akan menuntut perlindungan Utsmaniyyah dan meminta status pengikut. Hal ini akan merusak hubungan persahabatan antara Kesulthanan Utsmaniyyah dan pemerintah Belanda dan dapat menimbulkan kesulitan dalam hukum internasional. Jika Belanda akan menyerang Aceh, maka Kesulthanan Utsmaniyyah akan terpaksa menanggapi hal ini, yang pada gilirannya dapat menimbulkan banyak kesulitan yang tidak terduga.” Usulan itu dibuat dalam sebuah petisi bertarikh 1 Desember 1868 yang dilakukan oleh Abdurrahman al-Zahir, seorang kepala pengadilan agama yang kelak menjadi menteri luar negara Kesulthanan Aceh. Dalam bayang-bayang tekanan Eropa, maka keduanya pun mencari cara. “Pada akhirnya,” tulis İsmail, “diputuskan bahwa beberapa gerakan akan dilakukan, tetapi tidak secara terbuka.” Provinsi Aceh di Abad 16 Meskipun pemerintah Utsmaniyah telah mengambil sikap, Aceh tetap meminta kejelasan atas status resmi negaranya dalam lingkungan Kekhilafahan Utsmaniyyah, sebagaimana dahulu ia pernah ada. Status ini penting baginya dalam rangka konfrontasi dengan Kerajaan Belanda di abad 19. Bahkan Abdurrahman al-Zahir meminta kepada kepala arsip Istanbul untuk memeriksa dokumen sejarah. Dan dua firman pun ditemukan. Surat Sulthan Utsmaniyah, Selim II, kepada Sulthan Aceh, ‘Ala’ al-Din Ri‘ayat Syah al-Kahhar (16 Rabi alAwwal 975 H/20 September 1567), dalam Mapping the Acehnese Past (2011). “Salah satunya adalah surat tahun 1567 yang ditulis oleh Sulthan Selim II kepada penguasa Aceh, ‘Ala’ al-Din Ri’ayat Syah al-Qahhar; yang kedua adalah surat yang diberikan oleh Sulthan Abdulmecid kepada Ibrahim Mansur Syah pada tahun 1852,” tulis İsmail. Surat 1567 dari Sulthan Selim II itu merupakan jawaban atas surat yang dikirimkan oleh Sulthan ‘Ala’ al-Din Ri’ayat Syah al-Qahhar pada 1566. Surat tahun 1566 itu dikutip oleh İsmail dengan bunyi: “Ketika sebuah kapal Aceh yang sarat dengan lada hitam, benang sutra, kayu manis, cengkeh, kamper dan produk berharga lainnya dari daerah itu dikirim ke Mekkah pada 972 H (1564-1565 M), kapal itu diserang di dekat pulau-pulau tertentu oleh Portugis dengan tiga galleon dan tujuh galai. Pertempuran itu berlangsung selama empat hari empat malam; pada akhirnya kapal Aceh ditenggelamkan oleh Portugis dengan tembakan meriam dari kejauhan. Sekitar 500 muslim tewas di lautan dan lainnya dijadikan budak belian.” Masih menurut İsmail, Sulthan ‘Ala’ al-Din Syah juga melaporkan tentang kaum Muslim Kalikut di India Barat Daya dan Pulau Ceylon (Sri Lanka). “Ceylon memiliki bijih yang sangat berharga, tetapi penguasanya adalah seorang kafir. Ada 14 masjid di pulau ini dan umat Islam di pulau ini membaca khutbah Jumat atas nama khalifah Utsmaniyah. Dengan cara yang sama, Muslim Kalikut memiliki 25 masjid dan mereka membaca khotbah atas nama khalifah Utsmaniyah juga (…) Jika tuan mengirim angkatan laut dengan senjata dan meriam yang diperlukan ke sisi ini, kami berjanji bahwa Portugis dapat dihancurkan (…) Akankah Yang Mulia mengirimkan bashlıkcha atau hulu ledak torpedo dan meriam yang dapat menghancurkan kastil (…) Aceh adalah salah satu wilayah tuan dan saya adalah bawahan tuan.” Pada 1567, Sulthan Utsmaniyah yang baru, Selim II, membalas surat Sulthan Aceh melalui Mustafa Chavush, duta Utsmaniyah untuk Aceh. Surat itu ditulis ulang oleh İsmail. “Mantan laksamana Iskandariyah, Kurtoglu Hızır Reis, telah ditunjuk untuk memimpin angkatan laut ini. Itu perintah saya kepadanya bahwa ketika dia tiba di Aceh, tugasnya adalah menghancurkan musuh tuan dan menaklukkan benteng orang-orang kafir. Saya juga memberi tahu bahwa laksamana, penembak meriam, dan tentara lainnya, baik junior atau senior, harus mematuhi perintah tuan dan bekerja dalam perkhidmatan tuan sesuai dengan tuntutan agama dan kebiasaan-kebiasaan tuan (…) Ketika surat tuan sampai di sini, ayah saya, Sulthan Suleyman Han, berperang melawan orang-orang kafir dalam perang Szigetvar di Hongaria. Setelah penaklukan kastil ini dia meninggal dan saya mengambil alih tugasnya. Saya telah memutuskan untuk memerangi orang-orang kafir di pihak tuan. Kami akan selalu mengirimkan tentara kepada tuan untuk mengatasi musuh agama dan untuk menyingkirkan mereka yang menyerang tanah Muslim di pantai tersebut (…) Kapal galleon disiapkan dan akan dikirim setelah sedia. Duta besar tuan yang datang ke sini melakukan tugasnya dengan santun dan dia sekarang dikirim kembali dengan dukungan tertinggi kami.” İsmail mengatakan bahwa di tengah persiapan pengiriman armada untuk dikirim ke Aceh, terjadi pergolakan di Yaman. Angkatan laut yang hendak dikirim ke Aceh pun dialihkan ke Yaman untuk menumpas pemberontakan. “Berdasarkan perintah yang dikirimkan kepada Gubernur Jenderal Mesir pada tanggal yang sama,” tulis İsmail, “persiapan armada yang kini terdiri dari 19 kapal galley sudah selesai, namun peralatan militer yang dikirim dari Istanbul belum mencukupi. Setiap kekurangan harus dipenuhi dari Mesir dan Alexandria. Perintah ini menetapkan bahwa armada yang disiapkan untuk ‘provinsi Aceh’ akan digunakan pertama kali untuk ekspedisi Yaman.” Dalam catatan kakinya, İsmail menjelaskan bahwa dalam dokumen mengenai pengalihan inilah Aceh disebut sebagai vilayet atau provinsi. Karena dinamika di Yaman belum juga terkendali, Sulthan Utsmaniyah beberapa kali mengirimkan surat kepada Sulthan Aceh. Surat ini ditulis ulang oleh İsmail, di antaranya: “Duta besar tuan, Sünbül Agha dan Khamza, membawa surat tuan dan telah menyampaikan permintaan tuan kepada saya. Sesuai dengan aturan agama, permintaan tuan telah diterima sebelumnya dan telah diperintahkan untuk mengirimkan peralatan dan bahan perang yang diminta. Tapi saat peralatan ini sedang dalam perjalanan, pemberontak tiba-tiba melakukan revolusi di Yaman. Untuk menyelamatkan rakyat dan provinsi Yaman dari tindakan jahat mereka yang menyimpang dari jalan yang benar, beberapa tentara dikirimkan ke sana. Nanti beberapa prajurit juga perlu dikirim ke Siprus, karena menjadi tugas vital untuk membersihkan pulau itu dari orang-orang kafir yang terus mencelakakan umat Islam saat mereka sedang berziarah melalui jalur laut. Oleh sebab itu maka permintaan tuan belum dipenuhi. Setelah perang besar, Siprus dibersihkan dari kaum kafir dan dianeksasi ke wilayah Utsmaniyah. Gubernur Algiers, Ali Pasha, berperang melawan penguasa Tunisia dan menaklukkan tempat itu juga. Tentara yang dikirim ke Yaman telah mengalahkan musuh di sana. Ketika situasi di tempat itu normal kembali dan tentara dikembalikan, permintaan tuan akan dipenuhi. Ini adalah keputusan yang pasti.” Selain itu, İsmail juga menemukan keterkaitan antara Aceh dan Utsmaniyyah melalui catatan sejarawan Austria dari Utsmaniyah, BJ von Hammer, yang mendasarkan informasinya pada penulis sejarah Utsmaniyah, Ali, Celalzade, Solakzade dan Lufti. “… ada juga utusan dari Alauddin, salah satu penguasa India, untuk meminta bantuan militer melawan Portugis. Utusan Alauddin mempersembahkan binatang-binatang langka kepada sulthan, burung beo yang bagus dengan bermacam warna, bumbu dan wewangian yang bernilai tinggi, gula-gula dengan balsem, negro dan pelayan kasim (…). Dalam pandangan İsmail, ‘Penguasa India’ yang disebutkan sebagai ‘Alauddin’ di sini kemungkinan besar adalah Sulthan Aceh, yakni ‘Ala’ al-Din Ri’ayat Syah al-Qahhar, yang memerintah dari 1537 hingga 1571. Sebab, menurut İsmail, dokumen-dokumen yang berkaitan dengan Aceh biasanya diklasifikasikan di bawah ‘India’. Dan pada abad ke-16, dalam catatan Utsmaniyah, Aceh disebut sebagai ‘Ashi’, ‘Achi’ atau ‘Achin’”. Dampak Penemuan Dokumen Abad 16 di Abad 19 Segala data sejarah yang memuat relasi resmi antara Utsmaniyah dan Aceh ini membuat pers Istanbul menyokong perjuangan Aceh di abad 19. Mereka meminta Utsmaniyah melibatkan diri dalam perang Aceh. Tapi Eropa tak tinggal diam. “Pemerintah Belanda,” tulis İsmail, “meminta jaminan dari kekuatan besar untuk tidak mendukung inisiatif Aceh ini. Sebagai tanggapan, duta besar Prancis, Rusia, Jerman, Austria, Italia, dan Inggris semuanya mendesak Menteri Luar Negara Utsmaniyyah, Saffet Bey, dan kemudian Rashid Pasha, untuk tidak ikut campur dalam perang antara Belanda dan Aceh (…) Jika Kekaisaran Ottoman berusaha melindungi Muslim di Asia atas nama kekhalifahan, kekuatan besar akan menuntut perlindungan bagi umat Kristen yang tinggal di Turki.” İsmail mencatat, respon Eropa ini menimbulkan lima pandangan tentang status Aceh di abad 16 itu dalam rapat kabinet Utsmaniyah. 1) Itu tanda perhubungan religius yang murni daripada hubungan politik yang dapat menghasilkan tindakan apa pun; 2) pernyataan harus dikeluarkan untuk mengungkapkan keprihatinan tentang awal perang melawan Aceh; 3) Menteri Luar Negara Utsmaniyah yang baru, Rashid Pasha, menyarankan agar protes dapat dilakukan terhadap Belanda dan kehormatan khalifah diberikan lagi kepada penguasa Aceh; 4) Aceh terlalu jauh dari wilayah Ottoman untuk menjadikan komunikasi dan bantuan menjadi praktis, sehingga tanggung jawab untuk memberikan perlindungan secara langsung adalah tidak tepat; 5) karena Aceh telah diberi pengakuan, penolakan total tidak sesuai dengan martabat khalifah. “Pada akhirnya”, tulis İsmail, “dengan sopan dijelaskan kepada kepala misi bahwa firman atau penemuan dokumen tersebut lebih memiliki kepentingan agama daripada politik, dan seharusnya tidak dipahami sebagai pemberian perlindungan langsung kepada Aceh. Dan disepakati bahwa ‘peringatan dengan kata-kata ramah’ harus dibuat, tetapi masalah dengan Belanda harus dihindari.” Tetapi Belanda tetap menolak sikap Utsmaniyyah yang sudah lembut itu. Mereka menekankan bahwa perang di Aceh bukanlah perang agama. Sebaliknya, catat İsmail, Belanda menyalahkan pihak berwajib Aceh karena melanggar perjanjian Belanda-Aceh pada 1857. Selanjutnya, di awal abad 20 atau pada 1903, penguasa Aceh terakhir, Daud Syah, ditangkap oleh Belanda. Niat untuk pembaharuan status sebagai vilayet atau provinsi dari Utsmaniyah pada abad ke-16 di abad ke-19 tak tercapai. Perjuangan Aceh pun berakhir pada tahun-tahun berikutnya. Pada pertengahan abad 20, ia menjadi provinsi dari Negara Kesatuan Republik Indonesia. Sementara itu, kekhalifahan Utsmaniyah dibubarkan oleh kelompok republiken pada 1924. Tengku Muhammad Dhani Iqbal Aktif di Lentera Timur Channel 6 September 2020