Academia.eduAcademia.edu

Ragam Hias Aceh

2017

Ragam hias sebagai identitas budaya telah melalui proses lahir, tumbuh dan berkembang dengan tidak meninggalkan corak khas atau corak aslinya. Dalam sisi yang positif, perkembangan ini dapat menjadi indikator dinamisnya suatu kebudayaan. Pada sisi yang lain, perkembangan corak identitas dalam kurun waktu yang panjang, telah melahirkan gaya corak atau langgam-langgam baru. Perkembangan ragam hias identitas sebagai proses kreativitas dan persentuhan budaya, menuntut usaha untuk tetap menjaga dan melestarikan ragam hias dalam bentuknya yang asli. Penelitian ini bermaksud untuk menelusuri kembali ragam hias identitas pada Masyarakat Aceh khususnya masyarakat nelayan dan masyarakat peladang dengan local genius-nya masing-masing. Hasil penelitian menunjukan bahwa ragam hias identitas masyarakat nelayan dan Peladang dapat diamati melalui motif dasar yang berkembang pada wilayah geografis tersebut. Di wilayah pantai dengan pengaruh budaya islam yang lebih kuat maka untuk menghindari ikonoklasme, seni hias muncul dalam bentuk kaligrafi dan arabesk. Aarabesk merupakan pengembangan rasa keindahan yang bebas dari mitos alam dan dilakukan dengan mengembangkan pola-pola abstrak yang diambil dari pengolahan motif bunga-bungaan, daun-daunan dan poligon-poligon. Pada masayarakat peladang motif dasar yang ada selain menunjukan kekayaan geografis yang bersifat setempatan juga menunjukan motif alam yang didominasi dengan bentuk dasar awan dan bintang. Pemaknaan ragam hias banyak dihubungkan dengan tata nilai dan sistem adat yang berlaku dalam masyarakat peladang. Temuan di lapangan menunjukan pemanfaatan ragam hias pada produk ekonomi kreatif tidak menunjukan kekayaan ragam hias identitas pada masing-masing wilayah. Pengembangan motif diwilayah pesisir justru banyak mengambil motif dasar milik masyarakat peladang. Sehingga disarankan agar motif dasar pada masing-masing wilayah dapat dikonservasi melalui berbagai kegiatan. Kata kunci: Ragam Hias identitas, masyarakat nelayan, masyarakat peladang A. PENDAHULUAN Salah satu kompleks hasil kebudayaan yang secara massif banyak digunakan oleh masyarakat pendukung kebudayaan adalah ragam hias. Ragam hias merupakan sistem simbol yang menampilkan ide, gagasan, aspirasi dan menunjukan identitas suatu kelompok pendukung kebudayaan. Penggunaan ragam hias sebagai suatu simbol identitas kebudayaan dalam masyarakat selaras dengan hakikat manusia sebagai mahluk simbolik atau homo symbolicus.

View metadata, citation and similar papers at core.ac.uk brought to you by CORE provided by E-Jurnal UNSAM (UNIVERSITAS SAMUDRA) Jurnal Seuneubok Lada, Vol.4,No.1, Januari – Juni 2017 RAGAM HIAS ACEH: CORAK IDENTITAS DAN PEMAKNAANNYA DALAM MASYARAKAT NELAYAN DAN PELADANG T.Junaidi, Mufti Riyani Prodi Pendidikan Sejarah, FKIP, Universitas Samudra [email protected] Abstraksi Ragam hias sebagai identitas budaya telah melalui proses lahir, tumbuh dan berkembang dengan tidak meninggalkan corak khas atau corak aslinya. Dalam sisi yang positif, perkembangan ini dapat menjadi indikator dinamisnya suatu kebudayaan. Pada sisi yang lain, perkembangan corak identitas dalam kurun waktu yang panjang, telah melahirkan gaya corak atau langgam-langgam baru. Perkembangan ragam hias identitas sebagai proses kreativitas dan persentuhan budaya, menuntut usaha untuk tetap menjaga dan melestarikan ragam hias dalam bentuknya yang asli. Penelitian ini bermaksud untuk menelusuri kembali ragam hias identitas pada Masyarakat Aceh khususnya masyarakat nelayan dan masyarakat peladang dengan local genius-nya masing-masing. Hasil penelitian menunjukan bahwa ragam hias identitas masyarakat nelayan dan Peladang dapat diamati melalui motif dasar yang berkembang pada wilayah geografis tersebut. Di wilayah pantai dengan pengaruh budaya islam yang lebih kuat maka untuk menghindari ikonoklasme, seni hias muncul dalam bentuk kaligrafi dan arabesk. Aarabesk merupakan pengembangan rasa keindahan yang bebas dari mitos alam dan dilakukan dengan mengembangkan pola-pola abstrak yang diambil dari pengolahan motif bunga-bungaan, daun-daunan dan poligon-poligon. Pada masayarakat peladang motif dasar yang ada selain menunjukan kekayaan geografis yang bersifat setempatan juga menunjukan motif alam yang didominasi dengan bentuk dasar awan dan bintang. Pemaknaan ragam hias banyak dihubungkan dengan tata nilai dan sistem adat yang berlaku dalam masyarakat peladang. Temuan di lapangan menunjukan pemanfaatan ragam hias pada produk ekonomi kreatif tidak menunjukan kekayaan ragam hias identitas pada masing-masing wilayah. Pengembangan motif diwilayah pesisir justru banyak mengambil motif dasar milik masyarakat peladang. Sehingga disarankan agar motif dasar pada masing-masing wilayah dapat dikonservasi melalui berbagai kegiatan. Kata kunci: Ragam Hias identitas, masyarakat nelayan, masyarakat peladang A. PENDAHULUAN Salah satu kompleks hasil kebudayaan yang secara massif banyak digunakan oleh masyarakat pendukung kebudayaan adalah ragam hias. Ragam hias merupakan sistem simbol yang menampilkan ide, gagasan, aspirasi dan menunjukan identitas suatu kelompok pendukung kebudayaan. Penggunaan ragam hias sebagai suatu simbol identitas kebudayaan dalam masyarakat selaras dengan hakikat manusia sebagai mahluk simbolik atau homo symbolicus. Keadaan ini, di Jawa, melahirkan 90 Jurnal Seuneubok Lada, Vol.4,No.1, Januari – Juni 2017 ragam hias yang khas wilayah budaya, seperti ragam hias langgam pedalaman dan langgam pesisiran. Identitas ragam hias ini telah menjadi warisan budaya sekaligus asset ekonomi kreatif. Penelitian mengenai Ragam Hias di Jawa atau wilayah kebudayaan lainnya telah banyak dilakukan, akan tetapi tidak begitu halnya dengan wilayah kebudayaan Aceh. Sejarawan Anthony Read pernah menuliskan dalam salah satu karyanya bahwa Aceh merupakan “pintu gerbang masuk” untuk mengetahui harta tak terhingga Asia Tenggara. Dalam pandangannya, pintu Aceh dapat diartikan bahwa Aceh sebagai pulau kaya raya yang penuh dengan rahasia di timur-Suvarna-Dvipa, tanah emas pengawal gerbang menuju semua harta Asia Tengara. Bagi Indonesia, pulau itu adalah “tanah peluang” dengan sumber alam yang berlimpah dan potensi ekonomi yang besar (Read, Anthonys, 2011:1), kekayaan ini seharusnya dapat ditelusuri dari kebudayaan fisik yang ada di Aceh termasuk dalam bentuk ragam hiasnya. Sementara ini, lambang pintu Aceh merupakan lambang identitas untuk provinsi Aceh dengan makna yang tidak dikenal secara luas oleh masyarakatnya pendukung budayanya. Aceh dalam kajian wilayah kebudayaan dapat diklasifikasi sebagai masyarakat peladang dan nelayan dengan identitas Islam yang kuat. Corak masyarakat ini dapat dikenali dari karakteristik budayanya. Pembagian wilayah budaya ini dapat dianalisa berdasarkan kajian geografisdemografis maupun melalui analisa etnografis mengenai sistem pemahaman terhadap ruang dan waktu. Pemahaman ruang dan waktu untuk masyarakat Peladang dan Masyarakat Nelayan, menurut Jakob Sumardjo (2002) dikenal secara primordial dengan pembagian dua dan kesatuan tiga. Pemahaman terhadap ruang dan waktu berpengaruh pada pilihan ragam hias yang digunakan oleh masyarakat pendukungnya. Nilai-nilai dalam masyarakat peladang dan nelayan Aceh tidak hanya dimaksudkan untuk memenuhi kebutuhan estetika atau kebutuhan jasmani saja akan tetapi untuk memenuhi kebutuhan rohani masyarakat penciptanya, menunjukan identitas, gagasan bahkan otoritasnya. Beberapa penelitian pendahuluan terhadap ragam hias Aceh seperti yang dilakukan oleh Wardiah (2014) dalam jurnal Mentari (http://ejournal.unmuha.ac.id/index.php /mentari/article/view/48), justru menunjukan perlunya pengembangan desain motif pada pakain adat Aceh yang merujuk pada penggunaan ragam hias asli. Ragam hias asli hanya bertolak dari pandangan pragmatis dan tidak memiliki makna sosial budaya, sehingga dikhawatirkan akan mengikis jatidiri masyarakat Aceh. Padahal jika dirunut lebih jeli, Ragam hias Aceh memiliki fungsi sebagai penujuk identitas budaya, sosial bahkan identitas geografis seperti halnya kekayaan aneka ragam hayati Aceh. Penelitian terhadap ragam hias sebagai kekayaan ragam hayati telah dikaji oleh Sofyan (2014) dengan judul “Ornaments of Flora and Fauna on Traditional Acehnese House” dalam jurnal Natural Vol.14 No.2, 33-35, September 2014 milik Unsyiah (file:///C:/Users/WIN 7.WIN7-PC/Downloads/2261-4217-1SM.pdf) 91 Jurnal Seuneubok Lada, Vol.4,No.1, Januari – Juni 2017 Penelitian ini bertujuan untuk menemukan ragam hias identitas yang membedakan masyarakat nelayan dan masyarakat peladang di Aceh serta menemukan makna ragam hias tersebut dengan local genius masing-masing masyarakat pendukungnya. Penelitian dapat merekam ragam hias yang biasa ditemukan pada kain tradisional, pakaian, peralatan hidup maupun peralatan religi, atau pada benda-benda hasil budaya baik yang berfungsi profan maupun berfungsi sakral, sehingga identitas budaya Aceh dapat terus diwariskan serta diharapkan dapat membuka kajian bagi pengembangan ekonomi kreatif di Aceh. B. METODE PENELITIAN Dalam penelitian ini peneliti menggunakan metodologi sejarah dengan pendekatan etnografi yang bersifat field riset. Metodologi sejarah sesuai kerangka kerja yang dirumuskan oleh Gottschalk (1975) dimulai dari kegiatan heuristik, kritik, intepretasi dan historiografi. Pendekatan penelitian lapangan etnografi bersifat holistik-integratif, thick description, dan analisa kualitatif dalam rangka mendapatkan native’s point of view (Spradley, 2006) dimanfaatkan untuk mengintepretasi data. Alur Penelitian Alur penelitian yang digunakan dalam penelitian ini mengacu pada alur penelitian sejarah dengan pendekatan etnografi (Spradley dalam Creswell, 2012:475) dengan langkah metode sejarah: 1. Pemilihan suatu proyek etnografi melalui studi pendahuluan. Siklus ini dimulai dengan memilih suatu proyek penelitian etnografi dengan 2. 3. 4. 5. 6. mempertimbangkan ruang lingkup penelitian. Identifikasi wilayah dan penentuan wilayah budaya Aceh dalam corak masyarakat Peladang dan nelayan. Memulai heuristik dan Pengumpulan data etnografi dilakukan dengan melakukan kajian budaya pada masyarakat nelayan dan peladang di Aceh. Kritik sumber dan pembuatan rekaman etnografi. Intepretasi data dan Analisis data etnografi. Historiografi dalam bentuk penulisan etnografi. C. HASIL DAN PEMBAHASAN Penelitian ini dimulai dengan melakukan Heuristik yakni pengumpulan jejak-jejak sejarah dimulai dengan mencari sumber-sumber sekunder sejarah terbentuknya masyarakat Aceh dan budaya yang dimiliki sebagai akibat perjalanan sejarah. Hal ini penting dilakukan untuk mengetahui persebaran budaya dan kemungkinan-kemungkinan relevansi antar budaya. Pengaruh budaya asing dalam sejarah Aceh juga menentukan bentuk ragam hias sebagai hasil akulturasi dalam pergaulan Aceh di masa lalu baik dengan negeri-negeri diluar Aceh maupun negerinegeri Asing seperti hubungan Aceh dengan Cina, India, Turki, Arab dan sebagainya. Intensitas dan bentuk akukturasi dengan bangsa-bangsa asing ini menentukan karakteristik yang muncul dalam ragam hias pada suatu wilayah. Selain bersumber dari literatur sejarah, penelusuran sumber sekunder dapat diperoleh melalui studi-studi terdahulu yang relevan dengan keberadaan ragam hias Aceh. Beberapa sumber literatur penting dapat diperoleh di Pusat data dan 92 Jurnal Seuneubok Lada, Vol.4,No.1, Januari – Juni 2017 Dokumentasi Aceh atau PDIA dan acehbook.com. Data etnografi diperoleh melalui 2 cara yakni secara teoritis dan praktis. Data teoritis diperoleh melalui literatur yang relevan dengan sistem budaya masyarakat peladang dan nelayan termasuk didalamnya kecenderungan komunitas masyarakat terhadap hasil budaya dan seni. Data praktis diperoleh melalui pengamatan langsung pada subyek penelitian. Penelitian etnografi telah berhasil mengumpulkan beberapa data penting baik berupa dokumen, gambar, keterangan maupun hasil pengamatan langsung. Kritik sumber dan pembuatan rekaman etnografi. Kritik sumber dilakukan pada sumber tertulis dan sumber lisan. Tehnik kritik sumber dokumen tertulis dilakukan dengan tehnik kritik eksternal dan internal. Kritik sumber kualitatif untuk data etnografi dilakukan dengan tehnik mengalir dan triangulasi. Obyek penelitian terdiri dari: a. Ragam hias pada rumah dan rumah adat tergolong sebagai ragam hias pada pada bidang kayu. Ragam hias pada bidang kayu merupakan ragam hias tertua yang ditemukan dalam sejarah kebudayaan setelah mengalami perkembangan dari seni rupa berupa seni lukis pada dinding gua. Obyek ini diteliti dengan pengamatan langsung rumah penduduk diwilayah masyarakat peladang dan nelayan. Penelusuran data dapat dilakukan melalui studi dokumentasi pada penelitian terdahulu. Pada hakikatnya ragam hias pada rumah adat dapat pula digolongkan sebagai ragam hias pada bidang kayu yang biasa disebut dengan seni ukir. b. Ragam hias pada senjata tradisional Masyarakat Aceh mengenal beberapa jenis senjata tradisional selain rencong (Talsya. 1972: 7). Senjata tersebut antara lain terdiri dari Reuncong, Ulee Lapan Sagoe, Ulee dandan, ule meucangge, peudeung, peudeung unjuk, ulee janggok, ulee paroh bleseka, ulee boh glima, siwaih, tumpang jengki dan peudeung lintek. Senjata tersebut pada jaman dahulu banyak diproduksi di wilayah Aceh besar. Selain itu terdapat beberapa senjata lain seperti tumbak petake berambu yang digunakan untuk upacara adat, senajata perang dan peralatan pengawal istana, pedang betilam, pedang panjang, tumbak lada, sundak udang dan senjata semi modern yaitu senjata berapi seperti meriam lela dan pemuras yakni senjata sejenis pistol dengan peluru/ pemuras dan menggunakan pelatuk. Senjata-senjata tersebut banyak diproduksi di wilayah Aceh barat. Saat ini, tempat yang paling memungkinkan untuk melakukan kajian terhadap senjata tradisional Aceh dapat dilakukan di musium nagari di Aceh Besar. Ragam hias pada senjata tradisional dapat memperlihatkan kekayaan ragam hias pada bidang kayu dan sekaligus pada bidang logam. Ragam hias pada bidang logam juga dapat diamati pada perhiasan tradisional. c. Ragam hias pada anyaman Setelah pada bidang kayu, ragam hias banyak dimanfaatkan untuk menghias peralatan hidup yang berupa anyaman. d. Ragam hias pada kain tradisional Ragam hias ini pada dasarnya dapat digolongkan sebagai ragam hias 93 Jurnal Seuneubok Lada, Vol.4,No.1, Januari – Juni 2017 pada bidang kain. Biasanya digunakan dalam kain songket, tas, penghias ruangan, atau peralatan yang bersifat sakral (kegiatan adat) maupun pada kegiatan profan. Berdasarkan Identifikasi geografis terhadap masyarakat Peladang dijelaskan sebagai berikut. Masyarakat Peladang yakni masyarakat mendiami wilayah pedalaman Aceh dengan ciri hutan dan pegunungan, meliputi wilayah yang didiami masyarakat Gayo dan Lues meliputi: Aceh Tengah dengan pusat kota Takengon, Kutacane, Aceh Tenggara dan Lokop (Secara Administratif termasuk Kabupaten Aceh Timur). Serta terdapat beberapa wilayah pesisir yang berbatasan atau berdekatan dengannya seperti pedalaman Sigli, Tangse, Beureuen dan Jantho yang berdasarkan penelitian memiliki ragam hias dengan sifat peralihan dari identitas masyarakat Peladang dan Nelayan. Sedangkan yang dapat digolongkan sebagai masyarakat nelayan secara geografis dan demografis meliputi wilayah: Sigli, Pidie, Lhokseumawe, Meulaboh, Tapaktuan, Banda Aceh, Blangkajeren dan Langsa. Masayarakat Nelayan dalam pengertian ini merupakan masyarakat pesisir yang mengacu pada tipe masyarakat pesisir yang diajukan oleh Fachrudin (dalam Hasanudin.1985) dengan penjelasan sebagai berikut: “Sebagai suatu kesatuan sosial, masyarakat nelayan hidup, tumbuh, dan berkembang di wilayah pesisir atau wilayah pantai. Dalam konstruksi sosial masyarakat di kawasan pesisir, masyarakat nelayan merupakan bagian dari konstruksi sosial tersebut, meskipun disadari bahwa tidak semua desa-desa di kawasan pesisir memiliki penduduk yang bermatapencaharian sebagai nelayan”. (Fachrudin dalan Hasanuddin, 1985:108) Berdasarkan hasil riset, Fachrudin dkk. (1976) mengelompokkan, desa-desa pesisir ke dalam empat jenis, yaitu: (1) desa pesisir tipe bahan makanan, yaitu desa-desa yang sebagian besar atau seluruh penduduknya bermatapencaharian sebagai petani sawah; (2) desa pesisir tipe tanaman industri, yaitu desa-desa yang sebagian besar atau seluruh penduduknya bermatapencaharian sebagai petani tanaman industri; (3) desa pesisir tipe nelayan/empang, yaitu desa-desa yang sebagian besar atau seluruh penduduknya bermatapencaharian sebagai nelayan, petambak, dan pembudidaya perairan; dan (4) desa pesisir tipe niaga dan transportasi, yaitu desa-desa yang sebagian besar atau seluruh penduduknya bermatapencaharian sebagai pedagang antarpulau dan penyedia jasa transportasi antarwilayah (laut). Dalam penelitian ini konstruksi masyarakat nelayan dipahami dengan konteks pemikiran di atas, yaitu suatu konstruksi masyarakat yang kehidupan sosial budayanya dipengaruhi secara signifikan oleh eksistensi kelompok– kelompok sosial yang merupakan gabungan tipe-tipe desa seperti klasifikasi diatas. Hal ini disebabkan meskipun masyarakat nelayan memiliki identitas kebudayaan yang berbeda dengan satuansatuan sosial lainnya, seperti petani di dataran rendah, peladang di lahan kering dan dataran tinggi, kelompok masyarakat di sekitar hutan, dan satuan sosial lainnya yang hidup di daerah perkotaan. Bagi masyarakat nelayan, kebudayaan merupakan sistem gagasan atau sistem kognitif yang berfungsi sebagai ”pedoman 94 Jurnal Seuneubok Lada, Vol.4,No.1, Januari – Juni 2017 kehidupan”, referensi pola-pola kelakuan sosial, serta sebagai sarana untuk menginterpretasi dan memaknai berbagai peristiwa yang terjadi di lingkungannya (Keesing, 1989:68-69), namun gagasan dan praktik kebudayaan harus bersifat fungsional dalam kehidupan masyarakat sehingga pemanfaatan ragam hias sebagai seni hias ornamentik tidak begitu mendapatkan tempat khusus. Hal ini juga didasarkan pada pengamatan bahwa masyarakat nelayan di Aceh tidak memiliki ciri khusus sebagai pembeda dengan tipe desa pesisir lainnya. Haln tersebut paling nampak pada rumah tinggal yang tidak memanfaatkan ragam hiasn secara khusus, namun pada keperluan tradisi dan upacara adat serta peralatan hidup lainnya masih memanfaatkan ragam hias yang umumnya dipakai di desa-desa pesisir. Dengan demikian Masyarakat Nelayan Aceh adalah masyarakat yang secara geografis tinggal di daerah pesisir atau pantai Aceh. Berdasarkan pembahasan sebelumnya wilayah pesisir Aceh dalam pembedaan ragam hiasnya dibedakan mencari ragam hias dengan karakteristik pantai Utara dan Pantai Selatan. Pantai Utara meliputi beberapa wilayah seperti Aceh Besar, Aceh Utara dan Aceh Timur. Sedangkan Pantai Selatan terdiri dari Aceh Selatan dan Barat. Wilayah Selatan sedikit terpengaruh oleh karakteristik ragam hias masyarakat Peladang di Aceh Tengah dan Tenggara yang disebabkan disparitas budaya. Selain berdasarkan karakteristik geografis, pertimbangan subyek dan lokasi penelitian juga dipertimbangkan dari karakteristik pola ragam hias atau karakteristik motif. Berdasarkan penelitian awal melalui survey data dan penelusuran informasi terdapat 3 wilayah besar yang digolongkan dalam wilayah besar ragam hias Aceh dengan karakteristik pantai dan pedalaman dengan ciri masyarakat peladang (Wawancara Hj. Cut Huzaimah, Tanggal 1 Juni 2016) yang terdiri dari: 1. Wilayah pantai utara, meliputi: Aceh Tamiang, Lhokseumawe, Kota Langsa, Beureuen, banda Aceh dan Sigli. Meskipun Sigli dikelompokkan dalam wilayah pantai utara namun memiliki gaya yang cukup mencolok dengan wilayah lainnya. Sedangkan wilayah dengan gaya ragam hias yang sangat identik dimiliki oleh 3 wilayah yakni Beureuen, Lhokseumawe dan Kota Langsa. 2. Wilayah pantai selatan, meliputi : Meulaboh, Tapaktuan 3. Wilayah Pedalaman (ladang dan hutan) : Aceh Tenggara, Aceh tengah dan Lokop. Dalam kajian sejarah politik, pantai utara biasa disebut dengan pantai Timur (Sumatera) dan pantai selatan disebut dengan Pantai Barat (Sumatera). Dalam kajian ragam hias, khususnya pada pembuatan motif pada kain, pantai utara dan selatan dibedakan dalam bentuk sulaman dalam dan sulaman luar. Pada sulaman dalam, terdapat garis pembatas pinggir sebagai pola dasar, sedangkan di wilayah pantai selatan, sulaman tidak diberi batas pinggir yang menandai pola dasar Melalui studi dokumentasi ditemukan salah satu dokumen yang ditengarai sebagai dokumen bedah motif Aceh ke-1 yang dilakukan oleh pemerintahan Aceh (keterangan ibu Susi, Pengurus Dekranasda Kota Lhokseumawe, 2 Juni 2016). Dokumen tersebut diperoleh dari salah satu narasumber yang berada di Aceh Utara (Ibu Mariana). Dalam 95 Jurnal Seuneubok Lada, Vol.4,No.1, Januari – Juni 2017 dokumen tersebut tersaji 8 daerah di Aceh dengan karakteristik motif hias ornamentik Aceh, terdiri Aceh Besar, Pidie, Aceh Utara, aceh Timur, Aceh Tengah, Aceh barat, Aceh Selatan dan Aceh Tenggara. Penamaan kelompok wilayah tersebut seringkali berbeda. Menurut pengelompokan sosial budaya , penyebaran penduduk di Daerah Istimewa Aceh dibagi dalam wilayah pantai utara dan timur, pantai barat dan selatan serta wilayah pedalaman di Aceh Tengah dan Tenggara. Persebaran penduduk diwilayah Aceh memang tidak merata. Pada umumnya penduduk itu lebih terpusatkan pada wilayah-wilayah yang sudah terbuka walaupun potensi sumber dayanya relatif rendah. Lebih kurang dua pertiga penduduk bermukim pada dataran sepa jang pantai utara dan timur. Sedangkan lainnya mendiami wilayah pantai barat dan selatan, serta pedalaman Aceh bagian tengah dan tenggara (Ibrahim Hasan , 1979; 5; Hariri Hadi, 1972: 24 dalam laporan depdikbud. 1983: 26). Ragam hias identitas seperti dijelaskan sebelumnya dapat dirunut dengan mengamati motif dasar pada masing-masing wilayah. Berikut adalah pembagian Motif dasar berdasarkan sifat geografis dan pembagiannya dalam penamaan jenis ragam hias. Gambar 1. Pembagian motif Dasar Aceh Berdasarkan gambar tersebut dapat diamati bahwa pada wilayah masyarakat pantai Timur Aceh menggunakan motif dasar Aceh besar dengan variasi besaran aplikasi bentuk motif yang digunakan dan penggunaan garis tepi pada sulaman atau garis motif yang tegas. Motif dasar Aceh Barat dan Aceh Tenggara memiliki motif dasar penghubung berupa bentuk awan. Motif dasar pantai Barat pada dasarnya merupakan ragam hias peralihan karena sifatnya yang bercampur dengan motif pedalaman khas masyarakat peladang Aceh. Motif yang dimaksud adalah motif fauna, meskipun motif ini sudah jarang digunakan. a. Ragam hias identitas masyarakat nelayan Aceh dan Pemaknaannya Berikut adalah motif dasar yang muncul pada wilayah masyarakat Nelayan. Motif yang banyak digunakan adalah motif Aceh Besar yang mempengaruhi sebagian besar wilayah Pantai Timur (masyarakat awan menyebut sebagai pantai utara). 96 Jurnal Seuneubok Lada, Vol.4,No.1, Januari – Juni 2017 Gambar motif merupakan dokumen yang diperoleh dari ibu Mariana seorang Pengrajin Tas bordir Aceh di desa Ulee Madoon Aceh Utara dan merupakan warisan dari orang tuanya yang diberikan sebelum terjadinya bencana Tsunami di Aceh. Gb.2. Motif Dasar Aceh Besar Sumber : ___. 2002. Ragam Hias Ornamentik Aceh: 12-16 Berdasarkan studi lapangan, beberapa motif dasar tersebut dimanfaatkan oleh beberapa wilayah di Pantai Timur dengan salah satu motif yang menonjol. Misalnya di Sigli, Motif bulan banyak di rangkai menjadi motif bunga dalam sulaman kasab. Motif Oun Ubi banyak dimanfaatkan dalam kain Batik di Aceh Besar. Sedangkan di Aceh Utara pemanfaatan motif Matahari menjadi ciri motif tolak angin yang menghiasi ventilasi atap rumah maupun penghias daun pintu. Gb. 3. Motif matahari di rumah dinas bupati Lhokseumawe Sumber: foto pribadi 97 Jurnal Seuneubok Lada, Vol.4,No.1, Januari – Juni 2017 Gb.4. Motif pada sulam kasab khas Sigli Sumber: foto pribadi, 2016 Motif dasar berikutnya adalah motif dasar Aceh Barat dan Aceh Selatan yang dikelompokkan dalam Ragam Hias Pantai Barat (atau disebut pula pantai selatan) bercirikan motif dengan ukuran yang besar. Gb.5. Motif Dasar Aceh Barat dan Selatan Sumber : : ___. 2002. Ragam Hias Ornamentik Aceh: 46-50 Gb. 6. Motif Dasar Aceh Selatan 98 Jurnal Seuneubok Lada, Vol.4,No.1, Januari – Juni 2017 Sumber : : ___. 2002. Ragam Hias Ornamentik Aceh: 75-78 Seperti disebutkan sebelumnya, motif Aceh Selatan memiliki keterkaitan dengan motif Aceh Tengah termasuk pemanfaatan motif fauna. Bentuk fauna yang digunakan adalah motif udang, burung dan ikan, ketiganya merupakan fauna khas daerah pesisir. Namun motif ikan juga ditemukan di wilayah Aceh Tengah disamping motif naga dan ayam yang disebut kur. Gb.7. Motif bentuk fauna Aceh Selatan Sumber : : ___. 2002. Ragam Hias Ornamentik Ace nim: 112 Gb.8. Aplikasi Motif Fauna Aceh Selatan pada Produk Kerajinan Sumber : : ___. 2002. Ragam Hias Ornamentik Aceh:116 Pada rumah adat Aceh lama di wilayah Aceh Besar sebenarnya masih dapat ditemukan motif fauna lainnya yakni belalang dan motif kupu-kupu. Namun yang paling menonjol adalah motif flora yang terdiri dari Unsur Bunga melati (Jasminum sambac), daun kelor (M. oleifera), sulur pakis (Diplazium 99 Jurnal Seuneubok Lada, Vol.4,No.1, Januari – Juni 2017 esculentum), rebung (Dendrocalamus asper), kupula (Mimusops elengi), pisang (Ravelana madagascariensis), bunga matahari (Helianthus annuus), rambutan (Nephelium lappacium), dan pucuk labu (Cucurbita moschata) (Sofyan, 2014. Jurnal Natural Vol. 14 No. 2:34). Namun dalam perkembangan lebih lanjut, berdasarkan hasil Intepretasi data yakni proses menghubungkan satu fakta dengan fakta lainnya tengah berlangsung. Dapat ditarik suatu garis merah pada wilayah-wilayah pesisir Aceh bahwa ragam hias identitas pada masyarakat Nelayan identik dengan pengaruh Arabesk yang besar. Pengaruh ini menyebabkan dinamisnya ragam hias dalam bentuk stilirisasi bentuk agar semakin jauh dari bentuk aslinya. Selain itu, ragam hias tersebut jarang sekali memiliki makna khusus kecuali sebagai bentuk representasi alam namun bebas dari mitos-mitos yang dimaknakan secara magis. Hal ini dapat dipahami sebab, pesisir Aceh merupakan wilayah dengan pengaruh Islam yang lebih dominan dibandingkan wilayah pedalaman Aceh yang berbasis budaya peladang. Relevansi Islam dengan budaya dan khususnya seni sangat besar. Kondisi ini sesuai dengan pendapat Nurcholish Madjid (2013:127) yang menyatakan bahwa semangat egaliterianisme islam diwujudkan pula dalam sikapnya yang anti ikonoklasme, terutama anti gambar representasional yang bersifat emblemetis dan magis (yaitu setiap gambar yang mengungkapkan suatu mitologi kepada alam). Ide dasar dari sikap tersebut ialah bahwa magisme menghalangi manusia dari sifat keadilan berdasarkan persamaan (semangat egaliterianisme). Untuk menghindari ikonoklasme, maka masyarakat nelayan seperti apa yang disarankan oleh peradaban Islam mengembangkan seni hias dalam bentuk kaligrafi dan arabesk. Kaligrafi mengekspresikan paham ketuhanan yan abstrak , tidak dapat dilukiskan kecuali melalui wakyu-wahyu-Nya. Maka beberapa ragam hias pada masyarakat Nelayan Aceh juga mengkombinasikan kaligrafi tersebut. Sedangkan arabesk merupakan pengembangan rasa keindahan yang bebas dari mitos alam dan dilakukan dengan mengembangkan pola-pola abstrak yang diambil dari pengolahan motif bunga-bungaan, daun-daunan dan poligonpoligon. Seni hias khas Islam berupa gubahan motif aksara Arab dan motif ilmu ukur yang digarap dalam hiasan bidang. Motif aksara Arab disusun dalam hiasan kaligrafi yang dipadukan dengan motif lain. Kaligragi Arab tampil sebagai hiasan pada mesjid, makam dan pada benda kerajinan. Ayat-ayat suci dari Al-Qur'an dengan indah sekali disusun menjadi hiasan batu nisan makam para raja, hulubalang dan para pembesar Aceh dengan keluarganya. Makammakam semacam ini tersebar di daerah Kotamadya Banda Aceh dan Samudra Pase. Bentuk batu nisannya adalah sangat khas untuk makam-makam di Aceh yang berbeda dengan batu nisan makam dari daerah lain (Album Seni Budaya Aceh. Depdikbud.1982:8). Kekayaan ragam hias yang tampil memang tidak selalu bernafaskan Islam karena peranan tradisi seni hias asli yang masih terpelihara. Di antara motif-motif hias tradisional Aceh yang terkenal ialah motif stilasi binatang dan tumbuhtumbuhan dan motif ilmu ukur. Termasuk jenis motif tumbuh-tumbuhan ialah motif bungong jeumpa (bunga cempaka), motif bungong meulue (bunga melur), motif pucuk rebung dan lain-lain. 100 Jurnal Seuneubok Lada, Vol.4,No.1, Januari – Juni 2017 Motif-motif hias tersebut juga tampil Hasil kerajinan anyaman antara lain pada hiasan benda kerajinan anyaman, berupa bermacam-macam tikar, tas dan keramik, tenunan, sulaman, kerajinan wadah. Teknik anyaman daun pandan yang bambu dan kayu. Untuk bahan baku khas Aceh menghasilkan kerawangan kerajinan anyaman seringdipakai bambu, dengan motif ilmu ukur seperti hiasan pandan dan mendong. Padaumumnya kerawang godok, lelayang, sesiku, putu kerajinan anyaman termasuk kegiatan talae, rantai, tapak catur, tapak kedidi dan kaum wanita, khususnya para gadis;suatu sebagainya. Motif ilmu ukur juga tampil kerajinan yang berdasarkan adat pada hasil kerajinan tenunan. Berikut bahwaseorang gadis yang akan dipinang adalah hasil penelusuran aplikasi ragam harus sudahmampu mengerjakan anyaman hias pada berbagai media : dengan hasilyang baik. Gb.9.Kain batik koleksi Dekranasda Aceh Utara Sumber: foto pribadi Gb.10. Kaligrafi dengan fungsi penghias pada Rumoh Aceh di Musium Aceh Sumber foto: pribadi Gb.11. Aplikasi motif dasar pada ornamen penghias rumah Sumber : Proyek Media Kebudayaan Departemen pendidikan dan Kebudayaan.1983/1984: 12 101 Jurnal Seuneubok Lada, Vol.4,No.1, Januari – Juni 2017 b. Ragam hias identitas Masyarakat Peladang dan Pemaknaannya. Berikut ini adalah motif dasar dan nama-namanya yang merupakan ciri khas Aceh Tenggara dan Aceh Tengah sebagai varian dari ragam hias masyarakat peladang. Gb.12.Motif Dasar Aceh Tenggara Sumber : ___. 2002. Ragam Hias Ornamentik Aceh: 130 Gb.13. Motif Dasar Aceh Tenggara Sumber: ___. 2002. Ragam Hias Ornamentik Aceh: 142 102 Jurnal Seuneubok Lada, Vol.4,No.1, Januari – Juni 2017 Tabel 1. Nama Motif di Aceh Tengah dan Tenggara Nama motif Pucuk khebung Papan catur Tikan jejak Puter tali Gelombang anak Jejhak panthemken Cecengkuk anak Cuping gajah Pakuk sekhpe Lempang ketang Bunge panah Sesirung Sarak opat Layang-layangg Gegaping Selalu Leladu Tapak seleman Rante Ulung lela Tapak tikus Bungeni bako Kacang Kapas Daerah dengan karakteristik masyarakat Peladang memiliki konsep pembagian ruang yang disebut dengan “pembagian tiga” atau “kesatuan tiga”. Pembagian ini lebih menekankan independensi ruang dan egaliterian (Sumardjo, Jakob. 2002:20). Ragam hias yang sering muncul pada pola ruang kesatuan tiga adalah bidang kain dalam garis-garis pemisah. Garis “batas” yang bersifat dominan dan ada bidang “dalam” (bagian terluas bidang hias) dan bidang “luar: (disisi kiri dan kanan bidang utama). selain secara vertikal, garis sebagai ragam hias muncul pada bidang kategori horisontal, misalnya lambang lelaki, perempuan, lambang harmoni dan lambang kekuasaan. Pola dasar yang digunakan adalah bentuk-bentuk geometris. Pemaknaan terhadap ragam hias pada masyarakat Peladang banyak dihubungkan dengan penegakan adat dan etika sosial yang dipegang oleh masyarakat setempat. Hal yang unik adalah munculnya ragam hias sebagai representasi kekayaan geografis pada masing-masing wilayah. Dari 2 wilayah budaya yang berbeda ini dapat ditemukan beberapa motif dasar yang sama dengan penamaan yang berbeda dan motif penghubung diantara keduanya. Masyarakat Peladang Aceh secara budaya merupakan pengusung budaya gayo. Tanah Gayo dibagi menjadi 4 103 Jurnal Seuneubok Lada, Vol.4,No.1, Januari – Juni 2017 kelompok besar dengan wilayah yang dipisahkan oleh batas alam yang luas dan sulit untuk berhubungan satu sama lain, namun secara etnogarfis budaya gayo merupakan satu kesatuan (Hurgronje, 1997). 4 Kelompok tersebut adalah Gayo Lut dan gayo Deret yang mendiami Kabupaten Aceh tengah dan Bener Meriah, Gayo Lues di Aceh Tenggara dan terakhir adalah masyarakat Gayo yang dapat disebut Gayo rantau. Masyarakat Gayo rantau adalah minoritas di wilayah Aceh Timur yang disebut Gayo Lokop dan Gayo Kalul di wilayah Aceh Tamiang (Ibrahim,2007). Masyarakat Lokop sebagai sub Budaya Gayo dalam perspektif sejarah memiliki keterikatan asal dari kerajaan Lingge di Aceh Tengah, namun karena kedekatan Geografis dengan wilayah Aceh Tenggara, maka beberapa praktik budayanya cenderung mengikuti budaya gayo lues. Keempat kelompok tersebut dalam ragam hiasnya secara umum dihubungkan dengan penggunaan elemen berupa garis, nada, struktur dan warna. Struktur yang digunakan adalah sulur, relung dan lingkaran. Warna yang menonjol adalah warna kuning, hijau, merah dan putih. Warna tersebut dipadu dalam warna dasar hitam yang bermakna tanah atau bumi. Warna kuning memiliki makna sebagai sifat musuket sipet (penuh pertimbangan) sebagi simbol raja atau pemimpin. Warna merah melambangkan sifat musidik sasat yaitu penuh keberanian dalam menegakan kebenaran. Warna putih melambangkan perlu sunet yakni kemampuan membedakan baik dan buruk serta kesucian. Warna hijau bermakna sebagai genap mupakat atau musyawarah (Ferawati, 2010. Portal Garuda.org/article.php, download tangal 25 Agustus 2016). Sedangkan bentuk motif yang memiliki sifat repetisi adalah emun berangkat, puthek tali atau puter tali, tapak seleman, pucuk ni tuis atau pucuk khebung/pucuk rebung dan motif peger dan ulen (bulan) yang merupakan simbol penerangan dan keindahan. Motif ulen merupakan susunan geometris dengan pola memancar. Gb.14. Detail dan Pola Motif Emun Berangkat Sumber : ferawati, 2010 104 Jurnal Seuneubok Lada, Vol.4,No.1, Januari – Juni 2017 Gb. 15. Detail dan Pola Motif Puter Tali Sumber : Ferawati, 2010 Gb.16. Detail dan Pola Pucuk Khebung Sumber: Ferawati, 2010: Pada masyarakat Gayo lues, pola motif ini disebut dengan sesirung atau sirung tumpak tampuk yang melambangkan sifat gotong royong dan bahu membahu. Gb.17. Motif sesirung pada rumah masyarakat Lokop Sumber: foto pribadi 105 Jurnal Seuneubok Lada, Vol.4,No.1, Januari – Juni 2017 Gb. 18. Desain dan pola tapak seleman Sumber : Ferawati, 2010 Gb. 18. Desain dan Pola Peger Sumber: Ferawati, 2010 Gb. 19. Aplikasi Tapak Seleman Dan Peger Dalam Produk Terapan Sumber : foto pribadi 106 Jurnal Seuneubok Lada, Vol.4,No.1, Januari – Juni 2017 Gb.20. Detail dan pola motif ulen Sumber: Ferawati, 2010 D. KESIMPULAN Aceh sangat kaya dengan ragam hias dalam bentuk motif hias dan ornamentik. Masing-masing wilayah memiliki ragam hias yang sangat variatif, meskipun demikian ragam hias pada wilayah Aceh dengan basis budaya nelayan dan peladang dapat diidentifikasi dengan menganalisa pola-pola motif dasarnya. Latar belakang lingkungan budaya dan pengaruh luar yang masuk menentukan corak ragam hias yang berkembang. Namun perkembangan tersebut didasarkan pad motif dasar yang identik pada wilayah-wilayah budaya tersebut. Selain motif dasar, warna juga menentukan identitas ragam hias tersebut. Dalam hal pemaknaan, masyarakat Aceh dengan basis budaya pesisir memaknai ragam hias secara lugas dengan pokok yang identik dengan ciri egaliterian. Hal tersebut berbeda dengan pemaknaan ragam hias pada masyarakat peladang yang identik dengan penegakan adat dan etika sosial. Hal yang unik adalah munculnya ragam hias sebagai representasi kekayaan geografis pada masing-masing wilayah. Dari 2 wilayah budaya yang berbeda ini dapat ditemukan beberapa motif dasar yang sama dengan penamaan yang berbeda dan motif penghubung diantara keduanya. 107 Jurnal Seuneubok Lada, Vol.4,No.1, Januari – Juni 2017 DAFTAR PUSTAKA Anonim. 2002.Motif Hias Seni Ornamentik Aceh. Dokumen diperoleh dari informan di Ulle Madoon, Aceh Utara Creswell. 2012.Education Research, planning, conducting and evaluation quantitative and qualitative Research.4Th Edition. Boston: Pearson Gottscahlk. 1975. Mengerti Sejarah. Jakarta: UI Press Ferawati, 2010. Motif Kerawang Gayo Pada Busana Adat Pengantin di Aceh Tengah. Portal Garuda.org/article.php, download tangal 25 Agustus 2016 Hasanudin.1985. Hasanudin, Basri.1985. ”Beberapa Hal Mengenai Struktur Ekonomi Masyarakat Pantai”, dalam A.S. Achmad dan S.S. Acip (Peny.). Komunikasi dan Pembangunan. Jakarta: Penerbit Sinar Harapan Hefner, Robert W. 1999. Geger Tengger: Perubahan Sosialb dan Perkelahian Politik. Yogyakarta: LkiS Hurgronje. 1997. Aceh, Rakyat dan Adat Istiadatnya, jil. 1 (terj.) Sutan Meimoen. Jakarta: Inis Ibrahim Hasan.1979; 5; Hariri Hadi, 1972: 24 dalam laporan depdikbud. 1983 Jakob, Sumardjo. 2002. Arkeologi Budaya Indonesia. Yogyakarta: Qalam Keesing. 1989. Antropologi Budaya: suatu perspektif kontemporer. Jakarta: Erlangga Koentjaraningrat. 1990. Pengantar Ilmu Antropologi. Jakarta: PT Rineka Cipta. Marsden, William. 2008. Sejarah Sumatra. Jakarta: Komunitas Bambu. Nurcholish, Madjid. 2013. Islam Kemoderenan dan Keindonesiaan. Edisi ke 2. Bandung: Mizan Proyek Inventarisasi Dan Dokumentasi Kebudayaan Daerah Departemen Pendidikan Dan Kebudayaan . 1983. Aspek Geografi Budaya Dalam Wilayah Pembangunan Daerah Istimewa Aceh. Jakarta: Debdikbud. Proyek Media Kebudayaan Departemen Pendidikan Dan Kebudayaan Direktorat Jenderal Pendidikan . 1982/1983. Album Seni Budaya Aceh. Jakarta: Debdikbud Proyek Media Kebudayaan Departemen pendidikan dan Kebudayaan. Album arsitektur tradisional,.1983/1984: 12 Reid, Anthony. 2011. Menuju Sejarah Sumatra: Antara Indonesia dan Dunia. Jakarta: Yayasan Pustaka Obor Indonesia: KITLV Jakarta. Sofyan. 2014. Ornaments of Flora and Fauna on Traditional Acehnese House. Jurnal Natural Vol. 14 No. 2:34. 108 Jurnal Seuneubok Lada, Vol.4,No.1, Januari – Juni 2017 Soegeng Toekio M., 1987, Mengenal Ragam Hias Indonesia, Bandung: Angkasa. T. Alibasyah Talsya. 1972. Atjeh Jang Kaja Budaja. Banda Aceh: Pustaka Mutia Wardiah .2014. pengembangan desain motif pada pakain adat Aceh.Jjurnal Mentari. http://ejournal.unmuha.ac.id/inde x.php/mentari/article/view/48 Sumber wawancara Hj. Cut Huzaimah, Tanggal 1 Juni 2016, pukul 13.00 – 15.30 WIB ibu Susi, Pengurus Dekranasda Kota Lhokseumawe, 2 Juni 2016, Pukul 11.30 – 14.00 WIB Ibu Mariana, pengrajin tas bordir ulee Madoon, Aceh Utara, 3 Juni 2016, Pukul 15.00-18.00 WIB 109