MAKALAH
GANGGUAN DISOSIATIF & PSIKIATRI TIDAK KHAS
Disusun guna memenuhi tugas
Mata Kuliah: Psikologi Abnormal
Dosen pengampu: Wening Wihartati., S.Psi., M.si
DISUSUN OLEH:
Rima Qoriah (1807016007)
Zahratul Jannah (1807016018)
Chatijah Amalia (1807016030)
PROGRAM STUDI PSIKOLOGI
FAKULTAS PSIKOLOGI DAN KESEHATAN
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI WALISONGO SEMARANG
2020
KATA PENGANTAR
Dengan menyebut nama Allah SWT yang Maha Pengasih lagi Maha Panyayang, Kami panjatkan puja dan puji syukur atas kehadirat-Nya, yang telah melimpahkan rahmat, hidayah, dan inayah-Nya kepada kami, sehingga kami dapat menyelesaikan makalah Psikologi Abnormal.
Makalah ini telah kami susun dengan maksimal dan mendapatkan bantuan dari berbagai pihak sehingga dapat memperlancar pembuatan makalah ini. Untuk itu kami menyampaikan banyak terima kasih kepada semua pihak yang telah berkontribusi dalam pembuatan makalah ini.
Terlepas dari semua itu, Kami menyadari sepenuhnya bahwa masih ada kekurangan baik dari segi susunan kalimat maupun tata bahasanya. Oleh karena itu dengan tangan terbuka kami menerima segala saran dan kritik dari pembaca agar kami dapat memperbaiki makalah ini.
Akhir kata kami berharap semoga makalah Psikologi Abnormal tentang Gangguan Disostatif & Psikiatri Tidak Khas dapat memberikan manfaat maupun inspirasi terhadap pembaca.
Semarang, 4 Maret 2020
Kelompok 8
DAFTAR ISI
KATA PENGANTAR 2
DAFTAR ISI 3
BAB 1 PENDAHULUAN 4
Latar belakang 4
Rumusan masalah 4
Tujuan 5
BAB II PEMBAHASAN 6
BAB III PENUTUP 20
kesimpulan 20
DAFTAR PUSAKA 21
BAB I
PENDAHULUAN
Latar Belakang
Latar belakang permasalahan makalah ini adalah membahas tentang gangguan disosiatif pada seseorang dan juga membahas tentang gangguan psikiatri yang tidak khas pada manusia. Makalah ini membahas dari faktor penyebab, macam-macam serta terapi untuk menyembuhkan dari gangguan disosiatif dan juga gangguan psikiatri tidak khas.
Sejumlah fenomena yang lebih dramatis di seluruh domain psikopatologi, yaitu orang yang tidak dapat meningat siapa diri mereka atau dari mana mereka berasal, dan orang yang memiliki dua atau lebih identitas atau kepribadian yang jelas berbeda yang secara bergantian mengambil ahli kontrol perilaku seseorang. Gangguan identitas disosiatif biasanya disebut sebagai kepribadian ganda. Psikiatri tidak khas yaitu keadaan dimana individu mengalami gangguan dalam kognitif, afektif dan psikomotor yang kemudian muncul dalam bentuk sekumpulan gejala yang menyebabkan penderitaan dan menganggu fungsi individu sebagai makhluk hidup. Definisi lain menyebutkan bahwa psikiatri tidak khas adalah gangguan dengan kombinasi perasaan, pikiran dan perilaku yang memiliki kaitan dengan sistem saraf di dalam otak yang berhubungan dengan pengoperasian fungsi sosial manusia. Gangguan psikiatri tidak khas memiliki persamaan dengan gangguan neuropsikologis karena tetap melibatkan adanya gangguan di otak yang lebih banyak dipengaruhi oleh pengalaman psikologis misalnya stres.
Rumusan Masalah
Apa pengertian dari gangguan disosiatif?
Apa saja faktor-faktor penyebab gangguan disosiatif?
Apa saja macam-macam dari gangguan disosiatif?
Bagaimana terapi bagi gangguan disosiatif?
Apa pengertian dari psikiatri tidak khas?
Bagaimana penyebab dan gejala dari psikiatri?
Apa saja macam macam dari psikiatri tidak khas?
Bagaimana terpapi bagi psikiatri tidak khas?
Tujuan
Dapat mengetahui pengertian dari gangguan disosiatif dan psikiatri tidak khas
2. Dapat mengetahui faktor dari gangguan disosiatif dan psikiatri
3. Dapat mengetahui macam macam dari gangguan disosiatif dan psikiatri tidak khas
4. Dapat mengetahui bagaimana terapi dalam gangguan disosiatif dan psikiatri tidak khas
BAB II
PEMBAHASAN
2.1 Gangguan Disosiatif
Gangguan disosiatif merupakan satu kelompok kondisi yang meliputi gangguan pada fungsi terinterasi (penyesuaian perbedaan tingkah laku) yang secara normal ada pada diri seseorang, yaitu fungsi kesadaran, memori, identitas, atau persepsi. ( APA, 2013; Spiegel dkk, 2013). Sejumlah fenomena yang lebih dramatis di seluruh domain psikopatologi, yaitu orang yang tidak dapat meningat siapa diri mereka atau dari mana mereka berasal, dan orang yang memiliki dua atau lebih identitas atau kepribadian yang jelas berbeda yang secara bergantian mengambil ahli kontrol perilaku seseorang. Gangguan identitas disosiatif biasanya disebut sebagai kepribadian ganda.
Konsep disosiasi atau pemisahan (dissociation) pertama kali diperkenalkan lebih dari satu abad lalu oleh neurolog Prancis Pierre Janet (1857-1947). Disosiasi dapat didefinisikan sebagai “suatu gangguan dan diskontinuitas (pemutusan) integrasi subjektif normal dari satu atau lebih aspek fungsi psikologis, yang meliputi tetapi tidak terbatas pada identitas, kesadaran, persepsi, dan kontrol motorik” (Spiegel, dkk, 2011, hlm. 826).
Pada orang dengan gangguan disosiatif, kualitas multisaluran yang secara normal terintegrasi dan terkoordinasi dengan baik pada kognisi manusia menjadi sangat kurang terkoordinasi dan terintegrasi. Saat terjadi orang yang terkena tidak mampu mengakses informasi yang secara tidak sadar, seperti halnya identitas personal atau masalalu kapasitas yang berguna secara normal, untuk memelihara aktivitas mental yang sedang berlangsung di luar kesadaran yan muncul untuk dirusak, terkadang dengan maksud untuk mempertahankan ancaman psikologis yang parah. Ketika itu terjadi, kita mengamati simtom patologis yang merupakan karakteristik pokok gangguan disosiatif.
Seperti halnya gangguan simtom, gangguan disosiatif muncul terutama menjadi jalan untuk menghindari kecemasan dan stres serta mengelola stres kehidupan yang melebihi sumber daya yang biasanya dimiliki seseorang dalam mengatasinya.kedua tipe gangguan tersebut juga memungkinkan individu menolak tanggung jawab personal untuk harapan atau perilakunya yang “tidak dapat diterima”. Dalam kasus gangguan disosiatif yang didefinisikan DSM, seseorang menghindari stres dengan membuat disosiasi secara patologis-intinya, dengan melarikan diri dari memori autobiografinya sendiri atay identitas personalnya sendiri. DSM-5 mengenali sejumlah tipe disosiasi patologis. Ini meliputi gangguan depersonalisasi atau derealisasi patalogis. Gangguan disosiatif ditempatkan di DSM-5 setelah ganggua pascatrauma dan gangguan terkait stresor untuk merefleksikan kedekatan hubungan yang ada di antara gangguan-gangguan tersebut.
2.2 Faktor Penyebab Gangguan Disosiatif
Faktor biologis
Pada faktor ini belum sepenuhnya diketahui secara jelas, gangguan ini tidak bisa dijelaskan secara medis.
Faktor Lingkungan Sosial
Yaitu seperti penyiksaan fisik atau pelecehan seksual yang dialami pada masa kecil. Sebagian besar survei melaporkan angka trauma masa kanak-kanak yang tinggi (pada gangguan identitas disosiatif), kurang atau tidak adanya dukungan sosial selama atau setelah terjadinya penyiksaan atau pelecehan tersebut juga turut berpengaruh. Pengaruh lainnya dapat bersumber dari pengalaman traumatis lain yang mungkin dialami; misalnya trauma peperangan (pada amnesia disosiatif dan fugue disosiatif). Sebuah studi terhadap 428 remaja kembar menunjukkan bahwa 33% sampai 50% varians dalam pengalaman disosiatif dapat diatribusikan pada keluarga yang penuh perselisihan dan tidak saling mendukung.
Faktor Behavioral
Yaitu kemungkinan adanya reinforcement (penguat) untuk menampilkan peran sosial dari kepribadian ganda.
Faktor Emosional dan Kognitif
Yaitu terbebas dari kecemasan dengan memisahkan diri (mendisosiasi) secara psikologis dari emosi atau ingatan yang mengganggu seperti perasaan tidak nyata, penumpukan rasa sakit emosional maupun fisik. Amnesia disosiatif dan fugue disosiatif jelas merupakan reaksi terhadap stres berat. Tetapi stres berat atau trauma tersebut terjadi di masa kini dan bukan di masa lalu. Contohnya seperti banyak pasien yang melarikan diri dari masalah hukum atau stres berat di rumah maupun pekerjaan.
Jeffrey S. Nevid, Spencer A. Rathus, Beverly Greene. Psikologi Abnormal edisi 5 jilid 1. (jakarta : Erlangga , 2003). Hal: 216.
2.3 Macam-Macam Gangguan Disosiatif
2.3.1 Gangguan Identitas Disosiatif
Gangguan identitas disosiatif (dissociative identity disorder-DID), sebelumnya dikenal sebagai multiple personality disorder, merupakan gangguan disosiatif dramatis. Suatu gangguan disosiatif dimana seseorang memiliki dua atau lebih kepribadian yang berbeda atau kepribadian pengganti (alter). Terdapat beberapa variasi dari kepribadian ganda, seperti kepribadian tuan rumah atau utama mungkin tidak sadar akan identitas lainnya, sementara kepribadian lainnya sadar akan keberadaan si tuan rumah ada juga kepribadian yang berbeda benar-benar tidak sadar satu sama lain. Terkadang dua kepribadian bersaing untuk mendapatkan kontrol terhadap orang tersebut ada juga satu kepribadian dominan (Dorahy, 2001).
Orang dengan kepribadian ganda seringkali sangat imajinatif pada masa kecilnya karena terbiasa dengan permainan “make-believe” (pura-pura atau bermain peran) mereka mungkin sudah mengadopsi identitas pengganti, terutama bila mereka belajar bagaimana menampilkan peran kepribadian ganda. Dalam kasus kepribadain ganda masih terdapat kontroversi, karena selama tahun 1920-1970 dilaporkan hanya sedikit kasus di seluruh dunia tentang kepribadian ganda. Sejumlah ahli percaya bahwa gangguan tersebut terlalu cepat didiagnosis pada orang-orang yang sangat mudah tersugesti yang bisa saja hanya mengikuti sugesti bahwa mereka mungkin memiliki gangguan tersebut (APA, 2000).
Identitas disosiatif merupakan kemunculan dua atau lebih kepribadian yang berbeda. Kejelasan atau ketidakjelasan dari kepribadian ini bagaimanapun bervariasi dari fungsi motivasi psikologis, level stress sekarang, budaya, konflik internal dan dinamic, serta naik turunnya emosi. Penekanan periode-periode dari gangguan identitas mungkin terjadi ketika tekanan psikososial parah dan/atau berkepanjangan. Dalam beberapa kasus “possession-form” dari gangguan identitas disosiatif, dan dalam proporsi kasus “non-possession-form” yang kecil, perwujudan dari identitas alter akan sangat jelas. Kebanyakan individu dengan gangguan identitas disosiatif “non-possession-form”, tidak sejara jelas menunjukkan ketidaksinambungan identitas diri dalam periode waktu yang lama; hanya sedikit bagian menujukkan pada perhatian klinis dengan identitas alternatif yang terobservasi (Dorahy, 2001).
Identitas “possession-form” dalam identitas disosiatif nyata sebagai perilaku yang muncul seperti ada “spirit”, kekuatan supernatural, atau ada orang lain di luar yang mengontrol. Contohnya, perilaku individu dapat memunculkan bahwa identitas mereka telah digantikan dengan “hantu” dari perempuan yang bunuh diri dalam komunitas mereka beberapa tahun yang lalu, berbicara dan berperilaku seakan-akan perempuan itu masih hidup. Atau, individu diambil alih oleh iblis, sebagai tuntutan dari individu untuk mendapatkan hukuman atas perilaku yang telah dia lakukan di masa lalu. Bagaimanapun, bagian utama dari keadaan kepemilikan di dunia ini normal, biasanya bagian dari spiritual dan tidak termasuk dalam gangguan identitas disosiatif. Identitas yang meningkat selama gangguan disosiatif disorder “possession-form” muncul berulang tidak diinginkan dan terpaksa yang menyebabkan distress atau kerusakan klinis yang signifikasn dan tidak dapat diterima oleh budaya atau agama secara luas (Dorahy, 2001).
2.3.2 Amnesia disosiatif
Amnesia retograde (retrogade amnesia) merupakan ketidakmampuan sebagian atau seluruhnya untuk mengingat kembali atau mengenali informasi yang diperole sebelumnya atau pengalaman masa lalu sebaliknya, amnesia anterograde (anterograde amnesia) adalah ketidakmampuan sebagian atau seluruhnya untuk mempertahankan informasi baru (gilboa dkk, 2006: kapur, 1999). Amnesia disosiatif dipercaya sebagai tipe yang paling umum dari gangguan disosiatif. Kehilangan memori karena penyebab psikologik disebut amnesia disosiatif. Amnesia diambil dari kata Yunani a-, berarti “tanpa” dan mnasthai, berarti “untuk mengingat”. Mengingat kembali dalam amnesia disosiatif dapat terjadi secara bertahap tapi sering muncul secara tiba-tiba atau spontan (Maldonado, Butler, dan Speigel, 1998). Biasanya, terdapat kehilangan informasi bermuatan emosi yang anterograd secara tiba-tiba setelah suatu stres fisik atau psikososial. Gangguan ini lebih banyak dijumpai oada wanita usia remaja atau usia 20-1n, atau laki-laki pada waktu perang. Pada saat serangan, pasien tampak sangat bingung, tetapi dapat pulih secara cepat, spontan, dan menyeluruh. Pada sebagian kasus, amnesia terjadi sebagian atau menyeluruh, dialami selama beberapa bulan atau tahun pada saat-saat akhir hidup mereka. Hipnosis dapat membantu untuk mengembalikan memorinya (Tomb, 2004).
Terdapat jenis-jenis dalam kerusakan ingatan yang diantaranya ialah ketidak mampuan untuk mengingat semua insiden yang berhubungan dengan suatu kejadian traumatik untuk suatu periode waktu spesifik setelah kejadian tersebut (biasanya beberapa jam sampai beberapa hari) yang disebut dengan Amnesia lokal (Townsend, 1998). Sedangkan amnesia selektif, individu dapat mengingat beberapa, namun tidak semua, peristiwa-peristiwa dalam periode waktu terbatas. Jadi, individu dapat mengingat bagian dari peristiwa traumatik, tetapi tidak pada bagian lain. Beberapa individu melaporkan, dirinya menderita baik amnesia terlokalisasi dan amnesia selektif. Dengan kata lain yang dapat diingat hanyalah kejadian pasti yang berhubungan dengan kejadian traumatik (Townsend, 1998).
Berbeda dengan amnesia selektif dan amnesia lokal, Amnesia menyeluruh penghilangan memori keseluruhan dari sejarah kehidupan seseorang, dan hal tersebut jarang. Individu dengan amnesia keseluruhan dapat melupakan identitas pribadi. Beberapa kehilangan pengetahuan sebelumnya tentang dunia (pengetahuan semantik) dan tidak dapat melakukan keahlian-keahlian yang telah dipelajari (pengetahuan prosedural). Amnesia menyeluruh mempunyai onset akut; membingungkan, disorientasi, dan pengeluyuran yang tidak bertujuan dari individu dengan amnesia menyeluruh biasanya membawa mereka pada perhatian polisi atau pelayan psikiater darurat. Amnesia menyeluruh dapat menjadi lebih umum di antara korban kekerasan seksual dan individu yang memiliki pengalaman stress emosional yang ekstrim atau konflik (Townsend, 1998).
Dan yang terakhir ialah amnesia kontinu yakni ketidakmampuan mengingat kejadian-kejadian berikutnya sampai suatu waktu yang spesifik dan termasuk kejadian-kejadian saat ini. Memorinya tidak kembali setelah suatu periode waktu yang pendek, seperti pada amnesia lokal. Individu tersebut benar-benar tidak mampu membentuk memori baru (Townsend, 1998). Individu dengan amnesias disosiatif seringkali tidak menyadari (atau hanya sebagian sadar) permasalahan memori mereka. Kebanyakan, terkhusus mereka yang mengalami amnesia terlokalisasi, meminimalisir kepentingan dari kehilangan memori mereka dan dapat menjadi tidak nyaman ketika diarahkan untuk mengingat memori tersebut. Dalam amnesia tersistematis, individu kehilangan memori untuk kategori informasi yang spesifik (semua ingatan tentang keluarga, orang penting, pelecehan seksual masa kecil).
Jeffrey S. Nevid, Spencer A. Rathus, Beverly Greene. Psikologi Abnormal edisi 5 jilid 1. (jakarta : Erlangga , 2003). Hal: 206-207.
2.3.3 Fugue disosiatif atau Fuga Psikogenik
Fugue berasal dari bahasa latin fugere, yang berarti melarikan diri, fugue sama dengan amnesia ”dalam pelarian”. Dalam fugue disosiatif memori yang hilang lebih luas dari pada amnesia dissosiative, individu tidak hanya kehilangan seluruh ingatanya (misalnya nama, keluarga atau pekerjaanya), mereka secara mendadak meninggalkan rumah dan pekerjaanya serta memiliki identitas yang baru (parsial atau total) (APA, 1994). Namun mereka mampu membentuk hubungan sosial yang baik dengan lingkungan yang baru. Fugue, seperti amnesia, relatif jarang dan diyakini mempengaruhi sekitar 2 orang di 1.000 di antara populasi umum (APA, 1994). Setelah pulih, tidak ada ingatan sama sekali terhadap kejadian-kejadian yang terjadi selama fuga (fugue). Prosesnya secara singkat-beberapa jam sampai beberapa hari dan jarang sampai beberapa bulan. Kekambuhan jarang terjadi (Townsend, 1998).
Jeffrey S. Nevid, Spencer A. Rathus, Beverly Greene. Psikologi Abnormal edisi 5 jilid 1. (jakarta : Erlangga , 2003). Hal: 207-208.
Gangguan ini muncul sesudah individu mengalami stress atau konflik yang berat, misalnya pertengkaran rumah tangga, mengalami penolakan, kesulitan dalam pekerjaan dan keuangan, perang atau bencana alam. Perilaku seseorang pasien dengan fugue disosiatif adalah lebih bertujuan dan terintegrasi dengan amnesianya dibandingkan pasien dengan amnesia disosiatif. Pasien dengan fugue disosiatif telah berjalan jalan secara fisik dari rumah dan situasi kerjanya dan tidak dapat mengingat aspek penting identitas mereka sebelumnya (nama,keluarga, pekerjaan). Pasien tersebut seringkali, tetapi tidak selalu, mengambil identitas dan pekerjaan yang sepenuhnya baru, walaupun identitas baru biasanya kurang lengkap dibandingkan kepribadian ganda yang terlihat pada gangguan identitas disosiatif (Tomb, 2004)
Penyebab dissociative fugue serupa kepada dissociative amnesia. Dissociative fugue sering disalaharti sebagai malingering, karena kedua kondisi bisa terjadi dibawah keadaan bahwa seseorang mungkin tidak bisa memahami keinginan untuk menghindar. Kebanyakan fugue tampak melambangkan pemenuhan keinginan yang disembunyikan (misal, lari dari tekanan yang berlebihan, seperti perceraian atau kegagalan keuangan). Fugues lainnya berhubungan dengan perasaan ditolak atau dipisahkan atau mereka bisa melindungi orang tersebut dari bunuh diri atau impul pembunuhan. Ketika dissociative fugue berulang labih dari beberapa waktu, orang tersebut biasanya memiliki gangguan identitas dissociative yang mendasari. Fugue bisa berlangsung dari hitungan jam sampai mingguan, atau kadangkala bahkan lebih lama (Tomb, 2004)
2.3.4 Gangguan Depersonalisasi
Gangguan depersonalisasi didiagnosis hanya terjadi bila pengalaman terjadi berulangkali dan menimbulkan distress yang jelas. Ada dua macam gangguan depersonalisasi, diantaranya ialah:
Depersonalisasi (depersonalization) mencangkup kehilangan atau perubahan temporer dalam perasaan yang biasa mengenai realitas diri sendiri. Dalam suatu tahap depersonalisasi, orang merasa terpisah dari dirinya sendiri dan lingkungan sekitarnya. Mereka mungkin merasa seperti sedang bermimpi atau bertingkah laku seperti robot (Guralnik, Schmeidler, & Simeon, 2000; Maldonado, Butler, & Speigel, 1998).
Derealisasi (Derealization) suatu perasaan tidak nyata mengenai dunia luar yang mencakup perubahan yang aneh dalam persepsi mengenai lingkungan sekitar, atau dalam perasaan mengenai periode waktu juga dapat muncul. Orang dan objek dapat berubah ukuran atau bentuk dan dapat pula mengeluarkan suara yang berbeda. Semua perasaan ini dapat diasosiasikan dengan kecemasan, termasuk pusing dan ketakutan akan menjadi gila, atau dengan depresi (Guralnik, Schmeidler, & Simeon, 2000; Maldonado, Butler, & Speigel, 1998).
Jeffrey S. Nevid, Spencer A. Rathus, Beverly Greene. Psikologi Abnormal edisi 5 jilid 1. (jakarta : Erlangga , 2003). Hal: 209.
Hal utama/penting dari gangguan depersonalisasi/derealisasi adalah episode menetap atau berulang dari depersonalisasi/derealisasi, atau keduanya. Episode dari depersonalisasi dikaraktersitikan dari perasaan yang tidak nyata atau tidak familiar dari keseluruhan diri seseorang atau dari aspek-aspek diri. Individu tersebut dapat merasa terpisah dari dirinya (“saya bukan siapa-siapa”, “saya tidak mempunyai diri saya”). Dia juga merasa terpisah secara subjektif dari aspek diri, termasuk perasaan (“ saya tahu saya mempunyai perasaan, tapi saya tidak merasakannya”), pikiran (“pikiran saya tidak terasa seperti milik saya”, keseluruhan tubuh/bagian tubuh, atau sensasi (sentuhan, lapar, libido). Ada juga pengurangan rasa memiliki dari agen diri (terasa seperti robot, kurang dalam kontrol perkataan atau gerakan). Pengalaman depersonalisasi terkadang menjadi satu dalam pemisahan diri, dengan satu bagian mengamati dan bagian lain berpartisipasi (“out-of-body experience” adalah bentuk paling ekstrim). Kesatuan gejala dari “depersonalisasi” terdiri dari beberapa faktor gejala: pengalaman diri menyimpang dari biasanya (diri yang tidak nyata dan perubahan persepsi); emosi atau merasa mati rasa secara fisik; dan distorsi diri yang temporal dengan mengingat kembali penyimpangan diri (Guralnik, Schmeidler, & Simeon, 2000.
Episode derealisasi dikarakteristikan oleh perasaan tidak nyata atau memisahkan dari atau tidak familiar dengan, dunia (individu, benda mati, dan sekitarnya). Individu tersebut dapat merasa bahwa dia dalam kabut, mimpi, atau gelembung, atau pengalaman buatan, tidak berwarna, atau tidak hidup. Derealisasi secara umum diikuti dengan distorsi visual subjektif, seperti kekaburan, merasa lingkungan sekitar makin sempit/makin luas, dua-dimensi/rata, melebih-lebihkan tiga dimensi, atau perubahan jarak/ukuran dari objek. Distorsi auditori dapat terjadi, dimana suara mengecil atau mengeras (Guralnik, Schmeidler, & Simeon, 2000).
2.4 Terapi Bagi Gangguan Disosiatif
Terapi kesenian kreatif. Dalam beberapa referensi dikatakan bahwa tipe terapi ini menggunakan proses kreatif untuk membantu pasien yang sulit mengekspresikan pikiran dan perasaan mereka. Seni kreatif dapat membantu meningkatkan kesadaran diri. Terapi seni kreatif meliputi kesenian, tari, drama dan puisi (Maldonado, Butler, dan Speigel, 1998).
Terapi kognitif. Terapi kognitif ini bisa membantu untuk mengidentifikasikan kelakuan yang negative dan tidak sehat dan menggantikannya dengan yang positif dan sehat, dan semua tergantung dari ide dalam pikiran untuk mendeterminasikan apa yang menjadi perilaku pemeriksa (Maldonado, Butler, dan Speigel, 1998).
Terapi obat. Terapi ini sangat baik untuk dijadikan penangan awal, walaupun tidak ada obat yang spesifik dalam menangani gangguan disosiatif ini. Biasanya pasien diberikan resep berupa anti-depresan dan obat anti-cemas untuk membantu mengontrol gejala mental pada gangguan disosiatif ini (Maldonado, Butler, dan Speigel, 1998).
Ahli terapi biasanya merekomendasikan menggunakan hypnosis yang biasanya berupa hypnoterapi atau hipnotis sugesti sebagai bagian dari penanganan pada gangguan disosiatif. Hypnosis menciptakan keadaan relaksasi yang dalam dan tenang dalam pikiran. Saat terhipnotis, pasien dapat berkonsentrasi lebih intensif dan spesifik. Karena pasien lebih terbuka terhadap sugesti saat pasien terhipnotis. Ada beberapa konsentrasi yang menyatakan bahwa bisa saja ahli hipnotis akan menanamkan memori yang salah dalam mensugesti. Selain itu, kita juga bisa melakukan pencegahan. Anak- anak yang secara fisik, emosional dan seksual mengalami gangguan, sangat beresiko tinggi mengalami gangguan mental yang dalam hal ini adalah gangguan disosiatif. Jika terjadi hal yang demikian, maka bersegeralah mengobati secara sugesti, agar penangan tidak berupa obat anti depresan ataupun obat anti stress, karena diketahui bahwa jika menanamkan sugesti yang baik terhadap usia belia, maka nantinya akan didapatkan hasil yang maksimal, dengan penangan yang minimal (Maldonado, Butler, dan Speigel, 1998).
3.1 Pengertian dari Psikiatri Tidak Khas
Psikiatri tidak khas yaitu keadaan dimana individu mengalami gangguan dalam kognitif, afektif dan psikomotor yang kemudian muncul dalam bentuk sekumpulan gejala yang menyebabkan penderitaan dan menganggu fungsi individu sebagai makhluk hidup. Definisi lain menyebutkan bahwa psikiatri tidak khas adalah gangguan dengan kombinasi perasaan, pikiran dan perilaku yang memiliki kaitan dengan sistem saraf di dalam otak yang berhubungan dengan pengoperasian fungsi sosial manusia. Gangguan psikiatri tidak khas memiliki persamaan dengan gangguan neuropsikologis karena tetap melibatkan adanya gangguan di otak yang lebih banyak dipengaruhi oleh pengalaman psikologis misalnya stres.
Gangguan psikiatri tidak khas memiliki pengertian yang hampir sama dengan gangguan psikosomatik yaitu gangguan fisik yang disebabkan oleh tekanan emosional dan psikologis atau gangguan fisik yang terjadi sebagai akibat dari kegiatan psikologis yang berlebihan dalam mereaksi gejala emosi. Gangguan somatisasi juga memiliki kesamaan dengan psikiatri tidak khas yaitu merupakan salah satu bentuk gangguan somatoform, yang sumber gangguannya adalah kecemasan yang dimanifestasikan dalam keluhan fisik, sehingga orang lain tidak akan mengerti jika individu tidak mengeluh (Davison dan Neale, 1986, 2001). Somatisasi juga merupakan suatu bentuk gangguan yang ditunjukkan dengan satu atau beberapa macam keluhan fisik akan tetapi secara medis tidak mempunyai dasar yang jelas.
Karena kompleksitas dan variabilitasnya, gangguan ini sulit di diagnosis dalam bidang psikiatri maupun psikologi. Ketika mendiagnosa seseorang yang mengalami gangguan psikiatri tidak khas maka terlebuh dahulu melihat kondisi individu tersebut, apakah dalam keadaan normal atau memiliki kondisi patologis.
3.2 Penyebab dan Gejala
Beberapa faktor yang menyebabkan gangguan psikiatri tidak khas terjadi yaitu karena adanya konflik intrapsikis, masalah hubungan interpersonal atau masalah lingkungan dan sosial, serta bentuk kecenderungan pada individu untuk mengekspresikan atau mengkomunikasikan pengalaman psikologis yang tidak mengenakkan ke dalam gejala fisik dan untuk meyakinkan orang lain bahwa dirinya sakit dengan jalan individu mencari bantuan medis untuk dirinya (Ford, 1986). Selaras dengan pendapat Edelman (Kendal dan Hammen, 1998) yang menyatakan bahwa individu yang mengalami gangguan ini cenderung mengalami konflik psikologis dan distress yang diwujudkan dalam bentuk gejala fisik atau keluhan fisik akan tetapi tidak ada bukti medis.
Gangguan psikiatri tidak khas adalah bentuk gejala fisik akan tetapi secara organis tidak ada bukti patologis, baik dengan evaluasi laboratorium maupun medis (Escobar, 1996). Keluhan fisik tersebut terjadi karena ada hambatan untuk mengkomunikasikan keadaan emosi yang dialami individu dan merupakan bentuk penghindaran diri dari konflik emosional (Scicchitano dkk, 1996). Penyebab lain yang menjadi pencetus adanya gangguan yaitu:
Penyakit organik yang dulu pernah diderita dapat menimbulkan predisposisi untuk timbulnya gangguan psikiatri tidak khas pada bagian tubuh yang pernah sakit.
Tradisi keluarga dapat mengarahkan emosi kepada fungsi tertentu.
Emosi yang menjelma secara simbolik menjadi suatu gangguan jasmani tertentu.
Dapat ditentukan juga oleh kebiasaan, anggapan dan kepercayaan masyarakat di sekitar. (Sulistyaningsih, 2000)
Adapun gejala-gajala dari gangguan psikiatri tidak khas yang berupa keluhan fisik yang bervariasi, antara lain:
Kulit gatal
Sakit kepala
Pegal, kesemutan atau mati rasa pada bagian tubuh tertentu
Nyeri di bagian tubuh tertentu seperti dada, punggung dan tulang belakang
Merasa perut tidak enak seperti mual, muntah, kembung atau sendawa
3.3 Macam Macam
Menurut Maramis (2004) dan McQuade & Aickman (1991) terdapat berbagai macam jenis gangguan psikiatri tidak khas, yaitu:v
Psikiatri tidak khas yang menyerang kulit. Contohnya: alergi, neurodermatitis dan hiperhidrosis (kulit kering)
Psikiatri tidak khas yang menyerang otot dan tulang. Contohnya: rematik, nyeri otot dan nyeri sendi
Psikiatri yang tidak khas pada saluran pernafasan. Contohnya: sindroma hiperventilasi (bernafas sangat cepat seringkali menjadi pingsan) dan asma.
Psikiatri tidak khas yang menyerang jantung dan pembuluh darah. Contohnya: darah tinggi, sakit kepala vaskuler, migrain.
Psikiatri tidak khas pada saluran pencernaan. Contohnya: asam lambung, diare dan muntah-muntah.
Psikiatri tidak khas pada alat kemih dan kelamin. Contohnya: nyeri di panggul, impotensi, ejakulasi dini, dan mengompol.
Psikiatri tidak khas pada sistem endokrin. Contohnya: hipertiroid dan sindroma menopause.
3.4 Terapi
CBT (Cognitive Behavior Therapy)
Proses kognitif merupakan faktor penentu bagi pikiran, perasaan dan perbuatan (perilaku). Semua kejadian yang dialami berlaku sebagai stimulus yang dapat dipersepsi secara positif (rasional) maupun negatif (irrasional) (Sudiyanto, 2007). Cognitive Behavior Therapy adalah bentuk psikoterapi yang menekankan pentingnya peran pikiran dalam bagaimana kita merasa dan apa yang akan kita lakukan.
Terapi ini bertujuan untuk merubah sistem keyakinan yang negatif, irasional dan mengalami penyimpangan (distorsi) menjadi positif dan rasional sehingga secara bertahap mempunyai reaksi somatik dan perilaku yang lebih sehat dan normal (Hepple, 2004). Disini seorang terapis berperan sebagai guru dan pasien sebagai murid dengan demikian, diharapkan terapis secara efektif mengajarkan pasien mekanisme SKR lebih positif dan rasional, menggantikan struktur kognitif lama yang negatif, irasional dan mengalami distorsi (Sudiyanto, 2007). Selanjutnya dihadapkan langsung pada situasi yang membuatnya tidak nyaman (exposure), dan terakhir menambahkan dengan ketrampilan-ketrampilan sosial.
Hipnoterapi
Hipnoterapi merupakan salah satu cara yang sangat efektif, dan efisien dalam menjangkau pikiran bawah sadar, melakukan redukasi, dan menyembuhkan pikiran yang sakit. Pada zaman saat ini metode hipnoterapi sudah mulai dapat diterima di beberapa kalangan medis. Salah satu teknik dalam hipnoterapi yaitu teknik uncovering. Tebbets mengatakan bahwa ada empat langkah yang harus dilakukan untuk mengatasi gangguan psikiatri tidak khas dan menghilangkan simtomnya, antara lain:
Memori yang menyebabkan munculnya simtom harus dimunculkan dan dibawa ke level pikiran sadar sehingga diketahui.
Perasaan atau emosi yang berhubungan dengan memori ini harus kembali dialami dan dirasakan oleh klien.
Menemukan hubungan antara simtom dan memori.
Harus terjadi pembelajaran pada secara emosi atau pada level pikiran bawah sadar, sehingga memungkinkan seseorang membuat keputusan, di masa depan, yang mana keputusannya tidak lagi dipengaruhi oleh materi yang ditekan (repressed content) di pikiran bawah sadar.
Psikoterapi Kelompok dan Keluarga
Toksoz Bryam Karasu menulis bahwa pendekatan kelompok harus juga menawarkan kontak intrapersonal yang lebih besar, memberikan dukungan ego yang lebih tinggi bagi ego pasien psikiatri tidak khas yang lemah dan merasa takut akan ancaman isolasi dan perpisahan parental. Terapi keluarga menawarkan harapan suatu perubahan dalam hubungan antara keluarga dan anak. Kedua terapi memiliki hasil klinis awal yang sangat baik.
Biofeedback
Terapi yang dikembangkan oleh Nead Miller ini didasari oleh pemikiran bahwa berbagai respon atau reaksi yang dikendalikan oleh sistem saraf otonom sebenarnya dapat diatur sendiri oleh individu melalui operant conditioning. Biofeedback mempergunakan instrumen sehingga individu dapat mengenali adanya perubahan psikologis dan fisik pada dirinya dan kemudian berusaha untuk mengatur reaksinya.
Unity Of Science
Al-Qur’an memiliki banyak aspek keistimewaan dan kemukjizatan. Salah satunya yaitu mukjizat psikologis. Al-Qur’an diyakini sebagai satu-satunya kitab suci yang memiliki energi daya gugah yang luar biasa, serta semacam pengaruh yang dapat melemahkan dan menguatkan jiwa seseorang.
Seperti peristiwa keislaman Umar Bin Khattab RA. Setelah membaca lembaran ayat-ayat Al-Qur’an, menjadi bukti kemukjizatan Al-Qur’an secara psikologis ini. Dalam Surat (QS. Al-Anfal ayat 2)
BAB III
Kesimpulan
Pada orang dengan gangguan disosiatif, kualitas multisaluran yang secara normal terintegrasi dan terkoordinasi dengan baik pada kognisi manusia menjadi sangat kurang terkoordinasi dan terintegrasi.
gangguan disosiatif muncul terutama menjadi jalan untuk menghindari kecemasan dan stres serta mengelola stres kehidupan yang melebihi sumber daya yang biasanya dimiliki seseorang dalam mengatasinya.
Gangguan psikiatri tidak khas memiliki persamaan dengan gangguan neuropsikologis karena tetap melibatkan adanya gangguan di otak yang lebih banyak dipengaruhi oleh pengalaman psikologis misalnya stres.
Daftar Pustaka
Wahyu Muh Ambarwati. 2009. Keefektifan Cognitive Behavior Therapy (CBT) sebagai Terapi Tambahan Pasien Skizofrenia Kronis di Panti Rehabilitasi Budi Makarti Boyolali. Fakultas Kedokteran. Universitas Sebelas Maret. Surakarta.
Sarnoto, Ahmad Zain. 2016. Psikosomatis dan Pendekatan Psikologi Berbasis Al-Qur'an. Statement. 6(2) 111-117.
Asrori, Adib. 2015. Terapi Kognitif Perilaku untuk Mengatasi Gangguan Kecemasan Sosial. Jurnal Ilmiah Psikologi Terapan. 3(1) 89-107.
Hadjam, M Noor Rochman. 2003. Peranan Kepribadian dan Stres Kehidupan Terhadap Gangguan Somatisasi. Jurnal Psikologi. (1) 36-56.
digilip.uinsby.ac.id (Diakses pada 28 Februari 2020)
Jeffrey S. Nevid, Spencer A. Rathus, Beverly Greene. Psikologi Abnormal edisi 5 jilid 1. (jakarta : Erlangga , 2003). Hal: 209.