Komputasi untuk Sains dan Teknik
-Dalam Matlab-
Supriyanto Suparno
( Website: http://supriyanto.fisika.ui.edu )
( Email:
[email protected] atau
[email protected] )
Edisi III
Revisi terakhir tgl: 25 Agustus 2008
Departemen Fisika-FMIPA, Univeristas Indonesia
Dipublikasikan pertama kali pada September 2007
Untuk
Nina Marliyani
Muflih Syamil
dan
Hasan Azmi
Ketekunan adalah jalan yang terpercaya untuk mengantarkan kita menuju kesuksesan
(Supriyanto, 2007)
Kata Pengantar
Alhamdulillah, buku ini memasuki edisi ke-3. Penomoran edisi ini sebenarnya hanya untuk
menandakan perubahan isi buku yang semakin kaya metode numerik dibandingkan dengan
edisi-edisi sebelumnya. Pengayaan isi buku ini, sejujurnya, berasal dari sejumlah pertanyaan
yang sampai ke mailbox saya, entah itu dalam bentuk konsultasi Tugas Akhir mahasiswa S1
sebagaimana yang penulis terima dari mahasiswa UNPAD, UDAYANA, UNESA dan UNSRI
serta UI sendiri, ataupun sekedar pertanyaan seputar pekerjaan rumah seperti yang biasa ditanyakan oleh para mahasiswa dari Univ. Pakuan, Bogor.
Pertanyaan-pertanyaan itu menjadikan saya sadar bahwa buku edisi ke-II yang berjumlah
187 halaman, ternyata belum bisa memenuhi kebutuhan banyak mahasiswa yang memerlukan
teknik pengolahan data secara numerik. Karenanya, insya Allah, pada edisi ke-III ini, saya akan
menyajikan sebagian besar yang masih kurang lengkap itu secara bertahap.
Ibarat pohon yang akan terus tumbuh semakin besar, buku ini pun memiliki tabiat pertumbuhan sebagaimana pohon itu. Mulai ditulis pada tahun 2005 dengan isi yang seadanya,
pokoknya asal tercatat. Kemudian di tahun 2006akhir menjadi catatan perkuliahan Komputasi
Fisika. Pengayaan isi terus berlangsung hingga akhir 2007. Lalu di awal tahun 2008 diisi dengan tambahan materi perkuliahan Analisis Numerik. Itulah yang saya maksud dengan tabiat
pertumbuhan dari buku ini. Jika saya ditugaskan untuk mengajar mata kuliah Komputasi
Fisika lagi pada awal September 2008, saya bertekad akan menurunkan seluruh isi buku ini
kepada mahasiswa yang akan mengambil kuliah tersebut. Jadi materi Komputasi Fisika tahun
2007 dan materi Analisis Numerik 2008, digabung jadi satu kedalam satu semester dengan nama mata kuliah Komputasi Fisika. Kepada rekan-rekan mahasiswa yang akan ngambil mata
kuliah tersebut, saya sampaikan permohonan maaf jika rencana ini akan membuat anda kurang tidur karena bakal semakin lama berada di depan komputer, menyelesaikan tugas dan
report.
Secara garis besar, ilmu fisika dapat dipelajari lewat 3 jalan, yaitu pertama, dengan menggunakan konsep atau teori fisika yang akhirnya melahirkan fisika teori. Kedua, dengan cara
eksperimen yang menghasilkan aliran fisika eksperimental, dan ketiga, fisika bisa dipelajari
lewat simulasi fenomena alam yang sangat mengandalkan komputer serta algoritma numerik.
Tujuan penyusunan buku ini adalah untuk meletakkan pondasi dasar dari bangunan pemahaman akan metode-metode komputasi yang banyak digunakan untuk mensimulasikan fenomena fisika.
Rujukan utama buku ini bersumber pada buku teks standar yang sangat populer di dunia
komputasi, yaitu buku yang ditulis oleh Richard L. Burden dan J. Douglas Faires dengan judul
Numerical Analysis edisi ke-7, diterbitkan oleh Penerbit Brooks/Cole, Thomson Learning Academic Resource Center. Disamping itu, buku ini dilengkapi oleh sejumlah contoh aplikasi
komputasi pada upaya penyelesaian problem-problem fisika.
iii
iv
Pada edisi ke-3 ini saya mulai mencoba membiasakan diri menulis script dalam lingkungan
Python dan Octave. Padahal, dalam edisi ke-2 yang lalu, script numerik disalin ke dalam 2
bahasa pemrograman, yaitu Fortran77 dan Matlab. Namun mayoritas ditulis dalam Matlab.
Saya ingin ganti ke Python, lantaran dengan Python ataupun Octave, saya dan juga mahasiswa saya tidak perlu menginstal Matlab bajakan ke dalam komputer kami masing-masing.
Buku yang sedang anda baca ini masih jauh dari sempurna. Keterkaitan antar Bab berikut
isi-nya masih perlu perbaikan. Kondisi ini berpotensi membuat anda bingung, atau setidaknya
menjadi kurang fokus. Oleh karena itu saya menghimbau kepada pembaca untuk menfokuskan
diri melalui penjelasan singkat berikut ini:
• Bab 1 berisi pengenalan matrik, operasi matrik, inisialisasi matrik pada Matlab dan Fortran. Saran saya, setiap pembaca yang masih pemula di dunia pemrograman, harus
menguasai Bab I terlebih dahulu. Disamping itu penjelasan lebih terperinci tentang
bagaimana menentukan indeks i, j dan k dalam proses looping disajikan pada Bab I, untuk memberi pondasi yang kokoh bagi berdirinya bangunan pemahaman akan teknikteknik numerik selanjutnya.
• Untuk mempelajari metode Finite-Difference, dianjurkan mulai dari Bab 1, Bab 2, Bab 4,
Bab 7, dan Bab 8.
• Untuk mempelajari dasar-dasar inversi, dianjurkan mulai dari Bab 1, Bab 2, dan Bab 3.
Akhirnya saya ingin mengucapkan rasa terima kasih yang tak terhingga kepada Dede
Djuhana yang telah berkenan memberikan format LATEX-nya sehingga tampilan tulisan pada
buku ini benar-benar layaknya sebuah buku yang siap dicetak. Tak lupa, saya pun sepatutnya
berterima kasih kepada seluruh rekan diskusi yaitu para mahasiswa yang telah mengambil
mata kuliah Komputasi Fisika PTA 2006/2007 di Departemen Fisika, FMIPA, Universitas Indonesia. Kepada seluruh mahasiswa dari berbagai universitas di Timur dan di Barat Indonesia
juga perlu saya tulis disini sebagai ungkapan terima kasih atas pertanyaan-pertanyaan mereka
yang turut memperkaya isi buku ini.
Walaupun buku ini masih jauh dari sempurna, namun semoga ia dapat menyumbangkan
kontribusi yang berarti bagi terciptanya gelombang kebangkitan ilmu pengetahuan pada diri
anak bangsa Indonesia yang saat ini sedang terpuruk. Saya wariskan ilmu ini untuk siswa
dan mahasiswa Indonesia dimanapun mereka berada. Kalian berhak memanfaatkan buku ini.
Saya izinkan kalian untuk meng-copy dan menggunakan buku ini selama itu ditujukan untuk
belajar dan bukan untuk tujuan komersial, kecuali kalau saya dapat bagian komisi-nya :) . Bagi
yang ingin berdiskusi, memberikan masukan, kritikan dan saran, silakan dikirimkan ke email:
[email protected]
Depok, 8 Juni 2008
Supriyanto Suparno
Daftar Isi
Lembar Persembahan
i
Kata Pengantar
iii
Daftar Isi
iv
Daftar Gambar
vii
Daftar Tabel
x
1 Matrik dan Komputasi
1
1.1
Pengenalan matrik . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . .
1
1.2
Inisialisasi matrik dalam memori komputer . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . .
2
1.3
Macam-macam matrik . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . .
3
1.3.1
Matrik transpose . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . .
3
1.3.2
Matrik bujursangkar . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . .
3
1.3.3
Matrik simetrik . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . .
3
1.3.4
Matrik diagonal . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . .
4
1.3.5
Matrik identitas . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . .
4
1.3.6
Matrik upper-triangular . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . .
4
1.3.7
Matrik lower-triangular . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . .
4
1.3.8
Matrik tridiagonal . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . .
5
1.3.9
Matrik diagonal dominan . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . .
5
1.3.10 Matrik positive-definite . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . .
5
1.3.11 Vektor-baris dan vektor-kolom . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . .
6
Operasi matematika . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . .
7
1.4.1
Penjumlahan matrik . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . .
7
1.4.2
Komputasi penjumlahan matrik . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . .
8
1.4.3
Perkalian matrik . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . .
10
1.4.4
Komputasi perkalian matrik . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . .
12
1.4.5
Perkalian matrik dan vektor-kolom . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . .
14
1.4.6
Komputasi perkalian matrik dan vektor-kolom . . . . . . . . . . . . . . . .
15
1.5
Penutup . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . .
16
1.6
Latihan . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . .
16
1.4
2 Metode Eliminasi Gauss
17
2.1
Sistem persamaan linear . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . .
17
2.2
Triangularisasi dan Substitusi Mundur . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . .
18
v
vi
2.3
Matrik dan Eliminasi Gauss . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . .
21
2.4
Algoritma eliminasi Gauss . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . .
23
2.4.1
Algoritma . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . .
25
Contoh aplikasi . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . .
29
2.5.1
Menghitung arus listrik . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . .
29
2.6
Menghitung invers matrik . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . .
31
2.7
Penutup . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . .
37
2.5
3 Aplikasi Eliminasi Gauss pada Masalah Inversi
3.1
39
Inversi Model Garis . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . .
39
3.1.1
Script matlab inversi model garis . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . .
42
Inversi Model Parabola . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . .
45
3.2.1
Script matlab inversi model parabola . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . .
48
3.3
Inversi Model Bidang . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . .
51
3.4
Contoh aplikasi . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . .
53
3.4.1
53
3.2
Menghitung gravitasi di planet X . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . .
4 Metode LU Decomposition
61
4.1
Faktorisasi matrik . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . .
61
4.2
Algoritma . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . .
65
5 Metode Iterasi
71
5.1
Kelebihan Vektor-kolom . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . .
71
5.2
Pengertian Norm . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . .
72
5.2.1
Script perhitungan norm dalam Matlab . . . . . . . . . . . . . . . . . . . .
72
5.2.2
Perhitungan norm-selisih . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . .
73
Iterasi Jacobi . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . .
73
5.3.1
Script Matlab metode iterasi Jacobi . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . .
76
5.3.2
Optimasi script Matlab untuk menghitung iterasi . . . . . . . . . . . . . .
79
5.3.3
Algoritma . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . .
81
5.3.4
Program dalam Fortran . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . .
82
Iterasi Gauss-Seidel . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . .
83
5.4.1
Script iterasi Gauss-Seidel . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . .
84
5.4.2
Algoritma . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . .
85
5.4.3
Script iterasi Gauss-Seidel dalam Fortran . . . . . . . . . . . . . . . . . . .
86
Iterasi dengan Relaksasi . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . .
87
5.5.1
89
5.3
5.4
5.5
Algoritma Iterasi Relaksasi . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . .
6 Interpolasi
91
6.1
Interpolasi Lagrange . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . .
91
6.2
Interpolasi Cubic Spline . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . .
93
vii
7 Diferensial Numerik
101
7.1
Metode Euler . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . 101
7.2
Metode Runge Kutta . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . 107
7.2.1
7.3
Aplikasi: Pengisian muatan pada kapasitor . . . . . . . . . . . . . . . . . . 110
Metode Finite Difference . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . 115
7.3.1
Script Finite-Difference . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . 118
7.3.2
Aplikasi . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . 123
7.4
Persamaan Diferensial Parsial . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . 124
7.5
PDP eliptik . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . 125
7.6
7.7
7.5.1
Contoh pertama . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . 127
7.5.2
Script Matlab untuk PDP Elliptik . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . 130
7.5.3
Contoh kedua . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . 132
PDP parabolik . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . 133
7.6.1
Metode Forward-difference . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . 133
7.6.2
Contoh ketiga: One dimensional heat equation . . . . . . . . . . . . . . . . . 134
7.6.3
Metode Backward-difference . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . 139
7.6.4
Metode Crank-Nicolson . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . 143
PDP Hiperbolik . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . 146
7.7.1
7.8
Contoh . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . 148
Latihan . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . 149
8 Integral Numerik
151
8.1
Metode Trapezoida . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . 151
8.2
Metode Simpson . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . 152
8.3
Metode Composite-Simpson . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . 153
8.4
Adaptive Quardrature . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . 155
8.5
Gaussian Quadrature . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . 156
8.5.1
Contoh . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . 156
8.5.2
Latihan . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . 157
9 Mencari Akar
9.1
159
Metode Newton . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . 159
10 Metode Monte Carlo
161
10.1 Penyederhanaan . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . 161
11 Inversi
165
11.1 Inversi Linear . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . 165
11.2 Inversi Non-Linear . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . 168
Daftar Pustaka
171
Indeks
173
viii
Daftar Gambar
3.1
Sebaran data observasi antara temperatur dan kedalaman . . . . . . . . . . . . .
40
3.2
Grafik data pengukuran gerak batu . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . .
54
3.3
Grafik hasil inversi parabola . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . .
57
6.1
Fungsi f (x) dengan sejumlah titik data . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . .
93
6.2
Pendekatan dengan polinomial cubic spline . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . .
93
6.3
Profil suatu object . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . .
98
6.4
Sampling titik data . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . .
99
6.5
Hasil interpolasi cubic spline . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . .
99
6.6
Hasil interpolasi lagrange . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . 100
7.1
Kiri: Kurva y(t) dengan pasangan titik absis dan ordinat dimana jarak titik absis sebesar h. Pasangan t1 adalah y(t1 ), pasangan t2 adalah y(t2 ), begitu seterusnya. Kanan:
Garis singgung yang menyinggung kurva y(t) pada t=a, kemudian berdasarkan garis
singgung tersebut, ditentukan pasangan t1 sebagai w1 . Perhatikan gambar itu sekali
lagi! w1 dan y(t1 ) beda tipis alias tidak sama persis. . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . 102
7.2
Kurva biru adalah solusi exact, dimana lingkaran-lingkaran kecil warna biru pada kurva
menunjukkan posisi pasangan absis t dan ordinat y(t) yang dihitung oleh Persamaan
(7.9). Sedangkan titik-titik merah mengacu pada hasil perhitungan metode euler, yaitu
nilai wi . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . 106
7.3
Kurva biru adalah solusi exact, dimana lingkaran-lingkaran kecil warna biru pada kurva
menunjukkan posisi pasangan absis t dan ordinat y(t) yang dihitung oleh Persamaan
(7.9). Sedangkan titik-titik merah mengacu pada hasil perhitungan metode Runge Kutta
orde 4, yaitu nilai wi . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . 110
7.4
Rangkaian RC . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . 111
7.5
Kurva pengisian muatan q (charging) terhadap waktu t . . . . . . . . . . . . . . . 115
7.6
Kurva suatu fungsi f (x) yang dibagi sama besar berjarak h. Evaluasi kurva yang
dilakukan Finite-Difference dimulai dari batas bawah X0 = a hingga batas atas
x6 = b . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . 116
7.7
Skema grid lines dan mesh points pada aplikasi metode Finite-Difference . . . . . . 126
7.8
Susunan grid lines dan mesh points untuk mensimulasikan distribusi temperatur
pada lempeng logam sesuai contoh satu . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . 128
7.9
Sebatang logam dengan posisi titik-titik simulasi (mesh-points) distribusi temperatur.
Jarak antar titik ditentukan sebesar h = 0, 1. . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . 135
7.10 Interval mesh-points dengan jarak h = 0, 1 dalam interval waktu k = 0, 0005 . . . . . . . 135
ix
DAFTAR GAMBAR
x
7.11 Posisi mesh-points. Arah x menunjukkan posisi titik-titik yang dihitung dengan forwarddifference, sedangkan arah t menunjukkan perubahan waktu yg makin meningkat . . . . 135
8.1
Metode Trapezoida. Gambar sebelah kiri menunjukkan kurva fungsi f (x) dengan batas
bawah integral adalah a dan batas atas b. Gambar sebelah kanan menunjukan cara
metode Trapesoida menghitung luas area integrasi, dimana luas area adalah sama dengan luas trapesium di bawah kurva f (x) dalam batas-batas a dan b
8.2
. . . . . . . . . . . 152
Metode Simpson. Gambar sebelah kiri menunjukkan kurva fungsi f (x) dengan batas
bawah integral adalah a dan batas atas b. Gambar sebelah kanan menunjukan cara
metode Simpson menghitung luas area integrasi, dimana area integrasi di bawah kurva
f (x) dibagi 2 dalam batas-batas a dan b . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . 152
8.3
Metode Composite Simpson. Kurva fungsi f (x) dengan batas bawah integral adalah a
dan batas atas b. Luas area integrasi dipecah menjadi 8 area kecil dengan lebar masingmasing adalah h. . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . 154
9.1
Metode Newton . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . 160
10.1 Lingkaran dan bujursangkar . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . 161
10.2 Dart yang menancap pada bidang lingkaran dan bujursangkar . . . . . . . . . . . 162
10.3 Dart yang menancap pada bidang 1/4 lingkaran dan bujursangkar . . . . . . . . 163
Daftar Tabel
3.1
Data temperatur bawah permukaan tanah terhadap kedalaman . . . . . . . . . .
39
3.2
Data temperatur bawah permukaan tanah terhadap kedalaman . . . . . . . . . .
45
3.3
Data ketinggian terhadap waktu dari planet X . . . . . . . . . . . . . . . . . . . .
53
5.1
Hasil akhir elemen-elemen vektor x hingga iterasi ke-10 . . . . . . . . . . . . . . .
79
5.2
Hasil perhitungan norm-selisih (dengan ℓ2 ) hingga iterasi ke-10 . . . . . . . . . .
80
5.3
Hasil Iterasi Gauss-Seidel . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . .
84
5.4
Hasil perhitungan iterasi Gauss-Seidel . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . .
88
5.5
Hasil perhitungan iterasi Relaksasi dengan ω = 1, 25 . . . . . . . . . . . . . . . . .
88
7.1
Solusi yang ditawarkan oleh metode euler wi dan solusi exact y(ti ) serta selisih
antara keduanya . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . 105
7.2
Solusi yang ditawarkan oleh metode Runge Kutta orde 4 (wi ) dan solusi exact
y(ti ) serta selisih antara keduanya . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . 110
7.3
Perbandingan antara hasil perhitungan numerik lewat metode Runge Kutta dan
hasil perhitungan dari solusi exact, yaitu persamaan (7.16) . . . . . . . . . . . . . 114
7.4
Hasil simulasi distribusi panas bergantung waktu dalam 1-dimensi. Kolom ke-2 adalah
solusi analitik/exact, kolom ke-3 dan ke-5 adalah solusi numerik forward-difference. Kolom
ke-4 dan ke-6 adalah selisih antara solusi analitik dan numerik . . . . . . . . . . . . . . 139
7.5
Hasil simulasi distribusi panas bergantung waktu dalam 1-dimensi dengan metode backwarddifference dimana k = 0, 01
7.6
. . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . 143
Hasil simulasi distribusi panas bergantung waktu (t) dalam 1-dimensi dengan
metode backward-difference dan Crank-Nicolson . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . 146
8.1
Polinomial Legendre untuk n=2,3,4 dan 5 . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . 156
xi
xii
DAFTAR TABEL
Bab 1
Matrik dan Komputasi
✍ Objektif :
⊲ Mengenalkan matrik dan jenis-jenis matrik.
⊲ Mengenalkan operasi penjumlahan dan perkalian matrik.
⊲ Mendeklarasikan elemen-elemen matrik ke dalam memori komputer.
⊲ Membuat script operasi matrik.
1.1
Pengenalan matrik
Notasi suatu matrik berukuran n x m ditulis dengan huruf besar dan dicetak tebal, misalnya
An×m . Huruf n menyatakan jumlah baris, dan huruf m jumlah kolom. Suatu matrik tersusun
dari elemen-elemen yang dinyatakan dengan huruf kecil diikuti angka-angka indeks, misalnya
aij , dimana indeks i menunjukan posisi baris ke-i dan indeks j menentukan posisi kolom ke-j.
a11
a12
. . . a1m
a21
A = (aij ) =
..
.
a22
..
.
. . . a2m
..
.
(1.1)
an1 an2 . . . anm
Contoh 1: Matrik A2×3
A=
"
#
3 8 5
6 4 7
dimana masing-masing elemennya adalah a11 = 3, a12 = 8, a13 = 5, a21 = 6, a22 = 4, dan
a23 = 7.
Contoh 2: Matrik B3×2
1 3
B = 5 9
2 4
1
BAB 1. MATRIK DAN KOMPUTASI
2
dimana masing-masing elemennya adalah b11 = 1, b12 = 3, b21 = 5, b22 = 9, b31 = 2, dan
b32 = 4.
1.2
Inisialisasi matrik dalam memori komputer
Dalam bahasa pemrograman Fortran77, cara mengisi memori komputer dengan elemen-elemen
matrik A2×3 , sesuai dengan Contoh 1 adalah
1
2
3
4
5
6
A(1,1)
A(1,2)
A(1,3)
A(2,1)
A(2,2)
A(2,3)
=
=
=
=
=
=
3
8
5
6
4
7
Sedangkan untuk matrik B3×2 , sesuai Contoh 2 adalah
1
2
3
4
5
6
B(1,1)
B(1,2)
B(2,1)
B(2,2)
B(3,1)
B(3,2)
=
=
=
=
=
=
1
3
5
9
2
4
Sementara dalam Matlab, cara mengisi memori komputer dengan elemen-elemen matrik
A2×3 , sesuai dengan Contoh 1 adalah
1
2
clear all
clc
3
4
5
6
7
8
9
10
A(1,1)
A(1,2)
A(1,3)
A(2,1)
A(2,2)
A(2,3)
A
=
=
=
=
=
=
3;
8;
5;
6;
4;
7;
Sedangkan untuk matrik B3×2 , sesuai Contoh 2 adalah
1
2
clear all
clc
3
4
5
6
7
8
9
10
B(1,1)
B(1,2)
B(2,1)
B(2,2)
B(3,1)
B(3,2)
B
=
=
=
=
=
=
1;
3;
5;
9;
2;
4;
Ini bukan satu-satunya cara menginisialisasi suatu matrik, disamping itu, ada juga cara lain
yang relatif lebih mudah. Misalnya untuk matrik A bisa ditulis sebagai berikut
1.3. MACAM-MACAM MATRIK
3
clear all
clc
1
2
3
A=[ 3 8 5
6 4 7 ];
4
5
6
B=[ 1 3
5 9
2 4 ];
7
8
9
atau
clear all
clc
1
2
3
A=[ 3 8 5 ; 6 4 7 ];
B=[ 1 3 ; 5 9 ; 2 4];
4
5
1.3
Macam-macam matrik
1.3.1 Matrik transpose
Operasi transpose terhadap suatu matrik akan menukar elemen-elemen dalam satu kolom
menjadi elemen-elemen dalam satu baris; demikian pula sebaliknya. Notasi matrik tranpose
adalah AT atau At .
Contoh 3: Operasi transpose terhadap matrik A
A=
"
3 8 5
6 4 7
#
3 6
At = 8 4
5 7
1.3.2 Matrik bujursangkar
Matrik bujursangkar adalah matrik yang jumlah baris dan jumlah kolomnya sama.
Contoh 4: Matrik bujursangkar berukuran 3x3 atau sering juga disebut matrik bujursangkar
orde 3
1 3 8
A = 5 9 7
2 4 6
1.3.3 Matrik simetrik
Matrik simetrik adalah matrik bujursangkar yang elemen-elemen matrik A bernilai sama dengan matrik transpose-nya (At ).
BAB 1. MATRIK DAN KOMPUTASI
4
Contoh 5: Matrik simetrik
2 −3 7 1
−3 5 6 −2
A=
7
6
9
8
1 −2 8 10
2
−3 7
1
−3 5 6 −2
A =
7
6
9
8
1 −2 8 10
t
1.3.4 Matrik diagonal
Matrik diagonal adalah matrik bujursangkar yang seluruh elemen-nya bernilai 0 (nol), kecuali
elemen-elemen diagonalnya.
Contoh 6: Matrik diagonal orde 3
11 0
A = 0 29
0
0
0
0
61
1.3.5 Matrik identitas
Matrik identitas adalah matrik bujursangkar yang semua elemen-nya bernilai 0 (nol), kecuali
elemen-elemen diagonal yang seluruhnya bernilai 1.
Contoh 7: Matrik identitas orde 3
1 0 0
I = 0 1 0
0 0 1
1.3.6 Matrik upper-triangular
Matrik upper-tringular adalah matrik bujursangkar yang seluruh elemen dibawah elemen diagonal bernilai 0 (nol).
Contoh 8: Matrik upper-triangular
3
0
A=
0
0
6 2 1
4 1 5
0 8 7
0 0 9
1.3.7 Matrik lower-triangular
Matrik lower-tringular adalah matrik bujursangkar yang seluruh elemen diatas elemen diagonal bernilai 0 (nol).
1.3. MACAM-MACAM MATRIK
5
Contoh 9: Matrik lower-triangular
0
32 −2 0 0
A=
7 11 0
8
−5 10 6 9
12
0
0
1.3.8 Matrik tridiagonal
Matrik tridiagonal adalah matrik bujursangkar yang seluruh elemen bukan 0 (nol) berada disekitar elemen diagonal, sementara elemen lainnya bernilai 0 (nol).
Contoh 10: Matrik tridiagonal
3 6 0 0
2 −4 1 0
A=
0 5 8 −7
0 0 3 9
1.3.9 Matrik diagonal dominan
Matrik diagonal dominan adalah matrik bujursangkar yang memenuhi
|aii | >
n
X
j=1,j6=i
|aij |
(1.2)
dimana i=1,2,3,..n. Coba perhatikan matrik-matrik berikut ini
7 2 0
A = 3 5 −1
0 5 −6
−3
B = 4 −2 0
−3 0
1
6
4
Pada elemen diagonal aii matrik A, |7| > |2|+|0|, lalu |5| > |3|+|−1|, dan |−6| > |5|+|0|. Maka
matrik A disebut matrik diagonal dominan. Sekarang perhatikan elemen diagonal matrik B,
|6| < |4| + | − 3|, | − 2| < |4| + |0|, dan |1| < | − 3| + |0|. Dengan demikian, matrik B bukan matrik
diagonal dominan.
1.3.10 Matrik positive-definite
Suatu matrik dikatakan positive-definite bila matrik tersebut simetrik dan memenuhi
xt Ax > 0
(1.3)
BAB 1. MATRIK DAN KOMPUTASI
6
Contoh 11: Diketahui matrik simetrik berikut
2
−1
A = −1
0
2
−1
−1 2
0
untuk menguji apakah matrik A bersifat positive-definite, maka
xt Ax =
i
h
2
−1
0
x1
x1 x2 x3 −1 2 −1 x2
0 −1 2
x3
2x1 − x2
i
h
= x1 x2 x3 −x1 + 2x2 − x3
−x2 + 2x3
= 2x21 − 2x1 x2 + 2x22 − 2x2 x3 + 2x23
= x21 + (x21 − 2x1 x2 + x22 ) + (x22 − 2x2 x3 + x23 ) + x23
= x21 + (x1 − x2 )2 + (x2 − x3 )2 + x23
Dari sini dapat disimpulkan bahwa matrik A bersifat positive-definite, karena memenuhi
x21 + (x1 − x2 )2 + (x2 − x3 )2 + x23 > 0
kecuali jika x1 =x2 =x3 =0.
1.3.11 Vektor-baris dan vektor-kolom
Notasi vektor biasanya dinyatakan dengan huruf kecil dan dicetak tebal. Suatu matrik dinamakan vektor-baris berukuran m, bila hanya memiliki satu baris dan m kolom, yang dinyatakan sebagai berikut
i
i h
h
a = a11 a12 . . . a1m = a1 a2 . . . am
(1.4)
Sedangkan suatu matrik dinamakan vektor-kolom berukuran n, bila hanya memiliki satu kolom
dan n baris, yang dinyatakan sebagai berikut
a11
a1
a21 a2
a=
.. = ..
. .
an1
an
(1.5)
1.4. OPERASI MATEMATIKA
1.4
7
Operasi matematika
1.4.1 Penjumlahan matrik
Operasi penjumlahan pada dua buah matrik hanya bisa dilakukan bila kedua matrik tersebut
berukuran sama. Misalnya matrik C2×3
C=
"
9 5 3
7 2 1
#
dijumlahkan dengan matrik A2×3 , lalu hasilnya (misalnya) dinamakan matrik D2×3
D=A+C
D =
"
=
"
=
"
#
3 8 5
6 4 7
+
"
#
9 5 3
7 2 1
#
3+9 8+5 5+3
6+7 4+2 7+1
#
12 13 8
13
6
8
Tanpa mempedulikan nilai elemen-elemen masing-masing matrik, operasi penjumlahan antara
matrik A2×3 dan C2×3 , bisa juga dinyatakan dalam indeks masing-masing dari kedua matrik
tersebut, yaitu
"
d11 d12 d13
d21 d22 d23
#
=
"
a11 + c11 a12 + c12 a13 + c13
a21 + c21 a22 + c22 a23 + c23
#
Dijabarkan satu persatu sebagai berikut
d11 = a11 + c11
d12 = a12 + c12
d13 = a13 + c13
(1.6)
d21 = a21 + c21
d22 = a22 + c22
d23 = a23 + c23
Dari sini dapat diturunkan sebuah rumus umum penjumlahan dua buah matrik
dij = aij + cij
dimana i=1,2 dan j=1,2,3.
(1.7)
BAB 1. MATRIK DAN KOMPUTASI
8
1.4.2 Komputasi penjumlahan matrik
Berdasarkan contoh operasi penjumlahan di atas, indeks j pada persamaan (1.7) lebih cepat
berubah dibanding indeks i sebagaimana ditulis pada persamaan (1.6),
d11 = a11 + c11
d12 = a12 + c12
d13 = a13 + c13
Jelas terlihat, ketika indeks i masih bernilai 1, indeks j sudah berubah dari nilai 1 sampai
3. Hal ini membawa konsekuensi pada script pemrograman, dimana looping untuk indeks j
harus diletakkan di dalam looping indeks i. Pokoknya yang looping-nya paling cepat harus
diletakkan paling dalam; sebaliknya, looping paling luar adalah looping yang indeksnya
paling jarang berubah.
Dalam matlab, algoritma penjumlahan dua matrik ditulis sebagai berikut:
1
2
3
4
5
for i=1:2
for j=1:3
D(i,j)=A(i,j)+C(i,j);
end
end
Sedangkan dalam Fortran77, operasi penjumlahan antara matrik ditulis sebagai berikut: A2×3
dan C2×3 adalah
1
2
3
4
5
do i=1,2
do j=1,3
D(i,j)=A(i,j)+C(i,j)
end do
end do
Perhatikan kedua script di atas! Penulisan indeks i harus didahulukan daripada indeks j.
Perlu dicatat bahwa ukuran matrik tidak terbatas hanya 2x3. Tentu saja anda bisa mengubah ukurannya sesuai dengan keperluan atau kebutuhan anda. Jika ukuran matrik dinyatakan secara umum sebagai n x m, dimana n adalah jumlah baris dan m adalah jumlah kolom,
maka bentuk pernyataan komputasinya dalam matlab menjadi
1
2
3
4
5
for i=1:n
for j=1:m
D(i,j)=A(i,j)+C(i,j);
end
end
sedangkan dalam Fortran77
1
2
3
do i=1,n
do j=1,m
D(i,j)=A(i,j)+C(i,j)
1.4. OPERASI MATEMATIKA
4
5
9
end do
end do
Sekarang, mari kita lengkapi dengan contoh sebagai berikut: diketahui matrik A2×3
A=
"
#
3 8 5
C=
"
#
dan matrik C2×3
6 4 7
9 5 3
7 2 1
Program untuk menjumlahkan kedua matrik tersebut dalam matlab adalah:
1
2
clear all
clc
3
4
5
6
7
8
9
10
11
12
13
14
15
16
17
18
19
20
21
22
A(1,1) = 3;
A(1,2) = 8;
A(1,3) = 5;
A(2,1) = 6;
A(2,2) = 4;
A(2,3) = 7;
C(1,1) = 9;
C(1,2) = 5;
C(1,3) = 3;
C(2,1) = 7;
C(2,2) = 2;
C(2,3) = 1;
n=2
m=3
for i=1:n
for j=1:m
D(i,j)=A(i,j)+C(i,j);
end
end
sedangkan dalam Fortran77
1
2
3
4
5
6
7
8
9
10
11
12
13
14
15
16
A(1,1) = 3
A(1,2) = 8
A(1,3) = 5
A(2,1) = 6
A(2,2) = 4
A(2,3) = 7
C(1,1) = 9
C(1,2) = 5
C(1,3) = 3
C(2,1) = 7
C(2,2) = 2
C(2,3) = 1
n=2
m=3
do i=1,n
do j=1,m
BAB 1. MATRIK DAN KOMPUTASI
10
17
18
19
D(i,j)=A(i,j)+C(i,j)
end do
end do
1.4.3 Perkalian matrik
Operasi perkalian dua buah matrik hanya bisa dilakukan bila jumlah kolom matrik pertama
sama dengan jumlah baris matrik kedua. Jadi kedua matrik tersebut tidak harus berukuran
sama seperti pada penjumlahan dua matrik. Misalnya matrik A2×3 dikalikan dengan matrik
B3×2 , lalu hasilnya (misalnya) dinamakan matrik E2×2
E2×2 = A2×3 .B3×2
E =
"
=
"
=
"
# 1 3
3 8 5
5 9
6 4 7
2 4
#
3.1 + 8.5 + 5.2 3.3 + 8.9 + 5.4
6.1 + 4.5 + 7.2 6.3 + 4.9 + 7.4
#
53 101
40
82
Tanpa mempedulikan nilai elemen-elemen masing-masing matrik, operasi perkalian antara
matrik A2×3 dan B3×2 , bisa juga dinyatakan dalam indeks masing-masing dari kedua matrik
tersebut, yaitu
"
e11 e12
e21 e22
#
=
"
a11 .b11 + a12 .b21 + a13 .b31 a11 .b12 + a12 .b22 + a13 .b32
a21 .b11 + a22 .b21 + a23 .b31 a21 .b12 + a22 .b22 + a23 .b32
#
Bila dijabarkan, maka elemen-elemen matrik E2×2 adalah
e11 = a11 .b11 + a12 .b21 + a13 .b31
(1.8)
e12 = a11 .b12 + a12 .b22 + a13 .b32
(1.9)
e21 = a21 .b11 + a22 .b21 + a23 .b31
(1.10)
e22 = a21 .b12 + a22 .b22 + a23 .b32
(1.11)
Sejenak, mari kita amati perubahan pasangan angka-angka indeks yang mengiringi elemen e,
a dan b pada persamaan (1.8) sampai persamaan (1.11). Perhatikan perubahan angka indeks
1.4. OPERASI MATEMATIKA
11
pertama pada elemen e seperti berikut ini
e1.. = ..
e1.. = ..
e2.. = ..
e2.. = ..
Pola perubahan yang sama akan kita dapati pada angka indeks pertama dari elemen a
e1.. = a1.. .b... + a1.. .b... + a1.. .b...
e1.. = a1.. .b... + a1.. .b... + a1.. .b...
e2.. = a2.. .b... + a2.. .b... + a2.. .b...
e2.. = a2.. .b... + a2.. .b... + a2.. .b...
Dengan demikian kita bisa mencantumkan huruf i sebagai pengganti angka-angka indeks
yang polanya sama
ei.. = ai.. .b... + ai.. .b... + ai.. .b...
ei.. = ai.. .b... + ai.. .b... + ai.. .b...
ei.. = ai.. .b... + ai.. .b... + ai.. .b...
ei.. = ai.. .b... + ai.. .b... + ai.. .b...
dimana i bergerak mulai dari angka 1 hingga angka 2, atau kita nyatakan i=1,2. Selanjutnya,
masih dari persamaan (1.8) sampai persamaan (1.11), marilah kita perhatikan perubahan angka
indeks masih pada elemen e dan elemen b,
ei1 = ai.. .b..1 + ai.. .b..1 + ai.. .b..1
ei2 = ai.. .b..2 + ai.. .b..2 + ai.. .b..2
ei1 = ai.. .b..1 + ai.. .b..1 + ai.. .b..1
ei2 = ai.. .b..2 + ai.. .b..2 + ai.. .b..2
Dengan demikian kita bisa mencantumkan huruf j sebagai pengganti angka-angka indeks
yang polanya sama
eij = ai.. .b..j + ai.. .b..j + ai.. .b..j
eij = ai.. .b..j + ai.. .b..j + ai.. .b..j
eij = ai.. .b..j + ai.. .b..j + ai.. .b..j
eij = ai.. .b..j + ai.. .b..j + ai.. .b..j
BAB 1. MATRIK DAN KOMPUTASI
12
dimana j bergerak mulai dari angka 1 hingga angka 2, atau kita nyatakan j=1,2. Selanjutnya,
masih dari persamaan (1.8) sampai persamaan (1.11), mari kita perhatikan perubahan angka
indeks masih pada elemen a dan elemen b, dimana kita akan dapati pola sebagai berikut
eij = ai1 .b1j + ai2 .b2j + ai3 .b3j
eij = ai1 .b1j + ai2 .b2j + ai3 .b3j
eij = ai1 .b1j + ai2 .b2j + ai3 .b3j
eij = ai1 .b1j + ai2 .b2j + ai3 .b3j
Dan kita bisa mencantumkan huruf k sebagai pengganti angka-angka indeks yang polanya
sama, dimana k bergerak mulai dari angka 1 hingga angka 3, atau kita nyatakan k=1,2,3.
eij = aik .bkj + aik .bkj + aik .bkj
eij = aik .bkj + aik .bkj + aik .bkj
eij = aik .bkj + aik .bkj + aik .bkj
eij = aik .bkj + aik .bkj + aik .bkj
Kemudian secara sederhana dapat ditulis sebagai berikut
eij = aik .bkj + aik .bkj + aik .bkj
(1.12)
Selanjutnya dapat ditulis pula formula berikut
eij =
3
X
aik bkj
(1.13)
k=1
dimana i=1,2; j=1,2; dan k=1,2,3.
Berdasarkan contoh ini, maka secara umum bila ada matrik An×m yang dikalikan dengan matrik Bm×p , akan didapatkan matrik En×p dimana elemen-elemen matrik E memenuhi
eij =
m
X
aik bkj
(1.14)
k=1
dengan i=1,2,. . . ,n; j=1,2. . . ,p; dan k=1,2. . . ,m.
1.4.4 Komputasi perkalian matrik
Komputasi operasi perkalian antara matrik A2×3 dan B3×2 dilakukan melalui 2 tahap; pertama
adalah memberikan nilai 0 (nol) pada elemen-elemen matrik E2×2 dengan cara (dalam matlab)
1
2
3
4
5
for i=1:2
for j=1:2
E(i,j)=0.0;
end
end
1.4. OPERASI MATEMATIKA
13
dalam Fortran77
1
2
3
4
5
do i=1,2
do j=1,2
E(i,j)=0.0
end do
end do
kedua adalah menghitung perkalian matrik dengan cara (dalam matlab)
1
2
3
4
5
6
7
for i=1:2
for j=1:2
for k=1:3
E(i,j)=E(i,j)+A(i,k)*B(k,j);
end
end
end
dalam Fortran77
1
2
3
4
5
6
7
do i=1,2
do j=1,2
do k=1,3
E(i,j)=E(i,j)+A(i,k)*B(k,j)
end do
end do
end do
Sebentar.., sebelum dilanjut tolong perhatikan penempatan indeks i, j dan k pada script di atas.
Mengapa indeks i didahulukan daripada indeks j dan k? Ini bukan sesuatu yang kebetulan.
Dan ini juga bukan sekedar mengikuti urutan huruf abjad i,j,k. Sekali lagi ingin saya tegaskan
bahwa penempatan yang demikian semata-mata mengikuti aturan umum yaitu looping yang
indeksnya berubah paling cepat harus diletakkan paling dalam; sebaliknya, looping paling
luar adalah looping yang indeksnya paling jarang berubah. Kalau anda perhatikan dengan
teliti, pasti anda akan menemukan fakta bahwa indeks k paling cepat berubah. Kemudian
disusul oleh indeks j. Lalu yang paling jarang berubah adalah indeks i. Itulah sebabnya,
penempatan urutan indeks pada script di atas harus dimulai dari i terlebih dahulu sebagai
looping terluar, kemudian indeks j, dan yang terakhir indeks k sebagai looping terdalam.
Tentu saja anda bisa mengubah ukurannya sesuai dengan keperluan atau kebutuhan anda.
Jika ukuran matrik A dinyatakan secara umum sebagai n x m dan matrik B berukuran m x p,
maka bentuk pernyataan komputasinya dalam Matlab menjadi
1
2
3
4
5
6
for i=1:n
for j=1:p
E(i,j)=0.0;
end
end
for i=1:n
BAB 1. MATRIK DAN KOMPUTASI
14
7
8
9
10
11
12
for j=1:p
for k=1:m
E(i,j)=E(i,j)+A(i,k)*B(k,j);
end
end
end
dalam Fortran77
1
2
3
4
5
6
7
8
9
10
11
12
do i=1,n
do j=1,p
E(i,j)=0.0
end do
end do
do i=1,n
do j=1,p
do k=1,m
E(i,j)=E(i,j)+A(i,k)*B(k,j)
end do
end do
end do
dimana akan diperoleh hasil berupa matrik E yang berukuran n x p.
1.4.5 Perkalian matrik dan vektor-kolom
Operasi perkalian antara matrik dan vektor-kolom sebenarnya sama saja dengan perkalian antara dua matrik. Hanya saja ukuran vektor-kolom boleh dibilang spesial yaitu m x 1, dimana
m merupakan jumlah baris sementara jumlah kolomnya hanya satu. Misalnya matrik A, pada contoh 1, dikalikan dengan vektor-kolom x yang berukuran 3 x 1 atau disingkat dengan
mengatakan vektor-kolom x berukuran 3, lalu hasilnya (misalnya) dinamakan vektor-kolom y
y = Ax
y =
"
=
"
=
"
# 2
3 8 5
3
6 4 7
4
3.2 + 8.3 + 5.4
6.2 + 4.3 + 7.4
#
50
#
52
Sekali lagi, tanpa mempedulikan nilai elemen-elemen masing-masing, operasi perkalian antara
matrik A dan vektor-kolom x, bisa juga dinyatakan dalam indeksnya masing-masing, yaitu
" #
y1
y2
=
"
a11 .x1 + a12 .x2 + a13 .x3
a21 .x1 + a22 .x2 + a23 .x3
#
1.4. OPERASI MATEMATIKA
15
Bila dijabarkan, maka elemen-elemen vektor-kolom y adalah
y1 = a11 .x1 + a12 .x2 + a13 .x3
y2 = a21 .x1 + a22 .x2 + a23 .x3
kemudian secara sederhana dapat diwakili oleh rumus berikut
yi =
3
X
aij xj
j=1
dimana i=1,2.
Berdasarkan contoh tersebut, secara umum bila ada matrik A berukuran n x m yang dikalikan
dengan vektor-kolom x berukuran m, maka akan didapatkan vektor-kolom y berukuran n x 1
dimana elemen-elemen vektor-kolom y memenuhi
yi =
m
X
aij xj
(1.15)
j=1
dengan i=1,2,. . . ,n.
1.4.6 Komputasi perkalian matrik dan vektor-kolom
Sama seperti perkalian dua matrik, komputasi untuk operasi perkalian antara matrik A berukuran n x m dan vektor-kolom x berukuran m dilakukan melalui 2 tahap; pertama adalah memberikan nilai 0 (nol) pada elemen-elemen vektor-kolom y yang berukuran n. Lalu tahap kedua
adalah melakukan proses perkalian. Kedua tahapan ini digabung jadi satu dalam program
berikut ini
1
2
3
4
5
6
7
8
for i=1:n
b(i,1)=0.0;
end
for i=1:n
for j=1:m
b(i,1)=b(i,1)+A(i,j)*x(j,1);
end
end
dan dalam Fortran
1
2
3
4
5
6
7
8
do i=1,n
b(i,1)=0.0
end do
do i=1,n
do j=1,m
b(i,1)=b(i,1)+A(i,j)*x(j,1)
end do
end do
BAB 1. MATRIK DAN KOMPUTASI
16
1.5
Penutup
Demikianlah catatan singkat dan sederhana mengenai jenis-jenis matrik dasar yang seringkali
dijumpai dalam pengolahan data fisika secara numerik. Semuanya akan dijadikan acuan atau
referensi pada pembahasan topik-topik numerik yang akan datang.
1.6
Latihan
Diketahui matrik A, matrik B, dan vektor x sebagai berikut
1
3
−6
−2
5
9
7
5.6
A=
4
8
−1
2
2.3 1.4 0.8 −2.3
8
1
4
21
3
10
5
0.1
B=
−2
9
−5
7
2.7 −12 −8.9 5.7
0.4178
−2.9587
x=
56.3069
8.1
1. Buatlah script untuk menyelesaikan penjumlahan matrik A dan matrik B.
2. Buatlah script untuk menyelesaikan perkalian matrik A dan matrik B.
3. Buatlah script untuk menyelesaikan perkalian matrik A dan vektor x.
4. Buatlah script untuk menyelesaikan perkalian matrik A dan vektor x.
Bab 2
Metode Eliminasi Gauss
✍ Objektif :
⊲ Mengenalkan sistem persamaan linear.
⊲ Mengenalkan teknik triangularisasi dan substitusi mundur.
⊲ Aplikasi metode Eliminasi Gauss menggunakan matrik.
⊲ Membuat algoritma metode Eliminasi Gauss.
⊲ Menghitung invers matrik menggunakan metode Eliminasi Gauss.
2.1
Sistem persamaan linear
Secara umum, sistem persamaan linear dinyatakan sebagai berikut
Pn :
an1 x1 + an2 x2 + ... + ann xn = bn
(2.1)
dimana a dan b merupakan konstanta, x adalah variable, n = 1, 2, 3, ....
Contoh pertama
Misalnya ada sistem persamaan linear yang terdiri dari empat buah persamaan yaitu P1 ,
P2 , P3 , dan P4 seperti berikut ini:
P1
P2
P3
P4
:
:
:
:
x1
2x1
3x1
−x1
+
+
−
+
x2
x2
x2
2x2
−
−
+
x3
x3
3x3
+
+
+
−
3x4
x4
2x4
x4
=
=
=
=
4
1
-3
4
Problem dari sistem persamaan linear adalah bagaimana mencari nilai pengganti bagi variabel x1 , x2 , x3 , dan x4 sehingga semua persamaan diatas menjadi benar. Langkah awal penyelesaian problem tersebut adalah dengan melakukan penyederhanaan sistem persamaan linear.
17
BAB 2. METODE ELIMINASI GAUSS
18
2.2
Triangularisasi dan Substitusi Mundur
Ada banyak jalan untuk mendapatkan bentuk yang lebih sederhana, namun masalahnya, kita ingin mendapatkan sebuah algoritma program yang nantinya bisa berjalan di komputer,
sedemikian rupa sehingga apapun persamaannya, bisa disederhanakan oleh komputer. Kita
akan berpatokan pada tiga buah aturan operasi untuk menyederhanakan sistem persamaan
linear di atas, yaitu
• Persamaan Pi dapat dikalikan dengan sembarang konstanta λ, lalu hasilnya ditempatkan
di posisi persamaan Pi . Simbol operasi ini adalah (λPi ) → (Pi ).
• Persamaan Pj dapat dikalikan dengan sembarang konstanta λ kemudian dijumlahkan
dengan persamaan Pi , lalu hasilnya ditempatkan di posisi persamaan Pi . Simbol operasi
ini adalah (Pi + λPj ) → (Pi ).
• Persamaan Pi dan Pj dapat bertukar posisi. Simbol operasi ini adalah (Pi ) ↔ (Pj ).
Maka dengan berpegang pada aturan-aturan tersebut, problem sistem persamaan linear di atas
akan diselesaikan dengan langkah-langkah berikut ini:
1. Gunakan persamaan P1 untuk menghilangkan variabel x1 dari persamaan P2 , P3 dan P4
dengan cara (P2 − 2P1 ) → (P2 ), (P3 − 3P1 ) → (P3 ) dan (P4 + P1 ) → (P4 ). Hasilnya akan
seperti ini
P1 :
x1 + x2 + 3x4 = 4,
P2 :
−x2 − x3 − 5x4 = −7,
P3 :
−4x2 − x3 − 7x4 = −15,
P4 :
3x2 + 3x3 + 2x4 = 8
2. Gunakan persamaan P2 untuk menghilangkan variabel x2 dari persamaan P3 dan P4
dengan cara (P3 − 4P2 ) → (P3 ) dan (P4 + 3P2 ) → (P4 ). Hasilnya akan seperti ini
P1 :
x1 + x2 + 3x4 = 4,
P2 :
−x2 − x3 − 5x4 = −7,
P3 :
3x3 + 13x4 = 13,
P4 :
−13x4 = −13
Kalau x3 masih ada di persamaan P4 , dibutuhkan satu operasi lagi untuk menghilangkannya. Namun hasil operasi pada langkah ke-2 ternyata sudah otomatis menghilangkan x3 .
Bentuk akhir dari keempat persamaan di atas, dikenal sebagai bentuk triangular.
Sampai dengan langkah ke-2 ini, kita berhasil mendapatkan sistem persamaan linear
yang lebih sederhana. Apa yang dimaksud dengan sederhana dalam konteks ini? Suatu sistem persamaan linear dikatakan sederhana bila kita bisa mendapatkan seluruh nilai pengganti variabelnya dengan cara yang lebih mudah atau dengan usaha yang tidak
2.2. TRIANGULARISASI DAN SUBSTITUSI MUNDUR
19
memakan waktu lama dibandingkan sebelum disederhanakan. Sekali kita mendapatkan
nilai pengganti bagi variabel x4 , maka x3 , x2 dan x1 akan diperoleh dengan mudah dan
cepat, sebagaimana yang dijelaskan pada langkah berikutnya.
3. Selanjutnya kita jalankan proses backward-substitution. Melalui proses ini, yang pertama kali didapat adalah nilai pengganti bagi variabel x4 , kemudian x3 , lalu diikuti x2 , dan
akhirnya x1 .
P4 :
P3 :
P2 :
P1 :
x4 =
−13
−13
= 1,
1
1
x3 = (13 − 13x4 ) =
(13 − 13) = 0,
3
3
x2 = −(−7 + 5x4 + x3 ) = −(−7 + 5 + 0) = 2,
x1 = 4 − 3x4 − x2 = 4 − 3 − 2 = −1
Jadi solusinya adalah x1 = −1, x2 = 2, x3 = 0 dan x4 = 1. Coba sekarang anda cek,
apakah semua solusi ini cocok dan tepat bila dimasukan ke sistem persamaan linear yang
pertama, yaitu yang belum disederhanakan?
OK, mudah-mudahan ngerti ya... Kalau belum paham, coba diulangi bacanya sekali lagi.
Atau, sekarang kita beralih kecontoh yang lain.
BAB 2. METODE ELIMINASI GAUSS
20
Contoh kedua
Misalnya ada sistem persamaan linear, terdiri dari empat buah persamaan yaitu P1 , P2 , P3 ,
dan P4 seperti berikut ini:
P1
P2
P3
P4
:
:
:
:
x1
2x1
x1
x1
−
−
+
−
x2
2x2
x2
x2
+
+
+
+
2x3
3x3
x3
4x3
−
−
x4
3x4
+
3x4
=
=
=
=
-8
-20
-2
4
Seperti contoh pertama, solusi sistem persamaan linear di atas akan dicari dengan langkahlangkah berikut ini:
1. Gunakan persamaan P1 untuk menghilangkan x1 dari persamaan P2 , P3 dan P4 dengan
cara (P2 − 2P1 ) → (P2 ), (P3 − P1 ) → (P3 ) dan (P4 − P1 ) → (P4 ). Hasilnya akan seperti ini
P1 :
x1 − x2 + 2x3 − x4 = −8,
P2 :
−x3 − x4 = −4,
P3 :
2x2 − x3 + x4 = 6,
P4 :
2x3 + 4x4 = 12
Perhatikan persamaan P2 ! Akibat dari langkah yang pertama tadi, x2 hilang dari persamaan P2 . Kondisi ini bisa menggagalkan proses triangularisasi. Untuk itu, posisi P2
mesti ditukar dengan persamaan yang berada dibawahnya, yaitu P3 atau P4 . Supaya
proses triangularisasi dilanjutkan kembali, maka yang paling cocok adalah ditukar dengan P3 .
2. Tukar posisi persamaan P2 dengan persamaan P3 , (P2 ↔ P3 ). Hasilnya akan seperti ini
P1 :
x1 − x2 + 2x3 − x4 = −8,
P2 :
2x2 − x3 + x4 = 6,
P3 :
−x3 − x4 = −4,
P4 :
2x3 + 4x4 = 12
3. Gunakan persamaan P3 untuk menghilangkan x3 dari persamaan P4 dengan cara (P4 −
2P3 ) → (P4 ). Hasilnya akan seperti ini
P1 :
P2 :
P3 :
x1 − x2 + 2x3 − x4 = −8,
2x2 − x3 + x4 = 6,
−x3 − x4 = −4,
P4 :
Sampai disini proses triangularisasi telah selesai.
2x4 = 4
2.3. MATRIK DAN ELIMINASI GAUSS
21
4. Selanjutnya adalah proses backward-substitution. Melalui proses ini, yang pertama kali
didapat solusinya adalah x4 , kemudian x3 , lalu diikuti x2 , dan akhirnya x1 .
P4 :
P3 :
P2 :
P1 :
4
2
−4 + x4
x3 =
−1
6 + x3 − x4
x2 =
2
x1 = −8 + x2 − 2x3 + x4
x4 =
= 2,
= 2,
= 3,
= −7
Jadi solusinya adalah x1 = −7, x2 = 3, x3 = 2 dan x4 = 2.
Berdasarkan kedua contoh di atas, untuk mendapatkan solusi sistem persamaan linear, diperlukan operasi triangularisasi dan proses backward-substitution. Kata backward-substitution
kalau diterjemahkan kedalam bahasa indonesia, menjadi substitusi-mundur. Gabungan proses triangularisasi dan substitusi-mundur untuk menyelesaikan sistem persamaan linear dikenal sebagai metode eliminasi gauss.
2.3
Matrik dan Eliminasi Gauss
Sejumlah matrik bisa digunakan untuk menyatakan suatu sistem persamaan linear. Sejenak,
mari kita kembali lagi melihat sistem persamaan linear secara umum seperti berikut ini:
a11 x1 + a12 x2 + . . . + a1n xn = b1
a21 x1 + a22 x2 + . . . + a2n xn = b2
............... = ...
............... = ...
an1 x1 + an2 x2 + . . . + ann xn = bn
Sementara, kalau dinyatakan dalam bentuk operasi matrik, maka akan seperti ini:
a11
a12
. . . a1n
a21 a22 . . . a2n
.
..
..
.
.
.
.
an1 an2 . . . ann
x1
x2
..
.
xn
=
b1
b2
..
.
bn
(2.2)
Dalam mencari solusi suatu sistem persamaan linear dengan metode eliminasi gauss, bentuk
operasi matrik di atas dimanipulasi menjadi matrik augment, yaitu suatu matrik yang beruku-
BAB 2. METODE ELIMINASI GAUSS
22
ran n x (n + 1) seperti berikut ini:
a11
a12
. . . a1n
| b1
a21 a22 . . . a2n | b2
.
..
..
.
.
.
.
| ..
.
an1 an2 . . . ann | bn
a11
a12
. . . a1n
| a1,n+1
a21 a22 . . . a2n | a2,n+1
= .
..
..
..
.
.
.
|
.
.
an1 an2 . . . ann | an,n+1
(2.3)
Berdasarkan contoh pertama yang ada dihalaman depan catatan ini, saya akan tunjukkan proses triangularisasi dan substitusi-mundur dalam operasi matrik terhadap sistem persamaan linear yang terdiri dari empat persamaan matematika, yaitu (silakan lihat kembali contoh pertama):
1
1
0
3
2
1 −1 1
3 −1 −1 2
−1 2
3 −1
x1
4
x2 1
=
x −3
3
x4
4
Lalu kita dapat membuat matrik augment sebagai berikut:
1
1
0
3
|
4
2
1 −1 1 | 1
3 −1 −1 2 | −3
−1 2
3 −1 | 4
Kemudian kita lakukan operasi triangularisai terhadap matrik augment, dimulai dari kolom
pertama, yaitu
1
1
0
3
|
4
|
4
0 −1 −1 −5 | −7
0 −4 −1 −7 | −15
0 3
3
2 |
8
lalu dilanjutkan ke kolom berikutnya
1
1
0
3
0 −1 −1 −5 | −7
0 0
3
13 | 13
0 0
0 −13 | −13
Sebelum dilanjutkan ke substitusi-mundur, saya ingin menegaskan peranan angka-angka indeks dari masing-masing elemen matrik augment tersebut. Silakan perhatikan posisi masing-
2.4. ALGORITMA ELIMINASI GAUSS
23
masing elemen berikut ini:
1
1
0
3
|
4
a11 a12 a13 a14 | a15
→ a21 a22 a23 a24 | a25
a
31 a32 a33 a34 | a35
a41 a42 a43 a44 | a45
0 −1 −1 −5 | −7
0 0
3
13 | 13
0 0
0 −13 | −13
Dengan memperhatikan angka-angka indeks pada matrik augment di atas, kita akan mencoba membuat rumusan proses substitusi-mundur untuk mendapatkan seluruh nilai pengganti
variabel x. Dimulai dari x4 ,
x4 =
−13
a45
=
=1
a44
−13
ini dapat dinyatakan dalam rumus umum, yaitu
xn =
an,n+1
ann
lalu dilanjutkan dengan x3 , x2 , dan x1 .
a35 − a34 x4
a33
a25 − (a23 x3 + a24 x4 )
x2 =
a22
a15 − (a12 x2 + a13 x3 + a14 x4 )
x1 =
a11
x3 =
=
=
=
13 − [(13)(1)]
=0
3
(−7) − [(−1)(0) + (−5)(1)]
=2
(−1)
4 − [(1)(2) + (0)(0) + (3)(1)]
= −1
1
ini juga dapat dinyatakan dalam rumus umum yaitu:
xi =
ai,n+1 −
Pn
j=i+1 aij xj
aii
Proses triangularisasi dan substitusi-mundur dibakukan menjadi algoritma metode eliminasi
gauss yang dapat diterapkan dalam berbagai bahasa pemrograman komputer, misalnya fortran, C, java, pascal, matlab, dan lain-lain.
2.4
Algoritma eliminasi Gauss
Secara umum, sistem persamaan linear adalah sebagai berikut:
a11 x1 + a12 x2 + . . . + a1n xn = b1
a21 x1 + a22 x2 + . . . + a2n xn = b2
..
..
.
.
.
= ..
an1 x1 + an2 x2 + . . . + ann xn = bn
Algoritma dasar metode eliminasi gauss, adalah sebagai berikut:
1. Ubahlah sistem persamaan linear tersebut menjadi matrik augment, yaitu suatu matrik
BAB 2. METODE ELIMINASI GAUSS
24
yang berukuran n x (n + 1) seperti berikut ini:
a11
a12
. . . a1n
| b1
a21 a22 . . . a2n | b2
.
..
..
.
.
.
.
| ..
.
an1 an2 . . . ann | bn
a11
a12
. . . a1n | a1,n+1
a21 a22 . . . a2n | a2,n+1
= .
..
..
..
.
.
.
|
.
.
an1 an2 . . . ann | an,n+1
(2.4)
Jelas terlihat bahwa elemen-elemen yang menempati kolom terakhir matrik augment
adalah nilai dari bi ; yaitu ai,n+1 = bi dimana i = 1, 2, ..., n.
2. Periksalah elemen-elemen pivot. Apakah ada yang bernilai nol? Elemen-elemen pivot
adalah elemen-elemen yang menempati diagonal suatu matrik, yaitu a11 , a22 , ..., ann
atau disingkat aii . Jika aii 6= 0, bisa dilanjutkan ke langkah no.3. Namun, jika ada elemen
diagonal yang bernilai nol, aii = 0, maka baris dimana elemen itu berada harus ditukar
posisinya dengan baris yang ada dibawahnya, (Pi ) ↔ (Pj ) dimana j = i + 1, i + 2, ..., n,
sampai elemen diagonal matrik menjadi tidak nol, aii 6= 0. (Kalau kurang jelas, silakan lihat
lagi contoh kedua yang ada dihalaman 3. Sebaiknya, walaupun elemen diagonalnya tidak nol,
namun mendekati nol (misalnya 0,03), maka proses pertukaran ini dilakukan juga).
3. Proses triangularisasi. Lakukanlah operasi berikut:
Pj −
aji
Pi → Pj
aii
(2.5)
dimana j = i + 1, i + 2, ..., n. Maka matrik augment akan menjadi:
a11 a12 a13 . . . a1n
0
0
.
..
0
a22 a23 . . . a2n
0
..
.
a33 . . . a3n
..
..
..
.
.
.
0
0
0
4. Hitunglah nilai xn dengan cara:
xn =
ann
| a1,n+1
| a2,n+1
| a3,n+1
..
|
.
| an,n+1
an,n+1
ann
(2.6)
(2.7)
5. Lakukanlah proses substitusi-mundur untuk memperoleh xn−1 , xn−2 , ..., x2 , x1 dengan
cara:
xi =
ai,n+1 −
Pn
j=i+1 aij xj
aii
(2.8)
dimana i = n − 1, n − 2, ..., 2, 1.
Demikianlan algoritma dasar metode eliminasi gauss. Selanjutnya algoritma dasar tersebut
perlu dirinci lagi sebelum dapat diterjemahkan kedalam bahasa pemrograman komputer.
2.4. ALGORITMA ELIMINASI GAUSS
25
2.4.1 Algoritma
Algoritma metode eliminasi gauss untuk menyelesaikan n x n sistem persamaan linear.
P1 :
a11 x1 + a12 x2 + . . . + a1n xn = b1
P2 :
..
.
a21 x1 + a22 x2 + . . . + a2n xn = b2
..
..
.
.
.
= ..
Pn :
an1 x1 + an2 x2 + . . . + ann xn = bn
INPUT: sejumlah persamaan linear dimana konstanta-konstanta-nya menjadi elemen-elemen
matrik augment A = (aij ), dengan 1 ≤ i ≤ n dan 1 ≤ j ≤ n + 1.
OUTPUT: solusi x1 , x2 , x3 , ..., xn atau pesan kesalahan yang mengatakan bahwa sistem per-
samaan linear tidak memiliki solusi yang unik.
• Langkah 1: Inputkan konstanta-konstanta dari sistem persamaan linear kedalam elemenelemen matrik augment, yaitu suatu matrik yang berukuran n x (n + 1) seperti berikut
ini:
a11
a12
. . . a1n
| b1
a21 a22 . . . a2n | b2
.
..
..
.
.
.
.
| ..
.
an1 an2 . . . ann | bn
a11
a12
. . . a1n | a1,n+1
a21 a22 . . . a2n | a2,n+1
= .
..
..
..
.
.
.
|
.
.
an1 an2 . . . ann | an,n+1
(2.9)
• Langkah 2: Untuk i = 1, ..., n − 1, lakukan Langkah 3 sampai Langkah 5.
• Langkah 3: Definisikan p sebagai integer dimana i ≤ p ≤ n. Lalu pastikan bahwa
api 6= 0. Jika ada elemen diagonal yang bernilai nol (aii = 0), maka program harus
mencari dan memeriksa elemen-elemen yang tidak bernilai nol dalam kolom yang
sama dengan kolom tempat elemen diagonal tersebut berada. Jadi saat proses ini
berlangsung, integer i (indeks dari kolom) dibuat konstan, sementara integer p (indeks dari baris) bergerak dari p = i sampai p = n. Bila ternyata setelah mencapai
elemen paling bawah dalam kolom tersebut, yaitu saat p = n tetap didapat nilai
api = 0, maka sebuah pesan dimunculkan: sistem persamaan linear tidak memiliki
solusi yang unik. Lalu program berakhir: STOP.
• Langkah 4: Namun jika sebelum integer p mencapai nilai p = n sudah diperoleh
elemen yang tidak nol (api 6= 0), maka bisa dipastikan p 6= i. Jika p 6= i maka
lakukan proses pertukaran (Pp ) ↔ (Pi ).
• Langkah 5: Untuk j = i + 1, .., n, lakukan Langkah 6 dan Langkah 7.
• Langkah 6: Tentukan mji ,
mji =
aji
aii
BAB 2. METODE ELIMINASI GAUSS
26
• Langkah 7: Lakukan proses triangularisasi,
(Pj − mji Pi ) → (Pj )
• Langkah 8: Setelah proses triangularisasi dilalui, periksalah ann . Jika ann = 0, kirimkan
pesan: sistem persamaan linear tidak memiliki solusi yang unik. Lalu program berakhir:
STOP.
• Langkah 9: Jika ann 6= 0, lakukan proses substitusi mundur, dimulai dengan menentukan
xn ,
xn =
an,n+1
ann
• Langkah 10: Untuk i = n − 1, ..., 1 tentukan xi ,
xi =
ai,n+1 −
Pn
j=i+1 aij xj
aii
• Langkah 11: Diperoleh solusi yaitu x1 , x2 , ..., xn . Algoritma telah dijalankan dengan sukses. STOP.
Saya telah membuat program sederhana dalam fortran untuk mewujudkan algoritma eliminasi gauss. Saya berasumsi bahwa anda sudah menguasai dasar-dasar pemrograman dalam
fortran. Program ini sudah dicoba di-compile dengan fortran77 under Linux Debian dan
visual-fortran under windows-XP.
Langkah-langkah yang tercantum pada program ini disesuaikan dengan langkah-langkah
yang tertulis di atas. Dalam program ini, ukuran maksimum matrik augment adalah 10 x
11, untuk mencari 10 variabel yang tidak diketahui. Jika anda bermaksud memperbesar atau
memperkecil ukuran matrik augment, silakan sesuaikan angka ukuran matrik yang anda inginkan pada statemen pertama dari program ini, yaitu statemen DIMENSION. Inilah programnya,
1
2
3
4
5
C
6
7
8
9
10
11
12
13
14
15
16
60
50
17
18
C
DIMENSION A(10,11), X(10)
REAL MJI
WRITE (*,*) ’=PROGRAM ELIMINASI GAUSS=’
WRITE (*,*)
LANGKAH 1: MEMASUKAN NILAI ELEMEN-ELEMEN MATRIK AUGMENT
WRITE (*,’(1X,A)’) ’JUMLAH PERSAMAAN ? ’
READ (*,*) N
WRITE (*,*)
WRITE (*,*) ’MASUKAN ELEMEN-ELEMEN MATRIK AUGMENT’
M = N + 1
DO 50 I = 1,N
DO 60 J = 1,M
WRITE (*,’(1X,A,I2,A,I2,A)’) ’A(’,I,’,’,J,’) = ’
READ (*,*) A(I,J)
CONTINUE
CONTINUE
WRITE (*,*)
MENAMPILKAN MATRIK AUGMENT
2.4. ALGORITMA ELIMINASI GAUSS
19
20
21
22
110
23
24
C
25
26
27
C
28
29
100
30
31
32
33
200
C
34
35
36
37
C
38
39
40
41
42
43
20
44
45
C
46
47
48
C
49
50
C
51
52
53
40
54
55
56
57
30
10
C
58
59
60
61
62
120
C
63
64
C
65
66
67
68
C
69
70
71
72
73
74
75
76
77
C
WRITE (*,’(1X,A)’) ’MATRIK AUGMENT:’
DO 110 I = 1,N
WRITE (*,’(1X,5(F14.8))’) (A(I,J),J=1,M)
CONTINUE
WRITE (*,*)
LANGKAH 2: MEMERIKSA ELEMEN-ELEMEN PIVOT DAN PROSES TUKAR POSISI
NN = N-1
DO 10 I=1,NN
LANGKAH 3: MENDEFINISIKAN P
P = I
IF (ABS(A(P,I)).GE.1.0E-20 .OR. P.GT.N) GOTO 200
P = P+1
GOTO 100
IF(P.EQ.N+1)THEN
MENAMPILKAN PESAN TIDAK UNIK
WRITE(*,5)
GOTO 400
END IF
LANGKAH 4: PROSES TUKAR POSISI
IF(P.NE.I) THEN
DO 20 JJ=1,M
C = A(I,JJ)
A(I,JJ) = A(P,JJ)
A(P,JJ) = C
CONTINUE
END IF
LANGKAH 5: PERSIAPAN PROSES TRIANGULARISASI
JJ = I+1
DO 30 J=JJ,N
LANGKAH 6: TENTUKAN MJI
MJI = A(J,I)/A(I,I)
LANGKAH 7: MELAKUKAN PROSES TRIANGULARISASI
DO 40 K=JJ,M
A(J,K) = A(J,K)-MJI*A(I,K)
CONTINUE
A(J,I) = 0
CONTINUE
CONTINUE
MENAMPILKAN HASIL TRIANGULARISASI
WRITE (*,’(1X,A)’) ’HASIL TRIANGULARISASI:’
DO 120 I = 1,N
WRITE (*,’(1X,5(F14.8))’) (A(I,J),J=1,M)
CONTINUE
LANGKAH 8: MEMERIKSA ELEMEN A(N,N)
IF(ABS(A(N,N)).LT.1.0E-20) THEN
MENAMPILKAN PESAN TIDAK UNIK
WRITE(*,5)
GOTO 400
END IF
LANGKAH 9: MENGHITUNG X(N)
X(N) = A(N,N+1)/A(N,N)
LANGKAH 10: PROSES SUBSTITUSI MUNDUR
L = N-1
DO 15 K=1,L
I = L-K+1
JJ = I+1
SUM = 0.0
DO 16 KK=JJ,N
SUM = SUM+A(I,KK)*X(KK)
27
BAB 2. METODE ELIMINASI GAUSS
28
78
16
79
80
81
15
C
82
83
84
85
86
87
18
400
CONTINUE
X(I) = (A(I,N+1)-SUM)/A(I,I)
CONTINUE
LANGKAH 11: MENAMPILKAN HASIL PERHITUNGAN
WRITE (*,*)
WRITE (*,7)
DO 18 I = 1,N
WRITE (*,’(1X,A,I2,A,F14.8)’) ’X(’,I,’) = ’,X(I)
CONTINUE
STOP
88
89
90
91
5
7
FORMAT(1X,’SISTEM LINEAR TIDAK MEMILIKI SOLUSI YANG UNIK’)
FORMAT(1X,’SOLUSI UNIK’)
END
Script eliminasi gauss dalam matlab juga telah dibuat. Namun dalam anda perlu memodifikasi
elemen-elemen matrik A agar sesuai dengan data yang hendak anda olah.
1
2
3
4
5
6
7
8
9
10
11
12
13
14
15
16
17
clear all
clc
A(1,1)=1;
A(1,2)=1;
A(1,3)=-1;
A(1,4)=0;
A(2,1)=6;
A(2,2)=-4;
A(2,3)=0;
A(2,4)=24;
A(3,1)=6;
A(3,2)=0;
A(3,3)=2;
A(3,4)=10;
A
n=3 %jumlah persamaan
pause
18
19
20
%========== Proses Triangularisasi =========
for j=1:(n-1)
21
22
23
24
25
26
27
28
29
30
31
32
33
34
35
36
37
38
39
40
%----mulai proses pivot--if (A(j,j)==0)
for p=1:n+1
u=A(j,p);
v=A(j+1,p);
A(j+1,p)=u;
A(j,p)=v;
end
end
%----akhir proses pivot--jj=j+1;
for i=jj:n
m=A(i,j)/A(j,j);
for k=1:(n+1)
A(i,k)=A(i,k)-(m*A(j,k));
end
end
end
A
2.5. CONTOH APLIKASI
41
42
29
pause
%========= Akhir Proses Triangularisasi ===
43
44
45
%------Proses Substitusi mundur------------x(n,1)=A(n,n+1)/A(n,n);
46
47
48
49
50
51
52
53
54
for i=n-1:-1:1
S=0;
for j=n:-1:i+1
S=S+A(i,j)*x(j,1);
end
x(i,1)=(A(i,n+1)-S)/A(i,i);
end
x
2.5
Contoh aplikasi
2.5.1 Menghitung arus listrik
Gunakan metode Eliminasi Gauss untuk menentukan arus i1 , i2 dan i3 yang mengalir pada
rangkaian berikut ini
jawab:
Berdasarkan Hukum Kirchhoff:
I1 + I2 = I3
10 − 6I1 − 2I3 = 0
−14 + 6I1 − 10 − 4I2 = 0
Lalu kita susun ulang ketiga persamaan di atas menjadi seperti ini:
I1 + I2 − I3 = 0
6I1 + 2I3 = 10
6I1 − 4I2 = 24
BAB 2. METODE ELIMINASI GAUSS
30
Kemudian dinyatakan dalam bentuk matriks:
1
1
−1
I1
0
0 I2 = 24
2
I3
10
6 −4
6 0
Selanjutkan kita susun matriks augmentasi sebagai berikut:
1
1
6 −4
6 0
−1
0
2
0
24
10
Langkah berikutnya adalah menghitung matriks triangularisasi dengan langkah-langkah sebagai berikut:
6
a21
=
= 6
a11
1
= 6 − (6).(1) = 0
m=
a21 = a21 − m.a11
a22 = a22 − m.a12 = −4 − (6).(1) = −10
a23 = a23 − m.a13 = 0 − (6).(−1) = 6
a24 = a24 − m.a14 = 24 − (6).(0) = 24
a31
6
=
= 6
a11
1
= 6 − (6).(1) = 0
m=
a31 = a31 − m.a11
a32 = a32 − m.a12 = 0 − (6).(1) = −6
a33 = a33 − m.a13 = 2 − (6).(−1) = 8
a34 = a34 − m.a14 = 10 − (6).(0) = 10
Sampai disini matriks augment mengalami perubahan menjadi
1
1
0 −10
0 −6
−1
6
8
0
24
10
2.6. MENGHITUNG INVERS MATRIK
31
Kelanjutan langkah menuju triangularisasi adalah
m=
a32
a22
−6
).(0)
−10
−6
).(−10)
a32 = a32 − m.a22 = −6 − (
−10
−6
a33 = a33 − m.a23 = 8 − (
).(6)
−10
−6
a34 = a34 − m.a24 = 10 − (
).(24)
−10
a31 = a31 − m.a21 = 0 − (
=
−6
−10
= 0
= 0
= 4, 4
= −4, 4
maka matriks triangularisasi berhasil didapat yaitu
1
1
−1
0
24
0 −10 6
0
0
4, 4 −4, 4
Sekarang tinggal melakukan proses substitusi mundur
a34
a33
a24 − a23 .I3
I2 =
a22
a14 − (a13 .I3 + a12 .I2 )
I1 =
a11
I3 =
=
=
=
−4, 4
= −1
4, 4
24 − (6).(−1)
= −3
−10
(0 − [(−1).(−1) + (1).(−3)]
=2
1
Dengan demikian, besar masing-masing arus pada rangkaian di atas adalah I1 = 2A, I2 = −3A
dan I3 = −1A. Tanda minus (-) memiliki arti bahwa arah arus yang sesungguhnya berlawanan
arah dengan asumsi awal yang kita gunakan.
2.6
Menghitung invers matrik
Sekali lagi saya ulangi apa yang pernah kita bahas di awal bab ini yaitu bahwa sistem persamaan linear dapat dinyatakan sebagai berikut:
a11 x1 + a12 x2 + . . . + a1n xn = b1
a21 x1 + a22 x2 + . . . + a2n xn = b2
............... = ...
............... = ...
an1 x1 + an2 x2 + . . . + ann xn = bn
Sistem persamaan linear tersebut dapat dinyatakan dalam bentuk operasi matrik,
Ax = b
(2.10)
BAB 2. METODE ELIMINASI GAUSS
32
sehingga bentuknya menjadi seperti ini:
a11
a12
. . . a1n
a21 a22 . . . a2n
.
..
..
.
.
.
.
an1 an2 . . . ann
x1
x2
..
.
=
xn
b1
b2
..
.
bn
dimana
a11
a12
. . . a1n
a21 a22 . . . a2n
A=
..
..
..
.
.
.
an1 an2 . . . ann
,
x1
x2
..
.
x=
xn
,
b=
b1
b2
..
.
bn
Dalam kaitannya dengan invers matrik, matrik A disebut matrik non-singular jika matrik
A memiliki matrik invers dirinya yaitu A−1 . Atau dengan kata lain, matrik A−1 adalah invers
dari matrik A. Jika matrik A tidak memiliki invers, maka matrik A disebut singular. Bila
matrik A dikalikan dengan matrik A−1 maka akan menghasilkan matrik identitas I, yaitu suatu
matrik yang elemen-elemen diagonalnya bernilai 1.
AA−1 = I =
1 0 ... 0
0 1 ... 0
.. .. . . ..
. .
. .
0 0 ... 1
(2.11)
Misalnya diketahui,
A=
1 2 −1
0 ,
2
2 1
−1 1
A−1 =
− 29
4
9
− 31
5
9
− 19
1
3
− 19
2
9
1
3
Bila keduanya dikalikan, maka akan menghasilkan matrik identitas,
AA−1 =
1 2 −1
− 92
0 94
2
− 31
2 1
−1 1
5
9
1
−9
1
3
− 19
2
9
1
3
1 0 0
= 0 1 0
0 0 1
Lalu bagaimana cara mendapatkan matrik invers, A−1 ? Persamaan (2.11) bisa dijadikan
pedoman..
AA−1 = I
1 2 −1
2 1
−1 1
i11 i12 i13
1 0 0
0 i21 i22 i23 = 0 1 0
2
i31 i32 i33
0 0 1
2.6. MENGHITUNG INVERS MATRIK
33
dalam hal ini matrik A−1 adalah
i11 i12 i13
A−1 = i21 i22 i23
i31 i32 i33
Elemen-elemen matrik invers, A−1 dapat diperoleh dengan menerapkan metode eliminasi
gauss. Diawali dengan membentuk matrik augment:
1 2 −1 | 1 0 0
2 1
0 | 0 1 0
2 | 0 0 1
−1 1
Lalu dilanjutkan dengan proses triangularisasi: (P2 −2P1 )→(P2 ) dan (P3 +P1 )→(P3 ), kemudian
diikuti oleh (P3 + P2 )→(P3 ):
1
2 −1 |
0 −3
0
3
1 0 0
→
2 | −2 1 0
1 |
1 0 1
1
2 −1 |
0 −3
0
0
1 0 0
2 | −2 1 0
3 | −1 1 1
Langkah berikutnya, matrik augment yang telah mengalami triangularisasi tersebut dipecah
menjadi tiga buah matrik augment seperti berikut ini:
1
2 −1 |
0 −3
0
0
1
2 | −2
3 | −1
1
2 −1 | 0
0 −3
0
0
2 | 1
3 | 1
1
2 −1 | 0
0 −3
0
0
2 | 0
3 | 1
Langkah pamungkasnya adalah melakukan proses substitusi mundur pada ketiga matrik augment di atas, sehingga diperoleh:
i11 = − 92
i21 =
4
9
i31 = − 13
i12 =
5
9
i13 = − 19
i22 = − 91
i32 =
i23 =
1
3
i33 =
2
9
1
3
Hasil tersebut digabung menjadi sebuah matrik, yaitu matrik A−1 ,
A−1 =
− 29
4
9
− 13
5
9
− 91
1
3
− 19
2
9
1
3
Keberadaan matrik A−1 bisa digunakan untuk menyelesaikan sistem persamaan linear
BAB 2. METODE ELIMINASI GAUSS
34
(mencari nilai x ), dengan cara sebagai berikut
Ax = b
A−1 Ax = A−1 b
Ix = A−1 b
x = A−1 b
(2.12)
Contoh berikut ini akan menjelaskan prosesnya secara lebih rinci. Misalnya diketahui sistem
persamaan linear
x1 + 2x2 − x3 = 2
2x1 + x2 = 3
−x1 + x2 + 2x3 = 4
Bila dikonversikan kedalam operasi matrik menjadi
1 2 −1
2 1
−1 1
x1
2
0 x2 = 3
2
x3
4
Berdasarkan persamaan (2.12), maka elemen-elemen vektor x dapat dicari dengan cara
x = A−1 b
x=
− 92
4
9
− 13
5
9
− 19
1
3
− 91
2
9
1
3
2
3 =
4
7
9
13
9
5
3
Akhirnya diperoleh solusi x1 = 7/9, x2 = 13/9, dan x3 = 5/3. Penyelesaian sistem persamaan
linear menjadi lebih mudah bila matrik A−1 sudah diketahui. Sayangnya, untuk mendapatkan matrik A−1 , diperlukan langkah-langkah, seperti yang sudah dibahas pada contoh pertama di atas, yang berakibat in-efisiensi proses penyelesaian (secara komputasi) bila dibandingkan dengan metode eliminasi gauss untuk memecahkan sistem persamaan linear. Namun
bagaimanapun, secara konseptual kita dianjurkan mengetahui cara bagaimana mendapatkan
matrik A−1 .
Saya telah memodifikasi program eliminasi gauss yang terdahulu, untuk keperluan perhitungan matrik invers. Program ini ditulis dengan bahasa fortran, sudah berhasil dikompilasi
dalam Linux Debian (g77) dan Windows XP (Visual Fortran). Inilah programnya,
1
2
3
4
5
DIMENSION A(10,20), D(10,10), X(10)
REAL MJI
INTEGER TKR, BK, TK, Q
WRITE (*,*) ’=PROGRAM INVERS MATRIK DENGAN ELIMINASI GAUSS=’
WRITE (*,*)
2.6. MENGHITUNG INVERS MATRIK
6
C
7
8
9
10
11
12
13
14
15
16
17
18
60
50
C
19
20
21
22
23
24
25
26
27
80
70
28
29
C
30
31
32
33
110
34
35
C
36
37
C
38
39
C
40
41
C
42
43
44
C
45
46
100
47
48
49
50
200
C
51
52
53
54
C
55
56
57
58
59
60
61
20
62
63
64
C
LANGKAH 1: MEMASUKAN NILAI ELEMEN-ELEMEN MATRIK A
WRITE (*,’(1X,A)’) ’JUMLAH PERSAMAAN ? ’
READ (*,*) N
WRITE (*,*)
WRITE (*,*) ’MASUKAN ELEMEN-ELEMEN MATRIK A’
M = N + 1
DO 50 I = 1,N
DO 60 J = 1,N
WRITE (*,’(1X,A,I2,A,I2,A)’) ’A(’,I,’,’,J,’) = ’
READ (*,*) A(I,J)
CONTINUE
CONTINUE
LANGKAH 2: MENDEFINISIKAN MATRIK IDENTITAS
WRITE (*,*) ’MENDEFINISIKAN MATRIK IDENTITAS’
DO 70 I = 1,N
DO 80 J = M,N+N
A(I,J) = 0
IF (I+N .EQ. J) THEN
A(I,J) = 1
END IF
CONTINUE
CONTINUE
WRITE (*,*)
MENAMPILKAN MATRIK AUGMENT
WRITE (*,’(1X,A)’) ’MATRIK AUGMENT:’
DO 110 I = 1,N
WRITE (*,’(1X,5(F14.8))’) (A(I,J),J=1,N+N)
CONTINUE
WRITE (*,*)
MENGHITUNG JUMLAH TUKAR (TKR) POSISI. MULA2 TKR = 0
TKR = 0
MENGHITUNG JUMLAH OPERASI BAGI/KALI (BK).
BK = 0
MENGHITUNG JUMLAH OPERASI TAMBAH/KURANG (TK).
TK = 0
LANGKAH 3: MEMERIKSA ELEMEN2 PIVOT DAN PROSES TUKAR POSISI
NN = N-1
DO 10 I=1,NN
LANGKAH 4: MENDEFINISIKAN P
P = I
IF (ABS(A(P,I)).GE.1.0E-20 .OR. P.GT.N) GOTO 200
P = P+1
GOTO 100
IF(P.EQ.N+1)THEN
MENAMPILKAN PESAN SINGULAR
WRITE(*,5)
GOTO 400
END IF
LANGKAH 5: PROSES TUKAR POSISI
IF(P.NE.I) THEN
DO 20 JJ=1,N+N
C = A(I,JJ)
A(I,JJ) = A(P,JJ)
A(P,JJ) = C
TKR = TKR + 1
CONTINUE
END IF
LANGKAH 6: PERSIAPAN PROSES TRIANGULARISASI
JJ = I+1
35
36
65
66
C
67
68
69
C
70
71
72
73
74
40
75
76
77
78
30
10
C
79
80
81
82
83
120
C
84
85
C
86
87
88
89
90
91
C
92
93
94
C
95
96
97
98
99
100
101
102
103
104
16
105
106
107
108
109
110
15
500
C
111
112
113
114
115
220
116
117
118
119
120
121
122
123
400
5
8
9
11
BAB 2. METODE ELIMINASI GAUSS
DO 30 J=JJ,N
LANGKAH 7: TENTUKAN MJI
MJI = A(J,I)/A(I,I)
BK = BK + 1
LANGKAH 8: MELAKUKAN PROSES TRIANGULARISASI
DO 40 K=JJ,N+N
A(J,K) = A(J,K)-MJI*A(I,K)
BK = BK + 1
TK = TK + 1
CONTINUE
A(J,I) = 0
CONTINUE
CONTINUE
MENAMPILKAN HASIL TRIANGULARISASI
WRITE (*,’(1X,A)’) ’HASIL TRIANGULARISASI:’
DO 120 I = 1,N
WRITE (*,’(1X,5(F14.8))’) (A(I,J),J=1,N+N)
CONTINUE
LANGKAH 9: MEMERIKSA ELEMEN A(N,N)
IF(ABS(A(N,N)).LT.1.0E-20) THEN
MENAMPILKAN PESAN SINGULAR
WRITE(*,5)
GOTO 400
END IF
DO 500 J = 1,N
Q=N+J
LANGKAH 10: MENGHITUNG A(N,N)
D(J,N) = A(N,Q)/A(N,N)
BK = BK + 1
LANGKAH 11: PROSES SUBSTITUSI MUNDUR
L = N-1
DO 15 K=1,L
I = L-K+1
JJ = I+1
SUM = 0.0
DO 16 KK=JJ,N
SUM = SUM+A(I,KK)*D(J,KK)
BK = BK + 1
TK = TK + 1
CONTINUE
D(J,I) = (A(I,Q)-SUM)/A(I,I)
BK = BK + 1
TK = TK + 1
CONTINUE
CONTINUE
LANGKAH 12: MENAMPILKAN HASIL PERHITUNGAN
WRITE (*,*)
WRITE (*,’(1X,A)’) ’MATRIK INVERS:’
DO 220 I = 1,N
WRITE (*,’(1X,5(F14.8))’) (D(J,I),J=1,N)
CONTINUE
WRITE(*,8) TKR
WRITE(*,9) BK
WRITE(*,11) TK
STOP
FORMAT(1X,’MATRIK A BERSIFAT SINGULAR’)
FORMAT(1X,’JUMLAH TUKAR POSISI = ’,3X,I5)
FORMAT(1X,’JUMLAH OPERASI BAGI/KALI = ’,3X,I6)
FORMAT(1X,’JUMLAH OPERASI JUMLAH/KURANG = ’,3X,I6)
2.7. PENUTUP
37
END
124
2.7
Penutup
Silakan anda coba aplikasikan program di atas dengan berbagai sistem persamaan linear yang
pernah dijadikan contoh pada catatan terdahulu. Saya cukupkan sementara sampai disini.
Insya Allah akan saya sambung lagi dilain waktu. Kalau ada yang mau didiskusikan, silakan
hubungi saya melalui email yang tercantum di halaman paling depan.
Bab 3
Aplikasi Eliminasi Gauss pada Masalah
Inversi
✍ Objektif :
⊲ Mengenalkan model garis.
⊲ Mengenalkan model parabola.
⊲ Mengenalkan model bidang.
Pada bab ini, saya mencoba menuliskan aplikasi Metode Eliminasi Gauss sebagai dasardasar teknik inversi yaitu meliputi model garis, model parabola dan model bidang. Uraian aplikasi tersebut diawali dari ketersediaan data observasi, lalu sejumlah parameter model mesti
dicari dengan teknik inversi. Mari kita mulai dari model garis.
3.1
Inversi Model Garis
Pengukuran temperatur terhadap kedalaman di bawah permukaan bumi menunjukkan bahwa
semakin dalam, temperatur semakin tinggi. Misalnya telah dilakukan sebanyak empat kali (N
= 4) pengukuran temperatur (Ti ) pada kedalaman yang berbeda beda (zi ). Tabel pengukuran
secara sederhana disajikan seperti ini:
Tabel 3.1: Data temperatur bawah permukaan tanah terhadap kedalaman
Pengukuran ke-i Kedalaman (m) Temperatur (O C)
1
z1 = 5
T1 = 35
2
z2 = 16
T2 = 57
3
z3 = 25
T3 = 75
4
z4 = 100
T4 = 225
Grafik sebaran data observasi ditampilkan pada Gambar (3.1). Lalu kita berasumsi bahwa
variasi temperatur terhadap kedalaman ditentukan oleh rumus berikut ini:
m1 + m2 zi = Ti
39
(3.1)
BAB 3. APLIKASI ELIMINASI GAUSS PADA MASALAH INVERSI
40
Variasi temperatur terhadap kedalaman
250
Temperatur (Celcius)
200
150
100
50
0
0
10
20
30
40
50
60
Kedalaman (meter)
70
80
90
100
Gambar 3.1: Sebaran data observasi antara temperatur dan kedalaman
dimana m1 dan m2 adalah konstanta-konstanta yang akan dicari. Rumus di atas disebut model
matematika. Sedangkan m1 dan m2 disebut parameter model. Pada model matematika di atas
terdapat dua buah parameter model, (M = 2). Sementara jumlah data observasi ada empat,
(N = 4), yaitu nilai-nilai kedalaman, zi , dan temperatur, Ti . Berdasarkan model tersebut, kita
bisa menyatakan temperatur dan kedalaman masing-masing sebagai berikut:
m1 + m2 z1 = T1
m1 + m2 z2 = T2
m1 + m2 z3 = T3
m1 + m2 z4 = T4
Semua persamaan tersebut dapat dinyatakan dalam operasi matrik berikut ini:
1 z1
1 z2
1 z
3
1 z4
T1
#
"
m1
T2
=
m
T
2
3
T4
(3.2)
Lalu ditulis secara singkat
Gm = d
(3.3)
dimana d adalah data yang dinyatakan dalam vektor kolom, m adalah model parameter, juga
dinyatakan dalam vektor kolom, dan G disebut matrik kernel. Lantas bagaimana cara menda-
3.1. INVERSI MODEL GARIS
41
patkan nilai m1 dan m2 pada vektor kolom m? Manipulasi berikut ini bisa menjawabnya
Gt Gm = Gt d
(3.4)
dimana t disini maksudnya adalah tanda transpos matrik. Selanjutnya, untuk mendapatkan
elemen-elemen m, diperlukan langkah-langkah perhitungan berikut ini:
1. Tentukan transpos dari matrik kernel, yaitu Gt
1 z1
1 z2
G=
1
z
3
1 z4
Gt =
⇒
"
1
1
1
1
z1 z2 z3 z4
#
2. Tentukan Gt G
Gt G =
"
1
1
1
z1 z2 z3
1 z1
#
1 z2
z4
1 z3
1 z4
1
P #
"
N
zi
= P
P 2
zi
zi
dimana N = 4 dan i = 1, 2, 3, 4.
3. Kemudian tentukan pula Gt d
t
Gd=
"
1
1
1
z1 z2 z3
T1
#
#
" P
T2
T
i
= P
z4
z i Ti
T3
T4
1
4. Sekarang persamaan (3.4) dapat dinyatakan sebagai
"
# " P
#
P #"
m1
Ti
N
zi
= P
P
P 2
m2
z i Ti
zi
zi
(3.5)
5. Aplikasikan metode Eliminasi Gauss dengan Substitusi Mundur. Untuk itu, tentukan
matrik augment-nya
"
#
P
P
N
zi |
Ti
P
P 2
P
zi
zi |
z i Ti
6. Untuk mempermudah perhitungan, kita masukan dulu angka-angka yang tertera pada
BAB 3. APLIKASI ELIMINASI GAUSS PADA MASALAH INVERSI
42
tabel pengukuran dihalaman depan.
"
4
146
|
392
146 10906 | 25462
#
7. Lakukan proses triangularisasi dengan operasi (P2 − (36, 5)P1 ) → P2 . Saya sertakan
pula indeks masing-masing elemen pada matrik augment sebagaimana yang telah saya
lakukan pada catatan kuliah yang berjudul Metode Eliminasi Gauss. Hasilnya adalah
"
4
146
|
392
0 5577 | 11154
#
=
"
a11 a12 | a13
a21 a22 | a23
#
8. Terakhir, tentukan konstanta m1 dan m2 yang merupakan elemen-elemen vektor kolom
m, dengan proses substitusi mundur. Pertama tentukan m2
m2 =
lalu tentukan m1
m1 =
a23
11154
=
=2
a22
5577
392 − (146)(2)
a13 − a12 m2
=
= 25
a11
4
3.1.1 Script matlab inversi model garis
Script inversi model garis ini dibangun dari beberapa script yang sudah kita pelajari sebelumnya, yaitu script transpose matriks, perkalian matrik dan script eliminasi gauss. Silakan pelajari maksud tiap-tiap baris pada script ini.
1
2
clc
clear all
3
4
5
6
7
8
disp(’Data observasi’)
z1=5;
z2=16;
z3=25;
z4=100;
9
10
11
12
13
T(1,1)=35;
T(2,1)=57;
T(3,1)=75;
T(4,1)=225;
14
15
16
17
18
19
20
21
22
23
24
disp(’Elemen-elemen matriks kernel G’)
G(1,1)=1;
G(1,2)=z1;
G(2,1)=1;
G(2,2)=z2;
G(3,1)=1;
G(3,2)=z3;
G(4,1)=1;
G(4,2)=z4;
G
3.1. INVERSI MODEL GARIS
25
26
d=T;
d
27
28
29
N=4; %jumlah data
M=2; %model parameter
30
31
32
33
34
35
36
37
disp(’Mencari G transpos’)
for i=1:N
for j=1:M
GT(j,i)=G(i,j);
end
end
GT
38
39
40
41
42
43
44
45
46
47
48
49
50
51
52
disp(’Perkalian GT dan G’)
for i=1:M
for j=1:M
GTG(i,j)=0;
end
end
for i=1:M
for j=1:M
for k=1:N
GTG(i,j)=GTG(i,j)+GT(i,k)*G(k,j);
end
end
end
GTG
53
54
55
56
57
58
59
60
61
62
63
64
65
66
67
disp(’Perkalian GT dan d’)
for i=1:M
for j=1:1
GTd(i,j)=0;
end
end
for i=1:M
for j=1:1
for k=1:N
GTd(i,j)=GTd(i,j)+GT(i,k)*d(k,j);
end
end
end
GTd
68
69
70
71
72
73
74
75
A=GTG;
%====== Menggabungkan Vektor GTd kedalam matrik A ========
n=M;
for i=1:n
A(i,n+1)=GTd(i,1);
end
A
76
77
78
79
%&&&&&& Proses Eliminasi Gauss &&&&&&&&&&&&&&&&&&&&&&&&&
%---------Proses Triangularisasi----------for j=1:(n-1)
80
81
82
83
%----mulai proses pivot--if (A(j,j)==0)
for p=1:n+1
43
BAB 3. APLIKASI ELIMINASI GAUSS PADA MASALAH INVERSI
44
u=A(j,p);
v=A(j+1,p);
A(j+1,p)=u;
A(j,p)=v;
84
85
86
87
88
89
90
91
92
93
94
95
96
97
98
99
end
end
%----akhir proses pivot--jj=j+1;
for i=jj:n
m=A(i,j)/A(j,j);
for k=1:(n+1)
A(i,k)=A(i,k)-(m*A(j,k));
end
end
end
%-------------------------------------------
100
101
102
%------Proses Substitusi mundur------------x(n,1)=A(n,n+1)/A(n,n);
103
104
105
106
107
108
109
110
111
112
113
for i=n-1:-1:1
S=0;
for j=n:-1:i+1
S=S+A(i,j)*x(j,1);
end
x(i,1)=(A(i,n+1)-S)/A(i,i);
end
%&&&&&&&&&&&&&&&&&&&&&&&&&&&&&&&&&&&&&&&&&&&&&&&&&&&&&
disp(’Model parameter yang dicari’)
m=x
Sebetulnya, matlab telah menyediakan fungsi-fungsi intrinsik yang bisa digunakan sehingga dapat memperkecil jumlah baris pada script di atas. Dari line 28 sampai line 113 dapat
dipangkas menjadi
1
m=inv(G’*G)*G’*d
%Proses inversi linear
Lalu mengapa kita harus bersusah payah membangun script yang begitu panjang bila matlab bisa melakukannya dengan mudah? Karena kita sedang mempelajari teknik-teknik komputasi untuk menyelesaikan problem sains dan teknik. Kita tidak sedang belajar matlab. Jadi teknik-teknik yang dipelajari disini harus bisa diterapkan di selain matlab. Script singkat
m = inv(G′ ∗ G) ∗ G′ ∗ d hanya berlaku di matlab, sementara script yang panjangnya 113 line
dapat diterjemahkan dengan sangat mudah ke dalam bahasa pemrograman selain matlab.
Demikianlah contoh aplikasi metode Eliminasi Gauss dengan substitusi mundur. Anda
bisa mengaplikasikan pada kasus lain, dengan syarat kasus yang anda tangani memiliki bentuk model yang sama dengan yang telah dikerjakan pada catatan ini, yaitu model persamaan
garis atau disingkat model garis: y = m1 + m2x. Selanjutnya mari kita pelajari inversi model
parabola.
3.2. INVERSI MODEL PARABOLA
3.2
45
Inversi Model Parabola
Pengukuran temperatur terhadap kedalaman di bawah permukaan bumi menunjukkan bahwa semakin dalam, temperatur semakin tinggi. Misalnya telah dilakukan sebanyak delapan
kali (N = 8) pengukuran temperatur (Ti ) pada kedalaman yang berbeda beda (zi ). Tabel pengukuran secara sederhana disajikan seperti ini:
Tabel 3.2: Data temperatur bawah permukaan tanah terhadap kedalaman
Pengukuran ke-i Kedalaman (m) Temperatur (O C)
1
z1 = 5
T1 = 21, 75
2
z2 = 8
T2 = 22, 68
3
z3 = 14
T3 = 25, 62
4
z4 = 21
T4 = 30, 87
5
z5 = 30
T5 = 40, 5
6
z6 = 36
T6 = 48, 72
7
z7 = 45
T7 = 63, 75
8
z8 = 60
T8 = 96
Lalu kita berasumsi bahwa variasi temperatur terhadap kedalaman ditentukan oleh rumus
berikut ini:
m1 + m2 zi + m3 zi2 = Ti
(3.6)
dimana m1 , m2 dan m3 adalah konstanta-konstanta yang akan dicari. Rumus di atas disebut
model. Sedangkan m1 , m2 dan m3 disebut model parameter. Jadi pada model di atas terdapat
tiga buah model parameter, (M = 3). Adapun yang berlaku sebagai data adalah nilai-nilai
temperatur T1 , T2 ,..., dan T8 . Berdasarkan model tersebut, kita bisa menyatakan temperatur
dan kedalaman masing-masing sebagai berikut:
m1 + m2 z1 + m3 z12 = T1
m1 + m2 z2 + m3 z22 = T2
m1 + m2 z3 + m3 z32 = T3
m1 + m2 z4 + m3 z42 = T4
m1 + m2 z5 + m3 z52 = T5
m1 + m2 z6 + m3 z62 = T6
m1 + m2 z7 + m3 z72 = T7
m1 + m2 z8 + m3 z82 = T8
BAB 3. APLIKASI ELIMINASI GAUSS PADA MASALAH INVERSI
46
Semua persamaan tersebut dapat dinyatakan dalam operasi matrik berikut ini:
1 z1 z12
T1
T2
1 z2 z22
1 z3 z32
T3
m
1
T4
1 z4 z42
m2 =
T
1 z5 z52
5
m
3
T6
1 z6 z62
T
1 z7 z72
7
T8
1 z8 z82
(3.7)
Lalu ditulis secara singkat
Gm = d
(3.8)
dimana d adalah data yang dinyatakan dalam vektor kolom, m adalah model parameter, juga
dinyatakan dalam vektor kolom, dan G disebut matrik kernel. Lantas bagaimana cara mendapatkan nilai m1 , m2 dan m3 pada vektor kolom m? Manipulasi berikut ini bisa menjawabnya
Gt Gm = Gt d
(3.9)
dimana t disini maksudnya adalah tanda transpos matrik. Selanjutnya, untuk mendapatkan
elemen-elemen m, diperlukan langkah-langkah perhitungan berikut ini:
1. Tentukan transpos dari matrik kernel, yaitu Gt
G=
1 z1 z12
1 z2 z22
1 z3 z32
2
1 z4 z4
1 z5 z52
2
1 z6 z6
1 z7 z72
2
1 z8 z8
⇒
1
1
1
1
1
1
1
1
Gt = z1 z2 z3 z4 z5 z6 z7 z8
z12 z22 z32 z42 z52 z62 z72 z82
2. Tentukan Gt G
1 1 1 1 1 1 1
G G = z1 z2 z3 z4 z5 z6 z7
z12 z22 z32 z42 z52 z62 z72
t
1
z8
2
z8
1 z1 z12
1 z2 z22
1 z3 z32
P
P 2
N
z
zi
i
1 z4 z42
P
P
P
=
zi
zi2
zi3
2
1 z5 z5
P 2 P 3 P 4
zi
zi
zi
2
1 z6 z6
1 z7 z72
2
1 z8 z8
3.2. INVERSI MODEL PARABOLA
47
dimana N = 8 dan i = 1, 2, 3, ..., 8.
3. Kemudian tentukan pula Gt d
1 1 1 1 1 1 1
G d = z1 z2 z3 z4 z5 z6 z7
z12 z22 z32 z42 z52 z62 z72
t
1
z8
z82
T1
T2
T3
P
Ti
T4
P
=
z i Ti
T5
P 2
z i Ti
T6
T7
T8
4. Sekarang persamaan (3.14) dapat dinyatakan sebagai (ini khan least square juga...!?)
P
P
P 2
N
zi
zi
Ti
m1
P 2 P 3
P
P
zi
zi
zi m2 =
z i Ti
P 2 P 3 P 4
P 2
zi
zi
zi
z i Ti
m3
(3.10)
5. Aplikasikan metode Eliminasi Gauss dengan Substitusi Mundur. Untuk itu, tentukan
matrik augment-nya
P
P 2
P
N
zi
zi |
Ti
P 2 P 3
P
P
zi
z i Ti
zi |
zi
P 2 P 3 P 4
P 2
zi
zi
z i Ti
zi |
6. Untuk mempermudah perhitungan, kita masukan dulu angka-angka yang tertera pada
tabel pengukuran dihalaman depan.
8
219
8547
|
349, 89
8547
393423 | 12894, 81
219
8547 393423 19787859 | 594915, 33
7. Lakukan proses triangularisasi dengan operasi (P2 − (219/8)P1 ) → P2 . Hasilnya adalah
8
0
8547
219
8547
|
2551, 88 159448, 88 |
393423
19787859
349, 89
3316, 57
| 594915, 33
8. Masih dalam proses triangularisai, operasi berikutnya (P3 − (8547/8)P1 ) → P3 . Hasilnya
BAB 3. APLIKASI ELIMINASI GAUSS PADA MASALAH INVERSI
48
adalah
8
219
8547
|
349, 89
159448, 88 | 3316, 57
0 2551, 88
0 159448.88 10656457, 88 | 221101, 6
9. Masih dalam proses triangularisai, operasi berikutnya (P3 − (159448, 88/2551, 88)P2 ) →
P3 . Hasilnya adalah
8
219
8547
|
349, 89
(3.11)
0 2551, 88 159448, 88 | 3316, 57
0
0
693609, 48 | 13872, 19
Seperti catatan yang lalu, saya ingin menyertakan pula notasi masing-masing elemen
pada matrik augment sebelum melakukan proses substitusi mundur.
8
219
8547
|
349, 89
a11 a12 a13 | a14
0 2551, 88 159448, 88 | 3316, 57 ⇔ a21 a22 a23 | a24
0
0
693609, 48 | 13872, 19
a31 a32 a33 | a34
10. Terakhir, tentukan konstanta m1 , m2 dan m3 yang merupakan elemen-elemen vektor
kolom m, dengan proses substitusi mundur. Pertama tentukan m3
m3 =
lalu m2
m2 =
13872, 19
a34
=
= 0, 02
a33
693609, 48
a24 − a23 m3
3316, 57 − (159448, 88)(0, 02)
=
= 0, 05
a22
2551, 88
dan m1
m1 =
349, 89 − [(219)(0, 05) + (8547)(0, 02)
a14 − (a12 m2 + a13 m3 )
=
= 21
a11
8
3.2.1 Script matlab inversi model parabola
Perbedaan utama script ini dengan script inversi model garis terletak pada inisialisasi elemenelemen matrik kernel. Elemen-elemen matrik kernel sangat ditentukan oleh model matematika
yang digunakan. Seperti pada script ini, matrik kernelnya diturunkan dari persamaan parabola.
1
2
clc
clear all
3
4
5
6
7
z1=5;
z2=8;
z3=14;
z4=21;
3.2. INVERSI MODEL PARABOLA
8
9
10
11
z5=30;
z6=36;
z7=45;
z8=60;
12
13
14
15
16
17
18
19
20
T(1,1)=21.75;
T(2,1)=22.68;
T(3,1)=25.62;
T(4,1)=30.87;
T(5,1)=40.5;
T(6,1)=48.72;
T(7,1)=63.75;
T(8,1)=96;
21
22
23
24
25
26
27
28
29
30
31
32
33
34
35
36
37
38
39
40
41
42
43
44
45
G(1,1)=1;
G(1,2)=z1;
G(1,3)=z1^2;
G(2,1)=1;
G(2,2)=z2;
G(2,3)=z2^2;
G(3,1)=1;
G(3,2)=z3;
G(3,3)=z3^2;
G(4,1)=1;
G(4,2)=z4;
G(4,3)=z4^2;
G(5,1)=1;
G(5,2)=z5;
G(5,3)=z5^2;
G(6,1)=1;
G(6,2)=z6;
G(6,3)=z6^2;
G(7,1)=1;
G(7,2)=z7;
G(7,3)=z7^2;
G(8,1)=1;
G(8,2)=z8;
G(8,3)=z8^2;
46
47
48
49
G
d=T;
d
50
51
52
53
N=8; %jumlah data
M=3; %model parameter
pause
54
55
56
57
58
59
60
61
62
63
%%%%%===========Proses inversi==============
disp(’Mencari G transpos’)
for i=1:N
for j=1:M
GT(j,i)=G(i,j);
end
end
GT
64
65
66
disp(’Perkalian GT dan G’)
for i=1:M
49
BAB 3. APLIKASI ELIMINASI GAUSS PADA MASALAH INVERSI
50
67
68
69
70
71
72
73
74
75
76
77
78
for j=1:M
GTG(i,j)=0;
end
end
for i=1:M
for j=1:M
for k=1:N
GTG(i,j)=GTG(i,j)+GT(i,k)*G(k,j);
end
end
end
GTG
79
80
81
82
83
84
85
86
87
88
89
90
91
92
93
disp(’Perkalian GT dan d’)
for i=1:M
for j=1:1
GTd(i,j)=0;
end
end
for i=1:M
for j=1:1
for k=1:N
GTd(i,j)=GTd(i,j)+GT(i,k)*d(k,j);
end
end
end
GTd
94
95
96
97
98
99
100
101
102
A=GTG;
%====== Menggabungkan Vektor GTd kedalam matrik A ========
n=M;
for i=1:n
A(i,n+1)=GTd(i,1);
end
A
pause
103
104
105
106
107
disp(’Hasil Eliminasi Gauss’)
%&&&&&& Proses Eliminasi Gauss &&&&&&&&&&&&&&&&&&&&&&&&&
%---------Proses Triangularisasi----------for j=1:(n-1)
108
109
110
111
112
113
114
115
116
117
118
119
120
121
122
123
124
125
%----mulai proses pivot--if (A(j,j)==0)
for p=1:n+1
u=A(j,p);
v=A(j+1,p);
A(j+1,p)=u;
A(j,p)=v;
end
end
%----akhir proses pivot--jj=j+1;
for i=jj:n
m=A(i,j)/A(j,j);
for k=1:(n+1)
A(i,k)=A(i,k)-(m*A(j,k));
end
end
3.3. INVERSI MODEL BIDANG
126
127
51
end
%-------------------------------------------
128
129
130
%------Proses Substitusi mundur------------x(n,1)=A(n,n+1)/A(n,n);
131
132
133
134
135
136
137
138
139
140
141
for i=n-1:-1:1
S=0;
for j=n:-1:i+1
S=S+A(i,j)*x(j,1);
end
x(i,1)=(A(i,n+1)-S)/A(i,i);
end
%&&&&&&&&&&&&&&&&&&&&&&&&&&&&&&&&&&&&&&&&&&&&&&&&&&&&&
%%%%%%%%%%%=====AKHIR DARI INVERSI MODEL GARIS==========
m=x
Demikianlah contoh aplikasi metode Eliminasi Gauss dengan substitusi mundur. Anda
bisa mengaplikasikan pada kasus lain, dengan syarat kasus yang anda tangani memiliki bentuk model yang sama dengan yang telah dikerjakan pada catatan ini, yaitu memiliki tiga buah
model parameter yang tidak diketahui dalam bentuk persamaan parabola: y = m1 + m2 x +
m3 x2 . Pada catatan berikutnya, saya akan membahas model yang mengandung tiga model
parameter dalam 2 dimensi.
3.3
Inversi Model Bidang
Dalam catatan ini saya belum sempat mencari contoh pengukuran yang sesuai untuk model
2-dimensi. Maka, saya ingin langsung saja mengajukan sebuah model untuk 2-dimensi berikut
ini:
m1 + m2 xi + m3 yi = di
(3.12)
dimana m1 , m2 dan m3 merupakan model parameter yang akan dicari. Adapun yang berlaku
sebagai data adalah d1 , d2 , d3 , ..., di . Berdasarkan model tersebut, kita bisa menyatakan temperatur dan kedalaman masing-masing sebagai berikut:
m1 + m2 x1 + m3 y1 = d1
m1 + m2 x2 + m3 y2 = d2
m1 + m2 x3 + m3 y3 = d3
..
..
..
..
..
.
.
.
.
.
m1 + m2 xN + m3 yN = dN
BAB 3. APLIKASI ELIMINASI GAUSS PADA MASALAH INVERSI
52
Semua persamaan tersebut dapat dinyatakan dalam operasi matrik berikut ini:
1
x1
y1
1
x2
1
..
.
x3
..
.
d2
y2
m1
y3
m2 = d3
..
...
. m3
yN
dN
1 xN
d1
Lalu ditulis secara singkat
Gm = d
(3.13)
dimana d adalah data yang dinyatakan dalam vektor kolom, m adalah model parameter, juga
dinyatakan dalam vektor kolom, dan G disebut matrik kernel. Lantas bagaimana cara mendapatkan nilai m1 , m2 dan m3 pada vektor kolom m? Manipulasi berikut ini bisa menjawabnya
Gt Gm = Gt d
(3.14)
dimana t disini maksudnya adalah tanda transpos matrik. Selanjutnya, untuk mendapatkan
elemen-elemen m, diperlukan langkah-langkah perhitungan berikut ini:
1. Tentukan transpos dari matrik kernel, yaitu Gt
G=
1
x1
y1
1
x2
1
..
.
x3
..
.
y2
y3
..
.
yN
1 xN
1
1
1
···
1
Gt = x1 x2 x3 · · · xN
y1 y2 y3 · · · yN
⇒
2. Tentukan Gt G
1
1
1
···
1
Gt G = x1 x2 x3 · · · xN
y1
y2
y 3 · · · yN
1
x1
y1
1
x2
1
..
.
x3
..
.
P
P
y2
N
xi
yi
P 2 P
P
y3
=
xi
xi
xi yi
P
P
P 2
..
yi
xi yi
yi
.
yN
1 xN
dimana N = jumlah data. dan i = 1, 2, 3, ..., N .
3. Kemudian tentukan pula Gt d
1
1
1
···
1
Gt d = x1 x2 x3 · · · xN
y1
y2
y3
· · · yN
d1
P
d2
di
P
d3
=
xi di
P
..
yi d i
.
dN
3.4. CONTOH APLIKASI
53
4. Sekarang, persamaan (3.14) dapat dinyatakan sebagai
P
P
P
N
xi
yi
m1
di
P 2 P
P
P
xi
xi
xi yi m2 =
xi di
P
P
P 2
P
yi
xi yi
yi
m3
yi d i
(3.15)
5. Aplikasikan metode Eliminasi Gauss dengan Substitusi Mundur. Untuk itu, tentukan
matrik augment-nya
P
P
P
N
xi
yi |
di
P 2 P
P
P
xi
xi
xi yi |
xi di
P
P
P 2
P
yi d i
yi
xi yi
yi |
6. Langkah-langkah selanjutnya akan sama persis dengan catatan sebelumnya (model linear dan model parabola)
Anda bisa mengaplikasikan data pengukuran yang anda miliki, dengan syarat kasus yang
anda tangani memiliki bentuk model yang sama dengan yang telah dikerjakan pada catatan
ini, yaitu memiliki tiga buah model parameter yang tidak diketahui dalam bentuk persamaan
bidang (atau 2-dimensi): d = m1 + m2 x + m3 y.
Saya cukupkan sementara sampai disini. Insya Allah akan saya sambung lagi dilain waktu.
Kalau ada yang mau didiskusikan, silakan hubungi saya melalui email: supri@f isika.ui.ac.id.
3.4
Contoh aplikasi
3.4.1 Menghitung gravitasi di planet X
Seorang astronot tiba di suatu planet yang tidak dikenal. Setibanya disana, ia segera mengeluarkan kamera otomatis, lalu melakukan ekperimen kinematika yaitu dengan melempar batu
vertikal ke atas. Hasil foto-foto yang terekam dalam kamera otomatis adalah sebagai berikut
Tabel 3.3: Data ketinggian terhadap waktu dari planet X
Waktu (dt) Ketinggian (m) Waktu (dt) Ketinggian (m)
0,00
5,00
2,75
7,62
0,25
5,75
3,00
7,25
0,50
6,40
3,25
6,77
0,75
6,94
3,50
6,20
1,00
7,38
3,75
5,52
1,25
7,72
4,00
4,73
1,50
7,96
4,25
3,85
1,75
8,10
4,50
2,86
2,00
8,13
4,75
1,77
2,25
8,07
5,00
0,58
2,50
7,90
Plot data pengukuran waktu vs ketinggian diperlihatkan sebagai berikut
BAB 3. APLIKASI ELIMINASI GAUSS PADA MASALAH INVERSI
54
9
8
7
Tinggi (meter)
6
5
4
3
2
1
0
0
0.5
1
1.5
2
2.5
Waktu (detik)
3
3.5
4
4.5
5
Gambar 3.2: Grafik data pengukuran gerak batu
Anda diminta untuk membantu pengolahan data di atas. Jika anda menggunakan asumsi
model matematik dari Gerak-Lurus-Berubah-Beraturan (GLBB) seperti ini
1
ho + vo t − gt2 = h
2
maka gunakanlah prinsip-prinsip inversi untuk menentukan kecapatan awal, vo dan konstanta
gravitasi, g pada planet tersebut.
jawab:
Berdasarkan tabel di atas, diketahui terdapat 21 data. Ketinggian pada saat t = 0 adalah ho = 5
m. Untuk mencari vo dan g menggunakan metode inversi, mula-mula kita definisikan terlebih
dahulu m1 dan m2 :
m1 = vo
1
m2 = − g
2
sehingga persamaan model GLBB menjadi
5 + m1 ti + m2 t2i = hi
dimana i menunjukkan data ke-i. Langkah selanjutnya adalah menentukan nilai tiap-tiap ele-
3.4. CONTOH APLIKASI
55
men matrik kernel, yaitu dengan memasukan semua data kedalam persamaan model GLBB
5 + m1 t1 + m2 t21 = h1
5 + m1 t2 + m2 t22 = h2
5 + m1 t3 + m2 t23 = h3
..
..
.
.
.
= ..
5 + m1 t20 + m2 t220 = h20
Semua persamaan tersebut dapat dinyatakan dalam operasi matrik berikut ini:
5
t1
5
t2
5
t3
5
..
.
t4
..
.
5 t19
5 t20
t21
h1
t22
h2
#
t23
"
h3
m1
t24
=
.
m
..
2
..
.
h19
2
t19
h20
t220
Sebelum dilanjut, coba perhatikan dengan teliti operasi matrik di atas. Adakah yang janggal??
Yep.. matrik kernel G berukuran 20x3 sementara vektor m berukuran 2x1, tentu saja operasi
perkalian matrik akan gagal. Untuk menghindarinya, kita tambahkan m0 pada vektor m, sehingga operasi tersebut menjadi
5
t1
5
t2
5
t3
5
..
.
t4
..
.
5 t19
5 t20
t21
h1
t22
h2
t23
m0
h3
t24
=
.
m
1
..
..
m2
.
h19
2
t19
h20
t220
Namun, perlu dicatat bahwa m0 harus punya syarat, yaitu harus bernilai 1 atau m0 =1. Ini
boleh dibilang sebagai sebuah aksioma, atau sesuatu yang tak perlu dibuktikan lagi tapi tak
bisa dibantah. Tinggal nanti bisa kita periksa hasil inversinya. Bila m0 bernilai 1, maka proses
inversi dianggap sukses. Kemudian operasi matrik tersebut bisa ditulis secara singkat
Gm = d
Untuk menyelesaikan persamaan matrik ini, diperlukan modifikasi berikut
GT Gm = GT d
(3.16)
BAB 3. APLIKASI ELIMINASI GAUSS PADA MASALAH INVERSI
56
dimana T disini maksudnya adalah tanda transpos matrik. Selanjutnya, untuk mendapatkan
m0 , m1 dan m2 , diperlukan langkah-langkah perhitungan berikut ini:
1. Tentukan transpos dari matrik kernel, yaitu Gt
G=
5
t1
t21
5
t2
5
t3
5
..
.
t4
..
.
t22
t23
t24
..
.
t219
2
t20
5 t19
5 t20
⇒
5
5
5
5
...
5
5
GT = t1 t2 t3 t4 . . . t19 t20
t21 t22 t23 t24 . . . t219 t220
2. Tentukan GT G
5 5 5 5 ... 5
G G = t1 t2 t3 t4 . . . t19
t21 t22 t23 t24 . . . t219
T
5
t20
2
t20
5
t1
t21
5
t2
5
t3
5
..
.
t4
..
.
t22
P
P
t23
25N 5 ti 5 t2i
P
P 2
P 3
t24
t
= 5 P ti P ti
P i4
..
2
3
5 ti
ti
ti
.
2
t19
t220
5 t19
5 t20
dimana N = 20 dan i = 1, 2, ..., 20.
3. Kemudian tentukan pula GT d
5 5 5 5 ... 5
G d = t1 t2 t3 t4 . . . t19
t21 t22 t23 t24 . . . t219
T
5
t20
t220
h1
h2
P
h3
5 hi
P
h4
= P ti hi
..
t2i hi
.
h19
h20
4. Sekarang persamaan (3.16) dapat dinyatakan sebagai
P
P
P
25N 5 ti 5 t2i
m0
5 hi
P 2
P 3
P
P
ti
ti m1 =
ti hi
5 ti
P
P 3
P 4
P 2
5 t2i
ti
ti
m2
ti hi
(3.17)
3.4. CONTOH APLIKASI
57
9
8
7
Ketinggian (m)
6
5
4
3
2
1
0
0
0.5
1
1.5
2
2.5
Waktu (dt)
3
3.5
4
4.5
5
Gambar 3.3: Grafik hasil inversi parabola
500
262, 5
896, 9
m0
607, 5
262, 5 179, 4 689, 1 m1 = 273, 7
896, 9 689, 1 2822, 9
m2
796, 3
Hasil operasi matriks ini dapat diselesaikan dengan metode Eliminasi Gauss, yaitu
m0
0, 9999
m1 = 3, 2009
−0, 8169
m2
Lihatlah! m0 = 0,9999 atau mendekati 1. Dan ini sesuai dengan aksioma yang telah dinyatakan
di awal bahwa memang m0 harus bernilai 1. Jika m0 tidak bernilai 1 berarti teknik inversinya
salah total.
Hasil inversi juga menunjukkan bahwa kecepatan awal yaitu saat batu dilempar ke atas
adalah sebesar m1 = vo = 3,2009 m/dt. Adapun percepatan gravitasi diperoleh dari m2 dimana
m2 = − 21 g = -0,8169. Sehingga nilai g adalah sebesar 1,6338 m/dt2 .
Gambar 3.3 memperlihatkan grafik kurva hasil inversi. Garis berwarna biru merupakan
garis kurva fitting hasil inversi parabola. Sedangkan bulatan berwarna merah adalah data pengukuran ketinggian (m) terhadap waktu (dt). Jelas terlihat bahwa garis kurva berwarna biru
benar-benar cocok melewati semua titik data pengukuran. Ini menunjukkan tingkat akurasi
yang sangat tinggi. Sehingga nilai kecepatan awal dan gravitasi hasil inversi cukup valid untuk menjelaskan gerak batu di planet X.
BAB 3. APLIKASI ELIMINASI GAUSS PADA MASALAH INVERSI
58
Berikut adalah script inversi dalam Matlab untuk memecahkan masalah ini
1
2
clear all
clc;
3
4
5
6
7
8
9
10
11
12
13
14
15
16
17
18
19
20
21
22
23
24
25
26
27
28
N=20; %jumlah data
M=3; %model parameter
for i=1:N
t(i)=i*0.25;
end
h(1)=5.75;
h(2)=6.40;
h(3)=6.94;
h(4)=7.38;
h(5)=7.72;
h(6)=7.96;
h(7)=8.10;
h(8)=8.13;
h(9)=8.07;
h(10)=7.90;
h(11)=7.62;
h(12)=7.25;
h(13)=6.77;
h(14)=6.20;
h(15)=5.52;
h(16)=4.73;
h(17)=3.85;
h(18)=2.86;
h(19)=1.77;
h(20)=0.58;
29
30
31
32
33
34
35
36
37
38
39
for i=1:N
G(i,1)=5;
G(i,2)=t(i);
G(i,3)=t(i)^2;
end
G
for i=1:N
d(i,1)=h(i);
end
d
40
41
42
43
44
45
46
47
48
%%%%%===========Proses inversi==============
disp(’Mencari G transpos’)
for i=1:N
for j=1:M
GT(j,i)=G(i,j);
end
end
GT
49
50
51
52
53
54
55
56
57
disp(’Perkalian GT dan G’)
for i=1:M
for j=1:M
GTG(i,j)=0;
end
end
for i=1:M
for j=1:M
3.4. CONTOH APLIKASI
for k=1:N
GTG(i,j)=GTG(i,j)+GT(i,k)*G(k,j);
end
58
59
60
end
61
62
63
end
GTG
64
65
66
67
68
69
70
71
72
73
74
75
76
77
78
disp(’Perkalian GT dan d’)
for i=1:M
for j=1:1
GTd(i,j)=0;
end
end
for i=1:M
for j=1:1
for k=1:N
GTd(i,j)=GTd(i,j)+GT(i,k)*d(k,j);
end
end
end
GTd
79
80
81
82
83
84
85
86
87
A=GTG;
%====== Menggabungkan Vektor GTd kedalam matrik A ========
n=M;
for i=1:n
A(i,n+1)=GTd(i,1);
end
A
pause
88
89
90
91
92
disp(’Hasil Eliminasi Gauss’)
%&&&&&& Proses Eliminasi Gauss &&&&&&&&&&&&&&&&&&&&&&&&&
%---------Proses Triangularisasi----------for j=1:(n-1)
93
94
95
96
97
98
99
100
101
102
103
104
105
106
107
108
109
110
111
112
113
114
%----mulai proses pivot--if (A(j,j)==0)
for p=1:n+1
u=A(j,p);
v=A(j+1,p);
A(j+1,p)=u;
A(j,p)=v;
end
end
%----akhir proses pivot--jj=j+1;
for i=jj:n
m=A(i,j)/A(j,j);
for k=1:(n+1)
A(i,k)=A(i,k)-(m*A(j,k));
end
end
end
%------------------------------------------%------Proses Substitusi mundur------------x(n,1)=A(n,n+1)/A(n,n);
115
116
for i=n-1:-1:1
59
60
117
118
119
120
121
122
123
124
125
BAB 3. APLIKASI ELIMINASI GAUSS PADA MASALAH INVERSI
S=0;
for j=n:-1:i+1
S=S+A(i,j)*x(j,1);
end
x(i,1)=(A(i,n+1)-S)/A(i,i);
end
%&&&&&&&&&&&&&&&&&&&&&&&&&&&&&&&&&&&&&&&&&&&&&&&&&&&&&
%%%%%%%%%%%===== AKHIR DARI PROSES INVERSI ==========
m=x
126
127
128
129
130
131
132
133
134
135
%-------MENGGAMBAR GRAFIK---------------------plot(t,h,’ro’);
xlabel(’Waktu (dt)’);ylabel(’Ketinggian (m)’);
hold on;
for i=1:20
hi(i)=5+m(2)*t(i)+m(3)*t(i)^2;
end
plot(t,hi);
hold off;
Bab 4
Metode LU Decomposition
✍ Objektif :
⊲ Mengenalkan teknik faktorisasi matrik.
⊲ Mengenalkan aplikasi LU Decomposition pada sistem persamaan linear.
⊲ Merumuskan algoritma LU Decomposition.
4.1
Faktorisasi matrik
Pada semua catatan yang terdahulu, telah diulas secara panjang lebar bahwa sistem persamaan
linear dapat dicari solusinya secara langsung dengan metode eliminasi gauss. Namun perlu
juga diketahui bahwa eliminasi gauss bukan satu-satunya metode dalam mencari solusi sistem
persamaan linear, misalnya ada metode matrik inversi seperti yang dijelaskan pada catatan
yang paling terakhir. Terlepas dari masalah in-efisiensi penyelesaiannya, yang jelas metode
invers matrik bisa digunakan untuk menyelesaikan sistem persamaan linear.
Nah, pada catatan kali ini, saya ingin mengetengahkan sebuah metode yang lain untuk
menyelesaikan sistem persamaan linear, yaitu metode faktorisasi matrik yang umum dikenal
sebagai LU-decomposition. Metode ini sekaligus menjadi pengantar menuju metode Singular
Value Decomposition, (SVD), suatu metode yang saat ini paling “handal” dalam menyelesaikan
sistem persamaan linear dan merupakan bagian dari metode least square.
Seperti biasa, kita berasumsi bahwa sistem persamaan linear dapat dinyatakan dalam operasi matrik
Ax = b
(4.1)
Pada metode LU-decomposition, matrik A difaktorkan menjadi matrik L dan matrik U, dimana
dimensi atau ukuran matrik L dan U harus sama dengan dimensi matrik A. Atau dengan kata
lain, hasil perkalian matrik L dan matrik U adalah matrik A,
A = LU
61
(4.2)
BAB 4. METODE LU DECOMPOSITION
62
sehingga persamaan (6.4) menjadi
LU x = b
Langkah penyelesaian sistem persamaan linear dengan metode LU-decomposition, diawali dengan menghadirkan vektor y dimana,
Ux = y
(4.3)
Langkah tersebut tidak bermaksud untuk menghitung vektor y, melainkan untuk menghitung
vektor x. Artinya, sebelum persamaan (4.3) dieksekusi, nilai-nilai yang menempati elemenelemen vektor y harus sudah diketahui. Lalu bagaimana cara memperoleh vektor y? Begini
caranya,
Ly = b
(4.4)
Kesimpulannya, metode LU-decomposition dilakukan dengan tiga langkah sebagai berikut:
• Melakukan faktorisasi matrik A menjadi matrik L dan matrik U → A = LU .
• Menghitung vektor y dengan operasi matrik Ly = b. Ini adalah proses forward-substitution
atau substitusi-maju.
• Menghitung vektor x dengan operasi matrik U x = y. Ini adalah proses backward-substitution
atau substitusi-mundur.
Metode LU-decomposition bisa dibilang merupakan modifikasi dari eliminasi gauss, karena
beberapa langkah yang mesti dibuang pada eliminasi gauss, justru harus dipakai oleh LUdecomposition. Untuk lebih jelasnya, perhatikan contoh berikut ini. Diketahui sistem persamaan
linear sebagai berikut
P1
P2
P3
P4
:
:
:
:
x1
2x1
3x1
−x1
+
+
−
+
x2
x2
x2
2x2
−
−
+
x3
x3
3x3
+
+
+
−
3x4
x4
2x4
x4
=
=
=
=
4
1
-3
4
Sistem tersebut dapat dinyatakan dalam operasi matrik Ax = y,
1
1
0
3
x1
4
1
x2 = 1
3 −1 −1
2 x3
−3
−1
2
3 −1
x4
4
2
1 −1
(4.5)
Pada metode eliminasi gauss, matrik A dikonversi menjadi matrik triangular melalui urutan
operasi-operasi berikut: (P2 − 2P1 ) → (P2 ), (P3 − 3P1 ) → (P3 ), (P4 − (−1)P1 ) → (P4 ), (P3 −
4P2 ) → (P3 ), (P4 − (−3)P2 ) → (P4 ). Disisi lain, vektor b ikut berubah nilainya menyesuaikan
4.1. FAKTORISASI MATRIK
63
proses triangularisasi,
1
1
0
3
0 −1 −1 −5
0
0
3
13
0
0
0 −13
x1
4
x2 −7
x = 13
3
−13
x4
(4.6)
Lain halnya dengan metode LU-decomposition dimana vektor b tidak mengalami perubahan.
Yang berubah hanya matrik A saja, yaitu menjadi matrik L dan matrik U, A = LU
A=
1
1
0
3
1
0 0 0
1
1
0
3
1
1 0 0
= 2
0 −1 −1 −5
3 −1 −1
2 3
4 1 0
0
3
13
0
−1
2
3 −1
−1 −3 0 1
0
0
0 −13
2
1 −1
Jadi matrik L dan U masing-masing adalah
L=
1
0 0 0
1 0 0
3
4 1 0
−1 −3 0 1
2
1
1
0
3
0 −1 −1 −5
U =
0
0
3
13
0
0
0 −13
Coba bandingkan matrik U di atas dengan matrik hasil triangularisasi dari metode eliminasi
gauss pada persamaan (4.6), sama persis bukan? Jadi, cara memperoleh matrik U adalah dengan proses triangularisasi! Lantas, bagaimana cara memperoleh matrik L? Begini caranya: (1)
elemen-elemen diagonal matrik L diberi nilai 1 (Asal tahu saja, cara ini dikenal dengan metode
Doolittle). (2) elemen-elemen matrik L yang berada di atas elemen-elemen diagonal diberi nilai 0. (3) sedangkan, elemen-elemen matrik L yang berada di bawah elemen-elemen diagonal diisi dengan faktor pengali yang digunakan pada proses triangularisasi eliminasi gauss.
Misalnya pada operasi (P2 − 2P1 ) → (P2 ), maka faktor pengalinya adalah 2; pada operasi
(P3 − 3P1 ) → (P3 ), maka faktor pengalinya adalah 3, dan seterusnya.
Inilah letak perbedaannya, seluruh faktor pengali tersebut sangat dibutuhkan pada metode
LU-decomposition untuk membentuk matrik L. Padahal dalam metode eliminasi gauss, seluruh
faktor pengali tersebut tidak dimanfaatkan alias dibuang begitu saja. Disisi lain, vektor b tidak
mengalami proses apapun sehingga nilainya tetap. Jadi, proses konversi matrik pada metode
LU-decomposition hanya melibatkan matrik A saja!
Setelah langkah faktorisasi matrik A dilalui, maka operasi matrik pada persamaan (4.5)
menjadi,
1
0 0 0
1
1
0
3
1 0 0
0 −1 −1 −5
3
4 1 0
0
3
13
0
−1 −3 0 1
0
0
0 −13
2
x1
4
x2 1
x = −3
3
x4
4
(4.7)
BAB 4. METODE LU DECOMPOSITION
64
Langkah berikutnya adalah menentukan vektor y, dimana Ly = b,
1
0 0 0
y1
4
1 0 0
y2 = 1
3
4 1 0
y3 −3
4
y4
−1 −3 0 1
2
Dengan proses substitusi-maju, elemen-elemen vektor y dapat ditentukan,
y1 = 4,
2y1 + y2 = 1,
3y1 + 4y2 + y3 = −3,
−y1 − 3y2 + y4 = 4
maka diperoleh y1 = 4, y2 = −7, y3 = 13, y4 = −13.
Langkah terakhir adalah proses substitusi-mundur untuk menghitung vektor x, dimana U x =
y,
1
1
0
3
0 −1 −1 −5
0
0
3
13
0
0
0 −13
x1
4
x2 −7
=
x 13
3
x4
−13
Melalui proses ini, yang pertama kali didapat solusinya adalah x4 , kemudian x3 , lalu diikuti
x2 , dan akhirnya x1 .
x4 = 1
1
(13 − 13x4 ) = 0
x3 =
3
x2 = −(−7 + 5x4 + x3 ) = 2
x1 = 4 − 3x4 − x2 = −1
akhirnya diperoleh solusi x1 = −1, x2 = 2, x3 = 0, dan y4 = 1. Demikianlah contoh penyelesaian sistem persamaan linear dengan metode LU-decomposition.
Sekali matrik A difaktorkan, maka vektor b bisa diganti nilainya sesuai dengan sistem persamaan linear yang lain, misalnya seluruh nilai di ruas kanan diganti menjadi
P1
P2
P3
P4
:
:
:
:
x1
2x1
3x1
−x1
+
+
−
+
x2
x2
x2
2x2
−
−
+
x3
x3
3x3
+
+
+
−
3x4
x4
2x4
x4
=
=
=
=
8
7
14
-7
4.2. ALGORITMA
65
Dalam operasi matrik menjadi
1
1
0
3
x1
8
1
x2 = 7
3 −1 −1
2
x3 14
−7
x4
−1
2
3 −1
2
1 −1
(4.8)
Perhatikan baik-baik! Matrik A sama persis dengan contoh sebelumnya. Perbedaannya hanya
pada vektor b. Selanjutnya, dengan metode LU-decomposition, persamaan (4.8) menjadi
1
0 0 0
1
1
0
3
1 0 0
0 −1 −1 −5
3
4 1 0
0
3
13
0
−1 −3 0 1
0
0
0 −13
2
x1
8
x2 7
=
x 14
3
x4
−7
(4.9)
Silakan anda lanjutkan proses perhitungannya dengan mencari vektor y sesuai contoh yang
telah diberikan sebelumnya. Pada akhirnya akan diperoleh solusi sebagai berikut: x1 = 3,
x2 = −1, x3 = 0, dan y4 = 2.
4.2
Algoritma
Sekarang saatnya saya tunjukkan algoritma metode LU decomposition. Algoritma ini dibuat
untuk menyelesaikan sistem persamaan linear, dengan cara menfaktorkan matrik A = (aij )
berukuran n x n menjadi matrik L = (lij ) dan matrik U = (uij ) dengan ukuran yang sama.
Algoritma LU-decomposition yang anda lihat sekarang merupakan modifikasi dari algoritma eliminasi gauss. Silakan anda periksa langkah-langkah mana saja yang telah mengalami
modifikasi! Tapi asal tahu saja bahwa ini bukan satu-satunya algoritma untuk mendapatkan
matrik LU. Sejauh yang saya tahu, ada algoritma lain untuk tujuan yang sama, dimana algoritma tersebut membutuhkan matrik permutasi untuk menggeser elemen pivot yang bernilai
nol agar terhindar dari singular. Nah, sedangkan algoritma yang akan anda baca saat ini, sama
sekali tidak “berurusan” dengan matrik permutasi. Algoritma ini cuma memanfaatkan “trik”
tukar posisi yang sudah pernah dibahas di awal-awal catatan khususnya ketika membahas
konsep eliminasi gauss.
Satu lagi yang harus saya sampaikan juga adalah bahwa dalam algoritma ini, elemenelemen matrik L dan matrik U digabung jadi satu dan menggantikan seluruh elemen-elemen
matrik A. Perhatian! cara ini jangan diartikan sebagai perkalian matrik L dan matrik U menjadi
matrik A kembali. Cara ini dimaksudkan untuk menghemat memori komputer. Suatu aspek
yang tidak boleh diabaikan oleh para programer. Marilah kita simak algoritmanya bersamasama!
INPUT: dimensi n; nilai elemen aij , 1 ≤ i, j ≤ n; nilai elemen bi .
OUTPUT: solusi x1 , x2 , x3 , ..., xn atau pesan kesalahan yang mengatakan bahwa faktorisasi
tidak mungkin dilakukan.
BAB 4. METODE LU DECOMPOSITION
66
• Langkah 1: Inputkan konstanta-konstanta dari sistem persamaan linear kedalam elemenelemen matrik A dan vektor b, seperti berikut ini:
a11
a12
. . . a1n
a21 a22 . . . a2n
A=
..
..
..
.
.
.
an1 an2 . . . ann
b=
b1
b2
..
.
bn
(4.10)
• Langkah 2: Untuk i = 1, ..., n − 1, lakukan Langkah 3 sampai Langkah 5.
• Langkah 3: Definisikan p sebagai integer dimana i ≤ p ≤ n. Lalu pastikan bahwa
api 6= 0. Langkah dilakukan bila ditemukan elemen diagonal yang bernilai nol (aii =
0). Ketika ada elemen diagonal yang bernilai nol, maka program harus mencari dan
memeriksa elemen-elemen yang tidak bernilai nol dalam kolom yang sama dengan
kolom tempat elemen diagonal tersebut berada. Jadi saat proses ini berlangsung,
integer i (indeks dari kolom) dibuat konstan, sementara integer p (indeks dari baris)
bergerak dari p = i sampai p = n. Bila ternyata setelah mencapai elemen paling
bawah dalam kolom tersebut, yaitu saat p = n tetap didapat nilai api = 0, maka
sebuah pesan dimunculkan: sistem persamaan linear tidak memiliki solusi yang
unik. Lalu program berakhir: STOP.
• Langkah 4: Namun jika sebelum integer p mencapai nilai p = n sudah diperoleh
elemen yang tidak sama dengan nol (api 6= 0), maka bisa dipastikan p 6= i. Jika p 6= i
maka lakukan proses pertukaran (Pp ) ↔ (Pi ).
• Langkah 5: Untuk j = i + 1, .., n, lakukan Langkah 6 dan Langkah 7.
• Langkah 6: Tentukan mji ,
mji =
aji
aii
• Langkah 7: Lakukan proses triangularisasi,
(Pj − mji Pi ) → (Pj )
• Langkah 8: Nilai mji disimpan ke aji ,
aji = mji
• Langkah 9: Nilai b1 dicopy ke y1 , lalu lakukan substitusi-maju.
y 1 = b1
Untuk i = 2, ..., n tentukan xi ,
y i = bi −
i−1
X
j=1
aij yj
4.2. ALGORITMA
67
• Langkah 10: Lakukan proses substitusi-mundur, dimulai dengan menentukan xn ,
xn =
an,n+1
ann
Untuk i = n − 1, ..., 1 tentukan xi ,
xi =
ai,n+1 −
Pn
j=i+1 aij xj
aii
• Langkah 11: Diperoleh solusi yaitu x1 , x2 , ..., xn . Algoritma telah dijalankan dengan sukses. STOP.
Algoritma di atas telah diimplementasi kedalam program yang ditulis dengan bahasa Fortran. Program tersebut sudah berhasil dikompilasi dengan visual fortran (windows) dan g77
(debian-linux). Inilah programnya:
1
2
3
4
5
6
C
7
8
9
10
11
12
13
14
15
60
16
17
18
19
50
20
21
C
22
23
24
25
110
26
27
C
28
29
30
C
31
32
100
33
34
35
36
37
38
200
C
DIMENSION A(10,11), B(10), Y(10), X(10)
REAL MJI
WRITE(*,*)
WRITE(*,*) ’==> FAKTORISASI MATRIK: LU DECOMPOSITION <==’
WRITE (*,*)
LANGKAH 1: MEMASUKAN NILAI ELEMEN-ELEMEN MATRIK A DAN VEKTOR B
WRITE (*,’(1X,A)’) ’JUMLAH PERSAMAAN ? ’
READ (*,*) N
WRITE (*,*)
WRITE (*,*) ’MASUKAN ELEMEN-ELEMEN MATRIK A’
DO 50 I = 1,N
DO 60 J = 1,N
WRITE (*,’(1X,A,I2,A,I2,A)’) ’A(’,I,’,’,J,’) = ’
READ (*,*) A(I,J)
CONTINUE
WRITE (*,’(1X,A,I2,A)’) ’B(’,I,’) ? ’
READ (*,*) B(I)
WRITE (*,*)
CONTINUE
WRITE (*,*)
MENAMPILKAN MATRIK A
WRITE (*,’(1X,A)’) ’MATRIK A:’
DO 110 I = 1,N
WRITE (*,6) (A(I,J),J=1,N)
CONTINUE
WRITE (*,*)
LANGKAH 2: MEMERIKSA ELEMEN-ELEMEN PIVOT
NN = N-1
DO 10 I=1,NN
LANGKAH 3: MENDEFINISIKAN P
P = I
IF (ABS(A(P,I)).GE.1.0E-20 .OR. P.GT.N) GOTO 200
P = P+1
GOTO 100
IF(P.EQ.N+1)THEN
MENAMPILKAN PESAN TIDAK DAPAT DIFAKTORKAN
WRITE(*,8)
GOTO 400
68
39
40
C
41
42
43
44
45
46
20
47
48
C
49
50
51
C
52
53
C
54
55
56
57
40
C
58
59
60
61
30
10
C
62
63
64
65
120
66
67
C
68
69
70
71
72
73
16
74
75
76
15
C
77
78
79
80
138
81
82
C
83
84
85
86
87
88
89
90
26
91
92
93
24
C
94
95
96
97
18
BAB 4. METODE LU DECOMPOSITION
END IF
LANGKAH 4: PROSES TUKAR POSISI
IF(P.NE.I) THEN
DO 20 JJ=1,N
C = A(I,JJ)
A(I,JJ) = A(P,JJ)
A(P,JJ) = C
CONTINUE
END IF
LANGKAH 5: PERSIAPAN PROSES TRIANGULARISASI
JJ = I+1
DO 30 J=JJ,N
LANGKAH 6: TENTUKAN MJI
MJI = A(J,I)/A(I,I)
LANGKAH 7: PROSES TRIANGULARISASI
DO 40 K=JJ,N
A(J,K) = A(J,K)-MJI*A(I,K)
CONTINUE
LANGKAH 8: MENYIMPAN MJI KE A(J,I)
A(J,I) = MJI
CONTINUE
CONTINUE
MENAMPILKAN MATRIK LU
WRITE (*,’(1X,A)’) ’MATRIK LU:’
DO 120 I = 1,N
WRITE (*,6) (A(I,J),J=1,N)
CONTINUE
WRITE (*,*)
LANGKAH 9: SUBSTITUSI-MAJU
Y(1) = B(1)
DO 15 I=2,N
SUM = 0.0
DO 16 J=1,I-1
SUM = SUM+A(I,J)*Y(J)
CONTINUE
Y(I) = B(I)-SUM
CONTINUE
MENAMPILKAN VEKTOR Y
WRITE (*,’(1X,A)’) ’VEKTOR Y:’
DO 138 I = 1,N
WRITE (*,6) Y(I)
CONTINUE
WRITE (*,*)
LANGKAH 10: SUBSTITUSI-MUNDUR
X(N) = Y(N)/A(N,N)
DO 24 K=1,N-1
I = N-K
JJ = I+1
SUM = 0.0
DO 26 KK=JJ,N
SUM = SUM+A(I,KK)*X(KK)
CONTINUE
X(I) = (Y(I)-SUM)/A(I,I)
CONTINUE
LANGKAH 11: MENAMPILKAN SOLUSI DAN SELESAI
WRITE (*,’(1X,A)’) ’SOLUSI:’
DO 18 I = 1,N
WRITE (*,’(1X,A,I2,A,F14.8)’) ’X(’,I,’) = ’,X(I)
CONTINUE
4.2. ALGORITMA
98
99
100
101
102
103
104
400
6
8
69
WRITE(*,*)
WRITE(*,*) ’SELESAI --> SUKSES’
WRITE(*,*)
CONTINUE
FORMAT(1X,5(F14.8))
FORMAT(1X,’TIDAK DAPAT DIFAKTORKAN’)
END
Demikianlah, sekarang kita punya tiga buah algoritma untuk memecahkan problem sistem
persamaan linear, yaitu eliminasi gauss, invers matrik, dan lu-decomposition. Diantara ketiganya, eliminasi gauss adalah algoritma yang paling simpel dan efisien. Dia hanya butuh proses
triangularisasi dan substitusi-mundur untuk mendapatkan solusi. Sedangkan dua algoritma
yang lainnya membutuhkan proses-proses tambahan untuk mendapatkan solusi yang sama.
Saya cukupkan sementara sampai disini. Insya Allah akan saya sambung lagi dilain waktu.
Kalau ada yang mau didiskusikan, silakan hubungi saya melalui email.
Bab 5
Metode Iterasi
✍ Objektif :
⊲ Mengenalkan konsep Norm.
⊲ Mengenalkan iterasi Jacobi.
⊲ Mengenalkan iterasi Gauss-Seidel.
⊲ Mengenalkan iterasi Succesive-Over-Relaxation (SOR).
5.1
Kelebihan Vektor-kolom
Sebelum kita membahas metode iterasi untuk menyelesaikan problem sistem persamaan linear, saya ingin menyampaikan satu hal yang sangat sederhana, yaitu tentang cara merepresentasikan elemen-elemen suatu vektor-kolom. Sebagaimana tertulis pada bab-bab sebelumnya,
biasanya suatu vektor-kolom ditulis sebagai
x1
x2
x=
..
.
xn
(5.1)
Dengan operasi transpose, vektor-kolom tersebut dapat dinyatakan sebagai
h
it
x = x1 ; x2 ; . . . xn
Contoh:
3
h
it
−2
= 3; −2; 8; 5
x=
8
5
71
(5.2)
BAB 5. METODE ITERASI
72
Cara penulisan seperti ini digunakan untuk menyatakan vektor-kolom pada suatu kalimat di
dalam paragraf. Alasannya supaya tidak terlalu menyita banyak ruang penulisan. Sementara,
persamaan (5.1), lebih sering digunakan pada penulisan operasi matrik. Satu hal lagi, pada
paragraf-paragraf berikutnya, saya persingkat penulisan istilah vektor-kolom menjadi vektor
saja.
5.2
Pengertian Norm
Vektor x=(x1 ; x2 ; ...; xn )t memiliki norm ℓ2 dan ℓ∞ yang didefinisikan sebagai
n
X
x2i }1/2
ℓ2 = kxk2 = {
(5.3)
ℓ∞ = kxk∞ = max |xi |
(5.4)
i=1
dan
1≤i≤n
Contoh: x=(3; −2; 8; 5)t memiliki norm ℓ2 yaitu
ℓ2 = kxk2 =
dan norm ℓ∞ yaitu
p
(3)2 + (−2)2 + (8)2 + (5)2 = 10, 0995
ℓ∞ = kxk∞ = max{(3), (−2), (8), (5)} = 8
Saya menyarankan agar kedua norm ini diingat-ingat dengan baik, karena akan banyak disinggung pada catatan-catatan berikutnya.
5.2.1 Script perhitungan norm dalam Matlab
Script berikut ini merujuk pada contoh di atas, dimana vektor x hanya terdiri dari 4 elemen,
yaitu x(1, 1),x(2, 1),x(3, 1) dan x(4, 1)
1
2
3
4
5
6
7
8
9
10
11
12
13
14
clear all
clc
x(1,1)=3;
x(2,1)=-2;
x(3,1)=8;
x(4,1)=5;
x
%menampilkan vektor x
%=========menghitung norm2=============
s=0;
for i=1:4
s=s+x(i,1)^2;
end
norm2=sqrt(s) %menampilkan hasil norm2
%======================================
Mohon diperhatikan untuk mengganti angka 4 pada statemen for i=1:4 dengan angka yang
lain disesuaikan dengan jumlah elemen vektor yang mau dihitung norm2-nya.
5.3. ITERASI JACOBI
73
5.2.2 Perhitungan norm-selisih
Misalnya kita punya vektor bernama xlama. Lalu ada vektor lainnya bernama xbaru. Norm
selisih dari xlama dan xbaru dapat dihitung dengan bantuan script berikut ini
1
2
3
4
5
6
7
clear all
clc
xlama(1,1)=3;
xlama(2,1)=-2;
xlama(3,1)=8;
xlama(4,1)=5;
xlama
%menampilkan elemen vektor xlama
8
9
10
11
12
13
xbaru(1,1)=9;
xbaru(2,1)=4;
xbaru(3,1)=6;
xbaru(4,1)=1;
xbaru
%menampilkan elemen vektor xbaru
14
15
n=4;
%jumlah elemen vektor
16
17
18
19
20
21
22
23
%--------menghitung norm2 selisih ------------s=0;
for i=1:n
s=s+(xbaru(i,1)-xlama(i,1))^2;
end
norm2=sqrt(s)
%----------------------------------------------
Cara perhitungan norm-selisih seperti ini akan diterapkan pada kebanyakan metode iterasi.
Jadi tolong diingat baik-baik!!
5.3
Iterasi Jacobi
Sekarang kita akan mulai membahas metode iterasi sekaligus penerapannya untuk menyelesaikan sistem persamaan linear. Perbedaan metode iterasi dengan metode-metode yang telah
dijelaskan sebelumnya, adalah ia dimulai dari penentuan nilai awal (initial value) untuk setiap
elemen vektor x. Kemudian berdasarkan nilai awal tersebut, dilakukan langkah perhitungan
untuk mendapatkan elemen-elemen vektor x yang baru.
x(baru) = T x(lama) + c
(5.5)
xk = T xk−1 + c
(5.6)
atau
dimana k = 1, 2, 3, ..., n.
untuk lebih jelasnya, silakan perhatikan baik-baik contoh berikut ini. Diketahui sistem per-
BAB 5. METODE ITERASI
74
samaan linear berikut ini
10x1 − x2 + 2x3 = 6
−x1 + 11x2 − x3 + 3x4 = 25
2x1 − x2 + 10x3 − x4 = −11
3x2 − x3 + 8x4 = 15
yang mana solusinya adalah x=(1; 2; −1; 1)t . Silakan simpan dulu solusi ini, anggap saja kita
belum tahu. Lalu perhatikan baik-baik bagaimana metode iterasi Jacobi bisa menemukan solusi tersebut dengan caranya yang khas.
Langkah pertama dan merupakan langkah terpenting dari metode iterasi Jacobi adalah dengan
mengubah cara penulisan sistem persamaan linear di atas menjadi seperti ini
2
6
1
x2 − x3 +
10
10
10
1
3
25
1
x1 + x3 − x4 +
=
11
11
11
11
2
1
1
11
= − x1 + x2 + x4 −
10
10
10
10
1
15
3
= − x2 + x3 +
8
8
8
x1 =
x2
x3
x4
Kita bisa menyatakan bahwa nilai x1 , x2 , x3 dan x4 yang berada di ruas kiri tanda = (baca: sama
dengan) sebagai x(baru) . Sementara nilai x1 , x2 , x3 dan x4 yang berada di ruas kanan tanda =
(baca: sama dengan) sebagai x(lama) . Sehingga sistem persamaan tersebut ditulis seperti ini
(baru)
x1
(baru)
x2
(baru)
x3
(baru)
x4
2 (lama)
6
1 (lama)
x
− x3
+
10 2
10
10
1 (lama)
1 (lama)
3 (lama) 25
=
x1
+ x3
− x4
+
11
11
11
11
1
1 (lama) 11
2 (lama)
+ x2 + x4
−
= − x1
10
10
10
10
3 (lama) 1 (lama) 15
+ x3
+
= − x2
8
8
8
=
yang secara umum dapat diformulasikan sebagaimana persamaan (5.5)
(baru)
x1
(baru)
x2
x(baru)
3
(baru)
x4
0
1
10
1
11
0
=
−2
1
10
10
0 − 38
2
− 10
0
(lama)
x1
3
x2(lama)
− 11
1 (lama)
0
10 x3
(lama)
1
0
x4
8
1
11
+
6
10
25
11
11
− 10
15
8
(5.7)
5.3. ITERASI JACOBI
75
Atau dapat pula ditulis seperti ini
2 (k−1)
6
1 (k−1)
x
− x3
+
10 2
10
10
1 (k−1)
1 (k−1)
3 (k−1) 25
=
x1
+ x3
− x4
+
11
11
11
11
1 (k−1)
1 (k−1) 11
2 (k−1)
+ x2
+ x4
−
= − x1
10
10
10
10
3 (k−1) 1 (k−1) 15
= − x2
+ x3
+
8
8
8
(k)
x1
=
(k)
x2
(k)
x3
(k)
x4
yang secara umum dapat diformulasikan sebagaimana persamaan (5.6)
(k)
x1
(k)
x2
x(k)
3
(k)
x4
0
1
10
1
11
0
=
−2
1
10
10
0 − 38
2
− 10
0
(k−1)
x1
3
x(k−1)
− 11
2
1 (k−1)
0
10 x3
(k−1)
1
0
x4
8
1
11
+
6
10
25
11
11
− 10
15
8
(5.8)
Pada persamaan di atas, indeks k menunjukan jumlah berapa kali perhitungan iterasi telah
dilakukan. Mari kita fokuskan sejenak pada indeks k ini; Pada k = 1, maka penulisan sistem
persamaan linear menjadi seperti ini
(1)
x1
(1)
x2
(1)
x3
(1)
x4
1 (0)
2 (0)
6
x2 − x3 +
10
10
10
1 (0)
3 (0) 25
1 (0)
x + x3 − x4 +
=
11 1
11
11
11
1 (0)
1 (0) 11
2 (0)
= − x1 + x2 + x4 −
10
10
10
10
3 (0) 1 (0) 15
= − x2 + x3 +
8
8
8
=
(0)
(0)
(0)
(0)
Jika kita tentukan nilai-nilai awal x(0) sebagai berikut x1 = 0, x2 = 0, x3 = 0 dan x4 = 0.
Atau dinyatakan seperti ini x(0) = (0; 0; 0; 0)t . Maka kita akan memperoleh nilai-nilai x(1) , yaitu
hasil iterasi pertama, sebagai berikut
(1)
x1
(1)
x2
(1)
x3
(1)
x4
6
10
25
=
11
11
= −
10
15
=
8
=
atau x(1) = (0, 6000; 2, 2727; −1, 1000; 1, 8750)t . Setelah memperoleh nilai-nilai x(1) , perhitun-
gan tersebut diulang kembali guna mendapatkan hasil iterasi kedua, dimana nilai k = 2.
Caranya adalah dengan memasukan nilai-nilai x(1) = (0, 6000; 2, 2727; −1, 1000; 1, 8750)t ke
BAB 5. METODE ITERASI
76
ruas kanan tanda sama-dengan,
(2)
x1
(2)
x2
(2)
x3
(2)
x4
2 (1)
6
1 (1)
x − x3 +
10 2
10
10
1 (1)
1 (1)
3 (1) 25
=
x1 + x3 − x4 +
11
11
11
11
1 (1)
1 (1) 11
2 (1)
= − x1 + x2 + x4 −
10
10
10
10
3 (1) 1 (1) 15
= − x2 + x3 +
8
8
8
=
maka nilai-nilai x(2) yang kita dapat adalah x(2) = (1, 0473; 1, 7159; −0, 8052; 0, 8852)t . Sete-
lah diperoleh nilai-nilai x(2) , perhitungan tersebut diulangi kembali guna mendapatkan hasil
iterasi ketiga, dimana nilai k = 3. Caranya adalah dengan memasukan nilai-nilai x(2) =
(1, 0473; 1, 7159; −0, 8052; 0, 8852)t ke ruas kanan kembali,
(3)
x1
(3)
x2
(3)
x3
(3)
x4
2 (2)
6
1 (2)
x2 − x3 +
10
10
10
1 (2)
1 (2)
3 (2) 25
=
x + x3 − x4 +
11 1
11
11
11
1 (2)
1 (2) 11
2 (2)
= − x1 + x2 + x4 −
10
10
10
10
3 (2) 1 (2) 15
= − x2 + x3 +
8
8
8
=
maka kita akan memperoleh nilai-nilai x(3) = (0, 9326; 2, 0530; −1, 0493; 1, 1309)t . Lalu proses
perhitungan diulangi lagi dengan k = 4. Begitulah seterusnya. Proses ini diulangi lagi berkalikali untuk nilai-nilai k berikutnya. Proses yang berulang ini disebut proses iterasi. Sampai
dengan x(3) di atas, kita sudah melakukan tiga kali proses iterasi. Lantas sampai kapan proses
iterasi ini terus berlanjut? Jawabnya adalah sampai x(baru) mendekati solusi yang sesungguhnya, yaitu
x = (1; 2; −1; 1)t
Dengan kata lain, proses iterasi harus dihentikan bila x(baru) sudah mendekati solusi. Lalu
kriteria apa yang digunakan sehingga suatu hasil iterasi bisa dikatakan paling dekat dengan
solusi yang sebenarnya? OK, simpan dulu pertanyaan ini, sebagai gantinya marilah kita pelajari script Matlab untuk metode iterasi Jacobi.
5.3.1 Script Matlab metode iterasi Jacobi
Sebagai upaya pembelajaran, sengaja saya mulai dengan menampilkan script yang paling kasar
terlebih dahulu, lalu selangkah demi selangkah dimodifikasi hingga menjadi script efektif.
Pertama-tama kita buat script seperti ini
1
2
3
4
5
clear all
clc
%----nilai awal----------xlama(1,1)=0;
xlama(2,1)=0;
5.3. ITERASI JACOBI
6
7
8
77
xlama(3,1)=0;
xlama(4,1)=0;
xlama
9
10
11
12
13
14
15
%------nilai baru------------xbaru(1,1)=(1/10)*xlama(2,1)-(2/10)*xlama(3,1)+(6/10);
xbaru(2,1)=(1/11)*xlama(1,1)+(1/11)*xlama(3,1)-(3/11)*xlama(4,1)+(25/11);
xbaru(3,1)=-(2/10)*xlama(1,1)+(1/10)*xlama(2,1)+(1/10)*xlama(4,1)-(11/10);
xbaru(4,1)=-(3/8)*xlama(2,1)+(1/8)*xlama(3,1)+(15/8);
xbaru
xbaru yang didapat tak lain adalah hasil iterasi pertama, yaitu x(1) = (0, 6000; 2, 2727; −1, 1000;
1, 8750)t . Kemudian, untuk iterasi ke-2, script di atas dimodifikasi menjadi seperti ini
1
2
clear all
clc
3
4
5
6
7
8
9
10
11
12
13
14
15
%----nilai awal----------xlama(1,1)=0;
xlama(2,1)=0;
xlama(3,1)=0;
xlama(4,1)=0;
xlama
%------nilai baru------------xbaru(1,1)=(1/10)*xlama(2,1)-(2/10)*xlama(3,1)+(6/10);
xbaru(2,1)=(1/11)*xlama(1,1)+(1/11)*xlama(3,1)-(3/11)*xlama(4,1)+(25/11);
xbaru(3,1)=-(2/10)*xlama(1,1)+(1/10)*xlama(2,1)+(1/10)*xlama(4,1)-(11/10);
xbaru(4,1)=-(3/8)*xlama(2,1)+(1/8)*xlama(3,1)+(15/8);
xbaru
16
17
xlama=xbaru; %xbaru dijadikan xlama untuk iterasi berikutnya
18
19
20
21
22
23
xbaru(1,1)=(1/10)*xlama(2,1)-(2/10)*xlama(3,1)+(6/10);
xbaru(2,1)=(1/11)*xlama(1,1)+(1/11)*xlama(3,1)-(3/11)*xlama(4,1)+(25/11);
xbaru(3,1)=-(2/10)*xlama(1,1)+(1/10)*xlama(2,1)+(1/10)*xlama(4,1)-(11/10);
xbaru(4,1)=-(3/8)*xlama(2,1)+(1/8)*xlama(3,1)+(15/8);
xbaru
Sampai disini, xbaru yang didapat adalah hasil iterasi ke-2, yaitu x(2) = (1, 0473; 1, 7159;
− 0, 8052; 0, 8852)t . Kemudian, untuk iterasi ke-3, script di atas dimodifikasi menjadi seperti ini
1
2
clear all
clc
3
4
5
6
7
8
9
10
11
12
13
14
15
%----nilai awal----------xlama(1,1)=0;
xlama(2,1)=0;
xlama(3,1)=0;
xlama(4,1)=0;
xlama
%------nilai baru------------xbaru(1,1)=(1/10)*xlama(2,1)-(2/10)*xlama(3,1)+(6/10);
xbaru(2,1)=(1/11)*xlama(1,1)+(1/11)*xlama(3,1)-(3/11)*xlama(4,1)+(25/11);
xbaru(3,1)=-(2/10)*xlama(1,1)+(1/10)*xlama(2,1)+(1/10)*xlama(4,1)-(11/10);
xbaru(4,1)=-(3/8)*xlama(2,1)+(1/8)*xlama(3,1)+(15/8);
xbaru
78
BAB 5. METODE ITERASI
16
17
xlama=xbaru; %xbaru dijadikan xlama untuk iterasi berikutnya
18
19
20
21
22
23
xbaru(1,1)=(1/10)*xlama(2,1)-(2/10)*xlama(3,1)+(6/10);
xbaru(2,1)=(1/11)*xlama(1,1)+(1/11)*xlama(3,1)-(3/11)*xlama(4,1)+(25/11);
xbaru(3,1)=-(2/10)*xlama(1,1)+(1/10)*xlama(2,1)+(1/10)*xlama(4,1)-(11/10);
xbaru(4,1)=-(3/8)*xlama(2,1)+(1/8)*xlama(3,1)+(15/8);
xbaru
24
25
xlama=xbaru; %xbaru dijadikan xlama untuk iterasi berikutnya
26
27
28
29
30
31
xbaru(1,1)=(1/10)*xlama(2,1)-(2/10)*xlama(3,1)+(6/10);
xbaru(2,1)=(1/11)*xlama(1,1)+(1/11)*xlama(3,1)-(3/11)*xlama(4,1)+(25/11);
xbaru(3,1)=-(2/10)*xlama(1,1)+(1/10)*xlama(2,1)+(1/10)*xlama(4,1)-(11/10);
xbaru(4,1)=-(3/8)*xlama(2,1)+(1/8)*xlama(3,1)+(15/8);
xbaru
Sampai disini, xbaru yang didapat adalah hasil iterasi ke-3, yaitu x(3) = (0, 9326; 2, 0530;
− 1, 0493; 1, 1309)t . Kemudian, untuk iterasi ke-4, script di atas dimodifikasi dengan cara yang
sama. Tapi konsekuensinya script tersebut akan tidak efektif karena akan bertambah panjang.
Guna menghindari hal itu, script di atas perlu dioptimasi dengan pasangan for-end sebagai
berikut
1
2
clear all
clc
3
4
5
6
7
8
9
%----nilai awal----------xlama(1,1)=0;
xlama(2,1)=0;
xlama(3,1)=0;
xlama(4,1)=0;
xlama
10
11
12
13
14
15
16
17
for i=1:4
%------nilai update------------xbaru(1,1)=(1/10)*xlama(2,1)-(2/10)*xlama(3,1)+(6/10);
xbaru(2,1)=(1/11)*xlama(1,1)+(1/11)*xlama(3,1)-(3/11)*xlama(4,1)+(25/11);
xbaru(3,1)=-(2/10)*xlama(1,1)+(1/10)*xlama(2,1)+(1/10)*xlama(4,1)-(11/10);
xbaru(4,1)=-(3/8)*xlama(2,1)+(1/8)*xlama(3,1)+(15/8);
xbaru
18
19
20
xlama=xbaru; %xbaru dijadikan xlama untuk iterasi berikutnya
end
Angka 4 pada statemen for i=1:4 dapat diganti sesuai dengan jumlah iterasi maksimal yang
kita kehendaki. Karena itu, perlu disisipkan variabel baru yang saya kasih nama itermaks,
singkatan dari iterasi maksimum. Lalu statemen for i=1:4 saya ganti menjadi for i=1:itermaks
1
2
clear all
clc
3
4
5
6
%----nilai awal----------xlama(1,1)=0;
xlama(2,1)=0;
5.3. ITERASI JACOBI
7
8
9
79
xlama(3,1)=0;
xlama(4,1)=0;
xlama
10
11
itermaks=4
%jumlah iterasi maksimum
12
13
14
15
16
17
18
19
for i=1:itermaks
%------nilai update------------xbaru(1,1)=(1/10)*xlama(2,1)-(2/10)*xlama(3,1)+(6/10);
xbaru(2,1)=(1/11)*xlama(1,1)+(1/11)*xlama(3,1)-(3/11)*xlama(4,1)+(25/11);
xbaru(3,1)=-(2/10)*xlama(1,1)+(1/10)*xlama(2,1)+(1/10)*xlama(4,1)-(11/10);
xbaru(4,1)=-(3/8)*xlama(2,1)+(1/8)*xlama(3,1)+(15/8);
xbaru
20
21
22
xlama=xbaru; %xbaru dijadikan xlama untuk iterasi berikutnya
end
Untuk mendapatkan hasil iterasi yang ke-10, silakan nyatakan itermaks=10 pada script di atas.
Hasil dari keseluruhan iterasi dari iterasi ke-1 hingga iterasi ke-10 disajikan pada tabel berikut
k
(k)
x1
(k)
x2
(k)
x3
(k)
x4
Tabel 5.1: Hasil akhir elemen-elemen vektor x hingga iterasi ke-10
0
1
2
3
4
...
9
10
0,0000
0,0000
0,0000
0,0000
0,6000
2,2727
-1,1000
1,8852
1,0473
1,7159
-0,8052
0,8852
0,9326
2,0530
-1,0493
1,1309
1,0152
1,9537
-0,9681
0,9739
...
...
...
...
0,9997
2,0004
-1,0004
1,0006
1,0001
1,9998
-0,9998
0,9998
Kita bisa saksikan bahwa hasil iterasi ke-1, x(1) = (0, 6000; 2, 2727; −1, 1000; 1, 8852) adalah
hasil yang paling tidak mendekati solusi, x = (1; 2; −1; 1)t . Coba bandingkan dengan hasil it-
erasi ke-2! Jelas terlihat bahwa hasil iterasi ke-2 lebih mendekati solusi. Kalau terus diurutkan,
maka hasil iterasi ke-10 merupakan hasil yang paling dekat dengan solusi.
5.3.2 Optimasi script Matlab untuk menghitung iterasi
Sekarang mari kita hitung norm-selisih dari masing-masing hasil iterasi secara berurutan. Dimulai dari mencari norm-selisih antara hasil iterasi ke-1 dan ke-2. Lalu dilanjutkan dengan hasil
iterasi ke-2 dan ke-3, begitu seterusnya hingga antara hasil iterasi yang ke-9 dan ke-10. Dalam
prakteknya, kita cukup menambahkan script norm-selisih pada script yang tadi
1
2
clear all
clc
3
4
5
6
7
8
9
10
%----nilai awal----------xlama(1,1)=0;
xlama(2,1)=0;
xlama(3,1)=0;
xlama(4,1)=0;
xlama
n=4
%jumlah elemen vektor
BAB 5. METODE ITERASI
80
11
itermaks=10
%jumlah iterasi maksimal
12
13
14
15
16
17
18
19
for i=1:itermaks
%------nilai update------------xbaru(1,1)=(1/10)*xlama(2,1)-(2/10)*xlama(3,1)+(6/10);
xbaru(2,1)=(1/11)*xlama(1,1)+(1/11)*xlama(3,1)-(3/11)*xlama(4,1)+(25/11);
xbaru(3,1)=-(2/10)*xlama(1,1)+(1/10)*xlama(2,1)+(1/10)*xlama(4,1)-(11/10);
xbaru(4,1)=-(3/8)*xlama(2,1)+(1/8)*xlama(3,1)+(15/8);
xbaru
20
21
22
23
24
25
26
27
%------norm selisih------------s=0;
for i=1:n
s=s+(xbaru(i,1)-xlama(i,1))^2;
end
epsilon=sqrt(s)
%-------------------------------
28
29
30
xlama=xbaru; %xbaru dijadikan xlama untuk iterasi berikutnya
end
Tabel dibawah ini memperlihatkan hasil norm-selisih hingga iterasi ke-10. Hasil perhitungan
norm-selisih tersebut, saya beri nama epsilon, ǫ, dimana semakin kecil nilai epsilon, ǫ, menandakan hasil iterasinya semakin dekat dengan solusi. Hasil norm-selisih yang semakin kecil
pada iterasi ke-10 menunjukan bahwa hasil iterasi ke-10 adalah hasil yang paling dekat dengan solusi yang sebenarnya.
Tabel 5.2: Hasil perhitungan norm-selisih (dengan ℓ2 ) hingga iterasi ke-10
x(2) − x(1) 2
x(3) − x(2) 2
x(4) − x(3) 2 ...
x(10) − x(9) 2
norm ℓ2
ǫ
1,2557
0,4967
0,2189
...
0,0012
Kembali ke pertanyaan penting yang tadi yaitu kriteria apa yang digunakan sehingga suatu hasil iterasi bisa dikatakan paling dekat dengan solusi yang sebenarnya? Jawabnya: tergantung besar kecilnya nilai ǫ. Artinya kalau nilai ǫ ditentukan sebesar 0,2 , maka iterasi akan
berhenti pada iterasi ke-4. Atau kalau nilai ǫ ditentukan sebesar 0,001 , maka proses iterasi akan
berhenti pada iterasi ke-10. Kesimpulannya, semakin kecil nilai ǫ, semakin panjang proses iterasinya, namun hasil akhirnya semakin akurat. Jadi nilai ǫ berperan penting untuk menghentikan proses iterasi. Dalam hal ini, ǫ lebih umum dikenal dengan istilah stopping-criteria.
Di bawah ini adalah script iterasi Jacobi setelah mengalami optimasi beberapa kali,
1
2
clear all
clc
3
4
5
6
7
8
9
%----nilai awal----------xlama(1,1)=0;
xlama(2,1)=0;
xlama(3,1)=0;
xlama(4,1)=0;
xlama
10
11
n=4
%jumlah elemen vektor
5.3. ITERASI JACOBI
12
13
itermaks=10
sc=0.001
81
%jumlah iterasi maksimal
%stopping-criteria
14
15
16
17
18
19
20
21
for i=1:itermaks
%------nilai update------------xbaru(1,1)=(1/10)*xlama(2,1)-(2/10)*xlama(3,1)+(6/10);
xbaru(2,1)=(1/11)*xlama(1,1)+(1/11)*xlama(3,1)-(3/11)*xlama(4,1)+(25/11);
xbaru(3,1)=-(2/10)*xlama(1,1)+(1/10)*xlama(2,1)+(1/10)*xlama(4,1)-(11/10);
xbaru(4,1)=-(3/8)*xlama(2,1)+(1/8)*xlama(3,1)+(15/8);
xbaru
22
23
24
25
26
27
28
%------norm selisih------------s=0;
for i=1:n
s=s+(xbaru(i,1)-xlama(i,1))^2;
end
epsilon=sqrt(s)
29
30
31
32
33
%------memeriksa stopping criteria, sc-------if epsilon<sc
break
end
34
35
36
xlama=xbaru; %xbaru dijadikan xlama untuk iterasi berikutnya
end
Metode yang baru saja kita bahas ini disebut metode Iterasi Jacobi. Metode ini bertujuan
mencari nilai-nilai pengganti variabel-variabel x dengan perumusan
(k)
xi
=
Pn
j=1
(k−1)
−aij xj
aii
+ bi
dimana i=1,2,3,...,n.
5.3.3 Algoritma
• Langkah 1: Tentukan k=1
• Langkah 2: Ketika (k ≤ N ) lakukan Langkah 3-6
– Langkah 3: Untuk i=1,...,n, hitunglah
xi =
−
Pn
j=1 (aij XOj )
+ bi
aii
– Langkah 4: Jika kx − XOk < ǫ, maka keluarkan OUTPUT (x1 , ..., xn ) lalu STOP
– Langkah 5: Tentukan k=k+1
– Langkah 6: Untuk i=1,...n, tentukan XOi = xi
• Langkah 7: OUTPUT (’Iterasi maksimum telah terlampaui’) lalu STOP
(5.9)
BAB 5. METODE ITERASI
82
5.3.4 Program dalam Fortran
1
2
3
4
5
6
7
8
9
10
11
12
13
14
62
15
16
17
18
52
19
20
21
22
23
24
25
26
27
72
28
29
C
30
31
32
33
110
34
35
C
36
37
38
39
111
40
41
C
42
43
44
45
C
100
C
46
47
48
49
50
51
20
52
53
54
55
56
10
IMPLICIT NONE
DIMENSION A(10,10),B(10),X(10),XO(10)
REAL A,B,X,XO,EPS,NORM,S
INTEGER N,I,J,K,ITMAX
WRITE(*,*) ’==> ITERASI JACOBI UNTUK SISTEM LINEAR <==’
WRITE(*,*)
WRITE (*,’(1X,A)’) ’JUMLAH PERSAMAAN ? ’
READ (*,*) N
WRITE (*,*) ’MASUKAN ELEMEN-ELEMEN MATRIK A DAN VEKTOR B’
DO 52 I = 1,N
DO 62 J = 1,N
WRITE (*,’(1X,A,I2,A,I2,A)’) ’A(’,I,’,’,J,’) = ’
READ (*,*) A(I,J)
CONTINUE
WRITE (*,’(1X,A,I2,A)’) ’B(’,I,’) ? ’
READ (*,*) B(I)
WRITE (*,*)
CONTINUE
WRITE (*,’(1X,A)’) ’JUMLAH ITERASI MAKSIMUM ? ’
READ (*,*) ITMAX
WRITE (*,’(1X,A)’) ’NILAI EPSILON ATAU TOLERANSI ? ’
READ (*,*) EPS
WRITE (*,*) ’MASUKAN NILAI AWAL UNTUK XO’
DO 72 I = 1,N
WRITE (*,’(1X,A,I2,A)’) ’XO(’,I,’) ? ’
READ (*,*) XO(I)
CONTINUE
WRITE (*,*)
MENAMPILKAN MATRIK A
WRITE (*,’(1X,A)’) ’MATRIK A:’
DO 110 I = 1,N
WRITE (*,6) (A(I,J),J=1,N)
CONTINUE
WRITE (*,*)
MENAMPILKAN VEKTOR B
WRITE (*,’(1X,A)’) ’VEKTOR B:’
DO 111 I = 1,N
WRITE (*,6) B(I)
CONTINUE
WRITE (*,*)
LANGKAH 1
K = 1
LANGKAH 2
IF(K.GT.ITMAX) GOTO 200
LANGKAH 3
NORM = 0.0
DO 10 I = 1,N
S = 0.0
DO 20 J=1,N
S = S-A(I,J)*XO(J)
CONTINUE
S = (S+B(I))/A(I,I)
IF (ABS(S).GT.NORM) NORM=ABS(S)
X(I) = XO(I)+S
CONTINUE
WRITE(*,’(1X,A,I3)’) ’ITERASI KE-’, K
5.4. ITERASI GAUSS-SEIDEL
57
58
59
60
C
61
62
63
64
65
C
66
67
C
68
69
70
30
71
72
73
C
200
74
75
400
83
WRITE(*,’(1X,A,F14.8)’) ’NORM = ’, NORM
WRITE(*,’(1X,A,I3,A,F14.8)’) (’X(’,I,’) = ’, X(I),I=1,N)
WRITE(*,*)
LANGKAH 4
IF(NORM.LE.EPS) THEN
WRITE(*,7) K,NORM
GOTO 400
END IF
LANGKAH 5
K = K+1
LANGKAH 6
DO 30 I=1,N
XO(I) = X(I)
CONTINUE
GOTO 100
LANGKAH 7
CONTINUE
WRITE(*,9)
STOP
76
77
78
79
5
6
7
80
81
9
82
5.4
FORMAT(1X,I3)
FORMAT(1X,(6(1X,F14.8)))
FORMAT(1X,’KONVERGEN PADA ITERASI YANG KE- ’,I3,
*’ , NORM= ’,F14.8)
FORMAT(1X,’MELEBIHI BATAS MAKSIMUM ITERASI’)
END
Iterasi Gauss-Seidel
Metode Iterasi Gauss-Seidel hampir sama dengan metode Iterasi Jacobi. Perbedaannya hanya
terletak pada penggunaan nilai elemen vektor xbaru yang langsung digunakan pada persamaan dibawahnya. Untuk lebih jelasnya, perhatikan sistem persamaan linear berikut, yang
diturunkan dari contoh terdahulu
2
6
1 lama
− xlama
+
x2
3
10
10
10
1 lama
3
25
1 baru
x1 + x3
− xlama
+
=
4
11
11
11
11
2 baru
1 baru
1 lama 11
= − x1 + x2 + x4
−
10
10
10
10
3 baru 1 baru 15
= − x2 + x3 +
8
8
8
xbaru
=
1
xbaru
2
xbaru
3
xbaru
4
Pada baris pertama, xbaru
dihitung berdasarkan xlama
dan xlama
. Kemudian xbaru
tersebut
1
2
3
1
langsung dipakai pada baris kedua untuk menghitung xbaru
. Selanjutnya xbaru
dan xbaru
di2
1
2
gunakan pada baris ketiga untuk mendapatkan xbaru
. Begitu seterusnya hingga xbaru
pun
3
4
diperoleh pada baris keempat. Sistem persamaan tersebut dapat dinyatakan dalam indeks k
BAB 5. METODE ITERASI
84
seperti dibawah ini dimana k adalah jumlah iterasi.
2 (k−1)
6
1 (k−1)
x
− x3
+
10 2
10
10
1 (k)
1 (k−1)
3 (k−1) 25
=
x1 + x3
− x4
+
11
11
11
11
1 (k)
1 (k−1) 11
2 (k)
−
= − x1 + x2 + x4
10
10
10
10
3 (k) 1 (k) 15
= − x2 + x3 +
8
8
8
(k)
x1
=
(k)
x2
(k)
x3
(k)
x4
(0)
(0)
(0)
Misalnya kita tentukan nilai-nilai awal x(0) sebagai berikut x1 = 0, x2 = 0, x3 = 0 dan
(0)
x4 = 0. Atau dinyatakan seperti ini x(0) = (0; 0; 0; 0)t . Maka pada k = 1 kita akan memperoleh
nilai-nilai x(1) sebagai berikut
x1
(1)
= 0, 6000
(1)
x2
(1)
x3
(1)
x4
= 2, 3272
= −0, 9873
= 0, 8789
Lalu proses perhitungan diulangi lagi dengan k = 2. Begitu seterusnya proses ini diulangulang lagi untuk nilai-nilai k berikutnya sampai x(k) mendekati solusi yang sesungguhnya,
yaitu
x = (1; 2; −1; 1)t
Marilah kita amati hasil seluruh iterasi. Tabel di bawah ini menampilkan hasil perhitungan
hingga iterasi yang ke-5. Kita bisa saksikan bahwa dibandingkan dengan iterasi Jacobi, problem sistem persamaan linear yang sama, bisa diselesaikan oleh metode iterasi Gauss-Seidel
hanya dalam 5 kali iterasi. Dari kasus ini, bisa kita simpulkan bahwa iterasi Gauss-Seidel bek-
k
(k)
x1
(k)
x2
(k)
x3
(k)
x4
0
Tabel 5.3: Hasil Iterasi Gauss-Seidel
1
2
3
4
0,0000
0,0000
0,0000
0,0000
0,6000
2,3272
-0,9873
0,8789
1,030
2,037
-1,014
0,9844
1,0065
2,0036
-1,0025
0,9983
1,0009
2,0003
-1,0003
0,9999
5
1,0001
2,0000
-1,0000
1,0000
erja lebih efektif dibandingkan iterasi Jacobi. Ya.., memang secara umum demikian, akan tetapi
ternyata ditemukan kondisi yang sebaliknya pada kasus-kasus yang lain.
5.4.1 Script iterasi Gauss-Seidel
Secara umum, script iterasi Gauss-Seidel yang saya tuliskan disini hampir sama dengan iterasi Jacobi. Perbedaan kecil-nya terletak pada bagian nilai update, dimana elemen xbaru hasil
perhitungan dilibatkan langsung untuk menghitung elemen xbaru selanjutnya.
5.4. ITERASI GAUSS-SEIDEL
1
2
85
clear all
clc
3
4
5
6
7
8
9
%----nilai awal----------xlama(1,1)=0;
xlama(2,1)=0;
xlama(3,1)=0;
xlama(4,1)=0;
xlama
10
11
12
13
n=4
itermaks=10
sc=0.001
%jumlah elemen vektor
%jumlah iterasi maksimal
%stopping-criteria
14
15
16
17
18
19
20
21
for i=1:itermaks
%------nilai update------------xbaru(1,1)=(1/10)*xlama(2,1)-(2/10)*xlama(3,1)+(6/10);
xbaru(2,1)=(1/11)*xbaru(1,1)+(1/11)*xlama(3,1)-(3/11)*xlama(4,1)+(25/11);
xbaru(3,1)=-(2/10)*xbaru(1,1)+(1/10)*xbaru(2,1)+(1/10)*xlama(4,1)-(11/10);
xbaru(4,1)=-(3/8)*xbaru(2,1)+(1/8)*xbaru(3,1)+(15/8);
xbaru
22
23
24
25
26
27
28
%------norm selisih------------s=0;
for i=1:n
s=s+(xbaru(i,1)-xlama(i,1))^2;
end
epsilon=sqrt(s)
29
30
31
32
33
%------memeriksa stopping criteria, sc-------if epsilon<sc
break
end
34
35
36
xlama=xbaru; %xbaru dijadikan xlama untuk iterasi berikutnya
end
Perumusan metode Iterasi Gauss-Seidel dapat dinyatakan sebagai berikut:
(k)
xi
=
−
Pi−1
j=1
(k)
aij xj
−
Pn
j=i+1
aii
(k−1)
aij xj
+ bi
dimana i=1,2,3,...,n.
5.4.2 Algoritma
• Langkah 1: Tentukan k=1
• Langkah 2: Ketika (k ≤ N ) lakukan Langkah 3-6
– Langkah 3: Untuk i=1,...,n, hitunglah
xi =
−
Pi−1
j=1 aij xj
−
Pn
j=i+1 aij XOj
aii
+ bi
(5.10)
BAB 5. METODE ITERASI
86
– Langkah 4: Jika kx − XOk < ǫ, maka keluarkan OUTPUT (x1 , ..., xn ) lalu STOP
– Langkah 5: Tentukan k=k+1
– Langkah 6: Untuk i=1,...n, tentukan XOi = xi
• Langkah 7: OUTPUT (’Iterasi maksimum telah terlampaui’) lalu STOP
5.4.3 Script iterasi Gauss-Seidel dalam Fortran
1
2
3
4
5
6
7
8
9
10
11
12
13
14
15
62
16
17
18
19
52
20
21
22
23
24
25
26
27
28
72
29
30
C
31
32
33
34
110
35
36
C
37
38
39
40
111
41
42
C
43
44
45
46
47
48
C
100
C
IMPLICIT NONE
DIMENSION A(10,10),B(10),X(10),XO(10)
REAL A,B,X,XO,EPS,NORM,S1,S2
INTEGER N,I,J,K,ITMAX
WRITE(*,*)
WRITE(*,*) ’==> ITERASI GAUSS-SEIDEL UNTUK SISTEM LINEAR <==’
WRITE(*,*)
WRITE (*,’(1X,A)’) ’JUMLAH PERSAMAAN ? ’
READ (*,*) N
WRITE (*,*) ’MASUKAN ELEMEN-ELEMEN MATRIK A DAN VEKTOR B’
DO 52 I = 1,N
DO 62 J = 1,N
WRITE (*,’(1X,A,I2,A,I2,A)’) ’A(’,I,’,’,J,’) = ’
READ (*,*) A(I,J)
CONTINUE
WRITE (*,’(1X,A,I2,A)’) ’B(’,I,’) ? ’
READ (*,*) B(I)
WRITE (*,*)
CONTINUE
WRITE (*,’(1X,A)’) ’JUMLAH ITERASI MAKSIMUM ? ’
READ (*,*) ITMAX
WRITE (*,’(1X,A)’) ’NILAI EPSILON ATAU TOLERANSI ? ’
READ (*,*) EPS
WRITE (*,*) ’MASUKAN NILAI AWAL UNTUK XO’
DO 72 I = 1,N
WRITE (*,’(1X,A,I2,A)’) ’XO(’,I,’) ? ’
READ (*,*) XO(I)
CONTINUE
WRITE (*,*)
MENAMPILKAN MATRIK A
WRITE (*,’(1X,A)’) ’MATRIK A:’
DO 110 I = 1,N
WRITE (*,6) (A(I,J),J=1,N)
CONTINUE
WRITE (*,*)
MENAMPILKAN VEKTOR B
WRITE (*,’(1X,A)’) ’VEKTOR B:’
DO 111 I = 1,N
WRITE (*,6) B(I)
CONTINUE
WRITE (*,*)
LANGKAH 1
K = 1
LANGKAH 2
IF(K.GT.ITMAX) GOTO 200
LANGKAH 3
DO 10 I = 1,N
S1 = 0.0
5.5. ITERASI DENGAN RELAKSASI
49
50
51
20
52
53
54
55
23
56
57
58
10
C
59
60
61
62
40
63
64
65
66
67
68
C
69
70
71
72
73
C
74
75
C
76
77
78
30
79
80
81
C
200
82
83
400
87
DO 20 J=I+1,N
S1 = S1-A(I,J)*XO(J)
CONTINUE
S2 = 0.0
DO 23 J=1,I-1
S2 = S2-A(I,J)*X(J)
CONTINUE
X(I) = (S2+S1+B(I))/A(I,I)
CONTINUE
SAYA PILIH NORM-2. ANDA BOLEH PAKAI NORM YANG LAIN!
NORM = 0.0
DO 40 I=1,N
NORM = NORM + (X(I)-XO(I))*(X(I)-XO(I))
CONTINUE
NORM = SQRT(NORM)
WRITE(*,’(1X,A,I3)’) ’ITERASI KE-’, K
WRITE(*,’(1X,A,F14.8)’) ’NORM-2 = ’, NORM
WRITE(*,’(1X,A,I3,A,F14.8)’) (’X(’,I,’) = ’, X(I),I=1,N)
WRITE(*,*)
LANGKAH 4
IF(NORM.LE.EPS) THEN
WRITE(*,7) K,NORM
GOTO 400
END IF
LANGKAH 5
K = K+1
LANGKAH 6
DO 30 I=1,N
XO(I) = X(I)
CONTINUE
GOTO 100
LANGKAH 7
CONTINUE
WRITE(*,9)
STOP
84
85
86
87
5
6
7
88
89
9
90
5.5
FORMAT(1X,I3)
FORMAT(1X,(6(1X,F14.8)))
FORMAT(1X,’KONVERGEN PADA ITERASI YANG KE- ’,I3,
*’ , NORM= ’,F14.8)
FORMAT(1X,’MELEBIHI BATAS MAKSIMUM ITERASI’)
END
Iterasi dengan Relaksasi
Metode Iterasi Relaksasi (Relaxation method ) dinyatakan dengan rumus berikut:
(k)
xi
n
i−1
X
X
ω
(k−1)
(k)
(k−1)
bi −
aij xj
aij xj −
= (1 − ω) xi
+
aii
j=1
(5.11)
j=i+1
dimana i=1,2,3,...,n.
Untuk lebih jelasnya, marilah kita perhatikan contoh berikut, diketahui sistem persamaan
BAB 5. METODE ITERASI
88
linear Ax = b yaitu
4x1 + 3x2 + = 24
3x1 + 4x2 − x3 = 30
−x2 + 4x3 = −24
memiliki solusi (3, 4, −5)t . Metode Gauss-Seidel dan Relaksasi dengan ω = 1, 25 akan digunakan untuk menyelesaikan sistem persamaan linear di atas dengan x(0) = (1, 1, 1)t . Untuk
setiap nilai k = 1, 2, 3, ..., persamaan Gauss-Seidelnya adalah
(k)
x1
(k)
x2
(k)
x3
(k−1)
= −0, 75x2
+6
=
0, 25x3
(k)
−0, 75x1 +
(k)
0, 25x2 − 6
=
(k−1)
+ 7, 5
Sedangkan persamaan untuk metode Relaksasi dengan ω = 1, 25 adalah
(k)
x1
(k)
x2
(k)
x3
(k−1)
= −0, 25x1
(k)
(k−1)
− 0, 9375x2
(k−1)
= −0, 9375x1 − 0, 25x2
(k)
(k−1)
= 0, 3125x2 − 0, 25x3
+ 7, 5
(k−1)
+ 0, 3125x3
+ 9, 375
− 7, 5
Tabel berikut ini menampilkan perhitungan dari masing-masing metode hingga iterasi ke-7.
k
0
(k)
1
1
1
x1
(k)
x2
(k)
x3
k
(k)
x1
(k)
x2
(k)
x3
Tabel 5.4: Hasil perhitungan iterasi Gauss-Seidel
1
2
3
4
5
6
5,2500
3,8125
-5,0468
3,1406
3,8828
-5,0293
3,0879
3,9267
-5,0183
3,0549
3,9542
-5,0114
3,0343
3,9714
-5,0072
3,0215
3,9821
-5,0044
7
3,0134
3,9888
-5,0028
Tabel 5.5: Hasil perhitungan iterasi Relaksasi dengan ω = 1, 25
0
1
2
3
4
5
6
7
1
1
1
6,3125
3,5195
-6,6501
2,6223
3,9585
-4,6004
3,1333
4,0102
-5,0967
2,9570
4,0075
-4,9735
3,0037
4,0029
-5,0057
2,9963
4,0009
-4,9983
3,0000
4,0002
-5,0003
Dari kasus ini, bisa kita simpulkan bahwa iterasi Relaksasi memerlukan proses iterasi yang
lebih singkat dibandingkan iterasi Gauss-Seidel. Jadi, pada kasus ini (dan juga secara umum),
Relaksasi lebih efektif dibandingkan Gauss-Seidel. Pertanyaannya sekarang, bagaimana menentukan nilai ω optimal?
Metode Relaksasi dengan pilihan nilai ω yang berkisar antara 0 dan 1 disebut metode underrelaxation, dimana metode ini berguna agar sistem persamaan linear bisa mencapai kondisi
konvergen walaupun sistem tersebut sulit mencapai kondisi konvergen dengan metode Gauss-
5.5. ITERASI DENGAN RELAKSASI
89
Seidel. Sementara bila ω nilainya lebih besar dari angka 1, maka disebut metode successive
over-relaxation (SOR), yang mana metode ini berguna untuk mengakselerasi atau mempercepat
kondisi konvergen dibandingkan dengan Gauss-Seidel. Metode SOR ini juga sangat berguna
untuk menyelesaikan sistem persamaan linear yang muncul dari persamaan diferensial-parsial
tertentu.
5.5.1 Algoritma Iterasi Relaksasi
• Langkah 1: Tentukan k=1
• Langkah 2: Ketika (k ≤ N ) lakukan Langkah 3-6
– Langkah 3: Untuk i=1,...,n, hitunglah
xi = (1 − ω) XOi +
P
P
i−1
ω − j=1
aij xj − nj=i+1 aij XOj + bi
aii
– Langkah 4: Jika kx − XOk < ǫ, maka keluarkan OUTPUT (x1 , ..., xn ) lalu STOP
– Langkah 5: Tentukan k=k+1
– Langkah 6: Untuk i=1,...n, tentukan XOi = xi
• Langkah 7: OUTPUT (’Iterasi maksimum telah terlampaui’) lalu STOP
Demikianlah catatan singkat dari saya tentang metode iterasi untuk menyelesaikan problem sistem persamaan linear. Saya cukupkan sementara sampai disini. Insya Allah akan saya
sambung lagi dilain waktu. Kalau ada yang mau didiskusikan, silakan hubungi saya melalui
email:
[email protected].
Bab 6
Interpolasi
✍ Objektif :
⊲ Mengenalkan Interpolasi Lagrange
⊲ Mengenalkan Interpolasi Spline-cubic
6.1
Interpolasi Lagrange
Interpolasi Lagrange diterapkan untuk mendapatkan fungsi polinomial P (x) berderajat tertentu yang melewati sejumlah titik data. Misalnya, kita ingin mendapatkan fungsi polinomial
berderajat satu yang melewati dua buah titik yaitu (x0 , y0 ) dan (x1 , y1 ). Langkah pertama yang
kita lakukan adalah mendefinisikan fungsi berikut
L0 (x) =
x − x1
x0 − x1
L1 (x) =
x − x0
x1 − x0
dan
kemudian kita definisikan fungsi polinomial sebagai berikut
P (x) = L0 (x)y0 + L1 (x)y1
Jika semua persamaan diatas kita gabungkan, maka akan didapat
P (x) = L0 (x)y0 + L1 (x)y1
x − x1
x − x0
P (x) =
y0 +
y1
x0 − x1
x1 − x0
dan ketika x = x0
P (x0 ) =
x0 − x0
x0 − x1
y0 +
y1 = y0
x0 − x1
x1 − x0
91
BAB 6. INTERPOLASI
92
dan pada saat x = x1
P (x1 ) =
x1 − x1
x1 − x0
y0 +
y1 = y1
x0 − x1
x1 − x0
dari contoh ini, kira-kira apa kesimpulan sementara anda? Ya.. kita bisa sepakat bahwa fungsi
polinomial
P (x) =
x − x1
x − x0
y0 +
y1
x0 − x1
x1 − x0
(6.1)
benar-benar melewati titik (x0 , y0 ) dan (x1 , y1 ).
Sekarang mari kita perhatikan lagi contoh lainnya. Misalnya ada tiga titik yaitu (x0 , y0 ), (x1 , y1 )
dan (x2 , y2 ). Tentukanlah fungsi polinomial yang melewati ketiganya! Dengan pola yang sama
kita bisa awali langkah pertama yaitu mendefinisikan
L0 (x) =
(x − x1 )(x − x2 )
(x0 − x1 )(x0 − x2 )
L1 (x) =
(x − x0 )(x − x2 )
(x1 − x0 )(x1 − x2 )
L2 (x) =
(x − x0 )(x − x1 )
(x2 − x0 )(x2 − x1 )
lalu
dan
kemudian kita definisikan fungsi polinomial sebagai berikut
P (x) = L0 (x)y0 + L1 (x)y1 + L2 (x)y2
Jika semua persamaan diatas kita gabungkan, maka akan didapat fungsi polinomial
P (x) =
(x − x0 )(x − x2 )
(x − x0 )(x − x1 )
(x − x1 )(x − x2 )
y0 +
y1 +
y2
(x0 − x1 )(x0 − x2 )
(x1 − x0 )(x1 − x2 )
(x2 − x0 )(x2 − x1 )
Kita uji sebentar. Ketika x = x0
P (x0 ) =
(x0 − x1 )(x0 − x2 )
(x0 − x0 )(x0 − x2 )
(x0 − x0 )(x0 − x1 )
y0 +
y1 +
y2 = y0
(x0 − x1 )(x0 − x2 )
(x1 − x0 )(x1 − x2 )
(x2 − x0 )(x2 − x1 )
pada saat x = x1
P (x1 ) =
(x1 − x1 )(x1 − x2 )
(x1 − x0 )(x1 − x2 )
(x1 − x0 )(x1 − x1 )
y0 +
y1 +
y2 = y1
(x0 − x1 )(x0 − x2 )
(x1 − x0 )(x1 − x2 )
(x2 − x0 )(x2 − x1 )
pada saat x = x2
P (x2 ) =
(x2 − x0 )(x2 − x2 )
(x2 − x0 )(x2 − x1 )
(x2 − x1 )(x2 − x2 )
y0 +
y1 +
y2 = y2
(x0 − x1 )(x0 − x2 )
(x1 − x0 )(x1 − x2 )
(x2 − x0 )(x2 − x1 )
6.2. INTERPOLASI CUBIC SPLINE
93
Terbukti bahwa fungsi polonomial
P (x) =
(x − x0 )(x − x2 )
(x − x0 )(x − x1 )
(x − x1 )(x − x2 )
y0 +
y1 +
y2
(x0 − x1 )(x0 − x2 )
(x1 − x0 )(x1 − x2 )
(x2 − x0 )(x2 − x1 )
(6.2)
melewati ketiga titik tadi.
Kalau kita bandingkan antara persamaan (6.1) dan persamaan (6.2), terlihat bahwa derajat persamaan (6.2) lebih tinggi dibandingkan dengan derajat persamaan (6.1). Hal ini terlihat dari x2
pada persamaan (6.2) sementara pada persamaan (6.1) hanya ada x. persamaan (6.2) disebut
funsi polinomial berderajat 2, sedangkan persamaan (6.1) disebut fungsi polinomial berderajat
1.
6.2
Interpolasi Cubic Spline
Gambar 6.1: Fungsi f (x) dengan sejumlah titik data
Gambar 6.2: Pendekatan dengan polinomial cubic spline
BAB 6. INTERPOLASI
94
Diketahui suatu fungsi f (x) (Figure 6.1) yang dibatasi oleh interval a dan b, dan memiliki
sejumlah titik data a = x0 < x1 < ... < xn = b. Interpolasi cubic spline S(x) adalah sebuah potongan fungsi polinomial kecil-kecil (Figure 6.2) berderajat tiga (cubic ) yang menghubungkan
dua titik data yang bersebelahan dengan ketentuan sebagai berikut:
1. Sj (x) adalah potongan fungsi yang berada pada sub-interval dari xj hingga xj+1 untuk
nilai j = 0, 1, ..., n − 1;
2. S(xj ) = f (xj ), artinya pada setiap titik data (xj ), nilai f (xj ) bersesuaian dengan S(xj )
dimana j = 0, 1, ..., n;
3. Sj+1 (xj+1 ) = Sj (xj+1 ). Perhatikan titik xj+1 pada Figure 6.2. Ya.. tentu saja jika fungsi
itu kontinyu, maka titik xj+1 menjadi titik sambungan antara Sj dan Sj+1 .
′
(xj+1 ) = Sj′ (xj+1 ), artinya kontinyuitas menuntut turunan pertama dari Sj dan Sj+1
4. Sj+1
pada titik xj+1 harus bersesuaian.
′′ (x
′′
5. Sj+1
j+1 ) = Sj (xj+1 ), artinya kontinyuitas menuntut turunan kedua dari Sj dan Sj+1
pada titik xj+1 harus bersesuaian juga.
6. Salah satu syarat batas diantara 2 syarat batas x0 dan xn berikut ini mesti terpenuhi:
• S ′′ (x0 ) = S ′′ (xn ) = 0 ini disebut natural boundary
• S ′ (x0 ) = f ′ (x0 ) dan S ′ (xn ) = f ′ (xn ) ini disebut clamped boundary
Polinomial cubic spline S (polinomial pangkat 3) untuk suatu fungsi f berdasarkan ketentuan
di atas adalah
Sj (x) = aj + bj (x − xj ) + cj (x − xj )2 + dj (x − xj )3
(6.3)
dimana j = 0, 1, ..., n − 1. Maka ketika x = xj
Sj (xj ) = aj + bj (xj − xj ) + cj (xj − xj )2 + dj (xj − xj )3
Sj (xj ) = aj = f (xj )
Itu artinya, aj selalu jadi pasangan titik data dari xj . Dengan pola ini maka pasangan titik data
xj+1 adalah aj+1 , konsekuensinya S(xj+1 ) = aj+1 . Berdasarkan ketentuan (3), yaitu ketika
x = xj+1 dimasukan ke persamaan (11.7)
aj+1 = Sj+1 (xj+1 ) = Sj (xj+1 ) = aj + bj (xj+1 − xj ) + cj (xj+1 − xj )2 + dj (xj+1 − xj )3
dimana j = 0, 1, ..., n − 2. Sekarang, kita nyatakan hj = xj+1 − xj , sehingga
aj+1 = aj + bj hj + cj h2j + dj h3j
Kemudian, turunan pertama dari persamaan (11.7) adalah
Sj′ (x) = bj + 2cj (x − xj ) + 3dj (x − xj )2
(6.4)
6.2. INTERPOLASI CUBIC SPLINE
95
ketika x = xj ,
Sj′ (xj ) = bj + 2cj (xj − xj ) + 3dj (xj − xj )2 = bj
dan ketika x = xj+1 ,
bj+1 = Sj′ (xj+1 ) = bj + 2cj (xj+1 − xj ) + 3dj (xj+1 − xj )2
Ini dapat dinyatakan sebagai
bj+1 = bj + 2cj (xj+1 − xj ) + 3dj (xj+1 − xj )2
dan dinyatakan dalam hj
bj+1 = bj + 2cj hj + 3dj h2j
(6.5)
Berikutnya, kita hitung turunan kedua dari persamaan (11.7)
Sj′′ (x) = 2cj + 6dj (x − xj )
(6.6)
tapi dengan ketentuan tambahan yaitu S ′′ (x)/2, sehingga persamaan ini dimodifikasi menjadi
Sj′′ (x) = cj + 3dj (x − xj )
dengan cara yang sama, ketika x = xj
Sj′′ (xj ) = cj + 3dj (xj − xj ) = cj
dan ketika x = xj+1
cj+1 = Sj′′ (xj+1 ) = cj + 3dj (xj+1 − xj )
cj+1 = cj + 3dj hj
dan dj bisa dinyatakan
dj =
(6.7)
1
(cj+1 − cj )
3hj
dari sini, persamaan (6.4) dapat ditulis kembali
aj+1 = aj + bj hj + cj h2j + dj h3j
= aj + bj hj + cj h2j +
h2j
(cj+1 − cj )
3
h2j
= aj + bj hj + (2cj + cj+1 )
3
(6.8)
BAB 6. INTERPOLASI
96
sementara persamaan (6.5) menjadi
bj+1 = bj + 2cj hj + 3dj h2j
= bj + 2cj hj + hj (cj+1 − cj )
= bj + hj (cj + cj+1 )
(6.9)
Sampai sini masih bisa diikuti, bukan? Selanjutnya, kita coba mendapatkan bj dari persamaan
(6.8)
bj =
dan untuk bj−1
bj−1 =
hj
1
(aj+1 − aj ) − (2cj + cj+1 )
hj
3
(6.10)
hj−1
1
(aj − aj−1 ) −
(2cj−1 + cj )
hj−1
3
(6.11)
Langkah berikutnya adalah mensubtitusikan persamaan (6.10) dan persamaan (6.11) kedalam
persamaan (6.9),
hj−1 cj−1 + 2(hj−1 + hj )cj + hj cj+1 =
3
3
(aj+1 − aj ) −
(aj − aj−1 )
hj
hj−1
(6.12)
n−1
dimana j = 1, 2, ..., n − 1. Dalam sistem persamaan ini, nilai {hj }j=0
dan nilai {aj }nj=0 su-
dah diketahui, sementara nilai {cj }nj=0 belum diketahui dan memang nilai inilah yang akan
dihitung dari persamaan ini.
Sekarang coba perhatikan ketentuan nomor (6), ketika S ′′ (x0 ) = S ′′ (xn ) = 0, berapakah nilai c0
dan cn ? Nah, kita bisa evaluasi persamaan (6.6)
S ′′ (x0 ) = 2c0 + 6d0 (x0 − x0 ) = 0
jelas sekali c0 harus berharga nol. Demikian halnya dengan cn harganya harus nol. Jadi untuk
natural boundary, nilai c0 = cn = 0.
Persamaan (6.12) dapat dihitung dengan operasi matrik Ax = b dimana
1
0
0
h0 2(h0 + h1 )
h1
0
h1
2(h1 + h2 )
A=
. . .
...
...
. . .
...
...
0
...
...
...
...
0
...
h2
0
...
...
. . . hn−2
...
c0
c1
x=
..
.
cn
0
...
0
0
...
0
...
...
2(hn−2 + hn−1 ) hn−1
0
1
...
6.2. INTERPOLASI CUBIC SPLINE
97
0
3
3
h1 (a2 − a1 ) − h0 (a1 − a0 )
..
b=
.
3 (a − a
3
n−1 ) − hn−2 (an−1 − an−2 )
hn−1 n
0
Sekarang kita beralih ke clamped boundary dimana S ′ (a) = f ′ (a) dan S ′ (b) = f ′ (b). Nah, kita
bisa evaluasi persamaan (6.10) dengan j = 0, dimana f ′ (a) = S ′ (a) = S ′ (x0 ) = b0 , sehingga
f ′ (a) =
h0
1
(a1 − a0 ) − (2c0 + c1 )
h0
3
konsekuensinya,
2h0 c0 + h0 c1 =
3
(a1 − a0 ) − 3f ′ (a)
h0
(6.13)
Sementara pada xn = bn dengan persamaan (6.9)
f ′ (b) = bn = bn−1 + hn−1 (cn−1 + cn )
sedangkan bn−1 bisa didapat dari persamaan (6.11) dengan j = n − 1
bn−1 =
1
hn−1
(an − an−1 ) −
hn−1
(2cn−1 j + cn )
3
Jadi
f ′ (b) =
=
1
hn−1
(an − an−1 ) −
(2cn−1 j + cn ) + hn−1 (cn−1 + cn )
hn−1
3
hn−1
1
(an − an−1 +
(cn−1 j + 2cn )
hn−1
3
dan akhirnya kita peroleh
hn−1 cn−1 + 2hn−1 Cn = 3f ′ (b) −
3
hn−1
(an − an−1 )
(6.14)
Persamaan (6.13) dan persamaan (6.14) ditambah persamaan (6.12 membentuk operasi matrik
Ax = b dimana
2h0
h0
0
h0 2(h0 + h1 )
h1
0
h1
2(h1 + h2 )
A=
...
...
...
...
...
...
0
...
...
...
...
0
...
h2
0
...
...
. . . hn−2
...
0
...
0
...
0
...
...
2(hn−2 + hn−1 ) hn−1
hn−1
2hn−1
...
0
BAB 6. INTERPOLASI
98
Gambar 6.3: Profil suatu object
c0
c1
x=
..
.
cn
3
h0 (a1
− a0 ) − 3f ′ (a)
3
3
h1 (a2 − a1 ) − h0 (a1 − a0 )
.
..
b=
3 (a − a
3
n−1 ) − hn−2 (an−1 − an−2 )
hn−1 n
3
(an − an−1 )
3f ′ (b) − hn−1
6.2. INTERPOLASI CUBIC SPLINE
Gambar 6.4: Sampling titik data
Gambar 6.5: Hasil interpolasi cubic spline
99
j
0
1
2
3
4
5
6
7
8
9
10
11
12
13
14
15
16
17
18
19
20
xj
0,9
1,3
1,9
2,1
2,6
3,0
3,9
4,4
4,7
5,0
6,0
7,0
8,0
9,2
10,5
11,3
11,6
12,0
12,6
13,0
13,3
aj
1,3
1,5
1,85
2,1
2,6
2,7
2,4
2,15
2,05
2,1
2,25
2,3
2,25
1,95
1,4
0,9
0,7
0,6
0,5
0,4
0,25
bj
5,4
0,42
1,09
1,29
0,59
-0,02
-0,5
-0,48
-0,07
0,26
0,08
0,01
-0,14
-0,34
-0,53
-0,73
-0,49
-0,14
-0,18
-0,39
cj
0,00
-0,30
1,41
-0,37
-1,04
-0,50
-0,03
0,08
1,27
-0,16
-0,03
-0,04
-0,11
-0,05
-0,1
-0,15
0,94
-0,06
0
-0,54
dj
-0,25
0,95
-2,96
-0,45
0,45
0,17
0,08
1,31
-1,58
0,04
0,00
-0,02
0,02
-0,01
-0,02
1,21
-0,84
0,04
-0,45
0,60
Gambar 6.6: Hasil interpolasi lagrange
Bab 7
Diferensial Numerik
✍ Objektif :
⊲ Mengenalkan metode Euler
⊲ Mengenalkan metode Runge Kutta orde 4
⊲ Mengenalkan metode Finite Difference
⊲ Mengenalkan Persamaan Diferensial Parsial Eliptik
⊲ Mengenalkan Persamaan Diferensial Parsial Hiperbolik
⊲ Mengenalkan Persamaan Diferensial Parsial Parabolik
7.1
Metode Euler
Suatu persamaan diferensial ( dy
dt ) dinyatakan dalam fungsi f (t, y), dimana y(t) adalah persamaan asalnya
dy
= f (t, y),
dt
a ≤ t ≤ b,
y(a) = α
(7.1)
Nilai t dibatasi dari a hingga ke b. Sementara, syarat awal telah diketahui yaitu pada saat
t = a maka y bernilai α. Akan tetapi kita sama sekali tidak tahu bentuk formulasi persamaan
asalnya y(t). Gambar 7.1 memperlihatkan kurva persamaan asal y(t) yang tidak diketahui bentuk formulasinya. Tantangannya adalah bagaimana kita bisa mendapatkan solusi persamaan
diferensial untuk setiap nilai y(t) yang t-nya terletak diantara a dan b ?
Tahap awal solusi pendekatan numerik adalah dengan menentukan point-point dalam
jarak yang sama di dalam interval [a,b]. Jarak antar point dirumuskan sebagai
h=
b−a
N
(7.2)
dengan N adalah bilangan integer positif. Nilai h ini juga dikenal dengan nama step size.
Selanjutnya nilai t diantara a dan b ditentukan berdasarkan
ti = a + ih,
i = 0, 1, 2, ..., N
101
(7.3)
BAB 7. DIFERENSIAL NUMERIK
102
y
y
y(tN)=y(b)
y’=f(t,y)
y(t)
y(t)
y(a)=a
y(t2)
y’=f(t,y)
y(a)=a
y(t1)
y(t0)=a
y’(a)=f(a,a)
w1
a
h
h
t0=a
t1
t2
.....
tN=b
t
t0=a
t1
t2
.....
tN=b
t
Gambar 7.1: Kiri: Kurva y(t) dengan pasangan titik absis dan ordinat dimana jarak titik absis sebesar h. Pasangan t1 adalah y(t1 ), pasangan t2 adalah y(t2 ), begitu seterusnya. Kanan: Garis singgung
yang menyinggung kurva y(t) pada t=a, kemudian berdasarkan garis singgung tersebut, ditentukan
pasangan t1 sebagai w1 . Perhatikan gambar itu sekali lagi! w1 dan y(t1 ) beda tipis alias tidak sama
persis.
Metode Euler diturunkan dari deret Taylor. Misalnya, fungsi y(t) adalah fungsi yang kontinyu dan memiliki turunan dalam interval [a,b]. Dalam deret Taylor, fungsi y(t) tersebut dirumuskan sebagai
y(ti+1 ) = y(ti ) + (ti+1 − ti )y ′ (ti ) +
(ti+1 − ti )2 ′′
y (ξi )
2
(7.4)
h2 ′′
y (ξi )
2
(7.5)
dengan memasukkan h = (ti+1 − ti ), maka
y(ti+1 ) = y(ti ) + hy ′ (ti ) +
dan, karena y(t) memenuhi persamaan diferensial (7.1), dimana y ′ (ti ) tak lain adalah fungsi
turunan f (ti , y(ti )), maka
y(ti+1 ) = y(ti ) + hf (ti , y(ti )) +
h2 ′′
y (ξi )
2
(7.6)
Metode Euler dibangun dengan pendekatan bahwa suku terakhir dari persamaan (7.6),
yang memuat turunan kedua, dapat diabaikan. Disamping itu, pada umumnya, notasi penulisan
bagi y(ti ) diganti dengan wi . Sehingga metode Euler diformulasikan sebagai
wi+1 = wi + hf (ti , wi )
dengan syarat awal
w0 = α
(7.7)
dimana i = 0, 1, 2, .., N − 1.
Contoh
Diketahui persamaan diferensial
y ′ = y − t2 + 1 batas interval: 0 ≤ t ≤ 2
syarat awal: y(0) = 0, 5
dimana N = 10. Disini terlihat bahwa batas awal interval, a = 0; dan batas akhir b = 2.
(7.8)
7.1. METODE EULER
103
Dalam penerapan metode euler, pertama kali yang harus dilakukan adalah menghitung
step-size (h), caranya
h=
2−0
b−a
=
= 0, 2
N
10
kemudian dilanjutkan dengan menentukan posisi titik-titik ti berdasarkan rumus
ti = a + ih = 0 + i(0, 2) sehingga ti = 0, 2i
serta menetapkan nilai w0 yang diambil dari syarat awal y(0) = 0, 5
w0 = 0, 5
Dengan demikian persamaan euler dapat dinyatakan sebagai
wi+1 = wi + h(wi − t2i + 1)
= wi + 0, 2(wi − 0, 04i2 + 1)
= 1, 2wi − 0, 008i2 + 0, 2
dimana i = 0, 1, 2, ..., N − 1. Karena N = 10, maka i = 0, 1, 2, ..., 9.
Pada saat i = 0 dan dari syarat awal diketahui w0 = 0, 5, kita bisa menghitung w1
w1 = 1, 2w0 − 0, 008(0)2 + 0, 2 = 0, 8000000
Pada saat i = 1
w2 = 1, 2w1 − 0, 008(1)2 + 0, 2 = 1, 1520000
Pada saat i = 2
w3 = 1, 2w2 − 0, 008(2)2 + 0, 2 = 1, 5504000
Demikian seterusnya, hingga mencapai i = 9
w10 = 1, 2w9 − 0, 008(9)2 + 0, 2 = 4, 8657845
Berikut ini adalah script matlab untuk menghitung w1 , w2 , sampai w10
1
2
clear all
clc
3
4
format long
5
6
7
8
9
10
11
b=2; %batas akhir interval
a=0; %batas awal interval
N=10; % bilangan interger positif
h=(b-a)/N; % nilai step-size
w0=0.5; % nilai w awal
t0=0;
% nilai t awal
12
13
14
% perubahan t sesuai step-size h adalah:
t1=a+1*h;
BAB 7. DIFERENSIAL NUMERIK
104
15
16
17
18
19
20
21
22
23
t2=a+2*h;
t3=a+3*h;
t4=a+4*h;
t5=a+5*h;
t6=a+6*h;
t7=a+7*h;
t8=a+8*h;
t9=a+9*h;
t10=a+10*h;
24
25
26
27
28
29
30
31
32
33
34
35
% solusinya:
w1=w0+h*(w0-t0^2+1)
w2=w1+h*(w1-t1^2+1)
w3=w2+h*(w2-t2^2+1)
w4=w3+h*(w3-t3^2+1)
w5=w4+h*(w4-t4^2+1)
w6=w5+h*(w5-t5^2+1)
w7=w6+h*(w6-t6^2+1)
w8=w7+h*(w7-t7^2+1)
w9=w8+h*(w8-t8^2+1)
w10=w9+h*(w9-t9^2+1)
Atau bisa dipersingkat sebagai berikut
1
2
clear all
clc
3
4
format long
5
6
7
8
9
10
11
b=2; %batas akhir interval
a=0; %batas awal interval
N=10; % bilangan interger positif
h=(b-a)/N; % nilai step-size
w0=0.5; % nilai w awal
t0=0;
% nilai t awal
12
13
14
15
16
% perubahan t sesuai step-size h adalah:
for i=1:N
t(i)=a+(i*h);
end
17
18
19
20
21
22
23
24
% solusinya:
w(1)=w0+h*(w0-t0^2+1);
for i=2:N
k=i-1;
w(i)=w(k)+h*(w(k)-t(k)^2+1);
end
w
Disisi lain, solusi exact persamaan diferensial (7.8) adalah
y(t) = (t + 1)2 − 0, 5et
Script matlab untuk mendapatkan solusi exact ini adalah:
1
2
clear all
clc
(7.9)
7.1. METODE EULER
105
3
4
format long
5
6
7
8
9
b=2; %batas akhir interval
a=0; %batas awal interval
N=10; % bilangan interger positif
h=(b-a)/N; % nilai step-size
10
11
12
13
14
% perubahan t sesuai step-size h adalah:
for i=1:N
t(i)=a+(i*h);
end
15
16
17
18
19
20
% solusi exact:
for i=1:N
y(i)=(t(i)+1)^2-0.5*exp(t(i));
end
y
Tabel 7.1: Solusi yang ditawarkan oleh metode euler wi dan solusi exact y(ti ) serta selisih antara
keduanya
i
ti
wi
yi = y(ti ) |wi − yi |
0 0,0 0,5000000 0,5000000 0,0000000
1 0,2 0,8000000 0,8292986 0,0292986
2 0,4 1,1520000 1,2140877 0,0620877
3 0,6 1,5504000 1,6489406 0,0985406
4 0,8 1,9884800 2,1272295 0,1387495
5 1,0 2,4581760 2,6408591 0,1826831
6 1,2 2,9498112 3,1799415 0,2301303
7 1,4 3,4517734 3,7324000 0,2806266
8 1,6 3,9501281 4,2834838 0,3333557
9 1,8 4,4281538 4,8151763 0,3870225
10 2,0 4,8657845 5,3054720 0,4396874
Coba anda perhatikan sejenak bagian kolom selisih |wi − yi |. Terlihat angkanya tumbuh se-
makin besar seiring dengan bertambahnya ti . Artinya, ketika ti membesar, akurasi metode
euler justru berkurang. Untuk lebih jelasnya, mari kita plot hasil-hasil ini dalam suatu gambar.
Gambar (7.2) memperlihatkan sebaran titik-titik merah yang merupakan hasil perhitungan
metode euler (wi ). Sementara solusi exact y(ti ) diwakili oleh titik-titik biru. Tampak jelas bahwa titik-titik biru dan titik-titik merah –pada nilai t yang sama– tidak ada yang berhimpit alias
ada jarak yang memisahkan mereka. Bahkan semakin ke kanan, jarak itu semakin melebar.
Adanya jarak, tak lain menunjukkan keberadaan error (kesalahan). Hasil perhitungan metode
euler yang diwakili oleh titik-titik merah ternyata menghadirkan tingkat kesalahan yang semakin membesar ketika menuju ke-N atau ketika ti bertambah. Untuk mengatasi hal ini, salah
satu pemecahannya adalah dengan menerapkan metode Runge-Kutta orde-4. Namun sebelum
masuk ke pembahasan tersebut, ada baiknya kita memodifikasi script matlab yang terakhir tadi.
Saya kira tidak ada salahnya untuk mengantisipasi kesalahan pengetikan fungsi turunan
BAB 7. DIFERENSIAL NUMERIK
106
5.5
5
4.5
4
y(t)
3.5
3
2.5
2
1.5
1
0.5
0.2
0.4
0.6
0.8
1
1.2
1.4
1.6
1.8
2
t
Gambar 7.2: Kurva biru adalah solusi exact, dimana lingkaran-lingkaran kecil warna biru pada kurva
menunjukkan posisi pasangan absis t dan ordinat y(t) yang dihitung oleh Persamaan (7.9). Sedangkan
titik-titik merah mengacu pada hasil perhitungan metode euler, yaitu nilai wi .
yang terdapat dalam script sebelumnya yaitu,
w(1)=w0+h*(w0-t0^2+1);
dan
w(i)=w(k)+h*(w(k)-t(k)^2+1);
Ketika fungsi turunan memiliki formulasi yang berbeda dengan contoh di atas, bisa jadi
kita akan lupa untuk mengetikkan formulasi yang baru di kedua baris tersebut. Oleh karena
itu, lebih baik fungsi turunan tersebut dipindahkan kedalam satu file terpisah. Di lingkungan
matlab, file tersebut disebut file function. Jadi, isi file function untuk contoh yang sedang kita
bahas ini adalah
function y = futur(t,w)
y = w - t^2 + 1;
File function ini mesti di-save dengan nama file yang sama persis dengan nama fungsinya,
dalam contoh ini nama file function tersebut harus bernama futur.m. Kemudian file ini harus
disimpan dalam folder yang sama dimana disana juga terdapat file untuk memproses metode
euler.
Setelah itu, script metode euler dimodifikasi menjadi seperti ini
1
2
3
clear all
clc
7.2. METODE RUNGE KUTTA
4
107
format long
5
6
7
8
9
10
11
b=2;
%batas akhir interval
a=0;
%batas awal interval
N=10; % bilangan interger positif
h=(b-a)/N; % nilai step-size
w0=0.5; % nilai w awal
t0=0; % nilai t awal
12
13
14
15
16
% perubahan t sesuai step-size h adalah:
for i=1:N
t(i)=a+(i*h);
end
17
18
19
20
21
22
23
24
% solusinya:
w(1)=w0+h*futur(t0,w0);
for i=2:N
k=i-1;
w(i)=w(k)+h*futur(t(k),w(k));
end
w
Mulai dari baris ke-13 sampai dengan baris ke-24, tidak perlu diubah-ubah lagi. Artinya, jika
ada perubahan formulasi fungsi turunan, maka itu cukup dilakukan pada file futur.m saja.
Ok. Sekarang mari kita membahas metode Runge Kutta.
7.2
Metode Runge Kutta
Pada saat membahas metode Euler untuk penyelesaian persamaan diferensial, kita telah sampai pada kesimpulan bahwa truncation error metode Euler terus membesar seiring dengan
bertambahnya iterasi (ti ). Dikaitkan dengan hal tersebut, metode Runge-Kutta Orde-4 menawarkan
penyelesaian persamaan diferensial dengan pertumbuhan truncation error yang jauh lebih kecil. Persamaan-persamaan yang menyusun metode Runge-Kutta Orde-4 adalah
w0 = α
k1 = hf (ti , wi )
1
h
k2 = hf (ti + , wi + k1 )
2
2
h
1
k3 = hf (ti + , wi + k2 )
2
2
k4 = hf (ti+1 , wi + k3 )
1
wi+1 = wi + (k1 + 2k2 + 2k3 + k4 )
6
(7.10)
(7.11)
(7.12)
(7.13)
(7.14)
dimana fungsi f (t, w) adalah fungsi turunan.
Contoh
Saya ambilkan contoh yang sama seperti contoh yang sudah kita bahas pada metode Euler.
Diketahui persamaan diferensial
y ′ = y − t2 + 1,
0 ≤ t ≤ 2,
y(0) = 0, 5
BAB 7. DIFERENSIAL NUMERIK
108
Jika N = 10, maka step-size bisa dihitung terlebih dahulu
h=
b−a
2−0
=
= 0, 2
N
10
dan
ti = a + ih = 0 + i(0, 2)
→
ti = 0, 2i
serta
w0 = 0, 5
Sekarang mari kita terapkan metode Runge-Kutta Orde-4 ini. Untuk menghitung w1 , tahaptahap perhitungannya dimulai dari menghitung k1
k1 = hf (t0 , w0 )
= h(w0 − t20 + 1)
= 0, 2((0, 5) − (0, 0)2 + 1)
= 0, 3
lalu menghitung k2
k1
h
, w0 + )
2
2
h
k1
= h[(w0 + ) − (t0 + )2 + 1)]
2
2
0, 2 2
0, 3
) − (0, 0 +
) + 1)]
= 0, 2[(0, 5 +
2
2
= 0, 328
k2 = hf (t0 +
dilanjutkan dengan k3
h
k2
, w0 + )
2
2
k2
h
= h[(w0 + ) − (t0 + )2 + 1)]
2
2
0, 2 2
0, 328
) − (0, 0 +
) + 1)]
= 0, 2[(0, 5 +
2
2
= 0, 3308
k3 = hf (t0 +
kemudian k4
k4 = hf (t1 , w0 + k3 )
= h[(w0 + k3 ) − t21 + 1]
= 0, 2[(0, 5 + 0, 3308) − (0, 2)2 + 1]
= 0, 35816
7.2. METODE RUNGE KUTTA
109
akhirnya diperoleh w1
1
(k1 + 2k2 + 2k3 + k4 )
6
1
= 0, 5 + (0, 3 + 2(0, 328) + 2(0, 3308) + 0, 35816)
6
1
= 0, 5 + (0, 3 + 0, 656 + 0, 6616 + 0, 35816)
6
= 0, 8292933
w1 = w0 +
Dengan cara yang sama, w2 , w3 , w4 dan seterusnya dapat dihitung dengan program komputer.
Script matlab-nya sebagai berikut1 :
1
2
clear all
clc
3
4
format long
5
6
7
8
9
10
11
b=2;
%batas akhir interval
a=0;
%batas awal interval
N=10; % bilangan interger positif
h=(b-a)/N; % nilai step-size
w0=0.5; % nilai w awal
t0=0; % nilai t awal
12
13
14
15
16
% perubahan t sesuai step-size h adalah:
for i=1:N
t(i)=a+(i*h);
end
17
18
19
20
21
22
23
% solusinya:
k1=h*futur(t0,w0);
k2=h*futur(t0+h/2,w0+k1/2);
k3=h*futur(t0+h/2,w0+k2/2);
k4=h*futur(t(1),w0+k3);
w(1)=w0+1/6*(k1+2*k2+2*k3+k4);
24
25
26
27
28
29
30
31
32
33
for i=2:N
k=i-1;
k1=h*futur(t(k),w(k));
k2=h*futur(t(k)+h/2,w(k)+k1/2);
k3=h*futur(t(k)+h/2,w(k)+k2/2);
k4=h*futur(t(i),w(k)+k3);
w(i)=w(k)+1/6*(k1+2*k2+2*k3+k4);
end
w
Dibandingkan dengan metode Euler, tingkat pertumbuhan truncation error, pada kolom |wi −
yi | (lihat Tabel 7.2), jauh lebih rendah sehingga metode Runge-Kutta Orde Empat lebih disukai
untuk membantu menyelesaikan persamaan-diferensial-biasa.
Contoh tadi tampaknya dapat memberikan gambaran yang jelas bahwa metode RungeKutta Orde Empat dapat menyelesaikan persamaan diferensial biasa dengan tingkat akurasi
1
Jangan lupa, file futur.m mesti berada dalam satu folder dengan file Runge Kutta nya!
BAB 7. DIFERENSIAL NUMERIK
110
Tabel 7.2: Solusi yang ditawarkan oleh metode Runge Kutta orde 4 (wi ) dan solusi exact y(ti )
serta selisih antara keduanya
i
ti
wi
yi = y(ti ) |wi − yi |
0 0,0 0,5000000 0,5000000 0,0000000
1 0,2 0,8292933 0,8292986 0,0000053
2 0,4 1,2140762 1,2140877 0,0000114
3 0,6 1,6489220 1,6489406 0,0000186
4 0,8 2,1272027 2,1272295 0,0000269
5 1,0 2,6408227 2,6408591 0,0000364
6 1,2 3,1798942 3,1799415 0,0000474
7 1,4 3,7323401 3,7324000 0,0000599
8 1,6 4,2834095 4,2834838 0,0000743
9 1,8 4,8150857 4,8151763 0,0000906
10 2,0 5,3053630 5,3054720 0,0001089
5.5
5
4.5
4
y(t)
3.5
3
2.5
2
1.5
1
0.5
0.2
0.4
0.6
0.8
1
1.2
1.4
1.6
1.8
2
t
Gambar 7.3: Kurva biru adalah solusi exact, dimana lingkaran-lingkaran kecil warna biru pada kurva
menunjukkan posisi pasangan absis t dan ordinat y(t) yang dihitung oleh Persamaan (7.9). Sedangkan
titik-titik merah mengacu pada hasil perhitungan metode Runge Kutta orde 4, yaitu nilai wi .
yang lebih tinggi. Namun, kalau anda jeli, ada suatu pertanyaan cukup serius yaitu apakah
metode ini dapat digunakan bila pada persamaan diferensialnya tidak ada variabel t ? Misalnya pada kasus pengisian muatan pada kapasitor berikut ini.
7.2.1 Aplikasi: Pengisian muatan pada kapasitor
Sebuah kapasitor yang tidak bermuatan dihubungkan secara seri dengan sebuah resistor dan
baterry (Gambar 7.4). Diketahui ǫ = 12 volt, C = 5,00 µF dan R = 8,00 ×105 Ω. Saat saklar
7.2. METODE RUNGE KUTTA
111
dihubungkan (t=0), muatan belum ada (q=0).
dq
ǫ
q
= −
dt
R RC
(7.15)
Solusi exact persamaan (7.15) adalah
qexact = q(t) = Cǫ 1 − e−t/RC
(7.16)
Anda bisa lihat semua suku di ruas kanan persamaan (7.15) tidak mengandung variabel
Gambar 7.4: Rangkaian RC
t. Padahal persamaan-persamaan turunan pada contoh sebelumnya mengandung variabel t.
Apakah persamaan (7.15) tidak bisa diselesaikan dengan metode Runge-Kutta? Belum tentu.
Sekarang, kita coba selesaikan, pertama kita nyatakan
m1 =
m2 =
ǫ
= 1, 5 × 10−5
R
1
= 0, 25
RC
sehingga persamaan (7.15) dimodifikasi menjadi
dq
= f (qi ) = m1 − qi m2
dt
ti = a + ih
Jika t0 = 0, maka a = 0, dan pada saat itu (secara fisis) diketahui q0 = 0, 0. Lalu jika ditetapkan
h = 0, 1 maka t1 = 0, 1 dan kita bisa mulai menghitung k1 dengan menggunakan q0 = 0, 0,
walaupun t1 tidak dilibatkan dalam perhitungan ini
k1 = hf (q0 )
= h(m1 − q0 m2 )
= 0, 1((1, 5 × 10−5 ) − (0, 0)(0, 25))
= 0, 150 × 10−5
BAB 7. DIFERENSIAL NUMERIK
112
lalu menghitung k2
k2 = hf (q0 +
k1
)
2
= h[(m1 − (q0 +
k1
)m2 )]
2
= 0, 1[(1, 5 × 10−5 − ((0, 0) +
0, 15 × 10−5
)(0, 25)]
2
= 0, 14813 × 10−5
dilanjutkan dengan k3
k3 = hf (q0 +
k2
)
2
= h[(m1 − (q0 +
k2
)m2 )]
2
= 0, 1[(1, 5 × 10−5 − ((0, 0) +
0, 14813 × 10−5
)(0, 25)]
2
= 0, 14815 × 10−5
kemudian k4
k4 = hf (q0 + k3 )
= h[(m1 − (q0 + k3 )m2 )]
= 0, 1[(1, 5 × 10−5 − ((0, 0) + 0, 14815 × 10−5 )(0, 25)]
= 0, 14630 × 10−5
akhirnya diperoleh q1
1
(k1 + 2k2 + 2k3 + k4 )
6
1
= 0, 0 + (0, 150 + 2(0, 14813) + 2(0, 14815) + 0, 14630) × 10−5
6
= 0, 14814 × 10−5
q1 = q0 +
Selanjutnya q2 dihitung. Tentu saja pada saat t2 , dimana t2 = 0, 2, namun sekali lagi, t2 tidak
terlibat dalam perhitungan ini. Dimulai menghitung k1 kembali
k1 = hf (q1 )
= h(m1 − q1 m2 )
= 0, 1((1, 5 × 10−5 ) − (0, 14814 × 10−5 )(0, 25))
= 0, 14630 × 10−5
7.2. METODE RUNGE KUTTA
113
lalu menghitung k2
k2 = hf (q1 +
k1
)
2
= h[(m1 − (q1 +
k1
)m2 )]
2
= 0, 1[(1, 5 × 10−5 − ((0, 14814 × 10−5 ) +
0, 14630 × 10−5
)(0, 25)]
2
= 0, 14447 × 10−5
dilanjutkan dengan k3
k3 = hf (q1 +
k2
)
2
= h[(m1 − (q1 +
k2
)m2 )]
2
= 0, 1[(1, 5 × 10−5 − ((0, 14814 × 10−5 ) +
0, 14447 × 10−5
)(0, 25)]
2
= 0, 14449 × 10−5
kemudian k4
k4 = hf (q1 + k3 )
= h[(m1 − (q1 + k3 )m2 )]
= 0, 1[(1, 5 × 10−5 − ((0, 14814 × 10−5 ) + 0, 14449 × 10−5 )(0, 25)]
= 0, 14268 × 10−5
akhirnya diperoleh q2
1
(k1 + 2k2 + 2k3 + k4 )
6
1
= 0, 14814 × 10−5 + (0, 14630 + 2(0, 14447) + 2(0, 14449) + 0, 14268) × 10−5
6
= 0, 29262 × 10−5
q2 = q1 +
Dengan cara yang sama, q3 , q4 , q5 dan seterusnya dapat dihitung. Berikut ini adalah script
dalam matlab yang dipakai untuk menghitung q
1
2
clear all
clc
3
4
format long
5
6
7
8
9
10
11
12
b=1; % batas akhir interval
a=0; % batas awal interval
h=0.1; % interval waktu
N=(b-a)/h; % nilai step-size
q0=0.0; % muatan mula-mula
t0=0.0; % waktu awal
BAB 7. DIFERENSIAL NUMERIK
114
13
14
15
16
% perubahan t sesuai step-size h adalah:
for i=1:N
t(i)=a+(i*h);
end
17
18
19
20
21
22
23
% solusinya:
k1=h*futur(q0);
k2=h*futur(q0+k1/2);
k3=h*futur(q0+k2/2);
k4=h*futur(q0+k3);
q(1)=q0+1/6*(k1+2*k2+2*k3+k4);
24
25
26
27
28
29
30
31
32
33
for i=2:N
k=i-1;
k1=h*futur(q(k));
k2=h*futur(q(k)+k1/2);
k3=h*futur(q(k)+k2/2);
k4=h*futur(q(k)+k3);
q(i)=q(k)+1/6*(k1+2*k2+2*k3+k4);
end
q
Adapun script fungsi turunannya (futur.m) adalah sebagai berikut:
1
2
3
4
5
6
7
function y=futur(q)
E=12;
% tegangan (volt)
R=800000;
% hambatan (ohm)
C=5e-6;
% kapasitansi (farad)
m1=E/R;
m2=1/(R*C);
y=m1-(m2*q);
Tabel 7.3: Perbandingan antara hasil perhitungan numerik lewat metode Runge Kutta dan hasil
perhitungan dari solusi exact, yaitu persamaan (7.16)
i
ti
qi
qexact = q(ti ) |qi − qexact |
−5
0 0,0 0,00000×10
0,00000×10−5
0,00000
−5
−5
1 0,1 0,14814×10
0,14814×10
0,00000
2 0,2 0,29262×10−5 0,29262×10−5
0,00000
3 0,3 0,43354×10−5 0,43354×10−5
0,00000
−5
−5
4 0,4 0,57098×10
0,57098×10
0,00000
5 0,5 0,70502×10−5 0,70502×10−5
0,00000
6 0,6 0,83575×10−5 0,83575×10−5
0,00000
7 0,7 0,96326×10−5 0,96326×10−5
0,00000
8 0,8 1,0876×10−5
1,0876×10−5
0,00000
−5
−5
9 0,9 1,2089×10
1,2089×10
0,00000
10 1,0 1,3272×10−5
1,3272×10−5
0,00000
Luar biasa!! Tak ada error sama sekali. Mungkin, kalau kita buat 7 angka dibelakang koma,
error nya akan terlihat. Tapi kalau anda cukup puas dengan 5 angka dibelakang koma, hasil
ini sangat memuaskan. Gambar 7.5 memperlihatkan kurva penumpukan muatan q terhadap
waktu t – dengan batas atas interval waktu dinaikkan hingga 20 –.
7.3. METODE FINITE DIFFERENCE
115
−5
6
x 10
4
2
0
0
2
4
6
8
10
12
14
16
18
20
Gambar 7.5: Kurva pengisian muatan q (charging) terhadap waktu t
Sampai disini mudah-mudahan jelas dan bisa dimengerti. Silakan anda coba untuk kasus
yang lain, misalnya proses pembuangan (discharging ) q pada rangkaian yang sama, atau bisa
juga anda berlatih dengan rangkaian RL dan RLC. Saya akhiri dulu uraian saya sampai disini.
7.3
Metode Finite Difference
Suatu persamaan diferensial dapat dinyatakan sebagai berikut:
dy
d2 y
(x) = p(x) (x) + q(x)y(x) + r(x),
dx2
dx
a ≤ x ≤ b,
y(a) = α,
y(b) = β
(7.17)
atau juga dapat dituliskan dalam bentuk lain
y ′′ = p(x)y ′ + q(x)y + r(x)
(7.18)
Persamaan tersebut dapat diselesaikan dengan melakukan pendekatan numerik terhadap y ′′
dan y ′ . Caranya adalah pertama, kita memilih angka integer sembarang yaitu N dimana N > 0
dan membagi interval [a, b] dengan (N + 1), hasilnya dinamakan h (lihat Gambar 7.6)
h=
b−a
N +1
(7.19)
BAB 7. DIFERENSIAL NUMERIK
116
Gambar 7.6: Kurva suatu fungsi f (x) yang dibagi sama besar berjarak h. Evaluasi kurva yang
dilakukan Finite-Difference dimulai dari batas bawah X0 = a hingga batas atas x6 = b
Dengan demikian maka titik-titik x yang merupakan sub-interval antara a dan b dapat dinyatakan sebagai
xi = a + ih,
i = 0, 1, ..., N + 1
(7.20)
Pencarian solusi persamaan diferensial melalui pendekatan numerik dilakukan dengan memanfaatkan polinomial Taylor untuk mengevaluasi y ′′ dan y ′ pada xi+1 dan xi−1 seperti berikut
ini
y(xi+1 ) = y(xi + h) = y(xi ) + hy ′ (xi ) +
h2 ′′
y (xi )
2
(7.21)
y(xi−1 ) = y(xi − h) = y(xi ) − hy ′ (xi ) +
h2 ′′
y (xi )
2
(7.22)
dan
Jika kedua persamaan ini dijumlahkan
y(xi+1 ) + y(xi−1 ) = 2y(xi ) + h2 y ′′ (xi )
Dari sini y ′′ dapat ditentukan
h2 y ′′ (xi ) = y(xi+1 ) − 2y(xi ) + y(xi−1 )
y ′′ (xi ) =
y(xi+1 ) − 2y(xi ) + y(xi−1 )
h2
(7.23)
Dengan cara yang sama, y ′ (xi ) dapat dicari sebagai berikut
y ′ (xi ) =
y(xi+1 ) − y(xi−1 )
2h
(7.24)
7.3. METODE FINITE DIFFERENCE
117
Selanjutnya persamaan (7.23) dan (7.24) disubstitusikan ke persamaan (7.18) maka
y(xi+1 ) − y(xi−1 )
y(xi+1 ) − 2y(xi ) + y(xi−1 )
= p(xi )
+ q(xi )y(xi ) + r(xi )
2
h
2h
−y(xi+1 ) + 2y(xi ) − y(xi−1 )
y(xi+1 ) − y(xi−1 )
= −p(xi )
− q(xi )y(xi ) − r(xi )
h2
2h
−y(xi+1 ) + 2y(xi ) − y(xi−1 )
y(xi+1 ) − y(xi−1 )
+ p(xi )
+ q(xi )y(xi ) = −r(xi )
2
h
2h
Sebelum dilanjut, saya nyatakan bahwa y(xi+1 )=wi+1 dan y(xi )=wi serta y(xi−1 )=wi−1 . Maka
persamaan di atas dapat ditulis sebagai berikut
−wi+1 + 2wi − wi−1
h2
+ p(xi )
wi+1 − wi−1
2h
+ q(xi )wi = −r(xi )
h
p(xi ) (wi+1 − wi−1 ) + h2 q(xi )wi
2
h
h
−wi+1 + 2wi − wi−1 + p(xi )wi+1 − p(xi )wi−1 + h2 q(xi )wi
2
2
h
h
−wi−1 − p(xi )wi−1 + 2wi + h2 q(xi )wi − wi+1 + p(xi )wi+1
2
2
h
h
2
− 1 + p(xi ) wi−1 + 2 + h q(xi ) wi − (1 − p(xi ) wi+1
2
2
(−wi+1 + 2wi − wi−1 ) +
= −h2 r(xi )
= −h2 r(xi )
= −h2 r(xi )
= −h2 r(xi )
(7.25)
dimana i=1,2,3...sampai N, karena yang ingin kita cari adalah w1 , w2 , w3 ,..., wN . Sementara,
satu hal yang tak boleh dilupakan yaitu w0 dan wN +1 biasanya selalu sudah diketahui. Pada
persamaan (7.17), jelas-jelas sudah diketahui bahwa w0 =α dan wN +1 =β; keduanya dikenal sebagai syarat batas atau istilah asingnya adalah boundary value. Topik yang sedang bahas ini
juga sering disebut sebagai Masalah Syarat Batas atau Boundary Value Problem.
Sampai disini kita mendapatkan sistem persamaan linear yang selanjutnya dapat dinyatakan
sebagai bentuk operasi matrik
Aw = b
(7.26)
dimana A adalah matrik tridiagonal dengan orde N × N
2 + h2 q(x1 )
−1 − h2 p(x2 )
0
0
...
...
0
A
=
p(x1 )
−1 + h
2
2 + h2 q(x2 )
p(x3 )
−1 − h
2
0
...
...
...
0
−1 + h
p(x2 )
2
2 + h2 q(x3 )
−1 − h
p(x4 )
2
...
...
...
...
0
−1 + h
p(x3 )
2
2 + h2 q(x4 )
...
...
...
...
...
0
−1 + h
p(x4 )
2
...
−1 − h
p(xN −1 )
2
...
...
...
...
0
...
2 + h2 q(xN −1 )
p(xN )
−1 − h
2
0
0
0
0
...
−1 + h
p(x
)
N −1
2
2 + h2 q(xN )
BAB 7. DIFERENSIAL NUMERIK
118
w1
w2
w
3
w=
w4
..
.
w
N −1
wN
−h2 r(x1 ) + 1 + h2 p(x1 ) w0
−h2 r(x2 )
−h2 r(x3 )
2
−h r(x4 )
b=
..
.
−h2 r(xN −1 )
h
2
−h r(xN ) + 1 − 2 p(xN ) wN +1
7.3.1 Script Finite-Difference
1
2
clear all
clc
3
4
5
6
7
8
9
a=1.0; %ganti angkanya sesuai data yang anda miliki
b=2.0; %ganti angkanya sesuai data yang anda miliki
n=9; %ganti angkanya sesuai data yang anda miliki
h=(b-a)/(n+1);
alpha=1; %ganti angkanya sesuai data yang anda miliki
beta=2; %ganti angkanya sesuai data yang anda miliki
10
11
12
13
14
15
16
17
18
19
20
21
22
23
24
25
26
27
28
29
30
31
32
33
34
%====== Mencari Elemen Matrik A ========
for i=1:n
x=a+i*h;
A(i,i)=2+h^2*fungsiQ(x);
end
for i=1:n-1
x=a+i*h;
A(i,i+1)=-1+((h/2)*fungsiP(x));
end
for i=2:n
x=a+i*h;
A(i,i-1)=-1-((h/2)*fungsiP(x));
end
A
%====== Mencari Elemen Vektor b ========
x=a+h;
b(1,1)=-h^2*fungsiR(x)+(1+((h/2)*fungsiP(x)))*alpha;
for i=2:8
x=a+i*h;
b(i,1)=-h^2*fungsiR(x);
end
xn=a+n*h
b(n,1)=-h^2*fungsiR(xn)+(1-((h/2)*fungsiP(xn)))*beta;
b
7.3. METODE FINITE DIFFERENCE
119
Pada akhirnya, elemen-elemen matrik A dan vektor b sudah diketahui. Sehingga vektor w
dapat dihitung dengan berbagai metode pemecahan sistem persamaan linear, seperti Eliminasi
Gauss, Gauss-Jourdan, Iterasi Jacobi dan Iterasi Gauss-Seidel.
Contoh
Diketahui persamaan diferensial seperti berikut ini
2
sin(ln x)
2
,
y ′′ = − y ′ + 2 y +
x
x
x2
memiliki solusi exact
y = c1 x +
dimana
c2 =
1 ≤ x ≤ 2,
y(1) = 1,
y(2) = 2
c2
3
1
−
sin(ln x) −
cos(ln x),
2
x
10
10
1
[8 − 12 sin(ln 2) − 4 cos(ln 2)] ≈ −0, 03920701320
70
dan
c1 =
11
− c2 ≈ 1, 1392070132.
10
Dengan metode Finite-Difference, solusi pendekatan dapat diperoleh dengan membagi interval 1 ≤ x ≤ 2 menjadi sub-interval, misalnya kita gunakan N = 9, sehingga spasi h diperoleh
h=
2−1
b−a
=
= 0, 1
N +1
9+1
Dari persamaan diferensial tersebut juga didapat
p(xi ) = −
q(xi ) =
r(xi ) =
2
xi
2
x2i
sin(ln xi )
x2i
Script matlab telah dibuat untuk menyelesaikan contoh soal ini. Untuk memecahkan persoalan
ini, saya membuat 4 buah script, terdiri dari script utama, script fungsiP, script fungsiQ dan
script fungsiR. Berikut ini adalah script fungsiP yang disimpan dengan nama file fungsiP.m:
1
2
function y = fungsiP(x)
y = -2/x;
lalu inilah script fungsiQ yang disimpan dengan nama file fungsiQ.m:
1
2
function y = fungsiQ(x)
y = 2/x^2;
kemudian ini script fungsiR yang disimpan dengan nama file fungsiR.m::
120
1
2
BAB 7. DIFERENSIAL NUMERIK
function y = fungsiR(x)
y = sin(log(x))/x^2;
dan terakhir, inilah script utamanya:
1
2
clear all
clc
3
4
5
a=1.0;
b=2.0;
6
7
8
alpha=1;
beta=2;
9
10
11
12
%=======jika diketahui n, maka h dihitung ====
n=9;
h=(b-a)/(n+1);
13
14
15
16
%=======jika diketahui h, maka n dihitung ====
%h=0.1;
%n=((b-a)/h)-1;
17
18
19
20
21
22
23
24
25
26
27
28
29
30
31
32
33
34
35
36
37
38
39
40
41
%====== Mencari Elemen Matrik A ========
for i=1:n
x=a+i*h;
A(i,i)=2+h^2*fungsiQ(x);
end
for i=1:n-1
x=a+i*h;
A(i,i+1)=-1+((h/2)*fungsiP(x));
end
for i=2:n
x=a+i*h;
A(i,i-1)=-1-((h/2)*fungsiP(x));
end
A
%====== Mencari Elemen Vektor b ========
x=a+h;
b(1,1)=-h^2*fungsiR(x)+(1+((h/2)*fungsiP(x)))*alpha;
for i=2:8
x=a+i*h;
b(i,1)=-h^2*fungsiR(x);
end
xn=a+n*h
b(n,1)=-h^2*fungsiR(xn)+(1-((h/2)*fungsiP(xn)))*beta;
b
7.3. METODE FINITE DIFFERENCE
42
43
44
45
46
121
%====== Menggabungkan Vektor b kedalam matrik A ========
for i=1:n
A(i,n+1)=b(i,1);
end
A
47
48
49
50
%&&&&&& Proses Eliminasi Gauss &&&&&&&&&&&&&&&&&&&&&&&&&
%---------Proses Triangularisasi----------for j=1:(n-1)
51
52
53
54
55
56
57
58
59
60
61
62
63
64
65
66
67
68
69
70
%----mulai proses pivot--if (A(j,j)==0)
for p=1:n+1
u=A(j,p);
v=A(j+1,p);
A(j+1,p)=u;
A(j,p)=v;
end
end
%----akhir proses pivot--jj=j+1;
for i=jj:n
m=A(i,j)/A(j,j);
for k=1:(n+1)
A(i,k)=A(i,k)-(m*A(j,k));
end
end
end
%-------------------------------------------
71
72
73
%------Proses Substitusi mundur------------x(n,1)=A(n,n+1)/A(n,n);
74
75
76
77
78
79
80
81
82
for i=n-1:-1:1
S=0;
for j=n:-1:i+1
S=S+A(i,j)*x(j,1);
end
x(i,1)=(A(i,n+1)-S)/A(i,i);
end
%&&&&&&&&&&&&&&&&&&&&&&&&&&&&&&&&&&&&&&&&&&&&&&&&&&&&&
83
84
85
%===== Menampilkan Vektor w =================
w=x
Tabel berikut ini memperlihatkan hasil perhitungan dengan pendekatan metode Finite-Difference
wi dan hasil perhitungan dari solusi exact y(xi ), dilengkapi dengan selisih antara keduanya
BAB 7. DIFERENSIAL NUMERIK
122
|wi − y(xi )|. Tabel ini memperlihatkan tingkat kesalahan (error) berada pada orde 10−5 . Unxi
1,0
1,1
1,2
1,3
1,4
1,5
1,6
1,7
1,8
1,9
2,0
wi
1,00000000
1,09260052
1,18704313
1,28333687
1,38140205
1,48112026
1,58235990
1,68498902
1,78888175
1,89392110
2,00000000
y(xi )
1,00000000
1,09262930
1,18708484
1,28338236
1,38144595
1,48115942
1,58239246
1,68501396
1,78889853
1,89392951
2,00000000
|wi − y(xi )|
2,88 × 10−5
4,17 × 10−5
4,55 × 10−5
4,39 × 10−5
3,92 × 10−5
3,26 × 10−5
2,49 × 10−5
1,68 × 10−5
8,41 × 10−6
tuk memperkecil orde kesalahan, kita bisa menggunakan polinomial Taylor berorde tinggi.
Akan tetapi proses kalkulasi menjadi semakin banyak dan disisi lain penentuan syarat batas
lebih kompleks dibandingkan dengan pemanfaatan polinomial Taylor yang sekarang. Untuk
menghindari hal-hal yang rumit itu, salah satu jalan pintas yang cukup efektif adalah dengan
menerapkan ekstrapolasi Richardson.
Contoh
Pemanfaatan ekstrapolasi Richardson pada metode Finite Difference untuk persamaan diferensial seperti berikut ini
2
2
sin(ln x)
y ′′ = − y ′ + 2 y +
,
x
x
x2
1 ≤ x ≤ 2,
y(1) = 1,
y(2) = 2,
dengan h = 0, 1, h = 0, 05, h = 0, 025. Ekstrapolasi Richardson terdiri atas 3 tahapan, yaitu
ekstrapolasi yang pertama
Ext1i =
4wi (h = 0, 05) − wi (h = 0, 1)
3
kemudian ekstrapolasi yang kedua
Ext2i =
4wi (h = 0, 025) − wi (h = 0, 05)
3
dan terakhir ekstrapolasi yang ketiga
Ext3i =
16Ext2i − Ext1i
15
Tabel berikut ini memperlihatkan hasil perhitungan tahapan-tahapan ekstrapolasi tersebut. Jika seluruh angka di belakang koma diikut-sertakan, maka akan terlihat selisih antara solusi
exact dengan solusi pendekatan sebesar 6, 3 × 10−11 . Ini benar-benar improvisasi yang luar
biasa.
7.3. METODE FINITE DIFFERENCE
xi
1,0
1,1
1,2
1,3
1,4
1,5
1,6
1,7
1,8
1,9
2,0
wi (h = 0, 1)
1,00000000
1,09260052
1,18704313
1,28333687
1,38140205
1,48112026
1,58235990
1,68498902
1,78888175
1,89392110
2,00000000
wi (h = 0, 05)
1,00000000
1,09262207
1,18707436
1,28337094
1,38143493
1,48114959
1,58238429
1,68500770
1,78889432
1,89392740
2,00000000
123
wi (h = 0, 025)
1,00000000
1,09262749
1,18708222
1,28337950
1,38144319
1,48115696
1,58239042
1,68501240
1,78889748
1,89392898
2,00000000
Ext1i
1,00000000
1,09262925
1,18708477
1,28338230
1,38144598
1,48115937
1,58239242
1,68501393
1,78889852
1,89392950
2,00000000
Ext2i
1,00000000
1,09262930
1,18708484
1,28338236
1,38144595
1,48115941
1,58239246
1,68501396
1,78889853
1,89392951
2,00000000
Ext3i
1,00000000
1,09262930
1,18708484
1,28338236
1,38144595
1,48115942
1,58239246
1,68501396
1,78889853
1,89392951
2,00000000
7.3.2 Aplikasi
Besar simpangan terhadap waktu (y(t)) suatu sistem osilator mekanik yang padanya diberikan
gaya secara periodik (forced-oscilations) memenuhi persamaan diferensial seperti dibawah ini
berikut syarat-syarat batasnya
dy
d2 y
=
+ 2y + cos(t),
dt2
dt
0≤t≤
π
,
2
y(0) = −0, 3,
π
y( ) = −0, 1
2
Dengan metode Finite-Difference, tentukanlah besar masing-masing simpangan di setiap interval h = π/8. Buatlah table untuk membandingkan hasil finite-difference dengan solusi analitik
1
yang memenuhi y(t) = − 10
[sin(t) + 3cos(t)].
jawab:
Secara umum, persamaan diferensial dapat dinyatakan sbb:
dy
d2 y
(x) = p(x) (x) + q(x)y(x) + r(x),
2
dx
dx
a ≤ x ≤ b,
y(a) = α,
y(b) = β
Dengan membandingkan kedua persamaan di atas, kita bisa definisikan
p(t) = 1
q(t) = 2
r(t) = cos(t)
a=0
b=
π
2
α = −0, 3
β = −0, 1
Adapun persamaan finite-difference adalah
h
h
2
− 1 + p(xi ) wi−1 + 2 + h q(xi ) wi − (1 − p(xi ) wi+1 = −h2 r(xi )
2
2
Persamaan diatas dikonversi kedalam operasi matriks
Aw = b
(7.27)
BAB 7. DIFERENSIAL NUMERIK
124
dimana A adalah matrik tridiagonal dengan orde N × N
2 + h2 q(x1 )
−1 − h2 p(x2 )
0
0
...
...
0
A
=
−1 + h
p(x1 )
2
2 + h2 q(x2 )
p(x3 )
−1 − h
2
0
...
...
...
w1
0
−1 + h
p(x2 )
2
2 + h2 q(x3 )
p(x4 )
−1 − h
2
...
...
...
...
0
−1 + h
p(x3 )
2
2 + h2 q(x4 )
...
...
...
...
...
0
−1 + h
p(x4 )
2
...
−1 − h
p(xN −1 )
2
...
...
...
...
0
...
2 + h2 q(xN −1 )
−1 − h
p(xN )
2
−h2 r(x1 ) + 1 + h2 p(x1 ) w0
0
0
0
0
...
−1 + h
p(x
)
N
−1
2
2
2 + h q(xN )
2 r(x )
−h
2
−h2 r(x3 )
2
−h r(x4 )
b=
..
.
−h2 r(xN −1 )
h
2
−h r(xN ) + 1 − 2 p(xN ) wN +1
w2
w
3
w=
w4
..
.
w
N −1
wN
Jumlah baris matrik ditentukan oleh bilangan n. Namun disoal hanya tersedia informasi nilai
h = π/8, sehingga n harus dihitung terlebih dahulu:
h=
b−a
n+1
n=
π
−0
b−a
−1= 2
−1=3
h
π/8
perhitungan ini dilakukan didalam script matlab. Selanjutnya seluruh elemen matrik A dan
vektor b dihitung dengan matlab
2, 3084
−0, 8037
0
w1
−0, 5014
−1, 1963 2, 3084 −0, 8037 w2 = −0, 1090
0
−1, 1963 2, 3084
w3
−0, 1394
Proses diteruskan dengan metode Eliminasi Gauss dan didapat hasil akhir berikut ini
w1 = −0.3157
7.4
w2 = −0.2829
w3 = −0.2070
Persamaan Diferensial Parsial
Dalam sub-bab ini, penulisan ’persamaan diferensial parsial’ akan dipersingkat menjadi PDP.
PDP dapat dibagi menjadi 3 jenis, yaitu persamaan diferensial eliptik, parabolik dan hiperbolik. PDP eliptik dinyatakan sebagai berikut
∂2u
∂2u
(x,
y)
+
(x, y) = f (x, y)
∂x2
∂y 2
(7.28)
7.5. PDP ELIPTIK
125
Di bidang fisika, persamaan (7.28) dikenal sebagai Persamaan Poisson. Jika f (x, y)=0, maka
diperoleh persamaan yang lebih sederhana
∂2u
∂2u
(x,
y)
+
(x, y) = 0
∂x2
∂y 2
(7.29)
yang biasa disebut sebagai Persamaan Laplace. Contoh masalah PDP eliptik di bidang fisika
adalah distribusi panas pada kondisi steady-state pada obyek 2-dimensi dan 3-dimensi.
Jenis PDP kedua adalah PDP parabolik yang dinyatakan sebagai berikut
∂2u
∂u
(x, t) − α2 2 (x, t) = 0
∂t
∂x
(7.30)
Fenomena fisis yang bisa dijelaskan oleh persamaan ini adalah masalah aliran panas pada suatu obyek dalam fungsi waktu t.
Terakhir, PDP ketiga adalah PDP hiperbolik yang dinyatakan sebagai berikut
α2
∂2u
∂2u
(x, t) = 2 (x, t)
2
∂ x
∂t
(7.31)
biasa digunakan untuk menjelaskan fenomena gelombang.
Sekarang, mari kita bahas lebih dalam satu-persatu, difokuskan pada bagaimana cara menyatakan semua PDP di atas dalam formulasi Finite-Difference.
7.5
PDP eliptik
Kita mulai dari persamaan aslinya
∂2u
∂2u
(x,
y)
+
(x, y) = f (x, y)
∂x2
∂y 2
(7.32)
dimana R = [(x, y)|a < x < b, c < y < d]. Maksudnya, variasi titik-titik x berada di antara a
dan b. Demikian pula dengan variasi titik-titik y, dibatasi mulai dari c sampai d (lihat Gambar
7.7). Jika h adalah jarak interval antar titik yang saling bersebelahan pada titik-titik dalam
rentang horizontal a dan b, maka titik-titik variasi di antara a dan b dapat diketahui melalui
rumus ini
xi = a + ih,
dimana i = 1, 2, . . . , n
(7.33)
dimana a adalah titik awal pada sumbu horisontal x. Demikian pula pada sumbu y. Jika k
adalah jarak interval antar titik yang bersebelahan pada titik-titik dalam rentang vertikal c dan
d, maka titik-titik variasi di antara c dan d dapat diketahui melalui rumus ini
yj = c + jk,
dimana j = 1, 2, . . . , m
(7.34)
dimana c adalah titik awal pada sumbu vertikal y. Perhatikan Gambar 7.7, garis-garis yang
sejajar sumbu horisontal, y = yi dan garis-garis yang sejajar sumbu vertikal, x = xi disebut grid
lines. Sementara titik-titik perpotongan antara garis-garis horisontal dan vertikal dinamakan
BAB 7. DIFERENSIAL NUMERIK
126
mesh points
d
......
ym
grid lines
y2
k
y1
c
a
x1
x2
...
xn
b
h
Gambar 7.7: Skema grid lines dan mesh points pada aplikasi metode Finite-Difference
mesh points.
Turunan kedua sebagaimana yang ada pada persamaan (7.32) dapat dinyatakan dalam rumus
centered-difference sebagai berikut
u(xi+1 , yj ) − 2u(xi , yj ) + u(xi−1 , yj ) h2 ∂ 4 u
∂2u
(x
,
y
)
=
−
(ξi , yj )
i j
∂x2
h2
12 ∂x4
(7.35)
u(xi , yj+1 ) − 2u(xi , yj ) + u(xi , yj−1 ) k 2 ∂ 4 u
∂2u
(x
,
y
)
=
−
(xi , ηj )
i
j
∂y 2
k2
12 ∂y 4
(7.36)
Metode Finite-Difference biasanya mengabaikan suku yang terakhir, sehingga cukup dinyatakan
sebagai
u(xi+1 , yj ) − 2u(xi , yj ) + u(xi−1 , yj )
∂2u
(xi , yj ) =
∂x2
h2
(7.37)
u(xi , yj+1 ) − 2u(xi , yj ) + u(xi , yj−1 )
∂2u
(xi , yj ) =
2
∂y
k2
(7.38)
Pengabaian suku terakhir otomatis menimbulkan error yang dinamakan truncation error. Jadi, ketika suatu persamaan diferensial diolah secara numerik dengan metode Finite-Difference,
maka solusinya pasti meleset alias keliru "sedikit", dikarenakan adanya truncation error tersebut. Akan tetapi, nilai error tersebut dapat ditolerir hingga batas-batas tertentu yang uraiannya
akan dikupas pada bagian akhir bab ini.
Ok. Mari kita lanjutkan! Sekarang persamaan (7.37) dan (7.38) disubstitusi ke persamaan (7.32),
hasilnya adalah
u(xi+1 , yj ) − 2u(xi , yj ) + u(xi−1 , yj ) u(xi , yj+1 ) − 2u(xi , yj ) + u(xi , yj−1 )
+
= f (xi , yj ) (7.39)
h2
k2
7.5. PDP ELIPTIK
127
dimana i = 1, 2, ..., n − 1 dan j = 1, 2, ..., m − 1 dengan syarat batas sebagai berikut
u(x0 , yj ) = g(x0 , yj )
u(xn , yj ) = g(xn , yj )
u(xi , y0 ) = g(xi , y0 )
u(xi , ym ) = g(xi , ym )
Pengertian syarat batas disini adalah bagian tepi atau bagian pinggir dari susunan mesh points.
Pada metode Finite-Difference, persamaan (7.39) dinyatakan dalam notasi w, sebagai berikut
wi,j+1 − 2wi,j + wi,j−1
wi+1,j − 2wi,j + wi−1,j
+
2
h
k2
2
h
wi+1,j − 2wi,j + wi−1,j + 2 (wi,j+1 − 2wi,j + wi,j−1 )
k
h2
h2
h2
wi+1,j − 2wi,j + wi−1,j + 2 wi,j+1 − 2 2 wi,j + 2 wi,j−1
k
k
k
h2
h2
−2[1 + 2 ]wi,j + (wi+1,j + wi−1,j ) + 2 (wi,j+1 + wi,j−1 )
k
k
h2
h2
2[1 + 2 ]wi,j − (wi+1,j + wi−1,j ) − 2 (wi,j+1 + wi,j−1 )
k
k
= f (xi , yj )
= h2 f (xi , yj )
= h2 f (xi , yj )
= h2 f (xi , yj )
= −h2 f (xi , yj )
(7.40)
dimana i = 1, 2, ..., n − 1 dan j = 1, 2, ..., m − 1, dengan syarat batas sebagai berikut
w0,j = g(x0 , yj )
wn,j = g(xn , yj )
j = 0, 1, ..., m − 1;
wi,0 = g(xi , y0 )
wi,m = g(xi , ym )
i = 1, 2, ..., n − 1.
Persamaan (7.40) adalah rumusan akhir metode Finite-Difference untuk PDP Eliptik.
7.5.1 Contoh pertama
Misalnya kita diminta mensimulasikan distribusi panas pada lempengan logam berukuran 0, 5
m x 0, 5 m. Temperatur pada 2 sisi tepi lempengan logam dijaga pada 0◦ C, sementara pada 2
sisi tepi lempengan logam yang lain, temperaturnya diatur meningkat secara linear dari 0◦ C
hingga 100◦ C. Problem ini memenuhi PDP Eliptik:
∂2u
∂2u
(x,
y)
+
(x, y) = 0;
∂x2
∂y 2
0 < x < 0, 5,
0 < y < 0, 5
dengan syarat-syarat batas
u(0, y) = 0,
u(x, 0) = 0,
u(x, 0.5) = 200x,
u(0.5, y) = 200y
Jika n = m = 4 sedangkan ukuran lempeng logam adalah 0, 5 m x 0, 5 m, maka
h=
0, 5
= 0, 125
4
k=
0, 5
= 0, 125
4
Grid lines berikut mesh points dibuat berdasarkan nilai h dan k tersebut (lihat Gambar 7.8).
Langkah berikutnya adalah menyusun persamaan Finite-Difference, dimulai dari persamaan
BAB 7. DIFERENSIAL NUMERIK
128
Y
U(0,y)=0
W0,3
W0,2
W0,1
W2,4
W1,4
W3,4
W1,3
W2,3
W3,3
W1,2
W2,2
W3,2
W1,1
W2,1
W3,1
W1,0
W2,0
W3,0
W4,3
W4,2
W4,1
0.5
U(0.5,y)=200y
0.5
U(x,0.5)=200x
X
U(x,0)=0
Gambar 7.8: Susunan grid lines dan mesh points untuk mensimulasikan distribusi temperatur
pada lempeng logam sesuai contoh satu
asalnya (persamaan 7.40)
2[1 +
h2
h2
]w
−
(w
+
w
)
−
(wi,j+1 + wi,j−1 ) = −h2 f (xi , yj )
i,j
i+1,j
i−1,j
k2
k2
Karena h = k = 0, 125 dan f (xi , yj ) = 0, maka
4wi,j − wi+1,j − wi−1,j − wi,j−1 − wi,j+1 = 0
(7.41)
Disisi lain, karena n = 4, maka nilai i yang bervariasi i = 1, 2, ..., n − 1 akan menjadi i =
1, 2, 3. Demikian hal-nya dengan j, karena m = 4, maka variasi j = 1, 2, ..., m − 1 atau j =
1, 2, 3. Dengan menerapkan persamaan (7.41) pada setiap mesh point yang belum diketahui
temperaturnya, diperoleh
4w1,3 − w2,3 − w1,2 = w0,3 + w1,4
4w2,3 − w3,3 − w2,2 − w1,3 = w2,4
4w3,3 − w3,2 − w2,3 = w4,3 + w3,4
4w1,2 − w2,2 − w1,1 − w1,3 = w0,2
4w2,2 − w3,2 − w2,1 − w1,2 − w2,3 = 0
4w3,2 − w3,1 − w2,2 − w3,3 = w4,2
4w1,1 − w2,1 − w1,2 = w0,1 + w1,0
4w2,1 − w3,1 − w1,1 − w2,2 = w2,0
4w3,1 − w2,1 − w3,2 = w3,0 + w4,1
7.5. PDP ELIPTIK
129
Semua notasi w yang berada diruas kanan tanda sama-dengan sudah ditentukan nilainya
berdasarkan syarat batas, yaitu
w1,0 = w2,0 = w3,0 = w0,1 = w0,2 = w0,3 = 0,
w1,4 = w4,1 = 25,
w2,4 = w4,2 = 50,
dan
w3,4 = w4,3 = 75
Dengan memasukkan syarat batas tersebut ke dalam sistem persamaan linear, maka
4w1,3 − w2,3 − w1,2 = 25
4w2,3 − w3,3 − w2,2 − w1,3 = 50
4w3,3 − w3,2 − w2,3 = 150
4w1,2 − w2,2 − w1,1 − w1,3 = 0
4w2,2 − w3,2 − w2,1 − w1,2 − w2,3 = 0
4w3,2 − w3,1 − w2,2 − w3,3 = 50
4w1,1 − w2,1 − w1,2 = 0
4w2,1 − w3,1 − w1,1 − w2,2 = 0
4w3,1 − w2,1 − w3,2 = 25
Kemudian dijadikan operasi perkalian matrik
4
−1
−1
4
0
−1
−1
0
0
0
0
0
−1
0
0
0
0
0
0 −1 4
0
0 −1 0
0
0
−1 0
0
4 −1 0 −1 0
0
0 −1 0 −1 4 −1 0 −1 0
0
0 −1 0 −1 4
0
0 −1
0
0
0 −1 0
0
4 −1 0
0
0
0
0 −1 0 −1 4 −1
0
0
0
0
0 −1 0 −1 4
w1,3
w2,3
w3,3
w1,2
w2,2
=
w3,2
w1,1
w2,1
w3,1
25
50
150
0
0
50
0
0
25
Mari kita perhatikan sejenak susunan elemen-elemen angka pada matrik berukuran 9x9 di atas.
Terlihat jelas pada elemen diagonal selalu berisi angka 4. Ini sama sekali bukan ketidaksengajaan. Melainkan susunan itu sengaja direkayasa sedemikian rupa sehingga elemen-elemen tridiagonal terisi penuh oleh angka bukan 0 dan pada diagonal utamanya diletakkan angka yang
terbesar. Metode Eliminasi Gauss dan Iterasi Gauss-Seidel telah diaplikasikan untuk menyelesaikan persamaan matrik di atas.
BAB 7. DIFERENSIAL NUMERIK
130
7.5.2 Script Matlab untuk PDP Elliptik
Inilah script Matlab yang dipakai untuk menghitung nila-nilai w menggunakan metode Eliminasi Gauss.
1
2
3
4
5
6
7
8
9
10
11
12
clear
clc
n=9;
A=[ 4
-1
0
-1
0
0
0
0
0
all
-1 0 -1 0 0 0 0 0;
4 -1 0 -1 0 0 0 0;
-1 4 0 0 -1 0 0 0;
0 0 4 -1 0 -1 0 0;
-1 0 -1 4 -1 0 -1 0;
0 -1 0 -1 4 0 0 -1;
0 0 -1 0 0 4 -1 0;
0 0 0 -1 0 -1 4 -1;
0 0 0 0 -1 0 -1 4];
13
14
b=[25; 50; 150; 0; 0; 50; 0; 0; 25];
15
16
17
18
19
20
21
%&&&&&& Proses Eliminasi Gauss &&&&&&&&&&&&&&&&&&&&&&&&&
%====== Menggabungkan Vektor b kedalam matrik A ========
%====== sehingga terbentuk matrik Augmentasi.
========
for i=1:n
A(i,n+1)=b(i,1);
end
22
23
24
%---------Proses Triangularisasi----------for j=1:(n-1)
25
26
27
28
29
30
31
32
33
34
35
36
37
38
39
40
41
42
43
44
%----mulai proses pivot--if (A(j,j)==0)
for p=1:n+1
u=A(j,p);
v=A(j+1,p);
A(j+1,p)=u;
A(j,p)=v;
end
end
%----akhir proses pivot--jj=j+1;
for i=jj:n
m=A(i,j)/A(j,j);
for k=1:(n+1)
A(i,k)=A(i,k)-(m*A(j,k));
end
end
end
%-------------------------------------------
45
46
47
%------Proses Substitusi mundur------------x(n,1)=A(n,n+1)/A(n,n);
48
49
50
51
52
53
for i=n-1:-1:1
S=0;
for j=n:-1:i+1
S=S+A(i,j)*x(j,1);
end
7.5. PDP ELIPTIK
54
55
56
131
x(i,1)=(A(i,n+1)-S)/A(i,i);
end
%&&&&&&&&&&&&&&&&&&&&&&&&&&&&&&&&&&&&&&&&&&&&&&&&&&&&&
57
58
59
%===== Menampilkan Vektor w =================
w=x
Sementara berikut ini adalah script Matlab untuk menghitung nila-nilai w menggunakan metode
Iterasi Gauss-Seidel.
1
2
clear all
clc
3
4
5
6
7
8
9
10
11
12
13
n=9;
A=[ 4 -1 0 -1 0 0 0 0 0;
-1 4 -1 0 -1 0 0 0 0;
0 -1 4 0 0 -1 0 0 0;
-1 0 0 4 -1 0 -1 0 0;
0 -1 0 -1 4 -1 0 -1 0;
0 0 -1 0 -1 4 0 0 -1;
0 0 0 -1 0 0 4 -1 0;
0 0 0 0 -1 0 -1 4 -1;
0 0 0 0 0 -1 0 -1 4];
14
15
b=[25; 50; 150; 0; 0; 50; 0; 0; 25];
16
17
18
19
20
21
22
23
24
25
26
27
28
29
30
31
32
33
34
35
36
37
38
39
40
41
42
43
44
45
46
47
48
%&&&&&&& ITERASI GAUSS-SEIDEL &&&&&&&&&&&&&&&&&&
itermax=100; %iterasi maksimum
%----nilai awal----------xl=[0; 0; 0; 0; 0; 0; 0; 0; 0];
xb=xl;
%----stopping criteria----------sc=0.001;
%----memulai iterasi------------for iterasi=1:itermax
smtr1=0;
for j=2:n
smtr1=smtr1+A(1,j)*xl(j,1);
end
xb(1,1)=(-smtr1+b(1,1))/A(1,1);
%---------------------------------------------for i=2:n-1
smtr2=0;
for j=i+1:n
smtr2=smtr2-A(i,j)*xl(j,1);
end
smtr3=0;
for k=1:i-1
smtr3=smtr3-A(i,k)*xb(k,1);
end
xb(i,1)=(smtr3+smtr2+b(i,1))/A(i,i);
end
%---------------------------------------------smtr4=0;
for k=1:n-1
smtr4=smtr4-A(n,k)*xb(k,1);
end
xb(n,1)=(smtr4+b(n,1))/A(n,n);
BAB 7. DIFERENSIAL NUMERIK
132
%------perhitungan norm2 ------------s=0;
for i=1:n
s=s+(xb(i,1)-xl(i,1))^2;
end
epsilon=sqrt(s);
%------------------------------------xl=xb;
%------memeriksa stopping criteria-------if epsilon<sc
w=xb
break
end
%-----------------------------------------
49
50
51
52
53
54
55
56
57
58
59
60
61
62
63
end
Tabel berikut memperlihatkan hasil pemrosesan dengan metode Eliminasi Gauss (disingkat:
EG) dan iterasi Gauss-Seidel (disingkat: GS)
w1,3
w2,3
w3,3
w1,2
w2,2
w3,2
w1,1
w2,1
w3,1
EG 18.7500 37.5000 56.2500 12.5000 25.0000 37.5000 6.2500 12.5000 18.7500
GS
18.7497 37.4997 56.2498 12.4997 24.9997 37.4998 6.2498 12.4998 18.7499
Inilah solusi yang ditawarkan oleh Finite-Difference. Kalau diamati dengan teliti, angkaangka distribusi temperatur pada 9 buah mesh points memang logis dan masuk akal. Dalam
kondisi riil, mungkin kondisi seperti ini hanya bisa terjadi bila lempengan logam tersebut terbuat dari bahan yang homogen.
Hasil EG dan GS memang berbeda, walaupun perbedaannya tidak significant. Namun perlu saya tegaskan disini bahwa jika sistem persamaan linear yang diperoleh dari Finite Difference berorde 100 atau kurang dari itu, maka lebih baik memilih metode Eliminasi Gauss
sebagai langkah penyelesaian akhir. Alasannya karena, direct method seperti eliminasi Gauss,
lebih stabil dibandingkan metode iterasi. Tapi jika orde-nya lebih dari 100, disarankan memilih
metode iterasi seperti iterasi Gauss-Seidel, atau menggunakan metode SOR yang terbukti lebih
efisien dibanding Gauss-Seidel. Jika matrik A bersifat positive definite, metode Court Factorization adalah pilihan yg paling tepat karena metode ini sangat efisien sehingga bisa menghemat
memori komputer.
7.5.3 Contoh kedua
Diketahui persamaan poisson sebagai berikut
∂2u
∂2u
(x,
y)
+
(x, y) = xey ,
∂x2
∂y 2
0 < x < 2,
0 < y < 1,
7.6. PDP PARABOLIK
133
dengan syarat batas
u (0, y) = 0,
u (2, y) = 2ey ,
0 ≤ y ≤ 1,
u (x, 0) = x,
u (x, 1) = ex,
0 ≤ x ≤ 2,
Solusi numerik dihitung dengan pendekatan finite-difference gauss-seidel dimana batas toleransi kesalahan ditentukan
(l)
(l−1)
wij − wij
7.6
≤ 10−10
PDP parabolik
PDP parabolik yang kita pelajari disini adalah persamaan difusi
∂2u
∂u
(x, t) = α2 2 (x, t),
∂t
∂x
0 < x < ℓ,
t > 0,
(7.42)
yang berlaku pada kondisi
u(0, t) = u(ℓ, t) = 0,
t > 0,
dan
u(x, 0) = f (x),
0 ≤ x ≤ ℓ,
dimana t dalam dimensi waktu, sementara x berdimensi jarak.
7.6.1 Metode Forward-difference
Solusi numerik diperoleh menggunakan forward-difference2 dengan langkah-langkah yang
hampir mirip seperti yang telah dibahas pada PDP eliptik. Langkah pertama adalah menentukan sebuah angka m > 0, yang dengannya, nilai h ditentukan oleh rumus h = ℓ/m. Langkah
kedua adalah menentukan ukuran time-step k dimana k > 0. Adapun mesh points ditentukan
oleh (xi , tj ), dimana xi = ih, dengan i = 0, 1, 2, ..., m, dan tj = jk dengan j = 0, 1, ....
Berdasarkan deret Taylor, turunan pertama persamaan (7.42) terhadap t, dengan time step
k, adalah
u (xi , tj + k) − u (xi , tj ) k ∂ 2 u
∂u
(xi , tj ) =
−
(xi , µj )
∂t
k
2 ∂t2
(7.43)
Namun, sebagaimana pendekatan finite-difference pada umumnya, pendekatan forward-difference
selalu mengabaikan suku terakhir, sehingga persamaan di atas ditulis seperti ini
u (xi , tj + k) − u (xi , tj )
∂u
(xi , tj ) =
∂t
k
2
(7.44)
Pada Bab ini ada beberapa istilah yang masing-masing menggunakan kata difference, yaitu finite difference, forward difference, centered difference dan backward difference. Setiap istilah punya arti yang berbeda.
BAB 7. DIFERENSIAL NUMERIK
134
Sementara itu, turunan kedua persamaan (7.42) terhadap x berdasarkan deret Taylor adalah
u (xi + h, tJ ) − 2u (xi , tj ) + u (xi − h, tJ ) h2 ∂ 4 u
∂2u
(x
,
t
)
=
−
(ξi , tj )
i
j
∂x2
h2
12 ∂x4
(7.45)
Pengabaian suku terakhir menjadikan persamaan di atas ditulis kembali sebagai berikut
u (xi + h, tj ) − 2u (xi , tj ) + u (xi − h, tj )
∂2u
(xi , tj ) =
2
∂x
h2
(7.46)
Kemudian persamaan (7.44) dan (7.46) disubstitusi kedalam persamaan (7.42), maka diperoleh
u (xi , tj + k) − u (xi , tj )
u (xi + h, tj ) − 2u (xi , tj ) + u (xi − h, tj )
= α2
k
h2
(7.47)
atau dapat dinyatakan dalam notasi w
wi+1,j − 2wi,j + wi−1,j
wi,j+1 − wi,j
− α2
=0
k
h2
(7.48)
Dari sini diperoleh solusi untuk wi,j+1 , yaitu
wi,j+1 =
2α2 k
1− 2
h
wi,j + α2
k
(wi+1,j + wi−1,j )
h2
(7.49)
jika
λ=
α2 k
h2
(7.50)
maka
(1 − 2λ) wi,j + λwi+1,j + λwi−1,j = wi,j+1
(7.51)
7.6.2 Contoh ketiga: One dimensional heat equation
Misalnya diketahui, distribusi panas satu dimensi (1D) sebagai fungsi waktu (t) pada sebatang
logam memenuhi persamaan berikut
∂u
∂2u
(x, t) − 2 (x, t) = 0,
∂t
∂x
0 < x < 1 0 ≤ t,
dengan syarat batas
u(0, t) = u(1, t) = 0,
0 < t,
dan kondisi mula-mula
u(x, 0) = sin(πx),
0 ≤ x ≤ 1,
Solusi analitik atas masalah ini adalah
2
u(x, t) = e−π t sin(πx)
Adapun sebaran posisi mesh-points dalam 1-D diperlihatkan pada Gambar 7.9. Sementara
7.6. PDP PARABOLIK
135
h=0.1
Gambar 7.9: Sebatang logam dengan posisi titik-titik simulasi (mesh-points) distribusi temperatur. Jarak
antar titik ditentukan sebesar h = 0, 1.
Gambar 7.10 melengkapi Gambar 7.9, dimana perubahan waktu tercatat setiap interval k =
0, 0005. Sepintas Gambar 7.10 terlihat seolah-olah obyek yang mau disimulasikan berbentuk
2-dimensi, padahal bendanya tetap 1-dimensi yaitu hanya sebatang logam.
t
0.0.....
k=0.0005
1 x
0
h=0.1
Gambar 7.10: Interval mesh-points dengan jarak h = 0, 1 dalam interval waktu k = 0, 0005
Selanjutnya, Gambar 7.11 memperlihatkan tepi-tepi syarat batas yaitu angka 0 di ujung
kiri dan angka 1 di ujung kanan pada sumbu horisontal x. Diantara batas-batas itu terdapat
sebaran titik simulasi berjarak h = 0, 1. Sementara, sumbu vertikal menunjukan perubahan
dari waktu ke waktu dengan interval k = 0, 0005. Karena α = 1, h = 0, 1 dan k = 0, 0005 maka
t
0.0.....
0.0015
0.0010
0.0005
0
0.1
0.2
0.3
0.4
0.5
0.6
0.7
0.8
0.9
1 x
Gambar 7.11: Posisi mesh-points. Arah x menunjukkan posisi titik-titik yang dihitung dengan forwarddifference, sedangkan arah t menunjukkan perubahan waktu yg makin meningkat
λ dapat dihitung dengan persamaan (7.50)
λ=
α2 k
0, 1
=
= 0, 05
2
h
0, 00052
BAB 7. DIFERENSIAL NUMERIK
136
Berdasarkan persamaan (7.51), sistem persamaan linear dapat disusun sebagai berikut
0, 9w1,j + 0, 5w2,j
= w1,j+1 − 0, 5w0,j
0, 9w2,j + 0, 5w3,j + 0, 5w1,j
= w2,j+1
0, 9w3,j + 0, 5w4,j + 0, 5w2,j
= w3,j+1
0, 9w4,j + 0, 5w5,j + 0, 5w3,j
= w4,j+1
0, 9w5,j + 0, 5w6,j + 0, 5w4,j
= w5,j+1
0, 9w6,j + 0, 5w7,j + 0, 5w5,j
= w6,j+1
0, 9w7,j + 0, 5w8,j + 0, 5w6,j
= w7,j+1
0, 9w8,j + 0, 5w9,j + 0, 5w7,j
= w8,j+1
0, 9w9,j + 0, 5w8,j
= w9,j+1 − 0, 5w10,j
Syarat batas menetapkan bahwa w0,j = w10,j = 0. Lalu dinyatakan dalam bentuk operasi
matrik
0, 9 0, 5
0
0, 5 0, 9 0, 5
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0, 5 0, 9 0, 5 0
0
0
0
0
0 0, 5 0, 9 0, 5 0
0
0
0
0
0 0, 5 0, 9 0, 5 0
0
0
0
0
0 0, 5 0, 9 0, 5 0
0
0
0
0
0 0, 5 0, 9 0, 5 0
0
0
0
0
0 0, 5 0, 9 0, 5
0
0
0
0
0
0 0, 5 0, 9
w1,j
w2,j
w3,j
w4,j
w5,j
=
w6,j
w7,j
w8,j
w9,j
w1,j+1
w2,j+1
w3,j+1
w4,j+1
w5,j+1
w6,j+1
w7,j+1
w8,j+1
w9,j+1
(7.52)
Persamaan matriks di atas dapat direpresentasikan sebagai
Aw(j) = w(j+1)
(7.53)
Proses perhitungan dimulai dari j = 0. Persamaan matrik menjadi
0, 9 0, 5
0
0, 5 0, 9 0, 5
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0, 5 0, 9 0, 5 0
0
0
0
0
0 0, 5 0, 9 0, 5 0
0
0
0
0
0 0, 5 0, 9 0, 5 0
0
0
0
0
0 0, 5 0, 9 0, 5 0
0
0
0
0
0 0, 5 0, 9 0, 5 0
0
0
0
0
0 0, 5 0, 9 0, 5
0
0
0
0
0
0 0, 5 0, 9
w1,0
w2,0
w3,0
w4,0
w5,0
=
w6,0
w7,0
w8,0
w9,0
w1,1
w2,1
w3,1
w4,1
w5,1
w6,1
w7,1
w8,1
w9,1
7.6. PDP PARABOLIK
137
Nilai w1,0 , w2,0 , ..., w9,0 sudah ditentukan oleh kondisi awal, yaitu
u(x, 0) = sin πx,
0 ≤ x ≤ 1,
Jika h = 0, 1, maka x1 = h = 0, 1; x2 = 2h = 0, 2; x3 = 3h = 0, 3;....; x9 = 9h = 0, 9.
Lalu masing-masing dimasukkan ke sin πx untuk mendapatkan nilai u(x, 0). Kemudian notasi
u(x, 0) diganti dengan notasi w yang selanjutnya dinyatakan sebagai berikut: w1,0 = u(x1 , 0) =
u(0.1, 0) = sin π(0.1) = 0, 3090. Dengan cara yang sama: w2,0 = 0, 5878; w3,0 = 0, 8090; w4,0 =
0, 9511; w5,0 = 1, 0000; w6,0 = 0, 9511; w7,0 = 0, 8090; w8,0 = 0, 5878; dan w9,0 = 0, 3090. Maka
persamaan matriks menjadi
0, 9 0, 5
0
0, 5 0, 9 0, 5
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0, 5 0, 9 0, 5 0
0
0
0
0
0 0, 5 0, 9 0, 5 0
0
0
0
0
0 0, 5 0, 9 0, 5 0
0
0
0
0
0 0, 5 0, 9 0, 5 0
0
0
0
0
0 0, 5 0, 9 0, 5 0
0
0
0
0
0 0, 5 0, 9 0, 5
0
0
0
0
0
0 0, 5 0, 9
0, 3090
0, 5878
0, 8090
0, 9511
1, 0000
=
0, 9511
0, 8090
0, 5878
0, 3090
w1,1
w2,1
w3,1
w4,1
w5,1
w6,1
w7,1
w8,1
w9,1
Ini hanya perkalian matrik biasa 3 . Hasil perkalian itu adalah: w1,1 = 0, 3075; w2,1 = 0, 5849;
w3,1 = 0, 8051; w4,1 = 0, 9464; w5,1 = 0, 9951; w6,1 = 0, 9464; w7,1 = 0, 8051; w8,1 = 0, 5849; dan
w9,1 = 0, 3075. Semua angka ini adalah nilai temperatur kawat di masing-masing mesh points
setelah selang waktu 0, 0005 detik4 .
Selanjutnya, hasil ini diumpankan lagi ke persamaan matriks yang sama untuk mendapatkan wx,2
0, 9 0, 5
0
0, 5 0, 9 0, 5
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0, 5 0, 9 0, 5 0
0
0
0
0
0 0, 5 0, 9 0, 5 0
0
0
0
0
0 0, 5 0, 9 0, 5 0
0
0
0
0
0 0, 5 0, 9 0, 5 0
0
0
0
0
0 0, 5 0, 9 0, 5 0
0
0
0
0
0 0, 5 0, 9 0, 5
0
0
0
0
0
0 0, 5 0, 9
0, 3075
0, 5849
0, 8051
0, 9464
0, 9951
=
0, 9464
0, 8051
0, 5849
0, 3075
w1,2
w2,2
w3,2
w4,2
w5,2
w6,2
w7,2
w8,2
w9,2
Perhitungan dengan cara seperti ini diulang-ulang sampai mencapai waktu maksimum. Jika
waktu maksimum adalah T = 0, 5 detik, berarti mesti dilakukan 1000 kali iterasi5 . Untuk
3
Topik tentang perkalian matrik sudah diulas pada Bab 1
karena step time k-nya sudah ditentukan sebesar 0, 0005
5
cara menghitung jumlah iterasi: T /k = 0, 5/0, 0005 = 1000
4
BAB 7. DIFERENSIAL NUMERIK
138
sampai 1000 kali, maka indeks j bergerak dari 1 sampai 1000. Dengan bantuan script Matlab,
proses perhitungan menjadi sangat singkat.
7.6.2.1 Script Forward-Difference
Script matlab Forward-Difference untuk menyelesaikan contoh masalah ini, dimana h = 0, 1 dan
k = 0, 0005
1
2
clear all
clc
3
4
5
6
7
8
n=9;
alpha=1.0;
k=0.0005;
h=0.1;
lambda=(alpha^2)*k/(h^2);
9
10
11
12
13
% Kondisi awal
for i=1:n
suhu(i)=sin(pi*i*0.1);
end
14
15
16
17
18
%Mengcopy kondisi awal ke w
for i=1:n
w0(i,1)=suhu(i);
end
19
20
21
22
23
24
25
26
27
28
A=[ (1-2*lambda) lambda
0 0 0 0 0 0 0;
lambda (1-2*lambda) lambda 0 0 0 0 0 0;
0 lambda (1-2*lambda) lambda 0 0 0 0 0 ;
0 0 lambda (1-2*lambda) lambda 0 0 0 0;
0 0 0 lambda (1-2*lambda) lambda 0 0 0;
0 0 0 0 lambda (1-2*lambda) lambda 0 0;
0 0 0 0 0 lambda (1-2*lambda) lambda 0 ;
0 0 0 0 0 0 lambda (1-2*lambda) lambda ;
0 0 0 0 0 0 0 lambda (1-2*lambda) ];
29
30
31
32
33
34
35
36
iterasi=1000;
for k=1:iterasi
disp(’perkalian matriks’)
%======================================
for i=1:n
w(i,1)=0.0;
end
37
for i=1:n
for j=1:n
w(i,1)=w(i,1)+A(i,j)*w0(j,1);
end
end
%====================================
w
w0=w;
38
39
40
41
42
43
44
45
46
end
7.6. PDP PARABOLIK
139
Tabel 7.4 memperlihatkan hasil perhitungan yang diulang-ulang hingga 1000 kali. Tabel tersebut juga menunjukkan hasil perbandingan antara pemilihan nilai interval k = 0, 0005 dan
k = 0, 01. Tabel ini menginformasikan satu hal penting, yaitu pada saat interval k = 0, 0005,
forward-difference berhasil mencapai konvergensi yang sangat baik. Namun pada saat interval
k = 0.01, dengan jumlah iterasi hanya 50 kali untuk mencapai time maksimum 0, 5 detik, terlihat jelas hasil forward-difference tidak konvergen (Bandingkan kolom ke-4 dan kolom ke-6!),
dan ini dianggap bermasalah. Masalah ini bisa diatasi dengan metode backward-difference.
Tabel 7.4: Hasil simulasi distribusi panas bergantung waktu dalam 1-dimensi. Kolom ke-2 adalah
solusi analitik/exact, kolom ke-3 dan ke-5 adalah solusi numerik forward-difference. Kolom ke-4 dan
ke-6 adalah selisih antara solusi analitik dan numerik
xi
0,0
0,1
0,2
0,3
0,4
0,5
0,6
0,7
0,8
0,9
1,0
u(xi , 0.5)
0
0,00222241
0,00422728
0,00581836
0,00683989
0,00719188
0,00683989
0,00581836
0,00422728
0,00222241
0
wi,1000
k = 0, 0005
0
0,00228652
0,00434922
0,00598619
0,00703719
0,00739934
0,00703719
0,00598619
0,00434922
0,00228652
0
|u(xi , 0.5) − wi,1000 |
6, 411 × 10−5
1, 219 × 10−4
1, 678 × 10−4
1, 973 × 10−4
2, 075 × 10−4
1, 973 × 10−4
1, 678 × 10−4
1, 219 × 10−4
6, 511 × 10−5
wi,50
k = 0, 01
0
8, 19876 × 107
−1, 55719 × 108
2, 13833 × 108
−2, 50642 × 108
2, 62685 × 108
−2, 49015 × 108
2, 11200 × 108
−1, 53086 × 108
8, 03604 × 107
0
|u(xi , 0.5) − wi,50 |
8, 199 × 107
1, 557 × 108
2, 138 × 108
2, 506 × 108
2, 627 × 108
2, 490 × 108
2, 112 × 108
1, 531 × 108
8, 036 × 107
7.6.3 Metode Backward-difference
Kalau kita ulang lagi pelajaran yang lalu tentang forward-difference, kita akan dapatkan formula
forward-difference adalah sebagai berikut (lihat persamaan (7.48))
wi,j+1 − wi,j
wi+1,j − 2wi,j + wi−1,j
− α2
=0
k
h2
Sekarang, dengan sedikit modifikasi, formula backward-difference dinyatakan sebagai
wi,j − wi,j−1
wi+1,j − 2wi,j + wi−1,j
− α2
=0
k
h2
(7.54)
jika ditetapkan
λ=
α2 k
h2
maka backward-difference disederhanakan menjadi
(1 + 2λ) wi,j − λwi+1,j − λwi−1,j = wi,j−1
(7.55)
BAB 7. DIFERENSIAL NUMERIK
140
coba sejenak anda bandingkan dengan formula forward-difference dalam λ sebagaimana dinyatakan oleh persamaan (7.51)
(1 − 2λ) wi,j + λwi+1,j + λwi−1,j = wi,j+1
O.K., mari kita kembali ke contoh soal kita yang tadi, dimana ada perubahan nilai k yang
semula k = 0, 0005 menjadi k = 0, 01. Sementara α dan h nilainya tetap. Maka λ dapat
dihitung dengan persamaan (7.50) kembali
λ=
0, 1
α2 k
=
=1
2
h
0, 012
Berdasarkan persamaan (7.55), sistem persamaan linear mengalami sedikit perubahan
3w1,j − 1w2,j
= w1,j−1 + 1w0,j
3w2,j − 1w3,j − 1w1,j
= w2,j−1
3w3,j − 1w4,j − 1w2,j
= w3,j−1
3w4,j − 1w5,j − 1w3,j
= w4,j−1
3w5,j − 1w6,j − 1w4,j
= w5,j−1
3w6,j − 1w7,j − 1w5,j
= w6,j−1
3w7,j − 1w8,j − 1w6,j
= w7,j−1
3w8,j − 1w9,j − 1w7,j
= w8,j−1
3w9,j − 1w8,j
= w9,j−1 + 1w10,j
Syarat batas masih sama, yaitu w0,j = w10,j = 0. Lalu jika dinyatakan dalam bentuk operasi
matrik
3
−1
0
0
0
0
0
0
0
−1
3
0
0
0
0
0
0
−1
0
0
0
0
0
0
0
−1 3 −1 0
0
0
0
0
0 −1 3 −1 0
0
0
0
0
0 −1 3 −1 0
0
0
0
0
0 −1 3 −1 0
0
0
0
0
0 −1 3 −1 0
0
0
0
0
0 −1 3 −1
0
0
0
0
0
0 −1 3
w1,j
w2,j
w3,j
w4,j
w5,j
=
w6,j
w7,j
w8,j
w9,j
w1,j−1
w2,j−1
w3,j−1
w4,j−1
w5,j−1
w6,j−1
w7,j−1
w8,j−1
w9,j−1
Persamaan matriks di atas dapat direpresentasikan sebagai
Aw(j) = w(j−1)
(7.56)
7.6. PDP PARABOLIK
141
Perhitungan dimulai dari iterasi pertama, dimana j = 1
3
−1
0
0
0
0
0
0
0
−1
3
0
0
0
0
0
0
−1
0
0
0
0
0
0
0
−1 3 −1 0
0
0
0
0
0 −1 3 −1 0
0
0
0
0
0 −1 3 −1 0
0
0
0
0
0 −1 3 −1 0
0
0
0
0
0 −1 3 −1 0
0
0
0
0
0 −1 3 −1
0
0
0
0
0
0 −1 3
w1,1
w2,1
w3,1
w4,1
w5,1
=
w6,1
w7,1
w8,1
w9,1
w1,0
w2,0
w3,0
w4,0
w5,0
w6,0
w7,0
w8,0
w9,0
Dengan memasukan kondisi awal, ruas kanan menjadi
3
−1
0
0
0
0
0
0
0
−1
3
0
0
0
0
0
0
−1
0
0
0
0
0
0
0
−1 3 −1 0
0
0
0
0
0 −1 3 −1 0
0
0
0
0
0 −1 3 −1 0
0
0
0
0
0 −1 3 −1 0
0
0
0
0
0 −1 3 −1 0
0
0
0
0
0 −1 3 −1
0
0
0
0
0
0 −1 3
w1,1
w2,1
w3,1
w4,1
w5,1
=
w6,1
w7,1
w8,1
w9,1
0, 3090
0, 5878
0, 8090
0, 9511
1, 0000
0, 9511
0, 8090
0, 5878
0, 3090
Berbeda dengan operasi matrik forward difference, operasi matrik backward difference ini bukan
perkalian matrik biasa. Operasi matrik tersebut akan dipecahkan oleh metode Eliminasi Gauss6 .
Untuk jumlah iterasi hingga j = 50, perhitungannya dilakukan dalam script Matlab.
7.6.3.1 Script Backward-Difference dengan Eliminasi Gauss
1
2
clear all
clc
3
4
5
6
7
8
n=9;
alpha=1.0;
k=0.01;
h=0.1;
lambda=(alpha^2)*k/(h^2);
9
10
11
12
13
%Kondisi awal
for i=1:n
suhu(i)=sin(pi*i*0.1);
end
14
15
16
%Mengcopy kondisi awal ke w
for i=1:n
6
Uraian tentang metode Eliminasi Gauss tersedia di Bab 2
BAB 7. DIFERENSIAL NUMERIK
142
w0(i,1)=suhu(i);
17
18
end
19
20
21
22
23
24
25
26
27
28
AA=[ (1+2*lambda) -lambda
0 0 0 0 0 0 0;
-lambda (1+2*lambda) -lambda 0 0 0 0 0
0 -lambda (1+2*lambda) -lambda 0 0 0 0 0 ;
0 0 -lambda (1+2*lambda) -lambda 0 0 0 0;
0 0 0 -lambda (1+2*lambda) -lambda 0 0 0;
0 0 0 0 -lambda (1+2*lambda) -lambda 0 0;
0 0 0 0 0 -lambda (1+2*lambda) -lambda 0 ;
0 0 0 0 0 0 -lambda (1+2*lambda) -lambda ;
0 0 0 0 0 0 0 -lambda (1+2*lambda) ];
0;
29
30
31
32
33
iterasi=50;
for i=1:iterasi
%&&&&&& Proses Eliminasi Gauss &&&&&&&&&&&&&&&&&&&&&&&&&
A=AA; %Matriks Backward Difference dicopy supaya fix
34
for i=1:n
A(i,n+1)=w0(i,1);
end
35
36
37
38
%---------Proses Triangularisasi----------for j=1:(n-1)
39
40
41
%----mulai proses pivot--if (A(j,j)==0)
for p=1:n+1
u=A(j,p);
v=A(j+1,p);
A(j+1,p)=u;
A(j,p)=v;
end
42
43
44
45
46
47
48
49
end
50
%----akhir proses pivot--jj=j+1;
for i=jj:n
m=A(i,j)/A(j,j);
for k=1:(n+1)
A(i,k)=A(i,k)-(m*A(j,k));
end
end
51
52
53
54
55
56
57
58
end
%-------------------------------------------
59
60
61
%------Proses Substitusi mundur------------w(n,1)=A(n,n+1)/A(n,n);
62
63
64
for i=n-1:-1:1
S=0;
for j=n:-1:i+1
S=S+A(i,j)*w(j,1);
end
w(i,1)=(A(i,n+1)-S)/A(i,i);
end
%&&&&&&&&&&&&&&&&&&&&&&&&&&&&&&&&&&&&&&&&&&&&&&&&&&&&&
65
66
67
68
69
70
71
72
w0=w;
73
74
75
end
w
7.6. PDP PARABOLIK
143
Hasilnya menunjukkan bahwa kinerja metode backward-difference lebih baik dibanding metode
forward-difference, ini ditunjukkan dari selisih yang relatif kecil antara solusi numerik dan solusi
analitik, sebagaimana bisa terlihat dari kolom ke-4 pada tabel berikut
Tabel 7.5: Hasil simulasi distribusi panas bergantung waktu dalam 1-dimensi dengan metode backwarddifference dimana k = 0, 01
xi
0,0
0,1
0,2
0,3
0,4
0,5
0,6
0,7
0,8
0,9
1,0
u(xi , 0.5)
0
0,00222241
0,00422728
0,00581836
0,00683989
0,00719188
0,00683989
0,00581836
0,00422728
0,00222241
0
wi,50
0
0,00289802
0,00551236
0,00758711
0,00891918
0,00937818
0,00891918
0,00758711
0,00551236
0,00289802
0
|u(xi , 0.5) − wi,50 |
6, 756 × 10−4
1, 285 × 10−3
1, 769 × 10−3
2, 079 × 10−3
2, 186 × 10−3
2, 079 × 10−3
1, 769 × 10−3
1, 285 × 10−3
6, 756 × 10−4
7.6.4 Metode Crank-Nicolson
Metode ini dimunculkan disini karena metode ini memiliki performa yang lebih unggul dari
dua metode sebelumnya. Namun begitu pondasi metode Crank-Nicolson terdiri atas metode
Forward-Difference dan metode Backward-Difference. Mari kita ulang lagi pelajaran yang sudah
kita lewati. Formula Forward-Difference adalah
wi,j+1 − wi,j
wi+1,j − 2wi,j + wi−1,j
− α2
=0
k
h2
sedangkan Backward-Difference adalah
wi+1,j − 2wi,j + wi−1,j
wi,j − wi,j−1
− α2
=0
k
h2
Ketika Backward-Difference berada pada iterasi ke j + 1, maka
wi,j+1 − wi,j
wi+1,j+1 − 2wi,j+1 + wi−1,j+1
− α2
=0
k
h2
(7.57)
Jika formula ini dijumlahkan dengan formula forward-difference, kemudian hasilnya dibagi 2,
maka akan diperoleh
wi+1,j+1 − 2wi,j+1 + wi−1,j+1
wi,j+1 − wi,j
α2 wi+1,j − 2wi,j + wi−1,j
−
+
=0
k
2
h2
h2
(7.58)
BAB 7. DIFERENSIAL NUMERIK
144
inilah formula Crank-Nicolson. Adapun λ tetap dinyatakan sebagai
λ=
α2 k
h2
maka
wi,j+1 − wi,j −
wi,j+1 − wi,j −
λ
[wi+1,j − 2wi,j + wi−1,j + wi+1,j+1 − 2wi,j+1 + wi−1,j+1 ] = 0
2
λ
λ
λ
λ
wi+1,j + λwi,j − wi−1,j − wi+1,j+1 + λwi,j+1 − wi−1,j+1 = 0
2
2
2
2
λ
λ
λ
λ
− wi−1,j+1 + wi,j+1 + λwi,j+1 − wi+1,j+1 − wi−1,j − wi,j + λwi,j − wi+1,j = 0
2
2
2
2
λ
λ
λ
λ
− wi−1,j+1 + wi,j+1 + λwi,j+1 − wi+1,j+1 = wi−1,j + wi,j − λwi,j + wi+1,j
2
2
2
2
dan akhirnya
λ
λ
λ
λ
− wi−1,j+1 + (1 + λ)wi,j+1 − wi+1,j+1 = wi−1,j + (1 − λ)wi,j + wi+1,j
2
2
2
2
(7.59)
Dalam bentuk persamaan matrik dinyatakan sebagai
Aw(j+1) = Bw(j) ,
untuk j = 0, 1, 2, ...
(7.60)
Dengan menggunakan contoh soal yang sama, yang sebelumnya telah diselesaikan dengan
metode Forward-Difference dan Backward-Difference, maka penyelesaian soal tersebut dengan
metode Crank-Nicolson juga akan didemonstrasikan di sini. Dengan nilai k = 0, 01; h = 0, 1;
λ = 1 dan berdasarkan persamaan (7.59) diperoleh
−0, 5wi−1,j+1 + 2wi,j+1 − 0, 5wi+1,j+1 = 0, 5wi−1,j + 0wi,j + 0, 5wi+1,j
Script Matlab untuk menyelesaikan persamaan ini adalah
1
2
clear all
clc
3
4
5
6
7
8
9
n=9;
iterasi=50;
alpha=1.0;
k=0.01;
h=0.1;
lambda=(alpha^2)*k/(h^2);
10
11
12
13
14
%Kondisi awal
for i=1:n
suhu(i)=sin(pi*i*0.1);
end
15
16
17
18
%Mengcopy kondisi awal ke w
for i=1:n
w0(i,1)=suhu(i);
7.6. PDP PARABOLIK
19
end
20
21
22
23
24
25
26
27
28
29
AA=[(1+lambda) -lambda/2 0 0 0 0 0 0 0;
-lambda/2 (1+lambda) -lambda/2 0 0 0 0 0 0;
0 -lambda/2 (1+lambda) -lambda/2 0 0 0 0 0;
0 0 -lambda/2 (1+lambda) -lambda/2 0 0 0 0;
0 0 0 -lambda/2 (1+lambda) -lambda/2 0 0 0;
0 0 0 0 -lambda/2 (1+lambda) -lambda/2 0 0;
0 0 0 0 0 -lambda/2 (1+lambda) -lambda/2 0;
0 0 0 0 0 0 -lambda/2 (1+lambda) -lambda/2;
0 0 0 0 0 0 0 -lambda/2 (1+lambda)];
30
31
32
33
34
35
36
37
38
39
B=[(1-lambda) lambda/2 0 0 0 0 0 0 0;
lambda/2 (1-lambda) lambda/2 0 0 0 0 0 0;
0 lambda/2 (1-lambda) lambda/2 0 0 0 0 0;
0 0 lambda/2 (1-lambda) lambda/2 0 0 0 0;
0 0 0 lambda/2 (1-lambda) lambda/2 0 0 0;
0 0 0 0 lambda/2 (1-lambda) lambda/2 0 0;
0 0 0 0 0 lambda/2 (1-lambda) lambda/2 0;
0 0 0 0 0 0 lambda/2 (1-lambda) lambda/2;
0 0 0 0 0 0 0 lambda/2 (1-lambda)];
40
41
42
iterasi=50;
for iter=1:iterasi
43
44
45
46
47
48
49
50
51
52
53
%===perkalian matriks===================
for i=1:n
b(i,1)=0.0;
end
for i=1:n
for j=1:n
b(i,1)=b(i,1)+B(i,j)*w0(j,1);
end
end
%======================================
54
55
56
%&&&&&& Proses Eliminasi Gauss &&&&&&&&&&&&&&&&&&&&&&&&&
A=AA; %Matriks Backward Difference dicopy supaya fix
57
58
59
60
for i=1:n
A(i,n+1)=b(i,1);
end
61
62
63
%---------Proses Triangularisasi----------for j=1:(n-1)
64
%----mulai proses pivot--if (A(j,j)==0)
for p=1:n+1
u=A(j,p);
v=A(j+1,p);
A(j+1,p)=u;
A(j,p)=v;
end
65
66
67
68
69
70
71
72
73
74
75
76
77
end
%----akhir proses pivot--jj=j+1;
for i=jj:n
m=A(i,j)/A(j,j);
145
BAB 7. DIFERENSIAL NUMERIK
146
for k=1:(n+1)
A(i,k)=A(i,k)-(m*A(j,k));
end
78
79
80
end
end
%-------------------------------------------
81
82
83
84
%------Proses Substitusi mundur------------w(n,1)=A(n,n+1)/A(n,n);
85
86
87
for i=n-1:-1:1
S=0;
for j=n:-1:i+1
S=S+A(i,j)*w(j,1);
end
w(i,1)=(A(i,n+1)-S)/A(i,i);
end
%&&&&&&&&&&&&&&&&&&&&&&&&&&&&&&&&&&&&&&&&&&&&&&&&&&&&&
88
89
90
91
92
93
94
95
96
97
98
99
w0=w;
end
iter
w
Tabel 7.6: Hasil simulasi distribusi panas bergantung waktu (t) dalam 1-dimensi dengan
metode backward-difference dan Crank-Nicolson
BD
CN
Backward-Diff
Crank-Nicolson
xi
u(xi , 0.5)
wi,50
wi,50
|u(xi , 0.5) − wi,50 | |u(xi , 0.5) − wi,50 |
0,0
0
0
0
0,1 0,00222241 0,00289802 0,00230512
6, 756 × 10−4
8, 271 × 10−5
0,2 0,00422728 0,00551236 0,00438461
1, 285 × 10−3
1, 573 × 10−4
−3
0,3 0,00581836 0,00758711 0,00603489
1, 769 × 10
2, 165 × 10−4
−3
0,4 0,00683989 0,00891918 0,00709444
2, 079 × 10
2, 546 × 10−4
0,5 0,00719188 0,00937818 0,00745954
2, 186 × 10−3
2, 677 × 10−4
−3
0,6 0,00683989 0,00891918 0,00709444
2, 079 × 10
2, 546 × 10−4
0,7 0,00581836 0,00758711 0,00603489
1, 769 × 10−3
2, 165 × 10−4
−3
0,8 0,00422728 0,00551236 0,00438461
1, 285 × 10
1, 573 × 10−4
−4
0,9 0,00222241 0,00289802 0,00230512
6, 756 × 10
8, 271 × 10−5
1,0
0
0
0
Terlihat disini bahwa orde kesalahan metode Crank-Nicolson (kolom ke-6) sedikit lebih kecil dibandingkan metode Backward-Difference (kolom ke-5). Ini menunjukkan tingkat akurasi
Crank-Nicolson lebih tinggi dibandingkan Backward-Difference.
7.7
PDP Hiperbolik
Pada bagian ini, kita akan membahas solusi numerik untuk persamaan gelombang yang merupakan salah satu contoh PDP hiperbolik. Persamaan gelombang dinyatakan dalam persamaan
diferensial sebagai berikut
2
∂2u
2∂ u
(x,
t)
−
α
(x, t) = 0,
∂t2
∂x2
0 < x < ℓ,
t>0
(7.61)
7.7. PDP HIPERBOLIK
147
dengan suatu kondisi
u (0, t) = u (ℓ, t) = 0,
u (x, 0) = f (x) ,
dan
untuk t > 0,
∂u
(x, 0) = g (x) ,
∂t
untuk
0≤x≤ℓ
dimana α adalah konstanta. Kita tentukan ukuran time-step sebesar k, jarak tiap mesh point
adalah h.
xi = ih dan tj = jk
dengan i = 0, 1, ..., m dan j = 0, 1, .... Pada bagian interior, posisi mesh points ditentukan oleh
koordinat (xi , tj ), karenanya persamaan gelombang ditulis menjadi
2
∂2u
2∂ u
(x
,
t
)
−
α
(xi , tj ) = 0
i j
∂t2
∂x2
(7.62)
Formula centered-difference digunakan sebagai pendekatan numerik persamaan gelombang pada tiap-tiap suku. Untuk turunan kedua terhadap t
u (xi , tj+1 ) − 2u (xi , tj ) + u (xi , tj−1 )
∂2u
(xi , tj ) =
2
∂t
k2
dan turunan kedua terhadap x
u (xi+1 , tj ) − 2u (xi , tj ) + u (xi−1 , tj )
∂2u
(xi , tj ) =
2
∂x
h2
Dengan mensubtitusikan kedua persamaan di atas kedalam persamaan (7.62)
u (xi+1 , tj ) − 2u (xi , tj ) + u (xi−1 , tj )
u (xi , tj+1 ) − 2u (xi , tj ) + u (xi , tj−1 )
− α2
=0
2
k
h2
maka dapat diturunkan formula finite-difference untuk PDP hiperbolik sebagai berikut
wi,j+1 − 2wi,j + wi,j−1
wi+1,j − 2wi,j + wi−1,j
− α2
=0
2
k
h2
(7.63)
Jika λ = αk/h, maka persamaan ini dapat ditulis kembali
wi,j+1 − 2wi,j + wi,j−1 − λ2 wi+1,j + 2λ2 wi,j − λ2 wi−1,j = 0
sehingga wi,j+1 selaku solusi numerik dapat dihitung dengan merubah sedikit suku-suku pada
formula di atas
wi,j+1 = 2 1 − λ2 wi,j + λ2 (wi+1,j + wi−1,j ) − wi,j−1
(7.64)
dengan i = 1, 2, ..., m − 1 dan j = 1, 2, .... Kondisi syarat batas ditentukan sebagai berikut
w0,j = wm,j = 0,
untuk j = 1, 2, 3, ...
(7.65)
BAB 7. DIFERENSIAL NUMERIK
148
sementara kondisi awal dinyatakan
wi,0 = f (xi ) ,
untuk
i = 1, 2, ..., m − 1
(7.66)
Berbeda dengan PDP eliptik dan PDP parabolik, pada PDP hiperbolik, untuk menghitung
mesh point (j + 1), diperlukan informasi mesh point (j) dan (j − 1). Hal ini sedikit menim-
bulkan masalah pada langkah/iterasi pertama karena nilai untuk j = 0 sudah ditentukan oleh
persamaan (7.66) sementara nilai untuk j = 1 untuk menghitung wi,2 , harus diperoleh lewat
kondisi kecepatan awal
∂u
(x, 0) = g (x) ,
∂t
0≤x≤ℓ
(7.67)
Salah satu cara pemecahan dengan pendekatan forward-difference adalah
∂u
u (xi , t1 ) − u (xi , 0)
(xi , 0) =
∂t
k
u (xi , t1 ) = u (xi , 0) + k
(7.68)
∂u
(xi , 0)
∂t
= u (xi , 0) + kg (xi )
konsekuensinya
wi,1 = wi,0 + kg(xi ),
untuk
i = 1, 2, ..., m − 1
(7.69)
7.7.1 Contoh
Tentukan solusi dari persamaan gelombang berikut ini
∂2u ∂2u
− 2 = 0,
∂t2
∂x
0 < x < 1,
0<t
dengan syarat batas
u (0, t) = u (ℓ, t) = 0,
untuk 0 < t,
dan kondisi mula-mula
u (x, 0) = sin πx,
∂u
= 0,
∂t
0≤x≤1
0≤x≤1
menggunakan metode finite-difference, dengan m = 4, N = 4, dan T = 1, 0. Bandingkan hasil
yang diperoleh dengan solusi analitik u(x, t) = cos πt sin πx.
Jika persamaan gelombang pada contoh soal ini dibandingkan dengan persamaan (7.61),
maka diketahui nilai α = 1 dan ℓ = 1. Dari sini, nilai h dapat dihitung, yaitu h = ℓ/m = 1/4 =
0, 25. Sementara nilai k diperoleh dari k = T /N = 1, 0/4 = 0, 25. Dengan diketahuinya nilai α,
h, dan k, maka λ dapat dihitung, yaitu λ = αk/h = 1. Selanjutnya, nilai λ ini dimasukkan ke
7.8. LATIHAN
149
persamaan (7.64)
wi,j+1 = 2 1 − λ2 wi,j + λ2 (wi+1,j + wi−1,j ) − wi,j−1
wi,j+1 = 2 1 − 12 wi,j + 12 (wi+1,j + wi−1,j ) − wi,j−1
wi,j+1 = 0wi,j + (wi+1,j + wi−1,j ) − wi,j−1
dimana i bergerak dari 0 sampai m, atau i = 0, 1, 2, 3, 4. Sementara j, bergerak dari 0 sampai
T /k = 4, atau j = 0, 1, 2, 3, 4.
Catatan kuliah baru sampai sini!!
7.8
Latihan
1. Carilah solusi persamaan differensial elliptik berikut ini dengan pendekatan numerik
menggunakan metode Finite Difference
∂2u ∂2u
+ 2 = (x2 + y 2 )exy ,
∂x2
∂y
0 < x < 2,
0 < y < 1;
gunakan h = 0, 2 dan k = 0, 1
u(2, y) = e2y ,
u(0, y) = 1,
0≤y≤1
x
u(x, 0) = 1,
u(x, 1) = e ,
0≤x≤2
Bandingkan hasilnya dengan solusi analitik u(x, t) = exy .
2. Carilah solusi persamaan differensial parabolik berikut ini dengan pendekatan numerik
menggunakan metode Finite Difference Backward-Difference
1 ∂2u
∂u
−
= 0,
∂t
16 ∂x2
0 < x < 1,
u(0, t) = u(1, t) = 0,
u(x, 0) = 2 sin 2πx,
0 < t;
0 < t;
0 ≤ x ≤ 1;
gunakan m = 3, T = 0, 1, dan N = 2. Bandingkan hasilnya dengan solusi analitik
u(x, t) = 2e−(π
u (xi , t1 ) = u (xi , 0) + k
2 /4)t
sin 2πx
∂u
k2 ∂ 2 u
k3 ∂ 3 u
(xi , 0) +
(x
,
0)
+
(xi , µ̂i )
i
∂t
2 ∂t2
6 ∂t3
2
f
∂2u
2∂ u
2 d
(x
,
0)
=
α
(x
,
0)
=
α
(xi ) = α2 f ” (xi )
i
i
∂t2
∂x2
dx2
(7.70)
(7.71)
BAB 7. DIFERENSIAL NUMERIK
150
u (xi , t1 ) = u (xi , 0) + kg (xi ) +
α2 k 2
k3 ∂ 3 u
f ” (xi ) +
(xi , µ̂i )
2
6 ∂t3
wi1 = wi0 + kg (xi ) +
f ” (xi ) =
α2 k 2
f ” (xi )
2
f (xi+1 ) − 2f (xi ) + f (xi−1 ) h2 (4) ˜
− f
ξ
h2
12
u (xi , t1 ) = u (xi , 0) + kg (xi ) +
(7.72)
(7.73)
(7.74)
k 2 α2
2
3
2 2
f
(x
)
−
2f
(x
)
+
f
(x
)
h
+
O
k
+
h
k
(7.75)
i+1
i
i−1
2h2
u (xi , t1 ) = u (xi , 0) + kg (xi ) +
λ2
f (xi+1 ) − 2f (xi ) + f (xi−1 ) h2 + O k 3 + h2 k 2
2
λ2
λ2
= 1 − λ2 f (xi ) + f (xi+1 ) + f (xi−1 ) + kg (xi ) + O k 3 + h2 k 2
2
2
λ2
λ2
wi,1 = 1 − λ2 f (xi ) + f (xi+1 ) + f (xi−1 ) + kg (xi )
2
2
(7.76)
(7.77)
(7.78)
Bab 8
Integral Numerik
✍ Objektif :
⊲ Mengenalkan metode Trapezoida
⊲ Mengenalkan metode Simpson
⊲ Mengenalkan metode Composite-Simpson
⊲ Mengenalkan metode Adaptive Quardrature
⊲ Mengenalkan metode Gaussian Quadrature
8.1
Metode Trapezoida
Suatu persamaan integral
Z
b
f (x)dx
(8.1)
a
disebut numerical quadrature. Pendekatan numerik untuk menyelesaikan integral tersebut
adalah
n
X
ai f (xi )
(8.2)
i=0
Adapun metode pendekatan yang paling dasar dalam memecahkan masalah integral secara
numerik adalah metode Trapezoida yang rumusnya seperti ini
Z
a
b
f (x)dx =
h3
h
[f (x0 ) + f (x1 )] − f ′′ (ξ)
2
12
(8.3)
dimana x0 = a, x1 = b dan h = b − a. Karena bagian error pada Trapezoida adalah f ′′ , maka
pendekatan Trapezoida bekerja efektif pada fungsi-fungsi yang turunan kedua-nya bernilai nol
(f ′′ = 0).
151
BAB 8. INTEGRAL NUMERIK
152
f(x)
x0=a
x1=b
Gambar 8.1: Metode Trapezoida. Gambar sebelah kiri menunjukkan kurva fungsi f (x) dengan batas
bawah integral adalah a dan batas atas b. Gambar sebelah kanan menunjukan cara metode Trapesoida
menghitung luas area integrasi, dimana luas area adalah sama dengan luas trapesium di bawah kurva
f (x) dalam batas-batas a dan b
f(x)
x0=a
x1=b
Gambar 8.2: Metode Simpson. Gambar sebelah kiri menunjukkan kurva fungsi f (x) dengan batas
bawah integral adalah a dan batas atas b. Gambar sebelah kanan menunjukan cara metode Simpson
menghitung luas area integrasi, dimana area integrasi di bawah kurva f (x) dibagi 2 dalam batas-batas
a dan b
8.2
Metode Simpson
Metode pendekatan yang lebih baik dalam integral numerik adalah metode Simpson yang
formulasinya seperti ini
Z
b
f (x)dx =
a
h
h5
[f (x0 ) + 4f (x1 ) + f (x2 )] − f 4 (ξ)
3
90
dengan x0 = a, x2 = b, dan x1 = a + h dimana h = (b − a)/2.
Contoh
Metode Trapezoida untuk fungsi f pada interval [0,2] adalah
Z
0
2
f (x)dx ≈ f (0) + f (2)
dimana x0 = 0, x1 = 2 dan h = 2 − 0 = 2,
sedangkan metode Simpson untuk fungsi f pada interval [0,2] adalah
Z
0
2
f (x)dx ≈
1
[f (0) + 4f (1) + f (2)]
3
(8.4)
8.3. METODE COMPOSITE-SIMPSON
153
dengan x0 = 0, x2 = 2, dan x1 = a + h = 1 dimana h = (b − a)/2 = 1.
Tabel berikut ini memperlihatkan evaluasi integral numerik terhadap beberapa fungsi dalam
interval [0,2] beserta solusi exact-nya. Jelas terlihat, metode Simpson lebih baik dibanding
Trapezoida. Karena hasil intergral numerik metode Simpson lebih mendekati nilai exact
x2
2,667
4,000
2,667
f (x)
Nilai exact
Trapezoida
Simpson
x4
6,400
16,000
6,667
1/(x + 1)
1,099
1,333
1,111
√
1 + x2
2,958
3,326
2,964
sin x
1,416
0,909
1,425
ex
6,389
8,389
6,421
Kalau diamati lebih teliti, akan kita dapatkan bahwa interval [0,2] telah dibagi 2 pada metode
Simpson, sementara pada metode Trapesoida tidak dibagi sama sekali. Sebenarnya dengan
membagi interval lebih kecil lagi, maka error -nya akan semakin kecil. Misalnya, banyaknya
pembagian interval dinyatakan dengan n
ketika n = 1: Trapesioda
Z
x1
h3
h
[f (x0 ) + f (x1 )] − f ′′ (ξ)
2
12
(8.5)
h5
h
[f (x0 ) + 4f (x1 ) + f (x2 )] − f 4 (ξ)
3
90
(8.6)
f (x)dx =
x0
ketika n = 2: Simpson
Z
x2
f (x)dx =
x0
ketika n = 3: Simpson tiga-per-delapan
Z
x3
x0
f (x)dx =
3h
3h5 4
[f (x0 ) + 3f (x1 ) + 3f (x2 ) + f (x3 )] −
f (ξ)
8
80
ketika n = 4:
Z x4
8h7 6
2h
[7f (x0 ) + 32f (x1 ) + 12f (x2 ) + 32f (x3 ) + 7f (x4 )] −
f (ξ)
f (x)dx =
45
945
x0
(8.7)
(8.8)
Keempat bentuk persamaan integral numerik di atas dikenal dengan closed Newton-Cotes
formulas. Keterbatasan metode Newton-Cotes terlihat dari jumlah pembagian interval. Di
atas tadi pembagian interval baru sampai pada n = 4. Bagaimana bila interval evaluasinya
dipersempit supaya solusi numeriknya lebih mendekati solusi exact? Atau dengan kata lain
n > 4.
8.3
Metode Composite-Simpson
Persamaan (8.8) terlihat lebih rumit dibandingkan persamaan-persamaan sebelumnya. Bisakah
anda bayangkan bentuk formulasi untuk n = 5 atau n = 6 dan seterusnya? Pasti akan lebih
kompleks dibandingkan persamaan (8.8).
BAB 8. INTEGRAL NUMERIK
154
f(x)
h
x0=a x1
x2
x3
x4
x5
x7 xn=b
x6
Gambar 8.3: Metode Composite Simpson. Kurva fungsi f (x) dengan batas bawah integral adalah a
dan batas atas b. Luas area integrasi dipecah menjadi 8 area kecil dengan lebar masing-masing adalah
h.
Metode Composite Simpson menawarkan cara mudah menghitung intergal numerik ketika
R4
nilai n > 4. Perhatikan contoh berikut, tentukan solusi numerik dari 0 ex dx. Metode Simpson
dengan h = 2 (atau interval evaluasi integral dibagi 2 , n = 2) memberikan hasil
Z
4
0
2 0
e + 4e2 + e4 = 56, 76958
3
ex dx ≈
Padahal solusi exact dari integral tersebut adalah e4 − e0 = 53, 59815, artinya terdapat er-
ror sebesar 3,17143 yang dinilai masih terlampau besar untuk ditolerir. Bandingkan dengan
metode yang sama namun dengan h = 1 (atau interval evaluasi integral dibagi 4 , n = 4)
Z
4
ex dx =
0
Z
2
ex dx +
Z
4
ex dx
2
0
1 2
1 0
≈
e + 4e + e2 +
e + 4e3 + e4
3
3
1 0
e + 4e + 2e2 + 4e3 + e4
=
3
= 53, 86385
Hasil ini memperlihatkan error yang makin kecil, yaitu menjadi 0,26570. Jadi dengan memperkecil h, error menjadi semakin kecil dan itu artinya solusi integral numerik semakin mendekati
solusi exact. Sekarang kita coba kecilkan lagi nilai h menjadi h =
1
2
(atau interval evaluasi in-
tegral dibagi 8 , n = 8),
Z
4
x
1
Z
2
Z
3
Z
4
ex dx
e dx +
e dx +
3
2
1
0
1
1 0
≈
e + 4e1/2 + e +
e + 4e3/2 + e2 +
6
6
1
1 2
5/2
3
e + 4e + e +
e3 + 4e7/2 + e4
6
6
1 0
e + 4e1/2 + 2e + 4e3/2 + 2e2 + 4e5/2 + 2e3 + 4e7/2 + e4
=
6
= 53, 61622
e dx =
0
Z
x
e dx +
x
x
8.4. ADAPTIVE QUARDRATURE
155
dan seperti yang sudah kita duga, error -nya semakin kecil menjadi 0,01807.
Prosedur ini dapat digeneralisir menjadi suatu formula sebagai berikut
Z
b
f (x)dx =
a
n/2 Z
X
f (x)dx
x2j−2
j=1
=
x2j
n/2
X
h
h5 (4)
[f (x2j−2 ) + 4f (x2j−1 ) + f (x2j )] − f (ξj )
3
90
j=1
(8.9)
dimana h = (b − a)/n dan xj = a + jh, untuk j = 1, ..., n/2, dengan x0 = a dan xn = b. Formula
ini dapat direduksi menjadi
Z
b
f (x)dx =
a
h
f (x0 ) + 2
3
(n/2)−1
X
f (x2j ) + 4
j=1
n/2
X
j=1
n/2
f (x2j−1 ) + f (xn ) −
h5 X (4)
f (ξj )
90
(8.10)
j=1
Formula ini dikenal sebagai metode Composite Simpson.
8.4
Adaptive Quardrature
Metode composite mensyaratkan luas area integrasi dibagi menjadi sejumlah region dengan
jarak interval yang seragam yaitu sebesar nilai h. Akibatnya, bila metode composite diterapkan
pada fungsi yang memiliki variasi yang tinggi dan rendah sekaligus, maka interval h yang kecil
menjadi kurang efektif, sementara interval h yang besar mengundang error yang besar pula.
Metode Adaptive Quadrature muncul untuk mendapatkan langkah yang paling efektif dimana
nilai interval h tidak dibuat seragam, melainkan mampu beradaptasi sesuai dengan tingkat
variasi kurva fungsinya.
Misalnya kita bermaksud mencari solusi numerik dari integral
Rb
a
f (x)dx dengan toleransi
ǫ > 0. Sebagai langkah awal adalah menerapkan metode Simpson dimana step size h = (b −
a)/2
Z
b
a
f (x)dx = S(a, b) −
h5 (4)
f (µ)
90
(8.11)
dengan
S(a, b) =
h
[f (a) + 4f (a + h) + f (b)]
3
Langkah berikutnya adalah men
Z
a
b
h
h
3h
f (x)dx =
f (a) + 4f a +
+ 2f (a + h) + 4f a +
+ f (b)
6
2
2
4
h
(b − a) (4)
−
f (µ̃)
2
180
(8.12)
BAB 8. INTEGRAL NUMERIK
156
8.5
Gaussian Quadrature
Suatu integral dapat ditransformasi kedalam bentuk Gaussian quadrature melalui formulasi
berikut
Z
b
f (x)dx =
a
Z
1
f
−1
(b − a)t + (b + a)
2
(b − a)
dt
2
(8.13)
dimana perubahan variabel memenuhi
t=
1
2x − a − b
⇔ x = [(b − a)t + a + b]
b−a
2
(8.14)
Berikut adalah table polinomial Legendre untuk penyelesaian Gaussian quadrature
Tabel 8.1: Polinomial Legendre untuk n=2,3,4 dan 5
n
Akar rn,i Koefisien cn,i
2
0,5773502692 1,0000000000
-0,5773502692 1,0000000000
3
0,7745966692 0,5555555556
0,0000000000 0,8888888889
-0,7745966692 0,5555555556
4
0,8611363116 0,3478548451
0,3399810436 0,6521451549
-0,3399810436 0,6521451549
-0,8611363116 0,3478548451
5
0,9061798459 0,2369268850
0,5384693101 0,4786286705
0,0000000000 0,5688888889
-0,5384693101 0,4786286705
-0,9061798459 0,2369268850
8.5.1 Contoh
Selesaikan integrasi berikut ini
Z
1,5
2
e−x dx
(8.15)
1
(Solusi exact integral diatas adalah: 0.1093643)
jawab:
Pertama, integral tersebut ditransformasikan kedalam Gaussian quadrature melalui persamaan
(8.13)
Z
1,5
−x2
e
1
1
dx =
4
Z
1
e
−(t+5)2
16
dt
(8.16)
−1
Kedua, Gaussian quadrature dihitung menggunakan konstanta-konstanta yang tercantum pada tabel polinomial Legendre. Untuk n = 2
Z
1
1,5
2
e−x dx ≈
i
1 h (−(0,5773502692+5)2 /16)
2
e
+ e(−(−0,5773502692+5) /16) = 0, 1094003
4
8.5. GAUSSIAN QUADRATURE
157
Untuk n = 3
Z
1
1,5
2
e−x dx ≈
1
2
2
[(0, 5555555556)e(−(0,7745966692+5) /16) + (0, 8888888889)e(−(5) /16)
4
+ (0, 5555555556)e(−(−0,7745966692+5)
8.5.2 Latihan
Selesaikan integrasi berikut ini
Z
0,35
0
x2
2
dx
−4
Selesaikan integrasi berikut ini
Z
3,5
3
√
x
dx
−4
x2
2 /16)
] = 0, 1093642
BAB 8. INTEGRAL NUMERIK
158
Latihan
1. Hitunglah integral-integral berikut ini dengan metode Composite Simpson!
Z
a.
2
x ln xdx,
b.
Z
c.
2
2
dx,
+4
x
dx,
2
x +4
3
1
2
x3 ex dx,
−2
Z 3π/8
e.
n=6
x2
0
Z
d.
n=4
1
Z
n=8
n=4
tan xdx,
n=8
0
Z
f.
5
√
3
1
x2 − 4
dx,
n=8
2. Tentukan nilai n dan h untuk mengevaluasi
Z
2
e2x sin 3xdx
0
dengan metode Composite Simpson, bila error yang ditolerir harus lebih kecil dari 10−4 .
3. Dalam durasi 84 detik, kecepatan sebuah mobil balap formula 1 yang sedang melaju di arena
grandprix dicatat dalam selang interval 6 detik:
time(dt)
speed(f t/dt)
0
124
6
134
12
148
18
156
24
147
30
133
36
121
42
109
48
99
54
85
60
78
66
89
72
104
78
116
84
123
Gunakan metode integral numerik untuk menghitung panjang lintasan yang telah dilalui mobil tersebut selama pencatatan waktu di atas!
Bab 9
Mencari Akar
✍ Objektif :
⊲ Mencari akar
9.1
Metode Newton
Metode Newton sangat populer dan powerfull untuk mencari akar suatu fungsi yang kontinyu.
Ada banyak jalan untuk memperkenalkan metode ini. Salah satunya bisa didahului mulai dari
deret Taylor atau polinomial Taylor. Suatu fungsi yang kontinyu dapat dinyatakan dalam deret
Taylor sebagai berikut
f (x) = f (x̄) + (x − x̄)f ′ (x̄) +
0 = f (x̄) + (p − x̄)f ′ (x̄) +
(x − x̄)2 ′′
f (ξ(x))
2
(p − x̄)2 ′′
f (ξ(p))
2
0 = f (x̄) + (p − x̄)f ′ (x̄)
p − x̄ = −
p ≈ x̄ −
pn = pn−1 −
f (x)
f ′ (x̄)
f (x)
f ′ (x̄)
f (pn−1 )
f ′ (pn−1 )
159
,
n≥1
Gambar 9.1: Metode Newton
Bab 10
Metode Monte Carlo
✍ Objektif :
⊲ Mengenalkan metode Monte Carlo
10.1
Penyederhanaan
Kita awali pembahasan metode Monte Carlo dengan mengetengahkan contoh yang sangat
terkenal yaitu menghitung luas suatu lingkaran. Fugure 1 memperlihatkan lingkaran dengan radius r = 1 berada di dalam kotak bujursangkar. Luas lingkaran adalah πr2 = π(1)2 = π
sementara luas bujursangkar adalah (2)2 = 4. Rasio antara luas lingkaran dan luas bola adalah
ρ=
luas lingkaran
π
= = 0, 7853981633974483
luas bujursangkar
4
Gambar 10.1: Lingkaran dan bujursangkar
161
(10.1)
BAB 10. METODE MONTE CARLO
162
Jadi, dengan mengetahui nilai ρ, maka kita bisa menghitung luas lingkaran dengan cara
luas lingkaran = ρ × luas bujursangkar
(10.2)
Bayangkan anda punya satu set permainan dart. Anda lemparkan sejumlah dart ke arah
lingkaran tadi. Misalnya, total dart yang menancap di papan dart ada 1024 buah. Sebanyak
812 dart berada di dalam lingkaran, dan yang lainnya di luar lingkaran. Rasio antara keduanya
ρ=
total
812
dart di dalam lingkaran
=
= 0, 79296875
dart di dalam bujursangkar
1024
(10.3)
Gambar 10.2: Dart yang menancap pada bidang lingkaran dan bujursangkar
Dengan pendekatan ke persamaan (10.2) maka luas lingkaran adalah
luas lingkaran = ρ × luas bujursangkar
= 0, 79296875 × 4
= 3, 171875
Apakah angka ini make sense ? Mungkin anda masih ragu. Sekarang mari kita coba hitung nilai π dengan mengacu pada rumus di atas. Kita sepakati saja bahwa dart yang berada di dalam
lingkaran mesti memenuhi x2i + yi2 ≤ 1. Dalam perhitungan, semua dart diganti dengan bi-
langan acak (random number ). Dari 1000 dart, yang masuk lingkaran ada 787 buah, sehingga,
mengacu persamaan (10.3)
ρ=
787
= 0, 787
1000
maka berdasarkan persamaan (10.1)
π = ρ × 4 = 0, 787 × 4 = 3, 148
10.1. PENYEDERHANAAN
163
Gambar 10.3: Dart yang menancap pada bidang 1/4 lingkaran dan bujursangkar
Lumayan akurat bukan? Semakin banyak jumlah dart, semakin akurat nilai π yang anda peroleh.
Sekarang mari kita kembangkan metode Monte Carlo ini untuk menghitung luas suatu area
yang terletak di bawah garis kurva suatu fungsi f (x). Atau sebut saja menghitung integral
suatu fungsi f (x) yang dievaluasi antara batas a dan b. Luas kotak R yang melingkupi luas
bidang integral A adalah
R = {(x, y) : a ≤ x ≤ b dan
0 ≤ y ≤ d}
(10.4)
dimana
d = maksimum f (x)
,
a≤x≤b
(10.5)
Bab 11
Inversi
✍ Objektif :
⊲ Mengenalkan inversi linear
⊲ Mengenalkan inversi non-linear
11.1
Inversi Linear
Diketahui data eksperimen tersaji dalam tabel berikut ini
xi
1
2
3
4
5
yi
1,3
3,5
4,2
5,0
7,0
xi
6
7
8
9
10
yi
8,8
10,1
12,5
13,0
15,6
Lalu data tersebut di-plot dalam sumbu x dan y. Sekilas, kita bisa melihat bahwa data yang
16
14
12
10
Y 8
6
4
2
0
1
2
3
4
5
6
7
8
9
10
X
telah di-plot tersebut dapat didekati dengan sebuah persamaan garis, yaitu a1 xi + a0 . Artinya,
165
BAB 11. INVERSI
166
kita melakukan pendekatan secara linear, dimana fungsi pendekatan-nya adalah
P (xi ) = a1 xi + a0
(11.1)
Problemnya adalah berapakah nilai konstanta a1 dan a0 yang sedemikian rupa, sehingga posisi
garis tersebut paling mendekati atau bahkan melalui titik-titik data yang telah di-plot di atas?
Dengan kata lain, sebisa mungkin yi sama dengan P (xi ) atau dapat diformulasikan sebagai
m
X
yi − P (xi ) = 0
(11.2)
yi − (a1 xi + a0 ) = 0
(11.3)
i=1
m
X
i=1
dimana jumlah data, m = 10. Suku yang berada disebelah kiri dinamakan fungsi error (error
function), yaitu
E(a0 , a1 ) =
m
X
i=1
yi − (a1 xi + a0 )
(11.4)
Semua data yang diperoleh melalui eksperimen, fungsi error-nya tidak pernah bernilai nol. Jadi, tidak pernah didapatkan garis yang berhimpit dengan semua titik data ekperimen. Namun
demikian, kita masih bisa berharap agar fungsi error menghasilkan suatu nilai, dimana nilai
tersebut adalah nilai yang paling minimum atau paling mendekati nol. Harapan tersebut diwujudkan oleh metode least square dengan sedikit modifikasi pada fungsi error-nya sehingga
menjadi
E(a0 , a1 ) =
m
X
i=1
[yi − (a1 xi + a0 )]2
(11.5)
Agar fungsi error bisa mencapai nilai minimum, maka syarat yang harus dipenuhi adalah:
∂E(a0 , a1 )
=0
∂ai
(11.6)
dimana i = 0 dan 1, karena dalam kasus ini memang cuma ada a0 dan a1 . Maka mesti ada dua
buah turunan yaitu:
m
∂ X
∂E(a0 , a1 )
=
[yi − (a1 xi + a0 )]2 = 0
∂a0
∂a0
i=1
m
X
2
(yi − a1 xi − a0 )(−1) = 0
i=1
a0 .m + a1
m
X
i=1
xi =
m
X
i=1
yi
(11.7)
11.1. INVERSI LINEAR
167
dan
m
∂ X
∂E(a0 , a1 )
=
[yi − (a1 xi + a0 )]2 = 0
∂a1
∂a1
i=1
2
m
X
i=1
(yi − a1 xi − a0 )(−xi ) = 0
a0
m
X
xi + a1
i=1
m
X
x2i
=
i=1
m
X
xi yi
(11.8)
i=1
Akhirnya persamaan (11.7) dan (11.8) dapat dicari solusinya berikut ini:
a0 =
Pm
dan
a1 =
2
i=1 xi
m
m
Pm
Pm
i=1 xi
i=1 xi yi
i=1 yi −
Pm 2
Pm
2
i=1 xi − ( i=1 xi )
Pm
Pm
Pm
i=1 xi yi −
Pm 2
m
i=1 xi
Pm
yi
i=1 xi
Pm i=12
− ( i=1 xi )
(11.9)
(11.10)
Coba anda bandingkan kedua hasil di atas dengan rumus least square yang terdapat pada
buku Praktikum Fisika Dasar keluaran Departemen Fisika-UI. Mudah-mudahan sama persis. OK, berdasarkan data ekperimen yang ditampilkan pada tabel diawal catatan ini, maka
didapat:
a0 =
385(81) − 55(572, 4)
= −0, 360
10(385) − (55)2
(11.11)
10(572, 4) − 55(81)
= 1, 538
10(385) − (55)2
(11.12)
dan
a1 =
Jadi, fungsi pendekatan-nya, P (xi ), adalah
P (xi ) = 1, 538xi − 0, 360
(11.13)
Solusi least square dengan pendekatan persamaan garis seperti ini juga dikenal dengan nama
lain yaitu regresi linear. Sedangkan nilai a0 dan a1 disebut koefisien regresi. Gambar di
bawah ini menampilkan solusi regresi linear tersebut berikut semua titik datanya
Tentu saja anda sudah bisa menduga bahwa selain regresi linear, mungkin saja terdapat regresi
parabola atau quadratik dimana fungsi pendekatannya berupa persamaan parabola, yaitu:
P (xi ) = a2 x2i + a1 xi + a0
(11.14)
dimana koefisien regresinya ada tiga yaitu a0 , a1 dan a2 . Kalau anda menduga demikian, maka
dugaan anda benar! Bahkan sebenarnya tidak terbatas sampai disitu. Secara umum, fungsi
pendekatan, P (xi ), bisa dinyatakan dalam aljabar polinomial berikut ini:
P (xi ) = an xni + an−1 xin−1 + ... + a2 x2i + a1 xi + a0
(11.15)
BAB 11. INVERSI
168
16
P(x) = 1.538*x − 0.36
14
12
10
8
6
4
2
0
−2
0
2
4
6
8
10
Namun untuk saat ini, saya tidak ingin memperluas pembahasan hingga regresi parabola, dan
polinomial. Saya masih ingin melibatkan peranan metode eliminasi gauss dalam menyelesaikan problem least square seperti yang selalu saya singgung pada catatan-catatan kuliah
saya yang terdahulu. Nah, kalau metode eliminasi gauss hendak digunakan untuk mencari
solusi regresi linear, kita bisa mulai dari persamaan (11.7) dan (11.8), yaitu:
a0 .m + a1
a0
m
X
xi + a1
m
X
i=1
m
X
m
X
xi =
i=1
m
X
x2i =
xi yi
i=1
i=1
i=1
yi
Keduanya bisa dinyatakan dalam operasi matrik:
"
m
Pm
i=1 xi
Pm
i=1 xi
Pm
2
i=1 xi
#"
a0
a1
#
=
" P
m
yi
Pmi=1
i=1 xi yi
#
(11.16)
Kalau anda mengikuti catatan-catatan terdahulu, pasti anda tidak asing lagi dengan dengan
semua elemen-elemen matrik di atas. Semua sudah saya ulas pada catatan yang berjudul Aplikasi Elimininasi Gauss: Model Garis. Silakan anda lanjutkan perhitungan matrik tersebut
hingga diperoleh koefisien regresi a0 dan a1 . Selamat mencoba!
11.2
Inversi Non-Linear
Persamaan least squares linear adalah sebagai berikut:
[Gt G]δm = Gt δd
(11.17)
Persamaan least squares non-linear dapat dinyatakan sebagai berikut:
[Gt G + λI]δm = Gt δd
(11.18)
11.2. INVERSI NON-LINEAR
169
dimana G adalah matrik kernel, namun dia juga biasa dikenal dengan sebutan matrik Jacobian, sementara λ adalah faktor pengali Lagrange, dan I adalah matrik identitas yang ordenya disesuaikan dengan Gt G. Adapun definisi δm dan δd akan dijelaskan pada bagian
akhir catatan ini.
Langkah-langkah untuk menyelesaikan problem least squares non-linear adalah:
1. Menentukan model, misal f (x) = xm
2. Menghitung jacobian, G. Caranya adalah menghitung turunan pertama dari model terhadap model-parameter, m. Sesuai permisalan pada point 1, didapat
A=
∂f (m)
= xm ln(x)
∂m
(11.19)
3. Membuat perhitungan simulasi, misalnya ditentukan m = 2. Nilai m adalah nilai yang
hendak dicari. Dalam simulasi, nilai m dianggap sudah diketahui bahkan ditentukan.
Lalu hitunglah f (x) = xm dengan x bergerak dari x = 1, 2, 3.., 10. Jadi, nanti akan didapat
10 buah f (x). Mau lebih dari 10 juga boleh, terserah saja. Hasil hitungannya dikasih
nama d, jadi d = f (x). Karena dalam simulasi ini x-nya bergerak hanya sampai 10, maka
hasilnya mesti ada 10 d, yaitu d1 , d2 , .., d10 .
4. Buatlah perhitungan untuk m sembarang, misal mula-mula dipilih m = 5. Ini adalah nilai awal dari m yang akan diiterasikan sedemikian rupa hingga nantinya m akan menuju
2 sesuai dengan nilai m pada simulasi (point 3). Bagusnya dibedakan penulisannya, atau
tulis saja m0 = 5, dimana m0 maksudnya adalah m mula-mula. Lalu hitung lagi nilai
0
f (x) = xm . Sekarang dinamakan dc = f (x). Jangan lupa bahwa saat perhitungan, nilai
x bergerak dari 1 sampai 10. Jadi, nanti didapat 10 dc .
5. Hitunglah δd, dimana δd = dc − d. Sebelumnya sudah dinyatakan bahwa dc ada 10 buah,
demikian juga d ada 10 buah, maka δd harus ada 10 buah juga.
6. Selanjutnya hitung ||δd|| yang rumusnya seperti ini
||δd|| =
1
1
Σ(dc − d)2 = Σδd2
N
N
(11.20)
dimana N = 10 karena δd-nya ada 10. Rumus ini tidak mutlak harus demikian, anda bisa
juga menggunakan norm 2, ℓ2 .
7. Tentukan nilai epsilon, ǫ, misal ǫ = 0.000001. Lalu lakukan evaluasi sederhana. Cek,
apakah ||δd|| < ǫ ? Pasti awalnya ||δd|| > ǫ, kenapa? Karena m 6= m0 . Kalau begini
situasinya, δd yang ada 10 biji itu dimasukan kedalam proses berikutnya.
8. Hitunglah operasi matriks berikut ini untuk mendapatkan δm
[Gt G + λI]δm = Gt δd
(11.21)
BAB 11. INVERSI
170
dengan λ-nya dikasih nilai sembarang antara 0 dan 1, misalnya λ = 0.005. Perhitungan
ini bisa diselesaikan dengan metode eliminasi gauss.
9. Ganti nilai m0 menjadi m1 sesuai dengan rumus
m1 = m0 + δm
(11.22)
Nah, m1 ini dimasukan ke proses yang dijelaskan pada point 4 kemudian proses diulangi hingga point 9, begitu seterusnya. Dari sinilah dimulai proses iterasi. Iterasi akan
berhenti bila ||δd|| < ǫ. Pada saat itu, nilai mk akan mendekati m = 2 sesuai dengan m
simulasi.
Selamat mencoba! Saya juga telah menulis beberapa persamaan non-linear sebagai bahan
latihan. Lihat saja di Latihan 1. Tapi tolong diperiksa lagi, apakah jacobiannya sudah benar atau ada kekeliruan. Selanjutnya, kalau ada pertanyaan atau komentar, silakan kirim ke
[email protected]
Daftar Pustaka
[1] Burden, R.L. and Faires, J.D., (2001), Numerical Analysis, Seventh Edition, Brooks/Cole,
Thomson Learning Academic Resource Center.
[2] Haliday and Resnick, (2001), Fundamental of Physics, Brooks/Cole, Thomson Learning Academic Resource Center.
171
Indeks
Positive-definite, 5
Transpose, 3
Tridiagonal, 5
Vektor-baris, 6
Vektor-kolom, 6
173