VERA : SEBAGAI IDENTITAS DAN DINIMIKANYA DALAM
REALITAS SOSIAL BUDAYA ETNIK RONGGA DALAM KEKINIAN
Ni Wayan Sumitri
Fakultas Pendidikan Bahasa dan Seni, IKIP PGRI Bali
[email protected]
Abstrak
Makalah ini memaparkan tentang vera sebagai identitas dan dinamikanya dalam realitas sosial budaya etnik Rongga
dalam kekinian. Vera adalah bagian dari tradisi ritual berupa pertunjukan tarian dan nyanyian tradisional yang
terkait dengan pertanian dan kehidupan manusia. Fokus kajian pada pertunjukkan vera yang meliputi (1) bentuk
tarian dan nyanyian, (2) fungsinya terkait dengan nilai-nilai identitas, dan (3) dinamikanya dalam realitas sosial
budaya etnik Rongga. Penelitian ini termsuk penelitian deskriptif kualitatif dengan pendekatan etnografi dengan
sumber data utama adalah hasil wawancara, rekaman audio/video tradisi vera.
Temuan menujukkan bahwa bentuk tarian vera memiliki karakteristik unik hanya menampilkan gerakan-gerakan
kaki disesuaikan dengan irama lagu sambil bergoyang dengan posisi tangan silang berangkai dalam bentuk dua
barisan. Tarian ini dibawakan oleh penari dewasa baik laki-laki (woghu) maupun perempuan (daghe). Bentuk
nyanyian vera dilantunkan dengan menggunakan bahasa Rongga sebagai media yang terekpsresi dalam bentuk
bait-bait dengan pola-pola formula bahasa yang khas bergaya sastra dengan memanfaatkan fitur paralelisme yang
sarat dengan pesan moral dan etika. Vera memilik fungsi dan peran penting sebagai wadah pewarisan nilai budaya
leluhur dengan karakteristik tersendiri sebagai lambang identitas etnik Rongga baik secara eksternal maupun secara
internal. Identitas eksternal sebagai pembeda etnis Rongga dengan etnis lain di Manggarai, dan identitas internal
berfungsi sebagai ciri pembeda antarsuku (clan) yang mempunyai sejarah sukunya sendiri. Sebagai sebuah produk
dan praktek budaya, vera telah mengalami perubahan dalam konteks kehidupan modern. Aspek-aspek yang
mengalami perubahan selain merengkuh pola pikir, sikap dan perilaku, juga menyentuh tarian dan nyanyian vera
terutama sarana yang digunakan.
Kata kunci: vera, identitas, dinamika, sosial, budaya
1 . Pendahuluan
I
ndonesia adalah negara yang sangat beragam. Keberagaman bangsa Indonesia tercermin dari
keberadaan ratusan etnik, budaya, tradisi, dan bahasa lokal yang tersebar di pelbagai wilayah
Nusantara, di samping berbagai agama dan kepercayaan. Di antara etnik-etnik yang tersebar itu,
memperlihatkan ciri-ciri kebudayaan, baik yang universal maupun yang unik sifatnya, di samping sejarah
perkembangan dan lingkungan hidupnya sendiri-sendiri.
Kebudayaan menurut Koentjaraningrat (1990:180) adalah suatu keseluruhan sistem gagasan,
tindakan, dan hasil karya manusia dalam rangka kehidupan masyarakat yang dijadikan milik diri manusia
dengan belajar. Pandangan ini menunjukkan bahwa kebudayaan membawahi tiga wujud, yaiu sistem
budaya, sistem sosial, dan artefak. Sistem budaya merupakan jaringan norma, nilai, dan makna yang
menjiwai satu kebudayaan yang tercermin dalam berbagai sistem sosial, termasuk sikap dan perilaku
berbahasa. Artefak menunjuk pada produk fisik sebagai hasil daya cipta manusia untuk menunjang
pelaksanaan sistem sosial budaya.
Kebudayaan sebagai hasil karya manusia suatu komunitas bukan hanya dipahami sebagai fitur
pembeda dengan komunitas lain, namun juga digunakan untuk mengenal aspek kehidupan suatu
komunitas, seperti ciri-ciri aktivtas keagamaan, bahasa, cara makan, cara berpakaian, cara bersopan
santun, standar etika dan moral yang berbeda antarkomunitas (lihat Purwasito, 2003:224). Ciri-ciri seperti
itu, menjadi ciri identitas budaya suatu masyarakat. Ini artinya bahwa identitas tidak hanya
penggambaran jati diri seseorang, namun juga sebagai identias suatu kelompok masyarakat.
Proceeding The 1st International Conference on Social Sciences and Humanities (ICSSH), LIPI, 2016
1495
Hal ini sejalan dengan pandangan Thompson (2004:1988) yang menyatakan bahwa, dalam
kebudayaan termuat unsur-unsur kunci seperti sistem peralatan, dan perlengkapan hidup, sistem mata
pencaharian, bahasa, kesenian, sistem pengetahuan, dan sistem religi. Keseluruhan yang kompleks dari
unsur-unsur tersebut mencirikan sebagai identitas keberadaan satu kelompok masyarakat, di samping
sebagai fitur pembeda dengan kelompok masyarakat yang lain. Unsur-unsur budaya yang masih tetap
bertahan dan tetap hidup serta masih banyak dilakukan dalam suatu komunitas diwujudkan dalam
berbagai tradisi di antaranya adalah tradisi ritual. Ritual merupakan salah satu akar penting yang
membentuk kebudayaan masyarakat. Kegiatan ritual yang dilakukan oleh masyarakat diwariskan secara
turun-temurun dari generasi ke generasi, dan berfungsi sebagai wahana untuk meneruskan dan
menguatkan nilai-nilai budaya yang sudah berlaku secara mentradisi. Bagi masyarakat pendukungnya,
ritual merupakan bagian integral dari kebudayaan mereka dan sebagai cara untuk mensosialisasikan
nilai-nilai budaya leluhur yang mereka wariskan kepada generasinya, seperti yang dilakukan oleh etnik
Rongga.
Etnik Rongga adalah salah satu etnik minoritas yang terdapat di Indonesia yang berdiam di
kecamatan Kota Komba,Kabupaten Manggarai Timur, Nusa tenggara Timur. Berdasarkan statistik
Kecamatan Kota Komba jumlah penduduk etnik Rongga sekitar 8.000-an jiwa (lihat Sumitri, 2015).
Seperti halnya etnik yang lainnya etnik Rongga juga memiliki identitasnya sendiri, memiliki sistem nilai
dan sistem budaya yang diwujudkan dalam berbagai tradisinya, salah satunya adalah vera. Vera
merupakan bagian dari tradisi ritual yang berkaitan dengan ritual pertanian1 dan kehidupan manusia. Vera
adalah pertunjukan tarian disertai nyanyian sebagai warisan leluhur yang tetap hidup dan berkembang
dalam realitas kehidupan etnik Rongga. Dilihat dari esensi pesan yang terkandung di dalamnya, vera
mencirikan sistem keyakinan atau religi asli etnik Rongga. Sejalan dengan hal itu, Arka, (2016:5)
mengatakan bahwa:
“meskipun orang Rongga beragama Katolik namun masih tetap melaksanakan berbagai ritual
yang diwariskan dari nenek moyang mereka. Ritual tersebut utamanya berkaitan dengan kegiatan di
rumah (sa’o), kebun (uma), dan kampung (noa). Ritual tersebut pada dasarnya terkait dengan pentingnya
peran, restu, dan perlindungan leluhur”
Selain menjadi fakta kebudayaan yang mencirikan sistem keyakinan atau religi asli etnik Rongga,
vera juga sebagai tradisi budaya milik sosial-kolektif etnik Rongga yang memiliki kekhasan tersendiri.
Kekhasan itu menjadi ciri identitas yang memperkuat ikatan kehidupan etnik Rongga sebagai kelompok
masyarakat yang menjadi objek kajian dalam tulisan ini. Vera sebagai objek kajian, karena vera
merupakan bagian integral dari budaya Rongga yang mencerminkan sikap dan pola hidup masyarakat
etnik Rongga, yang dapat menggambarkan sejauh mana etnik Rongga menjaga eksistensi identitasnya
sebagai sebuah komunitas.
Penelitian ini merupakan kelanjutan dari penelitian bahasa dan budaya yang pernah dilakukan
Arka (2010) dan Sumitri 2015. Penelitian yang dilakukan Arka (2010) dengan judul penelitain
“Maintaning Vera in Rongga: Strugle over Culture Tradition, and Language in Modern Manggarai,
Flores Indonesia”. Penelitian ini membahas tentang keberadaan vera dan tantangannya dalam konteks
modern. Penelitian yang dilakukan Sumitri (2010) tentang “Wacana Tradisi Lisan Vera Etnik Rongga di
1
Mata pencaharian orang Rongga adalah sebagain besar di bidang pertanain dengan sistem ladang yang
berpindah-pindah. Di samping pertanian ladang dan perkebunan sebagai sumber kehidupannya, masyarakat Rongga
juga mengenal sistem peternakan dengan sistem yang penerapannya masih sangat sederhana. Jenis ternak utama
yang dipelihara adalah babi (wawi) dan ayam walaupun ada jenis hewan lain seperti kerbau dan kuda, namun dalam
jumlah yang terbatas. Usaha pertanian utama yang diwariskan secara turun temurun adalah menanam padi dan
jagung yang selalu diawali dengan ritual mbasa wini. Jenis pertanian ini dikembangkan secara tradisonal. Kemudian
belakangan ini baru dibudidayakan tanaman perdagangan, seperti cengkeh, coklat, dan tanaman perdagangan
lainnya. (lihat Sumitri, 2005).
1496
Proceeding The 1st International Conference on Social Sciences and Humanities (ICSSH), LIPI, 2016
Manggarai Timur, Nusa Tenggra Timur” dengan objek kajian vera mbasa wini. Analisis difokuskan pada
aspek struktur, fungsi, dan makna wacana, serta mekanisme pewarisannya.
Adapun fokus kajian dalam penelitian ini adalah pertunjukkan vera yang meliputi aspek: (1)
bentuk tarian dan nyanyian, (2) fungsinya terkait dengan nilai-nilai identitas, dan (3) dinamikanya dalam
realitas sosial budaya etnik Rongga. Analisis diawali dengan uraian ringkas tentang konsep identitas dan
metode penelitian pada 2, hasil dan pembahasan pada 3, dan simpulan dan saran pada 4.
2 . Konsep dan Metode Penelitian
2.1 Konsep
Identitas
Istilah identitas berasal dari bahasa Inggris yaitu identity yang dapat diartikan sebagai ciri-ciri,
tanda-tanda atau jati diri. Ciri-ciri adalah suatu yang menandai suatu benda atau orang. Identitas adalah
esensi yang bisa ditandakan (signified) dengan tanda-tanda selera, keyakinan, sikap, dan gaya hidup yang
bersifat personal dan sosial karena menadai seseorang sebagai orang yang sama dan sekaligus berbeda
dengan orang lain Barker (2005:2018). Weeks, yang dirujuk Barker 2005:221) menyatakan bahwa
identitas adalah soal kesamaan dan soal perbedaan, soal personal dan sosial, soal apa yang dimiliki secara
bersama-sama dengan beberapa orang dan apa yang membedakan dengan orang lain. Di pihak lain,
Suparlan (1999) menyatakan bahwa identitas adalah pengenalan atau pengakuan terhadap seseorang yang
termasuk dalam satu golongan yang dilakukan berdasarkan atas serangkaian ciri-cirinya yang merupakan
suatu satuan bulat dan menyeluruh, serta menandai sehingga ia dapat dimasukkan dalam golongan
tersebut. Identitas tidak saja merujuk pada makna tentang pribadi seseorang atau kelompok tetapi juga ciri
khas sebuah kebudayaan yang melatarbelakanginya. Dari ciri-ciri khas itulah dimungkinkan dapat
mengungkapkan keberadaan dan eksistensi orang atau kelompok itu sebagai satuan komunitas.
Dinamika
Kebudayaan dalam pelbagai aspeknya selalu berubah dan bersifat dinamis sesuai dengan
dinamika masyarakat pendukung kebudayaan itu (Sairin,2002:184). Sejalan dengan itu, Bakker
(1984:113) mengatakan bahwa masyarakat selalu bersifat dinamis. Masyarakat selalu berubah dalam
parameter waktu dan tempat. Kebudayaan berubah seirama dengan perubahan hidup masyarakat.
Perubahan itu berasal dari pengalaman baru, pengetahuan baru, teknologi baru, dan akibatnya dalam
penyesuaian cara hidup dan kebiasaannya kepada situasi baru. Dengan kata lain dalam perjalanan waktu
dan kondisi masyarakatnya kebudayaan bukanlah sesuatu yang statis. Dinamika kebudayaan atau
perubahan kebudayaan itu mencakup tatanan bentuk, makna-makna, fungsi dan nilai yang dikandungnya.
2.2. Metode Penelitian
Penelitian ini merupakan penelitain deskriptif kualitatif dengan pendekatan etnografi. Lokasi
penelitian dilaksanakan di wilayah etnik Rongga yang meliputi atas dua kelurahan dan dua desa, yaitu
kelurahan Tanarata, Watu Nggene, dan desa Bamo dan desa Komba di kecamatan Kota Komba,
Kabupaten Manggarai Timur, NTT. Metode dan teknik pengumpulan data dalam penelitian ini adalah
pengamatan, wawancara, studi dokumentasi, rekam dan catat. Sumber data utama adalah hasil
wawancara, rekaman audio/video tradisi vera.
Proceeding The 1st International Conference on Social Sciences and Humanities (ICSSH), LIPI, 2016
1497
4. Hasil Penelitian dan Pembahasan
3.1 Vera
Secara etomologis, istilah vera berasal dari kata (verba) pera yang berarti ’mempertunjukkan’,
’memperlihatkan’ atau ’memberitahukan’. Secara leksikal kata atau istilah vera berarti mempertunjukkan
dengan cara menari sambil menyanyi. Secara konseptual, yang dimaksud dengan vera adalah pertunjukan
tarian yang diiringi nyanyian tradisional dalam bahasa Rongga. Dalam perkembanganya, vera yang
diyakini berasal dari pera mengalami perluasan makna menjadi “petuah/nasihat” atau “wasiat leluhur”
(Arka, 2010:93; Sumitri 2015:59). Perubahan itu terjadi karena isi pesan yang terkandung dalam petuah
leluhur berfungsi sebagai penuntun moral dan pedoman etika bagi warga etnik Rongga dalam penataan
pola perilaku hidup mereka sehari-hari yang esensi isi pesannya bermuara pada pemertahanan keselarasan
hubungan dengan Tuhan, roh leluhur, dan roh alam. Kerangka pemahaman itu menggambarkan adanya
kekuatan lain di luar dirinya yang sangat menentukan keberadaan, kebertahananan, dan keberlanjutan
hidup mereka sebagai manusia dan masyarakat. Vera sebagai produk dan praktek budaya warisan leluhur
yang menyingkap wujud tindakan religius sebagai penciri keberagamaan etnik Rongga.
Berdasarkan konteks yang melatarinya, secara umum vera yang hidup dan berkembang dalam
relalitas kehidupan etnik Rongga dapat diklasifikasikan atas dua kelomopok yakni vera sarajawa (vera
sedih) dan vera haimelo (vera gembira). Vera sara jawa disebut vera sedih karena konteks yang
melatarinya adalah peristiwa sedih yaitu peristiwa kematian khusus bagi orang-orang tertentu misalnya
kepala suku, dan juga bagi orang yang meninggal dalam usia seratus tahun lebih. Tujuan pelaksanaa vera
sara jawa ini untuk menghormati orang yang meninggal. Penghormatan ini dilakukan dengan
mengisahkan kebajikan dan kebaikan yang dilakukan semasa hidupnya. Sedangkan vera haimelo adalah
vera syukuran/gembira. Vera haimelo dapat dibedakan dalam beberapa jenis berdasarkan konteksnya.
Beberapa jenis vera haimelo yang dimaksud yaitu: (1) vera saju (berkaitan dengan hal-hal ganjil dalam
kehidupan manusia); (2) vera dheke ra’a (berkaitan dengan pemulihan nama baik seseorang), (3) vera
dheke sa’o (berkaitan dengan upacara masuk rumah adat yang baru); (4) vera gha’u gha’a
(dipertunjukkan sebagai sarana hiburan); dan (5) vera mbuku sa’o (berkaitan dengan kegiatan dalam
bidang pertanian) yang di dalamnya terdapat beberapa jenis vera dan salah satu di antaranya adalah vera
mbasa wini (lihat Sumitri, 2015).Tujuan pelaksanaan vera haimelo adalah untuk menyampaikan upacara
syukur kepada Tuhan dan roh leluhur atas semua penyelenggaraan hidup mereka sebagai manusia dan
anggota masyarakat.
Kebermaknaan peran vera berkaitan dengan konsepsi etnik Rongga bahwa kehidupan manusia
bersifat dialektis karena di dalamnya bergayut dua dimensi makna yang berhubungan secara oposisional,
yakni makna kehidupan dan makna kematian sebagai bukti keberhinggaan esksistensi manusia. Vera
sebagai bagian ritual berupa pertunjukan tarian diiringi nyanyian dilaksanakan pada tengah malam hingga
pagi hari menjelang matahari terbit. Vera sebagai sebuah tradisi pertunjukan memiliki karakteristik yang
khas yang dapat dilihat dari beberapa aspek seperti diuraikan berikut ini.
3.1.1 Bentuk Tarian Vera
Tarian vera merupakan tarian khas etnik Rongga. Tarian ini diiringi nyanyian dengan
karakteristik unik karena hanya menampilkan gerakan kaki sesuai irama lagu. Formasi tarian vera adalah
berbentuk dua barisan yang dibawakan oleh penari dewasa (laki-laki dan perempuan). Penari laki-laki
disebut woghu, penari perempuan disebut daghe dengan seorang pemimpin tarian disebut noa lako.
Semua penari menggunakan busana adat sangat sederhana tanpa disertai riasan muka. Busana atasan
penari perempuan (daghe) mengenakan kebaya berwarna putih dan bawahan menggunakan kain tenun
songket khas etnik Rongga. Sedangkan penari laki-laki (woghu) menggunakan hiasan kepala berupa peci
sebuah atribut yang harus dipakai, busana atasan menggunakan kemeja lengan panjang berwarna putih
dan bawahan menggunakan kain tenun songket khas etnik Rongga. Sesuai dengan perkembangan zaman
1498
Proceeding The 1st International Conference on Social Sciences and Humanities (ICSSH), LIPI, 2016
busana penari vera tidak ada aturan yang mengikatnya, yang terpenting busananya bersih, rapi dan sopan
sesuai dengan tatanan adat yang berlaku.
Tarian vera diragakan dalam posisi berdiri dengan membentuk dua barisan masing-masing
barisan minimal terdiri atas 10 orang, barisan depan adalah penari daghe (perempuan) yang berpegangan
tangan merentang setinggi ulu hati dan barisan belakang adalah woghu, dan noa lako sebagai pemimpin
berada di depan daghe. Tarian vera menampilkan gerakan kaki sambil bergoyang dengan posisi tangan
selang berangkai dan tarik-tarikan tatkala syair-syair yang dinyanyikan tanpa iringan alat musik. Gerakan
kaki ini dalam tari vera merupakan unsure pokok dan merupakan alat bantu untuk mengemukakan
ekspresi spontan jiwa penari vera. Gerakan-gerakan kaki penari vera terwujud sebagai ekspresi emosi
tanpa referensi atau tanpa disebabkan oleh hal-hal dari luar dirinya (bdk. Murgiyanto dalam Depdikbud,
1986:48). Gerakan-gerakan tarian vera yang ditampilkan menggambarkan persatuan dan kesatuan sebagai
ikatan kesatuan masyarakat adat. Berikut adalah pertunjukan vera ritual terkait dengan ritual pertanian
khususnya vera haimelo mbuku mbasa wini (upacara pemberkatan bibit padi dan jagung saat musim
tanam.
Gambar 1: Formasi Penari Vera (noa lako, daghe, woghu)
Dokumen Sumitri (2012)
Gambar 1 di atas adalah formasi penari vera sebelum dimulai dengan membentuk dua barisaan.
Para penari menari dan menyanyi bersama dengan gerakan kaki serentak. Gerakan kaki penari mulai
pelan dan siap-siap lari dalam posisi baris berangkai di bawah panduan penari paling depan (ana ulu).
Gerakan kaki disesuaikan dengan irama lagu berpantun yang dinyanyikan woghu dan dibalas oleh noa
lako. Woghu yang mengemban tugas khusus untuk melantunkan syair vera memberikan aba-aba kepada
penari untuk mulai menari tari sambil berlari pelan disebut posa jara ‘petunjuk langkah’. Noa lako
(pemimpin tarian) berada pada barisan paling depan menghadap daghe adalah pemandu yang bertugas
membalas pantun dari posa pata. Ana ulu ‘anak kepala’ adalah seorang penari perempuan yang berada di
barisan ujung paling depan yang bertugas menarik dan mengarahkan para penari yang lain pada saat
gerakan tari berlari mengelilingi arena. Ana eko ‘anak akhir’ bersama ana ulu ‘anak kepala’ membentuk
barisan yang kuat agar tidak putus atau pisah.
Sementara menari dan menyanyi, para penari berpegangan tangan menari sambil bergerak ke
depan dan ke belakang, berjalan keliling secara berulang-ulang. Semua gerakan disesuaikan dengan
gerakan kaki dan badan seiring dengan irama lagu, namun tetap bernuansa sakral. Gambaran alur gerakan
kaki dan badan sesuai irama lagu yang didendangkan dapat dilihat pada gambar 2. di bawah ini.
Proceeding The 1st International Conference on Social Sciences and Humanities (ICSSH), LIPI, 2016
1499
Gambar 2: Alur gerakan kaki daghe/penari vera perempuan
Dokumen Sumitri (2012)
Gambar 2 di atas menunjukkan alur gerak kaki penari vera yang dipandu noa lako. Nilai seni
vera ini terletak pada keharmonisan gerak penari, lantunan lagu, dan kepiawaian pemimpin dalam
memandu. Sinergisitas semua unsur menambah keindahan dan keharmonisan gerak tari vera, di samping
nyanyian yang didendangkan menambah maraknya suasana pertunjukan vera. Tarian penutup disebut
dengan tangijo ditandai dengan pelemparan selendang oleh daghe.
Pada tahap ini, noa lako bergabung kembali ke barisan woghu dan posisinya diganti oleh seorang
daghe yang disebut pani ‘umpan’. Woghu menyanyikan syair-syair lagu secara berulang-ulang pada saat
acara tangi jo. Pada saat dinyanyikan jo jodo, selempang dari seorang pani dan ana ulu bersentuhan dan
kemudian keduanya berpelukan sebagai tanda perdamaian. Hal itu menandakan bahwa tarian vera sudah
selesai. Vera ditutup dengan acara tetendere, yakni pemukulan gong dan tambur oleh woghu dan daghe,
dengan durasi waktu kurang lebih sepuluh menit. Acara selanjutnya adalah acara minum kopi bersama
dan sesudah itu semua peserta vera bubar dan pulang ke rumah masing-masing.
Urutan tindakan tarian vera tersebut merupakan bagian dari kaidah warisan leluhur yang
diterima etnik Rongga sebagai norma sosial yang patut ditaati. Jika tidak ditaati, diyakini bahwa roh
leluhur akan marah dan sebagai konsekuensinya mereka akan mendapat sanksi adikodrati seperti sakit
dan sebagainya. Sanksi tersebut dipahami etnik Rongga sebagai media peringatan atas kesalahan yang
dibuatnya pada saat pelaksanaan vera. Oleh karena itu, selama vera berlangsung, semua pelibat mesti
berperilaku santun dalam tuturan dan perbuatan.
Selain vera berkaitan dengan ritual yang bersifat sakral terdapat pula vera untuk pertunjukkan
dengan tujuan untuk umum yang tidak bersifat profan. Vera ini biasanya diadakan pada saat penyambutan
tamu atau peresmian gedung, dan peringatan hari nasional seperti hari pendidikan nasional lihat gambar
(3)
1500
Proceeding The 1st International Conference on Social Sciences and Humanities (ICSSH), LIPI, 2016
Gambar (3) Pertunjukkan Vera Anak-anak
dalam Rangka Menyambut Hari Pendididkan Nasional
Dokumen Arka, 2005
Gambar (4) Pertunjukan Vera orang dewasa
(penyambutan tamu) Sumber: Markus Makur
3.1.2 Bentuk Nyanyian Vera
Nilai seni vera terletak pada adanya keharmonisan berbagai unsur, selain terletak pada unsur olah
gerak tari yang dibawakan oleh penari, juga terletak pada bentuk nyanyian yang dilagukan. Syair
nyanyian vera dilagukan menggunakan bahasa Rongga, dituang dalam bentuk puisi religius-magis
sebagai refleksi hubungan dengan yang bersifat transendental (hubungan antara manusia dengan Tuhan,
leluhur, dan roh alam). Syair-syair nya dirakit dengan menggunakan pola bahasa khas bergaya sastra
dengan satuan kebahasaan bercorak paralelisme. Keindahan syair lagu yang dinyanyikan dipengaruhi oleh
kehadiran gaya bahasa pada tataran parelelisme yang menunjukkan perpaduan secara leksikal melalui
pengulangan bentuk maupun pengulangan bunyi pada tataran fonologis yang mewujud dalam bentuk
asonansi, aliterasi, rima.
Pola formula bahasa tersebut menambah kedinamisan gerak tari dan lagu yang dilantunkan oleh
penari. Selain itu, juga untuk menjaga keseimbangan antara gerak tari dan lagu yang dinyanyikan untuk
menciptakan keharmonisan estetis-magis karena berkaitan yang bersifat transindental. Berikut adalah
contoh bentuk syair nyanyian vera yang dinyanyikan oleh penari vera.
Proceeding The 1st International Conference on Social Sciences and Humanities (ICSSH), LIPI, 2016
1501
(1) peko lako lau, kau mae tolo paru
‘kejar anjing ke selatan kamu jangan sembarang lari’
Peko lako zele, kau mae tolo hewe
‘Kejar anjing di atas kamu kamu jangan sembarang dengar’
Petuah: Janganlah sembarangan menerima dan menyebarkan
infromasi sebelum mengetahui kebenarnnya.
(2) Lerha mbo mbena sama mbesi wonga romba
Matahari terbit di Mbena seperti bunga kastela pagi hari
Lerha ko’e nggoru maru kau menga palu wau
Matahari sebelum sore bungamu terlanjur layu
Petuah: Kita hendaknya tahan dengan berbagai tantangan jangan cepat menyerah
Pada data (1) dalam kalimat pertama terdapat frasa atau kelompok kata menunjukkan
pengulangan yang tepat dari baris yang lainnya seperti peko lako‘ kejar anjing’. Pada tataran fonologis
menunjukkan adanya permainan bunyi berasonansi vokal berstruktur asimetris a-u pada (1) seperti kata
lau ‘ke selatan’ dengan kata kau ‘kamu’ dan dengan kata paru ‘lari’, vokal berstruktur asimetris e-a pada
kata lerha ‘matahari’, mbena ‘matahari’, dan vokal berstruktur asimetris o-a pada kata wonga ‘pagi’ dan
romba ‘hari’. Permainan bunyi dalam bentuk aliterasi konsonan /m/ pada (2) seperti mbena dan mbesi
dan juga sebagai kata yang berirama awal fonem konsonn /mb/
Pengulangan pola formula seperti tersebut di atas dalam pelantunan nyanyian vera merupakan
strategi bagi penyanyi untuk mengatur nafas guna disesuaikan dengan irama gerakan tari dan irama lagu.
Selain itu, penggunaan pola-pola diformulasikan dengan tujuan untuk memudahkan penyanyi dalam
menciptakan secara lancar baris-baris dalam jumlah yang banyak dalam rentang waktu yang singkat.
Tampilnya pola-pola bunyi bahasa seperti asonani, aliterasi dan rima berfungsi sebagai piranti linguistik
perajut pola keindahan bunyi-bunyi bahasa yang dinyanyikan.
Teks syair-syair lagu tersebut sebagai dokumentasi tradisi lisan merupkan wadah untuk
mewahanai dan melestarikan peristiwa sosiokultural masa silam. Syair-syair yang dinyanyikan itu sarat
dengan nilai-nilai filosofis yang masih relevan diterapkan dalam konteks kekinian seperti petuah/nasihat
berupa larangan atau himbauan seperti tampak pada data (1) dan (2).
3.1.3 Fungsi Vera Berkaitan Dengan Nilai Identitas Etnik Rongga
Vera merupakan salah satu produk dan praktek budaya Rongga memiliki fungsi dan peran
penting dalam kehidupan etnik Rongga. Pentingnya peran vera dalam kehidupan etnik Rongga karena
sebagai wadah penerusan nilai-nilai budaya warisan leluhur dan sebagai pedoman bertingkah laku dalam
kehidupan sehari-hari. Vera tampil dalam bentuk sebuah pertunjukan tarian dan nyanyian dengan
kekhasan tersendiri sebagai unsur pembangun dan menjadi lambang identitas etnik Rongga. Eksistensi
vera sebagai lambang identias etnik Rongga tampak dari (1) bahasa yang digunakan yaitu bahasa Rongga
sebagai bahasa daerah mereka; (2) milik bersama/kolektif sebagai tradisi warisan dari leluhur; (3) tradisi
budaya yang membentuk pergaulan dan interaksi antaranggota masyarakat; (4) menjadi media
pemertahanan keselarasan hubungan vertikal transendental dengan kekuatan adikodrati, yakni Tuhan, roh
leluhur, dan roh alam sebagai sumber kekuatan spiritual utama yang menentukan keberlanjutan hidup
mereka sebagai manusia dan masyarakat; dan (5) berperan sebagai pengikat dan memberikan perekat rasa
kebersamaan (sense of belonging) dalam ikatan komunitas etnik atau sub-sub etnik Rongga yang terdiri
1502
Proceeding The 1st International Conference on Social Sciences and Humanities (ICSSH), LIPI, 2016
atas 22 suku2 (clan). Adapun suku (clan) yang dimaksud adalah suku Liti, Motu, Lowa, Nggeli, Sawu,
Nggana, Raghi, Sui, Wio, Naru, Sera, Mbula, Kenge, Tanda, Ramba, Ria, Kewi, Poso, Ngenga, Nggejo,
Roka, dan Ramba (lihat Sumitri dan Arka, 2013:10; Sumitri, 2015:1). Semua suku tersebut mempunyai
jaringan hubungan yang terbentuk melalui kekerabatan darah dan hubungan kekerabatan perkawinan, di
samping kesamaan rumah induk sebagai rumah asal.
Sebagai suatu masyarakat adat, enik Rongga memiliki tata susunan masyarakat yang berpijak di
atas norma-norma adat, kekeluargaan, dan kebersamaan yang terbentuk sesuai kaidah sosial budaya
warisan leluhurnya yang tercermin dalam vera. Kandungan historis sebagai sumber pengetahuan yang
menyingkap asal-muasal dan identitas kolektif mereka turut memupuk semangat kolektif pada etnik
Rongga. Kebanggaan kolektif atas peran dan keberadaan Vera merupakan sebuah piranti adat yang
menciptakan kerukunan antarpendukung dalam bingkai kehidupan yang direkat dengan nilai rasa
kebersamaan sebagai sebuah komunitas.
Komunitas tersebut merupakan kumpulan individu yang mencari, membangun, memelihara
identitas bersama, atau identitas pembeda. Ini Artinya bahwa manusia dilahirkan sebagai individu yang
merdeka tetapi sekaligus pula tergantung pada kebersamaan antarmanusia. Vera sebagai bagian dari ritual
dalam wujud sebuah pertunjukkan seni merupakan kreativitas yang memberikan identitas keyakinan
dan menjadi ciri-ciri khas individu atau (suku) yang terlibat di dalamnya. Kekhasan ini sebagai atribut
bagi individu-individu untuk menunjukkan keberadaannya dengan kelompok sosial lainnya. Oleh kaerna
itu, vera memberikan kekhasan identitas etnik baik secara eksternal maupun internal.
a) Identitas Eksternal
Vera dengan berbagai atributnya memberikan kekhasan identitas sebagai keunikan group etnik di
Manggarai, Flores, Nusa Tenggara Timur secara eksternal. Artinya vera bisa dijadikan ciri pembeda
etnik Rongga jika berinteraksi dengan etnik yang lain di kawasan Manggarai khususnya dan di Indonesia
pada umumnya. Vera sebagai praktek budaya dengan berbagai kekhasan yang dimiliki menjadi
kebanggaan etnik Rongga karena tidak ada etnis lain yang memiliki vera sehingga vera identik dengan
etnik Rongga. Seperti halnya ritual penti yaitu ritual pergantian tahun yang dimiliki oleh etnik Manggarai
yang berada di Flores Barat. Ritual penti merupakan kekhasan budaya etnik Manggarai sebagai fitur
pembeda dengan etnis lainnya di Flores Barat (lihat Bustan, 2005). Hal ini berkaitan dengan pendapat
(Barker, 2004) bahwa identitas menunjuk pada esensi yang bisa dibedakan dengan tanda-tanda seperti
keyakinan, ritual, sikap, dan gaya hidup yang bersifat personal dan sosial karena menandai seseorang
sebagai orang yang sama dan sekaligus berbeda dengan orang lain/
2) Identitas Internal
Secara internal vera memberi warna identitas antarsuku sebagai guyub tutur etnik di Rongga.
Artinya vera menjadi ciri pembeda antar suku/clan dari antar orang Rongga itu sendiri yang terdiri atas
berbagai suku/clan seperti yang sudah dijelaskan di di atas. Keberbedaan antarsuku/clan terjadi
mempunyai sejarah sukunya masing-masing yang dikemas dalam vera, dan hanya dikuasai oleh orangorang penting di suku bersangkutan biasanya kepala suku. Peran suku dalam kehidupan etnik Rongga
Penggunaan istilah ‘suku’ dalam bahasa Rongga yang mempunyai pengertian lebih sempit daripada dalam
bahasa Indonesia. Istilah ‘suku’ dalam bahasa Rongga mempunyai pengertian kelompok komunitas yang memiliki
kesamaan sejarah keturunan dalam bentuk kesamaan identitas, termasuk kesamaan bahasa, rumah gendang (adat),
dan tradisi ritual termasuk vera. Meskipun terdiri atas 22 suku (clan), etnik Rongga merupakan kesatuan masyarakat
yang terikat secara geneologis dalam sistem kekerabatan patrilineal dengan konfigurasi sistem pewarisan harta dan
tanggungjawab sosial dirunut menurut garis keturunan laki-laki (Bustan, 2013). Pengertian istilah ‘suku’ dalam
bahasa Rongga berpadanan makna dengan istilah ‘wa’u’ dalam bahasa Manggarai yang menunjuk pada klen
patrilineal-genealogis.
2
Proceeding The 1st International Conference on Social Sciences and Humanities (ICSSH), LIPI, 2016
1503
pada masa sekarang lebih banyak berkaitan dengan urusan ritual adat warisan leluhur. Semua suku itu
mempunyai hubungan satu sama lain melalui hubungan darah maupun hubungan kekerabatan. Sebagai
suatu masyarakat, etnik Rongga memiliki tata susunan masyarakat adat yang berjalan di atas aturanaturan adat, kekeluargaan, dan kebersamaan yang diwarsikan dari nenek moyangnya. Rasa kebersamaan
bagian dari kesucian sosial yang menjadi pedoman moral dan etika bagi masyarakat Rongga dalam
bersikap dan berperilaku demi pemertahanan keharmonisan hubungan dalam konteks kehidupan
bermasyarakat.Terjalinnya rasa kebersamaan itu karena mereka merasa mempunyai ikatan batin yang kuat
sebagai warga masyarakat Rongga yang berasal dari satu keturunan.
Berikut adalah contoh penggalan nyanyian vera yang menggambarkan identitas dan sejarah asalusul suku Motu:
(3) Motu
Weka ndili mai,
Weka ndili mai
Jawa
Nama
nama turun datang, nama turun datang jawa
‘Motu Weka yang datang di sana adalah Motu Weka yang berasal dari jawa’
Rajo
ngazha milo motu, tu
ndele sarikando
Perahu
nama milo motu, tanah utara Sarikondo
‘Perahu mereka disebut milo motu berlabuh di sarikondo’
Sarikondo
mosa me’a, tei
motu stana mezhe
Nama
laki
dewasa sendiri lihat nama sangat.besar
‘Sarikondo sendiri sangat dikenal dan pertumbuhan motu sangat besar’
Motu
woe
limazhua,
embu me’a
sunggisina
Nama
teman
tuju
nenek sendiri nama
‘Motu adalah tuju bersaudara, keturunan dari Sunggisina’
Motu
Nama
woe
teman
limazhua,
tuju
beka
pecah
sogho
sebab
wae
air
kodhe
kera
‘Motu adalah tuju bersaudara tetapi mereka terpecah belah karena
berjuang untuk merebutkan sup kera.’ (bdk. Arka, 2010:93-94)
Petuah : Imbauan jangan melupakan nilai-nilai sejarah
Teks nyanyian vera di atas mengisahkan tentang asal-usul suku motu yang berasal dari keturunan orang
Jawa. Suku motu pada awalnya bersaudara tujuh, kemudian mereka pecah karena memperebutkan sup
kera. Berdasarkan informasi dari infroman di lapangan, perpecahan tujuh bersaudara tersebut dalam
perkembangannya menyebar di beberapa tempat di Rongga3.
Nilai historis vera menyebabkan vera berperan penting sebagai sumber pengetahuan asalmuasal/asal-usul diri, yang sekaligus membentuk identitas diri dan identitas kolektif. Jati diri ini pada
akhirnya memupuk semangat sosial kolektif dan menciptakan kerukunan hidup etnik Rongga. Kerukunan
itu dilandasi dengan nilai rasa kebersamaan sebagai saudara hidup dalam kebersamaan. Kebanggaan
kolektif atau kebersamaan atas vera menciptakan kerukunan antarpedukungnya akan tercipta
kebersamaan. Perbedaan identitas kedalam (antar suku) dan kebersamaan keluar (kelompok)
mencerminkan miniatur Indonesia, yakni kebhinekaan dalam kesatuan (Bhinneka Tunggal Ika) pada
tataran yang sangat lokal. Oleh karena itu, vera merupakan salah satu bentuk dari keberagaman budaya
Indonesia.
3
1504
Hasil wawancara dengan Bapak Markus bana Tanggal 02 Nopember 2015
Proceeding The 1st International Conference on Social Sciences and Humanities (ICSSH), LIPI, 2016
3.1.4 Dinamika Vera Dalam Realitas Kehidupan Etnik Rongga Dalam Kekinian
Sebagai bagian dari masyarakat Indonesia dan masyarakat dunia yang sedang berubah dan saling
bersentuhan secara tidak seimbang, masyarakat etnik Rongga juga mengalami dinamika. Masuknya
agama Katolik sebagai sistem religi yang baru pada abad ke-20 (lihat Djawanai, 1976) telah mengubah
manusia dan masyarakat Rongga dan masyarakat Manggarai umumnya demikian pula kebudayaannya.
Perubahan kebudayaan itu disebabkan oleh berbagai faktor. Seperti perubahan lingkungan yang
dapat menuntut perubahan kebudayaan yang bersifat adaptif, bisa menyebabkan perubahan-perubahan
nilai dan tata kelakuan yang ada. Di samping itu, kontak dengan kelompok-kelompok lain menyebabkan
masuknya gagasan-gagasan dan cara baru untuk mengerjakan sesuatu yang akhirnya menimbulkan
perubahan nilai perilaku tradisional (Haviland, 1993 : 250-252). Kemajuan pendidikan, baik formal,
maupun non formal dalam pelbagai jenjangnya, pada era informasi dan era teknologi informasi ini
merupakan kekuatan dominan yang memang sangat menentukan perkembangan penalaran dan cara
berpikir manusia, dan lebih dari itu telah mengubah dan mengembangkan orientasi hidup dalam dimensi
ruang dan waktu.
Perkembangan pendidikan formal yang modern di pelbagai wilayah Nusantara termasuk Rongga,
di Manggarai, Flores Nusa Tenggara Timur, walaupun secara kualitatif memang belum merata dan
memadai, telah mengubah pola pikir, kemampuan bernalar, bersikap dan berperilaku dan telah pula
menyebarkan ilmu pengetahuan dan teknologi bagi masyarakat setempat. Kemajuan infrastruktur, seperti
jalan raya dan didukung oleh kehadiran beraneka ragam kendaraan bermotor, telah mengubah pula
orientasi masyarakat terhadap teknologi transportasi dan gerak masyarakat Rongga dengan aneka
motivasi dan kepentingan. Kebiasaan jalan kaki melewati jalan setapak, melintas gunung, bukit, lembah,
menyeberangi sungai besar, dalam satuan waktu yang relatif lama, berubah sangat cepat pada sebagian
warga masyarakat. Mereka beralih ke pola transportasi yang sedikit lebih modern dalam bentuk
kendaraan baru, seperti colt, truk, minibus dan sebagainya yang sudah padat melintasi ruas jalan milik
pemerintah dalam waktu yang relatif cepat. Kebiasaan efesiensi waktu sudah mulai merambah ke pelosok
desa, lebih-lebih hadirnya jasa angkutan ojek seperti sepeda motor (lihat Sumitri, 2005).
Kehadiran agama Katolik juga telah mengubah sistem religi dalam kebudayaan orang Rongga,
dari keadaan sebelum masuknya agama tersebut. Religi tradisional berubah dan berdampingan dengan
agama tersebut, demikian juga telah hadir sekolah-sekolah Katolik yang juga mewarnai kehidupan
budaya, dengan didikan yang bernuansa agama. Formasi sikap dan perilaku religius yang sebelumnya
hanya mengacu pada religi asli seperti rumah adat, kini berdampingan dengan bangunan gereja (Mbete,
2000 )
Merujuk pandangan Koentjaraninggrat, (2002); Kleiden, (2000), perubahan pada semua aspek
kebudayaan walaupun pada tataran budaya yang abstrak dan mendasar dalam kehidupan manusia itu
memang sangat sulit berubah. Oleh karena itu, dapat dikatakan bahwa secara umum perubahan
kebudayaan dalam dimensi bentuknya yang nonmaterial meliputi perubahan mencakupi pola pikir, cara
hidup, sikap hidup, orientasi hidup, dan pola perilaku. Selain itu, dilihat dari dari sosok ragawi dan
bendawi juga terjadi perubahan. Demikian juga, tradisi ritual vera sebagai produk dan praktik budaya
Rongga telah mengalami dinamika. Dinamika yang dimaksud dalam hal ini adalah perubahan perilaku
sosal budaya pada tataran nonmaterial dan perubahan bentuk (material) dalam praktek hidup sehari-hari
etnik Rongga seperti uraian berikut.
1) Perubahan Nonmaterial : Pola Pikir, Sikap, Perilaku
Pola perilaku masyarakat etnik Rongga sebagai satu kesatuan masyarakat adat mengalami
dinamika sesuai dengan perkembangan masyarakatnya. Ada beberapa faktor yang telah membawa praktek
vera mengalami dinamika. Hal ini berkaitan pula dengan faktor keterancaman vera yang dikemukan
Arka (2010) di antaranya adalah (1) masuknya agama katolik, dan pendidikan modern di Rongga. Kedua
Proceeding The 1st International Conference on Social Sciences and Humanities (ICSSH), LIPI, 2016
1505
faktor ini mengikis pondasi kepercayaan tradisional untuk meneruskan ritual termasuk vera. Generasi
muda yang dididik dalam iklim Indonesia modern tidak mempunyai kesempatan untuk membagi
kewajiban tradisional untuk praktek ritual. Perilaku sebagaian generasi muda yang sudah mengenyam
pendidikan modern, yang sebelumnya berbasiskan budaya tradisonal, perilaku yang taat adat dan normanorma sebagai pedoman bertingkah laku, telah berubah secara cukup bermakna. Perubahan itu dapat
dilihat dari ketidaktaatan pada orang tua termasuki untuk mempraktekkan tarian vera sebagai bagian
identitas etnik Rongga. Sedangkan anak muda Rongga tidak demikian halnya. Beberapa generasi muda
etnik Rongga memiliki sifat yang ambivalen terhadap keberlangsungan vera yang mestinya ada dipundak
mereka. (2) adanya pergeseran minat dalam hidup modern. Pada zaman dahulu ketika orang-orang tua
sekarang masih muda mereka sangat antusias untuk belajar menari vera, karena tidak tersedianya media
hiburan lain waktu itu, sedangkan sekarang media hiburan sudah berbeda dam mudah tersedia. (3)
hubungan dengan isi ritual vera itu sendiri yang menurut generasi muda mereka tidak tertarik
mempelajari vera karena sangat membosankan, diulang-ulang, dan juga panjang dan lama dengan syair
nyanyain yang sudah ditetapkan tidak dapat diperbaiki jadi tidak aktraktif, dan (4) Faktor bahasa (syairsayir) nyanyian vera yang sangat sulit dipahami, sering berisi ungkapan yang bersifat arkais, serta tidak
memiliki keterampilan menari.
Berdasarkan fakta di lapangan banyak ditemukan pula sikap dan perilaku, dan aspirasi kaum
muda yang mau menang sendiri, tanpa mengindahkan kaidah-kaidah yang diwariskan oleh nenek moyang
mereka. Dari kebiasaan yang berorientasi ke masa lalu, kini kebiasaan masyarakat Rongga berorientasi ke
masa depan dan harapan hidup yang lebih baik. Walaupun demikian harus diakui bahwa cita-cita sebagian
besar kaum muda masyarakat Rongga menjadi pegawai negeri masih tinggi. Pekerjaan bertani sebagai
mata pencaharian andalan mereka, seperti menyiang rumput di ladang padi dan jagung, memelihara
tanaman pertanian masih dominan ditangani generasi tua. Pada hal ketrampilan mereka di bidang
pekerjaan yang modern seperti pariwisatapun belum memadai. Kondisi seperti ini berakar pula pada
proses dan sistem pendidikan nasional yang secara kualitas belum mampu menyiapkan generasi muda
untuk bekerja secara profesional.
Berkembangnya pola pikir yang lebih rasional sebagai dampak pendidikan juga turut mengubah
susbsistem kepercayaan, khususnya ritual vera. Vera sebagai bagian dari ritual mempunyai fungsi dan
makna religius untuk menyampaikan ucapan terima kasih kepada Tuhan sebagai wujud tertinggi (Mori
Ndewa), roh para leluhur (Embu Nusi), dan roh alam (Mori Tana), baik itu pada tataran pola pikir, sikap,
perilaku, dan orientasi hidup maupun dari segi fisik.
Mencermati sikap dan perilaku nonverbal masyarakat Rongga pada masa sekarang dapat dilihat
bahwa persepsi dan konsepsi mereka tentang eksistensi Tuhan sebagai wujud tertinggi (Mori Ndewa)
sebagai pencipta alam dan penguasa alam beserta isinya, masih tampak menyatu secara kontekstual dalam
realitas kehidupan mereka sehar-hari. Hal ini berarti bahwa tidak ada perubahan mendasar dan berarti
dalam persepsi dan konsepsi masyarakat Rongga tentang eksistensi Tuhan yang satu. Fenomena ini
kemungkinan terjadi karena adanya kesamaan pemahaman dengan ajaran yang tertera dalam tradisi gereja
Katolik sebagai agama yang dianut oleh mayoritas masyarakat Rongga.
Persepsi dan konsepsi masyarakat Rongga tentang eksistensi roh alam, secara dasariah memiliki
pengaruh positif dalam kehidupan masyarakat Rongga, karena roh alam juga termasuk makhluk ciptaan
Tuhan yang ditugasi untuk menjaga lingkungan alam. Pada saat tertentu, roh alam dapat menampilkan
sikap dan perilaku negatif Kecenderungan roh alam ini menunjukkan bahwa guyub kultur etnik Rongga
sudah mulai mensejajarkan pengertian roh dengan setan (bdk. Bustan, 2004). Perubahan dan pergeseran
cara pandang mereka tentang keberadaan roh alam ini berada di luar bingkai makna yang diamanatkan
oleh para leluhurnya. Menurut persepsi penulis, dipengaruhi oleh ajaran Katolik, bahwa makna roh alam
meluas menjadi sebagai setan.
Persepsi dan konsepsi tentang eksistensi roh para leluhur, secara kontekstual, baik pada masa
silam maupun pada masa sekarang, tidak mengalami perubahan. Penghormatan terhadap roh leluhur
1506
Proceeding The 1st International Conference on Social Sciences and Humanities (ICSSH), LIPI, 2016
masih memegang peranan yang sangat penting dalam realitas sosial budaya guyub kultur etnik Rongga
mengemban peran sebagai perantara doa dan permohonan kepada Tuhan, seperti dalam pelaksanaan ritual
vera. Oleh karena itu, dalam formasi sikap, iman dan keyakinan masyarakat Rongga pada masa sekarang
masih melekat sebuah asumsi budaya bahwa roh para leluhur akan marah jika otoritas rohaniahnya
diabaikan. Sebaliknya, jika roh para leluhur dihormati secara terus-menerus, maka kehidupan orang
Rongga sebagai manusia dan masyarakat akan selalu berada dalam keadaan damai dan sejahtera secara
material maupun spiritual. Kondisi ini dapat dilihat dari kedekatan hubungan mereka dengan roh para
leluhur yang ditunjukkan dengan memberikan sesajen secara rutin dan intensif kepada roh leluhur seperti
ritual vera. Berdasarkan fakta yang ada dalam ralitas sosial budaya guyub kultur etnik Rongga pada masa
sekarang, jika dilihat dari bentuk dan cara penghormatannya sikap peserta ritual vera dapat dipilah
menjadi empat kelompok. Masing-masing kelompok mempunyai cara penghormatan tersendiri yang
berbeda antara satu dengan yang lain dalam tataran tertentu.
2) Perubahan Bentuk Material
Sebagai produk dan praktik kebudayaan masyarakat Rongga, ritual vera sampai saat ini masih
bertahan, walaupun keutuhan ritualnya masih perlu dikaji lebih lanjut. Dengan mengamati proses
pelaksanaan ritual vera sampai akhir upacara, secara umum ritual tersebut masih menampakkan
keutuhan, tapi kalau dilihat dari aspek material yang dipergunakan, jika dibandingkan dengan tradisi
dahulu (berdasarkan wawancara), sudah menampakkan adanya pergeseran. Hal ini dapat dilihat dari
adanya perbedaan pada sarana yang digunakan saat ritual berlangsung, seperti busana yang dipakai.
Pada masa silam, busana yang dikenakan oleh peserta upacara busana adat Rongga dengan
warna serba putih. Hal ini menyiratkan kesakralan ritual yang dilaksanakan dengan pikiran yang bersih.
Namun saat ini pakaian yang dipakai peserta upacara sudah tidak sesuai dengan apa yang telah
diamanatkan oleh para leluhurnya, yang penting bersih, sopan, dan rapi. Demikian juga peralatan yang
lainnya, sifat kepraktisan dan keefesienan waktu juga sudah mempengaruhi pemikiran orang Rongga,
sebagai dampak kebudayaan mereka. Sebelumnya tempat untuk minum tuak atau arak menggunakan
bahan dari potongan bambu kecil yang dibuat oleh para leluhurnya. Begitu juga alas untuk
mempersembahkan daging mentah dan beras mentah maupun daging dan nasi masak menggunakan bahan
dari tempurung kelapa. Pemanfaatan isi alam ini merupakan hasil karya cipta para leluhur masyarakat
Rongga pada masa silam, dan hal itu membuktikan sifat kesalingtergantungannya dengan alam.
Uraian singkat di atas dapat menunjukkan bahwa masyarakat Rongga dalam melakukan acara
ritual khusunya vera telah banyak mengalami perubahan pada tataran sikap dan perilaku dan juga di
bidang material. Hal itu disebabkan oleh beberapa hal, di antaranya adalah sentuhan budaya global,
masyarakat Rongga tidak mau disebut orang ketinggalan zaman.
4. Simpulan dan Saran
Vera adalah bagian dari tradisi ritual berupa pertunjukan tarian tradisonal dan nyanyian khas
etnik Rongga yang terkait dengan ritual pertanian dan kehidupan manusia. Tarian ini dibawakan oleh
penari dewasa baik laki-laki (woghu) maupun perempuan (daghe) dengan seorang pemimpin tarian (noa
lako) dengan menggunakan busana sederhana tanpa riasan muka. Tarian vera memiliki bentuk dengan
karakteristik unik hanya menampilkan gerakan-gerakan kaki disesuaikan dengan irama lagu sambil
bergoyang dengan posisi tangan silang berangkai. Bentuk nyanyian vera dilantunkan dengan
menggunakan bahasa Rongga sebagai media yang terekpsresi dalam bentuk bait-bait puisi dengan polapola formula bahasa yang khas bergaya sastra dengan memnafaatkan fitur paralelisme yang sarat dengan
pesan moral dan etika.
Proceeding The 1st International Conference on Social Sciences and Humanities (ICSSH), LIPI, 2016
1507
Vera mempunyai fungsi dan peran penting dalam realitas kehidupan etnik Rongga sebagai wadah
pewarisan nilai budaya leluhur dengan karakteristik tersendiri sebagai lambang identitas baik secara
eksternal maupun secara internal. Identitas eksternal sebagai pembeda etnis Rongga dengan etnis lain di
Manggarai, dan identitas internal berfungsi sebagai ciri pembeda antarsuku (clan) yang mempunyai
sejarah sukunya sendiri. Sebagai sebuah produk dan praktek budaya, vera telah mengalami perubahan
dalam konteks kehidupan modern. Aspek-aspek yang mengalami perubahan selain merengkuh
nonmaterial seperti pola pikir, sikap dan perilaku, juga menyentuh tarian dan nyanyian vera terutama
sarana yang digunakan. Oleh karena itu, sudah sewajarnya nilai budaya Rongga ini dipertahankan,
dilestarikan dan diterapkan nilai-nilainya dalam kehidupan sehari-sehari etnik Rongga. Hal perlu
dilakukan mengingat derasnya pengaruh globalisi yang telah merambah dalam berbagai konteks
kehidupan masyarakat.
Daftar Pustaka
Arka, I. Wayan, dkk. 2007. Bahasa Rongga: Tatabahasa Acuan Ringkas. Jakarta. Penerbit Universitas
Atma Jaya (PUAJ).
Arka, I Wayan. 2010. Maintaning Vera in Rongga: Struggle over Culture, Tradition, and Language in
Modern Manggarai, Flores, Indonesia dalam Endangered Languages Of Austronesia. Margaret
Florey (Editor). Oxford University Press.
Arka, I Wayan. 2012. Kamus : Bahasa Rongga-Indonesia dengan Pelacak Kata
Bahasa Indonesia-Rongga. Jakarta. Penerbit Universitas Atma Jaya.
Barker, Chris. 2004 Cultural Studies : Teori dan Parktek. Diterjemahkan oleh Nurhadi. Yogyakarta:
Kreasi Wacana Yogyakarta.
Depdiknas.2002. Kamus Besar Bahasa Indonesia. Edisi ketiga. Jakarta Balai Pustaka.
Haviland, William A. 1995. Antropologi. Ali bahasa Soekadijo. Jakarta. Penerbit Erlangga
Kleden, Ignatius, 1996. Pergeseran Nilai Moral, Perkembangan Kesenian dan Perubahan Sosial. Kolom
8, 5-6
Koentjaraningrat, 2002. Manusia dan Kebudayaan di Indonesia. Jakarta: Djambatan.Kleden, Ignatius,
1996. Pergeseran Nilai Moral, Perkembangan Kesenian dan Perubahan Sosial. Kolom 8, 5-6
Purwasito, Andrik. 2003. Komunikasi multikultural. Surakarta Universitas Muhamadyah
Sairin. Sjafri, 2002. Perubahan Sosial Masyarakat Indonesia. Yogyakarta : Pustaka pelajar.
Sims. Martha C, dan Stephens Martine.2005. Living Foklor : an Introduction to
the Study of People and their Tradition. Utah State University Press.
Simatupang, Lono.2013 Pergelaran : Sebuah Mozaik Penelitian Seni-Budaya. Yogyakarta : Jalasutra.
Sumitri, Ni Wayan. 2005. Ritual Dhasa Jawa Pada Masyarakat Etnik Rongga, Manggarai, Nusa Tenggara
Timur. Tesis Program Studi Kajian Budaya Pascasarjana Universitas Udayana Denpasar
Sumitri, Ni Wayan dan Arka, I Wayan. 2013. Folklor Ritual Vera dari EtnikRongga Flores : Jendela Kini
untuk Masa lalu dan Masa Depan dalam Folklor dan Folklife dalam Kehidupan Dunia Modern :
Kesatuan dan Keberagaman. Yogyakarta: Penerbit Ombak.
Sumitri, Ni Wayan. 2015. Wacana Tradisi Lisan Vera Enik Rongga, di Manggarai Timur, Nusa Tenggara
Timur. Disertasi Program Pascasarjana, Universitas Udayana
1508
Proceeding The 1st International Conference on Social Sciences and Humanities (ICSSH), LIPI, 2016