BILINGUALISME DAN DIGLOSIA
Makalah
Oleh : NASYA SYAMSINISA
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah
Kajian sosiolinguistik sebagaimana kita ketahui adalah bahasa dilihat
dari pemakainya. Dalam hal ini diantaranya adalah penutur, dengan siapa
penutur berbahasa, apa yang dibahas dalam tuturan,
untuk apa tutur
dilakukan, dan bahasa apa yang digunakan penutur. Terkait dengan penutur
dan bahasa yang digunakan penutur, dalam sosiolinguistik dikenal istilah
bilingualisme dan diglosia.
Bilingualisme sudah tidak asing lagi bagi kita. Di televisi, radio, dan
media-media penyiaran lain sering kali menggunakan istilah bilingual, seperti
dalam film-film asing, terdapat tulisan “bilingual” di pojok atas layar televisi.
Tulisan bilingual tersebut artinya film itu ditayangkan dengan dua bahasa,
yaitu bahasa asli film dan bahasa terjemahan. Lalu bagaimana bilingualisme
di dalam kajian sosiolinguistik? Dan apa itu diglosia? Pembahasan lebih lajut
mengenai bilingualisme dan diglosia akan diuraikan dalam makalah ini
sebagai berikut.
B. Rumusan Masalah
1. Bagaimana pengertian bilingualisme menurut para ahli?
2. Bagaimana pengertian diglosia?
3. Bagaimana keterkaitan bilingualisme dan diglosia?
BAB II
PEMBAHASAN
A. Bilingualisme
1. Pengertian bilingualisme
Bilingualisme berasal dari bahasa inggris bilingualism. Bi berarti
dua, lingual berarti bahasa, dan isme adalah aliran, ajaran atau sifat. Dalam
bahasa indonesia, bilingual disebut juga sebagai kedwibahasaan,
maksudnya penggunaan dua bahasa atau dua kode bahasa. Dari sudut
pandang sosiolinguistik, bilingualisme secara umum diartikan sebagai
penggunaan dua bahasa oleh seorang penutur dalam pergaulannya dengan
orang lain secara bergantian. Untuk dapat menggunakan dua bahasa,
penutur harus menguasai kedua bahasa tersebut, terdiri atas bahasa ibu
(B1) dan bahasa asing (B2). Sedangkan seorang yang dapat menggunakan
dua bahasa disebut dengan bilingual atau dwibahasawan. Sedangkan
kemampuan untuk menggunakan dua bahasa disebut bilingualitas (dalam
bahasa Indonesia kedwibahasaan).
Pandangan beberapa ahli mengenai definisi bilingualisme sebagai
berikut.1
a. Menurut Bloomfield seseorang yang dikatakan bilingual ialah
seseorang yang dapat menggunakan B1 dan B2 nya dengan derajat
yang sama baiknya (native like control of two languages).
b. Robert Lado (1964:214) mengatakan bahwa bilingualisme adalah
kemampuan menggunakan bahasa oleh seseorang dengan sama baik
atau hapir sama baiknya, yang secara teknis mengacu pada
pengetahuan dua bahasa bagaimanapun tingkatnya.
c. Haugen (1961) mengungkapkan: tahu akan dua bahasa atau lebih
disebut bilingual, tidak perlu menggunakan keduanyasecara aktif tapi
cukup bisa memahaminya, mempelajari kedua bahasa terlebih bahasa
1
86-90
Abdul Chaer dan Leonie Agustina, Sosiolinguistik, 2014, Jakarta, Rineka Cipta, Hlm
asing yag tidak dengan sendirinya akan berpengaruh terhadap bahasa
aslinya.
d. Diebold (1968:10), kaitannya dengan menggunakan B2, menyatakan
adanya bilingualisme pada tingkat awal (incipient bilingualism), yaitu
bilingualisme yang dialami oleh orang-orang yang sedang mempelajari
bahasa asing pada tahap permulaan. Dari sini dapat diketahui terdapat
dasar bilingualisme pada tingkat selanjutnya.
e. Menurut Abdul Chaer dan Leonie Agustina, bilingual adalah
penguasaan bahasa mulai dari rentangan jenjang B1 ditambah tahu
sedikit akan bahasa asing B2, dilanjutkan dengan penguasaan B2
sehingga sama baiknya dengan penguasaan B1, tentu untuk fungsi dan
situasi apa saja. Meskipun bilingual yag dapat menguasai B1 dan B2
dengan sama baiknya sangat jarang sekali ditemukan. Biasanya apabila
seseorang menguasai dua bahasa dengan sama baik, hanya dalam ranah
atau domain tertentu dan lemah dalam domain lainnya.
f. Dalam hal ini, Halliday (dalam Fishman 1968: 141) menyebut seorang
bilingual yang dapat menggunakan B1 sama baiknya denga B2 sebagai
ambilingual. Sedangkan oleh Oksaar (dalam sebeok 1972: 481) disebut
ekuilingual. Dan oleh Diebold (dalam Hymes 1964: 496) disebut
koordinat bilingual.
g. Weinreich (1953:1) kedwibahasaan adalah kebiasaan menggunakan
dua bahasa atau lebih secara bergantian (the pratice of alternately
using two languages).2
h. Mackey, kedwibahasaan adalah menggunakan dua bahasa atau lebih
oleh seseorang (the alternative use of two or two languages by the
same individual).
2. Bahasa dalam bilingualisme
2
Aslinda Dan Leni Syafyahya, Pengantar Sosiolinguistik, 2007, Bandung, Refika
Aditama, Hal. 23
Bloomfield (1933) mengatakan menguasai dua bahasa dalam
bilingual berarti menguasai dua sistem kode. Bahasa sebagai sistem kode
lebih merujuk pada parole, termasuk diantaranya dialek dan ragam.
Mackey (1962: 12) memberikan maksud bahwa bahasa pada
bilingualisme adalah sama dengan langue. Karena bilingual dipraktikkan
dengan menggunakan bahasa secara bergantian dari satu bahasa ke bahasa
lain oleh penutur. Sehingga bahasa yang dimaksud adalah langue. 3
Sedangkan menurut Prawiroatmodjo dalam Djoko Koentjara,
peristiwa atau gejala kontak bahasa tampak menonjol dalam wujud
kedwibahasaan. Kedwibahasaan adalah pengguaan dua bahasa atau lebih
oleh seseorang. Kedwibahasaan lebih cenderung pada gejala tutur (parole),
sedangkan kontak bahasa lebih cenderung pada gejala bahasa (langue).
Pada prinsipnya, langue adalah sumber dari parole, maka dengan
sendirinya kontak bahasa akan tampak dalam kedwibahsaan. Dengan kata
lain, kedwibahasaan terjadi karena adanya kontak belajar.4
Mackey mengatakan kedwibahasaan bukan gejala bahasa, melainkan
gejala penggunaan, berarti tidak termasuk ke dalam langue, tetapi masuk
dalam parole. Jika bahasa adalah milik kelompok, maka kedwibahasaan
milik perseorangan. Namun pendapat ini ditentang oleh Oscar dan
Rusyana yang mengatakan bahwa kedwibahasaan tidak hanya dimiliki
oleh perseorangan, tetapi juga milik kelompok karena bahasa bukan hanya
sebagai alat perhubungan di antara kelompok, melainkan sebagai alat
untuk menegakkan kelompok dan alat untuk menunjukkan identitas
kelompok.5
Suwito dari sudut pandang lain memberi peluang adanya masyarakat
dwibahasawan yaitu masyarakat yang menggunakan dua bahasa atau lebih
sebagai alat komunikasi sebagaimana halnya individu dwibahasawan yang
menggunakan dua bahasa atau lebih sebagai alat komunikasi.6
3
Abdul Chaer dan Leonie Agustina, Op.Cit., hlm. 87
Aslinda, Op.Cit., hlm. 25
5
Ibid
6
Ibid
4
Sedangkan menurut dimyati, bilingualisme terdiri dari bilingualisme
individu, yaitu setiap individu yang menggunakan dua bahasa, dan
bilingualisme kelompok, yaitu setiap individu dalam kelompok yag
menggunakan dua bahasa.7
3. Tipe-tipe bilingualisme menurut para ahli
Tipe-tipe bilingualisme menurut para ahli, terdiri atas compound
billingualism dan coordinate billingualism (ervein dan osgood, 1954,
haugen, 1956, da weinreich, 19953).8
a. Compound billingualism adalah hasil belajar dalam dua bahasa dalam
situasi yang sama oleh orang yang sama. Sebagai contoh, seorang anak
belajar dua bahasa, misalnya bahasa A dan B dari Bapak dan Ibu secara
berganti-ganti.
Dalam
situasi
seperti
ini
kemungkinan
terjadi
interferensi bahasa lebih besar.
b. Coordinate billingualism adalah hasil belajar dua bahasa yang berbeda
dalam situasi yang berbeda, misalnya di sekolah anak berbicara bahasa
A dan di rumah bahasa B, atau dengan ibu berbahasa A dengan teman
berbicara bahasa B. Jadi, disini penggunaan bahasanya konsisten tidak
campur aduk. Meskipun demikia, perbedaan ini belum dapat
diperlihatkan validitasnya dalam eksperimen-eksperimen, meskipun
tidak kurang banyaknya percobaan dan tes dilakukan mengenai
pengukuran kedwibahasaan ini (jacobovits, 1970).
Perbedaan
antara
compound
bilingualisme
oleh
Kempen
digambarkan dengan diagram sebagai berikut.
artic. AB
speech recog. AB
generator AB
perbendaharaan kata dari bahasa
A+B
concept syst. AB
7
paser AB
Muhammad afifuddin al Dimyati, muhadharah fi ilmu lughah al ijtimai, 2010, dar al
ulum al lughah, surabaya, hlm. 79.
8
Samsunuwiyati Mar’at, Psikolinguistik: Suatu Pengantar, Refika Aditama, 2005,
Bandung 89-91
Model pemakai bahasa pada coordinate bilingualisme
perbendaharaan kata dari bahasa A
generator
speech recog.
AB
AB
perbendaharaan kata
dari bahasa A+B
Speech
recog. A
concept
paser
syst. AB
AB
perbendaharaan kata dari bahasa B
Speech
recog. B
Artic. A
Artic. B
Untuk membedakan bahasa mana yang dikuasai lebih dulu dan mana
yang kemudian, oleh pemakai bahasa dalam suatu masyarakat dwibahasa
dipergunaka berbagai istilah. Contohnya: bahasa ibu (mother tongue),
bahasa daerah (native tongue), bahasa asing, bahasa primer, bahasa
pertama (first tongue), dan bhasa kedua (second tongue).
Mac Laughin memberi batas pemerolehan bahasa pertama pada usia
tiga tahun. Apabila anak memperoleh bahasa kedua pada sebelum usia tiga
tahun, maka anak itu dianggap memperoleh bahasa secara stimulan. Oleh
karena itu dianggap sebagai bilingual.
4. Cara mengukur kedwibahasaan
Cara mengukur kedwibahasaan, menurut W.E. Lambert, suatu alat
untuk mengukur kedwibahasaan seseorang sebagai berikut.
a. Waktu reaksi seseorang tehadap dua bahasa.
Bila
kecepatan
reaksinya
sama
maka
dianggap
sebagai
dwibahasawan.misalnya dalam menjawab pertanyaan yang sama tetapi
dalam bahasa yang berbeda, yag diukur adalah kemampuan dalam segi
ekspresinya.
b. Kecepatan reaksi dapat diukur pula dari bagaimana seseorang
melaksanakan perintah-perintah yang diberikan dalam bahasa yang
berbeda. Yang dilihat di sini adalah kemampuan dalam segi
reseptifnya.
c. Kemampuan seseorang melengkapkan suatu perkataan. Misalnya
kepada subjek diberikan kata-kata yang tidak sempurna kemudian ia
harus melengkapi.
d. Mengukur kecenderungan (preferences) pengucapan seca spontan.
Dalam hal ini subjek diberikan suatu perkataan yang sama tulisannya,
tetapi berbeda pengucapannya dalam dua bahasa. Misalnya kata
“nation” dalam bahasa perancis dibaca “nasion” sedangkan dalam
bahasa inggris “nesjan”.
Mengukur bilingualisme ini dapat digunakan untuk mengetahui
sejauh mana penguasaan dua bahasa yang dimiliki seseorang.
B. Diglosia
Kata diglosia berasal dari bahasa Prancis diglossie, yang pernah
digunakan oleh Marcais, seorang linguis Prancis: tetapi istilah itu menjadi
terkenal dalam studi linguistik setelah digunakan oleh seorang sarjana dari
Standford University yaitu C.A. Ferguson pada tahun 1958. Ferguson
menggunakan istilah diglosia untuk menyatakan keadaan suatu masyarakat
dimana terdapat dua variasi dari satu bahasa yang hidup berdampingan dan
masing-masing mempunyai peranan tertentu. Rumusan asli Ferguson tentang
diglosia itu adalah sebagai berikut:9
1. Diglosia adalah suatu situasi kebahasaan yang relatif stabil, dimana selain
terdapat dialek-dialek utama (lebih tepat ragam-ragam utama) dari satu
bahasa terdapat juga sebuah ragam lain.
2. Dialek-dialek utama itu, di antaranya, bisa berupa dialek standart atau
sebuah standar ragional.
3. Ragam lain yang bukan dialek-dialek utama itu memiliki ciri:
a. Sudah (sangat) terkodifikasi
b. Gramatikalnya lebih kompleks
c. Merupakan wahana kesusastraan tertulis yang sangat luas dan
dihormati.
d. Dipelajari melalui pendidikan formal
9
Abdul Chaer dan Leonie Agustina, Op.Cit., hlm 92-93
e. Digunakan terutama dalam bahasa tulis dan bahasa lisan formal
f. Tidak digunakan (oleh lapisan masyarakat manapun) untuk percakapan
sehari-hari.
Diglosia ini dijelaskan oleh Ferguson dengan menengah-nengahkan
sembilan topik, yaitu: berikut kita bicarakan secara singkat.
1) Fungsi adalah kriteria yang sangat penting bagi suatu bahasa, terdapat dua
variasi bahasa yaitu bahasa tinggi (dialek T) dan bahasa rendah (dialek R).
Contoh dalam bahasa Arab dialek T adalah bahasa Arab klasik, bahasa AlQur’an yang lazim disebut al-fusha, dialek R adalah berbagai bentuk
bahasa Arab yang digunakan oleh bangsa Arab yang lazim disebut addarij.
2) Partise
berhubungan
dengan
sikap
penutur
dalam
guyup
diglosia/masyarakat tutur. Ragam T itu lebih unggul, lebih gagah, dan
lebih nalar. Ragam R dianggap lebih rendah bahkan keberadaannya
cenderung dihilangkan. Sebagai contoh kalau kita mengikuti ragam
Furgeson dapat dikatakan bahwa bahasa Indonesia itu merupakan ragam T
dan bahasa daerah itu merupakan ragam R.
3) Warisan
tradisi
tulis-menulis
Ferguson
sebagai
contoh
terdapat
kesusastraan dimana ragam T yang digunakan dan dihormati oleh
masyarakat bahasa tersebut. Kalau ada juga karya sastra kontemporer
dengan menggunakan ragam T, maka dirasakan maka dirasakan sebagai
kelanjutan tradisi itu, yakni karya sastra hasus menggunakan ragam T.
4) Pemerolehan bahasa ragam tinggi T dan ragam R. Ragam R dipakai untuk
berpicara dengan anak-anak dan dipakai di antara anak-anak sehingga
ragam R dipelajari secar normal dan tanpa sadar. Ragam T selalu menjadi
“ tambahan” biasanya melalui pengajaran formal di sekolah.
5) Pembekuan ( standardisasi). Karena ragam T dipandang sebagai ragam
yang bergengsi, maka tidak mengherankan kalau standardisasi dilakukan
terhadap ragam T tersebut melalui kodifikasi formal. Kamus, tata bahasa,
petunjuk lafal, dan buku-buku kaidah untuk penggunaan yang benar ditulis
untuk ragam T. Sebaliknya, ragam R tidak pernah diurus dan diperhatikan.
6) Stabilitas kestabilan dalam masyarakat diglosis biasanya telah berlangsung
lama dimana ada sebuah variasi bahasa yang dipertahankan eksistensinya
dalam masyarakat itu. Ragam R itu ditonjolkan sedangkan ragam R
digunakan kalau sangat terpaksa.
7) Tata bahasa ( gramatika) ferguson berpandangan bahwa ragam T dan
ragam R dalam diglosia merupakan bentuk-bentuk dari bahasa yang sama,
namun didalam gramatika ternyata terdapat perbedaan. Umpamanya,
didalam bahasa Jerman standar terdapat empat kasus nomina dan dan dua
tenses, sedangkan Jerman Swiss hanya terdapat tiga nomina dan satu
tenses sederhana.
8) Kosa kata (leksikon) sebagian besar kosa kata pada ragam T dan ragam R
adalah sama. Namun ada kosa kata dalam ragam T ada yang tidak ada
pasangannya pada ragam R atau sebaliknya. Umpamanya, dalam bahasa
ragam T yunani “rumah” adalah ikos sedangkan R adalah spiti.
9) Fonologi dalam bidang fonologi ada perbedaan struktur antara ragam T
dan ragam R. Perbedaan tersebut bisa dekat bisa jauh. Menyatakan sistem
bunyi ragam T dan sistem tunggal ragam R. Fonologi T sistem dasar dan
fonologi R beragam-ragam.
Artikel Ferguson menyatakan bahwa suatu masyarakat diglosis bisa
bertahan dalam waktu yang cukup lama meskipun terdapat “tekanan-tekanan”
yang dapat melunturkannya. Tekanan itu antara lain, (1) meningkatkan
kemampuan keaksaraan dan meluasnya komunikasi verbal pada satu negara
(2) meningkatnya penggunaan bahasa tulis (3) perkembangan nasionalisme
dengan keinginan adanya sebuah bahasa nasional sebagai lambang
kenasionalan suatu bangsa.
Juga dipersoalkan, rgam mana yang akan dipilih menjadi bahasa
nasional, ragamT atau ragam R. Dalam hal ini ada dua kemungkinan.
Pertama, ragam R dapat menjadi bahasa nasional karena ragam itulah yang
dipakai dalam masyarakat. Kedua, ragam T yang akan menjadi bahasa
nasional atau bahasa standar, asal saja (1) ragam T itu sudah menjadi bahasa
standar pada sebagian masyarakat, (2) apabila masyarakat diglosis itu
menyatu dengan masyarakat lain.
Di Indonesia situasi diglosia dapat dilihat dari dua situasi yaitu (1)
situasi pilihan bahasa yaitu antara pilihan bahasa Indonesia dan bahasa
daerah. (2) situasi penggunaan varian bahasa yaitu situasi yang dikenakan
pada pilihan ragam dalam bahasa Indonesia yakni ragam baku dan tidak baku.
Di Indonesia dalam kehidupan sehari-hari anatara bahasa Indonesia dan
bahasa daerah masing-masing memiliki kedudukan tinggi dan rendahnya
sesuai dengan situasinya. Dalam situasi resmi personal bahasa tinggi jatuh
kepada bahasa Indonesia. Kemudian dalam penggunaan ragam baku dan tidak
baku tampak ragam baku merupakan ragam tinggi dan ragam tidak baku
merupakan ragam rendah.
C. Kaitan Bilingualisme dan Diglosia
Kaitan bilingualisme dan diglosia memiliki empat macam sebagai
berikut.10
1. Diglosia dan Bilingualisme adanya dua bentuk bahasa dalam masyarakat.
Distribusi stabil atau tetap dari variasi-variasibahasa sesuai dengan fungsi
sosialnya.
2. Diglosia tanpa bilingualisme dalam masyarakat bahasa, terdapat perbedaan
fungsional yang ketat dari ragam-ragam bahasa sesuai dengan T dan R.
Dalam kasus ini, adalah perilaku kelompok dari kekuatan yang berkuasa
(ragam T), bukan hanya hidup jauh dari orang-orang biasa, melainkan
sengaja membedakan bahasa merekadari banyak orang. Kasus ini sering
ditemukan dalam masyarakat yang pernah dijajah.
3. Bilingualisme tanpa diglosia. Diglosia ditandai dengan distibusi fungsi
sosial yang bervariasi sesuai dengan suasana individual ataupunsosial.
Jadi, bilingualisme bervariasi sesuai dengan situasi peran topik dan tujuan
komunikasi.
10
Aslinda, Op.Cit., hlm. 29.
4. Tanpa bilingualisme dan diglosia jenis ini terdapat pada masyarakat yang
terisolasi.masyarakat yang tidak berhubungan dengan dunia luar. Menurut
Fishman, jenis ini jarang ditemukan.
Sedangkan hubungan antara bilingual dan diglosia dalam Kunjana
Rahardi11, masyarakat tutur bilingual dan diglosik adalah salah satu jenis
masyarakat tutur yang warga penuturnya menguasai dua bahasa atau lebih,
dan di antara bahasa-bahasa yang digunakan itu masing-masing memiliki
peran yang berbeda. Kunjana memberikan contoh masyarakat yang
memenuhi tipe ini dan dapat dijadikan tempat memperoleh data penelitian
sosiolinguistik, yaitu masyarakat tutur di wilayah DI Yogyakarta. Masyarakat
bilingual terjadi akibat adanya komunikasi dan interaksi antarkode yang
dilakukan individu satu dengan individu lain dalam suatu masyarakat (bdk.
Weinreich, 1953: 1).
Keadaan yang terjadi ketika dalam suatu masyarakat terdapat banyak
individu yang memiliki dan menguasai banyak bahasa (multilingual) atau
sedikitnya dua bahasa (bilingual), ialah terdapat kode-kode bahasa, variasivariasi bahasa, serta perbedaan peran dan fungsi dari masing-masing kode
dan variasi bahasa yang dimiliki dan digunakan masyarakat. Sebagai contoh
adalah masyarakat Jawa memiliki dan memakai bahasa Jawa, sedang bahasa
Jawa memiliki variasi bahasa, yaitu bahasa Jawa ngoko dan krama.
Kemudian variasi bahasa Jawa ngoko dan krama, memiliki peran dan fungsi
yang berbeda. Bahasa Jawa ngoko dipakai sebagai bahasa sehari-hari,
sedangkan bahasa Jawa krama biasa digunakan dalam suasana seremonial,
seperti upacara perkawinan. Kondisi demikian dalam studi sosiolinguistik
dikatakan bersifat diglosik.
11
R. Kunjana Rahardi, Kajian Sosiolinguistik: Ihwal Kode dan Alih Kode, Bogor: Ghalia
Indonesia, 2010, hlm. 5.
BAB III
PENUTUP
A. Simpulan
1. Bilingualisme adalah penguasaan seseorang terhadap dua atau lebih
bahasa.
2. Diglosia adalah dialek-dialek yang dikuasai seseorang dalam suatu bahasa.
3. Kaitan bilingualisme dengan diglosia ada empat, yaitu bilingual-diglosia,
bilingual tanpa diglosia, diglosia tanpa bilingual, serta tidak bilingual dan
tidak diglosia.
B. Saran
Demikian makalah ini kami susun. Meskipun kami telah berusaha
dengan baik dalam menyusun, kami menyadari terdapat banyak kekurangan
di dalamnya. Oleh karena itu, kami memohon kritik dan saran yag
mendukung demi perbaikan bagi kami dan pihak lainnya. Akhirnya, semoga
makalah ini dapat menjadi manfaat bagi kita semua.
DAFTAR PUSTAKA
al Dimyati, Muhammad afifuddin. Muhadharah Fi Ilmu Lughah Al Ijtimai, 2010.
Surabaya: Dar Al Ulum Al Lughah.
Aslinda dan Leni Syafyahya. Pengantar Sosiolinguistik. 2007. Bandung: Refika
Aditama.
Chaer, Abdul dan Danlleonie Agustina. Sosiolinguistik. 2014. Jakarta: Rineka
Cipta.
Mar’at, Samsunuwiyati. Psikolinguistik: Suatu Pengantar. 2005. Bandung: Refika
Aditama.
Rahardi, R. Kunjana. Kajian Sosiolinguistik: Ihwal Kode dan Alih Kode. 2010.
Bogor: Ghalia Indonesia.