UJIAN TENGAH SEMESTER
HUKUM KELUARGA DAN HARTA BENDA PERKAWINAN
(Dosen Pengajar: Prof. Dr. I Gst. Ayu Ag. Ariani, SH., MS.)
Nama : Ni Kadek Ayu Ena Widiasih
NIM : 1882411017
MAGISTER KENOTARIATAN
FAKULTAS HUKUM
UNIVERSITAS UDAYANA
DENPASAR
2018
Jawaban No. 1:
Sistem kekeluargaan di Indonesia dapat dibedakan menjadi 3 yakni sebagai berikut :
Sistem patrilineal, yaitu sistem kekerabatan yang ditarik menurut garis bapak, kedudukan laki-laki lebih menonjol pengaruhnya dibandingkan dengan kedudukan perempuan dalam hal pewarisan sehingga yang berhak melanjutkan garis keturunan hanyalah anak/keturunan laki-laki.
Sistem matrilineal, yaitu sistem kekerabatan yang ditarik menurut garis ibu, kedudukan perempuan lebih menonjol pengaruhnya dibandingkan dengan kedudukan laki-laki dalam hal pewarisan sehingga yang berhak melanjutkan garis keturunan hanyalah anak/keturunan perempuan.
Sistem parental, yaitu sistem kekerabatan yang ditarik menurut garis kedua orang tua baik ayah maupun ibu, kedudukan laki-laki dan perempuan tidak 2 dibedakan dalam hal pewarisan sehingga masing-masing dari mereka mempunyai hak yang sama.
H. Hilman Hadikusuma, 1999, Hukum Waris Adat, cetakan ke-6, PT. Citra Aditya Bakti, Bandung, hlm. 23.
Sistem kekeluargaan yang saling bertentangan karakternya adalah Sistem kekeluargaan patrilineal dan matrilineal.
Karakteristik dalam sistem kekeluargaan patrilineal yakni:
Setelah terjadinya perkawinan seorang wanita masuk ke dalam keluarga laki-laki
Adat menetap setelah perkawinan bertempat tinggal di rumah keluarga laki-laki
Anak masuk dalam keluarga laki-laki dan meneruskan keturunan pada keluarga laki-laki
Anak laki-laki menjadi pewaris
Bentuk perkawinan pada sistem kekeluargaan patrilinial yakni, jujur nyeburin, levirat sorarat dan mengabdi
Karakteristik dalam perkawinan matrilineal yakni:
Setelah terjadinya perkawinan laki-laki masuk dalam keluarga perempuan
Adat menetap setelah perkawinan bertempat tinggal di rumah keluarga perempuan
Anak masuk dalam keluarga perempuan dan meneruskan keturunan pada keluarga perempuan
Anak perempuan menjadi pewaris
Bentuk perkawinan pada sistem kekeluargaan matrilineal yakni, semenda.
Seiring dengan perkembangan masyararakat, dinamika yang terjadi pada sistem kekeluargaan patrilineal yang sebelumnya adat menetap setelah perkawinan bertempat tinggal di rumah keluarga laki-laki (parilokal) serta pada sistem kekeluargaan matrilineal yang sebelumnya adat menetap setelah perkawinan bertempat tinggal di rumah keluarga perempuan (matrilokal) dapat pula menganut pola menetap setelah menikah di luar pusat kediaman kerabat suami atau kerabat istri (neolokal).
Selain itu, dalam pola menetap setelah kawin juga terjadi perubahan lain seperti pada masyarakat yang menganut sistem kekeluargaan patrilineal, seorang laki-laki yang apabila dilihat dari segi ekonomi dapat dikatakan kurang mampu daripada si perempuan setelah terjadinya perkawinan tinggal dan menetap di kediaman si perempuan yang lebih mampu dari segi ekonomi. Apabila dilihat tentunya terjadi perubahan dinamika dalam pola menetap setelah kawin dari sistem kekeluargaan patrilineal yang seharusnya menetap di keluarga laki-laki, bukan malah menetap di keluarga perempuan.
Dinamika selanjutnya yakni dalam sistem kekeluargaan patrilineal, lahir bentuk perkawinan nyentana/nyeburin yang disebabkan karena keluarga yang hanya memiliki anak perempuan ingin tetap melanjutkan keturunannya. Sehingga dengan adanya perkawinan nyentana, status perempuan berubah menjadi purusa dan status laki-laki berubah menjadi pradhana, serta anak yang lahir dari perkawinan tersebut melanjutkan keturunan dari keluarga ibunya (perempuan).
Jawaban No. 2:
Tujuan Perkawinan:
Menurut UU No. 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan
Di dalam Pasal 1 dinyatakan bahwa yang menjadi tujuan perkawinan sebagai suami isteri adalah untuk membentuk keluarga (rumah tangga) yang bahagia dan kekal berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa. Selanjutnya dijelaskan bahwa ‘untuk itu suami isteri perlu saling membantu dan melengkapi agar masing-masing dapat mengembangkan kepribadiannya membantu dan mencapai kesejahteraan spiritual dan material’.
Menurut Hukum Adat
Tujuan perkawinan bagi masyarakat hukum adat yang bersifat kekerabatan adalah untuk mempertahankan dan meneruskan keturunan menurut garis kebapakan atau keibuan atau keibu-bapakan, untuk kebahagiaan rumah tangga keluarga/kerabat, untuk memperoleh nilai-nilai adat budaya dan kedamaian, dan untuk mempertahankan kewarisan.
Hilman Hadikusuma, 2007, Hukum Perkawinan Indonesia menurut Perundangan,, Hukum Adat, Hukum Agama, CV. Mandar Maju, Bandung, hlm. 22.
Menurut Hukum Agama
Menurut Hukum Agama Islam
Menurut perintah Allah untuk memperoleh turunan yang sah dalam masyarakat, dengan mendirikan rumah tangga yang damai dan teratur, serta untuk mencegah maksiyat atau perzinahan.
Agama Hindu
Untuk mendapatkan keturunan, dan untuk menebus dosa-dosa orang tua dengan menurunkan seorang putra (yang akan menyelamatkan arwah orang tuanya dari neraka).
Agama Kristen
Untuk membentuk suatu persekutuan hidup yang kekal antara pria dan wanita berdasarkan cinta kasih.
Agama Budha
Untuk membentuk rumah tangga yang bahagia dan diberkahi oleh Sanghyang Adi Budha, para Budha dan para Bodhisatwa-Mahasatwa.
Ibid, hlm. 23-24.
Dalam pasal 7 ayat (1) UU No. 1 Tahun 1974 dinyatakan bahwa “Perkawinan hanya diizinkan jika pihak pria sudah mencapai umur 19 (Sembilan belas) tahun dan pihak wanita sudah mencapai umur 16 (enam belas) tahun”.
Hubungan antara tujuan perkawinan dengan syarat batas umur perkawinan termuat dalam penjelasan umum angka 4 huruf d yaitu calon suami isteri harus telah masak jiwa raganya untuk dapat melangsungkan perkawinan, agar supaya dapat mewujudkan tujuan perkawinan secara baik tanpa berakhir pada perceraian dan mendapat keturunan yang baik dan sehat. Untuk itu harus dicegah adanya perkawinan diantara calon suami isteri yang masih dibawah umur.
Disamping itu, perkawinan mempunyai hubungan dengan masalah kependudukan. Ternyatalah bahwa batas umur yang lebih rendah bagi seorang wanita untuk kawin mengakibatkan laju kelahiran yang lebih tinggi. Berhubung dengan itu, maka undang-undang ini menentukan batas umur untuk kawin baik bagi pria maupun bagi wanita, ialah 19 (Sembilan belas) tahun bagi pria dan 16 (enam belas) tahun bagi wanita.
Rechtsidee (cita hukum) menurut Gustav Radbruch adalah kepastian, keadilan dan kemanfaatan.
Sidharta, 2010, Reformasi Peradilan dan Tanggung Jawab Negara, Bunga Rampai Komisi Yudisial, Putusan Hakim: Antara Keadilan, Kepastian Hukum, dan Kemanfaatan, Jakarta, hlm. 3. Terkait dengan pasal 1 dan pasal 7 UU No. 1 Tahun 1974 yang menjadi rechtsideenya yakni:
Kepastian
Untuk mendukung terwujudnya tujuan dari perkawinan pada pasal 1, maka ditentukan mengenai batas umur perkawinan sesuai dengan pasal 7 yakni pria 19 tahun dan wanita 16 tahun, sehingga terdapat suatu kepastian hukum yaitu perkawinan dibawah usia tersebut adalah dilarang.
Keadilan
Apabila dilihat dari segi keadilan, UU No. 1 Tahun 1974 dapat dikatakan adil karena berlaku secara nasional dan sama-sama menetapkan batas umur perkawinan untuk pria dan wanita yang diharapkan dapat mewujudkan tujuan dari perkawinan serta mencegah terjadinya perkawinan anak. Namun apabila dilihat dari sudut pandang gender, terjadi ketimpangan antara batas umur pria dan wanita, mengingat batas umur untuk wanita lebih rendah dari pria, sehingga mengakibatkan wanita yang masih berumur 16 tahun yang seharusnya masih bersekolah tidak dapat melanjutkan pendidikannya.
Kemanfaatan
Dengan ditetapkannya usia minimal yang diizinkan untuk melakukan perkawinan untuk pria (19 Tahun) dan wanita (16 Tahun), maka diharapkan calon suami isteri tersebut telah masak jiwa raganya untuk dapat melangsungkan perkawinan, agar dapat mewujudkan tujuan perkawinan secara baik tanpa berakhir pada perceraian dan mendapat keturunan yang baik dan sehat.
Jawaban No. 3:
Mengenai sahnya perkawinan diatur dalam Pasal 2 UU No.1 Tahun 1974. Dalam ayat (1) ditentukan bahwa “perkawinan adalah sah, apabila dilakukan menurut hukum masing-masing agamanya dan kepercayaannya itu”, selanjutnya dalam ayat (2) “Tiap-tiap perkawinan dicatat menurut peraturan perundang-undangan yang berlaku”.
Sejak berlakunya UU No. 1 Tahun 1974 sahnya perkawinan menurut hukum agama di Indonesia yang ditentukan dalam pasal 2 ayat (1) bersifat menentukan. Apabila suatu perkawinan tidak dilakukan menurut hukum agamanya masing-masing berarti perkawinan itu tidak sah.
Op.Cit, hlm. 25. Sedangkan dalam pasal 2 ayat (2) pencatatan perkawinan dilakukan guna memperoleh perlindungan hukum bagi suami maupun isteri serta pihak ketiga (anak yang lahir dari perkawinan tersebut).
Selain merujuk pada ketentuan pasal 2 UU No. 1 Tahun 1974 tersebut, sahnya suatu perkawinan juga ditentukan oleh adanya persyaratan materiil dan formil, yang meliputi:
1) Syarat materiil mutlak (menyangkut pribadi orangnya) adalah sebagai berikut:
Harus ada persetujuan dari kedua belah pihak calon mempelai.
Arti persetujuan yaitu tidak seorang-pun dapat memaksa calon mempelai perempuan dan calon mempelai laki-laki, tanpa persetujuan kehendak yang bebas dari mereka. Persetujuan dari kedua belah pihak calon mempelai adalah syarat yang relevan untuk membina keluarga.
(Pasal 7 UU No. 1 Tahun 1974) Usia calon mempelai pria sekurang-kurangnya harus sudah mencapai 19 tahun dan pihak calon mempelai wanita harus sudah berumur 16 tahun.
Tidak terikat tali perkawinan dengan orang lain.
2) Syarat materiil relatif (berkenaan dengan larangan perkawinan) yaitu:
Tidak melanggar larangan perkawinan yang diatur UU No. 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan Pasal 8, Pasal 9 dan Pasal 10, yaitu larangan perkawinan antara dua orang yaitu:
Hubungan darah dalam garis keturunan lurus ke bawah atau ke atas.
Hubungan darah garis keturunan ke samping.
Hubungan semenda.
Hubungan susuan.
Hubungan saudara dengan isteri atau sebagai bibi.
Mempunyai hubungan dengan agama atau peraturan yang berlaku dilarang kawin.
Telah bercerai untuk kedua kalinya. sepanjang hukum masing-masing agama dan kepercayaan tidak menentukan lain.
3) Syarat Formil: yakni tata cara /prosedur perkawinan (diatur dalam hukum adat).
Sahnya perkawinan menurut hukum adat bagi masyarakat hukum adat di Indonesia pada umumnya bagi penganut agama tergantung pada agama yang dianut masyarakat adat bersangkutan. Sehingga, jika telah dilaksanakan menurut tata tertib hukum agamanya, maka perkawinan itu sudah sah menurut hukum adat.
Op. Cit, hlm. 26. Setiap desa adat di Bali, mempunyai aturan tertulis maupun tidak tertulis yang berlaku bagi desa adat bersangkutan, yang dikenal dengan awig-awig atau pararem.
Wayan P. Windia, 2008, Bali Mawacara Kesatuan Awig-Awig, Hukum dan Pemerintahan di Bali, Udayana University Press, Denpasar, hlm. 58. Hukum adat di Bali mengatur mengenai larangan perkawinan yakni meliputi:
Wanita dalam pelarangan (wanita yang telah dilamar)
Wanita Janda sehalaman
Janda yang suaminya terkena hukuman mati
Gamia gemana
Makedengan Ngad (perkawinan silang)
Paradara (mengawini wanita yang masih dalam ikatan perkawinan)
Bukti konkrit dari sahnya suatu perkawinan adalah dengan adanya akta perkawinan yang dikeluarkan oleh kantor catatan sipil setelah perkawinan tersebut dilakukan menurut hukum agama, sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan, dan hukum adat, yang dilanjutkan dengan pencatatan perkawinan di kantor catatan sipil. Sedangkan dalam hukum adat di Bali, sahnya perkawinan dapat dilihat dari 2 hal yakni secara sekala dan niskala. Secara sekala sahnya perkawinan terjadi pada saat acara tukar cincin yang disaksikan oleh kepala lingkungan dan kelian banjar dari pihak mempelai laki-laki dan perempuan, yang kemudian dilanjutkannya dengan penandatanganan surat perpindahan penduduk akibat perkawinan.
Selanjutnya secara niskala sahnya suatu perkawinan dilihat berdasarkan hukum agama Hindu yang dianut oleh masyarakat adat di Bali yakni ketika telah dilaksanakannya upacara mekalan-kalan. Upacara ini mempunyai makna yang amat dalam, sesuai dengan namanya "mekalan-kalan" yang memiliki kata dasar "kala" ini diartikan sebagai sebuah kekuatan buruk, yang penuh dengan energi negatif yang disimbulkan dalam wujud raksasa, diadakannya upacara ini tujuannya adalah menetralisir sifat-sifat kala yang ada dalam tubuh kedua mempelai, sehingga sedapat mungkin bisa berubah menjadi sifat dewa, yaitu bijak sana dan dipenuhi dengan kebajikan. Upacara ini dilaksanakan di tengah pekarangan rumah dalam istilah Balinya disebut dengan "natah".
Analisis Kasus:
A
B
C
Laki-laki tidak berkasta
Perempuan berkasta (Sentana Rajeg)
Nyentana
1
3
2
Perempuan
Perempuan
Laki-laki
Selingkuh
Perempuan (Saudara sepupu B), Hamil
Perkawinan Nyentana merupakan salah satu bentuk perkawinan yang terdapat dalam sistem kekeluargaan patrilineal. Perkawinan nyentana dimaksudkan untuk melanjutkan keturunan bagi keluarga yang tidak memiliki anak laki-laki. Anak perempuan yang melakukan perkawinan nyentana diangkat menjadi sentana rajeg.
Sentana rajeg (sentana = keturunan, ahli waris), (rajeg = dikukuhkan, ditegakkan), adalah anak perempuan yang dikukuhkan statusnya menjadi penerus keturunan atau purusa. Dalam Kitab Manawa Dharmasastra (IX:127), sentana rajeg disebut dengan istilah putrika yang kedudukannya sama dengan anak laki-laki, yaitu sebagai pelanjut keturunan dan ahli waris terhadap harta orang tuanya.
I Ketut Sudantra, I Gusti Ngurah Sudiana, Komang Gede Narendra, 2011, Perkawinan Menurut Hukum Adat Bali, Udayana University Press, Denpasar, hlm. 8.
Dalam bentuk perkawinan ini, suami yang berstatus sebagai pradana dilepaskan hubungan hukumnya dengan keluarga asalnya dan selanjutnya masuk dalam keluarga kepurusa isterinya. Dengan demikian keturunan dalam keluarga kepurusa itu tetap dilanjutkan oleh anak yang berstatus purusa. Anak yang lahir dari perkawinan ini berkedudukan hukum dalam keluarga ibunya, sehingga menunaikan kewajiban (Swadharma) dan mendapatkan haknya (Swadikara) dalam keluarga ibunya.
Ibid, hlm. 9. Perkawinan dengan bentuk nyentana juga memiliki syarat-syarat yang harus dipenuhi, yakni perempuan dan laki-laki yang akan melangsungkan perkawinan dengan cara nyentana harus satu wangsa, satu dadia, satu sembah, parit keparit.
Pada jaman kerajaan perkawinan beda kasta merupakan perkawinan yang dilarang pada masyarakat Hindu di Bali, terutama apabila dilakukan oleh perempuan berkasta dengan laki-laki yang tidak berkasta (patriloma), maka akan dikenakan sanksi berupa dibuang ke selong. Namun saat ini, perkawinan beda kasta secara hukum tidak lagi dianggap sebagai larangan perkawinan sejak tahun 1951 berdasarkan keputusan DPRD No. 11/Tahun 1951 tanggal 12 Juli tahun 1951. Meskipun perubahan hukum larangan perkawinan beda kasta ini masih menyisakan masalah tersendiri dalam masyarakat karena masih dilangsungkannya upacara patiwangi dalam perkawinan yang lazim disebut Nyerod.
Dalam kasus tersebut, A (laki-laki) tidak berkasta melakukan bentuk perkawinan nyentana dengan B (perempuan) berkasta pada tahun 1980. Perkawinan beda kasta ini sesungguhnya tidak melanggar apabila didasarkan pada keputusan DPRD No. 11/Tahun 1951. Meskipun terdapat syarat untuk melakukan bentuk perkawinan nyentana yakni harus satu wangsa, satu dadia, satu sembah, parit keparit yang menimbulkan pertentangan dalam masyarakat, namun perlu dilihat pula dasar tujuan dari adanya bentuk perkawinan nyentana yakni untuk melanjutkan keturunan dari pihak keluarga perempuan. Sehingga dalam hal ini, 3 (tiga) orang anak yang lahir dari perkawinan A dan B merupakan anak sah yang melanjutkan keturunan di keluarga B. Begitupula dengan hak mewaris, setelah B meninggal, anak yang menjadi ahli waris dari harta warisan B adalah anak laki-laki dari B.
Anak yang nantinya lahir dari perselingkuhan antara A dan C merupakan anak luar kawin. Apabila nantinya pada saat anak C lahir, A mengakui keberadaan anak tersebut sebagai anaknya, namun A dan C tidak terikat dalam perkawinan yang sah maka anak tersebut disebut sebagai anak astra, namun apabila A tidak mengakui keberadaan anak tersebut sebagai anaknya serta A dan C tidak terikat dalam perkawinan yang sah maka anak tersebut disebut sebagai anak bebinjat. Anak luar kawin, selain memiliki hubungan keperdataan dengan ibunya dan keluarga ibunya dapat pula memperoleh hubungan keperdataan dengan ayahnya dan keluarga ayahnya sepanjang dapat dibuktikan berdasarkan ilmu pengetahuan dan teknologi dan/atau alat bukti lain berdasarkan Putusan MK No. 46/PUU-VIII/2010.
DAFTAR PUSTAKA
Buku:
Hadikusuma, H. Hilman, 1999, Hukum Waris Adat, cetakan ke-6, PT. Citra Aditya Bakti, Bandung.
Hadikusuma, Hilman, 2007, Hukum Perkawinan Indonesia menurut Perundangan,, Hukum Adat, Hukum Agama, CV. Mandar Maju, Bandung.
Sidharta, 2010, Reformasi Peradilan dan Tanggung Jawab Negara, Bunga Rampai Komisi Yudisial, Putusan Hakim: Antara Keadilan, Kepastian Hukum, dan Kemanfaatan, Jakarta.
Windia, Wayan P., 2008, Bali Mawacara Kesatuan Awig-Awig, Hukum dan Pemerintahan di Bali, Udayana University Press, Denpasar.
I Ketut Sudantra, I Gusti Ngurah Sudiana, Komang Gede Narendra, 2011, Perkawinan Menurut Hukum Adat Bali, Udayana University Press, Denpasar.
Perundang-Undangan:
Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan. Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1974 Nomor 1. Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3019.
Keputusan DPRD No. 11/Tahun 1951, tanggal 12 Juli tahun 1951.
Putusan Mahkamah Konstitusi No. 46/PUU-VIII/2010.