KATA PENGANTAR
Puji syukur kami panjatkan kehadirat Tuhan yang Maha Esa karena atas rahmat serta karunia-Nya sehingga saya berhasil menyelesaikan Makalah ini dengan baik serta tepat waktu dengan judul “KEARIFAN LOKAL SUKU BUGIS DI SULAWESI”.
Makalah ini membahas tentang peran “KEARIFAN LOKAL” atau lebih khususnya membahas tentang aturan-aturan tradisional yang masih dipertahankan oleh masyarakat, dapat kita ketahui melalui makalah ini hal yang perlu kita lakukan untuk meningkatkan kesadaran kita tentang pentingnya kearifan lokal untuk tetap dilestarikan.
Saya menyadari bahwa makalah ini masih jauh dari sempurna, baik dari segi isi maupun tata letak, oleh karena itu kritik dan saran dari semua pihak yang bersifat membangun selalu kami harapkan demi perbaikan makalah ini.
Semoga makalah ini dapat bermanfaat bagi penyusun bagi pembaca pada umumnya. Semoga Tuhan yang Maha Esa senantiasa meridhai segala usaha saya. Amin.
Palu , 19 0ktober 2017
DAFTAR ISI
Kata Pengantar............................................................................................. i
Daftar Isi...................................................................................................... ii
BAB I PENDAHULUAN.......................................................................... 1
1.1 Latar Belakang........................................................................... 1
1.2 Rumusan Masalah...................................................................... 2
1.3 Tujuan........................................................................................ 2
1.4 Manfaat Penulisan...................................................................... 3
1.5 Metode Penulisan....................................................................... 3
BAB II PEMBAHASAN............................................................................ 5
2.1 Definisi Kearifan Lokal............................................................. 5
2.2 Pulau Sulawesi........................................................................... 8
2.3 Suku-suku di Pulau Sulawesi..................................................... 16
2.4 Kearifan Lokal Suku Bugis........................................................ 18
BAB III PENUTUP.................................................................................... 28
3.1 Kesimpulan................................................................................ 28
3.2 Saran.......................................................................................... 28
DAFTAR PUSTAKA
LAMPIRAN-LAMPIRAN
BAB I
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Masyarakat Indonesia memiliki kebudayaan yang multi dimensi, begitu pula dengan aspek bahasa, agama, ras dan warna kulit sehingga aspek pluralitas menjadi karakter dari bangsa ini. Dimensi keragaman di atas adalah perwujudan dari integritas bangsa itu sendiri. Hal ini merupakan konsekuensi dari aspek pluralitas dan multi dimensi masyarakat Indonesia, untuk itu transformasi kearifan lokal melalui wadah pendidikan menjadi sebuah alternatif untuk kembali membangun kemandirian bangsa di era global sekarang ini. Kearifan lokal sering dikonsepsikan sebagai kebijakan setempat (local wisdom), pengetahuan setempat (local knowledge) atau kecerdasan setempat (local genious). Kearifan lokal adalah sikap, pandangan, dan kemampuan suatu komunitas di dalam mengelola lingkungan rohani dan jasmaninya, yang memberikan kepada komunitas itu daya-tahan dan daya tumbuh di dalam wilayah dimana komunitas itu berada. Dengan kata lain kearifan lokal adalah jawaban kreatif terhadap situasi geografis-geopolitis, historis, dan situasional yang bersifat lokal.
Menggali dan menanamkan kembali kearifan lokal secara inheren melalui pendidikan dapat dikatakan sebagai gerakan kembali pada basis nilai budaya daerahnya sendiri sebagai bagian upaya membangun identitas bangsa, dan sebagai semacam filter dalam menyeleksi pengaruh budaya lain. Nilai-nilai kearifan lokal itu meniscayakan fungsi yang strategis bagi pembentukan karakter dan identitas bangsa.
Peran pendidikan yang secara esensi mengandung upaya “memanusiakan manusia” merupakan sebuah perwujudan pembentukan karakter masyarakat yang lebih mandiri dengan berangkat dari kearifan lokal masing-masing daerah.
Kearifan lokal adalah pandangan hidup dan ilmu pengetahuan serta berbagai strategi kehidupan yang berwujud aktivitas yang dilakukan oleh masyarakat lokal dalam menjawab berbagai masalah dalam pemenuhan kebutuhan mereka. Kearifan lokal pada dasarnya dapat dipandang sebagai landasan bagi pembentukan jati diri bangsa secara nasional. Pendidikan dalam arti luas tidak hanya terjebak pada terminologi pendidikan formal, yang memiliki acuan perjenjangan yang jelas. Namun lebih dari itu pendidikan baik formal maupun non-formal harus mampu melakukan transformasi local wisdom dalam aktifitas pendidikan itu sendiri. Kerangka sederhana ini memungkinkan adanya hubungan relasional antara pendidikan dan kebudayaan. Dengan pendidikan orang dapat berbudaya, dan melalui budaya persaingan di era global menjadi lebih berarti.
1.2 Rumusan Masalah
Dari uraian latar belakang diatas, dapat dirumuskan beberapa pertanyaan yang nantinya akan menjadi obyek kajian dalam perumusan makalah ini, yang mencakup:
1. Memaknai kearifan lokal sebagai intisari dari kekayaan budaya yang ada di Indonesia. Mampukah kekuatan local wisdom menjadi kekuatan dalam persaingan di era global?
2. Bisakah Indonesia bersaing di dunia Internasional? Membaca ulang peran masyarakat lokal dalam melestarikan pendidikan dan kebudayaan.
1.3 Tujuan
Sebagaimana telah dijelaskan di atas bahwa kearifan lokal yang ada di Indonesia akan menemukan eksistensinya jika ditopang oleh usaha mengintegrasikan antara pendidikan dan kebudayaan, sehinggandiharapkan mampu memberi kontribusi kepada masyarakat guna melestarikan dan mengembangkan local wisdom masing-masing untuk bersaing di era globalisasi.
Berangkat dari kerangka di atas maka tujuan penulisan makalah ini adalah:
1. Memaknai intisari kearifan lokal sebagai khasanah kekayaan bangsa, sehingga kekuatan itu harus terus digali untuk membentuk kebudayaan yang mampu bersaing.
2. Mengetahui konsistensi masyarakat Indonesia dalam melestarikan dan mengembangkan kebudayaan nasional melalui aspek pendidikan.
1.4 Manfaat Penulisan
Adapun manfaat dari penulisan makalah ini adalah:
1. Memberikan gambaran akan kekayaan budaya yang seharusnya menjadi kekuatan untuk bersaing di dunia Internasional.
2. Menjadikan kekuatan menulis sebagai kultur intelektual untuk membangun peradaban masyarakat Indonesia.
3. Memposisikan peranan penting pendidikan dalam membangun kekuatan kebudayaan.
1.5 Metode Penulisan
Proses penulisan makalah ini berangkat dari minat untuk melakukan riset secara sederhana dalam lingkup literatur kepustakaan yang selanjutnya membentuk gagasan, konsep maupun teori. Proses ini dilakukan melalui penelusuran dan menelaah referensi-referensi yang ada kaitannya dengan tema yang penulis angkat. Sebagai layaknya studi kualitatif yang sederhana proses bimbingan dan dialog secara intensif juga kami lakukan dalam perumusan naskah ini kepada dosen pembimbing yang bersangkutan.
Karena proses penulisan ini menggunakan pola riset yang sederhana maka pola pengumpulan data yang dilakukan adalah dengan membaca serta mempelajari buku atau karya yang telah dikelompokkan menjadi sumber primer dan sekunder. Sumber primer merupakan buku-buku pendidikan dan kebudayaan yang kemudian dikorelasikan dengan tema yang diangkat.
Sedangkan sumber sekunder adalah buku penopang yang lain. Begitu juga dengan jurnal, dan data-data yang bisa dipertanggung jawabkan.
Dalam pengolahan data penulis menggunakan metode deskriptif-analitis. Deskriptif dalam artian metode yang digunakan memakai pencarian data yang berkaitan dengan tema yang diangkat dengan interpretasi yang jelas, tepat, akurat dan sistematis. Sedangkan analitis dimaksudkan untuk menguraikan data secara kritis, cermat dan terarah.
Untuk memperoleh analisis yang komprehensif, berikut akan diurai komposisi penyusunan makalah ini yakni terdiri atas tiga bab yang terdiri dari: Bab Pertama, merupakan bab pendahuluan yang memuat tentang latar belakang, rumusan maslah, tujuan penulisan dan manfaat penulisan. Bab Kedua, menjelaskan tentang pembahasan dari tema yang sedang diangkat. Sedangkan Bab Ketiga, merupakan penutup yang terdiri dari kesimpulan dan saran.
BAB II
PEMBAHASAN
2.1 Definisi Kearifan Lokal
Kearifan lokal berasal dari dua kata yaitu kearifan (wisdom), dan lokal (local). Secara umum maka local wisdom (kearifan setempat) dapat dipahami sebagai gagasan-gagasan setempat (local) yang bersifat bijaksana, penuh kearifan, bernilai baik, yang tertanam dan diikuti oleh anggota masyarakatnya. Kearifan lokal terbentuk sebagai keunggulan budaya masyarakat setempat maupun kondisi geografis dalam arti luas. Kearifan lokal merupakan produk budaya masa lalu yang patut secara terus-menerus dijadikan pegangan hidup. Meskipun bernilai lokal tetapi nilai yang terkandung di dalamnya dianggap sangat universal.
Kearifan lingkungan atau kearifan lokal masyarakat sudah ada di dalam kehidupan masyarakat semenjak zaman dahulu mulai dari zaman prasejarah hingga saat ini, kearifan lingkungan merupakan perilaku positif manusia dalam berhubungan dengan alam dan lingkungan sekitarnya yang dapat bersumber dari nilai-nilai agama, adat istiadat, petuah nenek moyang atau budaya setempat yang terbangun secara alamiah dalam suatu komunitas masyarakat untuk beradaptasi dengan lingkungan di sekitarnya. Wietoler dalam Akbar (2006)
Kearifan lokal adalah pandangan hidup dan ilmu pengetahuan serta berbagai strategi kehidupan yang berwujud aktivitas yang dilakukan oleh masyarakat lokal dalam menjawab berbagai masalah dalam pemenuhan kebutuhan mereka. Sistem pemenuhan kebutuhan masyarakat tersebut meliputi seluruh unsur-unsur kehidupan Agama/Kepercayaan, Ilmu Pengetahuan, Teknologi, Ekonomi, Organisasi Sosial (Hukum, Politik), Bahasa/Komunikasi serta Kesenian. Mereka mempunyai pemahaman, program, kegiatan, pelaksanaan terkait untuk mempertahankan, memperbaiki, mengembangkan unsur kebutuhan mereka itu dengan memperhatikan ekosistem (flora, fauna dan mineral) serta sumberdaya manusia yang terdapat pada warga mareka sendiri.
Kearifan lokal sesungguhnya mengandung banyak sekali keteladanan dan kebijaksanaan hidup. Pentingnya kearifan lokal dalam pendidikan kita secara luas adalah bagian dari upaya meningkatkan ketahanan nasional kita sebagai sebuah bangsa. Budaya nusantara yang plural dan dinamis merupakan sumber kearifan lokal yang tidak akan mati, karena semuanya merupakan kenyataan hidup (living reality) yang tidak dapat dihindari.
a) Landasan Historis
Kearifan lokal dapat bersumber dari kebudayaan masyarakat dalam suatu lokalitas tertentu. Dalam perspektif historis, kearifan lokal dapat membentuk suatu sejarah lokal. Sebab kajian sejarah lokal yaitu studi tentang kehidupan masyarakat atau khususnya komunitas dari suatu lingkungan sekitar tertentu dalam dinamika perkembangannya dalam berbagai aspek kehidupan. Wijda dalam (Koentjaraningrat, 1986).
Awal pembentukan kearifan lokal dalam suatu masyarakat umumnya tidak diketahui secara pasti kapan kearifan lokal tersebut muncul. Pada umumnya terbentuk mulai sejak masyarakat belum mengenal tulisan (praaksara). Tradisi praaksara ini yang kemudian melahirkan tradisi lisan.
Secara historis tradisi lisan banyak menjelaskan tentang masa lalu suatu masyarakat atau asal-usul suatu komunitas. Perkembangan tradisi lisan ini dapat menjadi kepercayaan atau keyakinan masyarakat. Dalam masyarakat yang belum mengenal tulisan terdapat upaya untuk mengabadikan pengalaman masa lalunya melalui cerita yang disampaikan secara lisan dan terus menerus diwariskan dari generasi ke genarasi. Pewarisan ini dilakukan dengan tujuan masyarakat yang menjadi generasi berikutnya memiliki rasa kepemilikan atau mencintai cerita masa lalunya. Tradisi lisan merupakan cara mewariskan sejarah pada masyarakat yang belum mengenal tulisan, dalam bentuk pesan verbal yang berupa pernyataan yang pernah dibuat di masa lampau oleh generasi yang hidup sebelum generasi yang sekarang ini.
b) Landasan Psikologis
Secara psikologis pembelajaran berbasis kearifan lokal memberikan sebuah pengalaman psikologis kepada siswa selaku pengamat dan pelaksana kegiatan. Dampak psikologis bisa terlihat dari keberanian siswa dalam bertanya tentang ketidaktahuannya, mengajukan pendapat, persentasi di depan kelas, dan berkomunikasi dengan masyarakat. Dengan pemanfaatan lingkungan maka kebutuhan siswa tentang perkembangan psikologisnya akan diperoleh. Karena lingkungan merupakan salah satu faktor yang mempengaruhi pembentukan dan perkembangan perilaku individu, baik lingkungan fisik maupun lingkungan sosio-psikologis, termasuk didalamnya adalah belajar. Terhadap faktor lingkungan ini ada pula yang menyebutnya sebagai empirik yang berarti pengalaman.
c) Landasan Politik dan Ekonomi
Secara politik dan ekonomi pembelajaran berbasis kearifan lokal ini memberikan sumbangan kompetensi untuk mengenal persaingan dunia kerja. Dari segi ekonomi pembelajaran ini memberikan contoh nyata kehidupan sebenarnya kepada siswa untuk mengetahui kegiatan untuk memenuhi kebutuhan hidup. Karena pada akhirnya siswa dididik dan disiapkan untuk menghadapi persaingan global yang menuntut memiliki ketrampilan dan kompetensi yang tinggi di lingkungan sosial.
d) Landasan Yuridis
Secara yuridis pembelajaran berbasis kearifan lokal mengarahkan peserta didik untuk lebih menghargai warisan budaya Indonesia. Sekolah Dasar tidak hanya memiliki peran membentuk peserta didik menjadi generasi yang berkualitas dari sisi kognitif, tetapi juga harus membentuk sikap dan perilaku peserta didik sesuai dengan tuntutan yang berlaku. Apa jadinya jika di sekolah peserta didik hanya dikembangkan ranah kognitifnya, tetapi diabaikan afektifnya. Tentunya akan banyak generasi penerus bangsa yang pandai secara akademik, tapi lemah pada tataran sikap dan perilaku. Hal demikian tidak boleh terjadi, karena akan membahayakan peran generasi muda dalam menjaaga keutuhan bangsa dan Negara Indonesia. Nilai-nilai kearifan lokal yang ada di sekitar sekolah dapat dimanfaatkan untuk pembelajaran di Sekolah Dasar. Tak terkecuali dalam pembelajaran untuk menanamkan nilai-nilai nasionalisme. Dengan diintegrasikannya nilai-nilai kearifan lokal dalam pembelajaran di Sekolah Dasar diharapkan siswa akan memiliki pemahaman tentang kerifan lokalnya sendiri, sehingga menimbulkan kecintaan terhadap budayanya sendiri.
2.2 Pulau Sulawesi
Secara Etimologi, Sulawesi atau Pulau Sulawesi (atau sebutan lama dalambahasa Inggris: Celebes) adalah sebuah pulau dalam wilayah Indonesia yang terletak di antara PulauKalimantan disebelah barat dan Kepulauan Maluku disebelah timur. Dengan luas wilayah sebesar 174.600 km², Sulawesi merupakan pulau terbesar ke-11di dunia. Di Indonesia hanya luas pulau Sumatera, Kalimantan, dan pulau Papuasajalah yang lebih luas wilayahnya daripada pulau Sulawesi, sementara dari segi populasi hanya pulau Jawa dan Sumatera sajalah yang lebih besar populasinya daripada Sulawesi.
Nama Sulawesi diperkirakan berasal dari kata dalam bahasa-bahasa di Sulawesi Tengah yaitu kata sula yang berarti nusa (pulau) dan kata mesi yang berarti besi (logam), yang mungkin merujuk pada praktik perdagangan bijih besi hasil produksi tambang-tambang yang terdapat di sekitar Danau Matano, dekat Sorowako, Luwu Timur. Sedangkan bangsa/orang-orang Portugis yang datang sekitar abad 14-15 masehi adalah bangsa asing pertama yang menggunakan nama Celebes untuk menyebut pulau Sulawesi secara keseluruhan.
Sedangkan berdasarkan letak geografisnya Sulawesi merupakan pulau terbesar keempat di Indonesia setelah Papua, Kalimantan dan Sumatera dengan luas daratan 174.600 kilometer persegi. Bentuknya yang unik menyerupai bunga mawar laba-laba atau huruf K besar yang membujur dari utara ke selatan dan tiga semenanjung yang membujur ke timur laut, timur dan tenggara. Pulau ini dibatasi oleh Selat Makasar di bagian barat dan terpisah dari Kalimantan serta dipisahkan juga dari Kepulauan Maluku oleh Laut Maluku. Sulawesi berbatasan dengan Borneo di sebelah barat,Filipina di utara, Flores di selatan, Timor di tenggara dan Maluku di sebelah timur.
Pada saat kemerdekaan Indonesia, Sulawesi berstatus sebagai propinsi dengan bentuk pemerintahan otonom di bawah pimpinan seorang Gubernur. Propinsi Sulawesi ketika itu beribukota di Makassar, dengan GubernurDR.G.S.S.J. Ratulangi. Bentuk sistem pemerintahan propinsi ini merupakan perintis bagi perkembangan selanjutnya, hingga dapat melampaui masa-masa di saat Sulawesi berada dalamNegara Indonesia Timur (NIT) dan kemudian NIT menjadi negara bagian dari negarafederasiRepublik Indonesia Serikat (RIS). Saat RIS dibubarkan dan kembali kepadaNegara Kesatuan Republik Indonesia, Sulawesi statusnya dipertegas kembali menjadi propinsi.Status Propinsi Sulawesi ini kemudian terus berlanjut sampai pada tahun 1960.
2.2.1 Sistem Pemerintahan
Pemerintahan di Sulawesi dibagi menjadi enam provinsi berdasarkan urutan pembentukannya yaitu provinsi Sulawesi Selatan, Sulawesi Utara,Sulawesi Tengah, Sulawesi Tenggara, Gorontalo, dan Sulawesi Barat. Sulawesi Tengah merupakan provinsi terbesar dengan luas wilayah daratan 68,033 kilometer persegi dan luas laut mencapai 189,480 kilometer persegi yang mencakup semenanjung bagian timur dan sebagian semenanjung bagian utara serta Kepulauan Togean di Teluk Tomini dan pulau-pulau di Banggai Kepulauan di Teluk Tolo. Sebagian besar daratan di provinsi ini bergunung-gunung (42.80% berada di atas ketinggian 500 meter dari permukaan laut) dan Katopasa adalah gunung tertinggi dengan ketinggian 2.835 meter dari permukaan laut.
2.2.2 Suku – Suku di Pulau Sulawesi
Pulau Sulawesi, berada di Indonesia Bagian Tengah, dan memiliki bermacam-macam suku bangsa dengan corak budaya dan adat-istiadat yang memiliki keunikan masing-masing. Beberapa suku di pulau Sulawesi memiliki keterkaitan sejarah asal-usul dengan Formosa Taiwan, Filipina, Kalimantan dan sumatra
2.3 Suku Bugis
Suku Bugis, adalah salah satu suku bangsa yang terdapat di Sulawesi Selatan. Populasi suku Bugis ini adalah yang terbesar di Sulawesi Selatan, dan diperkirakan mencapai 6 juta orang pada sensus tahun 2000.
Orang Bugis adalah termasuk bangsa perantau dan pengembara. Populasi suku Bugis tersebar di berbagai wilayah di Indonesia, selain di Sulawesi Selatan, suku Bugis juga tersebar di Sulawesi Tenggara, Sulawesi Tengah, Papua, Kalimantan Timur dan Kalimantan Selatan. Komunitas suku Bugis juga ditemukan ada di provinsi Riau, tapi pada umumnya sudah mengikuti adat-istiadat suku Melayu Riau, walaupun begitu mereka tetap mengaku sebagai orang Bugis. Keturunan orang Bugis juga ditemukan di Malaysia dan Brunei.
Agama Islam masuk ke kalangan orang Bugis pada abad 17, yang berkembang dengan cepat, sehingga saat ini menjadi agama rakyat bagi masyarakat Bugis. Orang Bugis mayoritas adalah pemeluk agama Islam.
Asal-usul suku Bugis pertama kali diperkirakan berasal dari daratan China Selatan, menurut para peneliti dikatakan dari Yunnan, China Selatan, sekitar awal abad Masehi, bersama kelompok deutro malayan, yang masuk dengan kelompok yang besar- ke wilayah kepulauan Asia Tenggara ini. Menurut dugaan lain, bahwa orang Bugis ini adalah penduduk penghuni daerah pesisir Indochina, di sekitar Burma dan Thailand, yang terdesak oleh bangsa Arya yang menginvasi daerah pesisir Indochina. Mereka sempat bertahan dan berperang melawan bangsa Arya ini, tapi karena mereka hanya terdiri dari para petani dan nelayan dan kalah dalam persenjataan, akhirnya mereka pun terpecah-pecah dan tersebar ke daerah kepulauan di Asia Tenggara dan salah satunya mendarat ke daerah Sulawesi Selatan sekarang ini.
Di daerah baru ini, mereka berbaur dengan penduduk asli yang terlebih dahulu berada di daerah ini. Tapi karena pertumbuhan mereka sangat pesat dengan budaya yang mereka bawa, akhirnya penduduk asli terdesak masuk lebih ke pedalaman dan menyingkir ke daerah lain.
Orang Bugis menyebut dirinya sebagai "To Ugi" yang berarti "orang Bugis". Nama "ugi" merujuk pada raja pertama kerajaan Cina yang terdapat di Pammana, kabupaten Wajo saat ini, yaitu La Sattumpugi. Ketika rakyat La Sattumpugi menamakan dirinya, maka mereka merujuk pada raja mereka. Mereka menjuluki dirinya sebagai To Ugi atau orang-orang atau pengikut dari La Sattumpugi. La Sattumpugi adalah ayah dari We Cudai dan bersaudara dengan Batara Lattu, ayah dari Sawerigading. Sawerigading sendiri adalah suami dari We Cudai dan melahirkan beberapa anak termasuk La Galigo yang membuat karya sastra terbesar di dunia dengan jumlah kurang lebih 9000 halaman folio. Sawerigading Opunna Ware (Yang dipertuan di Ware) adalah kisah yang tertuang dalam karya sastra I La Galigo dalam tradisi masyarakat Bugis. Kisah Sawerigading juga dikenal dalam tradisi masyarakat Luwuk, Kaili, Gorontalo dan beberapa tradisi lain di Sulawesi seperti Buton.
Seiring waktu berjalan, masyarakat Bugis purba ini tumbuh dan berkembang selama beberapa abad, dan menjadi beberapa kelompok-kelompok kecil yang tersebar ke segala penjuru pulau Sulawesi. Setelah beberapa abad berjalan, dalam perkembangannya, komunitas ini berkembang dan membentuk beberapa kerajaan. Masyarakat ini kemudian mengembangkan kebudayaan, bahasa, aksara, dan pemerintahan mereka sendiri. Beberapa kerajaan Bugis klasik antara lain Luwu, Bone, Wajo, Soppeng, Suppa, Sawitto, Sidenreng dan Rappang. Meski tersebar dan membentuk suku Bugis, tapi proses pernikahan menyebabkan adanya pertalian darah dengan Makassar dan Mandar. Saat ini orang Bugis tersebar dalam beberapa kabupaten yaitu Luwu, Bone,Wajo, Soppeng, Sidrap, Pinrang, Barru. Daerah peralihan antara Bugis dengan Makassar adalah Bulukumba, Sinjai, Maros, Pangkajene Kepulauan. Daerah peralihan Bugis dengan Mandar adalah Kabupaten Polmas dan Pinrang. Kerajaan Luwu adalah kerajaan yang dianggap tertua bersama kerajaan Cina (yang kelak menjadi Pammana), Mario (kelak menjadi bagian Soppeng) dan Siang (daerah di Pangkajene Kepulauan).
Secara sejarah asal-usul orang Bugis masih satu rumpun dengan orang Makassar dan orang Mandar. Banyak terdapat kemiripan dari segi adat-istiadat, budaya dan bahasa antara ketiga suku bangsa ini. Selain banyak terlibat hubungan kekerabatan di antara mereka.
Pemukiman masyarakat suku Bugis tersebar di dataran rendah yang subur dan pesisir, kebanyakan masyarakat Bugis hidup sebagai petani dan nelayan. Mata pencaharian lain yang diminati orang Bugis adalah pedagang. Selain itu masyarakat Bugis juga mengisi birokrasi pemerintahan dan menekuni bidang pendidikan.
2.4 Kearifan Lokal Suku Bugis
Pada masyarakat Bugis, kearifan lokal ternyata terdokumntasi dengan baik dalamkarya sastra mereka dan tertuang dalam karya sastra Bugis klasik.
1. Bawaan Hati yang Baik (Ati Mapaccing)
Dalam bahasa Bugis, Ati Mapaccing (bawaan hati yang baik) berarti nia’ madeceng (niat baik), nawa-nawa madeceng (niat atau pikiran yang baik) sebagai lawan dari kata nia’ maja’ (niat jahat), nawa-nawa masala (niat atau pikiran bengkok). Dalam berbagai konteks, kata bawaan hati, niat atau itikad baik juga berarti ikhlas, baik hati, bersih hati atau angan-angan dan pikiran yang baik.
Tindakan bawaan hati yang baik dari seseorang dimulai dari suatu niat atau itikad baik (nia mapaccing), yaitu suatu niat yang baik dan ikhlas untuk melakukan sesuatu demi tegaknya harkat dan martabat manusia. Bawaan hati yang baik mengandung tiga makna, yaitu a) menyucikan hati, b) bermaksud lurus, dan c) mengatur emosi-emosi. Pertama, manusia menyucikan dan memurnikan hatinya dari segala nafsu- nafsu kotor, dengki, iri hati, dan kepalsuan-kepalsuan. Niat suci atau bawaan hati yang baik diasosiasikan dengan tameng (pagar) yang dapat menjaga manusia dari serangan sifat-sifat tercela. Ia bagai permata bercahaya yang dapat menerangi dan menjadi hiasan yang sangat berharga. Ia bagai air jernih yang belum tercemar oleh noda-noda atau polusi. Segala macam hal yang dapat menodai kesucian itu harus dihindarkan dari hati, sehingga baik perkataan maupun perbuatan dapat terkendali dengan baik.
2. Konsep Pemerintahan yang Baik (good governance)
Istilah good governance tak bisa dilepaskan dari konteks perbincangan mengenai politik dan paradigma pembangunan yang berkembang di dunia. Bila dilacak agak teliti, penggunaan istilah ini belum lebih dari dua dekade. Diduga, good governance pertama kali diperkenalkan sekitar tahun 1991 dalam sebuah resolusi The Council of the European Community yang membahas Hak Asasi Manusia, Demokrasi, dan Pembangunan.. Di dalam resolusi itu disebutkan, diperlukan empat prasyarat lain untuk dapat mewujudkan Pembangunan yang berkelanjutan, yaitu mendorong penghormatan atas hak asasi manusia, mempromosikan nilai demokrasi, mereduksi budget pengeluaran militer yang berlebihan dan mewujudkan good governance. Sejak saat itu, good governance mulai diperbincangkan dan diakomodasi dalam berbagai konvensi dan resolusi yang berkaitan dengan pembangunan, baik dalam perbincangan pembangunan di UNDP maupun di Lome Convention, Bantuan Pembangunan yang bersifat Multilateral dan Bilateral.
Istilah good governance telah diterjemahkan menjadi penyelenggaraan pemerintahan yang amanah (Bintoro Tjokroamidjojo), tata pemerintahan yang baik (UNDP), pengelolaan pemerintahan yang baik dan bertanggunjawab (LAN), dan ada juga yang mengartikan secara sempit sebagai pemerintahan yang bersih (Effendi, 2005).
Dalam kepustakaan Bugis, untuk terwujudnya permerintahan yang baik, seorang pemimpin dituntut memiliki 4 kualitas yang tak terpisahkan antara satu dengan lainnya. Keempat kualitas itu terungkap dalam ungkapan Bugis.
Maccai na Malempu;
Waraniwi na Magetteng
(Cendekia lagi Jujur, Berani lagi Teguh dalam Pendirian.)
Bila ungkapan di atas diurai maka ada empat karakteristik seorang pemimpin yang diangap dapat memimpin suatu negeri, yaitu: cendekia, jujur, berani, dan teguh dalam pendirian. Ungkapan itu bermakna bahwa kepandaian saja tidak cukup. Kepandaian haruslah disertai dengan kejujuran, karena banyak orang pandai menggunakan kepandaiannya membodohi orang lain. Karerna itu, kepandaian haruslah disertai dengan kejujuran. Selanjutnya, keberanian saja tidak cukup. Keberanian haruslah disertai dengan keteguhan dalam pendirian. Orang yang berani tetapi tidak cendekia dan teguh dalam pendirian dapat terjerumus dalam kenekadan.
Syarat terselenggaranya pemerintahan negeri dengan baik terungkap dalam Lontarak bahwa pemimpin negeri haruslah:
1. Jujur terhadap Dewata Seuwae (Tuhan YME) dan sesamanya manusia.
2. Takut kepada Dewata Seuwae (Tuhan YME) dan menghormati rakyatnya dan orang asing serta tidak membeda-bedakan rakyatnya.
3. Mampu memperjuangkan kebaikan negerinya agar berkembang biak rakyatnya, dan mampu menjamin tidak terjadinya perselisihan antara pejabat kerajaan dan rakyat.
4. Mampu menjamin kesejahteraan rakyatnya.
5. Berani dan tegas, tidak gentar hatinya mendapat berita buruk (kritikan) dan berita baik (tidak mudah terbuai oleh sanjungan).
6. Mampu mempersatukan rakyatnya beserta para pejabat kerajaan.
7. Berwibawa terhadap para pejabat dan pembantu-pembantunya.
8. Jujur dalam segala keputusannya.
Kemudian, I Mangada’cina Daeng Sitaba Karaeng Pattingalloang membuat pesan yang isinya bahwa ada lima sebab yang menyebabkan negeri itu rusak, yaitu:
1. Kalau raja yang memerintah tidak mau diperingati.
2. Kalau tidak ada cendekiawan dalam suatu negara besar.
3. Kalau para hakim dan para pejabat kerajaan makan sogok.
4. Kalau terlampau banyak kejadian-kejadian besar dalam suatu negara.
5. Kalau raja tidak menyayangi rakyatnya.
3. Demokrasi (Amaradekangeng)
Kata amaradekangeng berasal dari kata maradeka yang berarti merdeka atau bebas. Pengertian tentang kemerdekaan ditegaskan dalam Lontarak sebagai berikut:
Niaa riasennge maradeka, tellumi pannessai:
Seuani, tenrilawai ri olona.
Maduanna, tenriangkai’ riada-adanna.
Matellunna, tenri atteanngi lao ma-niang, lao manorang, lao orai, lao alau, lao ri ase, lao ri awa
Demokrasi sebagai bentuk atau mekanisme sistem pemerintahan suatu negara sebagai upaya mewujudkan kedaulatan rakyat (kekuasaan warganegara) atas negara untuk dijalankan oleh pemerintah negara terungkap dalam sastra Bugis sebagai berikut:
Yang disebut merdeka (bebas) hanya tiga hal yang menentukannya:
pertama, tidak dihalangi kehendaknya;
kedua, tidak dilarang mengeluarkan pendapat;
ketiga tidak dilarang ke Selatan, ke Utara, Ke Barat, ke Timur, ke atas dan ke bawah. Itulah hak-hak kebebasan.
Rusa taro arung, tenrusa taro ade,
Rusa taro ade, tenrusa taro anang,
Rusa taro anang, tenrusa taro tomaega.
(Batal ketetapan raja, tidak batal ketetapan adat, Batal ketetapan adat, tidak batal ketetapan kaum Batal ketetapan kaum, tidak batal ketetapan orang banyak).
Keamanaan, dan pelaksanaan pemerintahan negara (Said, 1998). Konsep di atas sejalan dengan konsep demokrasi yang dianut saat ini yang mana kedaulatan ada di tangan rakyat. Kata “demokrasi” berasal dari dua kata, yaitu demos yang berarti rakyat, dan kratos/cratein yang berarti pemerintahan, sehingga dapat diartikan sebagai pemerintahan rakyat, atau yang lebih kita kenal sebagai pemerintahan dari rakyat, oleh rakyat dan untuk rakyat.
Dalam ungkapan itu, jelas tergambar bahwa kedudukan rakyat amat besar dalam kehidupan bermasyarakat dan bernegara. Rakyat berarti segala-galanya bagi negara. Raja atau penguasa hanyalah merupakan segelintir manusia yang diberi kepercayaan untuk mengurus administrasi.
Dari kutipan itu, jelas tergambar bahwa kekuatan berada di tangan rakyat, bukan di tangan raja. Jika hal ini dihubungkan dengan teori demokrasi Rousseau tentang volonte generale atau kehendak umum dan volonte de tous atau kehendak khusus, jelas tergambar bahwa teori Rousseau berkesesuaian dengan sistem pemerintahan yang dikembangkan di Tanah Bugis yaitu apabila dua kepentingan (antara penguasa dan rakyat) bertabrakan, kepentingan yang harus dimenangkan adalah kepentingan rakyat (umum).
Dalam menjalankan pemerintahan, raja selalu berusaha untuk bertindak secara ekstra hati-hati. Sesuatu yang akan dibebankan kepada rakyat haruslah terlebih dahulu dipertimbangkan. Artinya, acuan utama dari setiap tindakan adalah rakyat. Hal tersebut tertuang dalam Getteng Bicara (undang-undang) sebagai berikut. “Takaranku kupakai menakar, timbanganku kupakai menimbang, yang rendah saya tempatkan di bawah, yang tengah saya tempatkan di tengah, yang tinggi saya tempatkan di atas.”
Ketetapan hukum yang tergambar dalam getteng bicara di tanah Bugis menunjukkan bahwa raja tidak akan memutuskan suatu kebijakan bila raja itu sendiri tidak merasa nyaman. Raja menjadikan dirinya sebagai ukuran dan selalu berusaha berbuat sepatutnya. Dari argumentasi itu, jelas tergambar bahwa negara adalah sepenuhnya milik rakyat dan bukan milik raja. Raja tidak dapat berbuat sekehendak hatinya kepada negara yang menjadi milik dari rakyat itu. Raja sama sekali tidak dapat membuat peraturan dengan seenaknya, terutama menyangkut kepentingan dirinya atau keluarganya. Semua peraturan yang akan ditetapkan oleh raja harus melalui persetujuan dari kalangan wakil rakyat yang telah mendapatkan kepercayaan dari rakyat. Jika raja melanggar ketentuan itu, berarti raja telah melanggar kedaulatan rakyat.
Adat menjamin hak dan protes rakyat dengan lima cara sebagai berikut:
1. Mannganro ri ade’, memohon petisi atau mengajukan permohonan kepada raja untuk mengadakan suatu pertemuan tentang hal-hal yang mengganggu, seperti kemarau panjang karena dimungkinkan sebagai akibat kesalahan pemerintah.
2. Mapputane’, menyampaikan keberatan atau protes atas perintah-perintah yang memberatkan rakyat dengan menghadap raja. Jika itu menyangkut kelompok, maka mereka diwakili oleh kelompok kaumnya untuk menghadap raja, tetapi jika perseorangan, langsung menghadap raja.
3. Mallimpo-ade’, protes yang mendesak adat karena perbuatan sewenang-wenang raja, dan karena usaha melalui mapputane’ gagal. Orang banyak, tetapi tanpa perlengkapan senjata mengadakan pertemuan dengan para pejabat negara dan tidak meninggalkan tempat itu kecuali permasalahannya selesai.
4. Mabbarata, protes keras rakyat atau kaum terhadap raja, karena secara prinsipial masyarakat merasa telah diperlakukan tidak sesuai dengan panngadereng oleh raja, keluarga raja, atau pejabat kerajaan. Masyarakat atau kaum berkumpul di balai pertemuan (baruga) dan mendesak agar masalahnya segera ditangani. Kalau tidak, rakyat atau kaum bisa mengamuk yang bisa berakibat sangat fatal pada keadaan negara.
5. Mallekke’ dapureng, tindakan protes rakyat dengan berpindah ke negeri lain. Hal ini dilakukan karena sudah tidak mampu melihat kesewenang-wenangan di dalam negerinya dan protes-protes lain tidak ampuh. Mereka berkata: “Kamilah yang memecat raja atau adat, karena kami sekarang melepaskan diri dari kekuasaannya”.(Mattulada, 1985)
4. Kesetiakawanan Sosial (assimellereng)
Konsep assimellereng mengandung makna kesehatian, kerukunan, kesatupaduan antara satu anggota keluarga dengan anggota keluarga lain, antara seorang sahabat dengan sahabat yang lain. Memiliki rasa kekeluargaan yang tinggi, setia kawan, cepat merasakan penderitaan orang lain, tidak tega membiarkan saudaranya berada dalam keadaan menderita, dan cepat mengambil tindakan penyelamatan atas musibah yang menimpa seseorang, dikenal dengan konsep “sipa’depu-repu” (saling memelihara). Sebaliknya, orang yang tidak mempedulikan kesulitan sanak keluarganya, tetangganya, atau orang lain sekali pun disebut bette’ perru. Dalam kehidupan sehari-hari, manifestasi kesehatian dan kerukunan itu disebutkan dalam sebuah ungkapan Bugis:
“tejjali tettappere , banna mase-mase”.
Ungkapan tersebut biasanya diucapkan ketika seorang tuan rumah kedatangan tamu. Maksunya adalah “kami tidak mempunyai apa-apa untuk kami suguhkan kepada tuan. Kami tidak mempunyai permadani atau sofa yang empuk untuk tuan duduki. Yang kami miliki adalah kasih sayang.
Lontarak sangat menganjurkan manusia memiliki perasaan kemanusiaan yang tinggi, rela berkorban menghormati hak-hak kemanusiaan seseorang, demi kesetiakawanan atau solidaritas antara sesama manusia, berusaha membantu orang, suka menolong orang menderita, berkorban demi meringankan penderitaan dan kepedihan orang lain dan berusaha pula untuk membagi kepedihan itu ke dalam dirinya. Dalam Lontarak disebutkan:
Iya padecengi assiajingeng:
- Sianrasa-rasannge nasiammase-maseie;
- Sipakario-rio;
- Tessicirinnaiannge ri sitinajae;
- Sipakainge’ ri gau’ patujue;
- Siaddappengeng pulanae.
Yang memperbaiki hubungan kekeluargaan yaitu:
- Sependeritaan dan kasih-mengasihi;
- Gembira menggembirakan;
- Rela merelakan harta benda dalam batas-batas yang wajar;
- Ingat memperingati dalam hal-hal yang benar;
- Selalu memaafkan.
Dorongan perasaan solidaritas untuk membela, menegakkan, memperjuangkan harkat kemanusiaan orang lain atau perasaan senasib sepenanggungan di antara keluarga, kerabat, dan masyarakat dilukiskan dalam ungkapan-ungkapan Lontarak sebagai berikut:
Eppai rupanna padecengi asseajingeng:
- Sialurusennge’ siamaseng masseajing.
- Siadampengeng pulanae masseajing.
- Tessicirinnaiannge warangparang masseajing, ri sesena gau’ sitinajae.
- Sipakainge’ pulannae masseajing ri sesena gau’ patujue sibawa winru’ madeceng.
Empat hal yang mengeratkan hubungan kekeluargaan:
- Senantiasa kasih mengasihi sekeluarga.
- Maaf memaafkan sekeluarga.
- Rela merelakan sebagian harta benda sekeluarga dalam batas-batas yang layak.
- Ingat memperingati sekeluarga demi kebenaran dan tujuan yang baik.
5. Kepatutan (Mappasitinaja)
Mappasitinaja berasal dari kata sitinaja yang berarti pantas, wajar atau patut. Mappasitinaja berarti berkata atau berbuat patut atau memperlakukan seseorang secara wajar.
Bahwa seseorang dikatakan bertindak patut atau wajar bila ia mampu menempatkan sesuatu pada tempatnya. Seseorang yang bertindak wajar berarti ia mampu menempatkan dirinya sesuai dengan kedudukannya. Ia tidak menyerakahi hak-hak orang lain, melainkan memahami hak-haknya sendiri. Di samping itu, ia pula dapat memperlakukan orang lain pada tempatnya. Ia sadar bahwa orang lain mempunyai hak-hak yang patut dihormati.
Perbuatan wajar atau patut, dalam bahasa Bugis biasa juga disebut mappasikoa. Seorang yang berbuat wajar dalam arti mappasikoa berarti ia merasa cukup atas sesuatu yang dimilikinya. Ia bertindak sederhana. Dicontohkan oleh Rahim (1985), tentang sikap wajar Puang Rimaggalatung. Puang Rimaggalatung pernah berkali-kali menolak tawaran rakyat Wajo untuk diangkat menjadi Arung Matoa Wajo atas kematian Batara Wajo III yang bernama La Pateddungi Tosamallangi. Bukannya beliau tidak mampu memangku jabatan yang ditawarkan kepadanya, tetapi ia sadar bahwa jabatan itu sungguh sulit untuk diembannya. Namun, karena Adat (para wakil rakyat) dan rakyat Wajo sendiri merasa bahwa beliau pantas memimpin mereka, akhirnya tawaran itu diterima.
Dua hal saling mencari lalu bersua, yakni perbuatan baik dan yang pantas. Barulah baik bila keduanya berpadu. Cara memadukannya ialah:
1. Membiasakan diri berbuat baik meskipun sulit dilakukan.
2. Rendahkanlah dirimu sepantasnya.
3. Ambillah hati orang sepantasnya
4. Menghadapi semak-semak ia surut langkah
5. Melalui jalan ia berhati-hati dan menyandarkan diri kepada Tuhan
6. Berusahalah dengan benar.
Sebaliknya, lawan dari kata patut adalah berlebih-lebihan dan serakah. Watak serakah diawali keinginan untuk menang sendiri. Keinginan untuk menang sendiri dapat menghasilkan pertentangan-pertentangan dan menutup kemungkinan untuk mendapatkan restu dari pihak lain. Manusia yang berbuat serakah, justru akan menghancurkan dirinya sendiri karena orang lain akan menjauhinya. Dan apabila hati manusia dipenuhi sifat serakah, maka tiada lagi kebaikan yang bisa diharapkan dari manusia itu.
BAB III
PENUTUP
3.1 Kesimpulan
Berdasarkan uraian di atas, dapat disimpulkan bahwa Kearifan Lokal dalam kepustakaan Bugis masih sangat relevan dengan perkembangan zaman. Karena itu, Kearifan Lokal sebagai jati diri bangsa perlu direvitalisasi, khususnya bagi generasi muda dalam percaturan global saat dan di masa datang. Dengan demikian, identitas sebagai bangsa baik secara fisik maupun non fisik akan tetap terjaga.
3.2 Saran
Mengingat aspek kebudayaan yang ada di Indonesia begitu beragam, maka perlu kiranya Perguruan Tinggi sebagai representasi dari dunia pendidikan yang ada dimasing-masing daerah untuk lebih serius dalam melakukan eksperimen ilmiah mengenai kekayaan etnisitas daerah masing-masing. Kemudian perhatian secara serius dapat dilakukan dan dikampanyekan guna kembali menjadi kearifan lokal sebagai pilar kemajuan bangsa Indonesia. Sehingga aspek kebudayaan yang beragam tersebut mampu diketahui, dikembangkan serta menjadi karakter masyarakat Indonesia yang terdiri dari beragam etnis dan latar belakang budaya.
DAFTAR PUSTAKA
Kementerian Penerangan, Republik Indonesia: Propinsi sulawesi, 1953, hal. 176-177
"Indonesia: Provinces, Cities & Municipalities". City Population. Diakses pada 30 november 2016.
“ “.2010. Kearifan lokal dalam sastra bugis klasik. Diakses pada 30 november 2016 pada
situs http://lafinus.filsafat.ugm.ac.id/
“ “. Ceritaku. Diakses pada 1 Desember 2016 pada situshttp://www.ahmadmaulana.com/tag/cerita-ku/
“ “. 2011. Makalah peran pendidikan. Diakses pada 1 Desember 2016 pada situs http://hardysengawang.blogspot.com/
“ “.2012. Suku di Sulawesi. Diakses pada 1 2016 pada situs http://protomalayans.blogspot.com/
“ “.2012. Makalah Kearifan Lokal. Diakses pada 12 Januari 2013 pada situs http://erwinblog-erwinpermana12.blogspot.com/
LAMPIRAN-LAMPIRAN
Rumah Adat Suku Bugis
Tari Adat Suku Bugis