MAKALAH
ASPEK HUKUM DALAM EKONOMI
“HUKUM PERIKATAN.”
Dosen Pengampu :
Dr. Rosdalina, S.Ag.,M.Hum
Di Susun Oleh :
Kelompok 4
Susilawati Ranselengo 15.4.1.034
Jefri Rindengan 15.4.1.036
Riski Hasan 15.4.1.090
FAKULTAS EKONOMI DAN BISNIS ISLAM
Prodi Ekonomi Syariah B
INSTITUT AGAMA ISLAM NEGERI MANADO
T.A 2017
PENDAHULUAN
Latar belakang
Didalam sistem pengaturan hukum perikatan dalam Buku III Kitab Undang-Undang Hukum Perdata (KUH Perdata) menganut sistem terbuka, yakni setiap orang dapat mengadakan perjanjian mengenai apapun sesuai dengan kehendaknya, artinya dapat menyimpang dari apa yang telah ditetapkan dalam Buku III KUH Perdata baik mengenai bentuk maupun isi perjanjian sepanjang tidak bertentangan dengan undang – undang, ketertiban umum, dan kesusilaan.
Elsi Kartika Sari, Simanunsong Advendi, Hukum dalam Ekonomi. (Jakarta: Gramedia Widiasarana, 2017) Hlm.28
Dengan demikian, apa yang diatur dalam Buku III KUH Perdata merupakan hukum pelengkap (aanvullendrecht), yakni berlaku bagi para pihak yang mengadakan perjanjian sepanjang mereka tidak mengesampingkan syarat – syarat dan isi dari perjanjian.
Elsi Kartika Sari, Simanunsong Advendi, Hukum dalam Ekonomi. (Jakarta: Gramedia Widiasarana, 2017) Hlm.28
Rumusan Masalah
Apa yang di maksud dengan Hukum Perikatan ?
Apa Dasar Hukum Perikatan dan Azas–azas dalam Hukum Perikatan?
Wanspertasi dan Akibat – akibatnya
Hapusnya Perikatan.
PEMBAHASAN
Pengertian Perikatan
Perikatan adalah hubungan hukum yang terjadi diantara dua orang (pihak) atau lebih, yakni pihak yang satu berhak atas prestasi dan pihak lainnya wajib memenuhi prestasi, begitu juga sebaliknya. Dalam bahasa Belanda perikatan disebut verbintenissenrecht. Namun, terdapat perbedaan pendapat dari beberapa ahli hukum dalam memberikan istilah hukum perikatan. Misalnya, Wiryono Prodjodikoro dan R. Subekti.
Elsi Kartika Sari, Simanunsong Advendi, Hukum dalam Ekonomi. (Jakarta: Gramedia Widiasarana, 2017) Hlm.28
Wirjono Prodjodikoro dalam bukunya Asas-asas hukum perjanjian, (bahasa belanda: het verbintenissenrecht) jadi, erbintenissenrecht oleh Wirjono diterjemahkan menjadi hukum perjanjian bukan hukum perikatan. R.Subekti tidak menggunakan istilah hukum perikatan, tetapi menggunakan istilah perikatan sesuai dengan judul Buku III KUH Perdata tentang perikatan. Dalam bukunya Pokok – pokok Hukum Perdata, R.Subekti menulis perkataan perikatan (verbintenis) mempunyai arti lebih luas dari perkataan perjanjian, sebab didalam Buku III KUH Perdata memuat tentang perikatan yang timbul dari:
Persetujuan atau perjanjian;
Perbuatan yang melanggar hukum;
Pengurusan kepentingan orang lain yang tidak berdasarkan persetujuan (zaakwaarnemiing).
Elsi Kartika Sari, Simanunsong Advendi, Hukum dalam Ekonomi. (Jakarta: Gramedia Widiasarana, 2017) Hlm.29
Perjanjian dalam bahasa belanda disebut overeenkomst, sedangkan hukum perjanjian disebut overeenkomstenrecht. Sementara itu, pengertian perikatan lebih luas dari perjanjian, perikatan dapat terjadi karena:
Perjanjian (kontrak), dan
Bukan dari perjanjian (dari undang – undang).
Elsi Kartika Sari, Simanunsong Advendi, Hukum dalam Ekonomi. (Jakarta: Gramedia Widiasarana, 2017) Hlm.29
Perjanjian adalah peristiwa dimana pihak yang satu berjanji kepada pihak yang lain untuk melaksanakan suatu hal. Dari perjanjian ini maka timbul suatu peristiwa berupa hubungan hukum antara kedua belah pihak. Hubungan hukum ini yang dinamakan dengan perikatan.
Elsi Kartika Sari, Simanunsong Advendi, Hukum dalam Ekonomi. (Jakarta: Gramedia Widiasarana, 2017) Hlm.29
Dengan kata lain, hubungan perikatan dengan perjanjian adalah perjanjian yang menimbulkan perikatan. Perjanjian merupakan salah satu sumber yang paling banyak menimbulkan perikatan karena hukum perjanjian menganut sistem terbuka. Oleh karena itu, setiap anggota masyarakat bebas untuk mengadakan perjanjian.
Elsi Kartika Sari, Simanunsong Advendi, Hukum dalam Ekonomi. (Jakarta: Gramedia Widiasarana, 2017) Hlm.29
Perikatan diartikan suatu hubungan hukum kekayaan/harta-benda antara dua orang atau lebih dimana pihak yang satu terhadap pihak yang lain berhak atas suatu penunaian/prestasi sedangkan pihak yang lain berkewajiban atas penunaian/prestasi itu.
C. Assers, Pengajian Hukum Perdata Belanda. (Dian Rakyat, Jakarta,1991) hlm 151 Menurut H. Riduan Syahrani,S.H. dalam bukunya Seluk-Beluk dan Asas-Asas Hukum Perdata, Perikatan adalah hubungan hukum antara dua pihak didalam lapangan harta kekayaan, dimana pihak yang satu (kreditur) berhak atas prestasi dan pihak yang lain (debitur) berkewajiban memenuhi prestasi itu. hak dan kewajiban itu merupakan akibat hubungan hukum yaitu hubungan yang diatur oleh hukum. Hubungan dua orang, misalnya janji untuk bersama-sama pergi kekampus, meskipun menurut moral dan kesopanan menimbulkan hak dan kewajiban, bukanlah perikatan dalam pengertian hukum sebab hak dan kewajiban tersebut bukan lahir dari hubungan hukum. Namun, tidak berarti semua hubungan yang diatur oleh hukum dianggap sebagai perikatan dalam pengertian hukum.
Riduan Syahrani, Seluk beluk dan Asas – asas Hukum Perdata. (Bandung : Alumni, 2006) hlm 196
Obyek perikatan yang merupakan hak debitur dan kewajiban debitur biasanya dinamakan prestasi. Menurut Pasal 1234 BW prestasi ini dapat berupa memberi sesuatu, berbuat sesuatu dan tidak berbuat sesuatu. Apa yang dimaksud dengan sesuatu disini bergantung kepada maksud atau tujuan dari para pihak yang mengadakan hubungan hukum, apa yang akan diberikan, yang harus diperbuat dan tidak boleh diperbuat. Perkataan sesuatu tersebut bisa dalam bentuk materiil (berwujud) dan bisa dalam bentuk inmateriil (tidak berwujud). Perikatan untuk memberi sesuatu diatur dalam Buku III titel II bagian II, sedangkan perikatan untuk berbuat sesuatu dan tidak berbuat sesuatu diatur dalam Buku III titel I bagian ketiga.
Riduan Syahrani, Seluk beluk dan Asas – asas Hukum Perdata. (Bandung : Alumni, 2006) hlm 197 - 198
Prestasi dari suatu perikatan harus memenuhi syarat – syarat sebagai – berikut:
Harus diperkenankan, artinya tidak boleh bertentangan dengan undang – undang, ketertiban umum dan kesusilaan (Pasal 1335 dan 1337).
Harus tertentu atau dapat di tentukan, artinya harus terang dan jelas (Pasal 1320 ayat (3) dan 1333 BW).
Harus mungkin dilakukan, artinya mungkin dilaksanakan menurut kemampuan manusia. Jika prestasinya secara obyektif tidak mungkin dilaksanakan, tidak akan timbul perikatan. Sedangkan jika prestasinya secara subyektif tidak mungkin dilaksanakan, tidaklah demikian.
R. Setiawan, Pokok – pokok Hukum Perikatan. (Bandung : Binacipta,1977) Hlm 5
Perbedaan akibat yang terjadi karena ketidakmungkinan obyektif dan subyektif terletak pada dasar pemikiran bahwa ketidakmungkinan obyektif dapat diketahui oleh semua orang, sehingga kreditur tidak dapat mengharapkan prestasi itu. Sedangkan ketidakmungkinan subyektif tidak diketahui oleh semua orang, sehingga debitur yang dengan janjinya menimbulkan kepercayaan bahwa ia mampu melakasanakan prestasi, harus bertanggung jawab dan bilamana ternyata kemudian wansprestasi, ia harus membayar ganti kerugian yang terjadi.
R. Setiawan, Pokok – pokok Hukum Perikatan. (Bandung : Binacipta,1977) Hlm 5
Kitab Undang – Undang Hukum Perdata tidak memberikan suatu definisi mengenai perikatan. Ketentuan yang diatur dalam Pasal 1131 Kitab Undang – Undang Hukum Perdata yang menyatakan bahwa “segala kebendaan debitor, baik yang bergerak maupun tidak bergerak, baik yang sudah ada maupun yang baru akan ada dikemudian hari, menjadi tanggungan untuk segala perikatannya perseorangan.” Dari ketentuan tersebut dapat ditarik dua hal penting. Pertama, setiap subjek hukum merupakan penyandang hak dan kewajibannya sendiri yang dalam hal ini terwujud dalam kepemilikan harta kekayaan, baik yang bergerak maupun yang tidak bergerak, yang dimiliki oleh subjek hukum tersebut. Kedua, harta kekayaan seseorang dapat berubah dari waktu kewaktu karena perikatan yang dibuat, dilakukan, maupun yang terjadi atas diri subjek hukum tersebut dari waktu kewaktu. Dengan demikian, terdapat suatu hubungan yang erat antara kebendaan yang merupakan harta kekayaan seseorang dengan perikatan yang dibuat, dilakukan, maupun yang terjadi atas perorangan tersebut. Jika kebendaan berkaitan dengan sisi positif dari harta kekayaan seseorang, perikatan yang dibuat, dilakukan, maupun yang terjadi atas diri orang – perorangan tersebut menunjuk pada sisi negatif dari harta kekayaan yang dapat mengurangi kebendaan yang merupakan harta kekayaan dari orang – perorangan tersebut.
Gunawan Widjaja, Memahami prinsip keterbukaan dalam hukum perdata (Jakarta: PT RajaGrafindo Persada,2006) hlm 309-310
Dalam kepustakaan buku – buku Belanda, “perikatan” merupakan terjemahan dari istilah “verbintenis” yang merupakan pengambilalihan dari kata “obligation” dalam Code Civil Prancis. Dengan demikian, perikatan senantiasa melahirkan kewajiban pada salah satu atau lebih pihak yang terkait dengan suatu perikatan.
Gunawan Widjaja, Memahami prinsip keterbukaan dalam hukum perdata. (Jakarta: PT RajaGrafindo Persada,2006) hlm 310 - 311
Di awali dengan ketentuan Pasal 1233 yang menyatakan bahwa “Tiap – tiap perikatan dilahirkan baik karena persetujuan, baik karena undang – undang,” Buku III Kitab Undang – Undang Hukum Perdata menegaskan bahwa setiap kewajiban perdata dapat terjadi karena dikehendaki oleh pihak – pihak yang terkait dalam perikatan yang yang secara sengaja dibuat oleh mereka dan karena ditentukan oleh peraturan perundang – undangan yang berlaku. Dengan demikian, perikatan adalah hubungan hukum antara dua atau lebih orang (pihak) dalam bidang/lapangan harta kekayaan, yang menerbitkan atau melahirkan kewajiban pada salah satu pihak dalam hubungan hukum tersebut.
Gunawan Widjaja, Memahami prinsip keterbukaan dalam hukum perdata. (Jakarta: PT RajaGrafindo Persada,2006) hlm 311
Dari rumusan yang diberikan di atas dapat diketahui bahwa suatu perikatan sekurangnya membawa serta didalamnya empat unsur, yaitu sebagai berikut:
Perikatan itu merupakan suatu hubungan hukum.
Hubungan hukum tersebut melibatkan dua atau lebih orang (pihak).
Hubungan hukum tersebut merupakan hubungan hukum dalam lapangan hukum harta kekayaan.
Hubungan hukum tersebut melahirkan kewajiban pada salah satu pihak dalam perikatan.
Gunawan Widjaja, Memahami prinsip keterbukaan dalam hukum perdata. (Jakarta: PT RajaGrafindo Persada,2006) hlm 311
Sebagaimana dikatakan diatas, menurut Pasal 1233 Kitab Undang – Undang Hukum Perdata, hubungan hukum dalam perikatan dapat lahir karena kehendak para pihak, sebagai akibat dari persetujuan yang dicapai oleh para pihak, dan dan sebagai akibat perintah peraturan perundang – undangan. Dengan demikian, hubungan hukum ini dapat lahir sebagai akibat perbuatan hukum yang disengaja ataupun tidak, serta dari suatu peristiwa hukum atau bahkan dari suatu keadaan hukum.
Gunawan Widjaja, Memahami prinsip keterbukaan dalam hukum perdata. (Jakarta: PT RajaGrafindo Persada,2006) hlm 311 - 312
Hubungan hukum dalam perikatan ini melibatkan dua orang atau lebih yang merupakan para pihak dalam perikatan. Pihak – pihak dalam perikatan tersebut sekurangnya terdiri dari dua pihak, yaitu pihak yang berkewajiban pada satu sisi (debitor) dan pihak yang berhak atas pemenuhan kewajiban tersebut pada sisi lain (kreditor). Tidak mungkin lahir suatu perikatan yang hanya terdiri dari satu pihak saja, meskipun dalam pihak tersebut terdapat lebih dari satu orang. Hal ini merupakan konsekuensi logis dari sifat perikatan itu sendiri yang melahirkan kewajiban pada salah satu pihak dalam perikatan. Kewajiban pada satu pihak, meskipun tidak disebutkan secara langsung dalam sebagian besar ketentuan Kitab Undang – Undang Hukum Perdata, pasti akan melahirkan atau menciptakan pihak lain yang berhak atas pemenuhan kewajiban tersebut.
Gunawan Widjaja, Memahami prinsip keterbukaan dalam hukum perdata. (Jakarta: PT RajaGrafindo Persada,2006) hlm 312
Dengan menekankan kewajiban yang harus dipenuhi, Kitab Undang – Undang Hukum Perdata memberikan kedudukan yang penting bagi pihak yang berkewajiban (debitor). Dalam sudut pandang Kitab Undang – Undang Hukum Perdata, pihak yang berkewajiban harus dapat ditentukan dan diketahui, karena tidaklah mungkin suatu perikatan dapat dipenuhi jika tidak diketahui dengan pasti pihak yang berkewajiban untuk melakukan kewajiban tersebut. Kitab Undang – Undang Hukum Perdata memungkinkan penggantian pihak yang berhak atas pelaksanaan kewajiban (kreditor) tanpa persetujuan pihak yang berkewajiban (debitor).
Gunawan Widjaja, Memahami prinsip keterbukaan dalam hukum perdata. (Jakarta: PT RajaGrafindo Persada,2006) hlm 312 - 313
Berdasarkan rumusan dalam Kitab Undang – Undang Hukum Perdata, dimana dinyatakan bahwa “Tiap – tiap perikatan adalah untuk memberikan sesuatu, untuk berbuat sesuatu, atau untuk tidak berbuat sesuatu”, dapat disimpulkan bahwa Kitab Undang – Undang Hukum Perdata sangat menekankan pada kewajiban pemenuhan perikatan, yang dikelompokkan menjadi tiga macam, yaitu dalam bentuk kewajiban untuk memberikan sesuatu, melakukan sesuatu, dan/atau untuk tidak melakukan sesuatu.
Gunawan Widjaja, Memahami prinsip keterbukaan dalam hukum perdata. (Jakarta: PT RajaGrafindo Persada,2006) hlm 313
Perikatan atau perjanjian merupakan kegiatan manusia dalam menjalin suatu perbuatan hukum dan menjadi hukum bagi mereka sendiri yang telah melakukan perjanjian. Hal ini dilakukan untuk melindungi hak-hak manusia dalam kehidupan sosial. Perjanjian atau kontrak adalah suatu peristiwa di mana seorang atau satu pihak berjanji kepada seorang atau pihak lain atau di mana dua orang atau dua pihak itu saling berjanji untuk melaksanakan suatu hal (Pasal 1313 Kitab Undang-undang Hukum Perdata Indonesia). Hukum perikatan memiliki arti yang luas daripada perjanjian karena mengatur juga suatu hubungan hukum yang tidak bersumber dari persetujuan atau perjanjian.
Ferry Irawan Febriansyah, Berlakunya Hukum Perikatan Islam, Eksyar, Volume 02, Nomor 01, Juni 2015: 337-356
Dasar Hukum Perikatan
Dasar hukum perikatan berdasarkan KUH Perdata terdapat tiga sumber sebagai berikut:
Perikatan yang timbul dari persetujuan (perjanjian).
Perikatan yang timbul dari undang – undang.
Perikatan yang timbul dari undang – undang dapat dibagi menjadi dua, yakni perikatan yang terjadi karena undang – undang semata dan perikatan yang terjadi karena undang – undang karena perbuatan manusia.
Perikatan yang terjadi karena undang – undang semata (Pasal 1233 KUHP), misalnya kewajiban orang tua untuk memelihara dan mendidik anak – anak, yaitu hukum kewarisan.
Perikatan terjadi karena undang – undang akibat perbuatan manusia (Pasal 1352 KUHP ). menurut hukum terjadi karena perbuatan yang diperbolehkan (sah) dan yang bertentangan dengan hukum (tidak sah).
Perikatan terjadi bukan perjanjian, tetapi terjadi karena perbuatan melanggar hukum (onrechtmatige daad) dan perwakilan sukarela (zaakwaarneming).
Elsi Kartika Sari, Simanunsong Advendi, Hukum dalam Ekonomi. (Jakarta: Gramedia Widiasarana, 2017) Hlm.30
Asas – Asas dalam Hukum Perikatan
Didalam hukum perikatan, dikenal tiga asas penting, yaitu Asas Konsensualisme, Asas Pacta Sunt Servanda dan Asas kebebasan berkontrak.
Asas Konsensualisme
Asas konsensualisme dapat disimpulkan dalam Pasal 1320 ayat (1) KUH Perdata yang berbunyi: “ salah satu syarat sahnya perjanjian adalah kesepakatan kedua belah pihak.” Ini mengandung makna, bahwa perjanjian pada umumnya tidak diadakan secara formal, tetapi cukup dengan adanya kesepakatan kedua belah pihak. Asas konsensualisme muncul diilhami dari hukum Romawi dan hukum Jerman. Di dalam hukum Germani tidak di kenal asas konsensualisme, tetapi yang di kenal adalah perikatan riil dan perikatan formal. Perikatan riil adalah suatu perikatan yang di buat dan di laksanakan secara nyata (kontan dalam hukum adat), sedangkan yang di sebut perikatan formal adalah suatu perikatan yang telah di tentukan bentuknya, yaitu tertulis (baik berupa akta autentik maupun akta di bawah tangan). Dalam hukum Romawi di kenal istilah Contractus Verbiss Literis dan Contractus innominat,yang artinya bahwa terjadi perjanjian, bentuk yang telah di terapkan. Asas konsensualisme yang di kenal di dalam KUH perdata adalah berkaitan dengan bentuk perikatan.
Salim Hs, Pengantar Hukum Perdata Tertulis. (Jakarta: Sinar Grafika, 2005) hlm 158
Asas pacta sunt servanda
Asas sunt servanda berhubungan dengan akibat perjanjian. Hal ini dapat di simpulkan dalam pasal 1338 ayat (1) KUH perdata, yang berbunyi : “ perjanjian yang di buat secara sah berlaku sebagai undang-undang.” asas pacta sunt servanda pada mulanya di kenal di dalam hukum gereja. Di dalam hukum gereja itu disebutkan bahwa terjadinya suatu perjanjian apabila ada kesepakatan kedua bela pihak dan dikuatkan dengan sumpah. Ini mengandung makna bahwa setiap perjanjian yang diadakan oleh kedua pihak merupakan perbuatan yang sakral dan di kaitkan dengan unsur keagamaan. Namun, dalam perkembangannya asas pacta sunt servanda diberi arti pactum, yang berarti sepakat tidak perlu di kuatkan dengan sumpah dan tindakan formalitas lainnya, sedangkan nudus pactum sudah cukup dengan sepakat saja.
Salim Hs, Pengantar Hukum Perdata Tertulis. (Jakarta: Sinar Grafika, 2005) hlm 158
Asas kebebasan berkontrak
Asas kebebasan berkontrak dapat dianalisis dari ketentuan pasal 1338 ayat (1) KUH perdata, yang berbunyi : “semua perjanjian yang dibuat secara sah berlaku sebagai UU bagi mereka yang membuatnya.” asas kebebasan berkontrak adalah suatu asas yang memberikan kebebasan kepada para pihak untuk :
Membuat atau tidak membauat perjanjian
Mengadakan perjanjian dengan siapa pun
Menentukan isi perjanjian, pelaksanaan dan persyarataanya
Menentukan bentuknya perjanjian, yaitu tertulis dan lisan.
Salim Hs, Pengantar Hukum Perdata Tertulis. (Jakarta: Sinar Grafika, 2005) hlm 158
Di samping ketiga asas itu, di dalam lokakarya hukum perikatan yang diselenggarakan oleh badan pembinaan hukum nasional, departemen kehakiman dari tanggal 17 sampai 19 desember 1985 telah berhasil dirumuskan delapan asas hukum perikatan nasional. Kedelapan asas itu adalah Asas kepercayaan, Asas persamaan hukum, Asas keseimbangan asas kepastian hukum, asas moral, asas kepatutan, asas kebiasaan dan asas perlindungan.
Salim Hs, Pengantar Hukum Perdata Tertulis. (Jakarta: Sinar Grafika, 2005) hlm 158
Kedelapan asas itu adalah :
Asas kepercayaan
Asas kepercayaan ini mengandung pengertian bahwa setiap orang yang akan mengadakan perjanjian akan memenuhi setiap prestasi yang di adakan di antara mereka di belakang hari.
Salim Hs, Pengantar Hukum Perdata Tertulis. (Jakarta: Sinar Grafika, 2005) hlm 159
Asas persamaan hukum
Yang di maksud dengan asas persamaam hukum adalah bahwa subjek hukum yang mengadakan perjanjian mempunyai kedudukan, hak, dan kewajiban yang sama dalam hukum,dan tidak berbeda-bedakan antara satu sama lain, walaupun subjek hukum itu berbeda warna kulit, ras dan agama.
Salim Hs, Pengantar Hukum Perdata Tertulis. (Jakarta: Sinar Grafika, 2005) hlm 159
Asas keseimbangan
Asas keseimbangan adalah suatu asas yang menghendaki kedua bela pihak memenuhi dan melaksanakan perjanjian. Kreditor mempunyai kekuatan untuk menuntut prestasi melalui kekayaan debitor, namun debitor memikul pula kewajiban untuk melaksanakan perjanjian itu dengan ikikad baik.
Salim Hs, Pengantar Hukum Perdata Tertulis. (Jakarta: Sinar Grafika, 2005) hlm 159
Asas kepastian hukum
Perjanjian sebagai figur hukum harus mengandung kepastian hukum. Kepastian ini terungkap dari kekuatan mengikatnya perjanjian, yaitu sebagai undang-undang bagi membuatnya.
Salim Hs, Pengantar Hukum Perdata Tertulis. (Jakarta: Sinar Grafika, 2005) hlm 159
Asas moral
asas moral ini terikat dalam perikatan wajar, di mana suatu perbuatan sukarela dari seseorang tidak dapat menuntut hak baginya untuk menggugat prestasi dari pihak debitor. Hal ini terlihat di dalam zaakwarneming, di mana seseorang melakukan perbuatan dengan sukarela (moral). Yang bersangkutan mempunyai kewajiban hukum untuk meneruskan dan menyelesaikan perbuatannya.
Salim Hs, Pengantar Hukum Perdata Tertulis. (Jakarta: Sinar Grafika, 2005) hlm 159
Asas kepatutan
Asas ini tertuang dalam pasal 1339 KUH perdata.asas ini berkaitan dengan ketentuan mengenai isi perjanjian.
Salim Hs, Pengantar Hukum Perdata Tertulis. (Jakarta: Sinar Grafika, 2005) hlm 160
Asas kebiasaan
Asas ini di pandang sebagai bagian dari perjanjian. Suatu perjanjian tidak hanya mengikat untuk apa yang secara tegas diatur. Akan tetapi juga hal-hal yang menurut kebiasaan lazim diikuti.
Salim Hs, Pengantar Hukum Perdata Tertulis. (Jakarta: Sinar Grafika, 2005) hlm 160
Asas perlindungan
Asas perlindungan mengandung pengertian bahwa di antara debitor dan kreditor harus dilindungi oleh hukum. Namun yang perlu mendapat perlindungan itu sekali adalah pihak debitor karena pihak debitor berada pada pihak yang lemah.
Salim Hs, Pengantar Hukum Perdata Tertulis. (Jakarta: Sinar Grafika, 2005) hlm 160
Wanprestasi dan Akibat – Akibatnya
Sementara itu, wansprestasi timbul apabila salah satu pihak (debitur) tidak melakukan apa yang diperjanjikan, misalnya ia alpa (lalai) atau ingkar janji. Adapun bentuk dari wansprestasi bisa berupa empat kategori, yakni:
Tidak melakukan apa yang disanggupi akan dilakukan;
Melaksanakan apa yang dijanjikannya, tetapi tidak sebagaimana yang dijanjikan;
Melakukan apa yang dijanjikan tetapi terlambat;
Melakukan sesuatu yang menurut perjanjian tidak boleh dilakukannya.
Elsi Kartika Sari, Simanunsong Advendi, Hukum dalam Ekonomi. (Jakarta: Gramedia Widiasarana, 2017) Hlm.33
Oleh karena itu, kelalaian (wansprestasi) mempunyai akibat-akibat yang berat maka tidak mudah untuk menyatakan bahwa seseorang lalai atau alpa. Di dalam Pasal 1238 KUH Perdata menyebutkan bagaimana caranya memperingatkan seseorang debitor,
“Si berutang adalah lalai, bila ia dengan surat perintah ata dengan sebuah akta sejenis itu telah dinyatakan lalai, atau demi perikatannya sendiri, jika ini menetapkan bahwa si berutang akan harus dianggap lalai dengan lewatnya waktu yang ditentukan.”
Dengan demikian, terhadap kelalaian atau kealpaan si debitor sebagai pihak yang melanggar kewajiban dapat diberikan beberapa sanksi atau hukuman.
Elsi Kartika Sari, Simanunsong Advendi, Hukum dalam Ekonomi. (Jakarta: Gramedia Widiasarana, 2017) Hlm.33
Akibat - akibat wansprestasi berupa hukuman atau akibat-akibat bagi debitur yang melakukan wansprestasi, dapat digolongkan menjadi tiga kategori, yakni membayar yang diderita oleh kreditur (ganti rugi); pembatalan perjanjian; peralihan resiko.
Elsi Kartika Sari, Simanunsong Advendi, Hukum dalam Ekonomi. (Jakarta: Gramedia Widiasarana, 2017) Hlm.33
Membayar Kerugian yang Diderita oleh Kreditur
Ganti rugi sering diperinci meliputi tiga unsur, yakni:
Biaya adalah segala pengeluaran atau perongkosan yang nyata sudah dikeluarkan oleh salah satu pihak;
Rugi adalah kerugian karena kerusakan barang-barang kepunyaan kreditor yang diakibatkan oleh kelalaian si debitor;
Bunga adalah kerugian yang berupa kehilangan keuntungan yang sudah dibayangkan atau di hitung oleh kreditor.
Elsi Kartika Sari, Simanunsong Advendi, Hukum dalam Ekonomi. (Jakarta: Gramedia Widiasarana, 2017) Hlm.33 - 34
Pembatalan Perjanjian atau Pemecahan Perjanjian
Di dalam pembatasan tuntutan ganti rugi telah diatur dalam Pasal 1247 dan Pasal 1248 KUH Perdata. Pembatalan perjanjian atau pemecahan perjanjian ditujukan membawa kedua belah pihak kembali pada keadaan sebelum perjanjian diadakan. Kalau satu pihak sudah menerima sesuatu dari Pihak yang lain, baik uang maupun barang maka harus dikembalikan sehingga perjanjian itu ditiadakan.
Elsi Kartika Sari, Simanunsong Advendi, Hukum dalam Ekonomi. (Jakarta: Gramedia Widiasarana, 2017) Hlm.34
Peralihan Resiko
Peralihan resiko adalah kewajiban untuk memikul kerugian jika terjadi suatu peristiwa diluar kesalahan salah satu pihak yang menimpa barang dan menjadi objek perjanjian sesuai dengan Pasal 1237 KUH Perdata. Oleh karena itu, dalam hal adanya perikatan untuk memberikan suatu barang tertentu maka barang itu semenjak perikatan dilahirkan adalah atas tanggungan (resiko) berpiutang (pihak yang berhak menerima barang).
Elsi Kartika Sari, Simanunsong Advendi, Hukum dalam Ekonomi. (Jakarta: Gramedia Widiasarana, 2017) Hlm.34
Selain itu ada beberapa bentuk dari wansprestasi menurut Mariam Darus Badrulzaman, seperti berikut ini:
Ingkar Janji
Wujud dari tidak memenuhi perikatan itu ada 3 (tiga) macam, yaitu:
Debitur sama sekali tidak memenuhi perikatan
Debitur terlambat memenuhi perikatan
Debitur keliru atau tidak pantas memenuhi perikatan
Mariam Darus Badrulzaman, Komplikasi Hukum Perikatan, Bandung (PT. Citra Aditya Sakti, 2001), hal 19
Di dalam kenyataan sukar untuk menentukan saat debitur dikatakan tidak memenuhi perikatan, karena sering kali ketika mengadakan perjanjian pihak-pihak tidak menentukan waktu untuk melaksanakan perjanjian tersebut. Bahkan di dalam perikatan di mana waktu untuk melaksanakan prestasi itu pun di tentukan, cedera janji tidak terjadi dengan sendirinya. Yang mudah untuk menentukan saat debitur tidak memenuhi perikatan ialah pada perikatan untuk tidak berbuat sesuatu yang dilarang.
Mariam Darus Badrulzaman, Komplikasi Hukum Perikatan, Bandung (PT. Citra Aditya Sakti, 2001), hal 19
Pernyataan Lalai (Ingebreke stelling)
Untuk adanya kewajiban ganti rugi bagi debitur maka undang-undang menentukan bahwa debitur harus terlebih dahulu dinyatakan berada dalam keadaan lalai. Lembaga “pernyataan lalai” ini adalah merupakan upaya hukum untuk sampai kepada suatu fase, dimana debitur dinyatakan “ingkar janji”. Hal ini diterangkan dalam Pasal 1243 KUH Perdata.
Mariam Darus Badrulzaman, Komplikasi Hukum Perikatan, Bandung (PT. Citra Aditya Sakti, 2001), hal 19
Hak-hak Kreditur Kalau Terjadi Ingkar Janji
Hak-hak kreditur sebagai berikut :
Hak menuntut pemenuhan perikatan
Hak menuntut pemutusan perikatan atau apabila perikatan itu bersifat timbal balik, menuntut pembatalan perikatan
Hak menuntut ganti rugi (schade vergoeding)
Hak menntut pemenuhan perikatan dengan ganti rugi
Hak menuntut pemutusan atau pembatalan perikatan dengan ganti rugi.
Mariam Darus Badrulzaman, Komplikasi Hukum Perikatan, Bandung (PT. Citra Aditya Sakti,2001), hal 21
Ganti Rugi
Menurut Pasal 1244, Pasal 1245 dan Pasal 1246 KUHPerdata, anasir-anasir dari ganti rugi ialah biaya, rugi dan bunga.
Pengertian Rugi
Apabila undang-undang menyebutkan rugi (schade) maka yang dimaksud adalah sebagai berikut kerugian nyata yang dapat diduga atau diperkirakan pada saat perikatan itu diadakan, yang timbul sebagai akibat ingkar janji.
Mariam Darus Badrulzaman, Komplikasi Hukum Perikatan, Bandung (PT. Citra Aditya Sakti,2001), hal 21
Hubungan Sebab Akibat
Pada umumnya debitur hanya memberikan ganti rugi kalau kerugian itu mempunyai hubungan langsung dengan ingkar janji, dengan perikatan lain antara ingkar janji dengan kerugian harus ada hubungan sebab akibat (kausal). Hal ini disebutkan dalam Pasal 1248 KUHPerdata.
Mariam Darus Badrulzaman, Komplikasi Hukum Perikatan, Bandung (PT. Citra Aditya Sakti,2001), hal 22
Bentuk Ganti Rugi
Pada asasnya bentuk dari ganti rugi yang lazimdipergunakan ialah uang, oleh karena menurut ahli-ahli Hukum Perdata maupun yurisprudensi, uang merupakan alat yang paling praktis, yang paling sedikit menimbulkan selisih dalam menyelesaikan sesuatu sengketa. Selain uang masih ada bentuk-bentuk yang lain yang diperlukan sebagai bentuk ganti rugi, yaitu: pemulihan ke keadaan semula dan larangan untuk mengulangi.
Mariam Darus Badrulzaman, Komplikasi Hukum Perikatan, Bandung (PT. Citra Aditya Sakti,2001), hal 23
Kerugian Immaterial ( Tidak Berwujud)
Sama halnya KUHPerdata Belanda, maka KUHPerdata kita hanya mengatur tentang ganti rugi dari kerugian yang bersifat material (berwujud) yang dapat dinilai dengan uang, dan tidak mengatur ganti rugi dari kerugian yang bersifat immaterial, tidak berwujud ; (moral, ideal). Namun demikian sebagian dari ahli Hukum Perdata dan Yurisorudensi menyetujui diberikannya ganti rugi terhadap kerugian immaterial, misalnya harus dikabulkan tuntutan ganti rugi dari seseorang yang merasa dirugikan karena kehilangan kenikmatan atas suatu ketenangan yang disebabkan tetangganya.
Mariam Darus Badrulzaman, Komplikasi Hukum Perikatan, Bandung (PT. Citra Aditya Sakti,2001), hal 23-24
Jumlah Ganti Rugi
Untuk menentukan besarnya jumlah ganti rugi, undang-undang memberikan beberapa pedoman yaitu besarnya jumlah ganti rugi itu ditentukan sendiri oleh undang-undang, misalnya Pasal 1250 KUHPerdata ini adalah undang-undang yang dimuat dalam Lembaran Negara Tahun 1948 Nomor 22 yang menetapkan besarnya jumlah bunga 6% setahun.
Mariam Darus Badrulzaman, Komplikasi Hukum Perikatan, Bandung (PT. Citra Aditya Sakti,2001), hal 24
Terhapusnya Perikatan
Dalam kitab undang-undang Hukum Perdata menyebutkan terhapusnya suatu perikatan dengan cara sebagai berikut :
Pembayaran
Dengan “pembayaran”dimaksudkan setiap pemenuhan perjanjian secara sukarela. Dalam arti yang luas ini, tidak saja pihak pembeli membayar uang harga pembelian, tetapi pihak penjualpun dikatakan, “membayar” jika ia menyerahkan atau “melever” barang yang dijualnya.
Subekti, Hukum Perjanjian cetakan kedua puluh. (Jakarta: Intermasa, 2004) hal. 64
Penawaran pembayaran tunai diikuti dengan penyimpanan atau penitipan
Maksudnya adalah, suatu cara pembayaran yang harus dilakukan apabila si berpiutang (kreditur) menolak pembayaran. Cara itu, adalah sebagai berikut: Barang atau uang yang akan dibayarkan itu ditawarkan secara resmi oleh seorang motaris atau seorang jurusita pengadilan. Notaris atau jurusita ini membuat suatu perincian barang-barang atau uang yang akan dibayarkan membuat suatu perincian barang-barang atau uang yang akan dibayarkan itu dan pergilah ia ke rumah atau tempat tinggal kreditur, kepada siapa ia memberitahukan bahwa ia atas perintah debitur datang untuk membayar utang debitur tersebut, pembayaran mana akan dilakukan dengan menyerahkan (membayarkan) barang atau uang yang telah diperinci itu. Notaris atau jurusita tadi sudah menyediakan suatu proses perbal.
Subekti, Hukum Perjanjian cetakan kedua puluh. (Jakarta: Intermasa, 2004) hlm 69
Apabila kreditur suka menerima barang atau uang yang ditawarkan itu, maka selesailah perkara pembayaran itu. Apabila kreditur menolak yang biasanya sudah dapat diduga, maka notaris/jurusita akan mempersiapkan kreditur itu menandatangani proses,perbal tersebut jika kreditur tidak suka menaruh tanda tangannya, hal itu akan dicatat oleh notaris/jurusita diatas surat proses,perbal tersebut. Dengan demikian terdapatlah suatu bukti yang resmi bahwa si berpiutang telah menolak pembayaran telah menolak pembayaran. Langkah yang berikutnya : si berutang (debitur) dimuka Pengadilan Negeri dengan permohonan kepada pengadilan itu. Setelah penawaran pembayaran itu disahkan, maka barang atau uang yang dibayarkan itu, disimpan atau dititipkan kepada Panitera Pengadilan Negeri dengan demikian hapuslah utang piutang itu.
Subekti, Hukum Perjanjian cetakan kedua puluh. (Jakarta: Intermasa, 2004) hlm 69
Pembaharuan utang
Menurut Pasal 1413 kitab Undang-undang Hukum Perdata, ada 3 macam jalan untuk melakukan suatu pembaharuan utang. Yaitu :
Apabila seseorang yang berutang membuat suatu perikatan utang baru guna orang yang memperhutangkannya, yang menggantikan utang yang lama yang dihapuskan karenanya;
Apabila seseorang berutang baru ditunjuk untuk menggantikan orang berutang lama, yaitu oleh si berpiutang dibebaskan dari perikatannya;
Apabila sebagai akibat suatu perjanjian baru, seorang kreditur baru ditunjuk untuk menggantikan kreditur lama, terhadap siapa si berutang dibebaskan perikatannya.
Subekti, Hukum Perjanjian cetakan kedua puluh. (Jakarta: Intermasa, 2004) hlm 70
Perjumpaan utang atau kompensasi
Ini adalah suatu cara penghapusan utang dengan jalan memperjumpakan atau memperhitungkan utang piutang secara timbal balikantara kreditur dan debitur. Jika dua orang saling berpiutang satu pada lainnya, maka terjadilah antara mereka suatu perjumpaan, dengan mana utang-utang antara kedua orang tersebut dihapuskan, demikianlah diterangkan oleh pasal 1424 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata. Pasal tersebut selanjutnya mengatakan bahwa perjumpaan itu terjadi demi hukum, bahkan dengan tidak setahunya orang-orang yang bersangkutan dan kedua utang itu yang satu menghapuskan yang lain dan sebaliknya pada saat utang-utang itu bersama-sama ada, bertimbal balik untuk suatu jumlah yang sama.
Subekti, Hukum Perjanjian cetakan kedua puluh. (Jakarta: Intermasa, 2004) hlm 72
Percampuran utang
Apabila kedudukan sebagai orang berpiutang (kreditur) dan orang berutang (debitur) berkumpul pada satu orang, maka terjadilah demi hukum suatu percampuran utang dengan mana utang piutang itu dihapuskan. Misalnya, di sebitur dalam suatu testamen ditunjuk sebagai waris tunggal oleh krediturnya, atau di debitur kawin dengan krediturnya dalam suatu persatuan harta kawin. Hapusnya utang piutang dalam hal percampuran ini, adalah betul-betuk “demi hukum” dalam arti otomatis.
Subekti, Hukum Perjanjian cetakan kedua puluh. (Jakarta: Intermasa, 2004) hlm 73
Pembebasan utang
Misalnya, apabila si berpitang dengan tegas mengatakan tidak menghendaki lagi prestasi dari si berutang dan melepaskan haknya atas pembayaran atau pemenuhan perjanjian, maka perikatan - yaitu hubungan utang piutang – hapus. Perikatan disini hapus karena pembebasan.
Subekti, Hukum Perjanjian cetakan kedua puluh. (Jakarta: Intermasa, 2004) hlm 74
Pembebasan suatu utang tidak boleh dipersengkakan, tetapi harus dibukukan. Pembebasan utang ini sebenarnya juga dapat kita anggap sebagai suatu perjanjian baru dimana si berpiutang dengan sukarela membebaskan debiturnya dari segala kewajibannya. Pembebasan ini perlu diterima baik dahulu oleh debitur, barulah dapat dikatakan bahwa perikatan utang piutang telah hapus karena pembebasan, sebab ada juga kemungkinan seorang debitur tidak suka dibebaskan dari utangnya.
Subekti, Hukum Perjanjian cetakan kedua puluh. (Jakarta: Intermasa, 2004) hlm 74
Musnahnya barang yang terutang
Jika barang tertentu yang menjadi objek perjanjian musnah, tak dapat lagi diperdagangkan, atau hilang, hingga sama sekali tak diketahui apakah barang itu masih ada, maka hapuslah perikatannya, asal barang tadi musnah atau hilang di luar kesalahan si berutang dan sebelum ia lalai menyerahkannya. Bahkan seandainya debitur itu lalai menyerahkan barang itu (misalnya terlambat), ia pun akan bebas dari perikatan bila ia dapat membuktikan bahwa hapusnya barang itu disebabkan oleh suatu kejadian di luar kekuasaannya.
Subekti, Hukum Perjanjian cetakan kedua puluh. (Jakarta: Intermasa, 2004) hlm 75
Batal/pembatalan
Meskipun di sini disebutkan batal dan pembatalan, tetapi yang benar adalah “pembatalan” saja, dan memang kalau kita melihat apa saja yang diatur oleh pasal 1446 dan selanjutnya dari Kitab Undang-Undang Hukum Perdata, ternyatalah bahwa ketentuan-ketentuan di situ kesemuanya mengenai “pembatalan”. Kalau suatu perjanjian batal demi hukum, maka tidak ada suatu perikatan hukum yang dilahirkan karenanya, dan barang sesuatu yang tidak ada tentunya saja tidak bisa hapus. Yang di atur oleh Pasal 1446 dan selanjutnya, adalah pembatalan perjanjian-perjanjian yang dapat dimintakan (vermietihbar atau voidable.
Subekti, Hukum Perjanjian cetakan kedua puluh. (Jakarta: Intermasa, 2004) hlm 76
Berlakunya suatu syarat batal
Yang dinamakan perikatan bersyarat itu adalah suatu perikatan yang nasibnya digantungkan pada suatu peristiwa yang masih akan datang dan masih belum tentu akan terjadi, baik secara membatalkan perikatan menurut terjadi atau tidak terjadinya peristiwa tersebut. Dalam hal yang pertama perikatan dilahirkan hanya apabila peristiwa yang dimaksud itu terjadi. Dalam hal yang kedua suatu perikatan yang sudah dilahirkan justru akan berakhir atau dibatalkan apabila peristiwa yang dimaksud itu terjadi. Perikatan terakhir ini dinamakan suatu perikatan dengan suatu syarat batal.
Subekti, Hukum Perjanjian cetakan kedua puluh. (Jakarta: Intermasa, 2004) hlm 76
Lewatnya waktu
Menurut Pasal 1946 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata , yang dinamakan daluwarsa atau lewat waktu ialah suatu upaya untuk memperoleh sesuatu atau untuk dibebaskan dari suatu perikatan dengan lewatnya suatu waktu tertentu dan atas syarat-syarat yang ditentukan oleh undang-undang. Menurut pasal 1967, maka segala tuntutan hukum, baik yang bersifat kebendaan, maupun yang bersifat perseorangan hapus karena daluwarsa dengan lewatnya waktu tiga puluh tahun.
Subekti, Hukum Perjanjian cetakan kedua puluh. (Jakarta: Intermasa, 2004) hlm 77
PENUTUP
Kesimpulan
Perikatan adalah hubungan hukum yang terjadi diantara dua orang (pihak) atau lebih, yakni pihak yang satu berhak atas prestasi dan pihak lainnya wajib memenuhi prestasi, begitu juga sebaliknya.
Elsi Kartika Sari, Simanunsong Advendi, Hukum dalam Ekonomi. (Jakarta: Gramedia Widiasarana, 2017) Hlm.28
Dasar hukum perikatan terdapat tiga sumber: (1) Perikatan yang timbul dari persetujuan, (2) perikatan yang timbul dari undang – undang, dan (3) Perikatan terjadi bukan perjanjian, tetapi terjadi karena perbuatan melanggar hukum.
Elsi Kartika Sari, Simanunsong Advendi, Hukum dalam Ekonomi. (Jakarta: Gramedia Widiasarana, 2017) Hlm.30 wansprestasi timbul apabila salah satu pihak (debitur) tidak melakukan apa yang diperjanjikan, misalnya ia alpa (lalai) atau ingkar janji.
Elsi Kartika Sari, Simanunsong Advendi, Hukum dalam Ekonomi. (Jakarta: Gramedia Widiasarana, 2017) Hlm.33 Akibat - akibat wansprestasi berupa hukuman atau akibat-akibat bagi debitur yang melakukan wansprestasi.
Elsi Kartika Sari, Simanunsong Advendi, Hukum dalam Ekonomi. (Jakarta: Gramedia Widiasarana, 2017) Hlm.33
DAFTAR PUSTAKA
Badrulzaman, Mariam Darus,2001. Komplikasi Hukum Perikatan, Bandung : PT. Citra Aditya Sakti
C. Assers,1991. Pengajian Hukum Perdata Belanda. Jakarta: Dian Rakyat
Ferry Irawan Febriansyah, Berlakunya Hukum Perikatan Islam, Eksyar, Volume 02, Nomor 01, Juni 2015: 337-356
Sari, Elsi Kartika, Advendi Simanunsong ,2017. Hukum dalam Ekonomi. Jakarta : Gramedia Widiasarana
Syahrani Riduan,2006. Seluk beluk dan Asas – asas Hukum Perdata. Bandung : Alumni
Setiawan R,1977. Pokok – pokok Hukum Perikatan. Bandung : Binacipta
Salim Hs,2005. Pengantar Hukum Perdata Tertulis. Jakarta: Sinar Grafika
Subekti, 2004. Hukum Perjanjian cetakan kedua puluh. Jakarta: Intermasa
Widjaja Gunawan,2006. Memahami prinsip keterbukaan dalam hukum perdata. Jakarta: PT RajaGrafindo Persada
23