Academia.eduAcademia.edu

Carik dan Bujangga

ISSN 2548-5075 Foto Dok. Pribadi EDISI 7 TAHUN 1/MARET 2017 Foto bersama pegiat SMP (Sekolah Menulis Papua) sehabis kegiatan “Membincang Novel Etnografi Papua”. KOMUNITAS MENGINGAT KELINGAN ESAI CARIK DAN BUJANGGA CERITA PENDEK ZINNIA DALAM KENANGAN LELAKI ABU-ABU PENGANTAR REDAKSI BETAPA PERLUNYA MENULIS! " 2 Jelas menulis bukan hanya untuk memburu kepuasan pribadi. Menulis harus juga mengisi hidup,” begitu pesan Jean Marais kepada Minke dalam Anak Semua Bangsa, Pramoedya Ananta T o e r. P e s a n y a n g s e a k a n menggugurkan niatan untuk meraup rezeki dari menulis. Pesan yang bernada ideologis. Dan, kita mafhum b a ga i m a n a te l a h P ra m o e d ya membuktikan itu. Menulis adalah kerja kemanusiaan. Lantas, bagaimana dengan Jejak Literasi? Benar, kita tidak perlu tergesa untuk menyematkan tugas ideal penulis di atas pundak Jejak Literasi. Meskipun, bisa saja kita arahkan ke sana, “mengisi hidup”, atau juga sama sekali tidak. Tak jadi soal. Toh yang penting sekarang adalah bagaimana menggiatkan para peserta Tenaga Literasi Indonesia itu menjadi giat menulis. Sudah menjadi rumusan bahwa menulis tak bisa dipisahkan dari membaca. Semakin giat membaca, makin kaya pula kosakata, makin gampang menuang gagasan dalam bentuk tulisan. Pun sebaliknya. Nah, itu berarti beban yang mesti kita panggul selaku pegiat literasi, terlebih Tenaga Literasi Indonesia (TLI) adalah membaca. Lantas berlanjut dengan menulis. Dan, buletin Jejak Literasi ini membuka ruang kepada para awak TLI untuk lancar menulis. Menulis, sebagaimana membaca, tak lagi menjadi beban, tapi jadi sebuah kesenangan. Menulis itu mengasyikkan. Dari kegemaran membaca, lambat laun merembet menjadi hobi menulis. Syukur menjadi pekerjaan utama. Namun, sekadar hobi saja kami kira sudah mencukupi sebagai prasyarat TLI. Sehingga di sana-sini, kita tidak akan lagi mendapati tulisan peserta TLI yang kabur topiknya, logika yang tak urut, kalimat yang tak e f e k t i f, g a g a s a n y a n g t a k berkembang, singkatan alay, dan sebagainya. Nah, merujuk pada kecakapan berkomunikasi bahwa Redaksi: Arfan Ghifari, Yeni Mada Editor: Cak Bashori, Supardi Kafha Layouter: Yuswinardi Redaksi menerima kontribusi tulisan berupa; artikel, reportase, esai, cerita pendek maupun cerita rakyat dalam bentuk file word, font calibri 11, spasi tunggal ke [email protected] N a ra h u b u n g : 0 8 5 6 4 0 0 4 0 4 0 7 ( Yu s ) / 0 8 5 7 3 2 3 8 2 0 1 7 ( A r fa n ) menulis itu tak terpisahkan dari kegemaran membaca, begitu pula dengan kemampuan berbicara yang ta k te r l e p a s d a r i ke m a u a n mendengar. Kita semua memahami, kemampuan berbicara itu penting. Mengartikulasikan gagasan secara lisan kepada lawan bicara itu tak gampang, tapi penting. Dengan demikian, supaya gampang mengurai ide secara lisan kudu kita latih dengan kesediaan menjadi pendengar yang baik. Itu pula d e n ga n m e n u l i s . H a r u s a d a kesediaan dari kita untuk telaten membaca, terutama buku. M e m a n g b e n a r, t i d a k semua dari kita berharap menjadi penulis. Tidak semua pegiat literasi itu berlatar penulis. Namun, kita juga mafhum bahwa menulis itu perlu, terutama era saat ini, era media sosial. Persis dengan kemampuan KONTEN KOMUNITAS MENGINGAT KELINGAN SUPARDI KAFHA 4 KEGIATAN SISI LAIN HARI VALENTINE 2017 DI MANADO SIANG ITU “KAMI” ROBEK WARNA BIRU ACHI BREYVI TALANGGAI 8 ESAI CARIK DAN BUJANGGA ABIMARDHA KURNIAWAN 11 RESENSI FILM SIAPA PENONTON FILM “ISTIRAHATLAH KATA-KATA” DI BALI? JULI SASTRAWAN 18 CERITA PENDEK ZINNIA DALAM KENANGAN LELAKI ABU-ABU DZIKRY EL HAN 22 berbicara, seakan jadi simbol eksistensi manusia, walau tidak mesti (akan) menjadi pembicara di podium, di depan banyak orang. Toh kemampuan berbicara itu tetap penting. Demikian juga, sekali lagi, dengan kemampuan menulis. Era informasi seakan telah mensyaratkan kemampuan menulis itu sebagai batu loncatan menuju kemajuan. Nah, Buletin Jejak Literasi bermaksud menjembatani rekan-rekan Tenaga Literasi untuk mengasah hobi menulis, menyalurkan kegemaran menuang unek-unek dalam tulisan. Dan, kini sudah memasuki edisi ke-7. Itu berarti, buletin ini sudah kali ketujuh setia merayakan literasi. Tu RESENSI r u t m eBUKU n g ga u n g ka n b eta p a MENJADIKANmembaca, PAPUA LEBIH HUMANIS pentingnya betapa FATHULmenulis. QORIB Jejak Literasi telah perlunya 18 serta memupuk kegemaran turut berliterasi. Begitulah kira-kira. (sk) POJOK BAHASA SENARAI KATA CAK BASHORI 26 PUISI NUR AISYAH 29 PUISI ANAK BINAAN TANAH OMBAK SUMATERA BARAT 32 CERITA ANAK GUNUNG SINUJUH RIKO 34 SURANGIKA MENCINTAI PUISI YENI MADA 39 3 ESAI CARIK DAN BUJANGGA ABIMARDHA KURNIAWAN T Sebuah Panorama ransmisi teks, atau lebih umum disebut “penurunan teks”, merupakan salah satu praktik sosial yang terdapat dalam domain masyarakat tertentu, yang bolehlah saya sebuat sebagai “ m a sya ra kat s a st ra ”. P ra kt i k transmisi ini penting dan tidak dapat abaikan, terutama menyangkut kelestarian karya sastra bagi masyarakat pendukungnya dari masa ke masa, dari generasi ke generasi. Adapun yang perlu diperhatikan pula, praktik transmisi teks bukan suatu tindakan yang tanpa alasan, tanpa rasionalisasi dan motivasi yang melatarinya. Misalnya, karya kanon seperti Rāmāyaṇa kakawin masih terus lestari di Bali, sehingga terus dilestarikan dan ditransmisikan, karena berfungsi dalam ritual mabasan dan teksnya masih dibacakan dalam upacara-upacara penting. Artinya, sebuah karya sastra masih punya nilai—entah sakral maupun profan—sehingga harus terus dilestarikan. Masalah transmisi, nantinya, selalu menjadi persoalan sentral dalam studi filologi atau kritik teks. Dalam pandangan filologi yang masih tradisional, transmisi teks, termasuk orang-orang yang terlibat di dalamnya, kerap dianggap minor dan negatif. Alasannya, semakin panjang rute transmisi, semakin jauh pula posisi audiens dari logos pengarang karya sastra. Sehebathebatnya suatu manuskrip salinan, betapapun fix dan validnya, masih kalah nilainya dengan manuskrip 11 12 autograph yang langsung turun dari tangan si pengarang karya sastra. Orientasi pokok bagi pandangan tradisionalis semacam ini adalah otoritas pengarang serta tindak kepengarangannya. Proses transmisi yang ideal, sekali lagi pemurut pandangan ini, adalah transmisi yang lurus, satu banding satu, tanpa campur tangan penyalin. Kalau bisa, penyalin hanya bertindak seolah mesin fotokopi atau scanner semata. Namun, mimpi dan idealisme itu bertolak belakang dengan realitas di lapangan. Mereka menyaksikan bahwa manuskrip-manuskrip salinan itu ternyata tidak “bersih” dari perubahan-perubahan. Kecurigaan lantas diarahkan artefak-artefak atas proses transmisi tersebut. oleh k a r e n a n n y a , k r i t i k teks—sebagaimana dituturkan Maas (1975) dalam monografinya yang berjudul Textual Criticism—berusaha mengembalikan teks sedekat mungkin dengan aslinya. M u n g k i n , s e ka l i l a g i , anggapan semacam itu lebih sesuai bagi kritikus teks berhaluan romantik maupun kritikus teks-teks suci, misalnya Alkitab dan Quran. Akan tetapi, ketika kita dihadapkan pada panorama tekstualitas karya sastra Jawa pra-cetak, kenyataannya sung guh berbeda. Kita akan berhadapan dengan dinamika teks yang luar biasa kaya, labil, berubahubah sepanjang sejarah transmisinya. Oleh karena itu, seolah ada kesepakatan di antara peneliti, untuk menyebut para penyalin seperti dalam kasus Jawa sebagai “pengarang-antara”, atau medeauteur dalam bahasa H.K.J. Cowan (1937). Namun apakah ini berlaku umum dan sesuai untuk penyalin teks? Harus diamati lebih jauh dan cermat. Kemunculan istilah “ p e n g a r a n g - a n t a r a ”, d a l a m pemahaman saya, baru sesuai bila seseorang yang menjalankan praktik penyalinan punya kontribusi yang signifikan terhadap dinamika tekstual. Artinya, peran agensinya benar-benar terlihat melalui produk Sumber gambar: Dok. Laksmi K. yang dihasilkannya, yakni manuskrip. Manuskrip ditempatkan sebagai jejak atas tindakan-tindakan praktis seorang pelaku transmisi teks, bolehlah saya menerapkan beberapa konsep dalam teori strukturasi Anthony Giddens (1986) untuk kajian sederhana ini. Teori Giddens lahir di masyarakat kapitalis Inggris yang relatif stabil pada masanya. Sementara kajian ini berusaha memetakan secara konseptual te nta n g p ra k t i k ata u t i n d a k penyalinan teks karya sastra di masyarakat Jawa era pra-cetak. Oleh karena itu, selain bertumpu pada konsep-konsep Giddens, tulisan ini juga berhutang banyak pada penelitian doktoral T.E. Behrend (1995) tentang korpus teks Sěrat Jatiswara serta dinamika proses transmisinya dalam kurun waktu yang panjang antara tahun 1600an hingga 1930an, serta melibatkan obyek materil manuskrip yang begitu besar dalam jumlah, serta beragam dari segi bentuk. Beberapa Kategori  Pada tahap awal, untuk menelaah praktik transmisi yang dilakukan serangkaian penyalin teks, perlu dipahami beberapa kategori yang diajukan Behrend dalam memetakan dunia teks Jawa yang luar biasa kaya, beragam, campur aduk dan tidak pernah stabil itu. Kategori-kategori tersebut antara lain: korpus, resensi dan karya majemuk. Bekal pemahaman terhadap beberapa kategori tersebut penting. Kita melihat praktik https://belantaraimajinasi.files.wordpress.com/2010/02/sastera.jpg Sumber gambar: Dok. Laksmi K. transmisi tidak secara langsung (karena kejadiannya telah berlangsung di masa yang sangat lampau), tetapi melalui artefakartefak yang menandakan suatu jejak atas tindakan-tindakan praktis individu atau sekelompok orang. Penelitian Behrend yang berujung pada perumusan kategori-kategori itu membatasi diri pada masalah teks semata. Aspek sosial kurang begitu dibahas. Jika, aspek sosial dilibatkan, implikasinya bisa sangat panjang.  Istilah korpus mengacu kepada jumlah keseluruhan karya yang berasal dari satu induk yang sama. Misalnya, kita menemukan begitu banyak manuskirp Quran di seluruh dunia. Entah berapa. Tapi kita yakin bahwa semua manuskrip 13 14 itu berasal dari satu induk yang sama. Keseluruhan manuskirp itulah yang disebut korpus, selama di dalam teksnya termuat suatu ciri yang bisa kita identifikasi sebagai Quran. Bila dalam perjalanan transmisi terjadi percabangan, maka memungkinkan munculnya resensi. Parameternya adalah perbedaan-perbedaan tekstual yang signifikan, misalnya, untuk karya puisi Jawa berbentuk tembang, perbedaan jumlah pupuh yang menyiratkan variasi jenis metrum yang digunakan. Istilah resensi setidaknya punya kesejajaran dengan istilah versi yang lebih umum dikenal. Sementara itu, karya majemuk menandai terjadinya proses interpolasi atau penyisipan teks-teks dari luar korpus. Mungkin dalam proses transmisinya terjadi ko nta m i n a s i h o r i zo nta l ya n g melibatkan beberapa karya karena si penyalin melihat beberapa ke ku ra n ga n d a r i e ks e m p l a r utamanya.  Di dalam proses transmisi yang begitu kompleks dan bahkan memunculkan berbagai percabangan tradisi kemudian mencuatkan dua kategori utama pelaku transmisi teks, yakni carik dan bujangga. Kedua kateogori tersebut berpatokan pada kadar atau sejauh mana peran dan kontribusi mereka terhadap perubahan teks. Seorang carik, yang pengertian dasarnya adalah 'juru tulis' (Prawiroatmojo, 1981:56 s.v. carik), punya kontribusi dalam dinamika teks yang tidak terlalu signifikan bila dibanding bujangga. Mungkin seorang carik bertanggung jawab atas variasi teks, namun batasnya realif sempit, seringkali hanya berada dalam satu lingkup resensi saja, berbeda halnya dengan seorang bujangga. Berbagai resensi atau versi teks, dalam beberapa kasus termasuk karya majemuk, merupakan kontribusi mereka yang terbilang penting. Seorang bujangga memainkan proses strukturasi yang cukup radikal. Bagi kita yang bergelut dengan tektualitas Jawa, tidak akan asing dengan nama Yasadipura I (1729—1802), sastrawan Kraton Surakarta. Nama itu bisa dikategorikan sebagai bujangga.  Pada periode yang disebut Pigeaud (1967) sebagai masa “renaisans” sastra Jawa Kuna abad XVIII, Yasadipura I menajdi figur penting yang banyak menggubah ulang teks-teks kakawin Jawa praIslam semacam Rāmāyaṇa, Bharatayuddha, Arjunawiwāha dan Arjunawijaya untuk disesuaikan dengan citarasa sastra pada zamannya. Penggubahan ulang itu membawa perubahan yang sangat radikal terhadap teks. Teks yang semula berbahasa Jawa Kuna dialihubahkan ke ragam bahasa yang lebih muda, pola metrum kakawin disesuaikan dengan dengan pola tembang Jawa, dan sebagainya. Karya gubahan ulang Yasadipura I tersebut juga masih ditransmisikan oleh kalangan carik sesudahnya. Serat Mintaraga, misalnya, yang merupakan gubahan ulang atas kakawin Arjunawiwāha karya Mpu Kanwa dari abad XI, selanjutnya hadir dalam berbagai manuskrip. Praktik transmisi teks antara bujangga dan carik, langsung maupun tidak, saling berkesinambungan. Seorang carik m ent ra n s m is ika n h a s il ka r ya bujangga, di satu sisi. Di sisi lain, seorang bujangga, dalam praktiknya, menggunakan bahan material berupa manuskrip buah pena para carik sebelumnya. Transmisi dan Strukturasi  Terkait tindakan sosial individu, Giddens menyanggah dualisme antara langue dan parole dalam konsep strukturalisme. Strukturalisme menganggap parole tunduk secara mutlak pada langue yang serba mengatur. Parole tak ubahnya hanya manifestasi linear dari langue semata. Konsep tersebut kemudian diperluas oleh Giddens. Baginya, yang berlaku bukanlah dualisme, melainkan dualitas sturktur. Antara struktur dan praktik, langue dan parole, terjadi proses timbal-balik (reciprocal) yang saling mempengaruhi. Memang tindakan individu dan praktik sosial berjalan sesuai dengan koridor stuktur, namun peran individu dalam mengubah tatanan struktur juga tidak bisa diabaikan. Struktur adalah sarana (medium) bagi tindakan praktis individu sekaligus hasil (outcome) atas tindakan praktis tersebut.  Proses transmisi teks mengandaikan suatu orientasi ke arah pelestarian teks. Diharapkan oleh orang-orang yang terlibat di dalamnya, teks dari masa lampau masih bisa dibaca dan dinikmati oleh orang sezamannya. Tindak penyalinan sejatinya tidak memperkenankan penyimpangan dalam bentuk apapun. Artinya, praktik transmisi yang dijalankan seorang penyalin semestinya dikontrol oleh dua struktur yang bekerja secara simultan, yakni struktur sosial dan struktur sastra yang sedang dihadapinya. Praktik semacam ini cenderung dijalankan oleh carik yang dalam banyak halihwal sastra, mengakui, pengetahuannya masih sangat kurang dan merasa inferior. Hal ini biasanya diungkapkan dalam kolofon teks yang telah disalinnya. Ia merasa masih belajar (lagi asinau) dan tulisannya tidak rapi seperti cakaran burung merak (kadi cinakaran mañura) atau kepiting (cinakaran rakata). Bila ada kekurangan, ia berharap kepada pembaca untuk menambahkan kekurangan itu (kurang wuwuhana). Sebaliknya, bila ada kelebihan, mohon dikurangi (kurang lwangana). Tanpa lelah ia selalu memohon ampun kepada seseorang yang telah mahir dan ahli 15 16 di bidang sastra (inapura dening sang paramakawi). Begitulah sikap rendah hati seorang carik yang sebenarnya bergerak pada tataran struktur tapi selalu merasa tidak dapat memenuhi aturan-aturan struktur tersebut. Baginya, tindakan melawan struktur adalah perbuatan yang tidak pantas dilakukan!  Akan tetapi, berbeda halnya dengan bujangga dalam segala tindakan praktisnya. Tindakan transmisi seorang bujangga bisa melahirkan dinamika struktur yang signifikan. Sebagaimana disebut sebelumnya, bisa memlahirkan berbagai resensi maupun karya majemuk dalam sejarah panjang transmisi teks. Seorang bujangga adalah adalah agent dengan kedasaran diskursif serta daya refleksi yang tinggi sehingga punya potensi untuk melakukan derutinisasi dalam praktik transmisi teks. Apa yang disebut sebagai paramakawi, sosok yang selalu dimohon ampunannya oleh para carik penyalin teks, diasosiasikan dengan golongan bujangga ini.  Dalam model strukturasi, golongan bujangga memegang dominasi dalam ekologi sastra. Sebab, mereka memiliki legitimasi yang kuat karena kemahirannya dalam bidang sastra yang di atas ratarata. Oleh karena itu, mereka juga punya me kuasa dalam signifikasi teks-teks karya sastra. Dengan berlandas pada tiga gugus struktur itu, memungkinkan golongan bujangga mengkomunikasikan teksnya secara sentrifugal. Dialah agen yang menjadi hulu atas percabangan atau resensi-resensi baru yang—dalam tataran mikro—membentuk lingkup korpus tersendiri. Di belakangnya terdapat jajaran carik yang mentransmisikan karya bujangga tersebut. Kadar agensi dalam praktik transmisi seorang carik memang tidak sebesar bujangga. Kuasa carik begitu kecil, sebagaimana ia menginsyafi hal itu dan menjadi kesadaran praktis untuk selalu mengikuti dan patuh terhadap ka r ya b u j a n g g a . Pe r u b a h a n perubahan serta variasi-variasi kecil yang dilakukan carik—tidak te r m a s u k b e nt u k ke s i l a p a n melainkan sesuatu yang sengaja—sebenarnya bertujuan untuk memperbaiki bacaan yang dianggap kurang pas pada manuskrip eksemplar. Sekali lagi, tindakan koreksional carik, pada dasarnya muncul dari rasa khawatir dan ketakuan akan sangsi estetis. Akan tetapi, di lain sisi, itu juga semakin mengukuhkan kuasa tekstual seorang bujangga yang hadir secara metafisik dalam teks.  Kuasa tekstual bujangga sering kali berada dalam hirarki kekuasaan politik yang lebih makro, yakni kekuasaan raja. Kekuasaan raja memerlukan berbagai perayaan untuk semakin memperkuat kekuasaannya. Sastra menjadi salah satu alat untuk itu. Raja menjadi patron tradisi sastra di balik temboktembok keraton. Inilah, struktur yang mengekang bagi pada bujangga sekaligus carik yang menjadi sumber bagi praktik-praktik transmisi teks yang mereka lakukan. Referensi Behrend, T.E. 1995. Sěrat Jatiswara: Perubahan Struktur Puisi Jawa 1600—1930, terj. Achadiati Ikram. Jakarta: INIS. Cowan, H.K.J. 1937. De “Hikajat Malém Dagang” Atjèhsch Heldendicht: Tekst en Toelichting. 's Gravenhage: KITLV van NederlandIndië. Giddens, Anthony. 1986. The Constitution of Society: Outline of the Theory of Stucturation. Cambridge: Polity Press. Maas, Paul. 1975. Textual Criticism, diterjemahan dari bahasa Jerman oleh Barbara Fowler. Oxford: Clarendon Press. Pigeaud, Th. 1967. Literature of Java: Catalogue Raisonné of Javanese Manuscripts in the Library of the University of Leiden and Other Public Collections in the Netherlands, Volume I: Synopsis of Javanese Literature 900—1900 AD. The Hague: Martinus Nijhoff. Prawiroatmojo, S. 1981. Bausastra Jawa-Indonesia, 2 Jilid. Jakarta: Gunung Agung. Biodata: Abimardha Kurniawan, lahir di Surabaya, 26 Maret 1986. Penggiat studi filologi dan kajian naskah kuno. Tulisan-tulisannya terpublikasikan di sejumlah media massa. Saat ini berstatus sebagai mahasiswa Program Pascasarjana Ilmu Susastra, FIB Universitas Indonesia, Depok. T i n g g a l d i a l a m a t [email protected]. 17