MAKALAH
KURBAN DAN AKIKAH
Mata Kuliah
FIQH II
Dosen Pembimbing
Dr. H. Muhammad Asrori, M.Ag
PAI-E
Kelompok 2
Imam Baihaqi 14110146
Sayidati Herlina 14110057
Era Dwi Rahmawati 14110051
PENDIDIKAN AGAMA ISLAM
FAKULTAS ILMU TARBIYAH DAN KEGURUAN
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI MAULANA MALIK IBRAHIM
MALANG
2016
KATA PENGANTAR
Puji syukur kami panjatkan kehadirat Tuhan Yang Maha Esa yang senantiasa melimpahkan rahmat dan ridhanya, sehingga kami dapat menyelesaikan penyusunan makalah materi mata kuliah Fiqh 2 yang berjudul “Kurban dan Akikah”. Makalah ini berisikan uraian kurban dan akikah mulai dari pengertian, hukum, hingga hikmah dengan referensi berbagai kitab klasik maupun buku kontemporer.
Tidak lupa, kami mengucapkan rasa terima kasih kepada Bapak Dr. H. Muhammad Asrori, M.Ag selaku dosen pembimbing kami dalam pembelajaran mata kuliah Fiqh 2, serta kepada teman-teman yang telah memberikan dukungan kepada kami dalam menyelesaikan makalah ini.
Harapan terdalam kami, semoga penyusunan makalah ini bisa bermanfaat bagi kita semua serta menjadi tambahan informasi dan ilmu dalam mengamalkan kurban dan akikah di kehidupan bermasyarakat.
Kami menyadari jika dalam menyusun makalah ini masih banyak hal yang belum terlampirkan. Oleh karena itu, kami sangat mengharapkan kritik dan saran yang konstruktif guna menyusun makalah yang lebih baik. Demikian makalah ini kami susun, apabila ada kata-kata yang kurang berkenan dan banyak terdapat kekurangan, kami mohon maaf. Semoga bermanfaat. Amin.
Malang, 6 September 2016
Penyusun
DAFTAR ISI
KATA PENGANTAR ii
DAFTAR ISI iii
BAB I PENDAHULUAN 1
Latar Belakang 1
Rumusan Masalah 1
Tujuan Masalah 2
BAB II PEMBAHASAN 3
Kurban 3
Pengertian Kurban dan Syariatnya 3
Syarat-Syarat Berkurban 7
Waktu Berkurban 8
Hewan Kurban dan Sifatnya 12
Usia Hewan yang Sah untuk Berkurban 15
Adab Berkurban 20
Hukum Memakan Daging Kurban dan Pendistribusiannya 25
Hikmah Disyariatkan Berkurban 27
Akikah 28
Pengertian Akikah dan Hukumnya 28
Jenis, Usia, dan Sifat Hewan yang Sah untuk Akikah 30
Waktu Berakikah 34
Hukum Daging dan Kulit Hewan Akikah 38
Hikmah Disyariatkan Akikah 38
BAB III PENUTUP 40
Kesimpulan 40
Saran 40
SKEMA PEMBAHASAN 41
DAFTAR PUSTAKA 42
BAB 1
PENDAHULUAN
Latar Belakang
Ibadah qurban dan aqiqah yaitu dua ibadah dalam islam yang terkait dengan penyembelihan binatang. Kedua ibadah ini terkadang dikesankan sama, padahal diantara keduanya terdapat banyak perbedaan, terutama tentang ketentuan-ketentuan dasarnya. Dalam agama Islam terdapat ajaran penyembelihan hewan kurban dan akikah. Penyembelihan hewan kurban dilakukan pada Hari Raya Idul Adha dan hari tasyrik. Adapun akikah dilaksanakan pada hari ketujuh dalam kelahiran seorang bayi. Hukum menyembelih hewan kurban dan akikah adalah sunah Muakadah (mendekati wajib), yaitu sunah yang dianjurkan. Penyembelihan hewan kurban dan akikah harus sesuai dengan ketentuan yang telah diajarkan oleh Rasulullah SAW, karena penyembelihan yang tidak sesuai dengan syareat islam adalah haram. Beberapa dari ketentuan kedua ibadah ini akan dijabarkan dalam pembahasan qurban dan aqiqah.
Rumusan Masalah
Apa pengertian kurban dan akikah?
Bagaimana syariat kurban dan akikah dalam Islam?
Apa saja syarat-syarat berkurban dan berakikah?
Kapan waktu berkurban dan berakikah?
Hewan apa yang dapat dikurbankan maupun diakikahkan serta bagaimana sifatnya?
Berapa usia hewan yang sah untuk berkurban dan berakikah?
Bagaimana adab berkurbandan berakikah?
Bagaimana hukum memakan daging kurban maupun akikah?
Bagaimana sistem pendistribusian daging kurban dan akikah?
Apa hikmah dibalik disyariatkannya berkurban dan berakikah?
Tujuan Masalah
Mengetahui seluk-beluk kurban dan akikah serta penerapan ilmunya dalam kehidupan nyata bermasyarakat.
Menjawab pertanyaan publik mengenai kurban dan akikah
Mengetahui perbedaan pendapat di kalangan ulama ahli fikih mengenai kurban dan akikah
Menyadari adanya hikmah yang dapat diambil dari disyariatkannya kurban dan akikah dalam Islam
BAB II
PEMBAHASAN
Kurban
Pengertian Kurban dan Syariatnya
Qurban merupakan salah satu ibadah yang asal muasalnya dari kisah Nabi Ibrahim ‘alayhis salam dan Nabi Isma’il ‘alayhis salam, hal ini diabadikan oleh Allah Subahanhu wa Ta’alaa didalam Al-Qur’an:
فَلَمَّا بَلَغَ مَعَهُ السَّعْيَ قَالَ يَا بُنَيَّ إِنِّي أَرَى فِي الْمَنَامِ أَنِّي أَذْبَحُكَ فَانظُرْ مَاذَا تَرَى قَالَ يَا أَبَتِ افْعَلْ مَا تُؤْمَرُ سَتَجِدُنِي إِن شَاء اللَّهُ مِنَ الصَّابِرِينَ. فَلَمَّا أَسْلَمَا وَتَلَّهُ لِلْجَبِينِ. وَنَادَيْنَاهُ أَنْ يَا إِبْرَاهِيمُ. قَدْ صَدَّقْتَ الرُّؤْيَا إِنَّا كَذَلِكَ نَجْزِي الْمُحْسِنِينَ. إِنَّ هَذَا لَهُوَ الْبَلَاء الْمُبِينُ. وَفَدَيْنَاهُ بِذِبْحٍ عَظِيمٍ
“Maka tatkala anak itu sampai (pada umur sanggup) berusaha bersama-sama Ibrahim, Ibrahim berkata: "Hai anakku sesungguhnya aku melihat dalam mimpi bahwa aku menyembelihmu. Maka fikirkanlah apa pendapatmu!" Ia menjawab: "Hai bapakku, kerjakanlah apa yang diperintahkan kepadamu; insya Allah kamu akan mendapatiku termasuk orang-orang yang sabar. Tatkala keduanya telah berserah diri dan Ibrahim membaringkan anaknya atas pelipis(nya), (nyatalah kesabaran keduanya). Dan Kami panggillah dia: "Hai Ibrahim,. sesungguhnya kamu telah membenarkan mimpi itu sesungguhnya demikianlah Kami memberi balasan kepada orang-orang yang berbuat baik. Sesungguhnya ini benar-benar suatu ujian yang nyata. Dan Kami tebus anak itu dengan seekor sembelihan yang besar”. (QS. Ash-Shaaffat 37 : 102-107)
Ibadah penyembelihan hewan qurban itu dikenal juga dengan istilah udh-hiyah ( أضحیة ) sebagai bentuk jamak dari bentuk tunggalnya dhahiyyah (ضحیة). Dalam istilah yang baku, hewan-hewan qurban disebut dengan hewan adhahi ( أضاحي ), yaitu hewan yang disembelih untuk ibadah ritual pada tanggal 10 Zulhijjah setelah usai shalat ‘Idul Adha hingga tanggal 13 Dzulhijjah (Hari Tasyri’)
Qurban bahasa arabnya adalah الأضحية (al-udhiyah) diambil dari kata أَضْحَى (adh-ha). Makna أَضْحَى (adh-ha) adalah permulaan siang setelah terbitnya matahari dan dhuha yang selama ini sering kita gunakan untuk sebuah nama sholat, yaitu sholat dhuha di saat terbitnya matahari hingga menjadi putih cemerlang.
Adapun الأضحية (al-udhiyah / qurban) menurut syariat adalah sesuatu yang disembelih dari binatang ternak yang berupa unta, sapi dan kambing untuk mendekatkan diri kepada Allah yang disembelih pada hari raya Idul Adha dan Hari Tasyrik. Hari Tasyrik adalah hari ke 11, 12, dan 13 Dzulhijah.
Imam Zakariyya Al Anshori didalam Fathul Wahab bi-syarhi Minhajith Thullab mengatakan : “Udlhiyyah adalah apa-apa yang disembelih dari binatang ternak yang digunakan untuk mendekatkan diri kepada Allah sejak hari ‘Idun Nahr (10 Dzulhijjah) sampai akhir hari Tasyriq (13 Dzulhijjah)”.
Dari pengertian ini, maka hewan qurban hanya disembelih pada tanggal 10, 11, 12 dan 13 Dzulhijjah, sebab dihari-hari tersebut adalah hari suka cita dan makan-makan bagi umat Islam. Sehingga diluar hari tersebut, maka itu bukan qurban, melainkan termasuk kategori shadaqah.
كُلُّ أَيَّامِ التَّشْرِيقِ ذَبْحٌ (رواه الدارقطنى و البيهقى)
“Semua hari-hari Tasyriq adalah (waktu) menyembelih qurban” (HR. Ad-Daruquthni dan Al Baihaqi didalam As-Sunanul Kubro)
Allah mensyariatkan kurban dalam Firman-Nya:
فَصَلِّ لِرَبِكَ وَانْحَر
Artinya: Maka Solatlah karena Tuhanmu dan berqurbanlah (QS. Al Kautsar : 2)
ولكلّ امةجعلنامنسكاليدكروااسم الله علي مارزقهم من بهيمة الانعام
Artinya : Dan Kami jadikan sembelihan untuk seluruh umat supaya bisa berdzikir kepada Allah atas rizki yang telah diberikan kepada mereka daripada hewan-hewan ternak
Dasar Hadits:
وخبر الترمذي عن عائشة رضي الله عنهاانّ النبي صلىّ الله عليه وسلم قال:ماعمل ابن ادم يوم النّحرمن عمل احبّ الي الله تعالي من اراقة الدّم انّها لتاتي يوم القيامة بقرونها واظلا فيها وانّ الدّم ليقع من الله بمكان قبل ان يقع من الارض فطيّبوا بهانفسا.
Khabar Turmudzi dari Aisyah RA : “ Sesungguhnya Nabi Muhammad SAW, bersabda: tidak ada amalan yang dikerjakan oleh ibnu Adam pada hari Idul Qurban yang lebih dicintai Allah SWT. Selain dari pada mengalirkan darah (qurban). Sungguh yakin, hewan qurban pasti datang menjemput tuannya pada hari kiamat dengan tanduk dan sepatunya. Dan sesungguhnya darah sembelihan qurban yakni akan tiba disisi Allah sebelum menetes ke bumi, oleh karena itu relakan jiwamu dengan qurbanmu.
Dasar Qaul Ulama
Dalam kitab Syarqowi disebutkan:
عظموا ضحايكم فانّها علي الصراط مطاياكم
“Besarkan, agungkan qurbanmu maka sesungguhnya qurban itu sebagai kendaraan bagimu atas jembatan menuju Syurga (Syiroth).
Hukum menyembelih qurban menurut madzhab Imam Syafi’i dan jumhur Ulama adalah sunnah yang sangat diharap dan dikukuhkan. Ibadah Qurban adalah termasuk syiar agama dan yang memupuk makna kasih sayang dan peduli kepada sesama yang harus digalakkan.
Dan sunnah disini ada 2 macam :
Sunnah ‘Ainiyah, yaitu : Sunnah yang dilakukan oleh setiap orang yang mampu.
Sunnah Kifayah, yaitu : Disunnahkan dilakukan oleh sebuah keuarga dengan menyembelih 1 ekor atau 2 ekor untuk semua keluarga yang ada di dalam rumah.
Hukum Qurban menurut Imam Abu Hanifah adalah wajib bagi yang mampu. Perintah qurban datang pada tahun ke-2 (dua) Hijriyah. Adapun qurban bagi Nabi Muhammad SAW adalah wajib, dan ini adalah hukum khusus bagi beliau. Kapan qurban menjadi wajib dalam madzhab Imam Syafi’i dan jumhur Ulama ?
Qurban akan menjadi wajib dengan 2 hal :
Dengan bernadzar, seperti: Seseorang berkata: “Aku wajibkan atasku qurban tahun ini.” Atau “Aku bernadzar qurban tahun ini.” Maka saat itu qurban menjadi wajib bagi orang tersebut.
Dengan menentukan, maksudnya: Jika seseorang mempunyai seekor kambing lalu berkata: “Kambing ini aku pastikan menjadi qurban.” Maka saat itu qurban dengan kambing tersebut adalah wajib.
Dalam hal ini sangat berbeda dengan ungkapan seseorang: “Aku mau berkorban dengan kambing ini. “ Maka dengan ungkapan ini tidak akan menjadi wajib karena dia belum memastikan dan menentukan. Dan sangat berbeda dengan kalimat yang sebelumnya, yaitu “Aku jadikan kambing ini kambing qurban.”
Syarat-Syarat Berkurban
Syarat Orang Yang Berqurban :
Seorang muslim / muslimah
Usia baligh, Baligh ada 3 tanda, yaitu : a. Keluar mani (bagi anak laki-laki dan perempuan) pada usia 9 tahun hijriah. b. Keluar darah haid usia 9 tahun hijriah (bagi anak perempuan). c. Jika tidak keluar mani dan tidak haid maka di tunggu hingga umur 15 tahun. Dan jika sudah genap 15 tahun maka ia telah baligh dengan usia yaitu usia 15 tahun Dan jika ada anak yang belum baligh maka tidak diminta untuk melakukan kurban, akan tetapi sunnah bagi walinya untuk berqurban atas nama anak tersebut.
Berakal , maka orang gila tidak diminta untuk melakukan kurban, akan tetapi sunnah bagi walinya untuk berqurban atas nama orang gila tersebut.
Mampu, Mampu disini adalah punya kelebihan dari makanan pokok, pakaian dan tempat tinggal untuk dirinya dan keluarganya di hari raya Idul Adha dan hari Tasyrik.
Maka bagi siapapun yang memenuhi syarat-syarat tersebut, sunnah baginya untuk melakukan ibadah qurban.
Waktu Berkurban
Terdapat perbedaan di kalangan fuqaha’ tentang awal dan akhir pelaksanan kurban, serta dalam haramnya berkurban pada malam hari raya.
Namun fuqaha’ sepakat bahwa afdholnya berkurban pada hari pertama sebelum tergelincirnya matahari, sebab itu adalah sunnah, di dalam hadits Al-Bara’ ibn ‘Azib berkata Rasulullah saw bersabda:
إِنَّ أَوَّلَ مَا نَبْدَأُ بِهِ فِي يَوْمِنَا هَذَا أَنْ نُصَلِّيَ ثُمَّ نَرْجِعَ فَنَنْحَرَ، مَنْ فَعَلَهُ فَقَدْ أَصَابَ سُنَّتَنَا وَمَنْ ذَبَحَ قَبْلُ فَإِنَّمَا هُوَ لَـحْمٌ قَدَّمَهُ لِأَهْلِهِ لَيْسَ مِنَ النُّسُكِ فِي شَيْءٍ
“Sesungguhnya yang pertama kali kita mulai pada hari ini adalah sholat. Kemudian kita pulang lalu menyembelih hewan qurban. Barangsiapa berbuat demikian maka dia telah sesuai dengan sunnah kami, dan barangsiapa yang telah menyembelih sebelumnya maka itu hanyalah daging yang dia persembahkan untuk keluarganya, tidak termasuk ibadah sedikitpun.” (Shohih Al-Bukhari no. 5545 dan Shohih Muslim no. 1961)
"و وقت الذبح من وقت صلاة العيد إلى غروب الشمس من آخر أيام التشريق."
“Dan waktu penyembelihan hewan kurban yakni mulai shalat idul adha hingga terbenamnya matahari pada akhir hari tasyriq.”
Terjemahan: Taqiyyuddin Abu Bakar Muhammad al-Hushni, Kifayatul Akhyar, Darun Ahya’ At-Turats Al-‘Arabiy, Beirut, 2001, hal. 605
Dan berikut ini adalah perbedaan di kalangan fuqaha’:
Hanafiyah
قال الحنفية: يدخل وقت التضحية عند طلوع فجر يوم الأضحى، ويستمر إلى قبيل غروب شمس اليوم الثالث، إلا أنه لا يجوز لأهل الأمصار المطالبين بصلاة العيد الذبح في اليوم الأول إلا بعد أداء صلاة العيد، ولو قبل الخطبة، أو بعد مضي مقدار وقت الصلاة في حال تركها لعذر. وأما أهل القرى الذين ليس عليهم صلاة العيد، فيذبحون بعد فجر اليوم الأول.
Awal masuknya pelaksanaan kurban dimulai dari terbitnya fajar dihari Ied Adha dan berakhir hingga waktu sebelumnya sedikit tenggelamnya matahari ketiga , hanya saja tidak diperbolehkan nagi penduduk kota yang dituntut menjalankan shalat Ied menyembelih kurban dihari pertama kecuali setelah menjalankan shalat Ied meskipun sebelum pelaksanaan khutbah. Sedang bagi yang meninggalkan shalat Ied karena udzur setelah berjalannya waktu seukuran mengerjakan shalat, dan bagi penduduk desa yang tidak dijumpai pelaksaan shalat Ied ditempatnya boleh menyembelihnya setelah terbitnya fajar dihari pertama.
ibid.
Sedangkan dalam redaksi yang lain, di antara syarat-syarat sahnya menyembelih kurban adalah sesudah imam shalat dan berkhutbah. Namun, penduduk kampung sudah boleh berkurban sesudah terbit fajar kedua.
Syaikh al-‘Allamah Muhammad bin ‘Abdurrahman ad-Dimasyqi, Rahmah al-Ummah fi Ikhtilaf al-A’immah, terjemah ‘Abdullah Zaki Alkaf, Hasyimi, Bandung, 2012, hal. 186
Malikiyah
وقال المالكية : يبتدئ وقت التضحية لإمام صلاة العيد بعد الصلاة والخطبة، فلو ذبح قبلها لم يجز. وغير الإمام يذبح في اليوم الأول، بعد ذبح الإمام، أو مضي زمن قدر ذبح الإمام أضحيته إن لم يذبح الإمام، فإن ذبح أحد قبل الإمام متعمداً لم يجزئه، ويعيد ذبح أضحية أخرى، وعليه فلا جزئ الذبح قبل الصلاة، ولا قبل ذبح الإمام.
Bagi Imam shalat Ied awal masuknya pelaksanaan kurban dimulai setelah ia rampung menjalani shalat Ied beserta khutbahnya, bila ia menyembelih sebelumnya maka tidak diperbolehkan, sedang bagi selain Imam pelaksanaan kurbannya selepas imam menyembelih kurbannya atau setelah terlewatnya waktu ukuran pelaksanaan penyembelihan kurbannya imam bila ia tidak berkurban, bila seseorang berkurban sebelum imam menyembelih kurbannya maka tidak diperbolehkan. Dengan demikian penyembelihan sebelum dilaksanakan shalat Ied dan sebelum imam menyembelih kurbannya maka tidak diperbolehkan.
As-Syarh al-Kabiir II/120, Bidaayah al-Mujtahid I/421 dan al-Qawaaniin al-Fiqhiyyah hal 186
Sesuai hadits Nabi saw. yang artinya:
“Hadis riwayat Jundab bin Sufyan ra., ia berkata: Aku pernah berhari raya kurban bersama Rasulullah saw. Beliau sejenak sebelum menyelesaikan salat. Dan ketika beliau telah menyelesaikan salat, beliau mengucapkan salam. Tiba-tiba beliau melihat hewan kurban sudah disembelih sebelum beliau menyelesaikan salatnya. Lalu beliau bersabda: Barang siapa telah menyembelih hewan kurbannya sebelum salat (salat Idul Adha), maka hendaklah ia menyembelih hewan lain sebagai gantinya. Dan barang siapa belum menyembelih, hendaklah ia menyembelih dengan menyebut nama Allah. ” (Shahih Muslim No.3621)
Syafi’iyah
وقال الشافعية: يدخل وقت التضحية بمضي قدر ركعتين وخطبتين خفيفات بعد طلوع شمس يوم النحر، ثم ارتفاعها في الأفق كرمح على الأفضل وهو بدء وقت صلاة الضحى، فإن ذبح قبل ذلك لم تقع أضحية لخبر الصحيحين عن البراء بن عازب المتقدم: «أول ما نبدأ به في يومنا هذا نصلي، ثم نرجع، فننحر
Awal masuknya pelaksanaan berkurban adalah telah terlewatnya ukuran waktu dua rakaat dan dua khutbah ringan setelah terbitnya matahari dihari kurban, kemudian bila pelaksanaannya saat matahari dicakrawala meninggi sepenggalah (waktu yang biasanya awal shalat dhuha) adalah saat yang utama, bila pelaksaan kurban sebelum waktu tersebut hewan kurbannya tidak tergolong udhiyyah berdasarkan hadits riwayat al-barraa’ Bin ‘Aazib “Permulaan pelaksanaannya dihari kami ini adalah saat kami shalat, kemudian pulang maka kami mulai menyembelih” (HR. Bukhori-Muslim)
Demikian pula di dalam buku Fiqih Empat Madzhab yang merupakan terjemahan Kitab Rahmah al-Ummah fi Ikhtilaf al-A’immah karya Syaikh al-‘Allamah Muhammad bin ‘Abdurrahman ad-Dimasyqi disebutkan dengan redaksi yang lain bahwa waktu penyembelihan hewan kurban adalah sejak terbit matahari pada hari nahar (Idul Adha) dan telah berlalu kadar waktu shalat hari raya dan dua khutbahnya, baik imam sudah shalat maupun belum. Sedangkan akhir waktu bolehnya menyembelih kurban adalah hari tasyrik terakhir.
Hanbaliyah
وقال الحنابلة: يبدأ وقت الذبح من نهار الأضحى بعد مضي قدر صلاة العيد والخطبتين في أخف ما يكون كما قال الشافعية، والأفضل أن يكون الذبح بعد الصلاة وبعد الخطبة وذبح الإمام إن كان، خروجاً من الخلاف، لا فرق في هذا بين أهل المصر وغيرهم.
Terjemahan: Dr. Wahbah Az-Zuhaili, Al-Fiqh Ala Al-Islami Wa Adillatuh, Darul Fikr, Beirut – Lebanon, 2006, hal. 2718.
Waktu penyembelihan kurban dimulai dihari kurban selepas waktu kira-kira pelaksanaan shalat Ied dengan dua khutbahnya yang teringan sebagaimana kalangan Syafi’iyyah.
Yang paling utama pelaksanaannya setelah dikerjakannya shalat Ied dan khutbah serta menyembelihnya Imam pada kurbannya bila ia berkurban demi keluar dari pendapat yang mewajibkannya. Dalam ketentuan tersebut tidak terdapat perbedaan antara penduduk kota dan selainnya.
Hewan Kurban dan Sifatnya
اتفق العلماء على أن الأضحية لا تصح إلا من نَعَم: إبل وبقر (ومنها الجاموس( وغنم (ومنها المعز) بسائر أنواعها فيشمل الذكر والأنثى. والخصي والفحل، فلا يجزئ غير النعم من بقر الوحش و غيره، والظباء وغيرها لقوله تعالى: (( ولكل أمة جعلنا منسكاً ليذكروا اسم الله على ما رزقهم من بهيمة الأنعام))(الحج34)،ولم ينقل عنه صلى الله عليه وسلم ولا عن أصحابه التضحية بغيرها
ibid, hal. 2719
Para Ulama Fiqh sepakat bahwa kurban tidak diperbolehkan kecuali dengan binatang ternak yaitu : Unta, Sapi (termasuk kerbau) dan kambing (termasuk kambing kacang) dengan segala jenisnya mencakup ternak jantan atau betina, yang dikebiri atau menjadi pejantan.
Dengan demikian kurban tidak diperkenankan memakai selain binatang ternak seperti sapi alasan (hutan), kijang dan lain-lain berdasarkan firman Allah “Dan bagi tiap-tiap umat telah Kami syariatkan penyembelihan (kurban), supaya mereka menyebut nama Allah terhadap binatang ternak yang telah direzekikan Allah kepada mereka” (QS. 22:34.)
Dan tidak diriwayatkan dari nabi Muhammad shallallaahu ‘alaihi wasallam dan para sahabat berkurban memakai selain binatang ternak.
Baqar (Sapi)
الْبَقَرُ : اسْمُ جِنْسٍ . قَال ابْنُ سِيدَهْ : وَيُطْلَقُ عَلَى الأهْلِيِّ وَالْوَحْشِيِّ ، وَعَلَى الذَّكَرِ وَالأُنْثَى ، وَوَاحِدُهُ بَقَرَةٌ ، وَقِيل : إِنَّمَا دَخَلَتْهُ الْهَاءُ لأنَّهُ وَاحِدٌ مِنَ الْجِنْسِ . وَالْجَمْعُ : بَقَرَاتٌ ، وَقَدْ سَوَّى الْفُقَهَاءُ الْجَامُوسَ بِالْبَقَرِ فِي الأحْكَامِ ، وَعَامَلُوهُمَا كَجِنْسٍ وَاحِدٍ) المصباح المنير ولسان العرب والقاموس المحيط في المادة .
Al-Baqar (Sapi) adalah kata jenis, berkata Ibn Siidah “Sapi diucapkan untuk menamai yang jinak maupun yang liar, jantan atau betina, bentuk tunggalnya baqaratun dikatakan dalam kalimatnya terdapat ta’ karena bentuk tunggal dari isim jinis, bentuk jamaknya baqaraatun.
Ulama Fuqaha menyamakan hukumnya dengan kerbau dan menjadikan keduanya seperti satu jenis. (Mishbah al-Muniir, Lisaan al-‘Arab dan Kamus al-Muhiith)
Al-Mausuuah al-Fiqhiyyah VIII/158
Binatang Ternak
الأنعام : يُراد بها الإبل والبقر ، وألحق بالبقر الجاموس ، ولم يُذكَر لأنه لم يكُنْ موجوداً بالبيئة العربية ، والغنم وتشمل الضأن والماعز
Yang dikehendaki dengan binatang ternak adalah unta, sapi dan kambing (domba). Kerbau disamakan dengan sapi dalam al-Quran tidak disebut karena binatang ini tidak terdapat dilingkuran arab.
Tafsiir as-Sya’raawy I/614
Hewan kurban yang sakit (cacat) sedikit tidak menghalangi bolehnya dijadikan kurban. Tetapi jika cacatnya besar, maka tidak dibolehkan.
Hewan tua yang sudah tidak baik dagingnya, tidak sah dijadikan kurban. Juga, hewan yang kudisan tidak boleh dijadikan kurban, karena telah merusakkan dagingnya. Hewan yang buta dan cacat matanya tidak boleh dijadikan kurban. Demikian menurut kesepakatan para imam madzhab.
Binatang yang tanduknya patah adalah makruh dipakai kurban. Hanbali berpendapat: Tidak sah kurban dengan hewan yang patah tanduknya.
Tidak sah berkurban dengan hewan yang pincang. Demikian menurut pendapat Maliki dan Syafi’i. Hanafi berpendapat: Sah.
Menurut kesepakatan para ulama, binatang yang terpotong telinganya tidak sah dipakai untuk kurban. Demikian pula, binatang yang terpotong ekornya karena hilang sebagian dagingnya. Jika ekor tersebut hanya sedikit saja terpotong, maka menurut pendapat Syafi’i yang paling kuat: Tidak boleh.Sedangkan pendapat yang dipilih oleh para ulama Syafi’i kemudian: Boleh. Hanafi dan Maliki berpendapat: Jika sedikit saja yang hilangnya maka boleh, sedangkan jika banyak maka tidak boleh. Dari Hanbali diperoleh dua riwayat, di antaranya adalah tidak boleh jika yang terpotong lebih dari sepertiganya.
Syaikh al-‘Allamah Muhammad bin ‘Abdurrahman ad-Dimasyqi, Rahmah al-Ummah fi Ikhtilaf al-A’immah, terjemah ‘Abdullah Zaki Alkaf, Hasyimi, Bandung, 2012, hal. 187
Usia Hewan yang Sah untuk Berkurban
Para ulama –rahimahullah- sepakat bahwa syari’at telah menentukan umur tertentu pada hewan kurban, yang tidak boleh berkurban dengan binatang ternak yang berumur dibawah yang telah ditentukan. Dan barang siapa yang berkurban dengan binatang di bawah umur, maka kurbannya tidak sah.
Al Majmu’: 1/176
Ada beberapa hadits yang menunjukkan akan hal itu, di antaranya adalah:
Hadits yang diriwayatkan oleh Bukhori (5556) dan Muslim (1961) dari al Barra’ bin ‘Azib –radhiyallahu ‘anhuma- berkata: Pamanku yang bernama Abu Burdah berkurban sebelum shalat, maka Rasulullah bersabda kepadanya:
( شَاتُكَ شَاةُ لَحْمٍ ) . فَقَالَ : يَا رَسُولَ اللَّهِ ، إِنَّ عِنْدِي دَاجِنًا جَذَعَةً مِنْ الْمَعَزِ . وفي رواية : (عَنَاقاً جَذَعَةً ) . وفي رواية للبخاري ( 5563) ( فَإِنَّ عِنْدِي جَذَعَةً هِيَ خَيْرٌ مِنْ مُسِنَّتَيْنِ آذْبَحُهَا ؟) قَالَ : ( اذْبَحْهَا ، وَلَنْ تَصْلُحَ لِغَيْرِكَ ) وفي رواية : ( لا تُجْزِئ عَنْ أَحَدٍ بَعْدَكَ ) . ثُمَّ قَالَ : ( مَنْ ذَبَحَ قَبْلَ الصَّلاةِ فَإِنَّمَا يَذْبَحُ لِنَفْسِهِ ، وَمَنْ ذَبَحَ بَعْدَ الصَّلاةِ فَقَدْ تَمَّ نُسُكُهُ ، وَأَصَابَ سُنَّةَ الْمُسْلِمِينَ(
“Kambingmu kambing pedaging”. ia berkata: “Wahai Rasulullah, saya mempunyai jadza’ah (usia 8-9 bulan) dari kambing”. dan dalam sebuah riwayat: “jadza’ah dari kambing betina”. Dan dalam riwayat Bukhori (5563) “Saya mempunyai jadza’ah dari kambing, itu lebih baik dari dua musinnah (yang berumur 1 tahun) yang saya sembelih ?” beliau bersabda: “Sembelihlah, namun tidak untuk selainmu”. dan dalam riwayat yang lain: “Hal itu tidak dibolehkan untuk orang lain sesudahmu”. Kemudian beliau bersabda:
)مَنْ ذَبَحَ قَبْلَ الصَّلاةِ فَإِنَّمَا يَذْبَحُ لِنَفْسِهِ ، وَمَنْ ذَبَحَ بَعْدَ الصَّلاةِ فَقَدْ تَمَّ نُسُكُهُ ، وَأَصَابَ سُنَّةَ الْمُسْلِمِينَ(
“Barang siapa yang menyembelih sebelum shalat maka ia menyembelih untuk dirinya sendiri, dan barang siapa yang menyembelih setelah shalat maka ia telah menyempurnakan kurbannya, dan sesuai dengan sunnah kaum muslimin”.
Di dalam hadits ini disebutkan bahwa jadza’ah dari kambing belum boleh untuk berkurban. Arti Jadza’ah akan dijelaskan selanjutnya.
Ibnul Qayyim dalam “Tahdzibus Sunan” berkata: “ Sabda Rasulullah: “Hal itu tidak dibolehkan untuk orang lain sesudahmu”. Maka larangan tersebut sifatnya qat’i, yaitu; tidak dibolehkan kepada selainnya.
Hadits yang lain, sebagaimana yang diriwayatkan oleh Muslim 1963, dari Jabir –radhiyallahu ‘anhu- berkata: Rasulullah –shallallahu ‘alaihi wa sallam- bersabda:
) لا تَذْبَحُوا إِلا مُسِنَّةً إِلا أَنْ يَعْسُرَ عَلَيْكُمْ فَتَذْبَحُوا جَذَعَةً مِنْ الضَّأْنِ(
“Janganlah kalian menyembelih kecuali musinnah (yang berumur satu tahun), dan jika kalian sulit mendapatkannya, maka sembelihlah jadza’ah (antara usia 8-9 bulan) dari domba/biri-biri”.
Hadits ini juga menunjukkan dengan jelas bahwa yang boleh disembelih adalah musinnah, kecuali untuk domba/biri dibolehkan untuk menyembelih jadza’ah “.
An Nawawi dalam “Syarah Muslim” berkata:
“Para ulama berkata: “al Musinnah adalah yang tanggal gigi serinya ke atas baik dari unta, sapi atau kambing, dari sini sudah jelas bahwa tidak boleh sama sekali menyembelih jadza’ah kecuali dari domba/biri-biri”.
Al Hafidz berkata:
“Yang jelas makna hadits tersebut menunjukkan bahwa jadza’ah dari domba tidak boleh kecuali sulit mendapatkan yang berusia musinnah. Sedangkan ijma’ menyangkalnya. Maka wajib di takwil dan fahami kepada makna yang lebih utama, jadi yang dimaksud adalah disunnahkan untuk tidak menyembelih kecuali musinnah (yang berumur satu tahun)”. Demikian pernyataan Imam Nawawi dalam “Syarah Muslim” nya.
Al Hafidz, at Talkhis: 4/285
Disebutkan dalam “ ‘Aunul Ma’bud”: “Takwil ini adalah yang seharusnya dilakukan”.
Kemudian beliau menyebutan beberapa hadits yang membolehkan menyembelih jadza’ah dari kambing untuk berkurban, di antaranya adalah hadits ‘Uqbah bin ‘Amir –radhiyallahu ‘anhu- berkata:
(ضَحَّيْنَا مَعَ رَسُول اللَّه صَلَّى اللَّه عَلَيْهِ وَسَلَّمَ بِجِذَعٍ مِنْ الضَّأْن ) أَخْرَجَهُ النَّسَائِيُّ (4382) . قَالَ الْحَافِظ سَنَده قَوِيّ وصححه الألباني في صحيح النسائي
“Kami berkurban bersama Rasulullah –shallallahu ‘alaihi wa sallam- dengan jadza’ah (usia 8-9 ulan ) dari domba”. (HR. Nasa’i 4382. al Hafidz berkata: sandnya kuat, dan dishahihkan oleh al Baani dalam “Shahih Nasa’i)
Disebutkan juga dalam “al Mausu’ah al Fikhiyah” 5/83, ketika menyebutkan syarat-syarat berkurban:
Agar hewan kurban mencapai usia yang telah ditentukan, yaitu; Tsaniyah (yang tanggal gigi serinya), atau di atasnya, baik dari unta, sapi atau kambing. Jadza’ah (usia 8-9 bulan) dari kambing atau di atasnya, tidak dibolehkan berkurban dengan hewan yang belum tanggal gigi serinya kecuali kambing, juga tidak boleh jadza’ah kecuali kambing…. Syarat ini sudah disepakati oleh para ulama, namun mereka berbeda pendapat pada penafsiran makna Tsaniyah dan Jadza’ah.
Ibnu Abdil Bar –rahimahullah- berkata: “Saya tidak mengetahui adanya perbedaan bahwa jadza’ah dari kambing atau hewan ternak yang lain tidak boleh untuk berkurban kecuali domba, yang boleh untuk berkurban adalah mulai tsaniyah (tanggal gigi serinya) ke atas dari semua hewan ternak. Boleh jadza’ah dari domba dengan usia yang telah ditentukan”. (Tartib Tamhid: 10/267)
“Adalah merupakan konsensus umat, bahwa tidak boleh berukurban dengan unta, sapi atau kambing kecuali tsaniyah (tanggal gigi serinya), dan dengan domba kecuali jadza’ah (usia 8-9 bulan). Semua yang disebutkan di atas boleh dilakukan kecuali pendapat sebagian rekan kami Ibnu Umar dan Zuhri bahwasanya ia berkata: Jadza’ah dari domba tidak boleh. Dari ‘Atha’ dan Auzaa’i beliau menyatakan: Dibolehkan berkurban dengan jadza’ah dari unta (usia 4 masuk 5 tahun), jadza’ah dari sapi (usia 2 masuk 3 tahun), jadza’ah dari kambing atau domba (usia 8-9 bulan)”.
An Nawawi, Al Majmu’, 8/366
Adapun usia yang menjadi syarat berkurban para imam berbeda pendapat:
Jadza’ah dari domba/biri-biri: Yang berusia genap 6 bulan menurut Hanafiyan dan Hanbaliyah. Sedangkan menurut Malikiyah dan Syafi’iyah yang genap berusia satu tahun.
Musinnah (Tsaniyah) dari kambing: Yang berusia genap satu tahun, menurut Hanafiyah, Malikiyah dan Hanbaliyah. Sedangkan menurut Syafi’iyah: yang berusia genap dua tahun.
Musinnah dari sapi: Yang berusia genap dua tahun menurut Hanafiyah, Syafi’iyah dan Hanbaliyah. Sedangkan menurut Malikiyah adalah berusia tiga tahun.
Musinnah dari unta: Yang berusia genap lima tahun menurut Hanafiyah, Malikiyah, Syafi’iyah dan Hanbaliyah.
Baca: “Bada’ius Shana’i’ “ : 5/70, “Al Bahrur Raiq”: 8/202, “At Taaju wal Iklil”: 4/363, “Syarh Mukhtashar Kholil”: 3/34, “al Majmu’: 8/365, “al Mushni”: 13/368.
Syeikh Ibnu ‘Utsaimin –rahimahullah- berkata dalam “Ahkam Udhhiyyah”:
“Tsaniy dari unta: yang berusia genap 5 tahun, tsaniy dari sapi yang berusia genap 2 tahun, tsaniy dari kambing yang berusia genap 1 tahun. Sedangkan Jadza’ah adalah yang berusia genap ½ tahun. Dan tidak sah kurbannya dengan hewan ternak di bawah usia tsaniy dari unta, sapi atau kambing. dan di bawah usia jadza’ah dari domba”.
“Dalil-dalil syar’i telah menunjukkan bahwa usia minimal dari domba/biri-biri adalah 6 bulan, dan dari kambing 1 tahun, dari sapi usia 2 tahun, da dari unta usia 5 tahun, di bawah usai di atas tidak boleh untuk hady (sembelihan haji) atau kurban. Inilah makna mustaisirun min hady (sembelihan yang mudah didapatkan); karena dalil dari al Qur’an dan Hadits satu sama lain menafsiri yang lainnya”.
Fatawa Lajnah Daimah: 11/377
“Penyebutan usia hewan kurban tersebut di atas adalah untuk mencegah kurangnya usia, bukan larangan untuk usia maksimal. Bahkan jika seseorang berkurban dengan usia di bawahnya tidak dibolehkan, dan jika berkurban dengan usia di atasnya boleh dan lebih utama. Juga tidak dibolehkan untuk berkurban hewan ternak yang sedang bunting, peranakan kambing yang jantan, anak sapi yang jantan dan anak unta; karena tidak termasuk dalam usia yang telah ditentukan oleh syari’at sebagaimana yang kami sebutkan tadi”.
Al Kasani, Bada’i’ Shana’i’, 5/70.
Dengan demikian menjadi jelas bahwa menyembelih sapi di bawah usia 2 tahun tidak satu pun para ulama membolehkannya.
Adab Berkurban
Adab berkurban mencakup tata cara dan sunnah berkurban
Tata Cara Berqurban
Pertama: dianjurkan untuk menajamkan pisau yang akan digunakan untuk menyembelih.
عَنْ شَدَّادِ بْنِ أَوْسٍ قَالَ ثِنْتَانِ حَفِظْتُهُمَا عَنْ رَسُولِ اللَّهِ -صلى الله عليه وسلم- قَالَ « إِنَّ اللَّهَ كَتَبَ الإِحْسَانَ عَلَى كُلِّ شَىْءٍ فَإِذَا قَتَلْتُمْ فَأَحْسِنُوا الْقِتْلَةَ وَإِذَا ذَبَحْتُمْ فَأَحْسِنُوا الذَّبْحَ وَلْيُحِدَّ أَحَدُكُمْ شَفْرَتَهُ فَلْيُرِحْ ذَبِيحَتَهُ ».
Dari Syadad bin Aus, beliau berkata, “Ada dua hal yang kuhafal dari sabda Rasulullah yaitu Sesungguhnya Allah itu mewajibkan untuk berbuat baik terhadap segala sesuatu. Jika kalian membunuh maka bunuhlah dengan cara yang baik. Demikian pula, jika kalian menyembelih maka sembelihlah dengan cara yang baik. Hendaknya kalian tajamkan pisau dan kalian buat hewan sembelihan tersebut merasa senang” (HR Muslim no 5167).
Kedua: penyembelih dianjurkan untuk menghadap kiblat dan menghadapakan hewan sembelihan ke arah kiblat.
عَنْ نَافِعٍ عَنْ عَبْدِ اللَّهِ بْنِ عُمَرَأَنَّهُ كَانَ إِذَا أَهْدَى هَدْيًا مِنْ الْمَدِينَةِ قَلَّدَهُ وَأَشْعَرَهُ بِذِي الْحُلَيْفَةِ يُقَلِّدُهُ قَبْلَ أَنْ يُشْعِرَهُ وَذَلِكَ فِي مَكَانٍ وَاحِدٍ وَهُوَ مُوَجَّهٌ لِلْقِبْلَةِ يُقَلِّدُهُ بِنَعْلَيْنِ وَيُشْعِرُهُ مِنْ الشِّقِّ الْأَيْسَرِ ثُمَّ يُسَاقُ مَعَهُ حَتَّى يُوقَفَ بِهِ مَعَ النَّاسِ بِعَرَفَةَ ثُمَّ يَدْفَعُ بِهِ مَعَهُمْ إِذَا دَفَعُوا فَإِذَا قَدِمَ مِنًى غَدَاةَ النَّحْرِ نَحَرَهُ قَبْلَ أَنْ يَحْلِقَ أَوْ يُقَصِّرَ وَكَانَ هُوَ يَنْحَرُ هَدْيَهُ بِيَدِهِ يَصُفُّهُنَّ قِيَامًا وَيُوَجِّهُهُنَّ إِلَى الْقِبْلَةِ ثُمَّ يَأْكُلُ وَيُطْعِمُ
Dari Nafi’ dari Abdullah bin Umar, adalah Ibnu Umar jika membawa hadyu dari Madinah maka beliau tandai bahwa hewan tersebut adalah hewan hadyu dengan menggantungkan sesuatu padanya dan melukai punuknya di daerah Dzul Hulaifah. Beliau gantungi sesuatu sebelum beliau lukai. Dua hal ini dilakukan di satu tempat. Sambil menghadap kiblat beliau gantungi hewan tersebut dengan dua buah sandal dan beliau lukai dari sisi kiri. Hewan ini beliau bawa sampai beliau ajak wukuf di Arafah bersama banyak orang kemudian beliau bertolak meninggalkan Arafah dengan membawa hewan tersebut ketika banyak orang bertolak. Ketika beliau tiba di Mina pada pagi hari tanggal 10 Dzulhijjah beliau sembelih hewan tersebut sebelum beliau memotong atau menggundul rambut kepala. Beliau sendiri yang menyembelih hadyu beliau. Beliau jajarkan onta-onta hadyu tersebut dalam posisi berdiri dan beliau arahkan ke arah kiblat kemudian beliau memakan sebagian dagingnya dan beliau berikan kepada yang lain (HR Malik dalam al Muwatha’ no 1405).
عن نافع أن ابن عمر كان يكره أن يأكل ذبيحة ذبحه لغير القبلة.
Dari Nafi’, sesungguhnya Ibnu Umar tidak suka memakan daging hewan yang disembelih dengan tidak menghadap kiblat (Riwayat Abdur Razaq no 8585 dengan sanad yang shahih).
عن ابن سيرين قال : كان يستحب أن توجه الذبيحة إلى القبلة.
Dari Ibnu Sirin (seorang tabiin) beliau mengatakan, “Dianjurkan untuk menghadapkan hewan sembelihan ke arah kiblat” (Riwayat Abdur Razaq no 8587 dengan sanad yang shahih).
Riwayat-riwayat di atas dan yang lainnya menunjukkan adanya anjuran untuk menghadapkan hewan yang hendak disembelih kea rah kiblat. Namun jika hal ini tidak dilakukan daging hewan sembelihan tersebut tetap halal dimakan. An Nawawi menyebutkan adanya anjuran untuk membaringkan sapi dan kambing pada lambung kirinya. Dengan demikian proses penyembelihan akan lebih mudah. Bahkan dalam al Mufhim 5/362, al Qurthubi mengatakan bahwa membaringkan hewan yang hendak disembelih pada lambung kirinya adalah suatu yang telah dipraktekkan kaum muslimin semenjak dahulu kala.
Bahkan Ibnu Taimiyyah mengklaim tata cara seperti ini sebagai salah satu sunnah Nabi. Beliau berkata, “Hewan sembelihan baik hewan kurban ataupun yang lainnya hendaknya dibaringkan pada lambung kiri dan penyembelih meletakkan kaki kanannya di leher hewan tersebut sebagaimana yang terdapat dalam hadits yang shahih dari Rasulullah. Setelah itu hendaknya penyembelih mengucapkan bismilah dan bertakbir. Lengkapnya yang dibaca adalah sebagai berikut “Bismillahi allahu akbar. Allahumma minka wa laka. Allahumma taqabbal minni kama taqabbalta min Ibrahim khalilika”.
Barang siapa yang membaringkan hewan tersebut pada lambung kanannya dan meletakkan kaki kirinya di leher hewan tersebut akhirnya orang tersebut harus bersusah payah menyilangkan tangannya agar bisa menyembelih hewan tersebut maka dia adalah seorang yang bodoh terhadap sunnah Nabi, menyiksa diri sendiri dan hewan yang akan disembelih. Akan tetapi daging hewan tersebut tetap halal untuk dimakan. Jika hewan tersebut dibaringkan pada lambung kirinya maka lebih nyaman bagi hewan yang hendak disembelih dan lebih memperlancar proses keluarnya nyawa serta lebih mudah dalam proses penyembelihan. Bahkan itulah sunnah yang dipraktekkan oleh Rasulullah dan seluruh kaum muslimin bahkan praktek semua orang. Demikian pula dianjurkan agar hewan yang hendak disembelih tersebut dihadapkan ke arah kiblat” (Majmu Fatawa 26/309-310).
Ketiga: Dimakruhkan memotong leher hewan yang disembelih
عن نافع أن بن عمر كان لا يأكل الشاة إذا نخعت
Dari Nafi, sesungguhnya Ibnu Umar tidak mau memakan daging kambing yang disembelih hingga lehernya terputus (Riwayat Abdur Razaq no 8591dengan sanad yang shahih).
عن بن طاووس عن أبيه قال لو أن رجلا ذبح جديا فقطع رأسه لم يكن بأكله بأس
Dari Ibnu Thawus dari Thawus, beliau berkata, “Andai ada orang yang menyembelih hewan hingga lehernya putus maka daging hewan tersebut tetap boleh dimakan” (Riwayat Abdur Razaq no 8601 dengan sanad yang shahih).
عن معمر قال سئل الزهري عن رجل ذبح بسيفه فقطع الرأس قال بئس ما فعل فقال الرجل فيأكلها قال نعم
Dari Ma’mar, Az Zuhri –seorang tabiin- ditanya tentang seorang yang menyembelih dengan menggunakan pedang sehingga leher hewan yang disembelih putus. Jawaban beliau, “Sungguh jelek apa yang dia lakukan”. “Apakah dagingnya boleh dia makan?”, lanjut penanya. “Boleh”, jawab az Zuhri (Riwayat Abdur Razaq no 8600 dengan sanad yang shahih).
Tentang hal ini, ada juga ulama yang memberi rincian. Jika dilakukan dengan sengaja maka dagingnya jangan dimakan. Akan tetapi jika tanpa sengaja maka boleh. Di antara yang berpendapat demikian adalah Atha, seorang ulama dari generasi tabiin.
عن عطاء قال إن ذبح ذابح فأبان الرأس فكل ما لم يتعمد ذلك
Dari Atha’, beliau berkata, “Jika ada orang yang menyembelih hewan hingga kepala terpisah dari badannya maka silahkan kalian makan asalkan orang tersebut tidak sengaja” (Riwayat Abdur Razaq no 8599 dengan sanad yang shahih).
Imam Ahmad pernah ditanya tentang masalah ini. Beliau membenci perbuatan ini jika dilakukan dengan sengaja sebagaimana dalam Sualat Abdullah bin Ahmad hal 260 no 980 dan 981. Demikian pula Imam Syafii membenci hal ini (al Hawi 15/87-91).
http://ustadzaris.com/adab-menyembelih-hewan-qurban
Sunnah-sunnah Berqurban
Disunnahkan sewaktu menyembelih korban beberapa perkara berikut ini
Membaca “Bismillah Wallahu Akbar” dan Shalawat atas Nabi s.a.w.
Orang yang berkurban sendiri disunnatkan menyembelihnya, dan jika ia wakil menyembelihkannya, maka disunnatkan ia hadir ketika menyembelih.
Berdoa supaya kurban diterima Allah.
Sunnat membaca do’a :
بِسْمِ اَللَّهِ, اَللَّهُمَّ تَقَبَّلْ مِنْ مُحَمَّدٍ وَآلِ مُحَمَّدٍ, وَمِنْ أُمّةِ مُحَمَّدٍ )
"Dengan nama Allah. Ya Allah, terimalah (kurban ini) dari Muhammad, keluarganya, dan umatnya." Kemudian beliau berkurban dengannya.”
Binatang yang disembelih disunnatkan dihadapkan ke kiblat
Sulaiman Rasjid, Fiqih Islam, Jakarta : Attahiriyah, cetakan ke 17, 1954, hal 450
Hukum Memakan Daging Kurban dan Pendistribusiannya
Dan cara pembagiannya daging qurbannya adalah dengan disunnahkan bagi orang yang berqurban memakan daging qurban dan menghadiahkannya kepada para kerabat, dan menyedekahkannya kepada orang-orang fakir. Rasulullah bersabda:
فَكُلُوْامِنْهَاوَاطْعِمُوْااْلبَائِسَ الْفَقِيْرَ
“Maka makanlah daripadanya beri makanlah orang-orang yang sangat fakir ”.
Dalam kaitan ini para ulama mengatakan: Yang afdhal bahwa ia memakan sepertiga, bersedekah sepertiga, dan menyimpan sepertiga. Daging qurban boleh diangkut sekalipun ke Negara lain. Tetapi tidak boleh dijual, begitu juga kulitnya. Dan tidak boleh memberi tukang potong daging sebagai upah. Tukang potong berhak menerimanya sebagai imbalan kerja. Orang yang berqurban bersedekah dan boleh mengambil daripadanya untuk dimanfaatkan. Menurut Abu Hanifah, bahwa boleh menjual kulitnya dan bayarannya disedekahkan atau membelikannya barang yang bermanfaat untuk rumah.
Sabiq, Sayyid, 1995, Fikih Sunnah 13, Bandung: PT Alma’arif, hlm. 148
Dalam pembagian daging kurban masa sekarang tata caranya tidak jauh berbeda. Hanya saja bentuk pendistribusiannya yang berbeda, pelaksanaan kurban cara baru, yaitu melalui system kemasan (kornet). Lebih praktis dan tahan lama.
KH Ma’ruf Amin, salah seorang pengurus PBNU, yang juga ketua Komisi Fatwa MUI Pusat membolehkan pengiriman daging kurban siap saji (baca : dalam bentuk kornet, dll), asalkan penyembelihan dilakukan pada masa hari tasyrik (tanggal 10 – 13 Dzulhijah).
Kornet dapat di-analog-kan (dikategorikan) dalam iddikhar,menyimpan dalam waktu lebih dari tiga hari, karena kebutuhan. Adapun syarat yang harus dipenuhi dalam pendistribusian hewan kurban dalam bentuk kornet adalah sebagai berikut:
Waktu penyembelihan harus tetap pada hari Tasyriq (tanggal 10-13 Zulhijjah), yaitu setelah Sholat Idul Adha s.d sebelum Maghrib tgl. 13 Zulhijjah.
Hadits Rasulullah SAW,”Setiap sudut kota Makkah adalah tempat penyembelihan dan setiap hari-hari tayriq adalah [waktu] penyembelihan.” (HR Ahmad, Ibnu Majah, Al-Baihaqi, Thabrani, dan Daruquthni).
Pendapat Imam Syafi’i mengenai masalah ini ”Jika matahari telah terbenam pada akhir hari-hari tasyriq [tanggal 13 Zulhijjah], lalu seseorang menyembelih kurbannya, maka kurbannya tidak sah.”
Adanya hajat sebagai dasar penyimpanan daging kurban lebih dari tiga hari.misalnya masih adanya kaum muslimin yang miskin, menderita kelaparan, jarang makan daging, tertimpa bencana, dan sebagainya.
http://edukasi.kompasiana.com/2009/11/25/sah-kah-pembagian-daging-kurban-dibuat-kornet-29555.html dikutip pada tanggal 03 September 2016 pukul 12.23 WIB
Hikmah Disyariatkan Berkurban
Taqqarub (medekatkan diri) kepada Allah subhanahu wa ta'ala,karena Allah telah berfirman
فَصَلِّ لِرَبِّكَ وَانْحَرْ
“Maka shalatlah untuk Rabbmu dan sembelihlah (berqurban).”
Menghidupkan sunah imam ahli tauhid, Ibrahim 'alaihissalam ketika beliau diperintahkan oleh Allah untuk menyembelih putranya Ismail 'alaihissalam, kemudian Allah menggantinya dengan domba yang besar, Allah berfirman:
وفديناه بذبح عظيم [الصافات:107].
“Dan kami gantikan gengan sembelihan yang besar.”(Ash-Shaaffat: 107)
Berbagi kesenangan kepada orang fakir dan miskin, dengan daging yang disedekahkan kepada mereka.
d. Merupakan bentuk syukur kepada Allah yang telah menundukkan binatang ternak kepada kita. Allah berfirman:
فَكُلُوا مِنْهَا وَأَطْعِمُوا الْقَانِعَ وَالْمُعْتَرَّ كَذَلِكَ سَخَّرْنَاهَا لَكُمْ لَعَلَّكُمْ تَشْكُرُونَ (36) لَن يَنَالَ اللَّهَ لُحُومُهَا وَلَا دِمَاؤُهَا وَلَكِن يَنَالُهُ التَّقْوَى مِنكُمْ كَذَلِكَ سَخَّرَهَا لَكُمْ لِتُكَبِّرُوا اللَّهَ عَلَى مَا هَدَاكُمْ وَبَشِّرِ الْمُحْسِنِينَ [الحج:37،36].
“Maka makanlah sebahagiannya dan beri makanlah orang yang rela dengan apa yang ada padanya (yang tidak meminta-minta) dan orang yang meminta. Demikianlah Kami telah menundukan unta-unta itu kepada kamu, mudah-mudahan kamu bersyukur.Daging-daging unta dan darahnya itu sekali-kali tidak dapat mencapai (keridhaan) Allah, tetapi ketaqwan dari kamulah yang dapat mencapainya. Demikianlah Allah telah menundukkanya untuk kamu supaya kamu mengagungkan Allah terhadap hidayah-Nya kepada kamu. Dan berilah kabar gembira kepada orang-orang yang berbuat baik.” (QS. Al-Hajj:36-37)
Akikah
Pengertian Akikah dan Hukumnya
Akikah merupakan kata dari Bahasa Arab yaitu aqiqah yang memiliki arti potongan. Bentuk kata lainnya adalah (al-aqiq), (al-aqiqah), (al-iqqah) berarti rambut yang tumbuh di kepala jabang bayi saat dilahirkan.
Seperti perkataan Abu ‘Abid:
الأصل في العقيقة الشعر على المولود. و جمعها عقائق
Imam Abul Walid Muhammad bin Ahmad bin Rusyd Al-Qurthubi, Syarah Bidayatul Mujtahid wa Nihayatul Muqtashid, Darus Salam, Mesir, 1995, hal.1193
“Asal kata akikah adalah rambut yang tumbuh diatas bayi yang lahir. Dan bentuk jamaknya adalah ‘aqaiq. ”
Imam Syaukani berpendapat bahwa akikah adalah sembelihan untuk bayi. Sedang al-aqqu pada dasarnya bermakna asy-syaqqu (memotong) dan al-qathu (memotong). Sembelihan itu dinamakan akikah karena tenggorokannya (lehernya) dipotong.
Terkadang akikah berarti rambut sang bayi, arti inilah yang digunakan Zamakhsyari sebagai arti dasar. Akikah juga berarti kambing (yang disembelih) tetapi menurut Zamakhsyari ini bukan arti dasar.
"Aqqa an waladihi aqqan," artinya menyembelih kambing untuk anaknya pada hari ketujuh dari kelahirannya, juga berarti mencukur rambut anaknya.
Sedangkan Akikah menurut syara berarti memotong kambing dalam rangka mensyukuri kalahiran sang bayi yang dilakukan pada hari ketujuh dari kelahirannnya sebagai salah satu sunnah Rasulullah Saw.
Praktek akikah sebetulnya sudah dilaksanakan oleh masyarakat Arab sebelum datangnya risalah Muhammad Saw. Namun hanya berlaku bagi bayi berjenis kelamin laki-laki. bahkan mereka melumuri kepala bayi dengan darah kambing yang telah disembelih itu.
Setelah Rasulullah Saw diutus, praktek akikah masih dilaksanakan, namun Nabi mengubah tradisi mereka yang tidak benar.
Hukum asal akikah adalah:
و الصحيح أنها سنة مئكدة, و ذبحها أفضل من الصدقة بثمنها
Shalih bin Fauzan bin ‘Abdullah Ali Fauzan, Al-Mulakhas Al-Fiqhiy, Darun Ibn al-Jauziy, Dammam-Arab Saudi, Darun Ibn al-Jauziy, 2007, hal.364
“Memang benar bahwa akikah hukumnya sunnah muakkad, dan penyembelihannya lebih utama daripada sedekah dengan harga hewan sembelihannya.”
Menurut pendapat Maliki dan Syafi’i, akikah itu disyariatkan. Hanafi berpendapat: Akikah dibolehkan, dan saya tidak berpendapat bahwa hal itu adalah sunnah. Dari Hanbali diperoleh dua riwayat. Pertama, yang masyhur, yaitu disunnahkan. Kedua, yang dipilih oleh sebagian ulama pengikutnya: Wajib hukumnya. Menurut pendapat al-Hasan dan Dawud, akikah adalah wajib.
Syaikh al-‘Allamah Muhammad bin ‘Abdurrahman ad-Dimasyqi, Rahmah al-Ummah fi Ikhtilaf al-A’immah, terjemah ‘Abdullah Zaki Alkaf, Hasyimi, Bandung, 2012, hal. 189
Jenis, Usia, dan Sifat Hewan yang Sah untuk Akikah
Tidak ada perbedaan pendapat di kalangan ulama pendapat tentang masyru’-nya kambing atau domba untuk ‘aqiqah. Boleh dari jenis jantan ataupun betina. Hal ini didasarkan oleh hadits :
عن أم كرز قالت سمعت النبي صلى الله عليه وسلم يقول : عن الغلام شاتان وعن الجارية شاة لا يضركم أذكرانا كن أم إناثا
Dari Ummu Kurz ia berkata : Aku mendengar Nabi shallallaahu ’alaihi wasallam bersabda : ”Untuk seorang anak laki-laki adalah dua ekor kambing dan untuk anak perempuan adalah seekor kambing. Tidak mengapa bagi kalian apakah ia kambing jantan atau betina”
Namun mereka berselisih pendapat tentang jenis hewan selain kambing atau domba (misalnya : onta atau sapi).
Jumhur ulama membolehkannya.
Mereka berdalil dengan beberapa hadits, diantaranya :
أن أنس بن مالك كان يعق عن بنيه الجزور
”Bahwasannya Anas bin Malik mengaqiqahi dua anaknya dengan onta”.
عن أنس بن مالك قال قال رسول الله صلى الله عليه وسلم من ولد له غلام فليعق عنه من الإبل أو البقر أو الغنم
Dari Anas bin Malik ia berkata : Telah bersabda Rasulullah shallallaahu ’alaihi wasallam bersabda : ”Barangsiapa dikaruniai seorang anak laki-laki, hendaklah ia beraqiqah dengan onta, sapi, atau kambing”.
Namun atsar ini tidak shahih.
Mereka (jumhur) juga beralasan bahwa makna syaatun (شاة) dalam bahasa Arab bisa bermakna domba, kambing, sapi, unta, kijang, dan keledai liar.
Sebagian ulama tidak membolehkannya, bahkan mereka menyatakan tidak sah ’aqiqah selain dari jenis kambing atau domba.
Dalil mereka adalah dalil-dalil yang telah disebutkan pada pembahasan di atas yang semuanya menyebut dengan istilah domba atau kambing. Selain itu, mereka juga berdalil dengan atsar berikut :
عن يوسف بن ماهك قال دخلت أنا وبن مليكة على حفصة بنت عبد الرحمن بن أبي بكر وولدت للمنذر بن الزبير غلاما فقلت هلا عققت جزورا على ابنك فقالت معاذ الله كانت عمتي عائشة تقول على الغلام شاتان وعلى الجارية شاة
Dari Yusuf bin Maahik ia berkata : ”Aku dan Ibnu Mulaikah masuk menemui Hafshah binti ’Abdirrahman bin Abi Bakr yang saat itu sedang melahirkan anak dari Mundzir bin Az-Zubair. Aku pun berkata: ’Mengapa engkau tidak menyembelih seekor onta untuk anakmu ?’. Ia pun menjawab : ’Ma’aadzallah (aku berlindung kepada Allah) ! Bibiku, yaitu ’Aisyah, pernah berkata : ”Untuk anak laki-laki dua ekor kambing dan untuk anak perempuan seekor kambing”.
عن عَبْدِ الْجَبَّارِ بْنِ وَرْدٍ الْمَكِّيُّ قَالَ سَمِعْت ابْنَ أَبِي مُلَيْكَةَ يَقُولُ { نُفِسَ لِعَبْدِ الرَّحْمَنِ بْنِ أَبِي بَكْرٍ غُلَامٌ فَقِيلَ لِعَائِشَةَ يَا أُمَّ الْمُؤْمِنِينَ عُقِّي عَنْهُ جَزُورًا فَقَالَتْ مَعَاذَ اللَّهِ وَلَكِنْ مَا قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ شَاتَانِ مُكَافَأَتَانِ }
Dari ’Abdil-Jabbar bin Ward Al-Makkiy ia berkata : Aku mendengar Ibnu Abi Mulaikah berkata : ”Ketika anak laki-laki ’Abdurrahman bin Abi Bakr lahir, ditanyakan kepada ’Aisyah : ’Wahai Ummul-Mukminin, apakah boleh seorang anak laki-laki di-’aqiqahi dengan seekor onta ?’. ’Aisyah menjawab : ’Ma’aadzallah, akan tetapi sebagaimana sabda Rasulullah shallallaahu ’alaihi wasallam : ’Dua ekor kambing yang setara/sama’”.
عن أم كرز وأبي كرز قالا نذرت امرأة من آل عبد الرحمن بن أبي بكر إن ولدت امرأة عبد الرحمن نحرنا جزورا فقالت عائشة رضى الله تعالى عنها لا بل السنة أفضل عن الغلام شاتان مكافئتان وعن الجارية شاة
Dari Ummu Kurz dan Abu Kurz, mereka berdua berkata : ”Telah bernadzar seorang wanita dari keluarga ’Abdurrahman bin Abi Bakr jika istrinya melahirkan anak, mereka akan menyembelih seekor onta. Maka ’Aisyah radliyallaahu ’anhaa berkata : ”Jangan, bahkan yang disunnahkan itu lebih utama. Untuk anak laki-laki dua ekor kambing dan untuk anak perempuan seekor kambing”.
Dari dua pendapat di atas, yang rajih menurut kami adalah pendapat kedua yang menyatakan ketidakbolehan ’aqiqah selain dari jenis kambing atau domba. Walaupun telah shahih riwayat dari Anas radliyallaahu ’anhu bahwasannya ia menyembelih onta, namun itu tidak dapat dipertentangkan dengan hadits-hadits Nabi shallallaahu ’’alaihi wasallam yang semuanya menyebutkan atau membatasi pada jenis kambing atau domba saja. Apalagi telah shahih pengingkaran ’Aisyah radliyallaahu ’anhaa tentang hal itu. ’Aqiqah merupakan satu bentuk ibadah yang dalam pelaksanaannya bersifat tauqifiyyah (berdasarkan nash). Termasuk di dalamnya adalah dalam penentuan jenisnya. Rasulullah shallallaahu ’alaihi wasallam tidak beraqiqah dengan selain kambing/domba, tidak pernah memerintahkannya, dan tidak pernah pula memberikan taqrir (persetujuan) kepada para shahabat. Oleh karena itu, sunnah beliau shallallaau ’alaihi wasallam tidaklah bisa dibatalkan oleh ijtihad Anas bin Malik radliyallaahu ’anhu.
Adapun alasan bahwa secara bahasa syaatun itu bisa bermakna pada selain kambing, maka jawabannya : ”Pada asalnya kata syaatun itu jika diucapkan secara mutlak, maka tidak ada makna lain kecuali kambing. Adapun makna selain kambing, maka ia adalah makna secara majazy yang hanya bisa dipakai jika ada qarinah (keterangan) yang menunjukkan pada makna tersebut. Oleh karena itu, Ibnul-Mandzur dalam Lisaanul-’Arab berkata : ”Syaat adalah bentuk tunggal dari kambing, baik jantan maupun betina. Dikatakan : Syaat adalah domba, kambing, kijang, sapi, onta, dan keledai liar”.
Al-Hafidh berkata :
ويذكر الشاة والكبش على أنه يتعين الغنم للعقيقة.... وعندي أنه لا يجزئ غيرها
”Dan disebut asy-syaatun dan al-kabsyun adalah untuk menentukan jenis kambing untuk ‘aqiqah..... Dan menurutku, tidak boleh (untuk ’aqiqah) selain dari jenis kambing”.
Waktu Berakikah
Para ulama sepakat bahwa yang disunnahkan dalam menyembelih hewan aqiqah adalah para hari ketujuh, yaitu ketika seorang bayi telah berusia tujuh hari, terhitung sejak dia lahir pertama kali di dunia ini.
Dasarnya adalah beberapa hadits berikut ini :
كُلُّ غُلاَمٍ رَهِيْنَةٌ بِعَقِيْقَتِهِ تُذْبَحُ عَنْهُ يَوْمَ سَابِعِهِ وَيُسَمَّى فِيْهِ وَيُحْلَقُ رَأْسُهُ
Dari Samurah bin Jundub radhiyallahuanhu bahwa Rasulullah SAW bersabda,"Anak laki-laki tergadaikan dengan hewan aqiqahnya, maka disembelihkan untuknya pada hari ke tujuh, diberi nama lalu digunduli dan (HR. Abu Daud)
عَقَّ رَسُولُ اللهِ عَنِ الحَسَنِ وَالحُسَيْنِ عَلَيْهِمَا السَّلاَمِ يَوْمَ السَّابِعِ وَسَمَّاهُمَا
Dari Aisyah radhiyallahuanha bahwa Rasulullah SAW menyembelihkan hewan aqiqah untuk Hasan dan Husain alaihimassalam pada hari ketujuh dan memberi nama keduanya. (HR. Al-Baihaqi)
Namun para ulama berbeda pendapat tentang boleh atau tidak bolehnya menyembelih aqiqah bila waktunya bukan pada hari ketujuh.
Al-Malikiyah
Mazhab Al-Malikiyah menetapkan bahwa waktu untuk menyembelih hewan aqiqah hanya pada hari ketujuh saja. Di luar waktu itu, baik sebelumnya atau pun sesudahnya, menurut mazhab ini tidak lagi disyariatkan penyembelihan. Artinya hanya sah dilakukan pada hari ketujuh saja.
Asy-Syafi’iyah
Pendapat mazhab Asy-Syafi’iyah lebih luas, karena mereka membolehkan aqiqah disembelih meski belum masuk hari ketujuh. Dan mereka pun membolehkan disembelihkan aqiqah meski waktunya sudah lewat dari hari ketujuh.
Dalam pandangan mazhab ini, menyembelih hewan aqiqah pada hari ketujuh adalah waktu ikhtiyar. Maksudnya waktu yang sebaiknya dipilih. Namun seandainya tidak ada pilihan, maka boleh dilakukan kapan saja.
Al-Hanbaliyah
Mazhab Al-Hanbaliyah berpendapat bahwa bila seorang ayah tidak mampu menyembelih hewan aqiqah pada hari ketujuh dari kelahiran bayinya, maka dia masih dibolehkan untuk menyembelihnya pada hari keempat-belas.
Dan bila pada hari keempat-belasnya juga tidak mampu melakukannya, maka boleh dikerjakan pada hari kedua-puluh satu.
Ibnu Hazm menyebutkan bahwa tidak disyariatkan bila menyembelih hewan aqiqah sebelum hari ketujuh, namun bila lewat dari hari ketujuh tanpa bisa menyembelihnya, menurutnya perintah dan kewajibannya tetap berlaku sampai kapan saja.
Sekedar catatan, Ibnu Hazm termasuk kalangan yang mewajibkan penyembelihan hewan aqiqah. Sehingga karena dalam anggapannya wajib, maka bila tidak dikerjakan, wajib untuk diganti atau diqadha’. Dan qadha’ itu tetap berlaku sampai kapan pun.
Para ulama juga berbeda pendapat tentang kapan yang utama dilakukan penyembelihan hewan aqiqah.
Sebagian ada yang menqiyaskan dengan jam penyembelihan hewan udhiyah, yaitu pada waktu Dhuha. Sebagian lainnya ada yang mengatakan bahwa lebih utama dikerjakan pada saat matahari terbit.
Dan sebagian yang lain tidak terlalu mempermasalahkan tentang jam penyembelihan. Dalam pandangan mereka, hewan aqiqah silahkan dibolehkan dilakukan pagi hari di waktu Dhuha, siang, sore bahkan malam hari sekali pun juga boleh.
Pendapat yang terakhir ini barangkali yang lebih tepat, karena lebih meringankan, serta tidak dasarnya harus disamakan atau diqiyaskan dengan ketentuan yang berlaku pada penyembelihan hewan udhiyah.
Cara Menghitung Waktu Berakikah
Para ulama sepakat bahwa waktu yang paling utama dan tidak ada perbedaan pendapat untuk menyembelih hewan aqiqah adalah hari ketujuh sejak kelahiran bayi. Namun mereka berbeda pendapat ketika menetapkan cara menghitungnya. Apakah hari kelahiran bayi ikut dihitung sebagai hari pertama, ataukah hitungan hari pertama jatuh pada hari berikutnya.
Cara Al-Malikiyah
Al-Imam Malik menghitung hari pertama kelahiran bayi adalah keesokan harinya atau sehari setelah hari kelahiran. Misalnya, seorang bayi dilahirkan pada hari Selasa, maka hitungan hari pertama adalah Rabu, hari kedua Kamis, hari ketiga Jumat, hari keempat Sabtu, hari kelima Ahad, hari keenam Senin dan hari ketujuh adalah hari Selasa.
Maka waktu untuk menyembelih hewan aqiqah adalah hari Selasa, yaitu hari yang sama dengan hari kelahiran bayi, seminggu kemudian.
Tetapi ada sedikit catatan, yaitu bila bayi lahir lewat tengah malam sebelum terbit fajar, maka hari kelahirannya itu sudah mulai dihitung sebagai hari pertama. Misalnya bayi lahir hari Selasa dini hari jam 02.00. Maka hari Selasa itu sudah dianggap hari pertama, sehingga hitungan hari ketujuh akan jatuh di hari Senin dan bukan hari Selasa.
Pendapat Al-Imam Malik ini sejalan dengan pandanga para ulama lain seperti Al-Imam An-Nawawi dan Al-Buwaithi dari mazhab Asy-Syafi’iyah.
Cara Ibnu Hazm
Sedangkan Ibnu Hazm berpendapat bahwa cara menghitungnya adalah dengan menjadikan hari kelahiran sebagai hari pertama. Sehingga bila ada bayi lahir di hari Selasa, maka hari pertama adalah Selasa, hari kedua Rabu, hari ketiga Kamis, hari keempat Jumat, hari kelima Sabtu, hari keenam Ahad, dan hari ketujuh adalah Senin.
Maka hewan aqiqah disembelih pada hari Senin dan bukan hari Selasa.
Yang sejalan dengan pendapat Ibnu Hazm ini antara lain Ar-Rafi’i dari mazhab Asy-Syafi’iyah.
Tabel
Untuk memudahkan kita memahami perbedaan cara perhitungan dari keduanya, silahkan lihat tabel di bawah ini :
HARI
Malikiyah
Ibnu Hazm
Selasa
Hari 0 : LAHIR
Hari 1 : LAHIR
Rabu
Hari 1
Hari 2
Kamis
Hari 2
Hari 3
Jumat
Hari 3
Hari 4
Sabtu
Hari 4
Hari 5
Ahad
Hari 5
Hari 6
Senin
Hari 6
Hari 7 : AQIQAH
Selasa
Hari 7 : AQIQAH
-
Kedua pendapat itu muncul karena metode penghitungannya berbeda. Dan sayangnya tidak ada dalil yang qath'i dari Al-Quran dan As-Sunnah tentang contoh penghitungannya. Sehingga terjadi peluang perbedaan pendapat dalam cara penghitungannya.
Satu lagi yang penting dicatat bahwa inti ritual aqiqah bukan pada resepsi acaranya, melainkan pada penyembelihannya. Resepsi dan pesta terserah mau dilakukan kapan saja, yang penting penyembelihannya itu sendiri. Karena inti dari ritual aqiqah sebenarnya adalah menyembelih hewan dan bukan pesta.
Hukum Daging dan Kulit Hewan Akikah
Daging kambing aqiqah boleh di makan oleh keluarga sendiri dan juga dibagikan sebagai sedekah kepada orang lain baik dalam bentuk daging mentah atau sebagai sebuah hidangan menurut jumhur ulama kecuali Malikiyah.
Dianjurkan untuk memisahkan bagian hewan aqiqah pada persendiannya (jika memungkinkan) agar tidak mematahkan tulangnya sebagai symbol optimisme harapan agar anggota tubuh bayi juga sehat sempurna dan tidak mengalami kekurangan.
Untuk kulit dan kepala kambing aqiqah juga tidak boleh di jual belikan namun hendaknya disedekahkan. Hal ini menurut mayoritas ulama selain imam ahmad bin hambal dalam satu riwayat dari beliau.
Hikmah Disyariatkan Akikah
Akikah merupakan salah satu sunnah Rasulullah Saw sebagai ungkapan rasa syukur atas nikmat yang telah Allah berikan berupa kelahiran seorang anak.
Akikah merupakan kurban seorang hamba untuk ber-taqarrub (mendekatkan diri) kepada Allah SWT sebagai ungkapan rasa senang dan gembira karena memeroleh nikmat berupa kelahiran seorang anak.
Akikah merupakan tebusan untuk menebus sang bayi dari segala macam musibah dan malapetaka. Allah SWT menebus Isma'il dengan seekor domba yang disembelih, sehingga peristiwa tersebut menjadi sunnah (tradisi) yang masih dilaksanakan oleh anak cucu Isma'il. Ketika Rasulullah diutus, sunnah tersebut tetap beliau lestarikan.
Akikah berfungsi untuk membuka ketertahanan sang bayi sehingga ia dapat memberi syafaat kepada kedua orang tuanya. Sebagaimana yang disebutkan dalam hadis Samurah. Akikah merupakan sebuah acara keislaman yang mengandung nilai-nilai sosial.
Akikah berfungsi juga sebagai sarana untuk memperkuat ikatan kasih sayang antara individu anggota masyarakat Muslim, melalui berkumpulnya mereka pada undangan pelaksanaan akikah dan mengucapkan selamat kepada kedua orang tua bayi.
Akikah merupakan sarana untuk merealisasikan takaful ijtima'I (kepedulian sosial) yang akan membantu terwujudnya keadilan dalam masyarakat. Karena dalam perayaan akikah orang-orang berkumpul baik yang miskin, yang kaya, yang besar maupun yang kecil tanpa mengistimewakan suatu golongan saja.
Akikah merupakan simbol perwujudan seruan Nabi yang mulia ketika beliau bersabda, "Sesungguhnya aku membanggakan banyaknya jumlah kalian di hadapan umat lain."
Akikah merupakan bukti kebaikan orang tua terhadap anaknya sehingga anak tersebut kelak dapat menjadi anak yang berbakti dan dapat memberikan syafaat kepada orang tuanya.
BAB III
PENUTUP
Kesimpulan
Secara garis besar, kurban dan akikah memiliki persamaan, yakni menyembelih hewan ternak. Dan tujuannya sama-sama untuk menjalankan syariat sekaligus bertaqarrub kepada Allah. Hanya saja motif atau latar belakang dilaksanakannya kurban dan akikah berbeda. Jika kurban karena ia adalah ibadah yang disyariatkan sebagai rasa syukur dan dilaksanakan pada bulan Dzul Hijjah, sedangkan akikah disyariatkan untuk mewujudkan rasa syukur sebab dikaruniai seorang anak.
Dapat ditarik kesimpulan bahwa Allah mensyariatkan sesuatu kepada manusia bersamaan dengan ketentuan dan perbedaan. Perbedaan tersebutlah yang harus dipahami manusia sebagai suatu rahmat dan bentuk kasih sayang Allah. Sebab banyak pelajaran berharga yang dapat kita garis bawahi di dalam perbedaan.
Saran
Kami menyadari jika dalam menyusun makalah ini masih banyak hal yang belum terlampirkan. Oleh karena itu, kami sangat mengharapkan kritik dan saran yang konstruktif guna menyusun makalah yang lebih baik. Demikian makalah ini kami susun, apabila ada kata-kata yang kurang berkenan dan banyak terdapat kekurangan, kami mohon maaf. Semoga bermanfaat. Amin.
SKEMA PEMBAHASAN
DAFTAR PUSTAKA
Al-Hushni, Taqiyyuddin Abu Bakar Muhammad. 2001. Kifayatul Akhyar. Beirut: Darun Ahya’ At-Turats Al-‘Arabiy
Alkaf , Abdullah Zaki. 2012. Fiqih Empat Mazhab. Bandung: Hasyimi
Al-Qarni, Aidh bin Abdullah. 2007. Hadits Pilihan. Jakarta: Darul Haq
Al-Qurthubi, Imam Abul Walid Muhammad bin Ahmad bin Rusyd. 1995, Syarah Bidayatul Mujtahid wa Nihayatul Muqtashid. Mesir: Darus Salam
Amar, Imron Abu. 2002. Terjemahan Fathul Qarib al Mujiib karya Syaikh Syamsuddin Abu Abdillah Muhammad bin Qasim As-Syafi’i. Kudus: Menara
Asrori, Achmad Ma’ruf. 1998. Khitan dan Aqiqah, Surabaya: Al-Miftah
Az-Zuhaili, Dr. Wahbah. 2006. Al-Fiqh Ala Al-Islami Wa Adillatuh. Beirut: Darul Fikr
Darajat, Zakiah, 1995. Ilmu Fiqih, Yogyakarta: PT Dana Bhakti Wakaf
Fauzan, Shalih bin Fauzan bin ‘Abdullah Ali. 2007. Al-Mulakhas Al-Fiqhiy, Dammam: Darun Ibn al-Jauziy
Qasim, Rizal. 2005. Pengalaman Fiqih. Yogyakarta: PT. Tiga Serangkai Pustaka Mandiri
Rasjid, Sulaiman. 1954. Fiqih Islam. Jakarta : Attahiriyah
Sabiq, Sayyid. 1995. Fikih Sunnah 13. Bandung: PT Alma’arif
5