RETARDASI MENTAL
PENGERTIAN RETARDASI MENTAL
Retardasi mental (RM) adalah fungsi intelektual di bawah angka 7, yang muncul bersamaan dengan kurangnya perilaku adaptif, serta kemampuan beradaptasi dengan kehidupan sosial sesuai tingkat perkembangan dan budaya. Menurut Maslim (2004), RM adalah suatu keadaan perkembangan jiwa yang terhenti atau tidak lengkap yang terutama ditandai oleh terjadinya kendala keterampilan selama masa perkembangan, sehingga berpengaruh pada tingkat kecerdasan secara menyeluruh, misalnya kemampuan kognitif, bahasa, motorik, dan sosial.
Anak RM mengalami keterbatasan sosialisasi akibat tingkat kecerdasan yang rendah (Soetjiningsih, 1998). Kemampuan penyesuaian diri dengan lingkungan sangat dipengaruhi oleh kecerdasan. Anak RM dengan tingkat kecerdasan di bawah normal dan mengalami hambatan dalam bersosialisasi. Faktor lain adalah kecenderungan mereka diisolasi (dijauhi) oleh lingkungannya. Anak sering tidak diakui secara penuh sebagai individu dan hal tersebut memengaruhi proses pembentukan pribadi. Anak akan berkembang menjadi individu dengan ketidakmampuan menyesuaikan diri terhadap tuntutan sekolah, keluarga, masyarakat, dan terhadap dirinya sendiri.
KLASIFISIKASI RETARDASI MENTAL
Klasifikasi didasarkan pada tingkat kecerdasan terdiri atas keterbelakangan ringan, sedang, berat, dan sangat berat. Kemampuan kecerdasan anak RM kebanyakan diukur dengan tes Stanford Binet dan Wechsler Intelligence Scale for Children (WISC) (Somantri, 2007).
Menurut Somantri (2007), klasifikasi anak RM adalah sebagai berikut.
1. RM ringan Menurut Binet dalam Somantri (2007), RM ringan disebut juga moron atau debil, memiliki Intelligence Quotient (IQ) antara 52–68, sedangkan menurut WISC, IQ antara 55–69. Perkembangan motorik anak tunagrahita mengalami keterlambatan, Somantri (2007) menyatakan bahwa, “Semakin rendah kemampuan intelektual seseorang anak, maka akan semakin rendah pula kemampuan motoriknya, demikian pula sebaliknya”.
2. RM sedang RM sedang disebut juga imbesil yang memiliki IQ 36–51 berdasarkan skala Binet, sedangkan menurut WISC memiliki IQ 40–54. Anak ini bisa mencapai perkembangan kemampuan mental (Mental Age—MA) sampai kurang lebih 7 tahun, dapat mengurus dirinya sendiri, melindungi dirinya sendiri dari bahaya seperti kebakaran, berjalan di jalan raya, dan berlindung dari hujan.
3. RM berat RM berat atau disebut idiot, menurut Binet memiliki IQ antara 20–32 dan menurut WISC antara 25–39.
4. RM sangat berat Level RM ini memiliki IQ di bawah 19 menurut Binet dan IQ di bawah 24 menurut WISC. Kemampuan mental atau MA maksimal yang dapat diukur kurang dari tiga tahun. Anak yang mengalami hal ini memerlukan bantuan perawatan secara total dalam berpakaian, mandi, dan makan, bahkan memerlukan perlindungan diri sepanjang hidupnya.
CIRI PERTUMBUHAN DAN PERKEMBANGAN RETARDASI MENTAL
Retardasi Mental
1. Umur 0–5 tahun (pematangan dan perkembangan). Dapat mengembangkan keterampilan sosial dan komunikasi, keterbelakangan minimal dalam bidang sensoris motorik. Anak yang mengalami retarditasi mental sering tidak dapat dibedakan dari normal hingga usia lebih tua.
2. Umur 6–20 tahun (latihan dan pendidikan). Dapat belajar keterampilan akademik sampai kira-kira kelas 6 pada umur belasan tahun (dekat umur 20 tahun), serta dapat dibimbing ke arah konformitas sosial.
3. Masa dewasa, yaitu 21 tahun atau lebih (kecukupan sosial dan pekerjaan). Biasanya dapat mencapai keterampilan sosial dan pekerjaan yang cukup untuk mencari nafkah, tetapi memerlukan bimbingan dan bantuan bila mengalami stres sosial ekonomi yang luar biasa.
Retardasi Mental Sedang
1. Umur 0–5 tahun (pematangan dan perkembangan). Dapat berbicara atau belajar berkomunikasi, kesadaran sosial kurang, perkembangan motorik cukup, dapat belajar mengurus diri sendiri, dapat diatur dengan pengawasan sedang.
2. Umur 6–20 tahun (latihan dan pendidikan). Dapat dilatih dalam keterampilan sosial dan pekerjaan, sukar untuk maju lewat kelas 2 Sekolah Dasar (SD) dalam mata pelajaran akademik, dapat belajar bepergian sendirian di tempat yang sudah dikenal.
3. Masa dewasa, yaitu 21 tahun atau lebih (kecukupan sosial dan pekerjaan). Dapat mencari nafkah dalam pekerjaan kasar tidak terlatih atau setengah terlatih dalam keadaan yang terlindung, memerlukan pengawasan, dan bimbingan bila mengalami stres sosial atau ekonomi yang ringan.
Retardasi Mental Berat
1. Umur 0–5 tahun (pematangan dan perkembangan). Perkembangan motorik kurang, bicara minimal. Pada umumnya tak dapat dilatih untuk mengurus diri sendiri, keterampilan komunikasi tidak ada atau hanya sedikit sekali.
2. Umur 6–20 tahun (latihan dan pendidikan). Dapat berbicara atau belajar berkomunikasi, dapat dilatih dalam kebiasaan kesehatan dasar, serta dapat dilatih secara sistematik dalam kebiasaan.
3. Masa dewasa, yaitu 21 tahun atau lebih (kecukupan sosial dan pekerjaan). Dapat mencapai sebagian dalam mengurus diri sendiri di bawah pengawasan penuh, dapat mengembangkan secara minimal berguna keterampilan menjaga diri dalam lingkungan yang terkontrol.
Retardasi Mental Sangat Berat
1. Umur 0–5 tahun (pematangan dan perkembangan). Retardasi berat, kemampuan minimal untuk berfungsi dalam bidang sensoris-motorik, membutuhkan perawatan.
2. Umur 6–20 tahun (latihan dan pendidikan). Perkembangan motorik sedikit, dapat bereaksi terhadap latihan mengurus diri sendiri secara minimal atau terbatas.
3. Masa dewasa 21 tahun atau lebih (kecukupan sosial dan pekerjaan). Perkembangan motorik dan bicara sedikit, dapat mengurus diri sendiri secara sangat terbatas, membutuhkan perawatan.
Tingkat Retardasi Mental
Derajat keparahan
Perkiraan Rentang IQ
Jumlah Penyandang Retardasi Mental dalam Rentangan ini
Retardasi mental ringan (mild)
50-55 samapi sekitar 70
Kira-kira 85%
Retardasi mental sedang (moderate)
35-40 sampai 50-55
10%
Retardasi mental berat (severe)
20-25 sampai 35-40
3-4%
Retardasi mental parah (profound)
Dibawah 20 atau 25
1-2%
Sumber: Diadaptasi dari DSM-IV-TR (APA, 2000)
Tingkat Retardasi Mental, Perkiraan Rentang Skor IQ, dan Jenis Tingkah Laku Adaptif yang Terlihat
Perkiraan Rentang Skor IQ
Usia Prasekolah 0-5 tahun Kematangan & Perkembangan
Usia Sekolah 6-21 tahun Pelatihan & Pendidikan
Dewasa diatas 21 tahun Kemampuan Sosial & Vokasional
Ringan 50-70
Sering terlihat tidak memiliki gangguan tetapi lambat dalam berjalan, makan sendiri, dan bicara dibandingkan anak-anak lainnya
Menguasai ketrampilan prktis serta kemampuan membaca & aritmetika sampai kelas 3-6 SD dengan pendidikan khusus. Dapat diarahkan pada konformitas sosial.
Biasanya dapat mencapai ketrampilan sosial dan vokasional untuk membiayai diri sendiri, mungkib membutuhkan bimbingan dan dukungan sosial dan ekonomi yang tidak biasa.
Sedang 35-49
Keterlambatan yang nyata pada perkembangan motorik, terutama dalam bicara, berespon terhadap pelatihan dalam berbagai aktivitas self-help.
Dapat mempelajari komunikasi sederhana, perawatan kesehatan dan keselamatan dasar, serta ketrampilan tangan sederhana tidak mengalami kemajuan dalam fungsi membaca atau aritmetika.
Dapat melakukan tugas-tugas sederhana dalam lingkungan pusat penglihatan; berpartisipasi dalam rekreasi sederhana; berpergian secara mandiri ketenpat-tempat yang dikenal; biasanya tidak dapat melakukan self-maintenance.
Berat 20-34
Ditandai dengan adanya keterlambatan dalam perkembangan motorik, kemampuan komunikasi yang minim atau tidak ada sama sekali; dapat berespons terhadap pelatihan self-help mendasar misalnya, makan sendiri.
Biasanya mampu berjalan, tetapi memiliki ketidakmampuan yang spesifik; dapat mengerti pembicaraan dan memberikan respon; tidak memiliki kemajuan dalam kemampuan membaca atau aritmetika.
Dapat menyesuaiakan diri dengan rutinitas sehari-hari dan aktivitas repetitif; membutuhkan pengarahan dan supervisi terus-menerus dalam lingkungan yang melindungi.
Parah di bawah 20
Retardasi motorik kasar; kapasitas minimal untuk berfungsi pada area sensorimotor; membutuhkan bantuan perawat.
Keterlambatan yang begitu jelas dalam semua area perkembangan; dapat menunjukkan respons emosional dasar; mungkin berespons terhadap pelatihan ketrampilan dengan menggunakan kaki, tangan, dan rahang; memerlukan supervisi/pengawas yang ketat.
Dapat berjalan, mungkin membutuhkan bantuan perawat, dapat berbicara secara primitif; terbantu dengan aktifitas fisik teratur; tidak dapat melakukan self-maintenance.
Sumber : Dari esentials of psychology (Edisi 6) oleh S.A. Rathus (1996).
ETIOLOGI
Menurut Maramis (2010), faktor penyebab retardasi mental yaitu sebagai berikut.
Faktor genetik Abnormalitas kromosom yang paling umum menyebabkan retardasi mental adalah Sindrom Down yang ditandai oleh adanya kelebihan kromosom atau kromosom ketiga pada pasangan kromosom ke-21, sehingga mengakibatkan jumlah kromosom menjadi Sindrom Fragile X, yang merupakan tipe umum dari retardasi mental yang diwariskan. Gangguan ini disebabkan oleh mutasi gen pada kromosom X. Gen yang rusak berada pada area kromosom yang tampak rapuh, sehingga disebut Sindrom Fragile X. Sindrom ini menyebabkan retardasi mental pada 1.000–1.500 pria dan hambatan mental pada setiap 2.000–2.500 perempuan. Efek dari Sindrom Fragile X berkisar antara gangguan belajar ringan sampai retardasi parah yang dapat menyebabkan gangguan bicara dan fungsi yang berat.
Phenylketonuria (PKU) merupakan gangguan genetik yang terjadi pada satu di antara 10.000 kelahiran. Gangguan ini disebabkan adanya satu gen resesif yang menghambat anak untuk melakukan metabolisme. Konsekuensinya, phenilalanin dan turunannya asam phenilpyruvic, menumpuk dalam tubuh, serta menyebabkan kerusakan pada sistem saraf pusat yang mengakibatkan retardasi mental dan gangguan emosional.
2. Faktor prenatal Penyebab retardasi mental saat prenatal adalah infeksi dan penyalahgunaan obat selama ibu mengandung. Infeksi yang biasanya terjadi adalah rubella, yang dapat menyebabkan kerusakan otak. Penyakit ibu juga dapat menyebabkan retardasi mental, seperti sifilis, herpes genital, hipertensi, diabetes melitus, anemia, tuberkulosis paru. Narkotik, alkohol, dan rokok yang berlebihan serta keadaan gizi dan emosi pada ibu hamil juga sangat berpengaruh pada terjadinya retardasi mental.
3. Faktor perinatal Retardasi mental yang disebabkan oleh kejadian yang terjadi pada saat kelahiran adalah luka-luka pada saat kelahiran, sesak napas (asfiksia), dan lahir prematur, serta proses kelahiran yang lama.
4. Faktor pascanatal Banyak sekali faktor pascanatal yang dapat menimbulkan kerusakan otak dan mengakibatkan terjadinya retardasi mental. Termasuk di antaranya adalah infeksi (meningitis, ensefalitis, meningoensefalitis, dan infeksi pada bagian tubuh lain yang menahun), trauma kapitis, tumor otak, kelainan tulang tengkorak, dan keracunan pada otak. Kesehatan ibu yang buruk dan terlalu sering melahirkan merupakan penyebab berbagai macam komplikasi kelahiran seperti bayi lahir prematur, perdarahan postpartum, dan lain sebagainya.
5. Rudapaksa (trauma) dan/atau sebab fisik lain. Rudapaksa sebelum lahir serta juga trauma lain, seperti sinar X, bahan kontrasepsi, dan usaha melakukan abortus dapat mengakibatkan kelainan dengan RM. Rudapaksa setelah lahir tidak begitu sering mengakibatkan retardasi mental.
6. Gangguan metabolisme, pertumbuhan, atau gizi. Semua retardasi mental yang langsung disebabkan oleh gangguan metabolisme (misalnya gangguan metabolisme lemak, karbohidrat, dan protein), serta pertumbuhan atau gizi termasuk dalam kelompok ini. Gangguan gizi yang berat dan berlangsung lama sebelum umur 4 tahun sangat memengaruhi perkembangan otak serta dapat mengakibatkan retardasi mental. Keadaan dapat diperbaiki dengan memperbaiki sebelum umur 6 tahun. Sesudah ini biarpun anak itu dibanjiri dengan makanan bergizi, intelegensi yang rendah itu sudah sukar ditingkatkan.
7. Penyakit otak yang nyata (setelah kelahiran). Kelompok ini termasuk retardasi mental akibat tumor/kanker (tidak termasuk pertumbuhan sekunder karena rudapaksa atau peradangan) dan beberapa reaksi selsel otak yang nyata, tetapi yang belum diketahui betul penyebabnya (diduga turunan).
TANDA DAN GEJALA RETARDASI MENTAL
Gejala anak retardasi mental, antara lain sebagai berikut.
1. Lamban dalam mempelajari hal baru, mempunyai kesulitan dalam mempelajari pengetahuan abstrak atau yang berkaitan, dan selalu cepat lupa apa yang dia pelajari tanpa latihan yang terus-menerus.
2. Kesulitan dalam menggeneralisasi dan mempelajari hal-hal yang baru.
3. Kemampuan bicaranya sangat kurang bagi anak RM berat.
4. Cacat fisik dan perkembangan gerak. Kebanyakan anak dengan retardasi mental berat mempunyai keterbatasan dalam gerak fisik, ada yang tidak dapat berjalan, tidak dapat berdiri, atau bangun tanpa bantuan. Mereka lambat dalam mengerjakan tugas-tugas yang sangat sederhana, sulit menjangkau sesuatu, dan mendongakkan kepala.
5. Kurang dalam kemampuan menolong diri sendiri. Sebagian dari anak retardasi mental berat sangat sulit untuk mengurus diri sendiri, seperti berpakaian, makan, dan mengurus kebersihan diri. Mereka selalu memerlukan latihan khusus untuk mempelajari kemampuan dasar.
6. Tingkah laku dan interaksi yang tidak lazim. Anak tunagrahita ringan dapat bermain bersama dengan anak reguler, tetapi anak yang mempunyai retardasi mental berat tidak melakukan hal tersebut. Hal itu mungkin disebabkan kesulitan bagi anak retardasi mental dalam memberikan perhatian terhadap lawan main.
7. Tingkah laku kurang wajar yang terus-menerus. Banyak anak retardasi mental berat bertingkah laku tanpa tujuan yang jelas. Kegiatan mereka seperti ritual, misalnya memutar-mutar jari di depan wajahnya dan melakukan hal-hal yang membahayakan diri sendiri, misalnya menggigit diri sendiri, membentur-beturkan kepala, dll.
MASALAH KEPERAWATAN YANG TIMBUL
Risiko cedera berhubungan dengan perubahan mobilitas fisik atau perilaku agresif.
Kriteria outcome :
Klien tidak akan mengalami cedera.
Intervensi :
Menciptakan lingkungan yang aman bagi klien.
Memastikan bahwa barang-barang kecil tidak berserakan dan barang-barang tajam berada di luar jangkauan.
Letakkan benda yang klien sering gunakan pada tempat yang mudah dijangkau.
Pasang siderails dan jaga kepala klien dengan riwayat kejang.
Mencegah agresi fisik dan bertindak keluar perilaku dengan belajar untuk mengenali tanda-tanda bahwa klien menjadi gelisah.
Rasional :
Poin 1-5 : Keselamatan klien merupakan prioritas keperawatan.
Defisit perawatan diri berhubungan dengan mobilitas fisik berubah atau kurangnya kedewasaan.
Kriteria outcome :
Klien akan dapat berpartisipasi dalam aspek perawatan diri.
Intervensi :
Mengidentifikasi aspek perawatan diri yang mungkin berada dalam kemampuan klien. Bekerja pada satu aspek dari perawatan diri pada suatu waktu. Menyediakan hal sederhana, penjelasan konkret. Menawarkan umpan balik positif.
Rasional : Penguatan positif meningkatkan harga diri dan mendorong pengulangan perilaku yang diinginkan.
Ketika salah satu aspek perawatan diri telah dikuasai untuk yang terbaik dari kemampuan klien, pindah ke lain. Mendorong kemerdekaan tapi campur tangan ketika klien tidak dapat melakukan.
Rasional : Kenyamanan klien dan keselamatan merupakan prioritas keperawatan.
Cacat komunikasi verbal berhubungan dengan perubahan perkembangan.
Kriteria outcome :
Klien akan dapat mengkomunikasikan kebutuhan dan keinginan untuk staf.
Intervensi :
Menjaga konsistensi staf tugas dari waktu ke waktu.
Rasional : Konsistensi tugas staf memfasilitasi kepercayaan dan kemampuan untuk memahami tindakan dan komunikasi klien.
Mengantisipasi dan memenuhi kebutuhan klien sampai pola komunikasi yang memuaskan ditetapkan. Belajar (dari keluarga, jika mungkin) kata-kata khusus klien menggunakan yang berbeda dari norma. Mengidentifikasi gerakan nonverbal atau sinyal bahwa klien dapat menggunakan untuk menyampaikan kebutuhan jika komunikasi verbal tidak hadir. Praktek keterampilan komunikasi ini berulang kali.
Rasional : Beberapa anak dengan keterbelakangan mental, terutama di tingkat yang parah, hanya bisa belajar dengan pelatihan kebiasaan sistematis.
Kerusakan interaksi sosial berhubungan dengan kurangnya berbicara atau kesulitan mengikuti perilaku sosial konvensional.
Kriteria outcome :
Klien akan dapat berinteraksi dengan orang lain menggunakan perilaku yang diterima secara sosial dan sesuai dengan tingkat perkembangan.
Intervensi :
Tetap dengan klien selama interaksi awal dengan orang lain pada unit.
Rasional : Kehadiran individu dipercaya memberikan rasa aman.
Jelaskan kepada klien lain makna di balik beberapa gerakan nonverbal klien dan sinyal. Gunakan bahasa yang sederhana untuk menjelaskan kepada klien yang perilaku yang dapat diterima dan mana yang tidak. Menetapkan prosedur untuk modifikasi perilaku dengan imbalan untuk perilaku yang tepat dan penguatan permusuhan untuk perilaku yang tidak pantas.
Rasional : Hal positif, negatif, dan pujian dapat berkontribusi untuk perubahan yang diinginkan dalam perilaku. Hak istimewa ini dan hukuman secara individual ditentukan sebagai staf belajar suka dan tidak suka dari klien.
PENANGANAN RETARDASI MENTAL
Pencegahan Primer Dengan dilakukan pendidikan kesehatan pada masyarakat, perbaikan keadaan sosial ekonomi, konseling genetik, dan tindakan kedokteran, misalnya perawatan prenatal, pertolongan persalinan, pengurangan kehamilan pada wanita adolesen dan di atas usia 40 tahun, serta pencegahan radang otak pada anak-anak.
Pencegahan Sekunder Meliputi diagnosis dan pengobatan dini pada keadaan yang menyebabkan terjadinya retardasi mental.
Pencegahan Tertier Meliputi latihan dan pendidikan di sekolah luar biasa, obat-obatan neuroleptika, serta obat yang dapat memperbaiki mikrosirkulasi dan metabolisme otak.
ATTENTION DEFICIT HYPERACTIVITY DISORDER (ADHD)
PENGERTIAN
ADHD Attention deficit hyperactivity disorder (ADHD) merupakan gangguan perilaku yang ditandai oleh rentang perhatian yang buruk dan tidak sesuai dengan perkembangan atau ciri hiperaktivitas dan impulsif atau keduanya yang tidak sesuai dengan usia (Kaplan dan Sandock, 2007). ADHD adalah gangguan yang terjadi mulai sejak masa kanak-kanak, biasanya baru terdeteksi saat usia 7 tahun, atau ketika mulai masuk taman bermain (playgroup) dan taman kanak-kanak. ADHD memiliki tiga ciri utama yaitu:
1. tidak mampu memusatkan perhatian;
2. kesulitan mengendalikan impuls;
3. hiperaktivitas.
ETIOLOGI
1. Faktor genetik.
2. Faktor biokimia (dopamin, norefineprin, serotonin).
3. Kerusakan otak.
4. Faktor prenatal (ibu merokok saat hamil, keracunan, alkohol).
5. Perinatal (fetal distres, asfiksia).
6. Postnatal (kejang, CNS abnormalitas).
7. Zat makanan (pengawet).
8. Faktor lingkungan dan psikososial (stres, gangguan jiwa pada ibu saat mengandung, kemiskinan, besar di penjara).
TANDA DAN GEJALA
Perhatian Kurang (Inattention)
1. Sering gagal dalam memberikan perhatian secara mendetail.
2. Sering mengalami kesulitan dalam memberikan perhatian pada tugas atau aktivitas bermain.
3. Sering tampak tidak memperhatikan jika berbicara secara langsung.
4. Sering tidak mengikuti instruksi dan gagal menyelesaikan tugas.
5. Sering mengalami kesulitan dalam menyusun tugas.
6. Sering menolak dan tidak menyukai dalam tugas yang memerlukan usaha mengendalian mental.
7. Sering kehilangan hal-hal yang diperlukan untuk aktivitas.
8. Sering mudah dikacaukan dengan stimulus lain.
9. Sering lupa dalam aktivitas sehari-hari.
Hiperaktif (Hyperactive)
1. Sering gelisah dan duduk tidak tenang.
2. Sering meninggalkan tempat duduk di ruang kelas.
3. Sering lari-lari atau memanjat pada keadaan yang tidak semestinya.
4. Sering mengalami kesulitan dalam aktivitas bermain atau melakukan aktivitas dengan tenang.
5. Sering bertindak seolah-olah sedang mengemudikan motor.
6. Sering berbicara secara berlebihan.
Impulsif (Impulsive)
1. Sering berkata tanpa berpikir dalam menjawab sebelum pertanyaan selesai.
2. Sering mengalami kesulitan dalam menunggu giliran.
3. Sering menyela atau mengganggu orang lain.
MASALAH KEPERAWATAN YANG TIMBUL
Risiko cedera berhubungan dengan perilaku impulsif dan rawan kecelakaan dan ketidakmampuan untuk merasakan menyakiti diri.
Kriteria outcome :
Klien akan bebas dari cedera.
Intervensi:
Memastikan bahwa klien memiliki lingkungan yang aman. Menghapus objek dari daerah di mana klien akan melukai diri sebagai hasil dari random, gerakan hiperaktif.
Rasional : Benda yang sesuai dengan situasi hidup yang normal dapat berbahaya bagi anak yang kegiatannya bermotor berada di luar kendali.
Mengidentifikasi perilaku disengaja yang menempatkan anak pada risiko cedera. Lembaga konsekuensi pengulangan perilaku ini.
Rasional : Perilaku dapat dimodifikasi dengan penguatan permusuhan.
Jika ada risiko cedera yang berhubungan dengan kegiatan terapi tertentu, memberikan supervisi dan bantuan yang memadai, atau partisipasi batas klien pengawasan yang memadai tidak mungkin.
Rasional : Keselamatan klien merupakan prioritas keperawatan.
Cacat interaksi sosial berhubungan dengan perilaku mengganggu dan dewasa.
Kriteria outcome :
Klien akan mengamati batas yang ditetapkan pada perilaku mengganggu dan akan menunjukkan kemampuan untuk berinteraksi secara tepat dengan orang lain.
Intervensi :
Mengembangkan hubungan percaya dengan anak. Sampaikan penerimaan anak terpisah dari perilaku yang tidak dapat diterima.
Rasional : Penerimaan tanpa syarat meningkatkan perasaan harga diri.
Diskusikan dengan klien yang perilaku yang dan tidak dapat diterima. Jelaskan secara soal-fakta konsekuensi dari perilaku yang tidak dapat diterima. Melaksanakan.
Rasional : Penguatan permusuhan dapat mengubah perilaku yang tidak diinginkan.
Memberikan situasi kelompok untuk klien.
Rasional : Perilaku sosial yang tepat sering belajar dari umpan balik positif dan negatif dari teman sebaya.
Harga diri rendah berhubungan dengan sistem keluarga yang disfungsional dan umpan balik negatif.
Kriteria outcome :
Klien akan menunjukkan peningkatan perasaan diri oleh verbalisasi pernyataan positif tentang diri dan menunjukkan perilaku yang lebih sedikit menuntut.
Intervensi :
Memastikan bahwa tujuan yang realistis.
Rasional : tujuan realistis menetapkan klien untuk kegagalan, yang mengurangi harga diri.
Rencana kegiatan yang memberikan kesempatan untuk sukses.
Rasional : Sukses meningkatkan harga diri.
Menyampaikan penerimaan tanpa syarat dan hal positif.
Rasional : Penegasan klien manusia sebagai berharga dapat meningkatkan harga diri.
Menawarkan pengakuan usaha yang sukses dan penguatan positif untuk upaya yang dilakukan. Berikan umpan balik positif langsung bagi perilaku yang dapat diterima.
Rasional : penguatan positif meningkatkan harga diri dan dapat meningkatkan perilaku yang diinginkan.
TINDAKAN KEPERAWATAN
Tindakan keperawatan disesuaikan dengan masalah keperawatan yang timbul. Secara umum, terapi yang diberikan adalah farmakoterapi, psikoterapi, terapi perilaku, dan bimbingan belajar. Fokus pemberian terapi diutamakan untuk memperbaiki fungsi keluarga, fungsi sosial, dan mengurangi agresivitas.
Prognosis
1. Gejala berkelanjutan sampai remaja atau dewasa.
2. Membaik pada masa pubertas.
3. Hiperaktivitas hilang tetapi gangguan pemusatan perhatian dan impulsivitas tetap ada.
AUTISME
PENGERTIAN AUTISME
Autisme berasal dari kata auto yang berarti sendiri. Penyandang autisme seakan-akan hidup dalam dunianya sendiri. Istilah autisme baru diperkenalkan oleh Leo Kanner sejak tahun 1943 (Handojo, 2008). Autisme bukan suatu gejala penyakit, tetapi berupa sindroma (kumpulan gejala) yang terjadi penyimpangan perkembangan sosial, kemampuan berbahasa, dan kepedulian terhadap sekitar (Yatim, 2003). Menurut kamus psikologi, pengertian dari autisme adalah anak dengan kecenderungan diam dan suka menyendiri yang ekstrem. Anak autisme bisa duduk dan bermain berjam-jam lamanya dengan jemarinya sendiri atau dengan serpihan kertas, serta tampaknya mereka itu tenggelam dalam satu dunia sendiri.
PENYEBAB AUTISME
Autisme dipengaruhi oleh faktor eksternal dan internal. Faktor internal meliputi genetik, psikologis, neorobiologis, prenatal, natal, infeksi virus, dan trauma kelahiran. Sementara faktor eksternalnya antara lain lingkungan bahan kimia beracun, merkuri, timbal, kadmium, arsenik, dan aluminium (Handojo, 2008).
Faktor Internal
1. Faktor psikologis Orang tua yang emosional, kaku, dan obsesif, yang mengasuh anak mereka yang secara emosional atau akibat sikap ibu yang dingin (kurang hangat).
2. Neurobiologis Kelainan perkembangan sel-sel otak selama dalam kandungan atau sudah anak lahir dan menyebabkan berbagai kondisi yang memengaruhi sistem saraf pusat. Hal ini diduga karena adanya disfungsi dari batang otak dan neurolimbik.
3. Faktor genetik Adanya kelainan kromosom pada anak autisme, tetapi kelainan itu tidak berada pada kromosom yang selalu sama. Ditemukan 20 gen yang terkait dengan munculnya gangguan autisme, tetapi gejala autisme baru bisa muncul jika kombinasi dari banyak gen.
4. Faktor perinatal Adanya komplikasi prenatal, perinatal, dan neonatal. Komplikasi yang paling sering adalah perdarahan setelah trimester pertama, fetal distress, dan penggunaan obat tertentu pada ibu yang sedang hamil. Komplikasi waktu bersalin, terlambat menangis, gangguan pernapasan, dan anemia pada janin.
Faktor Eksternal
Faktor eksternal berasal dari lingkungan yaitu kontaminasi bahan kimia beracun dan logam-logam berat berikut ini (Yatim, 2003).
1. Merkuri (Hg) Logam berat merkuri merupakan cairan yang berwarna putih keperakan. Paparan logam berat Hg dapat berupa metyl mercury dan etyl mercury (thimerosal) dalam vaksin. Merkuri dapat memengaruhi otak, sistem saraf, dan saluran cerna. Racun merkuri menyebabkan defisit kognitif dan sosial termasuk kehilangan kemampuan berbicara atau kegagalan untuk mengembangkan gangguan memori, konsentrasi yang buruk, kesulitan dalam mengartikan kata-kata dari berbagai macam tingkah laku autisme.
2. Timbal Timbal dikenal sebagai neurotoksin yang diartikan sebagai pembunuh sel-sel otak. Kadar timbal yang berlebihan pada darah anak-anak akan memengaruhi kemampuan belajar anak, defisit perhatian, dan sindroma hiperaktivitas.
3. Kadmium (Cd) Kadmium merupakan bahan alami yang terdapat pada kerak bumi. Logam berat ini murni berupa logam. Logam berwarna putih perak lunak dapat menyebabkan kerusakan sel membran sehingga logam berat lain dipercepat atau dipermudah masuk ke dalam sel.
4. Arsenik (As) Arsenik banyak digunakan pengusaha atau kontraktor untuk membangun ruang bermain, geladak kapal, atau pagar rumah. Arsenik dapat diisap, ditelan, dan diabsorbsi lewat kontak kulit. Arsenik dapat disimpan di otak, tulang, dan jaringan tubuh, serta akan merusaknya secara serius. Gejalanya yang berlangsung lambat dapat menyebabkan diabetes dan kanker, juga dapat menyebabkan stroke dan sakit jantung. Dalam jangka lama dapat merusak liver, ginjal, dan susunan saraf pusat.
5. Aluminium (Al) Keracunan aluminium adalah keadaan serius yang terjadi bila mengabsorbsi sejumlah besar aluminium yang sering disimpan di dalam otak. Pemaparan aluminium didapatkan dari konsumsi aluminium dari produk antasid dan air minum (panic aluminium). Aluminium masuk ke tubuh lewat sistem digestif, paru-paru, dan kulit sebelum masuk ke jaringan tubuh.
KELAINAN DI OTAK AKIBAT AUTISME
Kelainan Neurokimia
Penurunan kadar neurotransmiter serotonin terutama pada sel purkinye serebellum. Anak normal memiliki kandungan serotonin pada sel purkinye serebellum cukup tinggi.
Kelainan Neuroanatomi
Anak autisme didapatkan kelainan neuroanatomi pada beberapa tempat. Hasil pemeriksaan otopsi didapatkan pengecilan serebellum utama terjadi hipoplasia lobus VI–VII sehingga mengakibatkan produksi serotonin menurun dan lalu lintas rangsangan informasi antara sel otak menjadi kacau. Didapatkan juga kerusakan hemisfer otak kiri yang menyebabkan ganguan bahasa ekspresif, seperti ucapan kata (area broca) dan reseptif (pengertian [Wernicke]). Selain itu, terdapat gangguan pada lobus pariestalis, yakni sebanyak 43% dari jumlah kasus autisme ditemukan terjadi atropi lobus paretalis, jumlah sel otak menurun, sehingga mengakibatkan perhatian pada lingkungan terganggu, serta anak menjadi acuh tak acuh pada lingkungan. Pada PET scan dan MRI didapatkan gangguan pada sistem limbik (daerah hipokampus dan amigdala). Sel neuron tumbuh padat dan kecil yang menyebabkan fungsi neuron menjadi kurang baik.
GEJALA AUTISME
Autisme timbul sebelum anak mencapai usia tiga tahun dan sebagian anak memiliki gejala itu sudah ada sejak lahir. Seorang ibu yang sangat cermat memantau perkembangan anaknya sudah akan melihat beberapa keganjilan sebelum anaknya mencapai usia satu tahun. Hal yang sangat menonjol adalah tidak adanya atau sangat kurangnya tatapan mata.
Sebagian kecil dari penyandang autisme sempat berkembang normal, tetapi sebelum mencapai umur tiga tahun perkembangan terhenti, kemudian timbul kemunduran dan mulai tampak gejala-gejala autisme. Faktor pencetusnya misalnya ditinggal oleh orang terdekat secara mendadak, punya adik, sakit berat, bahkan ada yang gejalanya timbul setelah mendapatkan imunisasi.
Gejala-gajala akan tampak makin jelas setelah anak mencapai usia tiga tahun, yaitu meliputi hal berikut (IDAI, 2004).
1. Gangguan dalam bidang komunikasi verbal dan nonverbal.
a. Terlambat bicara.
b. Meracau dengan bahasa yang tak dapat dimengerti orang lain.
c. Bila kata-kata mulai diucapkan, ia tidak mengerti artinya.
d. Bicara tidak dipakai untuk komunikasi.
e. la banyak meniru atau membeo (echolalia).
f. Beberapa anak sangat pandai menirukan nyanyian, nada, dan kata-kata tanpa mengerti artinya. Sebagian dari anak-anak ini tetap tak dapat bicara sampai dewasa.
g. Bila menginginkan sesuatu ia menarik tangan yang terdekat dan mengharapkan tangan tersebut melakukan sesuatu untuknya.
2. Gangguan dalam bidang interaksi sosial.
a. Menolak atau menghindar untuk bertatap mata.
b. Tak mau menengok bila dipanggil.
c. Sering kali menolak untuk dipeluk.
d. Tak ada usaha untuk melakukan interaksi dengan orang lain, lebih asyik main sendiri.
e. Bila didekati untuk diajak main, ia malah menjauh.
3. Gangguan dalam bidang perilaku.
a. Perilaku yang berlebihan (excess) dan kekurangan (deficient).
1) Contoh perilaku yang berlebihan adalah adanya hiperaktivitas motorik, seperti tidak bisa diam, jalan mondar-mandir tanpa tujuan yang jelas, melompatlompat, berputar-putar, memukul-mukul pintu atau meja, mengulang-ulang suatu gerakan tertentu.
2) Contoh perilaku yang kekurangan adalah duduk diam bengong dengan tatap mata yang kosong, melakukan permainan yang sama atau monoton dan kurang variatif secara berulang-ulang, sering duduk diam terpukau oleh sesuatu misalnya bayangan dan benda yang berputar.
b. Kadang-kadang ada kelekatan pada benda tertentu, seperti kartu, kertas, gambar, gelang karet, atau apa saja yang terus dipeganganya dan dibawa ke mana saja.
c. Perilaku ritual (ritualistic).
4. Gangguan dalan bidang perasaan atau emosi.
a. Tidak dapat ikut merasakan apa yang dirasakan orang lain, misalnya melihat anak menangis, maka ia tidak merasa kasihan, tetapi merasa terganggu dan anak yang menangis tersebut mungkin didatangi dan dipukul.
b. Kadang tertawa sendiri, menangis, atau marah tanpa sebab yang nyata.
c. Sering mengamuk takterkendali (bisa menjadi agresif dan destruktif). 5. Gangguan dalam persepsi sensori.
a. Mencium atau menggigit mainan atau benda apa saja.
b. Bila mendengar suara tertentu, maka ia langsung menutup telinga.
c. Tidak menyukai rabaan atau pelukan.
d. Merasa sangat tidak nyaman bila dipakaikan pakaian dari bahan yang kasar.
PENATALAKSANAAN MENYELURUH
1. Terapi psikofarmaka Kerusakan sel otak di sistem limbik, yaitu pusat emosi akan menimbulkan gangguan emosi dan perilaku temper tantrum, agresivitas baik terhadap diri sendiri maupun pada orang-orang di sekitarnya, serta hiperaktivitas dan stereotipik. Untuk mengendalikan gangguan emosi ini diperlukan obat yang memengaruhi berfungsinya sel otak. Obat yang digunakan antara lain sebagai berikut.
a. Haloperidol Suatu obat antipsikotik yang mempunyai efek meredam psikomotor, biasanya digunakan pada anak yang menampakkan perilaku temper tantrum yang tidak terkendali serta mempunyai efek lain yaitu meningkatkan proses belajar biasanya digunakan dalam dosis 0,20 mg.
b. Fenfluramin Suatu obat yang mempunyai efek mengurangi kadar serotonin darah yang bermanfaat pada beberapa anak autisme.
c. Naltrexone Merupakan obat antagonis opiat yang diharapkan dapat menghambat opioid endogen sehingga mengurangi gejala autisme seperti mengurangi cedera pada diri sendiri dan mengurangi hiperaktivitas.
d. Clompramin Merupakan obat yang berguna untuk mengurangi stereotipik, konvulsi, perilaku ritual, dan agresivitas, serta biasanya digunakan dalam dosis 3,75 mg.
e. Lithium Merupakan obat yang dapat digunakan untuk mengurangi perilaku agresif dan mencederai diri sendiri.
f. Ritalin Untuk menekan hiperaktivitas.
2. Terapi perilaku Penatalaksanaan gangguan autisme menggunakan metode Lovass. Metode Lovass adalah metode modifikasi tingkah laku yang disebut dengan Applied Behavioral Analysis (ABA). ABA juga sering disebut sebagai intervensi perilaku (behavioral intervension) atau modifikasi (behavioral modification). Dasar pemikirannya adalah perilaku yang diinginkan atau yang tidak diinginkan bisa dikontrol atau dibentuk dengan sistem penghargaan (reward) dan hukuman (punishment). Pemberian penghargaan akan meningkatkan frekuensi munculnya perilaku yang diinginkan, sedangkan hukuman akan menurunkan frekuensi munculnya perilaku yang tidak diinginkan.
3. Terapi bicara Gangguan bicara dan berbahasa diderita oleh hampir semua anak autisme. Tata laksana melatih bicara dan berbahasa harus dilakukan karena merupakan gangguan yang spesifik pada anak autisme. Anak dipaksa untuk berbicara kata demi kata, serta cara ucapan harus diperhatikan. Setelah mampu berbicara, diajarkan berdialog. Anak dipaksa untuk memandang terapis, karena anak autisme tidak mau adu pandang dengan orang lain. Dengan adanya kontak mata, maka diharapkan anak dapat meniru gerakan bibir terapis.
4. Terapi okupasional Melatih anak untuk menghilangkan gangguan perkembangan motorik halusnya dengan memperkuat otot-otot jari supaya anak dapat menulis atau melakukan keterampilan lainnya.
5. Terapi fisik Autisme adalah suatu gangguan perkembangan pervasif. Banyak di antara individu autis mempunyai gangguan perkembangan dalam motorik kasarnya. Fisioterapi dan terapi integrasi sensoris akan sangat banyak menolong untuk menguatkan otot-ototnya dan memperbaiki keseimbangan tubuhnya.
6. Terapi sosial Kekurangan yang paling mendasar bagi individu autis adalah dalam bidang komunikasi dan interaksi. Banyak anak-anak ini membutuhkan pertolongan dalam keterampilan berkomunikasi dua arah dan main bersama di tempat bermain. Seorang terapis sosial membantu dengan memberikan fasilitas pada mereka untuk bergaul dengan temanteman sebaya dan mengajari cara-caranya.
7. Terapi bermain Meskipun terdengarnya aneh, seorang anak autistik membutuhkan pertolongan dalam belajar bermain. Bermain dengan teman sebaya berguna untuk belajar bicara, komunikasi, dan interaksi sosial. Seorang terapis bermain bisa membantu anak dalam hal ini dengan teknik-teknik tertentu.
8. Terapi perkembangan Floortime, Son-rise, dan Relationship Developmental Intervention (RDI) dianggap sebagai terapi perkembangan. Artinya anak dipelajari minatnya, kekuatannya, dan tingkat perkembangannya, kemudian ditingkatkan kemampuan sosial, emosional, dan intelektualnya.
9. Terapi visual Individu dengan autisme lebih mudah belajar dengan melihat (visual learners atau visual thinkers). Hal ini yang kemudian dipakai untuk mengembangkan metode belajar komunikasi melalui gambar-gambar, misalnya dengan metode Picture Exchange Communication System (PECS). Beberapa video games bisa juga dipakai untuk mengembangkan keterampilan komunikasi.
10. Pendidikan khusus Anak autisme mudah terganggu perhatiannya, sehingga pada pendidikan khusus satu guru menghadapi satu anak dalam ruangan yang tidak luas dan tidak ada gambargambar di dinding atau benda-benda yang tidak perlu, yang dapat mengalihkan perhatian anak. Setelah ada perkembangan, maka mulai dilibatkan dalam lingkungan kelompok kecil, kemudian baru kelompok yang lebih besar. Bila telah mampu bergaul dan berkomunikasi, maka mulai dimasukkan pendidikan biasa di TK dan SD untuk anak normal.
11. Terapi alternatif Terapi yang digolongkan terapi altenatif adalah semua terapi baru yang masih berlanjut dengan penelitian. Salah satunya adalah terapi detoksifikasi. Terapi ini menggunakan nutrisi dan toksikologi. Terapi ini bertujuan untuk menghilangkan atau menurunkan kadar bahan-bahan beracun yang lebih tinggi dalam tubuh anak autisme dibanding dengan anak normal, agar tidak mengancam perkembangan otak. Kandungan yang dikeluarkan terutama bahan beracun merkuri atau air raksa dan timah yang memengaruhi sistem kerja otak. Terapi ini meliputi mandi sauna, pemijatan, dan shower, yang diikuti olahraga, konsumsi vitamin dosis tinggi, serta air putih minimal dua liter sehari. Tujuannya untuk mengeluarkan racun yang menumpuk dalam tubuh.
MASALAH KEPERAWATAN YANG TIMBUL
1. Resiko melukai diri sendiri berhubungan dengan perubahan neurologis.
Kriteria outcome :
Klien tidak akan membahayakan diri sendiri.
Intervensi :
Bekerja dengan anak atas dasar satu-ke-satu.
Rasional : Interaksi satu-ke-satu memfasilitasi kepercayaan.
Cobalah untuk menentukan apakah perilaku diri mutilative terjadi sebagai respons terhadap meningkatnya kecemasan, dan jika demikian, apa hal yang mungkin menyebabkan kecemasan.
Rasional : Perilaku Mutilative dapat dihindari jika penyebabnya dapat ditentukan dan diringankan.
Cobalah untuk campur tangan dengan kegiatan pengalihan atau penggantian dan menawarkan diri untuk anak ketika tingkat kecemasan mulai naik.
Rasional : Kegiatan pengalihan dan penggantian dapat memberikan perasaan terhadap bidang keamanan dan pengganti perilaku diri mutilative.
Melindungi anak ketika perilaku diri mutilative terjadi. Perangkat seperti helm, sarung tangan tangan empuk, atau lengan selimut dapat memberikan perlindungan ketika risiko untuk menyakiti diri ada.
Rasional : Keselamatan klien adalah prioritas intervensi keperawatan.
Gangguan Interaksi Sosial berhubungan dengan ketidakmampuan untuk percaya; perubahan neurologis.
Kriteria outcome :
Klien akan memulai interaksi sosial dengan pengasuh.
Intervensi :
Menetapkan sejumlah pengasuh untuk anak. Pastikan bahwa kehangatan, penerimaan, dan ketersediaan disampaikan.
Rasional : Kehangatan, penerimaan, dan ketersediaan, bersama dengan konsistensi tugas, meningkatkan pembentukan dan pemeliharaan hubungan saling percaya.
Memberikan anak dengan benda-benda asing, seperti mainan akrab atau selimut. Mendukung upaya anak untuk berinteraksi dengan orang lain.
Rasional : benda-benda familiar dan kehadiran individu terbesar memberikan keamanan selama masa stress.
Berikan penguatan positif untuk kontak mata dengan sesuatu yang dapat diterima untuk anak (misalnya, makanan, objek akrab). Secara bertahap menggantikan dengan penguatan sosial (misalnya, sentuhan, tersenyum, memeluk).
Rasional : Mampu menjalin kontak mata adalah penting untuk kemampuan anak untuk membentuk hubungan interpersonal yang memuaskan.
Cacat komunikasi verbal berhubungan dengan Penarikan ke dalam diri; stimulasi sensorik yang tidak memadai; perubahan neurologis.
Kriteria outcome :
Klien akan membangun sarana berkomunikasi kebutuhan dan keinginan orang lain.
Intervensi :
Menjaga konsistensi dalam penilaian dari pengasuh.
Rasional : Konsistensi memfasilitasi kepercayaan dan meningkatkan kemampuan pengasuh untuk memahami upaya anak untuk berkomunikasi.
Mengantisipasi dan memenuhi kebutuhan anak sampai komunikasi dapat didirikan.
Rasional : Mengantisipasi kebutuhan membantu untuk meminimalkan frustrasi saat anak belajar keterampilan komunikasi.
Mencari klarifikasi dan validasi.
Rasional : Validasi memastikan bahwa pesan yang dimaksudkan telah disampaikan.
Berikan penguatan positif saat kontak mata digunakan untuk menyampaikan ekspresi non verbal.
Rasional : Penguatan positif meningkatkan harga diri dan mendorong pengulangan.
Gangguan identitas diri berhubungan dengan stimulasi sensorik yang tidak memadai; perubahan neurologis.
Kriteria outcome :
Klien akan menyebutkan bagian tubuh sendiri sebagai terpisah dan individu dari orang lain.
Intervensi :
Membantu anak untuk mengenali keterpisahan selama aktivitas perawatan diri, seperti berpakaian dan makan.
Rasional : Pengakuan bagian tubuh selama berpakaian dan makan meningkatkan kesadaran anak diri sebagai terpisah dari orang lain.
Membantu anak dalam belajar untuk nama bagian tubuh sendiri. Hal ini dapat difasilitasi dengan menggunakan cermin, gambar, dan foto-foto anak. Mendorong menyentuh tepat, dan disentuh oleh, orang lain.
Rasional : Semua kegiatan ini dapat membantu meningkatkan kesadaran anak diri sebagai terpisah dari orang lain.
DIET UNTUK ANAK AUTIS
Selain tindakan keperawatan harus disesuaikan dengan masalah keperawatan, ada beberapa aturan diet khusus pada anak autis. Hal ini patut dipertimbangkan, karena faktor eksternal penyebab autis adalah banyak yang belum dapat dijelaskan dengan tegas, dan banyak terkait dengan konsumsi makanan yang mengandung logam berat.
Makanan yang Harus Dihindari
1. Gluten, yaitu pada gandum, terigu, mie, spageti, makanan ringan, dan lain-lain. Produk olahan (gluten), seperti kecap, roti, kue, dan sebagainya.
2. Kasein, yaitu susu sapi, kambing, keju, es krim, mentega, yoghurt, kue kemasan (cookies).
3. Makanan yang mengandung penyedap rasa.
4. Bahan pemanis dan pewarna buatan, seperti permen, saos tomat, minuman kemasan (soft drink), dan lain-lain.
5. Makanan yang diawetkan, seperti bakso, pangsit.
6. Makanan cepat saji (fastfood).
7. Buah yang harus dihindari, yakni pisang, apel, anggur, jeruk, tomat.
8. Semua makan yang menjadi alergen.
9. Penurun panas yang ada, misalnya asetil salisilat, asetaminofen, parasetamol.
Makanan yang Boleh
1. Tepung, seperti ketan, beras, kedelai, tapioka, sagu, hunkwe, soun, bihun, kentang.
2. Buah, seperti pepaya, semangka, melon, nanas.
3. Bahan pewarna alami, misalnya daun pandan, kunyit, coklat bubuk.
4. Margarin dari tumbuhan, santan.
5. Obat penurun panas, misal ibuprofen (proris).
DOWN SYNDROME
Down syndrome adalah salah satu bentuk mental retardation yang umum dan sering dijumpai dalam kehidupan masarakat. Adapun ciri-ciri umum pada penderita down syndrome adalah memiliki wajah yang bundar seperti bulan purnama dengan mata sipit yang ujung-ujungnya tertarik ke atas. Hingga saat ini belum diketauhi faktor penyebab kerusakan kromosom yang dianggap sebagai pemicu kelainan genetis pada down syndrome. Beberapa faktor yang diperkirakan yang turut berperan diantaranya faktor usia ibu yang sudah cukup dewasa untuk hamil yang terlalu muda dan terpaparnya obat-obatan dan alkohol.
Adapun penderita down syndrome memiliki tiga karakter yang khas, yaitu memiliki taraf iq yang rendah, keterbelakangan secara fisik maupun mental dan memiliki daya tahan yang lemah. Adapun penderita down syndrome juga memiliki keistimewaan yang lain yakni pintar meniru. Jika mereka bersekolah bersama-sama dengan anak autis maka anak down syndrome akan cenderung meniru perilaku anak autis yang hiperaktif.
GEJALA KLINIS DOWN SYNDROME
Gejala yang biasanya merupakan keluhan utama dari orang tua adalah retardasi mental atau keterbelakangan mental. Pada bayi baru lahir dokter tidak sulit menduga adanya down syndrome karena gambaran wajah yang khas, tubuh yang sangat lentur, otot-ototnya sangat lemas sehingga memperlambat gerak bayi.
Pada saat masih ada dalam kandungan sulit untuk menentukan diagnosanya, apa lagi orang tuanya memiliki bentuk mata yang sipit dan kecil. Adapun kemampuan berpikir digolongkan pada idiot atau imbesil dan akan tidak mampu melebihi seorang anak yang berumur tujuh tahun. Wajah anak tersebut sangatlah khas dengan bentuk kepala agak kecil dengan daerah oksipital yang mendatar. Mukanya lebar, tulang pipi tinggi, hidung pesek, mata letaknya berjauhan, serta sipit miring ke atas dan ke samping. Iris mata menunjukkan bercak-bercak, lipatan epikantus jelas sekali. Bentuk telinga agak aneh, bibir tebal dan lidah besar,kasar, dan bercelah-celah.
Pertumbuhan gigi sangatlah terganggu, kulit halus dan longgar berwarna normal. Pada leher terdapat lipatan-lipatan yang berlebihan, pada jari tangan terdapat kelingking yang pendek yang membengkok ke dalam. Jarak antara jari satu dan dua, baik tangan maupun kaki agak besar, gambaran telapak tangan tampak tidak normal. Biasanya alat kelamin pada penderita down syndrome biasanya lebih kecil otot hipotonik dan pergerakan sendi berlebihan. Mereka sering mengalami kelainan jantung bawaan, defek septum ventrikel penyakit terutama pada saluran pernafasan sangat menyerang pada anak down syndrome dan memiliki angka kejadian leukemia yang tinggi.
TERAPI DOWN SYNDROME
Hingga saat ini belum ditemukan metode penyembuhan yang efektif untuk penyembuhan down syndrome. Pada awal penderita down syndrome mengalami kemunduran sistem penglihatan, pendengaran maupun kemampuan fisik meningkat tonus otot yang lemah. Tindakan pembedahan biasanya dilakukan pada penderita down syndrome yang memiliki defek jantung, karena diperkirakan efek kelainan dalam mengalami defek jantung membuat penderita lebih cepat meninggal.
PENCEGAHAN DOWN SYNDROME
Deteksi dini gangguan down syndrome dilakukan dengan pemeriksaan kromosom melalui amniocentesis bagi para ibu-ibu hamil, terutama pada bulan awal kehamilan.Terlebih lagi bagi ibu yang memiliki anak down syndrome atau ibu yang hamil pada usia 40 tahun ke atas harus memperhatikan dengan hati-hati memantau perkembangan janinya karena memiliki resiko melahirkan anak down syndrome.
PENGKAJIAN
1. Selama Masa Neonatal Yg Perlu Dikaji :
a. Keadaan suhu tubuh
b. Kebutuhan nutrisi / makan
c. Keadaan indera pendengaran dan penglihatan
d. Pengkajian ttg kemampuan kognitif dan perkembangan mental anak
e. Kemamp anak dlm berkomunikasi dan bersosialisasi
f. Kemampuan motorik
g. Kemampuan keluarga dlm merawat anak dgn syndrom down t/u ttg kemajuan perkemb mental anak
2. Pengkajian thd kemamp motorik kasar dan halus
3. Pengkajian kemamp kognitif dan perkemb mental
4. Pengkajian terhadap kemampuan anak untuk berkomunikasi
5. Tes pendengaran, penglihatan dan adanya kelainan tulang
6. Bgmn penyesuaian keluarga thd diagnosis dan kemajuan perkemb mental anak.
DIAGNOSA KEPERAWATAN
Perubahan nutrisi (pada neonatus) kurang dari kebutuhan berhubungan dengan kesulitan pemberian makanan karena lidah yg menjulur dan palatum yang tinggi.
Intervensi :
Pantau berat badan anak
Periksa kemampuan anak untuk menelan
Beri informasi pada orang tua cara yang tepat dalam memberi makanan
Kolaborasi dengan ahli gizi dalam pemberian makan
Resiko cidera berhubungan dengan kemampuan pendengaran yang berkurang.
Intervensi :
Anjurkan orang tua untuk memeriksakan pendengaran dan penglihatan secara rutin
Anjurkan aktivitas bermain dan olahraga yang sesuai dengan maturasi fisik anak, ukuran, koordinasi dan ketahanan
Tidak efektifnya koping keluarga berhubungan dengan faktor finansial yang dibutuhkan dalam perawatan dan mempunyai anak yg tidak normal.
Intervensi :
Dorong orang tua untuk mengungkapkan perasaan rasa takut dan perhatian
Nilai pengertian orang tua terhadap kondisi anak
Menjadi pendengar yang aktif, dorong orang tua untuk bertanya lalu menjawab sesuai dengan kemampuan dan pemahaman
Dorong partisipasi aktif orang tua dalam perawatan anak semasa di rumah sakit dan memberikan dukungan bantuan yang positif
Berikan penerimaan masyarakat secara layak
Tingkatkan pengertian orang tua terhadap kebutuhan anak
Beri informasi pada orang tua tentang perawatan anak dengan syndrom down
Kurangnya interaksi sosial anak berhubungan dengan keterbatasan fisik dan mental yg mereka miliki.
Intervensi :
Motivasi orang tua agar memberi kesempatan pada anak untuk bermain dengan teman sebayanya
Memberi keleluasan/ kebebasan pada anak untuk berekspresi
Menganjurkan orang tua untuk mengikutsertakan anaknya di day care, play group atau sekolah
DAFTAR PUSTAKA
Maramis W.F. 2010. Catatan Ilmu Kedokteran Jiwa. Surabaya: Airlangga University Press.
Somantri dan Sutjihati. 2006. Psikologi Anak Luar Biasa. Bandung: Refika Aditama.
Delphie, B. 2005. Pembelajaran Anak Tunagrahita. Bandung: Refika Aditama.
Soetjiningsih. 1998. Tumbuh kembang Anak. Surabaya: Airlangga University Press.
Kaplan dan Sandock. 2007. Synopsis of Psychiatry. Behavior Sciences/Clinical Psychiatry. 10th Edition. Philadelphia: Lippincott Williams & Wilkins.
Maslim R. 2002. Buku Saku; Diagnosis Gangguan Jiwa, Rujukan Ringkas dari PPDGJ III, Jakarta: FK Unika Atmajaya.
Stuart, G. W. dan Sundeen, S. J. 2002. Buku Saku Keperawatan Jiwa. Edisi 3. Jakarta: EGC.
Handojo, Y. 2008. Autisme: Petunjuk Praktis dan Pedoman Materi untuk Mengajar Anak Normal, Autis, dan Perilaku Lain. Jakarta: Bhuana Ilmu Populer.
Judarwanto. 2007.Terapi Anak Autis di Rumah. Jakarta: Puspa Swara.
Pusponegoro, H., D. 2006. "Apakah yang Dimaksud dengan Autisme". http://www.idai.or.id
Twoy, R., Connolly, P. M. dan Novak, J. M. 2006. “Coping Strategies Used by Parents of Children with Autism”. Journal of the American Academy of Nursing Practitioners 19(2007).
Yayasan Autisme Indonesia. 2007. "10 Jenis Terapi Autis". http://autism.or.id. 20 Februari 2009.
Yatim, F. 2003. Autisme: Suatu Gangguan Jiwa pada Anak. Jakarta: Pustaka Populer Obor.
30