22 Januari 2013
Filsafat Politik
NB:
Menjawab Ujian perlu terstruktur. Misalnya: bukan sekadar penuh dari ujung ke ujung, tetapi harus terstruktur, harus memiliki jalan pikiran logis. Perlu pengantar, subjudul, paragraf, stabilo, garis bawah, pulpen dua warna (wajib – kalau tidak nilai dikurangi). Ujian Rm. Armada harus menyelesaikan soal, hukumnya wajib, entah dengan alasan apapun, karena ini tanda keseriusan. Kalau tidak selesai, artinya tidak serius.
Untuk semester ini, kuliah akan dipadatkan dengan memanfaatkan hari-hari tambahan. Kuliah akan diselesaikan dua minggu sebelum waktunya.
Pengantar
Kuliah FP punya kepentingan besar, dan banyak yang usul agar FP tidak diberikan di akhir program sarjana, tetapi tentunya ini sulit untuk diwujudkan sehubungan dengan penyesuaian SKS. Pengenalan politik, berawal dari pengenal hidup sehari-hari. Arti politik sering dimengerti secara sempit yaitu dalam kaitan dengan perebutan kekuasaan. Tentu ini salah satu makan yang merupakan deviasi (pembelokan) atau yang bukan merupakan natura, atau pengertian politik yang dimaksud oleh akal budi manusia. Politik itu, dalam filsafat yang diajarkan para filosof klasik sekelas Plato, Aristoteles, dkk. Politik berarti tata hidup bersama. Kepentingan penataan hidup bersama inilah yang menjadi pergulatan dalam kuliah FP. Siapa pun kita, politik itu tidak mungkin menjadi disposisi yang bisa kamu acuh-tak-acuh-kan. Kalau kita bergerak di bidang apa pun, partisipasi kita sebagai penata hidup, sungguh tak bisa dipungkiri.
Bahan kuliah kita berasal dari buku “Berfilsafat Politik” karena buku ini akan menjadi sumber penting untuk perkuliahan, tugas, dan ujian.
Kepentingan Etika Politik
Kepentingan Etika Politik membuat mereka yang belajar filsafat teologi, dapat berdialog dengan perkara-perkara zaman, ini juga menjadi ekshortasi Optatam Totius. Perlunya pemahaman yang menyeluruh soal persoalan manusia. Dalam konteks Gereja, perkara-perkara yang digumuli oleh Gereja, semua yang merupakan tata hidup Gereja dan kesaksian iman, tak pernah lepas dari konteks tatanan hidup bersama.
Contoh tarekat yang hidup adalah tarekat yang memiliki kepekaan dalam mendengarkan perkara-perkara zaman ini. Tarekat akan redup bahkan Gereja akan redup ketika mengambil jarak dari konteks. Hal ini dipandang sebagai tema pembicaraan yang sangat serius misalnya di Eropa. Yang dimaksud sekularisme dalam pergulatan refleksi filsafat teologis, bukan perkara pemisahan dengan urusan Gereja dan urusan negara, tetapi juga sekularisme membuat Gereja tidak berkutik karena tidak memperhatikan konteks perubahan perkara-perkara manusia dalam zamannya. Gereja hanya seperti berhenti pada wilayah sakristi, tetapi tidak masuk mengurus dalam pergumulan lingkup yang lebih profan, misalnya urusan tata hukum. Baru-baru ini di Prancis terjadi demo besar karena parlemen Prancis akan meratifikasi perkawinan homoseksual. Di beberapa negara sudah terjadi, dan mendadak Gereja betul-betul sekarang turun ke jalan, untuk membela kalau pasangan ini legal, maka anak tidak bisa menyebut bapak dan ibu dalam perkawinan homoseksual, karena jika perkawinan dilegalkan, adopsi anak pun terbuka bagi mereka. Di banyak tempat hal ini tidak bisa dilawan lagi, karena Gereja tidak punya kekuatan. Jika hal ini terjadi, kehidupan dunia menjadi tidak menarik sama sekali.
Kritik terhadap Gereja Eropa ialah urusan teologi menjadi begitu hebat, tetapi dalam kaitannya dengan bagaimana mereka bernegosiasi dengan perkara zamannya, tampaknya begitu enggan. Hendaknya setiap komunitas Gerejawi, termasuk komunitas biara-biara juga menjadi tata hidup masyarakat setempat.
POLITIK
Kita akan memulai dari apa yang disebut dengan politik. Politik berasal dari kata “Polis”. Polis dalam filsafat Yunani, merujuk pada tatanan, pada sistem kehidupan.
Dalam politik Yunani, langsung merujuk dan berkaitan dengan etika. Apa yang dimaksud dengan Etika? Etika adalah salah satu cabang filsafat
Kehidupan Yunani diwarnai dengan aneka tragedi, salah satunya ialah apa yang terjadi dengan adanya banyak pertempuran. Misalnya perang antara Hector dan Achilles, yang terjadi bukan sekadar perang, melainkan di sana ada sekian banyak nilai etika yang menjadi pergulatan. Perang, siapa yang mendapat glory (kemuliaan)? Ada yang mengatakan bahwa yang mendapat glory adalah yang menang. Tetapi ini adalah sudut pandang penonton perang. Bagi yang berperang, glory menjadi milik ...
Cara belajar etika bukan memosisikan diri sebagai penonton, tetapi masuk di dalamnya. Bagi orang Yunani, perang bukan tontonan. Perang berarti hidup itu sendiri. Perang adalah hidup manusia Yunani. Persoalannya, bagaimana hidup dengan baik? Hidup dengan baik, artinya berperang dengan baik. Etika itu menuntun manusia untuk mencari kebaikan. Etika berarti sama seperti ketika kita masuk dalam hidup itu sendiri, yaitu berperang dengan baik. Apa artinya? Artinya, saya harus berlatih bukan untuk terampil memegang senjata, tetapi untuk mengajarkan bagaimana untuk menghormati fair play, berperang dengan keberanian, keadilan, dan kejujuran. Diajarkan bahwa mundur itu tindakan pengecut, tidak menyerah, itulah kehormatan. Maka yang mendapat glory dalam perang adalah orang yang berperang dengan baik, bukan orang yang bisa membunuh. Setiap orang yang berperang dengan baik, meskipun mati di medan perang, dia menerima kehormatan.
29 Januari 2013
Salah satu komponen untuk mengerti buku “Berfilsafat Politik”, bahwa filsafat politik itu amat berkaitan dengan sejarah. Ada suat karakter historis atau historisitas yang tak bisa ditinggalkan oleh apa yang disebut dengan pergumulan filsafat politik. Di dalamnya termasuk juga kalau kita mau memahami politik Indonesia. Sejarah tak bisa ditanggalkan dalam mengelola tata hidup bersama. Yang dimaksud sejarah itu bukan terutama peristiwa-peristiwa. Sejarah yang dimaksud diringkas dalam terminologi historisitas. Historisitas adalah ketika kita berhadapan dengan sejarah, kita tidak berhadapan dengan peristiwa yang telah lewat, tetapi dengan makna yang tak bisa dipandang sepele begitu saja.
Filsafat politik yang ingin disampaikan adalah filsafat politik yang juga uraiannya tidak hanya disimak dari filosof barat, tetapi juga dari sejarah perjalanan bangsa ini. Kelanjutan dari makna, makna hanya didapat dengan cara pandang yang benar ketika kita memahami sejarah politik bangsa Indonesia. Makna bukan sekadar peristiwa tetapi juga menyentuh framework / rangka keseluruhan dari pergulatan bangsa Indonesia. Kita tidak bisa menilai suatu peristiwa tanpa memahami panorama sejarah bangsa Indonesia. Misalnya tragedi 1965, tidak boleh dipandang bahwa komunisme itu sekadar ideologi yang menjadi musuh bangsa ini yang dideklarasikan militer. Kita harus punya logika kecil bahwa masa-masa perang dunia II yang selesai tahun 1945 yang ditandai kekalahan Jepang, dan dengan demikian invasi militer Jepang menjadi negara merdeka, sebenarnya belum merdeka. Sebenarnya yang terjadi adalah perang ideologi, misalnya juga seperti di Timor Leste, perang saudara yang juga mengandung perang ideologi. Hal yang sama juga terjadi di Vietnam, Kamboja, dll. Perang tidak berhenti pada 1945, tetapi berlanjut dengan perang ideologi di negara-negara bersangkutan, termasuk di dalamnya Indonesia. Tahun 1955 dst. ada konstituante, pada saat yang sama, negara-negara tersebut masuk dalam demokrasi modern. Ideologi bertentangan satu sama lain, misalnya di Indonesia ada sejumlah partai Islam, partai Komunis, dll. Namun konstelasi politik ini berada pada ranah perebutan kekuasaan ideologi. Logika kecilnya, betapa mudahnya ketika ada berbagai peristiwa yang ditumpangi berbagai kepentingan, misalnya pembunuhan 7 jenderal yang dituduhkan pada komunisme, ini menjadi senjata untuk membunuh ideologi komunis tersebut. Ketika kita melihat statement historis saat ini, kita harus melihatnya secara lebih luas.
Mari kita melihat sejarah politik Indonesia. Kesulitan para ahli politik ialah bahwa kerap kali mereka menafikan kontribusi historisitas politik karena sejarah disimak sebagai sebuah peristiwa yang memiliki konteks, tetapi kaitan satu dengan yang lain diabaikan. Misalnya dalam kasus pemaksaan pelajaran agama di sekolah-sekolah katolik di Blitar. Kesalahan Bupati Blitar ialah karena dia mewajibkan sesuatu melalui otoritasnya. Hukum apa saja selalu punya prosedur, entah ketentuan maupun undang-undang. Undang-undang tidak menyebut suatu kewajiban. Tujuannya tidak buruk, tetapi caranya yang buruk.
ASPEK HISTORIS POLITIK
Salah satu kesulitan praktisnya ialah sejak kapan kita menjelaskan politik dari sejarah pergulatan bangsa ini. Sejak kapan? Majapahit? Kita tidak bisa sembarangan. Apapun yang mau kita katakan, sejarah bangsa Indonesia modern, itu tidak muncul sejak Majapahit, tidak juga sejak Cut Nyak Dien. Sejarah Indonesia modern ialah sejak Indonesia berada dalam pergumulan kebebasannya sebagai suatu bangsa. Kapan? Pergumulan Indonesia sebagai bangsa bukan pada tahun 1945. Tetapi juga pada zaman Pangeran Diponegoro 1825. Bukan juga Cut Nyak Dien. R.A. Kartini juga belum menunjukkan sinyal-sinyal cita-cita sebagai sebuah bangsa, tetapi hanya pada ranah kaum perempuan Jawa. Salah satu emblem pergerakan Indonesia ada di sekitar 1920an. Bagaimana dengan 20 Mei 1908? Boedi Oetomo masih berpusat pada Jawa, kendati sudah mulai bertekad membentuk suatu bangsa. Konteksnya memang masih dalam lingkup Jawa. Tahun 1920an merupakan saat yang paling jelas menunjukkan awal mula proses ini. Budi Utomo pun berawal dari tokoh bernama Multatuli, nama alias dari Douwes Dekker. Multatuli menulis buku pertama yang melukiskan kebobrokan pemerintahan kolonial melalui buku Max Havellar yang diterbitkan di Swiss dan membuka banyak mata bahwa pemerintahan ini tidak beradab melainkan biadab. Kebiadaban ini bukan hanya perkara pemaksaan dan pemerasan pemerintah terhadap pribumi. Kebiadaban ini juga mencakup dampak mental dan moral para priyayi yang menjadi kejam pada bangsanya sendiri. Indonesia tertindas bukan karena pemerintah kolonial itu sendiri, tetapi justru dari orang-orang bangsanya sendiri. Lantas pemerintah kolonial mengambil simpati dengan cara membiayai sekolah orang pribumi di Belanda. Dari sini, orang-orang terdidik tersebut membentuk sikap mental mereka untuk membangun suatu bangsa.
5 Februari 2013
Aspek Historis
The Beginning of Political Philosophy sering kali diasalkan oleh para sejarawan filsafat pada Socrates. Socrates adalah the founder of Political Philosophy. Mengapa bukan filosof sebelumnya? Para filosof sebelumnya banyak disebut kaum sofis. Bukan juga dari filosof kosmologis. Filosof sering kali berawal dari alam. Namun Socrates punya cara bicara yang baru dalam ranah pergumulan rasionalitas yaitu apa yang disebut dengan filsafat politik. Kalau kita melihat dengan teliti pergulatan filosofis Socrates, Socrates disebut filosof politik bukan karena dia menulis filsafat politik, bukan penulis buku politik, bukan teoritis politik, bukan penasihat penguasa, tidak ada hubungan dengan kekuasaan. Inilah Adventure of Socrates’ Political Philosophy. Mengapa disebut pendiri, bahkan inisiator political philosophy. It’s based on what Socrates Concern with. Socrates pertama-tama bergulat dengan manusia, the human being. Manusia adalah tema filsafat Socratean. Kita tahu bahwa Aristofanes, Xenophanes, orang-orang ini berada pada bilangan filosof sofis, filosof sebelum Socrates, juga berurusan dengan manusia. Lantas apa beda filsafat manusia Socratean dengan Sofis? Apa yang khas dari Socrates ialah pertanyaannya. Apa pertanyaan Socrates? “Apakah manusia?” Bagaimana dengan sofis? Mereka bertanya pada hal-hal praktis. Sofis sering kali mendapat konotasi kurang baik dalam sejarah filsafat, sebab gaya bertanya mereka adalah gaya yang menelikung, seperti hanya untuk perdebatan bertele-tele yang ujung-ujungnya menjadi bingung sendiri. Ketika Socrates bertanya “Apa itu manusia?” dia menemukan apa sebagai jawaban? “Apa itu manusia” oleh Socrates dipakai untuk menggali natura manusia, kodrat manusia. Jadi “Apa kodrat manusia?” Inilah yang menjadi awal filsafat politik.
Apa artinya “kodrat manusia”? Socrates deklamator, pencetus pertanyaan mengenai natura manusia, itu sama dengan apa itu natura negara. Ini yang membuat Socrates menjadi pendiri Filsafat Politik. Ini adalah statement yang akan menghantar kita pada politik. Sesudah Socrates adalah Plato, Aristoteles. Sebelum mengurus apa yang disebut politik, bertanya dulu “Apa itu manusia?” Nanti kita tahu Agustinus, Thomas Aquinas, Machiavelli, Thomas Hobbes yang dalam buku pertama bertanya soal “Siapa manusia?” Locke, Rousseau, Montesqiu, Karl Marx bertanya siapa manusia yaitu Homo Oeconomicus, Lenin. Bayangkan ketika revolusi Amerika, konstitusi Amerika pertama-tama menyebut “We are the people of United States of America . . .” Sukarno juga menyebut, “Kami bangsa Indonesia . . .” Dalam pidato 1 Juni 1945, pertama-tama ia bertanya “Kita mau apa?” Sukarno tidak menyebut aturan-aturan. Pertama-tama yang harus ditanyakan adalah “Siapakah manusia Indonesia?” Jawabannya bukan manusia Indonesia itu orang Jawa, Sumatra, Kalimantan. Manusia Indonesia adalah persatuan Indonesia. Manusia-manusia Indonesia bukan manusia-manusia beragama, tetapi ber-Ketuhanan.
Jadi cara mendefinisikan politik Indonesia itu bukan melalui abstraksi mayoritas – minoritas. Manusia Indonesia bukan yang secara mayoritas didominasi oleh siapa. Dan ini tampak sekali dari apa yang disebut dengan BAHASA. Peran para pendiri negara lebih hebat dari apa yang dapat mereka rumuskan pada tahun 1945 menjelang 17 Agustus. Waktu itu didirikanlah BPUPKI, dan para pendiri keliru kalau hanya sekadar dimengerti dari rumusan, produk rumusan, melainkan kejeniusan para pendiri ini sudah diintroduksi dari cara mereka mendefinisikan manusia Indonesia. Ini tampak kelak dari cetusan tentang kesepakatan penggunaan bahasa.
Dalam filsafat politik, bagaimana peradaban politik berkembang, dapat dilihat dari perkembangan para filosof politik yang tampak dari judul bukunya.
Title of Political Philosophy:
Plato Republica / Politeia
Aristoteles Politics (sama dengan Plato, hanya saja Plato menulisnya dalam dialog)
Agustinus De Civitate Dei / Kota Allah (Civitas = keseluruhan dari perihal negara)
Thomas Aquinas Summa Contra Gentiles (Summa = ringkasan; contra = melawan; kekafiran)
Thomas More Utopia
Machiavelli Il Principe / The Prince
Hugo Grotius Natural Law
Thomas Hobbes De Cive, dan Leviathan
John Locke Treatis of Government dalam dua buku: 1st dan 2nd
Social Philosophers of France menulis traktat-traktat tentang Economical Analisies. Pada periode sesudah Revolusi Prancis adalah analisis-analisis ekonomi.
Karl Marx Das Capital, Communism
Frankfurt School 1920an-1950an antara lain Adorno, Erich From, Marcuse, Habermas mereka melakukan kritik-kritik tentang Marx Socialism.
Sukarno dkk. Pancasila
Habermas Theory of Communicative Society
John Rawls Theory of Justice “Justice as Fairness”
Eric Voegelin Aspek Historis dalam Filsafat Politik
Leo Strauss Essoterism Analisys
Hannah Arendt The Origins of Totalitarianism
Dari judul-judul buku filsafat politik ini, Plato dan Aristoteles berada pada satu wadah / asal-usul, yaitu bahwa filsafat politik berurusan dengan polis. Politik berarti penataan polis, maka disebut Politheia. Agustinus, Thomas, dan More masuk dalam filosof Kristen. Mereka memiliki kekhasan untuk membela karakter kekristenan. Utopia kita pahami sebagai sesuatu yang tidak ada di mana pun, namun dalam More, Utopia berarti suatu cita-cita untuk menjelaskan bahwa inilah tata pemerintahan yang baik. Ini adalah cita-cita yang sangat baik. Utopia merupakan perpaduan politik dengan Kekristenan. Utopia adalah karya More sebelum dia dieksekusi mati karena membela iman Katolik ketika skisma Gereja Katolik dengan Henry VIII. Inilah periode di mana politik digandengkan dengan spirit kekristenan.
6 Februari 2013
Ketiganya disebut sebagai filosof kristiani yang mengeksplorasi filsafat politik dari sudut pandang kristiani. Menarik untuk menyimak secara mendalam bahwa dalam poin-poin pemikiran filsafat itu, tak hanya berhubungan dengan konsep-konsep praktis dari apa yang kita sebut negara, tetapi itu berasal dari paham-paham yang lebih modern. Artinya, di dalamnya termasuk misalnya perang adil itu seperti apa. Ini tema penting dalam filsafat kristiani. Contoh lain yang juga layak untuk disimak ialah paham-paham yang berurusan dengan natural law, hukum kodrat.
Thomas Aquinas menjadi rujukan utama untuk memahami hukum kodrat. Cara mengerti hukum kodrat itu begini. Hukum kodrat adalah hukum yang difondasikan pada pengertian tentang kodrat (natura). Natura bagi Thomas Aquinas memiliki kepentingan langsung dari “Apakah manusia itu?” Thomas menjawab manusia adalah ciptaan Tuhan yang diciptakan secitra Allah, bukan dalam artian wajah, fisik, tetapi natura. Apa yang menjadikan sesuatu itu manusia dan bukan yang lain? Bukan karena wajahnya, tetapi akal budi. Hukum kodrat berarti hukum yang didasarkan pada pemahaman akal budi manusia. Bagaimana akal budi manusia memahami manusia, dirinya sebagai ciptaan? Thomas menjawab, Tuhan menciptakan manusia agar manusia datang kepada Allah. Manusia diciptakan untuk diri-Nya. Agustinus punya ungkapan yang lebih sama ketika dia mengatakan, “Hatiku gelisah . . .” Hati manusia gelisah ketika tidak kembali kepada Allah. Agustinus adalah contoh yang indah untuk menyebut bahwa kita tidak perlu mencari apa pun selain Allah. Agustinus seperti Thomas banyak terpengaruh oleh Plato, pandangannya selalu ke atas karena realitas ada di atas.
Ketika manusia diciptakan Tuhan, kehadiran manusia itu menggembirakan Tuhan. Natura manusia oleh Thomas Aquinas sebagai State of Innocent (status sebelum jatuh ke dalam dosa). Hubungannya sedemikian mesra dengan Tuhan. Hal ini dipakai Thomas untuk mengarahkan kembali manusia pada keadaan lepas dari segala dosa dan hidup mesra dengan Tuhan dan sesama. Tata hidup manusia harus kembali pada tata relasi seperti ketika manusia pertama kali diciptakan di Eden. Lantas politik menjadi elaborasi untuk memulihkan relasi manusia dengan sesamanya dan manusia dengan Tuhan. Inilah skema hukum kodrat Thomas Aquinas. Maka judul dari salah satu buku politiknya, “Summa Contra Gentiles.” SCG mengatakan bahwa Thomas ingin mengajak manusia kembali pada kodrat semula ketika manusia diciptakan. Sekarang politik malah memecah-belah dan menjadi kemunafikan manusia.
Thomas Moore punya skema yang berbeda. Moore berada pada kerumunan di mana politik dan agama menjadi satu. Agama menjadi aksioma. Moore mengacu pada sebuah pergulatan di mana negara dan agama bercampur baur dan tumpang tindih. Pejabat Gereja menjadi pejabat negara.
Machiavelli menulis Il Principe, di mana yang disebut politik adalah kekuasaan. Pemimpin politik berarti penguasa. Politik menjadi perebutan kekuasaan. Fondasinya ada pada kepentingan kekuasaan. Machiavelli disebut filosof modern politik, karena seolah-olah dia mengelaborasikan keterpautan dengan Kekristenan kepada kekuasaan. Karena dia mengaitkan dengan begitu dramatis, politik dengan kekuasaan, metodologi berfilsafatnya juga berubah sama sekali. Dari Aristoteles kita melihat bahwa politik punya tujuan tertinggi. Machiavelli bukan soal tujuan tertinggi, tetapi soal bagaimana mempertahankan kekuasaan. Logika ini disukai oleh para politikus yang gila kuasa. Machiavelli menggeser paradigma Kristiani dalam hubungannya dengan tatanan politik. Logika Machiavelli dimaknai sebagai sebuah metode realisme dalam politik. Machiavelli akan mengalirkan spirit Utilitarianisme dalam politik, artinya apa pun yang kita kerjakan sebagai sebuah keburukan yang perlu, tak perlu merasa bersalah para pemimpinnya apabila keburukan itu dilakukan untuk membela kekuasaan.
Logika realisme ini diteruskan oleh Hobbes. Ketika Hobbes menggebrak zamannya dengan berkata manusia itu dari kodratnya adalah serigala bagi lainnya, “Homo homini lupus est.” Manusia haus akan darah sesamanya. Di Cina, komunisme menghantam semua yang bukan komunis. Di Indonesia, yang bukan komunis, menghantam semua yang komunis. Hobbes mengajukan filsafat yang sangat penting bagi demokrasi baru.
8 Februari 2013
Kita telah melihat sepintas soal apa yang dimaksud oleh judul-judul buku filsafat politik masing2 tokoh. Hugo Grotius adalah orang Belanda yang menjadi salah satu contoh filosof yang secara jelas mengurai natural law. Hal ini penting membuat sebuah hukum tidak direduksi pada semangat pertimbangan sosiologis kekinian. Contoh, hukum-hukum dewasa ini sering dilihat sebagai peraturan yang merupakan buah kesepakatan. Ini sebuah pemikiran yang sangat reduktif karena kalau hukum itu sebuah kesepakatan, artinya hukum sangat dipengaruhi oleh siapa yang ambil bagian dalam kesepakatan itu. Hukum menjadi pertimbangan-pertimbangan yang sering kali dimiliki oleh para elit, sebab tidak semua orang bisa masuk dan ambil bagian dalam hukum tersebut. Hukum tidak bisa mengakomodasi semua, namun hanya elit misalnya para anggota DPR dan mereka yang bertanggung jawab atas komunitas (wali kota, ketua RT). Natural law menepis kekinian seperti ini. Hukum dicegah agar jangan sampai menjadi miliki sekelompok orang saja tetapi berasal dari kebenaran, akal budi dan kodrat manusia. Keharusan ini difondasikan pada apa yang menjadi ketentuan hidup bersama, bahwa tatanan hidup bersama itu harus mengejar kebaikan. Menurut Al Farabi, politik harus mengarahkan manusia kepada hidup yang penuh keutamaan (virtues live), hidup yang tidak diganggu oleh kemunafikan ketidakjujuran, korupsi, apa saja yang menghancurkan tata hidup bersama. Natural law memiliki minat studi ke arah ini, karena natural law berarti law which is base on nature, hukum yang didasarkan pada natura. Dan what is nature? Apa itu natura? If we look at greek philosophy, Stoa like to define nature as a law of gods. Natura adalah hukum para dewa. What we mean by perfection of life yaitu kepenuhannya bukan ukuran material, kekayaan, kekuasaan. Kepenuhan hidup tidak terletak pada nilai-nilai itu, tetapi pada natura. Bahwa natura adalah kepenuhan hidup, itu bukan something that out of date, yang kuno yang hanya milik masa lalu. Itu miliki masa sekarang. Dalam Hugo Grotius, natural law bukan milik masa lalu, tetapi milik masa kini.
Hobbes, Locke, dan Rousseau adalah tiga filosof wajib bagi orang yang mau belajar filsafat politik. Hal ini wajib dipelajari karena Hobbes adalah filosof yang menulis filsafat dengan pertama-tama menguraikan makna manusia. Hobbes adalah murid filosof klasik sekelas Plato, Socrates, dan Aristoteles. Dari para gurunya, Hobbes tahu bahwa untuk mengurai tata hidup bersama, yang pertama harus diurus adalah manusia. Siapakah manusia. Siapa manusia menurut Socrates, adalah jiwanya. Menurut Aristoteles, manusia adalah makhluk berakal budi. Penyebutan makhluk berakal budi, sebenarnya mau menggambarkan manusia itu makhluk macam apa? Apa yang membuat manusia berbeda dengan makhluk lainnya? Apa buktinya manusia itu berakal budi? Hobbes belajar sangat baik dari Aristoteles, bahwa manusia adalah makhluk berakal budi. Manusia disebut makhluk berakal budi karena dia bisa mengatakan masa depan, cita-cita, tujuan hidup. Dengan sesamanya, manusia dapat menentukan / merumuskan tujuan hidup bersama. Bagi Aristoteles, keburukan adalah pencederaan tujuan hidup bersama. Orang yang melukai tujuan hidup bersama artinya merusak kodrat manusia. Inilah keburukan, yaitu ketika orang tidak mengarahkan diri pada tujuan (bersama). Aristoteles membuat etika moral baru tanpa teologi dengan berpedoman pada apa yang disebut dengan tujuan. Jadi natura itu tujuan. Thomas Aquinas nanti mengatakan bahwa dosa bukan melanggar perintah Tuhan, melainkan contra natura. Dalam hubungannya dengan pasangan suami istri, dikatakan dalam moral etika, itu sesuatu yang kodrati. Tetapi bagi yang hidup selibat, itu tidak sesuai dengan tujuan. kaul selibat adalah pertaruhan dan pertarungan antara tekad dan fisik yang bertentangan. Dari Aristoteles kita melihat, mengerti dan memahami bahwa patokannya bukan pada yang lain selain tujuan hidup kita.
Bhagavad Gita juga mengatakan hal yang sama ketika Arjuna hendak berperang. Krisna mengatakan bahwa kodratmu sekarang adalah ksatria yang harus berperang. “Tujuanmu adalah berperang.” Arjuna berkata, “Aku tak bisa melawan orang-orang yang adalah orang-orang terdekatku yang memberi cinta dan kasih saya.” Krisna berkata, “Hai Arjuna, apa yang kamu lihat sekarang adalah apa yang kamu lihat dengan matamu. Dengan kedua matamu kamu melihat itu. tetapi ketika kami melihat dengan mata self-mu, tidak akan ada lagi pengetahuan semu. Kamu akan menemukan kebenaran yang sejati.” “Oh Krisna, ajarkanlah kepadaku bagaimana aku dapat melihat dan mendengar dengan self.” Inilah emblem pergulatan manusia.
Kembali ke filsafat politik. Filsafat politik memiliki inti yaitu ketika politik kembali bukan pada apa yang tampak wah, tetapi kembali pada apa yang menjadi tujuan hidup bersama. Thomas Hobbes mendeklarasikan diri sebagai yang mengambil jalan berbeda dengan Aristoteles. Di mana bedanya? “Manusia” Hobbes adalah makhluk yang sendirian, kesepian. Ketika manusia menjadi homini lupus, tidak ada manusia yang dapat hidup bersama. Manusia selalu menerkam, memakan, menghantam yang lain. Hobbes tidak sedang berilusi, tetapi ia berada pada disposisi di mana manusia di hadapannya adalah pribadi yang tak pernah puas dengan apa yang dia miliki, menghancurkan yang lain, iri dan cemburu dengan yang lain. Hobbes menjelaskan kodrat manusia dalam kondisi alamiahnya, state of nature. State of nature is the state where Three is no law, constitution, leaders. Kalau manusia hidup dalam keadaan seperti itu, apa yang kira-kira akan terjadi? Skenario Hobbes menggarap manusia pada kondisi alamiahnya. Ketika kondisi alamiah manusia seperti itu, apa jadinya sebuah negara? Kalau manusia itu sama lain selalu bertengkar, apa yang harus dilakukan negara? Negara harus seperti apa saja yang kuat untuk menghentikan pertengkaran itu. Sekuat apa? Sekuat binatang yang amat kuat, yaitu Leviatan.
18 Februari 2013
Sejak Thomas Hobbes, politik adalah milik individu, milik manusia sebagai makhluk individu. Manusia menjadi fokus dalam politik. Apakah sebelumnya bukan manusia? Dalam Hobbes yang dimaksud manusia adalah individu. Yang dimaksud individu adalah dia dengan segala kebebasan dan hak-hak yang menyertainya. Politik menjadi eksplorasi dari prinsip-prinsip individualis. Jadi yang bergerak dalam konsep-konsep filsafat politik itu, punya fondasi pada konsep2 manusia sebagai individu. Sedikit kita mengingat, Machiavelli melihat politik langsung berurusan dengan kekuasaan dan penguasa. Aristoteles melihat politik beruurasn dengan komunitas yang terarah pada tujuan tertinggi. Jadi, buku Politik Aristoteles berjudul “Politic” sama seperti Plato yang punya judul buku “Politheia”. Agustinus dan Thomas Aquinas termasuk Al-Farabi, politik berarti perkara tata hidup yang difondasikan pada prinsip-prinsip iman. Agustinus menulis buku De Civitas Dei. Al-Farabi menulis “The Virtus City” kota atau peradaban yang punya keutamaan. Thomas Aquinas memberi judul bukunya Summa Contra Gentiles, intisari tentang prinsip-prinsip politik melawan prinsip-prinsip kafir, menentang cara pikir yang bukan kristiani.
Hobbes menggulirkan sebuah wacana modern yang diwarisi oleh Machiavelli, yaitu soal penguasa, dalam Thomas Hobbes, politik adalah urusan individu. Legitimasi kekuasaan hanya menjadi sah ketika mengabdi, membela individu. Sejak Hobbes muncul pula John Locke, Jacques Rousseau, Montesquieu, dll. Hobbes betul-betul mengubah cara berpikir baru. Hobbes mengintroduksi politik sebagai sebagai sebuah konsen, persetujuan. Political power doesn’t come from above. It is come from below. Karena itu, bagaimana dengan legitimasi dirinya sebagai pemimpin? Menurut Hobbes hanya menjadi mungkin kalau difondasikan pada kesepakatan. Negara dibentuk dari dua hal yaitu naturaL dan artificial. Negara punya fondasi karakter natural dan punya fondasi karakter artifisial. Artifisial artinya bahwa negara merupakan produk art, atau ARTE, artinya seni. Dalam bahasa Yunani, arte mengatakan semua kepandaian, keindahan, kesenian. Logika kekuasaan politik yang diurus oleh Hobbes berada pada koridor artifisial. Aristoteles, Machiavelli, Thomas, Agustinus, Plato masuk dalam koridor NATURAL. Apa yang dimaksud dengan artifisial Hobbes? Menurut Hobbes, manusia sebagai individu dilahirkan bebas, dilahirkan sama, artinya sama dalam hubungannya dengan kebebasan. Menurut Hobbes, ketika manusia itu lahir, manusia memiliki apa yang disebut fakultas tubuh dan akal budi yang sama. Hobbes sadar bahwa tak mungkin sama persis, sebab ada yang lebih pandai, pandai, dan kurang pandai, dari sisi akal budi. Dari sisi tubuh, problemnya sama, yaitu ada yang besar, kecil, tinggi, pendek, kuat, lemah, gemuk, kurus, dst. Bagaimana mungkin secara filosofis, manusia sejauh dilahirkan sama dalam fakultas tubuh dan akal budi. (fakultas artinya kemampuan) De facto, kemampuan manusia itu berbeda-beda, tetapi mengapa bagi Hobbes disebut sama? Mengapa de facto manusia terlahir beda? De facto manusia berbeda dalam kemampuan fisik dan akal budi, mengapa manusia terlahir sama? Karena menurut Hobbes, perbedaan fisik dan akal budi tidak terlalu penting. Hobbes benar-benar melihat bahwa perbedaan ini tidak penting. Sama menurut Hobbes ialah semua manusia punya segala kemampuan untuk mempertahankan hidupnya dan mengancam yang lain. Manusia sama-sama bisa mengancam hidup manusia yang lain. Kalau Aristoteles, manusia sama karena punya tujuan yang sama. Bagi Hobbes, manusia sama karena punya titik tolak yang sama yaitu untuk mempertahankan hidupnya, manusia mengancam hidup orang lain. Hobbes mengambil sikap realisme. Manusia pada prinsipnya ingin membela hidupnya. Kalau manusia tidak mempertahankan hidupnya, itu karena Injil, Kitab Suci. Sebelum ada Kitab Suci, manusia, menurut Hobbes, selalu ingin mempertahankan diri.
19 Februari 2013
ASAL-USUL NEGARA
Bagaimana negara terbentuk? Hobbes memperluas wawasan tentang asal-usul negara. Negara bisa dimengerti dalam dua perspektif untuk menyebut bagaimana negara dibangun, direalisasikan dalam pemahaman filosofis. Dua itu ialah Natural dan Artifisial. Yang disebut artifisial bukan dalam arti sehari-hari yang berkonotasi dangkal, tetapi menunjuk pada pemahaman yang mendalam yaitu negara merupakan produk dari seni dan kepandaian. Jika diperhatikan, apa yang disebut Natural? Apa yang ada di benak kita perihal negara yang merupakan sesuatu yang natural? Natural dalam terminologi yang penting dalam filsafat etika politik. Kalau dirunut dengan baik, maka kita dapat melihat poin-poin penting untuk memahami filsafat politik. Natural berasal dari kata kerja Latin nascire – natus, artinya dilahirkan (natus). Jadi natural punya konotasi, hubungan arti yang berhubungan dengan pengertian “yang dilahirkan”. Apa arti “yang dilahirkan”? Maksudnya bukan berasal dari buatan tangan manusia. Bukan produk manufaktur (manus + facere = tangan + membuat = buatan tangan). Natural berarti, itu yang bukan buatan manusia. Bukan buatan manusia berarti itu yang mengalir along with my existence. Jadi, natural berarti itu yang mengalir seiring dengan keberadaanku. Apa yang “seiring dengan keberadaanku”? Yang seiring dengan keberadaanku ialah hidup. Hidup tak boleh dimengerti hanya sekadar bernafas, maka hidup pada saat yang sama mengatakan hidup baik. Kalau negara asal-usulnya ada dalam perspektif natura, negara itu keberadaannya untuk dimaksudkan sebagai pencapaian hidup baik. Negara adalah itu yang di dalamnya manusia mengejar tujuan hidup baik. Dengan maksud tersembunyi, kalau manusia hidup sesuai dengan natura sebagai manusia, maka hidup itu ialah hidup yang memiliki tujuan. Jadi, kalau manusia hidup tanpa tujuan yang jela, itu tidak kodrati sama sekali. Hidup haru sesuai dengan tujuan. kalau kita kembali pada Aristoteles, ia mengatakan bahwa manusia adalah makhluk polis, maka polis adalah tempat di mana manusia mencapai hidup baik. Maka jelas bahwa Aristoteles masuk dalam politik negara natural. Manusia dari lahirnya mengejar tujuan hidupnya, polis. Polis adalah tata hidup bersama / komunitas yang mengejar tujuan tertinggi. Kalau Aristoteles menyebut manusia sebagai binatang berakal budi, asosiasinya seperti binatang yang lain tapi berakal. Namun bukan itu maksudnya. Maksudnya manusia adalah dia yang memiliki tujuan. Manusia adalah makhluk yang tujuan hidupnya ialah dimilikinya sendiri. Jadi kalau manusia hidup tanpa tujuan, manusia sungguh tidak ada bedanya dengan sapi, anjing, kucing, dll. Aristoteles dengan kata lain luar biasa dalam hal ini. Bahwa tujuan itu adalah milik manusia. You are the very owner of your destination. Agustinus, selanjutnya, berkata bahwa tujuan itu ialah untuk Tuhan. “Engkau membuat kami untuk-Mu, ya Tuhan.” Ketika negara itu natura, maka akan sesuai dengan tujuan manusia.
Poin lain, jika asal-usul negara natural, maka negara itu menjadi kelanjutan dari kodrat manusia. Hal ini sangat jelas dalam Aristoteles. Di mana jelasnya? Aristoteles berkata, every art and every investigation, and similarly every action and pursuit, is considered to aim at some good, selalu terarah kepada kebaikan. Kata-kata ini dikutip dalam politik Nicomachean. So what is good? Kalau semua tindakan manusia, seni, investigasi, aksi, tertuju pada kebaikan, good is that considered admit human action in aim. Itu yang menjadi keterarahan pada yang baik.
Bagaimana Aristoteles menjelaskan politik? Every polis is a community of some kind, and every community is established with a view to some good; for mankind always act in order to obtain that which they think good. But, if all communities aim at some good, the state or political community, which is the highest of all, and which embraces all the rest, aims at good in a greater degree than any other, and at the highest good. (Politics by Aristotle) Artinya, setiap negara adalah komunitas yang didirikan dengan pandangan untuk meraih kebaikan, karena manusia selalu bertindak dan berpikir untuk mendapatkan itu yang mereka pikir baik. Tetapi jika semua komunitas itu mengejar kebaikan, maka polis (komunitas politik), yang adalah lebih tinggi dari semuanya, dari sendirinya merangkul segalanya, dan terarah kepada kebaikan yang lebih tinggi tingkatannya dari segala yang lain, itulah kebaikan tertinggi.
Menurut Aristoteles, manusia memiliki tujuan untuk mengejar kebaikan. Kalau ada manusia-manusia (komunitas), maka mereka memiliki tujuan untuk mengejar kebaikan-kebaikan. Ketika kita bicara tentang kebaikan sebagai tujuan dari manusia, kita diajar oleh Aristoteles dalam apa yang disebut etika. Inilah etika. Etika berada dalam ranah politik. Maka pembicaraan politik tidak pernah lepas dari etika. Asal-usul negara natural berada dalam ikatan etika komunitas. Individu Aristoteles berarti manusia memiliki keterarahan pada polis. Kalau manusia tidak tinggal dalam polis, maka tidak hidup. Akibat dari skema ini, logika kecilnya ialah begini. Menurut Socrates, yang lebih banyak mengkritisi Platon, manusia terdiri atas rasio, spirit, dan appetitive (keinginan). Maka skema negara menjadi pemimpin, militer dan produsen.
Masalahnya sekarang bagaimana dengan negara artifisial?
Bagi Hobbes, manusia itu bukan dilahirkan lantas mengejar kebaikan. Manusia, begitu dilahirkan, meraung-raung (menangis), dan manusia dilahirkan bebas.
Bagaimana kalau manusia tinggal dalam komunitas seperti ini? Jika manusia bebas, di mana kebebasan Hobbes berarti saling mengancam, berarti satu sama lain terancam. Satu sama lain saling mengancam. Tak ada waktu semenit pun bagi manusia untuk merasa aman dan nyaman. Tidak ada sense of gathering, rasa kebersamaan. Maka logikanya, tidak ada komunitas. Thomas Hobbes melukiskan bahwa hidup jenis ini, brutish, poor, short, kumuh, kumal, pendek, dan penuh dengan segala ketakutan. Dalam Hobbes, hati nurani ialah keterlaluan kalau kamu kerasan tinggal dalam komunitas macam ini. Bagi Hobbes, tujuan manusia adalah keluar dari situasi itu. Inilah awal dari negara.
Dari sendirinya, kira-kira “negara itu apa” bagi Hobbes kalau de facto manusia seperti yang digambarkan di atas? Apa yang harus dikerjakan? Hidup bersama dalam The State of Nature seperti dalam Leviathan 13 (L 13) In such condition, there is no place for industry (kerajinan tangan), because the fruit thereof is uncertain: and consequently no culture of the earth; no navigation, nor use of the commodities that may be imported by sea; no commodious building; no instrument of moving and removing such things as require much force; Industri tidak dapat dijalankan karena hasilnya tidak pasti. Misalnya kalau bertani, baru bertunas sudah dicabut orang. Konsekuensinya tidak ada kultur bumi, tidak ada navigasi transportasi, tidak ada gunanya komoditas-komoditas diimpor melalui laut, tidak ada pelabuhan, tidak ada bangunan yang nyaman, semua saling mengancam, tidak ada instrumen untuk mengangkut ke sana ke mari apa saja yang membutuhkan tenaga. No knowledge of the face on the earth, tidak ada ilmu pengetahuan, no account of time, tidak ada aturan waktu, no arts, tidak ada seni, no letters, tidak ada surat menyurat, no society and which is worst of all, continual fear, and danger of violent death; and the life of man, solitary, poor, nasty, brutish, and short. Yang paling parah adalah ketakutan terus-menerus, bahaya kematian, dan hidup manusia menjadi sendiri, miskin, kotor, kumuh, dan pendek.
Kalau hidup manusia saling mengancam, apakah masih ada rasionalitas? Apakah masih ada hal yang tersisa dalam rasionalitas manusia? Bagi Thomas Hobbes ketika manusia menjadi liar, jalang, dan asling mengancam, dari sendirinya rasionalitas berupa itu yang dimiliki oleh setipa manusia yang digunakan untuk membela diri. Bagaimana caranya? Kalau caranya masih pribadi per pribadi, persona per persona, setiap orang masih memasang pedang untuk berhadapan dengan yang lain. Maka harus diakui adanya kodrat kedua (law of nature yang kedua), artinya ini kita membicarakan manusia, bukan binatang. Manusia jelas tidak mungkin kerasan hidup seperti ini. Maka harus diandaikan dalam diri manusia ada kerinduan yang dimiliki oleh umum bahwa tak mungkin hidup seperti ini diteruskan. Harus ada yang disebut dengan kedamaian sebagai second law of nature. Bagaimana caranya berdamai? Menurut Thomas Hobbes, bahwa kondisi state of nature yang kacau ini harus diatur, harus diluruskan. Bagaimana caranya? Caranya Thomas Hobbes ialah harus ada apa yang disebut kontrak, kesepakatan untuk memilih, memutuskan yang menjadi pemimpin di antara mereka. Bagaimana caranya memilih pemimpin? Sebelum ada PEMILU, ada poin filosofis yang jauh lebih penting yaitu ketika pemimpin ada, pemimpin itu harus memiliki segala hak untuk mengeksekusi kepemimpinannya. Dia harus punya kekuasaan untuk meratifikasi hukum, meluruskan kehidupan. Komunitas-komunitas juga harus rapi dalam tata hidupnya. Hukum berfungsi untuk melindungi hak dari setiap manusia yaitu hidup. Jangan sampai ada ancaman. Karena logika Hobbes ialah bahwa manusia seperti serigala (homo homini lupus), penguasa ini harus kuat sekali. Pemerintahan harus kuat, bahkan sangat kuat, tak terkalahkan. Namun tidak ada pemerintahan seperti ini di dunia. Pemerintahan sekuat Leviatan, tak akan ada yang mengalahkan. Inilah pertama kali negara disebut organ badan. Manusia adalah bagian dari tubuh.
Non est potestas super teraam que comparatur ei. Tak ada kekuasaan di atas bumi ini yang sebanding dengan dia (Ayub 41:24) Tidak ada taranya di atas bumi; itulah makhluk yang tidak mengenal takut.
Bagaimana dengan kepemimpinan Aristoteles?
Bagi Plato, pemimpin adalah filosof. Bagi Aristoteles, pemimpin adalah orang dengan kebijakan praktis.
Apa bedanya pemimpin menurut Aristoteles dan pemimpin menurut Hobbes? Aristoteles adalah representasi dari filsafat politik klasik. Hobbes merepresentasikan filsafat politik modern. Aristoteles memulai filsafat politiknya dari jalan pikiran yang rapi dan rinci untuk menunjukkan siapa kodrat manusia. Tetapi kerapian gagasan kodrat manusia aristoteles berada pada wilayah klasik. Artinya kodrat manusia dikurung dalam koridor keutamaan. Karena manusia itu bernilai dan berharga seutuhnya karena keutamaan, maka konsep selanjutnya ialah bahwa manusia itu tidak sama. Betul-betul manusia tidak sama, karena logika Aristoteles bisa dibenarkan dalam konsep keutamaan. Ada manusia yang memiliki kepandaian, ada yang memiliki kekuakatan. Mereka yang punya kekuatan fisik, mereka bekerja untuk hal-hal fisik. Mereka yang bijak, berada pada koridor sebagai pemimipin. Maka bagi Aristoteles, pemimpin berarti sebuah keniscayaan. Jadi manusia tidak bisa jadi pemimpin kalau tidak punya keutaman kebijaksanaan mengenai tata hidup bersama. Bagi Aristoteles, filsafat politik cannot be otherwise. Teologi Kristiani sangat dibantu oleh filsafat Aristoteles.
Dalam Hobbes, manusia bukan diambil yang baik, tetapi dilihat, diobservasi realitasnya. Realitasnya manusia kacau balau. Tampaknya saja manusia bisa mengikuti aturan atau tata jadwal yang dibuat manusia. Hal ini hanyalah penampakan semata, bukan menyentuh natura manusia. Apa artinya? Hobbes berkata bahwa manusia bisa demikian karena lingkungannya. Bagaimana kalau aturan itu dilanggar, hidup tanpa aturan, tanpa pemimpin, tanpa hukum, tidak ada RT-RW? Apa jadinya? Hobbes merangkai sebuah hipotesis mengenai hidup manusia bahwa dari kodratnya, manusia tidak teratur, tidak digerakkan oleh akal budi, melainkan nafsu. Hal ini tampak dalam situasi konflik. Banyak orang mati dalam situasi konflik. Hobbes berangkat dari sebuah realitas, bukan dari yang ideal. Akibatnya manusia menjadi pengancam bagi sesamanya. Maka manusia harus diakui memiliki segala kebebasan untuk membela hidupnya. Hobbes tampak banal dalam memahami manusia. Hobbes memasukkan konsep filsafat yang menjadi fondasi semua filsafat politik modern, yaitu bahwa manusia terlahir sama yaitu dalam kebebasan. Maka tidak ada yang pandai, bodoh, kuat, lemah, sehat, sakit. Tidak ada bedanya karena masing-masing bisa saling membunuh. Akibatny selanjutnya ialah manusia hidup dalam situasi yang sama sekali tidak nyaman. Maka dengan sisa rasionalitany,a mereka harus masuk dalam konsen bersama membentuk pemimmpin. Siapa pemimpin dalam Hobbes? Bisa siapa saja asal dipilih. Sementara dalam Aristoteles tidak bisa.
26 Februari 2013
Apa persamaan antara Thomas Hobbes dan Aristoteles? Hobbes tidak bisa menyangkal bahwa dirinya adalah Aristotelian, seluruh fondasi filsafat politiknya dia urus dengan pertama-tama menggarap konstitusi kodrati manusia. Mengapa “konstitusi kodrati” merupakan kata yang baik? Karena Hobbes menguraikan perihal kodrat manusia tetapi pada saat yang sama kodrat itu ialah sebuah bentukan, konstruksi, bangunan, konstitusi dari Hobbes sendiri. KKM Hobbes diberi nama dengan apa yang disebut The State of Nature. Hobbes tidak bisa keluar dari jalur Aristotelian dalam arti filsafat politik harus dikembalikan pada kodrat manusia. Dalam hal ini, Hobbes adalah Aristotelian. Ini yang pertama.
Paper: Perbedaan dan persamaan Hobbes dan Aristoteles. 2 halaman, bukan daftar tetapi diuraikan.
John Locke
Tulisan yang sangat terkenal berjudul “Treties on the Government”. Dalam traktat ini ada dua bagian. Yang satu adalah dialog (dispute) debat John Locke dengan ... Yang kedua adalah yang terkenal, kaerna adanya konsep private property yang merupakan konsep modern. Aristoteles tidak menulis soal private property. Itu konsep modern. De facto kita tahu dengan baik konsep private property menjadi pergulatan filsafat politik untuk periode-periode selanjutnya. Jadi, John Locke menulis The Second Treaties on the Government. John Locke berada pada koridor politik modern. Dia tidak masuk dalam politik klasik. Periode John Locke adalah yang menyusul Hobbes, jadi dia juga bicara soal The State of Nature, seperti Hobbes. Ini mendahului konsep dia tentang Political Society. Hobbes dan Locke, ketika membagi bukunya, Hobbes bab 1-13 mengenai manusia. Bab 14 mengenai hukum kodrat. Skema yang sama juga menjadi skema Locke. Skema pembahasannya bergerak dari State of Nature ke Political Society. Apa pertanyaannya? Siapa manusia dalam The State of Nature John Locke. Pertanyaan “Siapa manusia?” sangat penting karena pertanyaan ini sama dengan pertanyaan “Apakah negara?” Maka John Locke ketika membahas political society, dia menguraikan siapa manusia.
Siapa manusia menurut Locke? Locke menguraikan bahwa manusia adalah (1) dia yang memenuhi didirnya sendiri, (2) dia yang bekerja, (3) manusia seolah-olah dapat diringkas, terealisir dalam keringat. Manusia adalah self sufficient, artinya manusia bisa mencukupkan dirinya sendiri dengan bekerja. Dan bekeraj itulah yang menjadi pondasi bahwa dia memiliki hak untuk menerima buah-buah dari kerja kerasnya.
Bagaimana dalam Hobbes? Hobbes benar-benar memiliki poin jelas, bahwa manusia adalah makhluk yang mengancam dan mengejar yang lain, bukan karena senang melakukannya, tetapi karena untuk membela hidupnya (self reservation). Manusia Hobbes terlukis seperti manusia pemburu, seperti pada zaman purba, tidak hanya berburu binatang, tetapi juga memburu pesaingnya. Hal ini tercontoh nyata dalam suku-suku Indian, namun hal ini juga nyata dalam situasi negara yang tanpa pemimpin.
Manusia Locke tidak saling membunuh, tetapi mencukupi dirinya sendiri. Kita tentu bisa berkata pada Locke, bagaimana realasi manusia satu dengan yang lain, karena ketika manusia bekerja mencukupkan dirinya sendiri, kira-kira bagaimana cara pandang manusia terhadap sesamanya? Relasi manusia dalam Locke satu sama lain relasinya tidak terlalu jelas dalam Locke. Locke tidak banyak mengururs relasi sesama manusia. Logikanya, kalau setiap orang bekerja mencukupi dirinya sendiri dan penuh dengan usahanya (kenyang dengan hasil kerjanya), cukupkah? Bagaimana lukisan manusia dalam State of Nature Locke? Seperti petani yang menanam dan menumbuhkan tanam-tanaman untuk memenuhi kebutuhannya. Sering kali petani sudah merasa cukup ketika menikmati hasil panennya. Ini tipe petani otentik. Zaman sekarang sudah tidak ada lagi petani otentik. Semua orang dituntut untuk menguasai banyak hal.
Manusia tidak seperti yang digambarkan sesederhana itu di mana setelah penuh dengan hasil kerjanya lantas cukup. Manusia tidak pernah puas, karena manusia lebih rumit daripada binatang yang setelah kenyang tidur, menurut pada yang memberi makan, dll. Tetapi manusia tidak demikian. (1) Jadi indikasi bahwa manusia tidak pernah puas dalam memiliki private property ada dalam John Locke. (2) Fakta bahwa manusia tidak cukup dengan kenyang saja, manusia bisa memikirkan masa depan, hari esok. Apa yang dilakukan hari ini, bukan untuk hari ini saja, tetapi untuk masa depan. Manusia tidak hidup untuk hari ini saja. John Locke tahu bahwa keinginan manusia tak pernah berhenti. Maka Private property dapat menghantar manusia pada ketamakan, kerakusan. Liberalisme dalam ekonomi yang digulirkan Hobbes dan Locke, betul-betul tak ada hentinya. Keinginan manusia dalam kemewahan tak pernah cukup. Inilah yang menjadi poin yang sering dilupakan dalam fispol John Locke, yaitu bahwa keinginan manusia tak boleh melindas rasionalitasnya. Artinya, rasionalitas Locke masih kira-kira agak juga dipengaruhi Hobbes dalam arti setelah manusia bisa menjangkau self reservation-nya, seharunya private property cukup, artinya dia tak boleh tunduk mencari sampai tak terbatas. Ketika kita bicara private property, pertanyaannya ialah private property itu limitless atau tidak? Menurut Locke, sesungguhnya private property tidak limitless, tidak tak terbatas. Inilah yang tanpa kita sadari, Locke telah mengintrodusir skema baru dalam ekonomi yang kemudian kita sebut liberalisme. Liberalisme diterjemahkan dalam bahasa Prancis “Laissez Faire” biarlah berbuat sebebasnya.
Kesimpulan kecilnya ialah, John Locke memberi pondasi kokoh pada skema individualisme dalam filsafat politik. Sehingga political society Locke ini seperti apa? Political Society Locke langsung berhubungan dengan tata pengaturan private property. Apa yang dikatakan Locke memang benar pada zamannya.
5 Maret 2013
Konstitusi Negara
Salah satu cara untuk mengerti bentuk negara – negara memiliki bentuk – bahwa kita harus mengerti apa yang disebut konstitusi. Apa yang disebut dengan konstitusi? Dalam filsafat politik, pemahaman mengenai konstitusi menyentuh perkara yang krusial untuk mengerti negara. Konstitusi bukan produk baru untuk mengatakan sebuah negara bahkan sejak Plato, Aristoteles, konstitusi menjadi tema penting dalam filsafat. Tentu saja cara mengerti kita untuk mengerti konstitusi berasal dari pemahaman tentang apa itu fondasi, dasar, struktur konstitusi dari apa yang disebut negara. Kita kembali pada filsafat klasik yaitu Plato dan Sokrates. Bagi SOkrates, apa itu negara adalah apa itu Manaus. Manusia adalah jiwa. Jiwa manusia adalah itu yang terdiri atas tiga bagian yaitu rational, spiritual, dan appetitive part. Deklarasi ini merupakan deklarasi apa yang disebut negara. Negara harus ada tiga bagian yaitu pemimpin, rational part, militer sebagai spiritual part, dan pedagang sebagai appetitive part. Apa yang disebut negara sebagai tiga komponen, ini sudah mengatakan sesuatu bentuk dari apa yang kita sebut konstitusi. Kalau ini dilanjutkan maka Plato akan mengurus pemahaman yang lebih detil pada poin-poin berikut ini. Bagi Plato, bentuk negara itu difondasikan pada apa yang menjadi “Siapa yang memerintah negara?” Konstitusi dalam Plato bergantung pada siapa yang memerintah, artinya bagian dari pajang disebut rational part. Baginya, konstitusi berarti bentuk negara, bukan sekadar difondasikan pada raja, tetapi juga tujuan, sebab tujuan pemerintahan bergantung pada siapa yang memerintah, siapa yang memimpin. Uniknya, bagi Plato siapa yang memerintah bukan pertama-tama mengatakan identitas, tetapi juga mengatakan jumlah. Jadi Plato membedakan ada lima “Siapa yang memerintah?” Yang pertama ialah RAJA (King-Philosopher), lalu SEKELOMPOK ORANG KAYA, lalu MILITER, lalu RAKYAT, dan TIRAN. Plato menyebut bahwa pemerintahan yang dipimpin raja disebut dengan kingship. Sekelompok orang kaya yang memerintah namanya OLIGARKI. Kalau militer yang memimpin namanya timokrasi. Negara rakyat disebut demokrasi. Kalau Tiran, disebut tirani.
Plato mengikuti logika:
King philosopher
Tirani
Di antaranya ada rakyat
Militer
Dan Bussinessman
Pemimpin yang adalah raja filosof, memiliki segala pengertian akan apa yang diperlukan pemerintahan dengan baik. Dari perspektif personal, pemimpin ini memiliki pengetahuan mengenai keadilan, kebijaksanaan yang diperlukan. Pemimpin harus memiliki kebijaksanaan, punya pengetahuan yang disebut tata keadilan, lalu kemudian baru bisa memerintah dengan baik. Di antara KING dan KINGSHIP ada keutamaan yaitu WISDOM & JUSTICE. Raja filosof punya ciri bijaksana dan adil.
Bagaimana dengan orang kaya? Apa keutamaannya? Apa ciri khas orang-orang kaya ini? Cirinya ialah kemewahan (luxurious), pesta, menghimpun kekayaan, mengumpulkan barang-barang mewah.
Bagaimana dengan pemerintahan yang dipimpin militer? Negara yang dipimpin oleh militer selalu mencintai perang.
Bagaimana dengan pemerintahan rakyat? Menurut Plato, rakyat tidak mengerti hukum, tidak tahu hukum (lawless, unlawful). Bagaimana kita tahu hal ini? Dari realitas di mana rakyat membangun rumah di sembarang tempat, merokok di mana saja, melakukan apa saja seenaknya. Uniknya, apa yang disebut demokrasi berada di pemerintahan bawah. Pembagian kekuasaan tidak ada dalam Plato. Pembagian kekuasaan baru ada tahun 1700an, sementara Plato tahun 500an SM.
Demokrasi yang kita mengerti saat ini bukan difondasikan pada Plato, tetapi dari Hobbes. Apa bedanya demokrasi Plato dan demokrasi Hobbes? Demokrasi punya komponen dasar. Bagi Plato adalah pemerintahan oleh rakyat yang lawless dan selalu ingin bebas, sementara demokrasi Hobbes jauh lebih complicated. Komponennya ada pada (1) konsep manusia sebagai manusia, 2. Manusia bebas memiliki segala yang merupakan kebebasannya, 3. Kebebasannya memungkinkan manusia memiliki segala kekuasaan untuk mempertahankan dirinya, 4. Karena semua itu sama yaitu bebas, punya segala kemungkinan / posibilitas untuk mempertahankan kekuasaannya, maka manusia mesti dibimbing oleh akal budinya masuk dalam tahapan apa yang disebut dengan kesepakatan. Kontrak sosial itu mengandaikan bahwa manusia bebas. Kalau tidak bebas, manusia tidak bisa meneken kontrak atau kesepakatan. Demokrasi Hobbes merupakan fondasi demokrasi modern saat ini, dalam arti bahwa manusia sama sederajat memiliki potensialitas untuk menyetujui kesepakatan. Legislatif, Eksekutif, Yudikatif bukan pembagian politik. Ini bukan pengertian demokrasi. Yang utama ialah manusia adalah individu. Pembagian kekuasaan bukan hal penting untuk mengatakan sebuah logika bahwa hal itu merupakan hal praktis untuk menjalankan pemerintahan.
Demokrasi Plato tidak bisa menjadi fondasi demokrasi modern.
Bagaimana dengan ciri khas negara Tiran? Ciri khasnya juga lawless. Menurut Plato, tiran itu selfish, hanya untuk kepentingan diri sendiri. Contoh nyatanya ialah Hitler.
Inilah pemahaman Plato soal konstitusi. Yang paling baik adalah Raja Filosof.
ARISTOTELES
Menurut Aristoteles, sebagaimana Plato, konstitusi negara didasarkan pada siapa yang memerintah dan tujuan negara. Cara mengerti jalan pikirannya:
TUJUAN
SIAPA
BAIK
BURUK
Satu orang saja
Kingship / MONARKI
TIRANI
Beberapa (orang kaya)
ARISTOKRASI
OLIGARKI
BANYAK (rakyat)
DEMOKRASI (?)
ANARKI (?)
Bukan SATU atau BANYAK tetapi HUKUM
Polity
-
Menurut Plato, konstitusi terbaik adalah kingship. Menurut Aristoteles, konstitusi terbaik adalah POLITY yaitu bila negara diperintah oleh hukum. Alasannya ialah, menurut Aristoteles, hukum itu tidak memiliki perasaan. Sementara raja, sehebat apapun dia, mengerti filsafat banyak sekali, raja tak bisa menyangkal adanya perasaan manusiawi terhadap anak-anaknya. Suharto, misalnya, jatuh juga karena hutang anak-anaknya. Hukum tak punya ikatan apapun. Aristoteles punya kelemahan, yaitu hukum baru berjalan ketika dilaksanakan. Siapa yang melaksanakannya? Tentu manusia. Pada level tertentu manusia juga tetap terikat perasaan terhadap kerabat terdekatnya, hukum tidak berjalan. Faktanya, manusia betul-betul memiliki kendali atas terlaksananya hukum.
Konstitusi terburuk menurut Aristoteles ialah demokrasi, karena kalau pemerintahan itu koruptif, maka yang korupsi banyak sekali. Kalau dalam tirani, yang korupsi hanya satu orang. Bayangkan kalau semua orang korupsi? Namun kritik terhadap Aristoteles ialah, kalau perkara korupsi, baik-buruk korupsi tidak ditentukan berapa orang yang korupsi, tetapi berapa yang dikorupsi. Satu orang koruptor tidak lebih baik dari banyak koruptor. Kalau satu orang koruptor memakan seluruh kekayaan negara, tentu negara mati. Kalau korupsi semua, masih lebih baik. Namun tetap korupsi itu jelek.
Konstitusi Aristoteles adalah siapa yang memerintah dan tujuan ke mana negara atau pemerintahan itu diurus. Logika kecil ini menghantar kita pada pemahaman bahwa membentuk dan menyusun negara, harus memiliki tujuan yang menyatukan. Menurut Aristoteles, tujuan yang menyatukan adalah tujuan kebaikan tertinggi.
11 Maret 2013
Konstitusi menunjukkan bagaimana sebuah negara dibentuk dan dijalankan. Itu bukan bentuk negara. Misalnya Plato menyebut timokrasi, itu sebuah pemerintahan yang dijalankan oleh militer. Konsekuensi besarnya adalah bahwa negara itu memiliki apa yang disebut dengan cinta akan perang. Misalnya Korea Utara. Korut itu negara yang punya kebijakan amat jelas, porsi terhadap anggaran belanja negara itu adalah ada pada preferensi bidang militer.
Dan demikian seterusnya misalnya dengan tirani. Mungkin tidak ada negara yang berani menyebut negaranya tiran, tetapi itu tampak dalam sebuah tata hidup bersama diurus / diselenggarakan. Jerman semasa Hitler begitu tiran, tetapi misteri kehadirannya sangat sosiologis, pada waktu itu Jerman amat sangat terpuruk. Jerman kalah perang dunia I dengan perjanjian Versailles. Jerman praktis kalah total. Kehancuran itu diteken di Versailles, di mana Jerman betul-betul tidak punya apapun untuk dibanggakan. Jerman dikuasai Prancis, sehingga harga kebutuhan pokok melambung tinggi sekali. Jerman sangat terpuruk. Banyak orang Jerman menjadi pengemis. Lebih parah lagi pada waktu musim dingin, banyak yang mati. Jerman membutuhkan sosok pribadi yang bisa mengangkat keterpurukan bangsa itu. Muncullah Hitler. Dalam bukunya, Mainkampfh, Hitler masuk dalam relung keterpurukan Jerman pada waktu itu. Negara tiran terbentuk ketika negara itu sangat terpuruk. Indonesia juga pernah mengalaminya yaitu pada masa awal pemerintahan Suharto. Logika ini terus terulang ketika urusan ekonomi menjadi urusan yang sangat berat.
Di satu dua negara, misalnya di Italia, muncul pemilu yang tak dapat membentuk pemerintahan. Italia memiliki sistem parlemen. Warga Italia memilih anggota parlemen. Ada tiga partai mayoritas yaitu partai kiri, partai kanan, dan partai gerakan lima bintang. Partai kiri memiliki kebijakan ekonomi politik yang namanya melawan “pengencangan ikat pinggang”, pengetatan pengeluaran melalui pemotongan pengeluaran. Partai kanan membelanjakan semua anggaran. Dua partai besar ini bertentangan dan tidak bisa sejalan. Gerakan lima bintang tidak mau ikut salah satu partai besar ini. Mereka justru mengajukan referendum untuk keluar dari zona Euro. Dalam filsafat politik, pengalaman munculnya gerakan lima bintang ini menunjukkan bahwa negara-negara Eropa itu bangkrut karena masuk dalam zona Euro. Ide pertama ialah pemimpin gerakan lima bintang menggelorakan semangat anti Euro dengan bukti-bukti keterpurukan. Untuk lepas dari krisis, harus keluar dari zona Euro. Tirani muncul ketika negara masuk dalam keterpurukan. Demikianlah kita ketika jatuh dalam keterpurukan. Kita mudah untuk terombang-ambing.
Konstitusi negara menurut Aristoteles dan Plato mengajar kita banyak hal. Tentu sangat sederhana dari sudut pandang konstitusi negara. Tetapi indikasi pertama yang paling jelas soal konstitusi mereka, seolah-olah memercik dalam negara-negara modern. Misalnya konstitusi pertama ialah konstitusi Amerika Serikat. Apa yang kita pelajar dari konstitusi negara modern? Konstitusi ini menunjukkan secara jelas apa arti dari sebuah bangsa. “We are the people of the united states proclaim our freedom.” Begitu juga dengan teks proklamasi Indonesia. Hal ini yang diutamakan. Hal yang lain belakangan. Kalimat proklamasi kita punya rujukan yaitu konstitusi United States. Amerika adalah contoh nyata bagaimana mereka sebagai sebuah bangsa didera oleh berbagai macam perpecahan. Pada waktu perang saudara di Amerika, sering muncul kelompok utara dan selatan. Misalnya Chicago, menjadi ibukota Amerika utara. Maryland menjadi ibukota Amerika selatan. Perang saudara ini luar biasa berdarah-darah. Lalu negara ini, setelah negara selatan kalah, mereka membentuk kesatuan. Unity in diversity (Bhineka Tunggal Ika) muncul pertama di Amerika. Itu bukan produk asli Indonesia. Itu dari Amerika, setidaknya Amerika punya konsep itu. Bendera Amerika menunjukkan keragaman wilayah-wilayah tersebut. Dari Amerika Serikat, kita belajar di situ ada prinsip-prinsip perlindungan terhadap warga negara, perlindungan terhadap hak-hak asasi manusia. Konsep yang sama ditiru oleh konstitusi Indonesia. Konstitusi kita punya sejarah yang sangat unik, sayangnya sejarah ini tidak terlalu didalami. Bagaimana konstitusi terbentuk? Konstitusi dimulai dari kumpulan perwakilan bangsa yang melakukan brain storming dalam rapat. Setiap orang mengungkapkan idenya.
18 Maret 2013
Konstitusi (Indonesia), skema yang diajukan praktis tidak keluar dari skema paten filsafat politik yang diusung Aristoteles dan Hobbes. Skemanya adalah berangkat dari pengertian tentang siapa manusia Indonesia. Diskursus tentang konstitusi secara telak dikerjakan oleh para ahli negara lewat pemikiran yang dinyatakan dalam apa yang disebut sidang-sidang BPUPKI dan sidang konstituante yang gagal dibuat. Seperti apa para pendiri Indonesia menggariskan “Siapa manusia Indonesia?” Apa yang harus didiskusikan sebagai brain storming dari pencetusan konstitusi itu? Misalnya Moh. Yamin, dalam mengerti manusia Indonesia dia menoleh pada pergulatan historis bangsa Indonesia. Sejarah bangsa Indonesia seperti apa. Itulah cara mengerti siapa manusia Indonesia. Menurut Moh, Yamin, manusia Indonesia memiliki sejarah besar yang terlihat dari Sriwijaya, Majapahit, dan kerajaan-kerajaan lain di Indonesia. Konsekuensi cara berpikir ini, menurut MY, dalam menentukan batas negara mengikuti batas Sriwijaya. Cara mengerti Indonesia sebagai negara adalah salah satunya dengan menyimak sejarah. Bagaimana kamu mengerti keuskupan? Keuskupan juga harus dilihat dari sejarahnya. Hal yang sama juga terjadi pada Moh. Yamin.
Orang kedua yang mengintroduksi manusia Indonesia adalah Prof. Dr. Soepomo. Soepomo, kebalikannya mengajak para pendiri negara untuk memikirkan, “Indonesia harus didefinisikan sebagai negara apa dalam politik?” Dia berkata jelas, ada tiga macam negara dalam filsafat politik yaitu individualis liberalis yang difondasikan pada pemahaman tentang individu manusia yang bebas. Yang kedua, persis kebalikannya, yang ditonjolkan adalah komunalisme. Negara jenis ini terselenggara dengan konsep-konsep yang mengedepankan sosialisme. Contohnya, negara-negara yang dipikirkan oleh Marx, Engel, dll. Negara ketiga menurut Soepomo alah negara integralistik. Negara ini mengedepankan konsep-konsep kebersatuan dari banyak segi, misalnya kebersatuan antara pemimpin dan rakyat, rakyat dengan rakyat, dst. Dari sendirinya kalau kita pendiri negara, kita akan berpikir apa sebagai orang yang mendengarkan Soepomo? Pendiri negara tidak akan memilih salah satu pun. Mereka tidak akan memilih individualis liberalis. Mengapa? Karena pada waktu itu kita harus melihat konteks perang dunia II. PD II adalah perang ideologi yaitu ideologi negara-negara Barat melawan negara-negara Sosialis (Jerman, Uni Soviet). Yang disebut negara-negara individualis liberalis termasuk juga Belanda. Kalau Indonesia mengambil bentuk ini, artinya Indonesia kembali ke Belanda. Bentuk kedua juga tidak mungkin ikut blok sosialis komunis. Pada waktu itu mereka berpikir bahwa Indonesia tidak bisa masuk dalam salah satu blok itu. Pemilihan bentuk negara integralistik bukan sekadar karena latar belakang budaya Indonesia, tetapi juga untuk menunjukkan identitas bangsa. Hal ini ditindaklanjuti dengan prakarsa Indonesia membentuk Gerakan Non Blok.
Konstitusi tidak berhenti di sini. Selanjutnya, Soekarno mengorasikan pidato yang brilian pada tanggal 1 Juni 1945. Pidatonya sangat filosofis dan mengemukakan berbagai tesis yang menjadi cikal bakal ideologi bangsa Indonesia. Misalnya Aristoteles menyebut konstitusi bukan hanya bentuk negara, tetapi juga pemimpin sebagai representasi negara yang menunjukkan identitas bangsa, tujuan bangsa. Soekarno memidatokan mimpi-mimpi, cita-cita, bangsa Indonesia masa depan.
19 Maret 2013
Bagaimana Soekarno melakukan pidato untuk mengajak para pendiri negara yang lain berpikir tentang konstitusi? Salah satu yang sangat menonjol dari yang dikatakannya ialah discernment tentang siapa manusia Indonesia. Soekarnolah yang secara teliti dan mendetail serta eksplorasi menggali khazanah identitas Indonesia. Bagaimana dia menggali? Dia melihat realitas manusia Indonesia dari kedalaman jiwa, kedalaman cita-cita, dari kedalaman hakikat untuk disebut bangsa Indonesia itu seperti apa. Kata “cita-cita”, “jiwa”, “hakikat” bahkan “nafas” itu muncul dalam pidato. Salah satu temuan Soekarno adalah bahwa Indonesia memiliki keragaman yang sangat jelas di satu pihak, tetapi di lain pihak keragaman itu disimak sebagai sebuah kekayaan, realitas yang membuat Indonesia sebagai bangsa yang lain. Dengan kata lain, Indonesia seperti punya keragaman dan kesatuan sebagai bangsa. Maka ide pertama dari Soekarno itu yang mengemuka adalah misalnya gaya berpikir gotong-royong. Gotong-royong adalah kearifan budaya yang ditampilkan dalam kebersamaan aktivitas, di lain pihak itu sebagai cetusan kegembiraan. Gotong-royong itu cita rasa memiliki, tetapi di lain pihak cita rasa menghormati. Jadi seolah-olah kebutuhan orang lain adalah kebutuhanku. Nah, bagaimana membahasakan Gotong-royong dalam konstitusi? Soekarno menyebut sila pertama ialah kebangsaan.
Ada yang bilang Pancasila bukan dari Soekarno, tetapi Yamin. Namun bukan demikian cara memahami sejarah. Sejarah harus dilihat dari konteks, bukan hanya dari satu poin saja. Konteksnya Yamin mencetuskan identitas manusia Indonesia. Soekarno memulainya dari kesadaran bahwa di Indonesia ada banyak suku (Jawa, Flores, Sunda, Kalimantan, Dayak, Batak, Bugis, Madura, Cina, dll.). Bagaimana membahasakannya? Apa itu nasionalisme? Nasionalisme adalah kemanusiaan, demikian kata Mahatma Gandi. Manusia Indonesia bukanlah suku yang lebih tinggi dari suku yang lain, tetapi disatukan oleh prinsip kemanusiaan, kerakyatan, keadilan. Baru muncul terminologi ketuhanan. Soekarno melihat fakta bahwa di Indonesia ada Islam, Kristen, Hindu, Budha, dll. Yang dia ringkas bukan dalam keagamaan tetapi ketuhanan. Pancasila sebenarnya merupakan gramatika eksistensi bangsa Indonesia. Gramatika artinya kalau kamu tidak ke situ arahnya, maka kamu tidak mengerti apa yang digramatikakan. Kalau kamu bicara bahasa Inggris tanpa gramatika yang benar, orang tidak bisa mengerti. Me loving she. Gimana gramatikanya? Seharusnya “I love her.”
HUKUM
Konteks hukum dalam filsafat politik sangat penting. Apa itu hukum? Pertanyaan ini tak boleh disempitkan pada poin definisi. Kita tahu yang disebut hukum adalah larangan dan perintah. Ini bukan definisi. Hukum apapun selalu menunjukkan larangan dan perintah, misalnya “Jangan mencuri,” “Berbaktilah kepada-Ku saja,” “Jangan kencing di sini!” Hukum tak pernah harapan. Hukum tidak pernah “Moga-moga tidak kencing di sini.” Hidup selalu hidup dalam koridor hukum. Bukan “moga-moga mahasiswa pakai sepatu.” Menyebut hal ini belum memenuhi hukum itu sendiri.
Dari Thomas Aquinas, kita melihat lebih dalam. Kalau hukum memerintah, memerintah apa. Kalau melarang, melarang apa. Dari Skolastik, akal budi manusia memilik ketentuan yang jelas. Yang disebut perintah ialah kebaikan. Hanya kebaikan yang bisa menjadi hukum. “Orang seperti ini harus dibunuh.” Ini bukan hukum, karena yang bisa memerintah hanya kebaikan. Dan apa yang dilarang? Yang dilarang adalah melalukan keburukan. Thomas Aquinas juga mengajarkan kepada kita,”Apa itu baik?” Sebab baiknya Hitler itu berbeda dari baiknya Yohanes Paulus II. Bagi Hitler, baik itu membunuh orang-orang Yahudi. Baik menurut Yohanes Paulus II, sebaliknya, menyambut, melindungi, menemani orang Yahudi. Tetapi salah besar kalau kebaikan dipandang relatif. Menurut TA, baik itu keharusan yang harus dijalankan. Buruk itu keharusan untuk tidak dijalankan, keharusan untuk dihindari. Jadi, apa itu baik menurut TA ialah apa itu yang mengalir dari akal budi. Jadi kalau hukum adalah memerintahkan kebaikan, maka hukum itu bagi TA adalah keteraturan (order of ration / ordo rationes) dari akal budi. Keburukan di luar itu, di luar koridor masuk akal.
Senin 25 Maret 2013
Dalam bahasa latin, HUKUM disebut LEX, dari kata kerja: ligare yang artinya mengikat, ligere yang artinya membaca.
Lex sebagai sebuah hukum memiliki karakter mengikat dan memiliki keharusan untuk dibaca dan dipahami secara menyeluruh. Ius berarti benar, Gereja mengaplikasi terminologi Ius dalam hukum Gereja. Thomas Aquinas mengusung filsafat hukum yang langsung berhubungan dengan kodrat manusia yang menjadi ketentuan yang memerintahkan kebaikan dan melarang keburukan itu harus bersumber dari akal budi; Hukum adalah keteraturan dari akal budi Ordo Rationis. Cara mengerti hukum, tak boleh dipahami sebagai larangan sebagai larangan, perintah sebagai perintah; misalnya sepeti orang Yahudi yang dieksterminasi oleh Hitler. Hukum Hitler mengabdi pada ideologinya. Setiap hukum memiliki konsekuensi.
Menurut Thomas Aquinas, hukum juga harus mengabdi kepada komunitas secara keseluruhan yang memiliki karakter tujuan kebaikan (bonum commune). Kedalaman harus merujuk kepada momen-momen sejarah seperti itu. Hukum itu tak boleh dimengerti hanya sekedar larangan dan perintah. Hukum itu akan berlaku apabila dipromulgasikan / diberlakukan, dia yang memiliki responsibilitas keberlangsungan dari komunitas.
Hukum itu memiliki karakter kepastian. Pasti artinya tidak ada konflik dan kontradiksi. Pasti ada 2 yakni kepastian dalam delik ketentuan, dalam hukum yang setiap pasalnya tidak boleh bertentangan dengan pasal yang lain. Contoh UU tentang kerukunan umat beragama, yang bagi Prof. Armada, hukum ini salah misalnya orang melaksanakan ajaran agamanya itu hak, tetapi dalam hukum itu dikatakan “Karena orang wajib menjalankan agamanya maka orang harus menghormati orang lain ketika orang lain menjalankan imannya.” Ini kalimat yang problematif. Apabila orang wajib menjalankan agamanya itu berarti wajib menjalankan agama masing-masing sesuai imannya, hukum ini bertentangan dengan undang-undang perkawinan yang tidak mengakui perkawinan yang tidak seagama. Kalau ada yang beda agama maka salah satu harus ada yang mengalah, padahal dalam hukum ini wajib. Misalnya lagi ada “hukum anti murtad,” hukum ini pun tidak benar.
26 Maret 2013
Ordo rationis → ordo artinya tata/keteraturan; rationis artinya akal budi
Tema OR Thomas ini mendominasi logika hukum, artinya hukum tak boleh sekadar dilihat sebagai aturan yang diberlakukan oleh penguasa. Hukum harus menerjemahkan recta ratio. Recta berarti benar, recta ratio berarti akal budi benar. Karena keterpautan yang begitu mencolok antara kebenaran hukum dan kebenaran akal budi, maka dalam TA hukum itu menyatu dengan moralitas.
Apa artinya keterkaitan hukum dengan moralitas, artinya
(1) moralitas filosofis sebagaimana diusung oleh TA itu selalu menunjukkan perpanjangan dari apa yang merupakan produk akal budi. “Jangan membunuh orang tak berdosa” merupakan hukum yang tak perlu ratifikasi dari siapa pun. Moralitas identik dengan rasionalitas. Pada poin ini, Gereja mengadopsi kebenaran ini, bahwa embrio, janin, zygot, sejak pertemuan sperma dan ovum tak boleh diapa-apakan karena itu sudah menjadi manusia walaupun masih berupa darah, tetapi in potentia activa manusia, maka tidak boleh diintervensi. Logika kebenaran ini bukan doktrin. Ini adalah produk dari akal budi. Hukum itu gandeng dengan moralitas, maka dalam arti tertentu moralitas identik dengan rasionalitas. Hukum harus mengabdi pada moralitas.
(2) Dalam kasus “Hukum itu tidak adil” – artinya hukum yang mengabdi pada kepentingan tertentu, bukan kepentingan komunitas untuk meraih bonum commune – menurut TA, hukum tidak adil itu jelas kehilangan rasionalitasnya. Artinya, kehilangan karakter moralitasnya. Karena hukum itu kehilangan karakter moralitas, maka tunduk kepada hukum tidak adil itu menurut TA sama dengan tindakan yang tidak bermoral. Kebalikannya, ketaatan terhadap hukum yang tidak adil merupakan ekspresi dari tindakan moral.
Hukum yang salah misalnya tentang LBGT. Ada semacam suasana yang diproduksi hukum yang menunjukkan bahwa eksistensi mereka tidak perlu ada, tetapi de facto mereka ada meskipun mereka sendiri tidak mau menjadi seperti ini. Bukannya membela hukum perkawinan homoseksual, tetapi karena suasana hukum bagi mereka begitu mengkhawatirkan karena seolah-olah mereka tidak dianggap manusia. Contoh lain juga hukum tentang PKI. Asal orang tampak, atau bahkan pernah membonceng PKI, orang akan diciduk atau bahkan dibunuh tanpa proses pengadilan, dan ada jutaan manusia yang diperlakukan seperti ini.
Dalam TA hukum punya 2 kepastian, delik hukum dan ketentuan pelaksanaan hukum. TA menggunakan konsep-konsep realistik. Yang oposit dari gagasan TA disebut hukum perspektif voluntaristik. Persepktif voluntaristik memiliki karakter jelas yang pertama, yaitu bahwa hukum itu ekspresi dari voluntas (kehendak) pemegang kekuasaan. Hukum ada kalau ada yang menghendaki untuk diberlakukan. Logika kecilnya, hukum bukan perkara akal budi, tetapi kehendak dari penguasa. Pengusung perspektif ini yang ditunjuk misalnya Fransesco Soares, SJ dari Spanyol, lalu Thomas Hobbes, Jean Jacques Rousseau. Rousseau malah menyebut bahwa kehendak rakyat, itulah hukum. Voluntarisme menggariskan bahwa hukum semata-mata kehendak penguasa. Kalau demikian, hukum tidak boleh sewenang-wenang tentu akan mengatakan bahwa betapa penguasa ini tiranis. Dalam praktik, hukum voluntaristik banyak menyisakan contoh-contoh ketidakadilan yang sangat jelas, terutama dalam pemerintahan tiranis. Pada zaman Soeharto, serta-merta pada waktu itu ada karikatur Kompas, Suharto memegang sapu sambil menyapu peta Indonesia, dan yang disapu Soeharto adalah manusia-manusia PKI. Negara menjadikan hukum dari kehendak penguasa dan hukum ini mengalir pada rakyat. Rakyat menjadi perpanjangan tangan hukum pemerintah. Rakyat ikut menyapu para PKI. Di sini kehendak tidak berjalan semestinya. Seharusnya hukum menjadi tata hidup bersama.
Senin 8 April 2013
Bagaimana hukum dimengerti secara lebih rinci oleh Thomas. Baginya, hukum dibagi menjadi dua: pertama, hukum yang langsung berhubungan dengan tata ilahi dan kedua, hukum yang menjadi milik manusia. Ia merancang hukum segaris dengan ajaran Gereja Katolik bahwa manusia diciptakan secitra dengan Sang Penciptanya. Secitra atau segambar bukan berarti serupa secara fisik, tetapi dalam arti kodrati (bukan kodratnya sama dengan Tuhan, tetapi kodrat manusia mengalir secitra dengan Allah). Thomas sangat konsisten. Ketika hukum menjadi tata akal budi (ordo rationis), tata akal budi manusia mengalir derivatif dari tata akal budi Ilahi. Tak mungkin manusia memiliki keteraturan yang berasal dari akal budi bila tidak dimengerti itu berasal dari Tuhan. Ciptaan itu punya kapasitas keteraturan rasional bila itu mengalir dari Sang Penciptanya.
Thomas berpikir apa jika hukum menyentuh tata akal budi ilahi? Menurut Thomas, hukum Ilahi itu ada dua. Pertama, disebut eternal law (hukum abadi, berarti hukum atau tata yang seutuhnya menjadi milik Allah dan itu tak terambah oleh akal budi manusia), dan kedua, hukum positif ilahi. Positif artinya, hukum itu memaksudkan hukum yang diberlakukan. Hukum positif ilahi ialah Kitab Suci. Mengapa Kitab Suci termasuk hukum ilahi? Karena Kitab Suci adalah sabda Tuhan. Kitab Suci bukan buatan manusia. Hukum yang ada dalam Kitab Suci, misalnya Sepuluh Perintah Allah.
Menurut Thomas, hukum yang menjadi milik manusia itu ada dua, yaitu (1) hukum sipil (hukum positif) misalnya UU, KUHP, dll. Hukum sipil diderivasi (diturunkan) dari tata ilahi. Jadi, membela korban kekerasan (misalnya dalam kasus pelecehan seksual) merupakan kebenaran universal yang berasal dari Tuhan. Hukum yang menjadi milik manusia itu, selain hukum sipil atau hukum positif, manusia memiliki (2) hukum Gereja. Hukum Gereja masuk dalam tata hidup manusiawi. Hukum Gereja menjadi contoh bahwa hukum harus ditarik dari Kitab Suci, sabda Tuhan. Untuk membuat hukum, orang harus memahami dari mana hukum itu dibuat. Misalnya Konstitusi Ordo Karmel, atau Konstitusi Pasionis, atau Konstitusi Vinsensian, atau Statuta Keuskupan, aturan ini harus dibuat bukan menurut tatanan yang dipikir sebagai pemimpin, tetapi harus diturunkan dari sumber yang benar. Biasanya sumber itu mengalir dari Hukum Gereja, lalu Statuta Regional. Pada akhirnya, semua harus dikembalikan pada Sabda Tuhan. Jadi, hukum bukan mengalir dari penguasa. Logika ini harus dikenal. Termasuk juga dalam membuat UU di kabupaten, provinsi, kota, dsb. harus dibuat berdasarkan UUD dan Pancasila.
Contoh hukum yang kurang direalisasikan dengan baik di Indonesia adalah UU perlindungan anak. Kerasulan Rm. Paul Janssen CM memberikan sumbangan yang besar bagi anak-anak cacat. Hukum manusiawi lahir dari hukum ilahi.
Masih ada satu hukum lagi yang masih sangat penting untuk didalami, sebagai ciri khas dari studi hukum dalam Gereja Katolik, yaitu hukum Natural. Hukum natural punya banyak nama, bisa law of nature, natural law, hukum kodrat. Bagaimana posisinya dalam Thomas Aquinas? Apa itu hukum kodrat? Hukum kodrat adalah nama yang dimaksud Thomas untuk menyebut TATA KETERATURAN ALAM CIPTAAN yang dari sendirinya mengalir dari Sang Penciptanya dan diketahui, dikenali dengan baik oleh akal budi manusia. Dari sendirinya, yang disebut hukum kodrat itu tak tertulis, tak positif, bukan seperti hukum sipil yang tertulis dan dibukukan, bukan seperti KHK, tetapi hukum kodrat adalah hukum akal budi itu sendiri. Mereka yang berasal dari fakultas hukum, hukum positivistik, sering kali tidak mengakui hukum kodrat karena memang tak tertulis, tidak ada yang memberlakukan. Tetapi dalam filsafat politik dan universitas-universitas Katolik, hukum kodrat adalah hukum universal manusia sebagai manusia. Contohnya, Tuhan itu begitu indah dalam menciptakan manusia, sampai-sampai Tuhan berkata, ketika Dia melihat manusia, Dia mengatakan bahwa manusia adalah ciptaan yang sangat indah, sehingga hidup manusia itu harus dijaga. Tak pernah boleh diintervensi pada level apapun. Itu hukum kodrat, bukan berasal dari Kitab Suci. Artinya, setiap manusia yang mungkin belum membaca Kitab Suci atau bahkan tak pernah mengenal Kitab Suci, kalau ada wanita hamil tidak boleh diintervensi dengan alasan apapun.
9 April 2013
Hukum natura atau hukum kodrat atau lex naturalis itu punya beberapa perspektif. Maksudnya, perspektif yang pertama tentu hukum kodrat adalah hukum yang berada dalam ranah filsafat. Gereja Katolik memaknai dengan sungguh-sungguh untuk mengatakan bahwa makna yang diatribusikan Gereja berdasarkan bukan pada wahyu tetapi pada akal budi, makna hukum kodrat menjadi fondasi / dasar dari perkara penilaian moral atau etika dalam banyak kasus. Hukum kodrat juga menjadi fondasi untuk melihat hak-hak asasi manusia. Hukum kodrat dimaknai sungguh-sungguh penting. Kalau kamu mau jadi dosen moral, atau dosen filsafat kamu harus mengerti dengan baik hukum kodrat. Hukum kodrat itu punya kepentingan yang immens (sangat penting) dalam Gereja Katolik. Kamu harus tahu ketika belajar filsafat politik, yang disebut filsuf sebangsa Hobbes, Locke, dst. Itu juga filsuf-filsuf yang mendasarkan tesis-tesis filsafat politiknya pada natura. Thomas Aquinas juga mengurus hukum kodrat.
Apa arti hukum kodrat menurut Thomas? Menurut Thomas, hukum kodrat berarti tata kodrati manusia. Tata kodrati manusia itu rujukannya adalah kisah penciptaan. Ketika Tuhan menciptakan Adam dan Hawa, itulah ideal dari tata cipta. Menurut Thomas, tata ciptaan itulah kesempurnaan kodrati. Dari ciptaan itu, mengalir hukum. Hukum jangan dimengerti seperti larangan dan perintah. Hukum itu tata akal budi. Menarik untuk menyimak Thomas, karena menurutnya ketika Adam dan Hawa diciptakan, di situ segala kesempurnaan hidup manusia dihadirkan, ditampilkan, yaitu misalnya kesederajatan antara laki-laki dan perempuan. Relasi keduanya adalah relasi cinta. Bukan hanya keduanya, tetapi juga dengan Penciptanya. Cinta itu mengalir dari Tuhan. Tuhan dan manusia saling mencintai. Jadi hukum kodrat adalah tata yang dikembalikan pada wilayah kodrati, dan kodrati manusia itu ialah ketika manusia diciptakan oleh Tuhan. Tetapi, kodrat manusia lalu dilukai oleh dosa. Dosa itu bukan kodrat manusia. Mengacau kodrat manusia. Dalam teologi moral, dosa itu menurut Thomas, berarti melawan kodrat manusia. Melakukan hubungan seks itu dosa, bila dikerjakan bukan dalam kapasitas sebagai suami istri, karena itu melawan kodrat. Masturbasi itu dosa, karena tidak kodrati. Thomas mengintroduksi kepada kita, bahwa dosa berarti manusia tidak hidup sesuai dengan kodrat. Lantas apa arti terdalam kodrat. Bagi Thomas, kodrat berarti itu yang menjadi tujuan dari penciptaan. Allah menciptakan manusia itu bukan asal suka melihat manusia. Menurut Thomas, Tuhan menciptakan manusia bukan karena senang melihat manusia, tetapi karena penciptaan itu mempunyai tujuan. Setiap orang ada sampai sekarang ini, punya tujuan. Dosa berarti, ketika langkah manusia, perbuatan tangan, kaki, matamu, tidak sesuai dengan tujuan itu.
Manusia membawa apa yang disebut finalitas, punya tujuan. Kalau tangan mengambil apa yang bukan saya miliki, itu bertentangan dengan finalitasnya. Kaki juga demikian. Kaki bukan untuk menginjak, sebab kalau saya menginjak orang, saya jelas melawan finalitas kaki. Sapi tidak memiliki finalitas semacam ini. Lalu kalau menurut Rm. Armada, bahwa sapi itu tidak punya finalitas, apakah itu perlu bukti? Apa perlu tanda? Ya sudah. Ya begitu saja. Hanya kita yang punya finalitas, karena tubuh manusia dan kehadiran manusia punya finalitas. Hukum kodrat menurut Thomas, berarti ketika tata akal budi itu dikembalikan kepada finalitas saya sebagai ciptaan.
Misalnya perlindungan terhadap hak berpendapat karena finalitas mulut yang diciptakan manusia itu untuk bersuara. Seluruh tubuh manusia harus ditempatkan pada posibilitas manusia untuk mengembangkan diri karena Tuhan menciptakan segala yang kita miliki untuk belajar, mengambangkan diri. Dosa itu ketika manusia melawan kodrat manusia. Melawan kodrat berarti, dalam kisah penciptaan, Adam dan Hawa melakukan apa yang disebut penyangkalan, penolakan terhadap Tuhan Allah.
Drama kejatuhan manusia begitu dramatis. Di mana dramatisnya? Yaitu ketika manusia membiarkan dirinya melakukan negosiasi dengan setan. Produk dari negosiasi itu ialah bahwa manusia itu lalu mendengarkan setan. Mendengarkan setan berarti manusia menolak Allah. Dan tidak ada yang lebih buruk daripada kenyataan bahwa cinta pun ditolak. Dan ini perkara cinta Allah yang menyelamatkan. Jatuh ke dalam dosa berarti manusia memeluk kematian. Urusan kita ialah, manusia itu karena kodratnya, ia secitra dengan Allah. Muncul masalah besar, yaitu ketika natura manusia diobrak-abrik oleh konsep-konsep yang salah.
Intermezzo: Kisah orang-orang Dalit di India, soal diskriminasi antara Dalit (kaum tanpa kasta) dengan orang-orang berkasta (Brahma, Ksatria, Waisya, Sudra). Bagi yang masih mau lihat atau belum nonton, cari di Youtube dengan tag: Dalit, the untouchable.
16 April 2013
Hak Asasi Manusia
Realitas manusia atau realitas hidup bersama dari manusia telah kita lihat dari realitas kaum Dalit di India sebagai ekspresi dari sebuah pemahaman filsafat manusia dari kedalaman. Salah satu cara untuk mengerti HAM biasanya memiliki tiga sudut pandang pembahasan. Pertama, dari perspektif historis. Kedua, dari perspektif sistematis. Ketiga, dari perspektif fenomenologis. Filsafat tentang HAM itu mengenal sejarah. HAM merupakan bagian dari sejarah peradaban manusia. HAM juga mengenal apa yang disebut sistematisasi ajaran, sistematisasi pembahasan filosofis. Dan dalam HAM dikenal apa yang kita sebut fenomena, fenomen hidup, tata hidup bersama. Cara mengenali HAM, harus mengenal dan mengerti sejarah.
Dulu, tentu dalam sejarah peradaban manusia, dikenal beberapa cetusan deklarasi HAM seperti misalnya Magna Charta Kerajaan Inggris. Ini juga masuk dalam cetusan awali bagaimana hak asasi manusia, meskipun belum begitu detail dan jelas dikatakan mengenai HAM. Yang ada adalah penuturan hak dan kewajiban masyarakat terhadap rajanya.
Yang sering kali dirujuk adalah revolusi Prancis yang berhubungan dengan runtuhnya penjara Bastilles. Dalam revolusi Prancis, di situ dikatakan sebuah pemahaman baru tentang tata hidup bersama yang difondasikan kepada kesederajatan; legalite, fraternite, liberte, (dan chastite). Revolusi Prancis menjadi sebuah sejarah – katakanlah begitu – sejarah hadirnya gelombang pemahaman manusia bahwa manusia itu sederajat, bersaudara dan memiliki kebebasan. Revolusi Prancis adalah revolusi rakyat yang sangat tidak sistematis, karena kalau itu kekuasaan di dalam rakyat, akan terjadi kekacauan yang luar biasa. Pada waktu itu serangan ditujukan kepada absolutisme raja dan Gereja. Jadi kita tahu dari sejarah, pertama-tama mengatakan perlawanan terhadap absolutisme kekuasaan. Raja itu absolut pada waktu itu, terlihat dari deklarasi Louis XIV yang mengatakan l’état c’est moi. Mengenai negara, aku. Hukum adalah aku sebagai raja. Ini tatanan hidup bersama yang difondasikan pada monarki, di mana kuasa berasal dari raja.
Mengapa dalam revolusi Prancis hal serupa juga ditampilkan pemberontakan kepada Gereja? Gereja, ingat dalam abad pertengahan bukan hanya pemegang kunci kerajaan surga, tetapi Gereja adalah penguasa atau identik dengan kekuasaan di dunia. Gereja itu, ya seperti para uskup, itu amat berkuasa. Kekuasaan itu sering terkait dengan kekuasaan raja. Gereja juga menjadi pemegang kebenaran ilmu. Jadi absolutisme dalam arti tertentu juga masuk dalam bidang kehidupan religius. Karena Gereja juga adalah ekspresi dari absolutisme, maka yang namanya HAM menentang absolutisme Gereja juga. Gereja di Eropa tampak betul-betul pendiri kota. Tanah-tanah dimiliki oleh ordo atau kongregasi. Dari sejarahnya, para bangsawan yang tuan-tuan tanah, kerap menghibahkan tanahnya untuk Gereja. Misalnya kota Makati di Filipina, hampir setengahnya milik Yesuit. Mengapa? Karena sebelum ada Kota Makati, Yesuit tinggal di sana. Revolusi Prancis berakibat dramatis bagi Gereja, karena seluruh harta Gereja diambil habis.
Dalam sejarah HAM yang juga masuk sebagai episode historis, HAM tidak hanya melawan absolutisme tetapi juga melawan totalitarianisme. Hal itu muncul ketika negara menampilkan ideologi totaliter yang terjadi pada Perang Dunia II, pada masa Hitler. Manusia diperkosa dari kodratnya. Yahudi, Hippies, tawanan perang itu betul-betul tidak dianggap sebagai manusia. Dan periode totalitarianisme ini menyumbangkan deklarasi HAM universal, Universal Declaration of Human Right tahun 1948 di Paris, Prancis. Salah satu drafternya, Samuel Chasent, seorang pengacara Yahudi. Turut juga Jacques Maritain seorang katolik. Dalam deklarasi itu, nomor satu judulnya ialah “Man by nature born equal.” Itu berasal dari Hobbes, Leviathan XIII yang mengatakan bahwa “Man by nature born equal”.
Hal yang sama muncul juga dalam apartheid di Afrika Selatan yang selesai pada seorang tokoh Nelson Mandela. Dia tidak pernah menyimpan dendam terhadap orang yang memenjarakannya selama tiga puluh tahun. Malah, orang yang memenjarakannya diangkat menjadi perdana menteri.
Di Indonesia, sejarah HAM juga terjadi dalam PKI. Manusia dibunuh bukan karena salah, tetapi karena PKI. Yang disebut PKI adalah orang-orang yang bahkan hanya sekadar bersinggungan dengan PKI. Di Cina juga kacau karena adanya komunisme. HAM tidak ada dalam komunisme.
Sejarah HAM itu nyata. Ini mau mengatakan bahwa HAM bukan sebuah abstraksi, tetapi produk dari sejarah.
Poin kedua, SISTEMATIS. Artinya, bahwa HAM mengenal sistematisasi doktrin filosofis. Dalam sistematisasi HAM, kita tahu dengan baik bahwa istilah yang digunakan adalah natural right yang berasal dari laws of nature (hukum kodrati). Dulu belum ada istilah human rights. Yang ada adalah natural right. Hal ini tampak dalam Preambul UUD 1945, bahwa sesungguhnya kemerdekaan ialah hak segala bangsa. Dalam bahasa Inggris “whereas”. Kemerdekaan tidak diterjemahkan dalam independence, tetapi “liberty” dari kata libertas. “Whereas liberty is natural right.” Itu terjemahan pertama UUD 45 dalam bahasa Inggris. Kemerdekaan itu bukan human right, tetapi natural right. Beda antara human dan natural menunjukkan bahwa kita sedang membahas kodrat manusia, esensi manusia, manusia regardless (walaupun) beda of colors, of skin, of education, of nationality background, apa saja bahkan physical performance, by nature manusia itu sama. Dalam apa yang disebut sistematisasi ialah sistematisasi doktrin HAM yang berasal dari filosof politik modern, Hobbes, Locke. Hugo Grotius juga menyebutnya tetapi masih terlalu halus untuk menunjukkan doktrin filosofis HAM. Hal ini muncul dalam Hobbes yang mengatakan bahwa manusia itu sederajat dari kemampuannya untuk membunuh sesama manusia.
Sistemasi doktirn filosofis dari HAM pertama-tama diasalkan pada filosof politik modern, Hobbes, Locke, Rousseau. Hugo Grotius dilihat sebagai introduksi. Di mana kemenonjolan Hobbes? Ketika manusia dilihat sebagai yang sederajat, kesederajatan dimaknai dalam the state of nature, dalam gagasan mengenai keadaan alamiah dari hidup manusia, bahwa manusia itu bisa saling mengancam, maka di situ terjadi suatu revolusi yang sangat dramatis. Sama bukan karena akal budi, bukan karena nilai kodrati yang sejauh ini menjadi kebanggaan manusia, tetapi samanya terletak pada kapasitas yang dimiliki oleh manusia dalam keadaan yang paling dasar, yaitu bisa membunuh. Dalam apa yang disebut sistematisasi HAM, manusia memiliki esensi kodrati yang sama, sehingga manusia tak bisa diintervensi. HAM juga dinamai inalienable right, artinya “alien” makhluk asing, “alienable” artinya bahwa manusia tak bisa diasingkan dari yang lain, hak yang tak bisa dicabut. Kalau hak itu dicabut, ia bukan manusia lagi. Hal ini terlihat dari realitas Dalit. Mereka dilihat begitu polutted (najis), sampai-sampai seorang anak kecil Dalit pun bisa berkata “Am I human?” karena setiap kali dia duduk bersama anak-anak lain, dia selalu dijauhi, langsung berpindah menjauhinya.
Poin dalam sistematisasi filosofis HAM adalah kesederajatan. Maka diskriminasi harus lenyap.
Filosof lain yang juga mengurus HAM ialah Emmanuel Levinas. Dia sudah masuk dalam ranah meta etika, di atas Locke dan Hobbes. Ia menyebut etika wajah, wajah menjadi penjara bagi yang lain karena dari wajah, manusia tampak kesederajatannya.
Ketiga, fenomenologi. Poinnya, kebenaran dalam diri saya, asal-usulnya dari pengalaman saya. Fenomenologi artinya bahwa HAM itu nyata, HAM itu penting, dasarnya ialah pengalaman konkret hidup nyata. Bahwa dari pengalaman tak mungkin saya berada dalam ketertindasan terus menerus, ketidaknyamanan terus menerus. Poinnya adalah kebenaran pengalaman pribadi. Ketidakmendalaman dalam societas karena tidak mendalami pengalaman societas itu sendiri. Tata aturan apa saja, jika difondasikan pada kehendak kelompok tertentu tanpa pendalaman pengalaman bangsa itu, memang tidak mendalam. Artinya cenderung ngawur, pragmatis, menguntungkan kelompok tertentu.
Fenomenologi HAM menunjukkan bahwa HAM itu nyata dari pengalaman bangsa dalam tata hidup bersama. Setiap generalisasi, misalnya di India, kaum Brahman melihat bahwa manusia diciptakan dalam kasta dari Brahma, generalisasi ini sungguh melawan ekualitas. Ekualitas identik dengan keadilan. Keadilan artinya sederajat. Yang disebut adil itu sederajat, bukan dalam hal kepemilikan. Keadilan 10 sate untuk 5 orang akan sangat sempit jika dilihat pembagian sate menjadi dua seorang. Keadilan yang dimaksud ialah bahwa setiap orang memiliki kesempatan yang sama atas kebutuhan akan sate itu.
Keadilan berarti, setiap manusia tidak dibedakan dalam potensi untuk mengejar yang terbaik dari manusia itu. Tidak adil ketika mendahulukan kelompok-kelompok tertentu. Hal ini pernah terjadi ketika anak-anak PKI tidak boleh menerima pendidikan di universitas. Mereka yang PKI tidak bisa diterima sebagai pegawai negeri. Ini namanya diskriminasi. Seharusnya yang tak bisa diterima pegawai negeri ialah mereka yang ngantukan, males-malesan.
PAGE \* MERGEFORMAT 22
Natura manusia
Political Society
Gambaran Manusia Aristoteles
The State of Nature
Gambaran Manusia Hobbes
(Asal-Usul Negara Artifisial)
Pemimpin
The State of Nature
Gambaran Manusia Hobbes
(Asal-Usul Negara Artifisial)
Natura manusia
Political Society
Gambaran Manusia Aristoteles
(Asal-Usul Negara Natural)