MORALISASI, ESTETISASI POLITIK DAN POPULISME:
MASALAH-MASALAH DEMOKRASI INDONESIA
(Oleh: Eric Hiariej)
Saat buku yang sedang berada di tangan anda ini berada dalam proses
penerbitan Indonesia tengah menyaksikan tahap akhir Pemilihan Presiden
(Pilpres) keempat setelah jatuhnya Soeharto. Persaingan antara pasangan
Prabowo Subianto dan Hatta Radjasa melawan pasangan Joko Widodo dan Jusuf
Kalla bukan saja bisa mengimbangi perhelatan dan kemeriahan Piala Dunia 2014
di Brasil, tapi juga yang lebih penting mencerminkan beberapa kecenderungan
mendasar perkembangan demokrasi di Indonesia dalam beberapa tahun
terakhir.
Kecenderungan-kecenderungan
tersebut
adalah
menguatnya
moralisasi dalam pertarungan kekuasaan; semakin mapannya estetisasi politik;
dan, munculnya gaya kepemimpinan yang populis. Tulisan pengantar ini akan
membahas satu persatu kecenderungan yang dimaksud. Penulis berargumen
ketiganya merupakan simptom dari menghilangnya atau diabaikannya substansi
dalam politik. Penulis lebih jauh berpendapat substansi dalam hal ini adalah
antagonisme yang seharusnya menjadi basis bagaimana politik, dan tentu saja
demokrasi, dipahami, dipraktikkan dan dikembangkan. Antagonisme tersebut
hadir secara nyata dalam bentuk praktik politik yang riil, bukan sekedar politik
yang hadir melalui gambar-gambar di media. Susbtansi juga berarti proses
keterlibatan masyarakat luas dalam politik, yakni dalam merumuskan
keputusan-keputusan yang bersifat otoritatif. Moralisasi, estetisasi dan
populisme akan “menghantui” demokrasi Indonesia dalam beberapa tahun yang
akan
datang.
Kemampuan
menghadapinya,
terutama
mengembalikan
antagonisme dalam politik dan partisipasi masyarakat, terhadap kelangsungan
demokrasi di negeri ini.
Moralisasi adalah istilah yang bisa menyesatkan.1 Moralisasi tidak dimaksudkan
untuk mengatakan politik Indonesia dewasa ini telah diganti oleh moralitas atau
1
Istilah moralisasi politik bisa dilihat lebih jauh dalam Mouffe (1993, 2000,
2005)
lebih bermoral. Moralisasi juga bukan berarti masyarakat semakin peduli pada
kepentingan bersama dan meninggalkan egoisme individual. Sebaliknya , istilah
tersebut digunakan untuk menggambarkan politik yang sedang dimainkan
dengan menggunakan bahasa-bahasa moral. Antagonisme sebagai ciri mendasar
politik masih ada, hanya saja tidak lagi tampil dalam terma-terma politik.
Sebagai gantinya pertentangan antara kubu-kubu yang bersaing yang selalu
besifat konstitutif terhadap politik itu sendiri lahir dalam kategori-kategori
moral seperti “kekuatan baik” melawan “kekuatan buruk”, “kejujuran” melawan
“kejahatan”, atau “obyektifitas” melawan “kepentingan politik sesaat”.
Moralisasi adalah salah satu ciri utama Pilpres 2014. Kompetisi
kekuasaan, perbedaan ideologi dan debat politik diwarnai oleh klaim-klaim
“kebenaran”, “kebaikan” dan “obyektifitas” oleh para calon, para tim sukses atau
para pendukung. Bahkan perbedaan visi, misi dan program antara kedua
pasangan yang bertarung makin dianggap tidak terlalu penting ketimbang apa
yang berkali-kali disebut dengan “rekam jejak”, istilah yang diterjemahkan dari
bahasa Inggris track-record. Kurang lebih rekam jejak mengacu pada
pengalaman kepemimpinan di masa lalu yang dianggap membentuk kepribadian
masing-masing kandidat. Kepribadian berkaitan dengan atribut-atribut moral
seperti tegas, berani, jujur atau sederhana. Pesan utamnya hanya satu saja: para
pemilih, sudah tentu dengan terlebih dahulu mencek hati nuraninya, diharapkan
menjatuhkan pilihannya kepada kandidat yang merepresentasikan moralitas
tertinggi. Kualitas visi para kandidat bisa jadi salah satu sebab pentingnya
“ketegasan” atau “kejujuran” melampaui tawarn kebijakan. Tapi sesungguhnya
buruknya visi tersebut merupakan bagian yang tak terelakkan dari moralisasi
politik yang berkembang sudah cukup lama. Artinya, para kandidat pun sejak
awal sudah berada dalam kondisi untuk mengutamakan kategori-kategori moral
ketimbang perbedaan-perbedaan ideologi.
Dalam hubungan internasional moralisasi politik bukan barang baru.
Mantan presiden Amerika Serikat, Ronald Reagan, pernah menggunakan istilah
“axis of evil” untuk menyebut lawan-lawan politiknya di dunia internasional.
Khomeini juga menambahkan kata “setan” dalam setiap ungkapan yang ia
gunakan untuk menggambarkan musuh-musuh internasionalnya. Padanan
paling kontemporer bisa ditemukan dalam kebijakan perang melawan
terrorisme yang dilancarkan George Bush; perang yang ia kisahkan sebagai
pertarungan antara “kami yang baik” melawan “mereka yang jahat”.
Dalam politik domestik, terutama di beberapa negara di Eropa Barat,
kecenderungan moralisasi politik tampil beriringan dengan munculnya
kelompok-kelompok ultra nasionalis. Menghadapi para ethnonasionalis yang
ingin melakukan purifikasi budaya dan mengusir para pendatang ke luar dari
negerinya, para pemimpin di negara-negara tersebut dan para “demokrat” pada
umumnya mengumukan pertarungan melawan kekuatan masa lalu yang kelam,
yang akan mengembalikan Eropa ke abad kegelapan, yang menjadi kewajiban
moral setiap warga negara untuk memastikan “evil forces” seperti yang menubuh
dalam diri Jean Marie Lepen atau Jorg Haider tidak akan berkuasa.
Menurut Francois Flahaut (2003), moralisasi tidak lebih dari mekanisme
sederhana dalam diri manusia yang mengamankan dan menjamin kebaikan diri
sendiri dengan cara menyalahkan dan menempelkan keburukan kepada orang
lain. Menganggap orang lain buruk secara moral selalu menjadi cara mudah dan
kuat untuk menemukan nilai moral yang tinggi dalam diri sendiri sebagai bagian
dari idealisasi diri. Dalam dunia serba rasional idealisasi diri semacam ini
menjadi tidak terelakan sebagai bentuk pelarian manusia modern dari
mediocrity-nya sendiri, kesadaran atas sisi negatif moralitas pribadi dan
penemuan kembali heroisme.
Tapi yang lebih penting, ketika politik dijalankan dengan menggunakan
bahasa-bahasa moral, antagonisme tidak dapat ditampilkan dalam bentuk yang
tidak destruktif terhadap demokrasi itu sendiri. Pertama-tama moralisasi
membuat para kandidat cenderung meperlakukan satu sama lain sebagai musuh
yang tidak memiliki hak hidup hanya karena kebaikan dan keburukan tidak bisa
hidup bersama dalam sebuah tubuh politik. Moralisasi karenanya menghentikan
debat. Setiap sikap tidak setuju terhadap calon tertentu dengan mudah
diterjemahkan sebagai penolakan terhadap kebaikan. Mengkritik bisa sama
artinya dengan fitnah dan tidak berpihak pada calon tertentu dapat
dikategorikan guilty by omission. Tidak mengherankan jika moralisasi selalu anti
intelektualitas. Sejak kandidat siapa saja bisa digambarkan secara moral
bermasalah dan diperlakukan sebagai “penyakit”, bahkan penjelasan pun tidak
boleh ada. Kecaman moral tampil menggantikan analisis politik yang bermakna.
Penulis berargumen munculnya moralisasi politik berkaitan erat bukan
saja dengan ketidakmampuan demokrasi di Indonesia menyediakan alternatif
dalam pilihan politik, tapi juga yang terpenting memudarnya antagonisme.
Memudarnya antagonisme itu sendiri sering dirayakan sebagai kemajuan
demokrasi (lihat, misalnya, Habermas 1998, 2001; Giddens 1991, 1994; Beck
1994, 1997); dengan sengaja dianjurkan dan diperjuangkan, terutama dengan
mengetengahkan praktik-praktik sepertia dialog, pluralism dan individualism
sebagai ganti konfrontasi politik. Dialog diantaranya kian dianggap sebagai
esensi demokrasi modern yang sejalan dengan kecenderungan semakin
menguatnya politik yang terpusat pada individu dan penanggulangan resiko.
Dialog juga menjadi kata kunci bagi negara-negara demokrasi baru seperti
Indonesia yang sangat menekankan arti penting kehadiran wilayah publik,
warganegara yang aktif dan masyarakat sipil. Politik, dan, karenanya, demokrasi
dalam hal ini menjadi urusan teknokratik dan administrative penyelenggaraaan
dialog.
Persoalannya identitas dan dimensi afektif adalah dua hal tak terelakkan
dalam politik. Setipa orang selalu mengasosiasikan dirinya dengan identitas
politik tertentu. Sejak identifikasi melibatkan proses-proses afektif bisa
dipastikan politik akan selalu ditandai oleh mobilisasi passion. Artinya
demokrasi tidak bisa menutup dirinya dari identifikasi dan passion. Jika
demokrasi menjadi steril, menjadi medan yang bersih dari antagonism, hampir
dipastikan identitas politik dan dimensi afektif akan muncul melalui kanal yang
lain yang jutseru mengancam demokrasi.
Miskinnya debat, perbedaan yang substansial dalam kebijakan dan
konfrontasi antar proyek politik yang saling berseberangan seperti yang bisa
disaksikan di Indonesia dalam beberapa tahun terakhir membuat sebagain besar
pemilih tidak bisa mengasosiasikan dirinya dengan identitas politik tertentu.
Karena kemiripan visi dan misi para kandidat, sementara identitas selalu
mensyaratkan kehadiran “negative other” untuk menegaskan dan membuat
penting keberadaannya, para pemilih praktis sulit melakukan identifikasi.
Menurut Mouffe (1993, 2000, 2005) kecenderungan ini menjelaskan muncul dan
populernya kelompok ultra nasionalis di Eropa Barat (atau bisa juga kelompok
fundamentalisme agama di negara-negara seperti Indonesia). Konsensus dalam
proyek politik meninggalkan ruang kosong negative other yang diperlukan bagi
proses identifikasi dan mobilisasi passion. Kelompok ultar nasionalis dan
fundamentalis tumbuh dan menjadi terkenal dengan jalan mengisi ruang kosong
tersebut.
Penulis berargumen kemunculan kedua jenis komunalisme ini bukan
satu-satunya akibat yang ditimbulkan oleh ketiadaa konfrontasi politik dan
debat yang substantif. Moralisasi seperti yang diuraikan di atas adalah
kecenderungan lainnya. Moralisasi tidak mengisi ruang kosong atau menjadi
negative other yang hilang; tapi menulis dan mempraktikkan ulang antagonism
dengan bahasa-bahasa moral. Terdapat perbedaan penting antara demokrasi
sebagai antagonisme dan antagonisme yang dibungkus seruan-seruan moral.
Sementara model pertama berisi konfrontasi politik yang melibatkan dua pihak
yang berseteru sebagai “lawan” (adversary); model kedua melibatkan dua pihak
sebagai “musuh” (enemy). Adversary adalah musuh yang legitimate dan memiliki
hak hidup, sedangkan enemy adalah musuh yang harus dibasmi. Dengan lain
perkataan demokrasi sebagai antagonisme tidak lebih dari pertarungan politik
biasa yang menghasilkan pemenang dan pecundang; yang akan kembali
bertarung pada kesempatan berikutnya. Sebaliknya antagonisme yang moralistic
menyerupai pertarungan hidup-mati yang bersifat zero-sum-game, yang satu
bertahan yang lain harus tiada. Antagonisme yang moralistik dalam hal ini
memiliki kecenderungan kuat melahirkan demokrasi yang menyerupai fasisme
karena tidak membolehkan hadirnya alternative.
Istilah estetisasi politik yang penulis gunakan bersumber dari konsep
aestheticization of politics yang diperkenalkan Walter Benjamin (1936) dan
aestheticization of everyday life yang dikembangkan dalam cultural studies (lihat,
misalnya, Featherstone 1991, 1992; Featherstone et.al 1991). Benjamin
menerapkan konsep aestheticization of politics untuk menggambarkan kondisi
senin dan budaya di jerman yang digunakan untuk meng-glorifikasi fasisme. Seni
dan budaya bahkan bisa menampilkan fasisme dalam wajah yang sangat artistic,
indah dan anggun, bertolak belakang dengan cerita tentang kamar gas atau
kereta maut. Menurut Benjamin proses reproduksi mekanistis terhadap produkproduk senin adalah factor penyebab. Proses tersebut menanggalkan apa yang ia
sebut sebagai aura dalam seni dan budaya, yang kemudian memudahkan rezim
fasis (atau juga kapitalisme) memanfaatkannya untuk menundukan dan menarik
simpati.
Aestheticization of everyday life mengacu pada meningkatnya arti penting
persepsi estetik dalam konsumsi masyarakat modern. Kecenderungan ini
berkaitan dengan makin banyaknya aspek dalam kehidupan sehari-hari yang
menjadi subjek prinsip-prinsip estetik, yang memberi penghargaan yang sangat
tinggi pada keindahan dan seni. Perkembangan pesat teknologi digital
mempercepat aestheticization of everyday life. Teknologi ini memungkinkan
tanda dan imej membanjiri kehidupan seharai-hari, sampai pada titik ketika
tanda yang awalnya merefleksikan relaitas saat ini dianggap telah menjadi
relaitas itu sendiri.
Tulisan ini memahami estetisasi politik sebagai kecenderungan dalam
dunia politik kontemporer ketika imej dan tanda berperan penting dan
menentukan. Sejak revolusi televisi banyak kandidat presiden di dunia yang
terpilih berkat ketrampilan tampil di depan kamera. Ronald Reagan adalah lagilagi contoh spektakuler. Sekalipun bukan tergolong presiden yang “intelek”,
mantan aktor tersebut memenangkan pemilihan setelah media berhasil
“mempermak penampilannya” agar bisa hadir sebagai sosok yang mampu
mengembalikan nama besar negaranya yang dipermalukan dan dibuat tidak
berdaya dalam drama penyanderaan warga sipil AS di Teheran. Kesuksesan
PDIP dalam pemilu pertama setelah Soeharto jatuh juga berkaitan dengan imej
Megawati sebagai orang tertindas. Sementara dibalik kemenangan mengesankan
SBY adalah citra negarawan, penuh perhitungan, jujur dan moderat. Pilpres 2014
juga tidak sepi dari tanda dan imej yang membanjiri kehidupan sehari-hari para
pemilih. Para kandidat bukan saja menampilkan dirinya sebagai representasi
moralitas tertentu seperti jujur, sederhana, berani dan tegas; tapi juga
membuktikan keberadaan moralitas tersebut dengan gambar, pilihan jenis
pakaian, bahasa tubuh, warna dan berbagai bentuk tanda lainnya. Memilih
kemeja puith dan kopiah hitam atau kemeja kotak-kotak adalah pesan politik.
Profilerasi imej dan tanda di tempat-tempat umum atau melalui media
massa dalam rangka pemilu sebetulnya adalah reproduksi realitas politik dalam
dunia ideal. Pertama, tegas, wibawa, santun, jujur, bersih, pro rakyat,bersahaja
dan adil adalah sejumlah tanda yang diasosiasikan dengan para kandidat
pemimpin. Program politik dan rencana kebijakan masih penting, tapi
berangsur-angsur kalah pamor dibanding aksentuasi diri sebagai pemimpin
terbaik yang disimbolkan imej tertentu. Tidak heran jika semua kandidat
cenderung narsistik.
Narsisme mendorong setiap para calon mengasosiasikan dirinya dengan
sebanyak mungkin tanda-tanda ideal. Seorang capres, misalnya, menampilkan
dirinya sebagai pemimpin masa depan yang tidak saja tegas tapi juga pro rakyat,
berwibawa dan adil, jujur dan bersahaja, nasionalis dan kosmopolit, bagian dari
kelompok terpilih dan mewakili kelompok marginal. Sementara tanda-tanda ini
bisa dilihat sebagai mistifikasi terhadap, diantaranya, kapasitas para kandidat,
asosiasi tak terhingga dengan imej figur menjanjikan yang tersedia dalam
repertoire budaya yang ada melahirkan kandidat-kandidat schizophrenik. Secara
klinis mungkin tidak sepenuhnya tepat, tapi schizophrenia bisa digunakan untuk
menyebut ketidakjelasan makna dan kualitas sesungguhnya seorang capres
selain impresi dan sensasi yang ditimbulkan oleh berbagai imej dalam gambar
atau di layar kaca yang bukan saja tidak memiliki hubungan logis satu sama lain,
tapi bisa jadi bertolak belakang.
Kedua, politik ditampilkan dalam wajah yang indah dan menarik.
Berpolitik karenanya mudah dan menyenangkan. Para kandidat menjadi
semacam selebriti yang memainkan dan merayakan politik yang hampir
sepenuhnya mengalami proses estetitasi, yang membebaskannya dari realitas
seperti konflik kepentingan yang bisa keras, tidak terdamaikan dan
menyakitkan. Estetisasi membuat style dan stylization of life menjadi lebih
penting ketimbang substansi. Kampanye berfungsi untuk mempresentasikan
gaya hidup, sensasi dan pengalaman baru. Gaya hidup yang ditampilkan adalah
yang sudah didekorasi untuk menyembunyikan dan menonjolkan aspek-aspek
tertentu kehidupan sehari-hari.
Estetisasi karenanya menekankan penampilan. Memenangkan hati
pemilih merupakan soal performa diri yang ditentukan oleh manajemen impresi
dan
pengelolaan
outer-body.
Pentingnya
berpenampilan
menarik
mendesakralisasi tubuh dan menjadikannya sebagai arena kompetisi politik.
Model pakian, bahasa tubuh, gestur dan demeanour menerangkan kepada
pemilih seperti apa kualitas seorang kandidat. Dalam hal ini cara bertutur,
misalnya, menjadi janji politik yang lebih menentukan ketimbang isi
pembicaraan.
Profilerasi imej dan tanda dalam politik yang dimungkinkan oleh
percepatan reproduksi mekanik di dunia media massa dan budaya pop
berpengaruh besar terhadap demokrasi. Pertama, estetisasi membuat kampanye
sulit dibedakan dari, misalnya, festival Indonesian idol. Sekilas tampak
demokratis karena kekuasaan menentukan siapa yang terbaik berada
sepenuhnya di tangan audiens sekalipun terdapat ahli dan komentator yang
mengevaluasi penampilan para kandidat. Tapi seperti disinggung di atas impresi
yang ditimbulkan imej berpotensi mengalihkan perhatian publik dari kualitas
sesungguhnya para kandidat. Artinya, pemilih boleh berkuasa penuh tapi
pemilihan tidak lagi melalui proses konfrontasi proyek politik yang memadai.
Pertimbangan
dan analisis politik karenanya berkurang dan sikap kritis
melemah. Sebagai gantinya suka dan tidak suka merupakan faktor menentukan.
Ketika ini terjadi kampanye tidak lagi menjadi kesempatan bagus bagi partisipasi
publik tapi berubah menjadi media mobilisasi. Dalam mobilisasi pemilih adalah
penggemar yang bersedia melakukan apa saja termasuk cap jempol darah atau
mendaftar sebagai anggota pasukan berani mati. Sejarah mencatat lemahnya
kritik, mobilisasi dan penggemar fanatik merupakan gejala plebesitarianisme
yang bisa dengan cepat beralih menjadi totalitarianisme.
Kedua, estetisasi berpotensi menjauhkan publik dari persoalan politik riil.
Pemilu tidak menjawab persoalan-persoalan penting yang dihadapi masyarakat
dan tak lebih sekedar perayaan yang memerlukan uang dan onkos sosial yang
terlalu banyak. Situasi ini bisa membangkitkan apatisme karena publik merasa
partisipasi yang diperbolehkan oleh sistem sosial yang berlaku tidak
berpengaruh apa-apa terhadap kondisi hidupnya. Kegagalan menemukan
relevansi bagi kepentingannya mendorong masyarakat menarik diri dari semua
aktivitas politik yang umunya tersedia secara melimpah ruah dalam demokrasi.
Akibatnya demokrasi bukan saja bersifat semu dalam hal inklusi politik tapi juga
cenderung konservatis karena proses-proses politik penting tetap berada di
tangan elit.
Namun, estetisasi juga membawa beberapa manfaat. Proliferasi imej dan
tanda memungkinkan politik bisa hadir kapan saja dan di mana saja sepanjang
terjangkau oleh media massa dan budaya pop. Di satu sisi proses ini
memungkinkan de-auratisasi politik, yakni pembebasan politik dari parasit para
tokoh, politisi, intelektual, pengamat dan jurnalis yang memiliki kekuatan yang
lebih besar untuk menentukan apa yang baik dan buruk dalam politik; mana
yang politik dan mana yang bukan. Di sisi lain politik menjadi terjangkau dan
langsung berada dalam kehidupan sehari-hari masyarakat tanpa harus dimediasi
oleh monopoli para elit yang selalu mengklaim berbicara atas nama rakyat.
Estetisasi dalam konteks ini memiliki potensi radikalisasi demokrasi bukan
dalam pengertian memperluas partisipasi publik semata , tapi yang lebih penting
menyerahkan sepenuhnya kepada masyarakat wewenang untuk menentukan
makna politik, kenapa politik penting dan bagaimana politik dijalankan.
Berkaitan dengan itu mobilisasi aspek-aspek non-rasio, wilayah bawah
sadar dan proses-proses regresif publik melalui estetisasi tidak sepenuhnya
berarti penundukan. Mobilisasi ini justeru membuka kemungkinan bagi sikap
kritis terhadap kekuasaan melalui parodi, plesetan dan berbagai tindak subversif
budaya lainnya sebagai penolakan terhadap dominasi tanda dan makna.
Subversi pertama-tama menjaga momentum partisipasi dan membuat para elit
tidak bisa selamanya melihat rakyat secara taken for granted. Lebih dari itu
subversi bukan saja sebuah politik alternatif tapi juga mengandung utopia yang
memungkinkan sejarah berubah secara progresif. Karena itu proliferasi imej dan
tanda juga membuka jalan bagi demokrasi dalam wajah yang berbeda.
Artinya,
mengikuti
Benjamin,
yang
diperlukan
saat
ini
bukan
aestheticization of politics tapi politicization of aesthetic. Membanjirnya tanda
dan imej dalam kehidupan sehari-hari seharusnya bisa digunakan untuk
membuka jalan bukan saja bagi politik yang riil, tapi juga yang terpenting akses
yang luas bagi orang kebanyakan untuk terlibat dalam politik.
Tulisan ini memahami populisme sebagai gaya politik Manichean yang
mencakup tiga dimensi pokok (Krowel et. al 2004). Pertama, populisme mengacu
pada “rakyat”. Kedua, populisme juga berkaitan dengan gagasan menciptakan
dan memperkuat hubungan antara para pemimpin populis dan rakyat yang
bersifat langsung. Ketiga, gaya politik ini secara pekat mengandung sentimensentimen anti kemapanan dan anti elit. Dengan lain perkataan penulis tidak
sedang memahami populisme sebagai ideologi atau juga orientasi kebijakan
yang berpihak pada msyarakat kebanyakan, seperti misalnya yang dipraktekan
di Amerika Latin saat munculnya pink tide yang identic dengan pemimpinpemimpin seperti “Lula” da Silva, Nestor Kichner, Rafael Correa, Hugo Chavez
dan Evo Morales.
Menurut banyak pengamat (lihat, misalnya, Klinken 2009) praktekpraketk klientelistik masih mewarnai demokrasi di Indonesia. Sekalipun
sebagian besar lembaga-lembaga demokrasi penting sudah berhasil dibangun,
kebiasaan memberikan keuntungan pribadi dalam bentuk uang, pekerjaan atau
akses ke layanan publik untuk mendapatkan dukungan suara masih kuat
bertahan. Penelitian yang dilakukan oleh Tim Jurusan Pemerintahan dan Politik,
Universitas Gadjah Mada bekerja sama dengan University of Oslo (2014)
menegaskan argument tersebut. Penelitian menunjukkan hubungan patron-klien
seperti aksi persuasif dan penggunaan patronase masih menjadi metode paling
penting yang diterapkan oleh aktor-aktor dominan dalam mengatasi persoalan
eksklusi. Penelitian ini juga menegaskan bahwa basis utama para aktor yang
berupaya menjadi pemimpin politik adalah sumberdaya ekonomi dan hubungan
sosial yang baik.
Tapi seperti yang ditunjukan dalam Pilpres 2014, beberapa Pilkada
sebelumnya dan gaya politik sejumlah tokoh nasional amupun lokal populisme
sedang tumbuh sebagai alternatif atau setidaknya berjalan seiring dengan
klientelisme. Sebagai contoh kedua kandidat presiden selalu mengklaim sedang
mewakili dan bertindak atas nama “rakyat”. Selain itu keduanya juga mengklaim
memiliki hubungan yang bersifat langsung dengan rakyat sembari menganggap
mediasi melalui organisasi atau gerakan dipandang hubungan tersebut. Akhirnya
kedua kandidat berulang-ulang mengklaim dirinya sebagi aktor yang mau
“berbicara” dengan masyarakat disbanding para elit lain yang sibuk
“memperhatikan kepentingan dirinya sendiri”.
Di lihat dari sudut pandang inklusi politik, baik populisme maupun
klientelisme cenderung mengkooptasi, dan bukan melibatkan, rakyat ke dalam
proses politik melalui saluran-saluran yang bersifat vertical dan beragam
(Mouzelis 1998). Dalam hal ini keduanya bisa dipahami sebagai praktik
memberikan keuntungan pribadi dalam bentuk uang, pekerjaan atau akses ke
layanan publik untuk mendapatkan dukungan suara. Sebaliknya akuntabilitas
demokrasi adalah praktik menawarkan keuntungan yang berbasikan program
politik dan kebijakan untuk meningkatkan jumlah pendukung. Tapi popiulisme
jelas berbeda dengan klientelisme. Sementara klientelisme memperdagangkan
keuntungan material untuk dukungan politik, seorang pemimpin populis
menawarkan program-program politik (yang bersifat populis) untuk menarik
perhatian para pemilih. Bahkan, menjajakan program-program politik yang
“tampak” sesuai dengan keinginan rakyat merupakan perhatian utama elit
politik Indonesia di tingkat nasional amupun lokal dalam beberapa tahun
terakhir
Artinya para pemimpin populis tidak bisa menghindar dari menawarkan
program-program politik yang sesuai dengan kepentingan rakyat kepada para
pemilih. Jenis pemimpin ini juga percaya bahwa perluasan dukungan merupakan
faktor penting dan menjadi pemimpin negara seperti kepala daerah dan anggota
parlemen akan membuka peluang yang lebih luas bagi mereka untuk
menempatkan isu yang berkembang di masyarakat menjadi agenda politikt.
Tapi populisme sebagai gaya politik yang sedang dipraktekan oleh kedua
kandidat belum tentu akan berujung pada proses dan upaya menghasilkan
kebijakan yang baik dan sesuai dengan keprihatinan public. Argumen ini bisa
dijelaskan dengan tiga cara. Pertama, hampir semua pemimpin politik di
Indonesia dalam beberapa tahun terkahir ini menggunakan gaya politik populis
untuk kepentingan merebut dan mempertahankan kekuasaan. Menjanjikan dan
membuat program yang targetnya adalah mengatasi isu-isu mendasar yang
dihadapi orang kebanyakan, terutama yang menyangkut layanan kesejahteraan
seperti pendidikan dan kesehatan, tengah menjadi password untuk seorang
pemimpin dipilih, mempertahankan jabatan yang sedang didudukinya atau
memastikan gelombang dukungan dari bawah. Dengan lain perkataan programprogram populis, aksi-kasi merakyat seperti berkunjung ke tempat-tempat
keramaian yang dipenuhi massa dan metode-metode seperti membuka diri bagi
keluhan masyarakat secara konkrit tidak muncul karena masyarakat itu sendiri
kuat dan bisa mendesakkan keinginannya kepada elit politik. Sebaliknya
populisme atau ke-pro-rakyat-an ini hadir karena ada sejumlah elit politik
tertentu yang ingin berkuasa atau tegasnya ingin memanfaatkan populisme itu
sendiri bagi kepentingan memperoleh dan mempertahankan jabatan.
Kedua, sementara kepentingan kekuasaan jauh mengatasi demokrasi
dalam kemunculan populisme, gaya politik merakyat ini sering kali lebih
menyangkut urusan penampilan, pilihan kata dan gerak badan. Menjadi
pemimpin populis adalah soal menampilakn diri di media konvensional maupun
media sosial dengan atribut-atribut yang sesuai untuk itu. Lebih parah lagi,
kepentingan menghadirkan sosok tertentu di depan media membuat populisme
di Indonesia saat ini tampil dalam wujud kiat-kiat para elit politik
mengidentikkan dirinya dengan rakyat itu sendiri. Tekniknya dan metode yang
dilalui untuk itu bisa dilihat sebagai berikut. Pertama-tama rakyat ditampilkan
sebagai subyek dengan kriteria tertentu, mirip dengan upaya Soekarno
menghadirkan rakyat sebagai subyek yang ia sebut dengan “Marhaen”. Langkah
berikutnya para kandidat atau pemimpin politik mengidentikkan dirinya dengan
subyek yang dimaksud dengan cara menggunakan dan memobilisasi simbolsimbol seperti kesederhanaan, kejujuran, kedekatan dan keberanian. Alhasil
seorang kandidat akan terpilih tidak lagi lantara program-program politik
populis, melainkan karena dua hal. Pertama, para pemilih menganggap dirinya
adalah rakyat dengan subyketifitas yang spesifik; dan, kedua, para pemilih yang
sama akn menjatuhkan pilihannya pada calon yang paling berhasil menyalin
dirinya agar sesuai dengan subyektifitas tersebut.
Ketiga, seperti yang ditunjukan dalam pol kepemimpinan tokoh seperti
Juan Peron, populisme mudah terjerembab ke dalam otoritarianisme. Salah satu
unsur penting gaya politik populis, yang kini dipraktekkan secara luas oleh
banyak tokoh dan pemimpin di Indonesia, adalah kecenderungan membangun
hubungan dengan rakyat yang bersifat langsung , yang tidak termediasi bukan
saja organisasi, tapi juga bahkan mekanisme representasi. Slogan terjun
langsung ke masyarakat atau turun ke bawah satu sisi mengkampanyekan
pemahamen tertentu tentang jenis pemimpin yang baik, yakni yang mem-by pass
organisasi di hampir semua arena kehidupan bernegara; di sisi yang lain
merupakan tindakan melawan pentingnya keberadaan pengorganisasian dan
mekanisme kelembagan dalam hubungan antara pemimpin dan yang dipimpin.
Studi yang dilakukan Hannah Arendt yang tergolong klasik untuk ukuran saat ini
sudah sejak lama menegaskan pengorganisasian dan mekanisme kelembagaan
yang memediasi hubungan antara pemimpin dan yang dipimpin adalah sayarat
mutlak untuk meastikan pihak yang disebut belakangan tidak menjadi massa.
Berdasarkan pengalaman Eropa sebelum pecahnya Perang Dunia Kedua, massa
dalam pengertian agregasi sejumlah individu yang tidak memiliki kaitan
emosional dan rasional secara permanen selalu menjadi lahan subur bagi
tumbuhnya pemimpin-pemimpin otoriter dan fasis.
Beberapa penulis demokrasi di Indonesia dan juga di sebagian besar negaranegara
demokratis
“gelombang
ketiga”
mengkhawatirkan
de-politisasi
demokrasi (lihat, misalnya, Tornquist et.al 2009). Jika dilihat dari sudut pandang
tulisan ini maka de-politisasi tersebut tak lain dari memudarnya antagonisme;
demokrasi dan politik yang tidak lebih dari permainan peran dan tanda dan imej
di media; dan kian jauhnya masyarakat dari proses membuat keputusan
bersama yang mencakup hajat hidup mereka. Masih menurut beberapa penulis
yang sama yang diperlukan demokrasi-demokrasi baru seperti Indonesia adalah
re-politisasi demokrasi. Re-politisasi tidak lain dari membuat demokrasi tidak
lagi menjadi urusan yang bersifat teknis dan administrative atau soal pencitraan
dan bergaya ke-rakyat-rakyat-an.
Barangkali tidak ada tempat yang paling jelas menggambarkan fenomena
de-politisasi demokrasi selain dalam proses formulasi kebijakan. Kurang lebih
formulasi kebijakan bisa diphamai sebagai serangkaian proses yang mencakup
pengartikulasian dan pembahasan masalh dan isu yang dihadapi masyarakat;
sekaligus perumusan berbagai alternative pemecahannya melalui-melaui
tuntutan-tuntutan politik; dan, sudah tentu, pengaturan tuntutan-tuntutan
tersebut dalam sistem politik yang ada. Depolitisasi demokrasi dalam hal ini bisa
dilihat dengan dua cara. Pertama, teknokratisasi formulasi kebijakan, yakni
ketika serangkain proses yang dimaksud di atas hanya melibatkan keahlian dan
pertimbangan teknis dan administrative. Kedua, judisialisasi, yakni saat prosesproses tersebut lebih peduli dan tunduk pada kaidah-kaidah legal.
Teknokratisasi dan judisialisasi mengandung muatan de-politisasi yang
sangat pekat karena kedua kecenderungan ini dengan sengaja menjauhkan
formulasi kebijakan dari keterlibatan masyarakat luas dan memiskinkannya dari
debat ideologi dan pertentangan proyek politik yang berbeda. Sebaliknya
formulasi kebijakan berada dalam sebuah cordon sanitaire yang melindunginya
dari “wabah” ideologi, kepentingan politik, suara-suara orang kebanyakan atau
debat publik. Sebagai gantinya bahasa-bahasa moral seperti atas nama rakyat
(sebagai lawan kleompok dan golongan), kepentingan negara (sebagai lawan
kepentingan politik) dan obyketifitas (sebagai lawan ideologi) menjadi sumber
utama justifikasi. Agar formulasi kebijakan bisa diterima lebih luas politik tanda
dengan menafaatkan media konvensional maupun sosial menjadi sangat penting.
Demikian halnya gaya politik yang populis bisa menggantikan partisipasi
masyarakat yang substantif.
Persoalannya, menciptakan cordon sanitaire bukan saja sebuah ke-naifan, tapi yang lebih penting melahirkan formulasi kebijakan yang buruk dalam
pengertian jauh dan tidak menjadi bagian dari proses sosial, ekonomi dan politik
di masyarakat. Munculnya perlawanan terhadap sebuah kebijakan tertentu
adalah respon yang tidak mengejutkan. Protes dan berbagai bentuk aksi
penolakan baik dengan menggunakan kekerasan amupun tidak menggambarkan
buruknya formulasi kebijakan yang mengabaikan substansi yang dibahas dalam
tulisan ini. Karena itu tidak jalan yang lebih baik selain re-politisasi formulasi
kebijakan dengan cara menempatkannya kembali sebagai bagian yang tidak
terpisahkan dari antagonisme dan partisipasi masyarakat.
Daftar Pustaka
Beck, U. 1994. The Reinvention of Politics: Towards Theory of Reflexive
modernisation. Dalam U. Beck, A. Giddens dan S. Lash (ed.), Reflexive
Modernzsation. Cambrdige: Polity Press
Beck, U. 1997. The Reinvention of Politics: Rethinking Modernity in the Global
Social Order. Cambridge: Polity Press
Benjamin, W. 1936 [1998]. The Work of Art in the Age of Mechanical
Reproduction. Ditranskrip oleh Andy Blunden. UCLA School of
Theatre, Film and Television
Flahaut, F. 2003. Malice. London: Verso
Giddens, A. 1991. Modernity and Self-Identity. Cambridge: Polity Press
Giddens, A. 1994. Beyond Left and Right. Cambridge: Polity Press
Habermas, J. 1998. Between Facts and Norms. Cambridge, MA: MIT Press
Habermas, J. 2001. The Postnational Constellation. Cambridge: Polity Press
Klinken, G van. 2009. Patronage Democracy in Provincial Indonesia. Dalam O.
Tornquist, N. Webster dan K. Stokke (ed.), Rethinking Popular
Representation. New York Palgrave
Laclau, E. 1998. Emancipation(s). London: Verso
Laclau, E., dan Mouffe, C. 1985. Hegemony and Socialist Strategy: Towards A
Radical Democratic Politics. London: Verso
Mouffe, C. 1993. The Return of the Political. London: Verso
Mouffe, C. 2000. The Democratic Paradox. London: Verso
Mouffe, C. 2005. On the Political. New York: Routledge
Mouzelis, N. 1998. Modernity, Late Development and Civil Society. Dalam L.
Rudebeck, O. Tornquist bersama V. Rojas (ed.), Democratization in the
Third World: Concrete Cases in Comparative and Theoretical
Perspective. New York: Macmillan
Santoso, P., Savirani, A., Hiariej, E., Hanif, H., Tornquist, O., Stokke, K., Samadhi,
W.P., Prabawati, D. 2014. Power, Welfare and Democracy: An Expert
Survet on Democracy in Indonesia. Yogyakarta: Universitas Gadjah
Mada
Tornquist, O., Webster, N. dan Stokke, K. (ed.) 2009. Rethinking Popular
Representation. New York Palgrave