Academia.eduAcademia.edu

Melihat Pemilu Singapura

Jumat ini (11/9), 2,4 juta rakyat Singapura akan memilih calon anggota parlemen mereka dalam pemilu yang diperkarakan paling sengit dalam sejarah negara itu. Dalam pemilu kali ini, 13 kursi akan diperebutkan oleh calon tunggal dari PAP maupun partaipartai oposisi. Sedangkan di 16 Dapil lainnya, calon yang akan dipilih terkelompok di dalam satu grup, masing-masing grup terdiri 3 sampai 6 calon. Semuanya akan membentuk komposisi anggota parlemen yang berjumlah 89.

Melihat Pemilu Singapura By  Muhammad Febriansyah   September 11, 2015 http://www.pojoksamber.com/melihat-pemilu-singapura/ Jumat ini (11/9), 2,4 juta rakyat Singapura akan memilih calon anggota parlemen mereka dalam pemilu yang diperkarakan paling sengit dalam sejarah negara itu. Dalam pemilu kali ini, 13 kursi akan diperebutkan oleh calon tunggal dari PAP maupun partai-partai oposisi. Sedangkan di 16 Dapil lainnya, calon yang akan dipilih terkelompok di dalam satu grup, masing-masing grup terdiri 3 sampai 6 calon. Semuanya akan membentuk komposisi anggota parlemen yang berjumlah 89. Meskipun partisipasi dalam pemilu adalah wajib bagi setiap warganegara Singapura, namun banyak rakyatnya tidak dapat menggunakan hak pilih karena sebelum ini banyak Dapil yang hanya ada calon tunggal dari PAP sehingga otomatis memenangi kursi Dapil tersebut tanpa harus melalui proses pemilihan. Namun dalam pemilu kali ini, untuk pertama kali tidak ada lagi kursi yang akan dimenangkan secara otomatis karena oposisi telah mendaftarkan semua calon mereka di setiap Dapil. Sejak berpisah dari Malaysia pada tahun 1965, pemilu di Singapura hanya dianggap sebagai alat untuk mendapat legitimasi rakyat karena partai pemerintah, yaitu Partai Aksi Rakyat (PAP), selalu dipastikan mendapat kemenangan besar. Selain sukses membangun ekonominya menjadi salah satu yang paling maju di dunia, peminggiran hak dan tindakan represif yang dilakukan terhadap kekuatan oposisi membuat kekuasaan PAP hampir tidak tertandingi selama lebih dari empat dekade. Namun menjelang 50 tahun kemerdekaannya ada gelombang baru yang dirasakan sedang bergejolak di negara itu. Gelombang kekecewaan terhadap pemerintah yang semakin meningkat terutama dari pemilih muda dan dampaknya sudah dirasakan PAP dalam pemilu terakhir tahun 2011 yang lalu. Pemilu 2011: Gempa Kecil untuk PAP Berkat kemajuan sains, para ahli kini bisa meramalkan di mana daerah yang rawan gempa, tetapi tidak ada yang bisa meramalkan kapan persisnya gempa itu terjadi. Ia bisa datang secara tiba-tiba. Namun dalam politik, tanda-tanda sebuah kekuasaan itu akan mengalami guncangan dapat diramalkan dengan lebih mudah karena ada alat yang jelas untuk mengetahuinya, pemilu salah satunya. Bahkan gempa politik di Singapura telah dapat dirasakan oleh pemerintah dan juga oposisi menjelang pemilu ke-16, tahun 2011 diadakan. Perdana Menteri Lee Hsien Loong yang juga menjabat sebagai sekjen PAP waktu itu telah mengingatkan pemilih dalam kampanye bahwa pemilu tersebut merupakan penentu kepada kepemimpinan generasi akan datang. Ucapan klise yang selalu menjadi modal setiap politisi itu diucapkan Lee setelah melihat dukungan yang terus meningkat terhadap kampanye partai-partai oposisi. Partai Buruh (WP) yang merupakan partai oposisi terkuat mengatakan bahwa pemilu waktu itu sebagai titik perubahan bagi rakyat Singapura. Mereka bersedia menyambut perubahan tersebut dengan berani meletakkan lebih ramai caleg, termasuk di Dapil-dapil yang sebelum ini belum pernah mereka tandingi. Satu-satunya kelompok Dapil yang tidak ada nominasi dari partai posisi adalah Dapil Tanjong Pagar, tempat di mana bekas Perdana Mentri Lee Kuan Yew menjadi caleg dan menang secara otomatis. Bahkan caleg-caleg dari partai oposisi terdiri dari golongan muda, profesional dan berpendidikan tinggi untuk menandingi dominasi PAP. Isu perumahan, biaya hidup yang semakin meningkat, gaji mentri kabinet yang terlalu besar dan akuntabilitas pemerintah dalam mengelola cadangan investasi yang terus merugi dijadikan bahan kampanye yang efektif. Hasilnya, PAP hanya mendapat 60% suara, turun 6% dari pemilu 2006 dan merupakan hasil terburuk dalam sejarah pemilu yang diikutinya. Hanya karena dibantu oleh sistem pemilu first past the post yang menguntungkan petahana, mereka tetap berhasil mempertahankan mayoritas kursi di parlemen (93%). Partai Buruh mencatat sejarah untuk pertama kalinya berhasil mendudukkan sembilan orang wakilnya di parlemen. Tujuh dari sembilan anggota parlemen yang terpilih tersebut dimenangi oposisi dengan secara langsung mengalahkan wakil dari PAP. Sementara dua yang lain mendapat jatah kursi parlemen sebagai runner up terbaik, karena peraturan pemilu mengizinkan demikian. Padahal sebelumnya Partai Buruh atau partai-partai oposisi yang lain tidak pernah memenangi lebih dari dua kursi parlemen. Keadaan itu sudah cukup membuat pemerintah bimbang. PM Lee langsung meminta maaf kepada rakyat atas kesalahan yang pernah dilakukan dan berjanji memperbaikinya di masa depan. Hal itu langsung ditunjukkan dengan merombak kabinet dengan mengutamakan wajah-wajah baru yang lebih muda. Ini diikuti dengan pengunduran diri Mentri Mentor Lee Kuan Yew dan Mentri Senior, Goh Chok Tong, keduanya bekas Perdana Mentri, seminggu setelah pemilu. Tantangan Perubahan PAP Sebenarnya PAP masih memiliki mandat untuk memerintah sampai tahun 2016. Keputusan untuk mempercepat pemilu mengindikasikan bahwa PAP memerlukan legitimasi yang kuat dalam menghadapi krisis ekonomi global yang diramalkan akan berpengaruh terhadap laju pertumbuhan ekonomi Singapura. Apalagi pengumuman tanggal pemilu dibuat sehari setelah Black Monday, yaitu penurunan secara mendadak saham-saham dunia akibat krisis saham yang terjadi di China 24 Agustus lalu. Jadi, lebih baik pemilu diadakan secepatnya sebelum keadaan ekonomi menjadi lebih parah. Apalagi isu-isu ekonomi seperti mahalnya harga rumah, peningkatan biaya hidup, peluang pekerjaan yang berdampak kepada permasalahan imigran sudah menjadi sangat menonjol dalam pemilu yang lalu. Karena hanya PAP yang pernah memerintah Singapura, maka mudah untuk mengatakan bahwa semua masalah itu adalah produk dari kebijakan mereka selama ini. Pekerja migran diperlukan untuk meningkatkan ekonomi negara itu yang kekurangan tenaga produktif dalam dua dekade terakhir. Ini disebabkan karena kebijakan keluarga berencana Lee Kuan Yew di tahun 70-an dalam jangka panjang telah menjadi bumerang. Jumlah penduduk usia produktif menurun. Untuk mengantisipasinya, pemerintah kemudian membentuk sebuah Unit Pembangunan Sosial yang salah satu tugasnya adalah mengurus perjodohan. Menurut Catherine Lim (2011), penulis yang kritis terhadap pemerintah negara itu, semua masalah itu berakar dari karakter Lee Kuan Yew yang selalu mengedepankan “paradigma kuantitas” dalam merumuskan kebijakannya. Menurut paradigma ini, statistik dan angka sangat penting sehingga mengorbankan nilai-nilai kemanusiaan. Paradigma kuantitas memang berguna untuk menjelaskan kemajuan yang dicapai oleh Singapura sampai saat ini. Tetapi itu akan menjadi masalah jika diterapkan kepada nilai-nilai kemanusiaan seperti kebebasan, HAM, dan demokrasi. Itulah sebabnya mengapa Lee Kuan Yew tidak bisa menerima apa pun bentuk pembangkangan politik. Namun, reaksi cepat yang ditunjukkan oleh PAP setelah mendapat kejutan dalam pemilu yang lalu menunjukkan bahwa mereka mau berubah. Kesediaan untuk berubah ini ditunjukkan sekali lagi dalam kampanye baru-baru ini di mana PM Lee mengatakan PAP bersedia menjadi pelayan rakyat, bukan lagi bos seperti ketika masih di bawah kepemimpinan Lee Kuan Yew. Apakah rakyat Singapura percaya PAP yang telah berkuasa secara semi otoriter selama 50 tahun dapat berubah atau tidak akan kita lihat setelah hasil pemilu diumumkan nanti.   Penulis : Muhammad Febriansyah Ph.D