MODUL PERKULIAHAN
Judul
TEORI KOMUNIKASI
Pokok Bahasan
UNIVERSITAS : MERCU BUANA TA 2015-2016
FAKULTAS : ILMU KOMUNIKASI
JURUSAN : ILMU HUMAS
MATA KULIAH : TEORI KOMUNIKASI
KELAS : PKK
DOSEN : DRS. HASYIM ALI IMRAN , MSi.
Fakultas
Program Studi
Tatap Muka
Kode MK
Disusun Oleh
Fakultas Ilmu Komunikasi
Program
Studi Humas
11
Kode MK
Nama : Drs. Hasyim Ali Imran, MSi.
Abstrak
Membahas tentang Beberapa Contoh Teori Komunikasi yang ditelaah menurut komponen-komponen teori. Dalam Hal ini sebagai kasus, dibahas Teori Interaksionisme Simbolik Herbert Mead
Kompetensi
Diharapkan mahasiswa mampu dengan benar memahami teori komunikasi secara praktis terkait muatan komponen-komponennya.
Pembahasan
Modul 11 : Teori Komunikasi Menurut Komponen Yang Dikandungnya
(Kasus : Teori Interaksionisme Simbolik Herbert Mead)
PENDAHULUAN
Ilmu Komunikasi merupakan ilmu yang bersifat interdisipliner atau lintas disiplin. Dengan sifat ini, karenanya eksistensi paradigma theory
Terkait dengan ini, Littlejohn mengungkapkannya melalui istilah yang disebutnya dengan genre atau jenis-jenis teori komunikasi, dan kedua oleh Miller dengan istilahnya Conceptual Domains of Communication Theory dan paradigma metode penelitian dalam kaitan upaya penemuan kebenaran ilmiah di bidang ilmu komunikasi itu, menjadi sangat perlu disadari oleh kalangan akademisinya demi tidak terjadinya bias.
Khusus menyangkut eksistensi paradigma theory tadi, maka menurut Littlejohn genre/paradigma teori komunikasi ada lima yang digunakan akademisi dalam upaya pen-teorisasian fenomena komunikasi itu, meliputi : 1. teori struktural fungsional; 2. teori kognitif dan behavioral; 3. teori interaksional; 4. teori interpretif dan 5. teori kritis. (Littlejohn, 1994 : 13).
Basis pada teori “1” adalah perspektif sosiologi struktural-fungsionalisme dari Emile Durkheim dan Talcott Parson. Perspektif ini berdasarkan pada perspektif dalam falsafah determinisme. Pada teori kedua, maka basis pemikirannya bertolak pada perspektif psikologis, yakni Stimulus (S) dan Respon (R). Manusia mendapatkan pengetahuannya dengan cara merespon rangsangan-rangsangan yang ada di alam ini. Pada genre ketiga, basisnya adalah bahwa kehidupan sosial dipandang sebagai sebuah proses interaksi, tokohnya antara lain Herbert Mead. Kemudian genre keempat, basisnya yaitu pada upaya menemukan makna pada teks, misalnya seperti teks pada iklan cita-cita anak dalam iklan seperti dicontohkan Griffin dalam bukunya A Firs Look Communication Theory. Yang tergabung dalam kelompok ini adalah para ilmuwan yang menamakan diri dengan henneneuticists, poststructuralis, deconstructivis, phenomenologis, peneliti studi budaya, dan ada yang menyebutnya dengan ahli teori aksi sosial. Terakhir yaitu teori kritis, basis teorinya adalah kritik idealisme Karl Marx, dengan tokoh awalnya Max Horkheimer, Theodor W. Adorno, Erich Fromm dan Herbert Macuse.
Dengan gambaran bahwa dalam penteorisasian fenomena komunikasi itu dapat dilakukan menurut beragam pradigma/genre, maka tulisan ini akan mencoba menelaah salah satu dari paradigma tadi, yakni khusus pada genre teori interaksional.
PEMBAHASAN
Teori Interaksionisme Simbolik merupakan teori yang menjelaskan bahwa pemaknaan dari setiap individu tergantung dari interaksinya dengan diri sendiri, dengan lingkungan di sekitarnya, dan juga berdasarkan pada pemaknaan akan simbol-simbol yang ada disekelilingnya. Jadi, Teori Interaksionisme Simbolik dengan kata lain merupakan teori yang berupaya menjelaskan bagaimana proses pemaknaan diri seseorang agar ia bisa diterima oleh lingkungan sosial yang lebih luas, dan proses pemaknaan ini terjadi melalui interaksi.
Perkembangan teori ini terbagi ke dalam dua periode, yakni :
1) periode tradisi oral dan
2) periode pengkajian atau penyelidikan.
Perkembangan teori yang terjadi dalam tradisi oral itu dikenal juga dengan periode Mead atau Meadian yang merupakan awal perkembangan dasar-dasar pemikiran Symbolic Interactionism. Tokoh-tokoh dalam periode ini yaitu George H. Mead, Charles Cooley, John Dewey, dan I.A Thomas.
Sementara, Teori Interaksionalisme Simbolik yang terjadi dalam periode pengkajian atau penyelidikan, ditokohi oleh Herbert Blumer (The Chicago School), dan Manford Kuhn (The Lowa School). Teori ini sendiri, berdasarkan kelengkapannya dapat diidentifikasi men urut empat komponen. Keempatnya yaitu : Komponen Asumsi Filosofis; Komponen Konsep; Komponen Eksplanasi dan komponen prinsip. Namun dalam sesi ini kita akan lebih konsentrasi menelaah pada komponen-komponen konsep yang dikandungnya saja. Untuk lebih detilnya, cara mengidentifikasi kelengkapan komponen yang dikandung teori ini sendiri bisa dijabarkan ke dalam bentuk matriks berikut ini :
IDENTIFIKASI KELENGKAPAN TEORI
Nama Teori
Komponen
Eksistensi
ada
tiada
Interaksionalisme Simbolik
Asumsi Filosofis
Ontologi
?
Epistemologi
?
Aksiologi
?
Konsep
-Looking Glass Self;- Definisi Situasi;- Mind;- Role Talking (Play Stage; Game Stage;- Generalized Other;-Konsep Diri (“I” dan “Me”);- Self;
Eksplanasi
?
Prinsip
?
Konsep-konsep penting dalam teori ini, mengacu pada tabel di atas adalah sebagai berikut : -Looking Glass Self;- Definisi Situasi;- Mind;- Role Talking (Play Stage; Game Stage;- Generalized Other;-Konsep Diri (“I” dan “Me”); dan - Self. Semua konsep dimaksud, akan dijelaskan maknanya beserta bagaimana masing-masing konsep dimaksud bekerja dalam realitas kehidupan sehari-hari. Untuk contoh bekerjanya konsep-konsep teoritik dimaksud dalam realita, maka untuk kepentingan sesi ini diambil dari pemaparan makalah yang disajikan oleh Dyta, mahasiswa strata dua MIK UPDM (B) Jakarta.
1. Looking Glass Self (Charles Cooley)
Cooley menjelaskan mengenai “diri” sosial. “Diri” seseorang mengambil bentuk bayangan yang menurut pikirannya dimiliki oleh orang lain mengenai dirinya. Terbentuk melalui tiga tahap, yakni seseorang mempunyai persepsi mengenai pandangan orang lain terhadapnya ; seseorang mempunyai persepsi mengenai penilaian orang lain terhadap penampilannya : dan seseorang mempunyai perasaan terhadap apa yang dirasakannya sebagai penilaian orang lain terhadapnya.
Jadi, seseorang memaknai dirinya berdasarkan bayangan yang seolah-olah dimiliki oleh orang lain mengenai dirinya. Hal ini berarti bisa saja terjadi kesalahan orang dalam memaknai dirinya, karena bayangan tersebut bisa saja salah sebab hanya berdasarkan persepsi dan perasaannya saja.
Contoh : saya memandang diri sendiri sebagai seseorang yang pendiam, cenderung tertutup, perfeksionis, dan sensitif (perasa), tapi saya juga sosok yang sopan, ramah dan senang membantu orang lain yang sedang kesulitan. Hal tersebut bisa saya simpulkan dari persepsi saya terhadap perasaan dan pandangan orang lain terhadap saya. Saya memiliki persepsi, orang lain memiliki pandangan bahwa saya orang yang pendiam maksudnya jarang berbicara, tertutup (karena saya jarang sekali mencereritakan masalah pribadi saya kepada orang lain), perfeksionis (terutama berkaitan dengan pekerjaan atau tugas-tugas), sensitif ( mudah hanyut dalam suasana-suasana sedih dan mudah tersinggung), sopan dan ramah dengan orang lain terutama yang lebih tua, serta senang membantu orang lain yang sedang kesulitan.
Selanjutnya, saya memiliki persepsi mengenai penilaian orang lain terhadap penampilan saya. Dari penampilan saya sehari-hari yang cenderung berpakaian rapi dan tertutup membuat orang menilai saya orang yang sopan, dari saya berbicara, topik pembicaraan dan bertingkah laku membuat orang menilai saya orang yang sopan, ramah dan tertutup, dan dari kebiasaan saya membantu teman yang kesulitan dalam mengerjakan tugas atau mengalami kendala dalam memperoleh pengertian atas suatu topik mata kuliah atau masalah pekerjaan, orang menilai saya senang membantu orang lain ramah dan tertutup. Dan yang terakhir, berdasarkan persepsi-persepsi saya tersebut, maka saya memiliki perasaan bahwa orang lain menilai saya sebagai orang yang pendiam, cenderung tertutup, perfeksionis, dan sensitif (perasa), sopan, ramah dan senang membantu orang lain yang sedang kesulitan. Dan saya pun memandang diri saya seperti itu. Tapi, pandangan ini bisa saja salah, karena hanya berdasarkan pada persepsi dan perasaan saya sendiri.
2. Definisi Situasi (W.I Thomas)
Tindakan didahului dengan interpretasi. Interpretasi oleh Thomas disebut sebagai definisi situasi, yang menghubungkan kondisi obyektif dengan sikap-sikap kepribadian. Bila seseorang mendefinisikan situasi sebagai hal yang nyata, maka konsekuensinya akan nyata.
Contoh : Saya percaya adanya tuhan, sebagai umat muslim, saya percaya adanya Allah SWT, sehingga saya selalu berusaha menjalankan perintah-nya seperti sholat 5 waktu, mengaji, puasa, dan sebagainya, serta menjauhi larangannya. Meskipun saya tidak menutup aurat saya (berjilbab), saya selalu menjaga penampilan saya dengan menggunakan pakaian yang sopan dan saya selalu berusaha menjalankan perintah Allah SWT. Karena saya percaya Allah SWT ada dan mengamati setiap perbuatan saya, sehingga saya merasa takut akan dosa.
3. George Herbert Mead :
-Mind
Komunikasi dengan diri sendiri merupakan suatu bentuk refleksi (renungan), dan oleh Mead disebut mind (pikiran). Mind baru dapat timbul dan hanya tetap akan ada dalam dan selama interaksi sosial. Pikiran dan interaksi sosial terikat satu sama lain dan ikatan ini tidak dapat dilepaskan.
Contoh : waktu SMA saya dulu, saya pernah berkunjung ke Sekolah Kartini (sekolah di bawah kolong jembatan yang dibangun oleh dua orang wanita kembar, yang didirikan untuk anak-anak jalanan). Saat itu, saya melihat anak-anak jalanan tersebut harus belajar dibawah kolong jembatan yang panas, pengap, berisik, dan dengan peralatan seadanya, tapi mereka begitu bersemangat untuk belajar. Jujur, saat itu terjadi komunikasi intrapersonal dalam diri saya. Ada suatu proses perenungan dalam batin saya, bahwa selama ini dengan segala fasilitas yang telah disediakan oleh orang tua saya, dan dengan mudahnya saya bisa memperoleh pendidikan, tapi saya malah tidak memanfaatkannya dengan sebaik-baiknya., sedangkan orang lain ingin sekolah saja sulit dan ketika bisa belajar, mereka tidak ditunjang fasilitas yang memadai, tapi mereka tetap semangat belajar dan tidak putus asa. Sejak kunjungan saya itu, ada pengaruh yang melekat dalam diri saya, bahwa saya harus belajar sebaik-baiknya, memanfaatkan segala fasilitas yang ada dengan baik dan tidak malas-malasan, sehingga di masa depan saya bisa membantu mereka yang ingin sekolah tapi tidak punya kesempatan. Sehingga terjadi perkembangan kepribadian, yang tadinya saya suka malas belajar menjadi sebisa mungkin saya menghindari kemalasan, dan cara berpikir saya pun berubah, dari senang jalan-jalan, kumpul bersama teman-teman dengan tujuan yang tidak pasti, menjadi lebih serius dalam menyikapi hidup. Dan Alhamdulillah, hasil perkembangan kepribadian dan perubahan cara pikir saya sampai ke jenjang pendidikan S2 ini.
4. Role Talking
Seseorang mengambil peranan dalam kehidupan sehari-hari, meliputi tiga fase berikut ini :
1. Play Stage : peranan-peranan belum banyak diorganisir, belum memainkan peranannya sekaligus, tapi berturut-turut. Merupakan fase di mana orang mulai memainkan peranan atau menjalankan peranan orang lain dalam lingkungannya. Contohnya, saat pertama kali masuk kuliah, dengan motivasi yang kuat untuk belajar sebaik-baiknya, saya mencoba sistem belajar dengan hanya mecatat slide dari dosen dan membacanya ketika mau ujian, seperti mayoritas teman-teman saya. Ternyata cara tersebut tidak berhasil, karena nilai saya kurang memuaskan. Karena cara tersebut tidak berhasil, saya mencari cara lain dengan bertanya kepada senior saya yang kebetulan pintar dan jadi lulusan terbaik, bagaimana cara dia belajar. Ternyata cara dia belajar dengan banyak membaca buku dan mencatat penjelasan dari Dosen. Dan ketika saya terapkan pada diri saya, hasilnya cukup memuaskan.
2. Game Stage : fase di mana orang telah mengetahui peranan yang harus dijalankan dan dengan siapa berinteraksi. Sehingga pada tahap ini seseorang telah dapat mengambil peranan orang lain.
Contohnya, karena saran cara belajar dari senior saya tadi berhasil saya terapkan dan hasilnya cukup memuaskan, saya mengambil cara itu untuk belajar dan menambahkan sedikit cara dari buku Quantum Learning yang menyajikan saran-saran untuk belajar secara cepat dan saya mencoba menerapkannya, hasilnya pun memuaskan.
3. Generalized Other : fase di mana tidak lagi hanya terdapat satu orang lain yang peranannnya dimainkan, tetapi sejumlah orang-orang lain yang dijadikan kesatuan. Hanya apabila anak itu berhasil mengambil peranan orang lain yang digenerelisasikan itu, “diri”nya akan dapat mencapai perkembangan penuh. Contohnya, saat ini saya belajar merupakan gabungan dari saran senior saya waktu S1 dulu dan saran dari buku yang saya baca, serta ditambah cara saya pribadi untuk menyalin catatan saya setiap hari secara rapi ke dalam sebuah buku dan saya baca kapan saja saya mau, tidak hanya pada saat mau ujian.
4. Konsep Diri (“I” dan “Me”)
“I” (“aku” sebagai subyek), kita mengindetifikasikan diri kita secara subyektif. Contohnya, saya adalah orang yang pendiam, cenderung tertutup, perfeksionis,dan sensitif (perasa), sopan, ramah, rajin, setia, jujur dan senang membantu orang lain yang sedang kesulitan.
“Me” (“aku” sebagai Obyek), merupakan bagaimana seseorang melihat dirinya sebagai obyek pandangan orang lain tentang dirinya. Contohnya, ketika saya bertanya kepada orang lain tentang bagaimana diri saya, rata-rata mereka menjawab bahwa saya pendiam, tertutup, rajin, pintar, cocok jadi dosen, baik, ramah, sensitif, setia, dan keras kepala.
5. Self (Herbert Blumer)
Prinsip Utama dalam konsep SELF adalah : 1. Pemaknaan (meaning), kontruksi terhadap sebuah realitas sosial.; 2. Bahasa sebagai sumber pemaknaan. Jadi merupakan alat perantara.; 3. Pemikiran, mengambil peran orang lain (tiga tahap role taking).
Contohnya, pada saat saya ingin belajar dengan sebaik-baiknya pada saat awal kuliah S1 dulu. Keinginan saya untuk belajar dengan baik saya konstruksikan sebagai usaha untuk memperoleh ilmu yang banyak serta nilai yang baik sehingga ketika lulus saya dapat berguna bagi orang-orang lain yang membutuhkan. Jadi, saat itu, saya memaknai kuliah dan belajar adalah hal yang sangat penting untuk masa depan saya. Untuk itu, saya melakukan interaksi dengan orang-orang lain melalui bahasa sebagai alat perantara sekaligus sumber makna. Dan yang terakhir, melalui proses pemikiran saya mengambil peranan orang lain (tiga tahap role taking yang telah dijelaskan di atas).
PENUTUP
Sebagaimana sudah disinggung pada awal tulisan ini, bahwa makalah ini mencoba membahas Teori Komunikasi Menurut Komponen Yang Dikandungnya. Pembahasan dimaksudkan untuk mengetahui kualifikasi kebaikan teori menurut kelengkapan komponen yang dikandungnya. Dalam kepentingan dimaksud, fokus telaah dalam sesi perkuliahan berasngkuan, telaah komponen konsep menjadi pengutamaan. Untuk kasus ini sendiri ditetapkan Teori Interaksionisme Simbolik dari Herbert Mead sebagai kasus telaah.
Dari hasil pembahasan diketahui bahwa teori ini, dengan mengacu pada genre/paradigma teori komunikasi Littlejohn, teori Interaksionalisme Simbolik dari Mead dimaksud adalah termasuk dalam genre ketiga, yaitu genre teori interaksional. Pada genre ketiga tersebut, basisnya adalah bahwa kehidupan sosial dipandang sebagai sebuah proses interaksi, tokohnya antara lain Herbert Mead.
Teori Interaksionalisme Simbolik terbagi ke dalam dua periode, yakni : 1) periode tradisi oral dan 2) periode pengkajian atau penyelidikan.
Perkembangan teori yang terjadi dalam tradisi oral itu dikenal juga dengan periode Mead atau Meadian yang merupakan awal perkembangan dasar-dasar pemikiran Symbolic Interactionism. Tokoh-tokoh dalam periode ini yaitu George H. Mead, Charles Cooley, John Dewey, dan I.A Thomas.
Sementara, Teori Interaksionalisme Simbolik yang terjadi dalam periode pengkajian atau penyelidikan, ditokohi oleh Herbert Blumer (The Chicago School), dan Manford Kuhn (The Lowa School).
Konsep-konsep yang dikandung teri ini meliputi : -Looking Glass Self;- Definisi Situasi;- Mind;- Role Talking (Play Stage; Game Stage);- Generalized Other;-Konsep Diri (“I” dan “Me”);- Self.
Konsep-konsep tadi sendiri berasal dari bukan satu orang, melainkan tiga orang. Konsep Looking Glass Self (Charles Cooley); Konsep Definisi Situasi (W.I Thomas); dan dari George Herbert Mead berupa konsep Mind, Role Talking (Play Stage; Game Stage); Generalized Other; Konsep Diri (“I” dan “Me”). Sementara konsep Self berasal dari Herbert Blumer.
Dari pemaparan tentang bekerjanya setiap konsep teoritik dalam teori interaksionisme simbolik itu dalam realitas kehidupan sehari-hari, kiranya memberikan makna bahwa dari setiap konsep teoritiknya teori ini menunjukkan bahwa dalam berkomunikasi interpersonal terdapat proses komunikasi intrapersonal terlebih dahulu dalam diri individu. Hal ini misalnya ditunjukkan dalam konsep Looking Glass Self. Dengan proses konsep ini pada diri individu, maka seorang individu akan lebih bijak dalam menentukan sikap untuk berkomumikasi dengan pihak lain. Sikapnya itu merupakan hasil seleksinya menyangkut pandangan orang lain terhadap dirinya yang meliputi : seseorang mempunyai persepsi mengenai pandangan orang lain terhadapnya ; seseorang mempunyai persepsi mengenai penilaian orang lain terhadap penampilannya : dan seseorang mempunyai perasaan terhadap apa yang dirasakannya sebagai penilaian orang lain terhadapnya. Jadi, seseorang memaknai dirinya berdasarkan bayangan yang seolah-olah dimiliki oleh orang lain mengenai dirinya.
Daftar Pustaka
Daftar Pustaka
Griffin, EM, 2003, A First Look At Communication Theory, Fifth edition, New York, Mc Graw Hill.
Littlejohn, Stephen W., 2005, Theories of Human Communication, eighth edition, Thomson Learning Inc., Wadsworth, Belmont, USA.
Imran, Hasyim Ali, 2006, “Beberapa Aspek Penting Dalam Hubungan Antara Teori dan Metode Riset Komunikasi”, dalam Jurnal Studi Komunikasi dan Media, Jakarta, Balai Pengkajian dan Pengembangan Informasi Wilayah II, Vol. 10 (1),