KOSMOLOGI DAN ARSITEKTUR
Pendahuluan
Tulisan ini merupakan hasil telaah materi dan tugas mata kuliah Dinamika Ruang. Tema telaah disesuaikan dengan rencana judul disertasi yang akan penulis ajukan, yaitu: “Aspek Kosmo-sosio-ekologis Pada Ruang Permukiman di Desa Bendosari, Pujon, Malang”. Hasil telaah ini diharapkan dapat memberikan kontribusi bagi penulisan disertasi penulis.
Dari hasil penelusuran dan telaah tulisan-tulisan ilmiah baik dari artikel jurnal ilmiah, proseding, maupun buku, penulis mendapat kontribusi bagi konstruksi teoritik mengenai ruang, kosmologi, dan hubungan kosmologi dengan ruang (arsitektur), maupun dalam membangun pemahaman mengenai metode penelitian yang tepat bagi penelitian yang akan penulis lakukan. Perubahan ruang, merupakan fenomena menarik. Perubahan ruang mencerminkan perubahan dan dinamika masyarakat, baik aspek sosial, ekonomi, dan budaya. Ini karena manusia memiliki peran penting dalam dinamika ruang, serta ruang sebagai wadah kegiatan manusia merupakan cermin manusia itu sendiri. Kosmologi berada pada level tertinggi (mentifact – Pangarsa, 2008), yang menentukan ideologi dan pandangan hidup manusia, serta pengambilan keputusan atas suatu masalah yang dihadapinya, termasuk keputusan-keputusan desain. Telaah mengenai kosmologi yang terkandung dalam arsitektur memang telah banyak dilakukan, namun bagaimana kosmologi mempengaruhi dinamika sosial-budaya dan ruang masyarakat memerlukan kebaruan kajian. Ini perlu dilakukan untuk mengimbangi semakin cepatnya perubahan ruang-ruang ‘lokal’ menjadi semakin ‘global’. Nilai-nilai kearifan lokal turut terkubur bersamaan dengan semakin hilangnya ruang-ruang ‘lokal’. Untuk itu, kajian semacam ini penting bagi upaya perbaikan ruang dan arsitektur.
Beberapa tulisan yang telah penulis telaah untuk mengetahui isi kajian (berkaitan dengan research gap), lokus, dan modusnya dapat dilihat dalam tabel berikut:
No
Judul Riset / Artikel
Penulis/ Publikasi
Fokus
Lokus
Metode
1
Shaping Space: Built Space, Landscape, And Cosmology In Four Region
Ben A Nelson, Stephen H. Lekson, Ivan Sprajc, Kenneth E. Sassaman / SFI Working Paper
Dinamika Sosial; Kosmologi; Ruang Terbangun, Lansekap
Mesoamerika, Mexico Utara, Amerika Tenggara, Dan Amerika Barat Daya (Daerah Penyebaran Suku Maya)
Eksploratif-Kualitatif Dengan Pendekatan Arkeologis, Etnografi, Etnohistori, Art-History, Sosiologi, Dan Antroplogi.
2
Space And Cosmology In The Hindu Temple
Subhash Kak / Vaasthu Kaushal: International Symposium On Science And Technology In Ancient Indian Monument. New Delhi
Ruang Kuil Hindu;
Kosmologi Hindu
Angkor Wat, Kamboja
Analisis Kualitatif Deskriptif Untuk Mengetahui Ekspresi Kosmologis Pada Desain Arsitektur
3
Astronomical And Cosmological Aspects Of Maya Architecture And Urbanism
Ivan Sprajc / Cosmology Across Culture. ASP Conference Series Vol 409
Arsitektur Suku Maya; Pola Ruang Kota; Konsep Kosmologi
Mesoamerica
Deskriptif-Kualitatif, Dengan Paradigma Arkeologi
4
Perwujudan Konsep Dan Nilai-Nilai Kosmologis Pada Bangunan Rumah Tradisional Toraja
Mashuri / Jurnal RUANG Vol 2 No 1, Maret 2010, Jur Arsitektur FT Univ Tadulako
Rumah Toraja; Konsep Kosmologis Masy Toraja
Tana Toraja, Sulawesi
Deskriptif-Rasionalistik
5
Kosmologi Dalam Arsitektur Toraja
Yulianto Sumalyo / Jurnal DIMENSI TEKNIK ARSITEKTUR Vol. 29 No. 1 Juli 2009
Rumah Toraja; Konsep Kosmologis
Tana Toraja: Palawa, Siguntu, Dan Ketekesu
Analisis Kualitatif-Deskriptif Untuk Mengetahui Tuangan Konsep Kosmologi Pada Arsitektur Toraja
6
Australian Aborigines And The Definition Of Place
Amos Rapoport / Senior Lecturer School Of Arch Univ Of Sydney
Permukiman Suku Aborigin
Australia
Studi Etnografi Mengenai Ideologi/Konsep-Konsep, Cara Hidup, Dll Dari Suku Aborigin
Studi Sosiologi-Antropologi Mengenai Masyarakat Aborigin
Studi Mengenai Ruang: Penggunaannya, Sistem Tanda Yang Digunakan, Teritori, Boundaries, Home-Range, Core Area, Dan Jurisdiction Melalui Pendekatan Kualitatif-Fenomenologi
7
Ruang, Manusia, Dan Rumah Tinggal; Suatu Tinjauan Perspektif Kebudayaan “Timur” Dan “Barat”
J. Lukito Kartono / Jurnal Teknik Arsitektur, FTSP UK Petra
Teori Ruang Arsitektur
Teori Ruang “Timur” Dan Teori Ruang “Barat”
Kajian Teoritik-Eksploratif
Penyandingan Teori Ruang “Timur’ Dan “Barat” Untuk Menemukan Benang Merah Yaitu Kesamaan Dasar Pembentukan Konsep Dan Perkembangan Masing-Masing Konsep Yang Mengarah Pada Terjadinya Perbedaan Pemahaman/Pengertian Ruang
8
Rumah Tradisional Osing: Konsep Ruang Dan Bentuk
Iwan Suprijanto / Jurnal Teknik Arsitektur, FTSP UK Petra Vol 30 No 1, Juli 2002
Ruang Dan Bentuk Rumah Osing
Desa Kemiren, Banyuwangi
Studi Deskriptif Kualitatif Mengenai Nilai Sosio0kultural Masyarakat
Studi Deskriptif-Kualitatif Mengenai Ruang Dan Bentuk Rumah Osing
9
The Concept Of Local-Smart Housing: Towards Socio-Cultural Sustainability Of Vernacular Settlements
Amirhosein G, Nur Dalilah Dahlan, Raniah Ibrahim, Mohd Masir B, Ali G. / Archnet-IJAR Vol 5 Issue 2 Juli 2011 (91-105)
Permukiman / Arsitektur Vernakuer Melayu
Malaysia
Studi Teoritik Mengenai Smart-Housing
Studi Teoritik Mengenai Permukiman Vernakuler Melayu Untuk Mengetahui Konsep Dasar, Fitur Spasial-Fungsional, Fitur Sosio-Kultural, Fitur Lingkungan, Dan Makna Budaya Pada Ruang-Ruang Fungsional
10
Pendopo Dan Era Modernisasi; Bentuk, Fungsi, Dan Makna Pendopo Pada Arsitektur Tradisional Jawa Dalam Perubahan Kebudayaan
Maria I. Hidayatun / Jurnal Teknik Arsitektur, FTSP UK Petra Vol 27 No 1, Juli 1999
Bentuk, Fungsi, Dan Makna Pendopo Ars Jawa
Jawa (Yogyakarta Dan Sekitarnya)
Studi Budaya Untuk Mengetahui Makna Arsitektur
Studi Bentuk Arsitektur Pendopo
11
Konsep Ruang Tradisional Jawa Dalam Konteks Budaya
J. Lukito Kartono / Jurnal Dimensi Interior FTSP UK Petra Vol 3 No 2 Desember 2005
Ruang Rumah Jawa; Konsep Ruang
Studi Teoritik Mengenai Konsep Ruang
Studi Budaya Mengenai Kosmologi Jawa
Studi Ruang Dan Bentuk Rumah Jawa Dalam Hubungannya Dengan Implementasi / Perwujudan Konsep Kosmologis
12
Krobongan Ruang Sakral Rumah Tradisi Jawa
Rahmanu Widayat / Dimensi Interior Vol. 2 No. 1, Juni 2004: 1-21
Ruang Sakral Krobongan Pada Rumah Jawa
Jawa
Studi Historis Mengenai Ruang Sakral Pada Rumah Jawa
Studi Mitos Dari Dongeng Lokal Untuk Menemukan Makna
13
Dialectics Of Cosmology: A Hermeneutical Study Of John Hendrix’s Architectural Forms And Philosophical Structures
Noé Badillo / ARH 511B
3/24/2011
Teori John Hendrix Mengenai Transformasi Konsep Kosmologi Pada Arsitektur
-------------------------
Telaah Interpretif Hermeneutika Teori John Hendrix
14
Interpretasi Budaya Clifford Geertz:
Agama Sebagai Sistem Budaya
Vita Fitria / SOSIOLOGI REFLEKTIF, Volume 7, Nomor 1, Oktober 2012
Teori Clifford Geertz Mengenai Kosmologi Dan Budaya
--------------------------
Telaah Interpretif Dengan Paradigma Sosial
15
Feng Shui Models Structured Traditional Beijing Courtyard Houses
Ping Xu / Journal Of Architectural And Planning Research Vol 15 No. 4 (Winter, 1998)
Rumah tradisional China yang memiliki courtyard
Beijing
Telaah interpretif dan analisis konten atas prinsip-prinsip Feng-Shui
Analisis deskripstif evaluatif penerapan prinsip Feng Shui pada rumah tradisional China
16
Tata Ruang Rumah Bangsawan Yogyakarta
Siti Widyatasari/
Dimensi Teknik Arsitektur, Volume 30 No. 2, Desember 2002: 122-132
Rumah bangsawan Yogya yang relatif masih belum berubah dan memiliki kedekatan hubungan dengan Sultan
Di sekitar istana Sultan, di Yogyakarta
Metode kuslitatif deskriptif dengan pendekatan historis dan analisis deskriptif dengan melihat pola-pola yang sama / berulang
17
Penerapan Konsep Tri Hita Karana Dalam Lingkungan Permukiman Perdesaan (Kasus Kabupaten Badung Provinsi Bali)
I Gede Astra Wesnawa/
Jurnal Bumi Lestari Volume 10 No. 2, Agustus 2010. Halaman 295-301
Permukiman Tradisional Bali
Kabupaten Badung, Bali
Penelitian lapangan dengan metode survei. Teknik pengumpulan data: kuesioner terstruktur, observasi lapangan, dan wawancara. Pemilihan sampel: stratified samplin, pemilihan responden: stratified proportional random sampling. Teknik analisis: kualitatif dan kuantitatif
18
Spatial Anthropology Of Thai-Islamic Dwellings In Eastern Bangkok
Waricha Wongphyat/
Journal Of Asian Architecture And Building Engineering, November 2009, 354
Ruan Thai, rumah tradisional Thailand
Bangkok Timur
studi antropologi yang menggunakan pendekatan survey lapangan dan pendekatan historis
19
Built Spaces: The Cultural Shaping Of Architectural And Urban Space
Lu, Yi, & Bozovic-Stamenovic/
Wolkenkuckucisheim – Cloud- Cuckoo Land – Vozdushnyi Zamok 01/2004, Volume 9 No. 1 November 2004
Rumah tradisional China
Beijing, China
Metode kualitatif-deskriptif dengan aspek yang diamati antara lain: dinding pembatas, orientasi aksial dan kardinal (empat arah mata angin), dan courtyard
Parameter analisis meliputi tata susunan, makna/simbol, pembatas ruang, posisi, dan orientasi.
20
The Resilience Of Javanesse Meaning In The Architectural Acculturation Of Javanesse With Chinese Ethnic Houses In The Kampong Of Sumber Girang And Babagan In Lasem
Bachtiar Fauzy, Antariksa Sudikno, Purnama Salura/
JBASR Vol 2 No 8; 2012; Pp 7741-7746
Rumah Jawa-China
Sumber Girang dan Babagan, Lasem, Jawa Tengah
Metode kualititatif deskriptif dengan langkah-langkah:
Pengumpulan dan rekam data fisik dan non fisik rumah (denah, tata ruang, bentuk, dsb).
Identifikasi aktivitas, pemilik rumah, pelaku, dll. Teknik: wawancara.
Identifikasi makna ruang sebagai wadah kegiatan dan pelaku yang telah dikaji pada tahap 2.
Kosmologi
Apakah kosmologi itu?
Bertolak dari paradigma Barat yang rasionalistik, kosmologi (berasal dari bahasa Yunani: cosmos artinya dunia) adalah ilmu mengenai dunia atau alam semesta, sebagai tempat hidup manusia. Dunia seisinya yang wadag, terlihat jelas, nyata, dan dapat ditangkap panca indera menjadi obyek kajian kosmologi Barat. Ilmu kosmos berkaitan dengan pertanyaan-pertanyaan: bagaimana bumi (dan dunia) diciptakan, kapan, bagaimana, bagaimana kedudukan bumi dan benda-benda langit, bagaimana sistem yang mengaturnya, bagaimana pengaruh dan hubungan satu dengan yang lain, dan sebagainya. Oleh karena itu, kajian-kajian kosmologi Barat yang penulis temukan banyak mengarah pada kajian astronomis, yaitu mempelajari kedudukan dan pergerakan benda-benda langit yang memiliki dampak terhadap perubahan iklim, cuaca, musim, arah gerak angin, kelembaban, dan lain-lain di bumi, yang mempengaruhi aktivitas sosial-ekonomi. Aspek meta-empirik kosmologi masuk dalam wilayah kajian mitos dan mistisisme. Dalam arsitektur, kajian meta-empirik ini muncul misalnya pada kajian mengenai axis-mundi, the origin of architecture, primitive hut, dsb. Kosmologi Timur lebih banyak mengungkapkan aspek meta-empiriknya, sebagaimana kajian meta-empirik Barat mengenai hubungan mitos, simbol, mistisme, dan arsitektur.
Bagi Nelson et al, kosmologi di level empirik diwujudkan salah satunya dalam bentuk kalender suku-suku kuno Amerika yang menentukan waktu dan ruang bagi kegiatan mereka (Nelson et al, 2010). Kalender itu terkait dengan siklus kegiatan agraris mereka, baik kegiatan rutin, kegiatan tahunan, atau kegiatan periodik lainnya. Secara lebih detil, Sprajc (2009) menjelaskan bahwa posisi benda-benda langit dibaca sebagai petunjuk perubahan musim. Benda langit yang dianggap berperan penting adalah matahari, bulan, dan Venus. Matahari yang membawa kehangatan lantas identik dengan semangat, gairah, kebahagiaan, terang, dan kebanbgkitan; sedangkan Bulan dan Venus yang menandai datangnya malam identik dengan kesuburan, kelembaban, kemuraman, gelap, dan istirahat. Karena peran besar benda-benda langit tersebut bagi kehidupan masyarakat kuno Amerika, serta adanya ‘mitos’ mengenai asal mula dunia dan asal mula kehidupan, maka benda-benda langit yang memiliki peran (atau ‘kuasa’) besar atas kehidupan mereka menjadi simbol kekuatan mahadahsyat yang mengatur dunia (dewa-dewa). Dalam hal ini konteks empirik dan meta-empirik kosmologi menemukan benang merahnya.
Pada pembahasan awalnya, kosmologi dalam Nelson et al (2010) lebih ditekankan pada pengetahuan mengenai dunia pada aspek astronominya. Meskipun menyinggung juga bentuk raut muka bumi, Nelson et al (2010) tidak menjelaskan secara rinci bagaimana struktur geografis muka bumi tersebut mempengaruhi keputusan desain / tata ruang. Dalam artikel yang lain pun, kosmologi dijelaskan Sprajc khususnya terkait kedudukan dan orientasi benda-benda langit dan pergantian musim. Hal ini berbeda dengan Feng Shui yang dominan unsur geomancy-nya (Xu (1998), 1998). Dalam artikelnya, Xu (1998) menjelaskan konsep energi Qi yang ditampung dalam rumah dengan memperhatikan kondisi geografis terkait angin, hujan, panas/api/matahari, sungai, dan tanah. Kedatangan hujan dan arah angin sangat ditentukan oleh komponen-komponen alam di langit dan di bumi. Kaidah atau aturan Feng shui banyak diwarnai oleh konsep-konsep kesepasangan yang berujung pada tercapainya keseimbangan dan keselarasan.
Telaah kosmologi (Feng Shui) pada paradigma empirik (saja) disampaikan oleh Faisal (2011). Telaah ini bersifat rasionalistik-eksploratif. Berbeda dengan artikel utama dan beberapa artikel pembanding lain yang lebih naturalitik, kajian Faisal (2011) mengkaji secara kuantitatif aspek termal dan kenyamanan fisik rumah yang didesain dengan menerapkan kaidah Feng Shui. Hasil kajiannya memperkuat hipotesis bahwa Feng shui memiliki keandalan dalam menciptakan kenyamana dalam rumah tinggal khususnya terkait kenyamanan termal (fisik).
Konstelasi benda-benda langit dan perhitungan-perhitungan astronomi yang memberi andil dalam desain ruang arsitektur sebagaimana dijelaskan dalam artikel utama disampaikan juga oleh Kak (2002) dalam artikelnya mengenai kosmologi pada kuil Hindu. Kasus yang diambil Kak adalah kuil Hindu Angkor Wat. Susunan elemen-elemen pada angkor Wat menunjukkan kesesuaian dengan struktur dan angka-angka astronomis bulan dan matahari. Simbol-simbol geometris merepresentasikan bumi, bulan dan matahari. Simbol ini juga lantas diasosiasikan dengan dewa-dewa penguasanya sesuai kepercayaan mereka. Tampaknya, sebagaimana kosmologi suku Maya, kosmologi masyarakat Hindu pun menjadi landasan bagi sistem ideologi-politik Khmer, meskipun tidak eksplisit dijelaskan oleh Kak. Hal ini tampak pada susunan komponen-komponen arsitektur dan pola ruang Angkor Wat yang identik dengan posisi dan hirarki dewa-dewa, termasuk Raja sebagai wakil/utusan/titisan dewa yang disimbolkan dalam konfigurasi pusat-tepi kuil Hindu.
Pada suku Maya kuno, arsitektur dan tata ruang dibentuk berdasarkan kebutuhan kegiatan mereka. Konsep kosmologi empirik di atas, bersama-sama membentuk sistem ideologi yang akhirnya bercabang-cabang membentuk jalinan dan struktur sosial, sistem kepemimpinan (ideologi politik), sistem budaya hingga diaplikasikan dalam praksis kehidupan, salah satunya dalam wujud arsitektur. Akhirnya muncul simbol-simbol kosmologis yang terintegrasi dengan sistem kepercayaan, sistem sos ial, dan sistem politik. Posisi, orientasi, kedudukan serta eksistensi benda-benda yang ada di alam berintegrasi dengan makna simbolik yang menunjukkan keperkasaan, kekuatan, dll. Makna ini dituangkan dalam bentukan arsitektur.
Telaah kosmologi sebagai aspek meta-empirik yang diwujudkan dalam simbol-simbol arsitektur banyak dikaji oleh peneliti yang menggunakan paradigma Timur (Mashuri, 2010; Sumalyo, 2001; Widayat, 2004; Widyatasari, 2002; Wesnawa, 2010; Xu (1998), 1998; dan Kartono, 2005). Dalam artikel-artikel pembanding tersebut di atas, definisi kosmologis lebih ditekankan pada aspek meta-empiriknya, kosmologi identik dengan sistem kepercayaan / agama. Konsep ini menjadi warna dalam memahami alam semesta di ruang yang mereka kenal. Benda-benda di alam semesta menjadi perwujudan tokoh, sifat, dan karakter sesuai konsep kosmologi mereka. Kecuali kajian mengenai Feng Shui, aspek simbolik yang terlalu dominan menjadikan telaah empirik kosmologis pada artikel-artikel pembanding menjadi tidak terlalu jelas. Konteks ini yang membedakan artikel utama dengan artikel pembanding. Pada artikel pembanding, ‘hanya’ posisi dan jalur edar matahari, atau posisi gunung-laut yang akhirnya menjadi referensi utama dalam penentuan arah dan orientasi bangunan.
Kajian-kajian yang menggunakan paradigma meta-empirik kosmologi lebih kuat dalam menelaah aspek simbolik dan unsur kepercayaan obyek kasusnya dibandingkan kajian dari paradigma empirik. Widayat (2003) menelaah kosmologi Jawa melalui figur Dewi Sri sebagai pemilik ruang sakral rumah Jawa (Krobongan / senthong tengah) melalui legenda dan mitos. Demikian pula Kartono (2005) yang menelaah konsep ruang Jawa sebagai tuangan ide-ide kosmologis-meta empirik. Sumalyo (2001) dan Mashuri (2010) menelaah kosmologi Toraja, Wesnawa (2010) menelaah konsep tri Hita Karana dari Hindu Bali. Dalam artikel-artikel tersebut kosmologi ditempatkan dalam konteks meta-empirik / transendental, berhubungan dengan ide-ide mengenai dunia yang diyakini ada tiga fase atau tiga tingkatan: level bawah/rendah identik dengan energi buruk, dunia sebelum manusia dilahirkan, ruh-ruh jahat; level tengah identik dengan dunia tempat tinggal manusia setelah dilahirkan, energi pertengahan/madya, tempat manusia menempa diri; dan level atas identik dengan dunia setelah manusia meninggal dunia, tempat tinggal dewa-dewa, dan energi positif. Artikel-artikel tersebut di atas lebih jelas dan detail dalam menjelaskan konsep kosmologi meta-empirik dibandingkan artikel utama.
Ruang
Ada beragam pengertian mengenai ruang. Perbedaan arti ‘ruang’ ini muncul karena perbedaan perspektif dan perbedaan paradigma. Terutama mereka yang menggunakan paradigm empiric dan meta-empirik.
Dari keilmuan Eropa, filsuf klasik, Socrates, berpendapat bahwa di balik yang kasat mata terdapat ‘being’ yang lebih hakiki yang sifatnya universal -- yang tidak kasat mata. ‘Being’ merupakan unsur metafisik. Unsur metafisik ini merupakan ‘kesejatian’nya sedangkan unsur yang kasat mata (fisik/empirik) adalah yang maya. Obyek yang kasat mata merupakan ‘bayangan’ atau ‘imitasi’ dari obyek yang sejati. Obyek yang sejati ini berada di level ide-ide/konsep.
Socrates, Plato, dan Aristoteles memahami bahwa ada dua ‘dunia’, yaitu yang nampak dan yang tak nampak. Dunia yang nampak selalu berubah, sedangkan yang tak nampak relatif tidak berubah. Dunia yang nampak merupakan representasi abstrak dari ide-ide yang yang tak nampak.
Ide-ide Socrates ini dikembangkan Plato. Terkait dengan form, Plato menyatakan bahwa substansi Form yang sesungguhnya adalah pada aras ide, sedangkan yang nampak merupakan perwujudan ide tersebut. Form bersifat atemporal dan aspatial, artinya Form tidak terkait dan tidak tergantung dengan waktu tertentu maupun ruang tertentu. Dalam kaitannya dengan ide mengenai ruang sebagai obyek, maka Socrates dan Plato memandang bahwa ‘ruang’ yang metafisik merupakan hakekat dari ruang fisik/ ruang empirik yang kasat mata. Ruang ini dapat dipahami melalui sensation atau perasaan; bukan berasal dari pikiran tetapi dari ‘extra-mental’/ rasa-perasaan. Ruang fisik / empiric merupakan imitasi ruang metafisik / meta empiric.
Filsuf klasik Asia, Lao Tzu (dalam Mc Harg, 1992) memiliki pandangan yang sama. Hakekat ruang pada sebuah jambangan adalah kekosongan yang terbentuk dari tanah liat. Pendapat Lao Tzu ini sedikit lebih mudah diterjemahkan: bahwa untuk menciptakan ruang kita memerlukan batas dan simbol fisik. Namun bukan berarti batas fisik tanah liat itu lantas menjadi satu-satunya yang dapat membentuk ruang. Karena ketika manusia mewujudkan ide ruang pada jambangan itu, sangat bisa jadi ia menggunakan bahan, model, atau bentuk yang lain.
Arsitoteles mengembangkan ide metafisika Socrates dan Plato dalam konteks fisik-matematis. Aristoteles menangkap ide-ide dari obyek fisik atau yang kasat mata terlebih dahulu, sementara Plato dan Socrates berangkat dari ide-ide metafisik. Ruang ditangkap esensinya dari fenomena yang kasat mata. Ide Aristoteles ini dikembangkan lebih lanjut hingga masa Renaissance sehingga ruang dipandang sebagai perluasan/pengembangan/perpanjangan tiga dimensional yang tak terbatas, di mana obyek dan peristiwa memiliki posisi dan arah yang relatif. Pada pemahaman ini, ruang lebih ditangkap obyek fisiknya daripada ide-ide metafisiknya. Descartes menggambarkannya dalam diagram Cartesian yang sangat rasionalis. Ide unsur tiga dimensional ruang ini dikembangkan oleh para ahli fisika-modern menjadi empat dimensi, ditambah dengan unsur waktu. Pendapat ini disampaikan oleh Immanuel Kant (Broadbent, 1991; http://www.iep.utm.edu/kantmeta/).
Gambar 1. Diagram Cartesian mengenai ruang (Sumber: Wikipedia)
Menurut Kant, Ruang adalah bentuk a priori dari sensibilitas / perasaan. Manusia dapat memahami ruang hanya jika ia bisa merasakannya. Pemahaman atas suatu obyek juga memerlukan konteks keruangannya. Mengabaikan konteks ruang suatu obyek akan menumpulkan perasaan. Padahal dengan rasa itulah manusia memahami hakekat obyek dan ruang yang menyertainya. Waktu memiliki peran penting dalam upaya identifikasi dan pemahaman atas ruang. Pemahaman atas suatu obyek memerlukan konteks ruang dan waktunya, keduanya merupakan continuum yang tak terpisahkan. Ide ini terus berkembang hingga saat ini, dalam perspektif geografi (Rapoport, 1989 dan Tuan, 1979), psikologi (Lang, 1987; Barker, 1968), fisika, matematika, serta cabang keilmuan lainnya.
Dalam perspektif psikologi, pemahaman ruang dibentuk oleh persepsi. Yi Fu Tuan (1975; 1979) memberi pembedaan antara space dan place (tempat). Space digunakan untuk menyebut area yang masih belum memiliki makna khusus dalam perasaan si pengguna ruang, sedangkan place digunakan untuk menyebut ruang yang memiliki makna khusus di hati / perasaan si pengguna ruang. Di dalam place, manusia memiliki pengalaman dan aspirasi tertentu.
Ruang itu sendiri masih tetap dipahami sebagai area di mana suatu obyek berada (obyek di sini bisa berarti manusia sebagai subyek yang menangkap / mengalami ruang). Persepsi ruang berkaitan dengan rekognisi (pengenalan) tampilan fisik suatu obyek, atau bagaimana interaksinya ditangkap/ dilihat/ diterima/ dirasakan. Teori psikologi ruang menyatakan bahwa ruang dapat mengontrol perilaku manusia, dan sebaliknya perilaku manusia dapat membentuk ruang. Untuk itu dikenal 4 komponen perilaku dalam membentuk ruang, yaitu: personal space, territoriality, privacy regulation, dan boundary control (Sanders dalam Kent, 1990; Barker, 1968).
Personal space menurut Hall (1966), Barker (1968) dan Sanders (1990) merupakan ruang di mana seseorang merasa nyaman dengan dirinya sendiri. Pelanggaran atas teritori personal space menyebabkan perasaan tidak nyaman atas diri si ‘pemilik ruang’. Hubungan sosial sangat menentukan batas atau teritori personal space. Perasaan tak nyaman tadi tidak akan muncul apabila si pemilik ruang mengijinkan orang lain memasuki personal space-nya. Dalam hal ini, batas ruang ternyata tidak hanya dapat ditentukan oleh batas ‘fisik’ atau ‘empirik’ tetapi dapat ditentukan oleh faktor psikologi dan hubungan sosial. Faktor psikologis (perasaan nyaman, terpojok, tertekan, dsb) dan hubungan sosial dapat dipandang sebagai elemen pembentuk ruang.
Berkaitan dengan hal tersebut di atas, batas ruang menjadi sangat relatif, tergantung pada masing-masing individu. Budaya, lantas menjadi hal yang harus dipahami ketika kita mempelajari ruang suatu kelompok masyarakat. Sistem dan tata nilai yang terangkum dalam budaya, terutama pemahaman masyarakat akan kosmos/ jagat raya (system of belief) sangat menentukan bagaimana mereka berinteraksi, baik dengan sesama manusia maupun dengan alam lingkungannya, sehingga akan sangat menentukan pula bagaimana mereka memaknai ruang: personal space, teritori, ruang sacral-profan, ruang public-privat, dsb (Pangarsa, 2007).
Pada masyarakat Batammaliba, misalnya, mereka merepresentasikan pusat semesta (axis mundi) dalam ruang pusat permukiman mereka (Blier, 1987). Ruang ini merupakan perwujudan konsep kosmologi / pemahaman mengenai dunia yang ada pada system of belief mereka. Ide-ide abstrak mengenai ruang (bahwa dunia memiliki pusat – salah satu archetype ruang) diwujudkan dalam symbol artefak (fisik) yang lantas menjadi pusat pula bagi permukiman mereka. System of belief mereka juga mengatur interaksi social. Konsep meta-empirik ini mewujud dalam ruang fisik arsitektur mereka.
Bagaimana dengan pemahaman masyarakat Nusantara mengenai RUANG?
Menurut Kartono (2005), tidak ada padanan kata yang tempat untuk menggantikan istilah Ruang selain place. Bagi masyarakat Nusantara, ruang merupakan pengejwantahan makrokosmos ke dalam mikrokosmos. Masyarakat Nusantara memahami eksistensi ruang lebih pada aspek meta-empiriknya, bukan wadah fisiknya. Ruang menjadi ekspresi ide-ide hubungan manusia-Tuhan dan manusia-manusia lain-alam lingkungan. Seluruhnya adalah merupakan suatu kesatuan. Pangarsa (2006) menggambarkannya dalam gambar 2.
Manusia berperan sebagai khalifah yaitu pemegang amanah kelestarian alam, termasuk manusia itu sendiri. Kelestarian di sini memiliki makna sama dengan sustainability. Hal tersebut dapat dicapai apabila manusia mampu menjaga perimbangan antara sumbu vertikal dan sumbu horisontal. Konsep dan prinsip perimbangan tersebut merupakan bagian dari kosmologi mereka. Ruang menjadi wadah aktifitas manusia sekaligus transformasi ide-ide mereka dalam wujud fisik. Perubahan kosmologi berdampak pada perubahan prinsip-prinsip utama tata ruang, dan akhirnya pada arsitektur.
Gambar 2. Diagram hubungan manusia dengan manusia lain, alam, dan Tuhan (Pangarsa, 2006)
Kosmologi dalam Membentuk Ruang (Arsitektur)
Bagaimana peran kosmologi dalam membentuk ruang?
Dilandasi oleh pemikiran Rapoport yang berpandangan sosio-kulturalistik dalam menelaah arsitektur, Nelson et al (2010) melihat bahwa terbentuknya ruang tidak mungkin mengabaikan aspek kosmologi. Pemikiran ini cukup revolusioner di kalangan peneliti arsitektur dari Barat karena mereka lebih banyak melihat ruang (arsitektur) dalam wujud fisiknya. Pemikiran ruang dalam arsitektur Barat bersumber dari ide Aristoteles dan Plato yang memandang ruang dalam konteks position-relation dan displacement-container yang oleh Descartes direpresentasikan dalam diagram Cartesian. Ruang selalu berwujud tiga dimensi yang memiliki arah dan kedudukan tertentu sehingga muncul bentuk-bentuk platonik-solid. Konsep klasik Barat mengenai ruang ini lantas berkembang sehingga menempatkan arsitektur dalam konteks yang dominan aspek fisik dan wujudnya sebagai kontainer.
Pemikiran dari perspektif yang berbeda, memandang ruang bukan sekedar kontainer fisik saja. Ada dimensi lain dari ruang, dan dimensi itu justru yang banyak mendikte perwujudan dan tata ruang, yaitu dimensi kosmologis. Ruang sebenarnya adalah perwujudan fisik dari konsep-konsep mengenai place yang sudah ‘dikenal’ manusia. Pengalaman ruang merupakan pengalaman yang sulit direkam otak karena berada di level perasaan. Akan dianggap tidak rasional ketika jawaban pertanyaan mengapa stupa berbentuk setengah bola adalah karena hal itu mengingatkan manusia pada ruang pertama yang dialaminya, yakni rahim. Ini karena saat itu otak manusia belum bisa merekam pengalaman dan panca-indranya belum bekerja sempurna. Namun ketika muncul kenyataan bahwa ruang paling privat yang banyak diwujudkan manusia adalah ruang yang sempit, gelap namun manusia merasa nyaman di dalamnya, maka apakah bukan tak mungkin bahwa ruang itu adalah perwujudan kembali suasana ruang rahim? Teori-teori ruang Barat gagal menjawab pertanyaan ini
Artikel-artikel peneliti Timur mengenai ruang banyak melakukan interpretasi atas wujud simbolik kosmologi dibandingkan artikel utama (Wesnawa,2010, Widyatasari, 2002; Sumalyo, 2001; Mashuri, 2010; Widayat, 2003; Kartono, 2005). Telaah yang parsial dan didominasi konteks meta-empirik kosmologis sebagaimana kajian dalam artikel pembanding memerlukan telaah realistis dari pertanyaan-pertanyaan: mengapa gunung, laut, timur, barat, utara, selatan, dan sebagainya menjadi pusat-pusat orientasi. Telaah Timur miskin kajian akan hal ini. Kajian mengenai Feng Shui sebagaimana dilakukan Xu (1998) (1998), semestinya selain mengeksplorasi konsep Feng Shui juga berusaha menemukan fakta ilmiah Feng Shui, contohnya seperti dilakukan Faisal (2011). Kajian dalam artikel utama setidaknya berupaya memberi pembuktian secara ‘ilmiah’ bahwa ada korelasi positif antara kosmologi, ideologi, dan arsitektur. Atau sebelum mewujud dalam arsitektur, hubungan-hubungan manusia-Tuhan, manusia-manusia lain-alam membentuk sistem sosial dan sistem budaya, yang selanjutnya mewujud dalam bentuk tata-ruang dan arsitektur. Perubahan dan dinamika sosial-budaya yang nyatanya diawali oleh perubahan kosmologi nyatanya mampu melahirkan tata ruang dan bentuk arsitektur yang baru (Wongphyat, 2009; Fauzy et al, 2012; Lu Yi & Stamenovic, 2004).
Upaya Nelson et al (2010) yang notabene adalah arkeolog Barat merupakan kontribusi positif bagi perkembangan teori arsitektur. Hasil penelitian Nelson et al (2010) yang disampaikan dalam artikel utama menjembatani pemahaman kosmologi versi Timur dan Barat. Dalam aras yang sama, Kak (2002) mengungkapkan bagaimana orang Hindu merepresentasikan pemahaman kosmologisnya, penghormatan pada benda-benda langit dalam tata susunan komponen-komponen kuilnya. Hanya saja, Kak (2002) tidak sampai pada telaah fungsional aspek komologis-astronomis sebagaimana Nelson et al (2010). Meskipun tidak terungkap detail, tetapi Nelson dapat menunjukkan hubungan yang dapat diterima secara rasional antara konsep meta-empirik kosmologis dan konsep empiriknya.
Teori yang digunakan Nelson et al (2010) untuk mengungkapkan hubungan kosmologis dengan ruang (arsitektur) dari sudut tinjau sosio-kultural merupakan paradigma baru. Oleh karena itu ia menggunakan teori yang menggunakan perspektif antro/sosio-kultural seperti teori Rapoport (1979) ,Bordieau (2003), dan Donley-Reid (1990). Disiplin ilmu dan pengalaman penelitian arkeologi Nelson et al (2010) menjadi referensi dalam mengungkapkan realitas pada obyek studi. Keterbatasan referensinya mengenai arsitektur menjadi dapat dimaklumi ketika telaah proses terbentuknya ruang pada artikelnya tereksplorasi pada batas pemahaman arkeo-astronomi saja. hal ini tentunya berbeda sekali dengan Sumalyo (2001), Mashuri (2010), Widyatasari (2002), Wesnawa (2010) dan Wongphyat (2009) yang bertolak dari disiplin arsitektur.
Telaah teoritik yang berpijak pada teori arsitektur yang juga digunakan Nelson et al (2010) adalah artikel Xu (1998) (1998). Rujukan teori arsitekturnya adalah Rapoport (1969), Tuan (1974) dan teori psikologi Jung (1964). Sayangnya, Xu (1998) membatasi telaahnya pada data sekunder rumah tradisional China. Analisisnya mengenai implementasi kosmologi pada obyek kasus bersifat teoritik-analisis. Dalam hal ini, Nelson et al (2010) lebih baik dalam menelaah obyek kasusnya karena analisisnya dilakukan pada data-data primer yang mereka kumpulkan dari lapangan.
Konsep ruang yang didasarkan pada konsep kosmologi menunjukkan peran penting kosmologi dalam membentuk ruang (arsitektur). Teori-teori yang disusun Sumalyo (2001), Mashuri (2010), Kartono (2005), Widayat (2003), membentuk kerangka pemahaman tersebut. Nelson et al (2010) dapat menggunakan kerangka yang sama untuk menunjukkan asosiasi-asosiasi konsep meta-empirik Suku Maya dalam wujud empirik dari konsep ruangnya. Terutama karena kosmologi pada kenyataannya merupakan suatu sistem holistik terkait dengan lingkaran hermeneutik yang mencakup experience near concept menuju experience distance concepts (Fitria, 2012). Faktor yang ada di dalam diri mannusia merupakan faktor pendorong untuk melakukan sesuatu sedangkan faktor eksternal berwujud simbol-simbol merupakan ekspresi tindakan individu secara bersamaan. Dasar pemikiran yang dikemukakan oleh Geertz ini dapat menjadi jembatan yang lebih nyata dalam memahami implementasi kosmologi pada perwujudan fisik ruang. Widyatasari (2002), Wesnawa (2010), Wongphyat (2009), Lu Yi & Stamenovic (2004), Fauzy et al (2012) dan Kartono (2005) lebih eksplisit mengungkapkan hubungan antara kosmologi dalam mempengaruhi aspek sosial-budaya dan selanjutnya dalam membentuk arsitektur. Perubahan sosial-budaya akan mengubah corak arsitektur, tetapi selama perubahan itu tidak sampai pada perubahan kosmologi maka prinsip dasar tata ruang masih belum akan berubah. Perubahan tata ruang terutama disebabkan oleh adanya perubahan di aras kosmologi, khususnya kosmologi di aspek meta-empirik. Perubahan tata ruang dan arsitektur akibat perubahan kosmologi di aras empirik terjadi sebagai bentuk adaptasi dan pengenalan tempat di alam yang mereka pilih sebagai tempat tiggal.
METODE DALAM KAJIAN HUBUNGAN KOSMOLOGI DAN ARSITEKTUR
Metode untuk mengkaji hubungan kosmologi dan arsitektur bermacam-macam, tergantung paradigma peneliti, tujuan, dan fokus penelitian., antara lain:
Metode eksploratif-deskriptif seperti yang dilakukan Nelson et al (2010). Arsitektur dan lansekap menjadi kasus sekaligus subyek penelitian, karena hasil riset mereka menunjukkan bahwa aspek kosmologis tak dapat diabaikan dalam pembentukan ruang. Xu (1998) tidak menggunakan data primer, tetapi ia menelaah cukup mendalam konsep Feng Shui sebagai pedoman arsitektur China. Xu (1998) menggunakan metode analisis konten Feng Shui. Hal yang sama dilakukan oleh Lu Yi, yang memperluas filosofi China dengan mengkaji Tao dan Konfusianisme. Lu Yi mengkaji obyek arsitektur dari data primer yang diamatinya. Kak menganalisis aspek angka-angka astronomis dan posisi benda-benda langit dalam konsep kosmologis Hindu yang diwujudkan dalam simbol-simbol arsitektur. Kak menggunakan metode kualitatif-ekslporatif dalam menyelidiki obyek kasusnya. Dalam level kedalaman dan ketajaman analisis yang berbeda, namun dengan teknik yang sama dengan Nelson et al (2010), Mashuri (2010), Sumalyo (2001), Sprajc (2009), Xu (1998) (1998), Wesnawa (2010), Widayat (2004), dan Kartono (2005) mengungkapkan bagaimana kosmologi dengan sangat dominan mempengaruhi bentukan ruang arsitektur. Sudut pandang dan titik pijaknya berbeda, jika artikel Nelson mengkaji dari sudut pandang arkeo-astronomis sebagaimana Sprajc (2009), maka artikel-artikel pembanding yang disebutkan di atas menggunakan sudut pandang arsitektur dan tata ruang/permukiman.
Metode deskriptif-kualitatif dengan pendekatan antropologi seperti dilakukan Wongphyat (2009) dan Widyatasari (2010). Data yang digunakan adalah data primer.
Metode rasionalistik-kualitatif seperti dilakukan Mashuri (2010). Data yang digunakan adalah data sekunder, bertujuan untuk membuktikan hipotesis yang telah disusun di awal.
Lingkup kajian penelitian kosmologi dan arsitektur bisa bermacam-macam, mulai dari lingkup makro, meso, hingga mikro. Lingkup kajian Nelson et al lebih luas (makro) dibandingkan Sumalyo (2001), Mashuri (2010), Xu (1998), Widayat (2004), Widyatasari (2002), Wongphyat (2009), dan Fauzy et al (2012). Kajian dengan lingkup yang sama (lingkup makro) adalah pada artikel Wesnawa (2010) dan Lu Yi (2004). Kartono mencoba melihat konsep kosmologi dalam konteks budaya di lingkup ruang makro (alun-alun dan tata ruang Kota Yogya).
Teknik analisis tergantung paradigma, lingkup, sudut pandang dan konteks. Dari sudut pandang arkeologi dan paradigma rasionalistik Barat, Nelson et al (2010) menekankan pengertian kosmologi dari pemahaman kosmik (dunia) yang kasat mata. Mereka menelaah astronomi suku-suku kuno Amerika, sebagai bidang yang dianggap berhubungan dan dekat dengan kosmologi. Kosmologi Fengshui yang dijelaskan Xu (1998) (1998) menelaah bentuk raut bumi: letak gunung, laut, sungai, sumber air, gurun pasir, dsb serta posisi matahari, hujan, angin, dll dalam kajiannya. Meskipun unit amatan pada subyek kajian ini sama-sama bersifat kasat mata, tetapi telaah Fengshui akhirnya mengarah pada analogi kosmik tadi dengan kekuatan atau energi positif atau negatif. Dalam hal ini, Lu Yi (2004) menjelaskan kosmologi Tao dan Konfusianisme untuk menemukan kesamaan prinsip dengan Feng shui serta konsistensi penerapan prinsip tersebut pada obyek kasus. Dari sudut pandang berbeda, kosmologi China, Thai-Muslim, Toraja, Jawa dan Bali ditelaah dari aspek kepercayaan sebagaimana dilakukan beberapa artikel pembanding.
Unit-unit yang diamati dan dianalisis tergantung fokus dan obyek kajian. Artikel utama menganalisis arsitektur dan tata kota terutama dari segi tata ruang tetapi tidak menjelaskan secara detil unit-unit apa saja yang diamati secara eksplisit sebagaimana artikel Mashuri (2010), Widyatasari (2002), Lu Yi (2004), Wesnawa (2010), dan Fauzy (2012). Unit-unit amatan artikel ini lebih banyak berada dalam lingkup makro sehingga dalam beberapa kasus tidak terlalu detil menganalisis lingkup mikro arsitektur seperti ornamen, bentuk, ukuran, perabot, dan lain-lain.
Perlu adanya pernyataan mengenai tahap penelitian agar pembaca mudah memahami isi penelitian, validitas dan reliabilitas data, ketajaman analisis, serta keberhasilan penulis dalam mencapai tujuan penelitian / tujuan penulisannya. Selain itu pembaca juga akan dapat mempelajari metode yang digunakan penulis untuk diadaptasi atau digunakan kembali dalam penelitian berikutnya.
Interpretasi simbolik diperlukan dalam mengkaji kosmologi, sebagaimana dilakujkan Sumalyo (2001), Mashuri (2010), Kartono (2005), Lu Yi (2004), dan Widayat (2004). Analisis aspek sosio-kultural dan ekonomi juga dapat membantu interpretasi konsep kosmologi, dan ini memudahkan proses analisis/membaca obyek arsitekturalnya. Analisis atas hubungan kosmologi dengan aspek sosio-kultural dan arsitektur bisa didasarkan atas fakta-fakta yang ditemukan di lapangan. Interpretasi atas artefak-artefak kuno perlu didukung Dalam didukung data-data yang valid dan dapat dipertanggungjawabkan.
Penyajian data sebaiknya dilakukan sejelas mungkin dalam memberikan ilustrasi untuk memudahkan pembaca memahami isi kajian. Hal ini dilakukan misalnya oleh Wongphyat yang sangat lengkap dan jelas dalam memberikan ilustrasi obyek ajiannya. Data-data beserta hasil analisis dalam bentuk gambar-gambar arsitektur Wongphyat sangat membantu pemahaman pembaca. Sumalyo (2001), Mashuri (2010), Xu (1998) (1998), Lu Yi (2004), dan Fauzy (2012) menyajikan ilustrasi yang cukup mendukung deskripsi tekstualnya. Nelson et al (2010) sama sekali tidak memberi ilustrasi mengenai obyek yang dikaji baik dalam bentuk gambar maupun diagram. Hal ini membuat pembaca kesulitan membayangkan atau menggambarkan obyek kajian.
Daftar Pustaka
Bachtiar Fauzy, Antariksa Sudikno, Purnama Salura. 2012. The Resilience Of Javanesse Meaning In The Architectural Acculturation Of Javanesse With Chinese Ethnic Houses In The Kampong Of Sumber Girang And Babagan In Lasem. JBASR Vol 2 No 8; 2012; pp 7741-7746
Barker, Roger Garlock. 1968. Ecological Psychology: Concepts and Methods for Studying The Environment of Human Behavior. Palo Alto: Stanford University Press.
Blier, Suzzane Preston. 1987. The Anatomy of Architecture. Cambridge: Cambridge University Press
Broadbent, Geoffrey. 1991. Deconstruction: A Student Guide. UIA Journal of Architectural Theory and Criticism. London, Great Britain: Academy Edition
Hall, Edward T. 1966. The Hidden Dimension. Anchor Books.
Internet Encyclopedia of Philosophy, A Peer-Reviewed Academic Resource. http://www.iep.utm.edu/kantmeta/. Didownload tgl 10 Oktober 2013.
Kak, Subash. 2002. Space and Cosmology in the Hindu Temple. Vaastu Kaushal: International Symposium on Science and Technology in Ancient Indian Monuments, New Delhi, November 16-17, 2002.
Kartono, J. Lukito. 2005. Konsep Ruang Tradisional Jawa Dalam Konteks Budaya. Dimensi Interior, Volume 3 No. 2, November 2005
Lang, Jon T. 1987. Creating architectural theory: The role of the behavioral sciences in environmental design (pp. 86-110). New York: Van Nostrand Reinhold.
Lu, Yi, & Bozovic-Stamenovic. 2004. Built Spaces: The Cultural Shaping Of Architectural And Urban Space. Wolkenkuckucisheim – Cloud- Cuckoo Land – Vozdushnyi Zamok 01/2004, Volume 9 No. 1 November 2004
Mashuri. 2010. Perwujudan Konsep Dan Nilai-Nilai Kosmologis Pada Bangunan Rumah Tradisional Toraja Jurnal RUANG Vol 3 No. 1 Maret 2010
McHarg, Ian L. 1992. Design with Nature. USA: John Wiley & sons.
Pangarsa, Galih W.P. 2006. Merah Putih Arsitektur Nusantara. Yogyakarta: Andi Offset
Pangarsa, galih W.P. 2008. Arsitektur untuk Kemanusiaan: Teropong Visual Culture atas Karya-karya Eko Prawoto. Wastu Lanas Grafika
Rapoport, Amos. 1989. House Form and Culture. Prentice Hall
Sanders, Donald dalam Kent, Susan. 1990. Behavioral Convention and Archaeology. Domestics Architecture and the Use of Space: an interdisciplinary and cross-cultural study. Cambridge: Cambridge University Press
Sprajc, Ivan. 2009. Astronomical And Cosmological Aspects Of Maya Architecture And Urbanis. Cosmology Across Cultures; ASP Conference Series Vol. 409, 2009, Editor: J.A. Rubino-Martin, J.A. Belmonte, F. Prada dan A. Alberdi
Sumalyo, Yulianto. 2001. Kosmologi dalam Arsitektur Toraja. Dimensi Teknik Arsitektur Vol. 29 No. 1 Juli 2001: 64-74
Tuan, Y. F. (1975). Place: an experiential perspective. Geographical Review, 151-165.
Tuan, Y. F. 1977. Space and place: The perspective of experience. U of Minnesota Press.
Wesnawa, I Gede Astra. 2010. Penerapan Konsep Tri Hita Karana Dalam Lingkungan Permukiman Perdesaan (Kasus Kabupaten Badung Provinsi Bali). Jurnal Bumi Lestari Volume 10 No. 2, Agustus 2010. Halaman 295-301
Widayat, Rachmanu. 2004. Krobongan Ruang Sakral Rumah Tradisi Jawa. Jurnal Dimensi Interior, FTSD UK Petra Vol. 2 no 1, Juni 2004
Widyatasari, Siti. 2002. Tata Ruang Rumah Bangsawan Yogyakarta. Dimensi Teknik Arsitektur, Volume 30 No. 2, Desember 2002: 122-132
Wongphyat, Waricha. Spatial Anthropology Of Thai-Islamic Dwellings In Eastern Bangkok. Journal of Asian Architecture and Building Engineering, November 2009, 354
Xu, Ping. 1998. Feng Shui Models Structured Traditional Beijing Courtyard Houses Journal of Architectural and Planning Research Vol 15 No. 4
Kosmologi dan Arsitektur | 8