Academia.eduAcademia.edu

kamtibmas

Dalam rangka menata upaya pemeliharan kedamaian pasca konflik di Indonesia, perlu kajian terhadap situasi dan peristiwa konflik pada masa lalu berserta perkembangan dan upaya penanggulangannya, termasuk kajian terhadap keberhasilan dan kegagalan dalam upaya penanggulangannya. Kajian itu perlu guna mendapatkan masukan yang positif agar upaya pemeliharaan perdamaian pada pasca konflik dapat lebih berhasil, sehingga antisipasi yang dilakukan bukanya hanya sekedar menghentikan konflik tetapi juga mampu mengeliminir potensi konflik, sehingga dikemudian hari dapat terwujud suasana yang damai dan dapat tercegah kambuhnya konflik.

POLICING DAN KAMTIBMAS DALAM RANGKA PEMELIHARAAN KEDAMAIAAN PASCA KONFLIK DI INDONESIA Disampaikan dalam FGD ProPatria Institute Suistainable Peace in Post Conflict Indonesia Dengan topik utama Democrasy process : Tansitional Justice and Law Enforcement 11 Maret 2009, di Hotel Ambhara Jakarta Pendahuluan Dalam rangka menata upaya pemeliharan kedamaian pasca konflik di Indonesia, perlu kajian terhadap situasi dan peristiwa konflik pada masa lalu berserta perkembangan dan upaya penanggulangannya, termasuk kajian terhadap keberhasilan dan kegagalan dalam upaya penanggulangannya. Kajian itu perlu guna mendapatkan masukan yang positif agar upaya pemeliharaan perdamaian pada pasca konflik dapat lebih berhasil, sehingga antisipasi yang dilakukan bukanya hanya sekedar menghentikan konflik tetapi juga mampu mengeliminir potensi konflik, sehingga dikemudian hari dapat terwujud suasana yang damai dan dapat tercegah kambuhnya konflik. Untuk memahami masalah konflik di Indonesia paling tidak harus dibahas berbagai pokok persoalan yang menyangkut konflik antara lain: 1. Analisis terhadap bentuk-bentuk konflik: mencakup faktor jenis konflik, dampak kejadian dan trend perkembangannya. 2. Analisis penyebab timbulnya konflik: menyangkut faktor penyebab/potensi yang menimbulkan konflik, faktor pemicu terjadinya peristiwa konflik, dan faktor yang mengakibatkan membesarnya konflik. 3. Analisis penanganan konflik: menyangkut upaya pembinaan dalam rangka mengeleminir potensi konflik, upaya pencegahan untuk mencegah pecahnya konflik, upaya penanganan untuk mengeleminir lokasi konflik dan menghentikan konflik, serta upaya konsolidasi atau rehabilitasi akibat kejadian konflik. Melalui analisis ketiga permasalahan tersebut, kiranya dapat memperluas cakrawala pandangan dalam rangka menyusun strategi penanganan konflik yang lebih komprehensif, sehingga dapat mendukung keberhasilan upaya memelihara situasi damai di masa mendatang. Kajian singkat yang dituangkan dalam model pointers ini kurang banyak menjelaskan mengenai teori konflik, melainkan lebih ditekankan kepada pengungkapan pengalaman praktek tugas kepolisian dalam penanganan peristiwa konflik di Indonesia pada masa lalu. 2 Bentuk-bentuk Konflik di Indonesia Konflik mengandung spektrum pengertian yang sangat luas, mulai dari konflik kecil antar perorangan, konflik antar keluarga sampai dengan konflik antar kampung dan bahkan sampai dengan konflik masal yang melibatkan beberapa kelompok besar, baik dalam ikatan wilayah ataupun ikatan primordial. Sesuai dengan topik diskusi, konflik yang dibahas hanya yang bersifat massal, yang untuk tujuan analisis dapat dibedakan antara konflik yang bersifat horisontal dan vertikal, dimana keduanya sama-sama besarnya berpengaruh terhadap upaya pemeliharaan kedamaian di negara ini. Konflik horisontal yang dimaksudkan adalah konflik antar kelompok masyarakat yang disebabkan oleh berbagai faktor seperti ideologi politik, ekonomi dan faktor primordial. Sedangkan konflik vertikal maksudnya adalah konflik antara pemerintah/penguasa dengan warga masyarakat. 1. Beberapa contoh konflik horisontal yang pernah terjadi di Indonesia misalnya: Konflik antar kampung/desa/wilayah karena isu etnis, isu aliran kepercayaan, isu ekonomi (seperti rebutan lahan ekonomi pertanian, perikanan, pertambangan) isu solidaritas (suporter olah raga, kebanggaan group), isu ideologi dan isu sosial lainnya (tawuran antar anak sekolah, antar kelompok geng). 2. Contoh peristiwa konflik vertikal misalnya: konflik ideologi untuk memisahkan dari wilayah RI, konflik yang dipicu oleh perlakuan tidak adil dari pemerintah berkaitan dengan pembagian hasil pengolahan sumber daya alam, kebijakan ekonomi yang dinilai merugikan kelompok tertentu, dampak pemekaran wilayah, dampak kebijakan yang dinilai diskriminatif. Konflik masal tidak akan terjadi secara serta merta, melainkan selalu diawali dengan adanya potensi yang mengendap di dalam masyarakat, yang kemudian dapat berkembang memanas menjadi ketegangan dan akhirnya memuncak pecah menjadi konflik fisik akibat adanya faktor pemicu konflik. Oleh karenanya dalam rangka penanggulangan konflik, yang perlu diwaspadai bukan hanya faktor-faktor yang dapat memicu konflik, namun juga yang tidak kalah pentingnya adalah faktor-faktor yang dapat menjadi potensi atau sumber-sumber timbulnya konflik. Dari pengamatan empiris, konflik masal lebih sering terjadi seiring menggeloranya era reformasi yang dampaknya tidak hanya mengganggu ketentraman dan kedamaian, melainkan juga cukup menghawatirkan bagi kelangsungan persatuan dan kesatuan bangsa Indonesia. Beberapa contoh konkrit masalah konflik yang cukup serius baik yang bersifat vertikal ataupun horisontal yang terjadi pada akhir-akhir ini antara lain: 1. Konflik yang bernuansa separatisme: konflik di NAD, Maluku, dan Papua. 2. Konflik yang bernuansa etnis: konflik di Kalbar, Kalteng, dan Ambon. 3. Konflik yang bernuansa ideologis: isu faham komunis, faham radikal. 4. Konflik yang benuansa politis: konflik akibat isu kecurangan Pilkada, isu pemekaran wilayah di beberapa wilayah yang berakibat penyerangan dan pengrusakan. 3 5. Konflik yang bernuansa ekonomi: konflik antar kelompok nelayan di selat Madura, antar kelompok preman, antar kelompok pengemudi, antar kelompok pedagang. 6. Konflik Sosial lainnya: konflik antar anak sekolah, mahasiswa, 7. Konflik bernuansa solidaritas liar: tawuran antar wilayah, antar suporter sepak bola. 8. Konflik isu agama atau aliran kepercayaan: isu berkaitan dengan Achmadiyah, isu aliran sesat. 9. Konflik isu kebijakan pemerintah: BBM, BOS, LPG. dsb. Sumber Potensi Konflik Dampak dari era demokrasi yang menjurus kepada tuntutan kebebasan yang berlebihan tanpa diiringi atau diimbangi dengan pengetahuan tentang prinsip demokrasi yang memadai paling tidak telah bermuara kepada tertimbunnya endapan-edapan perbedaan pendapat di kalangan warga masyarakat luas dan sering berkembang meningkat menjadi ketegangan antar kelompok. Faktor endapan yang dapat berkembang menjadi sumbersumber ketegangan itu dapat digolongkan sebagai sumber potensi konflik. Dari pengamatan di lapangan sumber-sumber potensi konflik umumnya merupakan dampak yang tidak dapat terelakkan dari perkembangan Pembangunan Nasional di berbagai bidang ataupun dampak dari era globalisasi yang semakin kuat pengaruhnya merasuk ke setiap negara tanpa dapat terbendung. Sebagaimana telah diuraikan dalam bentuk-bentuk konflik di atas, beberapa masalah yang dapat berkembang dan sering menjadi potensi konflik antara lain adalah: 1. Dampak perpindahan penduduk baik yang dilaksanakan secara formal melalui program transmigrasi ataupun migrasi, paling tidak mengandung potensi konflik antara penduduk asli dan kelompok pendatang. 2. Dampak pengembangan otonomi daerah telah memperebutkan sumber daya alam antar wilayah. 3. Dampak kebebasan berpolitik, berbicara dan menyampaikan pendapat telah memberi peluang yang lebih besar timbulnya permusuhan antara kelompok ataupun saling menghujat secara terbuka. 4. Dampak krisis ekonomi telah mengakibatkan semakin besarnya peluang konflik antara buruh dan majikan dalam isu PHK, antara pencari kerja dan aparat pemerintah khususnya petugas ketertiban. 5. Dampak kekebasan untuk memilih agama atau aliran kepercayaan, telah menambah potensi konflik akibat isu penafsiran ajaran agama, isu agama yang dibawa ke ranah politik. menjurus kepada potensi Dari tinjauan singkat tersebut terlihat betapa sangat luasnya faktor yang dapat tercakup dalam kelompok sumber potensi konflik yang semuanya itu tidak boleh dikesampingkan dalam upaya mengantisipasi konflik. Oleh karenanya untuk menyusun strategi penanggulangan konflik bukanlah hal yang sederhana, karena mencakup upaya yang sangat luas yang tidak mungkin diselesaikan dalam jangka pendek, melainkan untuk jangka panjang. 4 Faktor Pemicu Konflik Pemicu Konflik adalah peristiwa, kejadian atau tindakan yang dapat menyulut sumber potensi konflik menjadi konflik yang nyata. Tanpa adanya sumber potensi konflik, pada umumnya peristiwa yang terjadi di suatu lokasi mudah diselesaikan dengan cepat dan tanpa menimbulkan dampak yang meluas. Sebaliknya di lokasi yang memang sudah ada endapan potensi konflik, peristiwa kecil dapat dengan cepat meluas dan melibatkan konflik masal yang sangat sulit untuk diatasi. Dengan demikian pemicu konflik pada dasarnya dapat berupa peristiwa gangguan keamanan yang biasa atau bahkan sangat sederhana, namun akibat dari adanya kaitan dengan potensi yang mengendap tersebut, maka peristiwa kecil justru sering dimanfaatkan oleh provokator untuk menyulut konflik yang besar. Dari kajian terhadap konflik-konflik besar yang telah terjadi di Indonesia beberapa peristiwa yang telah menjadi pemicu konflik sangat bervariasi, contohnya: 1. Pemicu konflik di Poso dan di Maluku yang berkepanjangan sampai beberapa tahun, diawali oleh perkelahian antara seorang pemuda dengan seorang pemuda beragama lain walaupun tinggalnya tidak berjauhan. 2. Konflik masal antar wilayah di NTB, Jateng dan beberapa Wilayah lainnya diawali oleh peristiwa pemukulan pemuda yang sedang berkunjung rumah pacanya di wilayah tetangga. 3. Beberapa konflik masal di Papua diawali dengan peristiwa tindakan keras oknum aparat terhadap warga masyarakatnya. 4. Pemicu konflik isu Pilkada, isu pemekaran wilayah di beberapa wilayah sering berawal dari tindakan petugas lapangan yang kurang profesional. 5. Konflik bernuansa ekonomi antara kelompok pengemudi taxi sering diawali dari saling rebutan penumpang. Faktor Penyemarak Konflik Konflik masal dapat terjadi selain akibat dari peristiwa pemicu konflik yang masalahnya berkaitan dengan endapan potensi konflik seperti disebutkan di atas, tindakan aparat yang kurang tepat atau kurang profesional juga sering dianggap sebagai faktor yang mengakibatkan terjadinya dan meluasnya konflik, contohnya: 1. Jumlah personil pengamanan unjuk rasa yang tidak berimbang dengan jumlah massa, sering dinilai sebagai pemicu konflik, karena dianggap memberi peluang bagi warga untuk melakukan tindakan yang lebih berani karena dianggap tidak ada petugas yang dapat menindak mereka. 2. Tindakan aparat yang ragu-ragu melakukan pelanggaran yang dilakukan oleh massa, sehingga menambah keberanian pelanggar melakukan tindakan yang lebih brutal. 3. Tindakan aparat yang berlebihan atau melakukan kekerasan, sehingga memicu kemarahan massa. 4. Tindakan aparat yang memihak salah satu kelompok yang sedang bersengketa. 5 5. Kelemahan intelijen yang tidak mampu mendeteksi adanya ancaman yang akan terjadi, sehingga petugas yang dikerahkan tidak memadai. 6. Kelemahan mendeteksi provokator yang sering memanfaatkan kekeruhan, sehingga provokator dapat berbuat bebas melakukan agitasi terhadap massa. Dari sisi eksternal, faktor pemberitaan yang tidak proporsional juga sering memegang peranan yang mengakibatkan meluasnya atau semakin maraknya konflik, antara lain sebagai berikut: 1. Pemberitaan yang membesar-besarkan masalah, memperuncing perbedaan pendapat, membesarkan peristiwa kekerasan, menayangkan korban, atau penyiaran berulangulang, sehingga menggugah emosi atau solidaritas masing-masing pihak. 2. Pemberitaan yang menyudutkan aparat yang menangani peristiwa, menonjolkan tindakan kekerasan yang tidak berimbang dengan tindakan anarkhi yang dilakukan oleh kelompok masyarakat yang brutal. 3. Pemberitaan yang kurang bertanggungjawab terhadap dampak negatif berita, karena hanya memburu rating tinggi dengan motto bad news is good news. Analisis permasalahan yang dapat menyemarakkan konflik atau masalah yang dapat menghambat usaha memelihara kedamaian juga dapat diarahkan kepada keadaan masyarakat yang kurang kondusif bagi upaya penanggulangan konflik, antara lain sebagai berikut: 1. Melemahnya kesadaran dan semangat persatuan dan kesatuan seiring dengan dampak maraknya semangat kedaerahan yang barangkali ini merupakan salah satu kekeliruan dalam menafsirkan prinsip desentralisasi dan otonomi daerah. 2. Eforia demokrasi yang mengarah kepada tuntutan kebebasan yang serba boleh, sehingga lebih menonjolkan kepentingan kelompok dari pada kepentingan umum. 3. Pengalaman sukses (success story) dari para tokoh situasional yang terlahir dari situasi konflik, paling tidak menarik minat para oportunis untuk memanfaatkan situasi konflik guna meningkatan popularitas diri. 4. Peran pihak ketiga yang berkepentingan untuk memelihara konflik yang berkepanjangan baik yang berasal dari dalam maupun luar negeri. Di sisi lain hal yang perlu juga diperhitungkan yang mungkin juga dapat menimbulkan potensi konflik atau paling tidak menambah peluang terjadinya konflik dapat pula ditinjau dari aspek kebijakan pemerintah, misalnya. 1. Kebijakan atau keputusan Pemerintah yang kurang tegas, mengambang, atau ragu-ragu, sehingga menimbulkan multitafsir dan menimbulkan perbedaan pendapat yang dapat mengundang konflik. 2. Kebijakan pemerintah yang dinilai diskriminatif, atau dinilai kurang memperhatikan kepentingan rakyat banyak, atau kebijakan yang menimbulkan kritik, sehingga menimbulkan polarisasi pendapat dan ketegangan di kalangan masyarakat. Kajian faktor-faktor yang berpengaruh terhadap konflik semakin menguatkan betapa kompleknya permasalahan yang dapat menimbulkan dan memarakkan konflik. Dalam kenyataannya sangat jarang konflik yang disebabkan oleh faktor tunggal, melainkan kebanyakan konflik diakibatkan oleh berbagai faktor yang saling bertautan. Oleh karenanya untuk penangulangannyapun perlu kajian yang mendalam sehingga dapat dikenali akar permasalahan yang sesungguhnya, guna menentukan solusi yang tepat. 6 Upaya Penanganan Konflik Dari kajian terhadap penanganan berbagai konflik di Indonesia, dapat dicuplik indikasi yang mengakibatkan gagalnya penanganan konflik, antara lain sebagai berikut: 1. 2. 3. Kelemahan deteksi: a. Kelemahan fungsi intelijen yang tidak mampu mendeteksi sumber potensi konflik, sehingga tidak sempat dilakukan upaya pembinaan, penggalangan atau pencegahan. b. Kelemahan peran para tokoh penggerak masing-masing pihak yang berkonflik untuk melakukan tindakan pencegahan dini. c. Kegagalan upaya penggalangan: meredam isu, peran komunikasi/humas. sense of crisis. d. Kelemahan memperkirakan perkembangan situasi (pembuatan perkiraan cepat). Kegagalan upaya pencegahan: a. Kelemahan pihak aparat melakukan tindakan pencegahan pada saat belum terjadi peristiwa yang dapat memicu konflik, atau pada awal terjadinya konflik. b. Penyiapan tindakan preventif yang tidak memadai, seperti: jumlah personil yang kurang memadai, kurangnya kesiapan petugas, kurangnya persiapan peralatan. c. Keterlambatan menghadirkan back up pengamanan, sehingga menimbulkan kecenderungan tindakan anarki massa. Kekeliruan penindakan oleh petugas di lapangan: a. Keraguan bertindak karena HAM. b. Tidak berani mengambil resiko. c. Tidak berani bertindak tegas. d. Tindakan yang eksesif dan diskriminatif. e. Tindakan tidak profesional atau melanggar HAM. f. Keterbatasan sarana dan prasarana. Dari pengalaman keberhasilan penanganan konflik, juga dapat diambil butir-butir pembelajaran sebagai berikut: 1. Potensi konflik dapat diredam sebelum terjadi melalui: a. Deteksi tajam sehingga bisa meminimalisasi potensi konflik b. Penggalangan yang berhasil, sehingga dapat meredam ketegangan. c. Upaya isolasi melalui barikade atau pemindahan lokasi. d. Upaya pencegahan yang seimbang dan akurat. e. Upaya melokalisir kejadian sehingga tidak meluas. 7 2. 3. Upaya pencegahan dengan kemampuan yang berimbang: a. Pengerahan pasukan/petugas yang jumlahnya berimbang dengan massa. b. Intensitas upaya meredam isu yang berimbang antara provokasi/agitasi dengan antisipasi. Upaya melokalisasi isu/ kejadian: a. Upaya maksimal untuk meminimalisasi dampak akibat kejadian/konflik. b. Penghadangan/ pencegatan arus bantuan massa dari pihak yang berkonflik. c. Meredam berkembangnya isu-isu yang dapat memperkeruh situasi. Studi Kasus Penanganan Konflik Dari kajian terhadap penanganan konflik yang menonjol di Indonesia, seperti Konflik Poso, Maluku, NAD, Kalteng yang faktor penyebabnya sangat kompleks dapat diungkapkan berbagai pola penanganan komprehensif yang akhirnya dapat berhasil meredakan konflik. Beberapa contoh Konflik yang berskala nasional antara lain sebagai berikut: 1. Konflik di Maluku dan di Poso memiliki ciri-ciri yang hampir sama: a. Sumber potensi konflik: meliputi isu agama, etnis, kewilayahan, ekonomi serta kecemburuan sosial. b. Faktor-faktor yang menyemarakkan konflik: c. ideologi, 1) Adanya aktivitas satuan sipil yang bersenjata. 2) Terindikasi adanya keberpihakan petugas dengan kelompok yang berkonflik. 3) Peluang besar masuknya bala bantuan dari luar lokasi. 4) Kurang efektifnya penanganan konflik pada awal peristiwa. 5) Munculnya tokoh situasional yang menjadi agitator/ provokator. Penyelesaian konflik: 1) Upaya penyelesaian Konflik Poso ditempuh melalui Deklarasi Malino tanggal 20 Desember 2001, yang mecakup upaya komprehensif sebagai berikut: a) Menghentikan semua bentuk konflik dan perselisihan. b) Menaati semua bentuk dan upaya penegakan hukum dan mendukung pemberian sanksi hukum bagi siapa saja yang melanggar. c) Meminta aparat negara bertindak tegas dan adil untuk menjaga keamanan. d) Untuk menjaga terciptanya suasana damai menolak memberlakukan keadaan darurat sipil serta campur tangan pihak asing. 8 2) e) Menghilangkan seluruh fitnah dan ketidakjujuran terhadap semua pihak dan menegakkan sikap saling menghormati dan memaafkan satu sama lain demi terciptanya kerukunan hidup bersama. f) Tanah Poso adalah bagian integral dari Indonesia. Karena itu, setiap warga negara memiliki hak untuk hidup, datang dan tinggal secara damai dan menghormati adat istiadat setempat. g) Semua hak-hak dan kepemilikan harus dikembalikan ke pemiliknya yang sah sebagaimana adanya sebelum konflik dan perselisihan berlangsung. h) Mengembalikan seluruh pengungsi ke tempat asal masing-masing. i) Bersama pemerintah melakukan rehabilitasi sarana dan prasarana ekonomi secara menyeluruh. j) Menjalankan syariat agama masing-masing dengan cara dan prinsip saling menghormati dan menaati segala aturan yang telah disetujui baik dalam bentuk UU maupun dalam Peraturan Pemerintah dan ketentuan lainnya. Upaya penyelesaian Konflik Maluku juga ditempuh melalui Perjanjian Malino, tanggal 12 Februari 2002 yang intinya sebagai berikut: a) Menghentikan semua bentuk konflik dan perselisihan. b) Hukum ditegakkan secara adil, tegas, profesional dan netral. c) Mengutuk segala bentuk gerakan separatisme (RMS). d) Rakyat Maluku berhak untuk berada/bekerja/berusaha di seluruh wilayah RI dan sebaliknya, rakyat RI dapat berada/bekerja/berusaha di Maluku. e) Satuan/kelompok/laskar bersenjata tanpa izin dilarang dan harus menyerahkan senjata/dilucut dan diambil tindakan sesuai hukum. f) Dibentuk tim investigasi independen nasional untuk mengusut tuntas peristiwa 19 Januari 1999, FKM, RMS, Laskar Jihad dan lainlainnya. g) Organisasi kemasyarakatan untuk pendidikan, kesehatan dan sosial dapat beroperasi sepanjang memenuhi ketentuan hukum dan undang-undang. h) Pengungsi akan dikembalikan ke tempat semula sebelum konflik dan segala hak-hak perdata dikembalikan. i) Pemerintah membantu rehabilitasi sarana ekonomi dan sarana umum (fasilitas pendidikan, kesehatan, agama, perumahan rakyat). j) Untuk menjaga ketertiban dan keamanan seluruh wilayah dan masyarakat diharapkan adanya kekompakan dan ketegasan untuk TNI dan Polri. k) Demi menjaga hubungan/harmonisasi antar seluruh masyarakat, pemeluk agama Islam dan Kristen, segala upaya/usaha dakwah dan 9 penyiaran agama harus sesuai dengan undang-undang dan ketentuan lain tanpa pemaksaan. 3) l) Mendukung rehabilitasi dengan prinsip kemajuan bersama, rekrutmen secara terbuka, berkeadilan dan tetap memenuhi syarat kualitas. m) Dibentuk Komisi Keamanan dan Penegakan Hukum dan Komisi Sosial Ekonomi. Pemeriharaan situasi Pasca Konflik: Setelah dilakukan upaya perjanjian Malino I dan Malino II tersebut, konflik masal yang terjadi di dua wilayah tersebut memang mereda, namun potensi konflik masih tetap mengendap dan sering terpicu, sehingga selama tiga tahun setelah perjanjian tersebut masih sering terjadi gangguan keamanan berupa penyerangan yang dilakukan oleh sekelompok kecil perusuh mengarah ke kelompok lainnya, sehingga sangat mudah memicu kambuhnya konflik masal. 2. Konflik di NAD dan Papua terdapat di samping terdapat kemiripan juga terdapat perbedaan: a. Sumber potensi konflik sangat kompleks, meliputi isu separatisme, ideologi, teritorial, etnis, ekonomi dan kecemburuan sosial. b. Faktor-faktor yang menyemarakkan konflik: c. 1) Adanya aktivitas satuan sipil yang bersenjata. 2) Peluang besar campur tangan kekuatan asing. 3) Penanganan konflik yang kurang konsisten. 4) Ada indikasi pemeliharaan situasi konflik oleh pihak tertentu. Penyelesaian konflik: 1) Pemenuhan hak-hak otonomi khusus. 2) Pemberian peluang lebih sebesar-besarnya kepada warga/otoritas lokal. 3) Peran pihak ketiga dalam rangka mencari solusi damai. 4) Kebijakan politik yang demokratis. Pemeliharaan situasi Pasca Konflik Dari pengalaman tugas pengamanan di wilayah Poso dan Maluku, khususnya pada masa pasca konflik beberapa butir pelajaran dapat diungkapkan sebagai berikut: 1. Upaya konsolidasi (jangka pendek/ sedang): a. Isolasi antara pihak yang konflik dengan cara yang sesuai perkembangan kondisi, misalnya dengan pemasangan barikade, penempatan penjagaan sepanjang perbatasan, pemindahan sementara secara lokal atau bahkan keluar wilayah. 10 2. b. Fasilitasi untuk intensifikasi komunikasi antara para pihak melalui pertemuan para perwakilan atau kegiatan masal bersama. c. Sinkronisasi perbedaan pendapat/ kepentingan yang ekstrem. d. Minimasi kegiatan yang agitattif/ provokatif dan faktor pemicu konflik: Kegiatan provokator, Kegiatan warga, Perilaku/ tindakan petugas. e. Pembinaan berkelanjutan bagi tokoh kunci/sentral yang pernah terlibat. Upaya memelihara situasi damai: a. 3. Rehabilitasi kerusakan/ kerugian akibat konflik: 1) Perawatan dan bantuan kepada keluarga korban. 2) Perawatan dan rehabilitasi trauma/ dendam akibat konflik. 3) Santunan dan bantuan sosial: perumahan dan jaminan hidup. 4) Memfasilitasi hak-hak keperdataan warga korban. b. Memfasilitasi terwujudnya tuntutan yang mengemuka dalam konflik. c. Upaya berkelanjutan untuk mengelimir sumber konflik: 1) Pembinaan untuk mengeliminasi radikalisme melalui deradikalisasi. 2) Koreksi kebijakan yang dinilai diskriminatif. Antisipasi dampak kebijakan pasca konflik: Situasi daerah konflik sering dimanfaatkan oknum-oknum aparat pemerintah daerah, aparat keamanan ataupun relawan untuk mengambil keuntungan ditengah kekeruhan dengan jalan pintas atau menyimpang mencari keuntungan diri. Oleh karenanya masalah yang tidak kalah pentingnya dalam upaya pemeliharaan situasi damai pada masa pasca konflik antara lain: a. Penyimpangan penyaluran dana bantuan dari pemerintah atau relawan. b. Manipulasi data kerusakan/ kerugian untuk tujuan korupsi. c. Diskriminasi penyaluran bantuan. d. KKN antara petugas dengan kelompok korban fiktif. e. Penyalahgunaan dana bantuan untuk kepentingan politik/ kampanye Pilkada. Pengerahan Satuan Keamanan Jumlah personel Polri saat ini kurang lebih 380.000 orang, dan masih cukup memadai untuk penanganan konflik berkala sedang yang terjadi di beberapa titik rawan di wilayah Indonesia. Namun mungkin akan kurang memadai bila dihadapkan kepada situasi konflik yang terjadi secara bersamaan di beberapa spot (titik lokasi rawan). Penggelaran kekuatan Polri di setiap Polda dirancang untuk menghadapi situasi Kamtibmas yang relatif stabil, sehingga untuk pengerahan pasukan dalam rangka menghadapi kontinjensi dilaksanakan melalui sistem back up dari kesatuan samping atau kesatuan atas, yang terdiri dari pasukan Sabhara atau Brimob. 11 Pada masa konflik di Poso, Maluku, NAD dan Papua masih cukup marak, satuan back up Brimob dari Pusat yang dikirimkan ke Daerah Operasi hampir tidak sempat memiliki istirahat, karena harus mengalami rotasi terus menerus dari suatu daerah operasi yang satu ke daerah operasi yang lain. Masalah ini mempunyai efek yang cukup serius bagi kondisi fisik, psikhis dan mentalitas anggota. Kondisi ini menjadi salah satu faktor penyebab terjadinya tindakan petugas di lapangan yang terkadang kontra produktif dan dapat memicu konflik, baik konflik antara warga ataupun konflik antara aparat keamanan di Daerah Operasi. Pelibatan satuan TNI di daerah konflik, meskipun payung hukumnya masih sering dikatakan belum jelas, dalam praktek di lapangan perbantuan TNI kepada Polri berjalan tanpa ada hambatan yang berarti. Satuan TNI yang diperbantukan kebanyakan diberi penugasan yang bersifat pencegahan yaitu berupa tugas penjagaan dan patroli yang bertujuan untuk melakukan isolasi agar tidak terjadi benturan antara kelompok yang pada masa lalu berkonflik. Sistem penugasannya bervariasi, terkadang melalui kegiatan bersama antara unsur Polri dan TNI dalam melaksanakan tugas penjagaan atau patroli, namun dapat juga melalui pembagian kavling pengamanan yang dibebankan kepada satuan-satuan tugas di lapangan. Untuk tugas penindakan dan penegakan hukum, mekanismenya dapat berjalan dengan lancar, dimana untuk penanganan kasus yang tertangkap tangan dapat dilakukan penindakan oleh petugas di lapangan dan untuk perkara pidana proses selanjutnya dilaksanakan oleh penyidik Polri. Keberadaan unsur TNI di wilayah paska konflik masih sangat dibutuhkan untuk memberikan efek deteren, mempersempit peluang, dan melakukan penjagaan agar para pihak tidak mudah terpicu kembali ke dalam konflik. Dalam konteks ini, maka mekanisme prosedur pelibatan TNI untuk tugas keamanan di wilayah rawan konflik atau di wilayah pasca konflik perlu dikaji demi kelancaran dan kecepatan bertindak. Pokok-pokok mekanisme yang perlu dibakukan antara lain adalah: 1. Prosedur yang dapat menjamin percepatan pelibatan satuan di lapangan. 2. Kriteria tentang besarnya kekuatan (jumlah personel, kualifikasi kemampuan dan peralatan) ditentukan oleh satuan yang meminta bantuan. 3. Pertanggungjawaban atas resiko yang terjadi akibat tindakan satuan yang dilibatkan. 4. Jaminan perlindungan HAM. Penutup Beberapa butir penekanan atau hal-hal yang perlu mendapatkan perhatian dalam rangka pemeliharaan kedamaian paska konflik antara lain: 1. Dalam rangka menyusun strategi pemeliharaan situasi damai pada masa pasca konflik, sangat perlu dilakukan analisis yang mendalam mengenai karakteristik konflik yang terjadi mencakup sumber potensi konflik, pemicu konflik dan faktor yang menyemarakkan konflik. 12 2. Konflik berskala besar umumnya menyangkut permasalahan yang cukup kompleks dengan faktor penyebab yang multi kompleks, sehingga membutuhkan upaya yang komprehensif dalam rangka penyelesaian konflik ataupun situasi pemeliharaan pasca konflik. 3. Upaya menghentikan konflik masal atau konflik terbuka merupakan langkah yang paling pokok untuk penyelesaian konflik, namun hal itu bukan berarti telah berhasil menyelesaikan permasalahan secara tuntas, bila tidak diikuti dengan upaya berkelanjutan yang diarahkan kepada eliminasi sumber potensi konflik. 4. Upaya pemeliharaan situasi pasca konflik membutuhkan waktu yang berkelanjutan, tidak hanya berupa upaya rehabilitasi dan konsolidasi, mencakup upaya pembangunan berkelanjutan yang melibatkan segenap dan segenap warga setempat guna mengeleminasi sumber potensi menghindari terjadinya pemicu konflik. Jakarta, 11 Maret 2009 (Aryanto Sutadi) panjang dan namun juga stake holder konflik dan