Academia.eduAcademia.edu

Ulumul hadits

Puji syukur senantiasa kita haturkan kepada Allah, Tuhan semesta alam. Cahaya yangmenerangi hati sehingga timbullah suatu keimanan. Salawat dan salam semoga senantiasa tercurahkan kepada Sang revolusioner abadi, Nabi Muhammad saw. Semoga kita mendapat syafaatnya di hari akhir kelak. Kemudian, penulis juga mengucapkan terima kasih kepada Ibu Titik Rahmawati, M.Ag, selaku dosen pengajar mata kuliah Ulumul Hadist yang telah memberikan solusi-solusi serta memberikan tenggang waktu untuk mengumpulkan makalah ini. Semoga segala pengertian, pengorbanan dan perhatian yang bapak berikan kepada Mahasiswa-Mahasiswi senantiasa mendapatkan pahala dari Allah SWT. Penulis juga menyadari masih banyak kekurangan-kekurangan yang terdapat dalam makalah ini. Hal ini disebabkan, pengetahuan penulis yang masih terbatas dan pemahaman yang relatif minim. Oleh sebab itu, penulis sangat mengharapkan sumbang saran dari bapak selaku pembimbing. Makalah ini dibuat dengan judul "Pengertian Shahabat dan Tabi'in" Semoga makalah ini dapat menambah pengetahuan bagi para pembaca, khususnya pada mata kuliah ini. Semarang, Maret 2015 Penulis BAB I PENDAHULUAN

KATA PENGANTAR Puji syukur senantiasa kita haturkan kepada Allah,‭ ‬Tuhan semesta alam.‭ ‬Cahaya yangmenerangi hati sehingga timbullah suatu keimanan.‭ ‬Salawat dan salam semoga senantiasa tercurahkan kepada Sang revolusioner abadi,‭ ‬Nabi Muhammad saw.‭ ‬Semoga kita mendapat syafaatnya di hari akhir kelak. Kemudian,‭ ‬penulis juga mengucapkan terima kasih kepada‭ ‬Ibu Titik Rahmawati,‭ ‬M.Ag,‭ ‬selaku dosen pengajar mata kuliah Ulumul Hadist‭ ‬yang telah memberikan solusi-solusi serta memberikan tenggang waktu untuk mengumpulkan makalah ini.‭ ‬Semoga segala pengertian,‭ ‬pengorbanan dan perhatian yang bapak berikan kepada Mahasiswa-Mahasiswi senantiasa mendapatkan pahala dari Allah SWT. Penulis juga menyadari masih banyak kekurangan-kekurangan yang terdapat dalam makalah ini.‭ ‬Hal ini disebabkan,‭ ‬pengetahuan penulis yang masih terbatas dan pemahaman yang relatif minim.‭ ‬Oleh sebab itu,‭ ‬penulis sangat mengharapkan sumbang saran dari bapak selaku pembimbing.‭ ‬Makalah ini dibuat dengan judul‭ ‬“Pengertian Shahabat dan Tabi’in‭”‬ Semoga makalah ini dapat menambah pengetahuan bagi para pembaca,‭ ‬khususnya pada mata kuliah ini. ‭ Semarang,‭ ‬Maret‭ ‬2015 ‭ Penulis BAB I PENDAHULUAN Shahabat dan tabi’in merupakan bagian dari ilmu hadist yang memiliki posisi penting.‭ ‬Pada dasarnya‭ ‬yang dilakukan oleh kalangan tabi’in tidak begitu berbeda dengan yang dilakukan shahabat,‭ ‬baik dalam periwayatan,‭ ‬maupun yang lain.‭ ‬Hal ini karena mereka mengikuti jejak para shahabat yang menjadi guru para tabiin tersebut.‭ ‬Yang berbeda hanyalah persoalan yang dihadapi.‭ Tujuan umum yang hendak dicapai dari pembuatan makalah ini adalah agar mahasiswa dan mahasiswi dapat mengetahui pentingnya pengetahuan ulumul hadist.‭ BAB II RUMUSAN MASALAH Berdasarkan latar belakang masalah di atas,‭ ‬penyusun merumuskan rumusan masalah sebagai berikut: Apa pengertian shahabat dan tabi’in‭? Bagaimana‭ ‬perkembangan‭ ‬hadist pada masa shahabat dan tabi’in‭? Bagaimana pemeliharaan‭ ‬hadist pada masa shahabat dan tabi’in‭? BAB III PEMBAHASAN PENGERTIAN SHAHABAT DAN TABI’IN Pengertian Shahabat Kata shahabat berasal dari bahasa arab,‭ ‬as-shahabah‭ ‬yang bisa diterjemahkan dengan menyertai atau mendekati. ‭ ‬Ibrahim Anis et.‭ ‬al.,‭ ‬Mu’jam al Wasith,‭ ‬Juz‭ ‬1‭ (‬t.t:Dar al-Fikr,‭ ‬t.‭ ‬th.‭)‬,‭ ‬hlm.510 Secara terminologis,‭ ‬pengertian sahabat menurut ulama ahli hadits adalah setiap orang yang pernah bertemu dengan‭ ‬Nabi Muhammad. ‭ ‬Muhammad‭ ‘‬Ajjaj al-Khatib,‭ ‬Ushul al-Hadits Ulumuhu wa Musthalahuhu‭ (‬cet.‭ ‬III Beirut:Dar al Fikr,‭ ‬t.th‭)‬,‭ ‬hlm‭ ‬386‭ ‬Berdasarkan pengertian ini,‭ ‬secara umum bisa dikatakan bahwansemua umat islam yang pernah menjumpai Rasulullah dapat dikategorikan sebagai sahabat,‭ ‬tanpa persyaratan-persyaratan tertentu.‭ ‬Namun sebagian ulama hadis menambah beberapa kriteria tertentu,‭ ‬diantaranya: Al-Waqidi,‭ ‬bahwa seorang sahabat ketika berjumpa dengan nabi harus sudah dalam keadaan baligh dan mengerti persoalan agama. ‭ ‬Muhammad‭ ‘‬Ajjaj al-Khatib,.....,,‭ ‬hlm.‭ ‬385-386‭ ‬Namun pendapat ini tidak banyak dipedomani oleh ulama ahli hadis. Ibnu Hazm,‭ ‬seorang sahabat harus pernah duduk semajlis dengan Nabi Muhammad sekalipun hanya sesaat dan pernah mendengarkan apa yang disampaikan Nabi sekalipun hanya satu kalimat.‭ Subhi as-Shalih,‭ ‬Ulum al-Hadits wa Musthalahuhu,‭ (‬Beirut:‭ ‬Dar al-‭‘‬Ilm li al-Mayalin,‭ ‬1977‭)‬,‭ ‬Hlm.‭ ‬352‭ Said bin al-Musayyab,‭ ‬soerang sahabat harus hidup bersama Nabi Muhammad SAW minimal setahun atau dua tahun dan pernah mengikuti perang bersama Nabi Muhammad SAW sekali dalam dua kali. ‭ ‬Muhammad‭ ‘‬Ajjaj al-Khatib,‭ ‬op cit.‭ ‬386 Ibnu al-Hajar al-Asqalani,‭ ‬sahabat adalah orang yang bertemu Nabi Muhammad SAW dalam keadaan iman dan mati dalam keadaan islam. ‭ ‬Mahmud at-Thahhan,‭ ‬Tafsir Musthalahah al-Hadits‭ (‬cet.II,‭ ‬beirut:‭ ‬Dar al-Qur’an al-Karim,‭ ‬1979‭)‬,‭ ‬hlm.‭ ‬201. Dari beberapa pendapat di atas,‭ ‬definisi yang paling lengkap adalah pendapat yang terakhir,‭ ‬bahkan pendapat ini banyak dibuat pedoman oleh jumhur ulama hadits. ‭ ‬An-Nisaburi,‭ ‬Ma’rifat Ulum al-Hadits‭ (‬Beirut:‭ ‬Dar al-Kutub al-Ilmiyah,‭ ‬1977‭)‬,‭ ‬hlm.‭ ‬44‭ ‬Maka,‭ ‬orang yang bertemu dengan Nabi sedang dia belum memeluk agama Islam,‭ ‬maka tidaklah dipandang sahabat.‭ ‬Orang yang menemui masa Nabi dan beriman kepadanya tetapi tidak menjumpainya,‭ ‬seperti‭ ‬Najasi,‭ ‬atau menjumpai Nabi setelah Nabi wafat,‭ ‬seperti‭ ‬Abu Dzu'aib,‭ ‬yang pergi dari rumahnya setelah ia beriman untuk menjumpai Nabi ‭ ‬di Madinah.‭ ‬Setiba di Madinah,‭ ‬Nabi telah wafat.‭ ‬Maka,‭ ‬baik‭ ‬Najasi dan‭ ‬Abu Dzu'aib,‭ ‬mereka berdua termasuk sahabat Nabi. PENGERTIAN TABI’IN Kata tabi’in berasal dari bahasa arab‭ ‬tabi’iy‭ ‬berarti seseorang yang mengikuti.‭ ‬Secara terminologis,‭ ‬kata ini berarti orang islam yang pernah bertemu dengan shahabat Nabi Muhammad,‭ ‬yang ketika meninggal dunia tetap dalam keadaan muslim.‭ ‬Menurut sebagian ulama,‭ ‬tabiin adalah orang yang akrab pergaulannya dengan shahabat nabi dan mengikuti ajaran islam.‭ ‬Pendapat ini berarti bahwa bentuk hubungan itu haruslah berupa pergaulan yang akrab dan mengacu pada ajaran agama islam. ‭ ‬Alfatih Suryadilaga,‭ ‬Ulumul Hadits‭ (‬Yogyakarta:‭ ‬Teras,‭ ‬2010‭)‬,‭ ‬hlm.‭ ‬124 PERKEMBANGAN HADIST PADA MASA SHAHABAH DAN TABI’IN SHAHABAT Pengantar Sahabat adalah mereka yang bertemu dengan Rasulullah saw ‭ ‬dalam keadaan mu’min dan meninggal dalam keadaan mu’min. Selain memperhatikan al-Qur’an,‭ ‬pada masa ini Abu Bakar,‭ ‬Umar,‭ ‬Utsman,‭ ‬dan Ali secara sungguh-sungguh memperhatikan perkembangan periwayatan hadis. Hal ini berdasarkan perintah Nabi untuk menyampaikan hadis kepada sahabat lain yang tidak bisa hadir saat hadis disampaikan. ألا‎‮ ‬ليبلغ‮ ‬الشاهد‮ ‬الغائب‮ (‬أخرجه‮ ‬ابن‮ ‬ماجه‭( “Ingatlah,‭ ‬hendaklah yang hadir menyampaikan kepada yang tidak hadir.‭” (‬HR.‭ ‬Ibn Majah‭)‬. Hadis pada Masa Khulafa al-Rasyidin Periwayatan hadis pada masa Abu Bakar dan Umar bin Khattab masih terbatas disampaikan kepada yang memerlukan saja,‭ ‬belum bersifat pengajaran resmi.‭ ‬Demikian juga penulisan hadis. Periwayatan hadis begitu sedikit dan lamban.‭ ‬Hal ini disebabkan kecenderungan mereka untuk membatasi atau menyedikitkan ‭ ‬riwayat‭ (‬Taqlil al-Riwâyah‭)‬,‭ ‬di samping sikap hati-hati dan teliti para sahabat dalam menerima hadis. Ali bin Abi Thalib bahkan hanya mau menerima hadis perorangan jika orang tersebut bersedia disumpah.‭ ‬Pada masa ini muncul sektarianisme yang bertendensi politis menimbulkan perbedaan pendapat dan pertentangan,‭ ‬bukan saja dalam bidang politik dan pemerintahan,‭ ‬tapi juga dalam ketentuan-ketentuan keagamaan.‭ ‬Dari suasana itu muncul pemalsuan hadis. Metode Sahabat dalam Menjaga Sunnah Nabi SAW. Taqlil ar-riwayah Secara khusus,‭ ‬dalam pemerintahan Abu Bakar dan Umar,‭ ‬ditemukan kesan adanya upaya meminimalisasi riwayat hadist.‭ ‬Alasan‭ ‬mengapa shahabat membatasi periwayatan: Pada masa Abu Bakar,‭ ‬pusat perhatian tertuju pada pemecahan masalah politik,‭ ‬khususnya konsolidasi dan pemulihan kesadaran terhadap perlunya menjalankan roda khilafah islam.‭ ‬Oleh sebab itu,‭ ‬gerakan periwayatan dengan sendirinya terbatas. Sahabat masih dekat dengan era Nabi saw.‭ ‬dimana umumnya mereka mengetahui Sunnah.‭ ‬Sehingga persoalan-persoalan hukum dan sosial telah mendapat jawaban dengan sendirinya pada diri mereka.‭ ‬Memang diakui adanya pergeseran-pergeseran kehidupan dan munculnya masalah baru yang ditemui para sahabat,‭ ‬tetapi itu tidak terlalu signifikan sebagaimana yang ditemukan generasi setelah sahabat.‭ ‬Dalam masalah-masalah pengecualian seperti persoalan baru atau salah seorang di antara mereka tidak mengetahui adanya Sunnah,‭ ‬maka mereka saling memberi peringatan. Para sahabat lebih menfokuskan diri pada kegiatan penulisan dan kodifikasi Alquran.‭ ‬Kegiatan ini bukanlah pekerjaan mudah,‭ ‬sebab sahabat-sahabat mesti menyeleksi tulisan-tulisan dan hafalan di antara mereka untuk dibukukan dalam satu buku atau mushaf.‭ ‬Zaid bin Tsabit,‭ ‬pernah berkata ketika ditunjuk oleh khalifah memimpin penyusunan kembali tulisan Alquran bahwa beliau lebih suka disuruh memindahkan gunung Uhud ketimbang melakukan pekerjaan ini.  Adanya kebijaksanaan yang dilakukan penguasa,‭ ‬khususnya Umar,‭ ‬agar sahabat menyedikitkan riwayat.‭ ‬Ini disebabkan kecenderungannya yang sangat selektif,‭ ‬berhati-hati,‭ ‬dan diiringi sikap ketegasannya.‭ ‬Dalam kaitan ini kemungkinan Umar ingin melakukan penyebaran Alquran lebih diprioritaskan ketimbang Sunnah.‭ ‬Sebab,‭ ‬andaikata gerakan sunnah lebih diutamakan,‭ ‬maka kemungkinan masyarakat yang baru memeluk Islam akan melupakan Alquran dan lebih memprioritaskan Sunnah.‭ ‬Dengan demikian,‭ ‬regenerasi penghafal Alquran tentu tidak akan mencapai kesuksesan,‭ ‬karena perhatian kepada Sunnah.‭ ‬Padahal diketahui bahwa Umar merupakan pemrakasa penulisannya Alquran dengan alasan kekhawatirannya yang besar atas wafatnya sahabat-sahabat Nabi penghafal Alquran dalam memerangi kaum murtad di masa Abu Bakar.‭ Sahabat khawatir terjadinya pemalsuan hadis yang dilakukan oleh mereka yang baru masuk Islam,‭ ‬sebab sunnah belum terlembaga pengumpulannya sebagaimana Alquran.‭ ‬Umar pernah mempersyaratkan penerimaan hadis dengan mendatangkan ‭ ‬saksi atau melakukan sumpah,‭ ‬namun beliau juga pernah menerima hadis tanpa persyaratan itu Tatsabbut Fi Ar-riwayah Adanya gerakan pembatasan riwayat di kalangan sahabat tidaklah berarti bahwa mereka sama sekali tidak meriwayatkan Sunnah pada masanya.‭ ‬Maksud dari pembatasan tersebut hanyalah menyedikitkan periwayatan dan penyeleksiannya.‭ ‬Konsekuensi dari gerakan pembatasan tersebut,‭ ‬muncullah sikap berhati-hati menerima dan meriwayatkan Sunnah.‭ ‬Para sahabat melakukan penyeleksian riwayat yang mereka terima  ‭ ‬dan memeriksa Sunnah yang mereka riwayatkan dengan cara mengkonfirmasikan dengan sahabat lainnya ‭ ‬http://nurhasyimlatif.blogspot.com/2013/05/sejarah-hadits-pada-masa-sahabat-dan.html diakses pada tanggal‭ ‬4‭ ‬April‭ ‬2015,‭ ‬pukul‭ ‬14.05‭ ‬WIB Pertumbuhan dan Perkembangan Hadis Pada Masa Tabi’in Pada masa abad ini disebut Masa Pengondifikasian Hadis‭ (‬al-jam’u wa at-tadwin‭)‬.‭ ‬Kalifah Umar bin Abdul Aziz‭ (‬99-101‭ ‬H‭) ‬yakni yang hidup pada akhir abad‭ ‬1‭ ‬H menganggap perlu adanya penghimpunan dan pembukuan Hadis,‭ ‬karena beliau khawatir lenyapnya ajaran-ajaran Nabi setelah wafatnya para ulama baik dikalangan sahabat maupun tabi’in.‭ ‬maka beliau intruksikan kepada para gubernur diseluruh wilayah negeri Islam agar para ulama dan ahli ilmu  menghimpun dan membukukan hadis. Tidak diketahui pasti siapa diantara ulama yang lebih dulu dalam melaksanakan intruksi khalifah tersebut.‭ ‬Sebagian pendapat mengatakan Abu Bakar Muhamad bin Amr bin Hazm sebagaimana bunyi teks diatas.‭ ‬Pendapat lain mengatakan Ar-Rabi‭’ ‬bin Shabih,‭ ‬Sa’id bin Arubah,‭ ‬dan muhamad bin Muslim bin Asy-Syihab Az-Zuhri,‭ ‬Namun pendapat yang paling populer adalah muhamad bin Muslim bin Asy-syihab Az-Zuhrisedang Ibn Hazm hanya menyampaikan intruksi khalifah keseluruh negeri kekuasaan dan belum melakukan kondifikasi.‭ ‬Az-Zuhri di nilai sebagai orang pertama dalam melaksanakan tugas pengondifikasian Hadis dari Khalifah Umar bin Abdul Aziz,‭ ‬dengan ungkapanya‭ ‬: ‭“‬Kami diperintah Khalifah Umar bin Abdul Aziz untuk menghimpun sunnah, kami telah melaksanakanya dari buku ke buku,‭ ‬kemudian dikirim kesetiap wilayah kekuasaan Sultan satu buku.‭” Berdasarkan inilah para ahli sejarah dan ulama berkesimpulan bahwa Ibn Asy-Syihab Az-Zuhri orang pertama yang menggondifikasikan hadis pada awal tahun‭ ‬100‭ ‬H di bawah Umar bin Addul Aziz.‭ ‬Maksudnya di sini orang yang paling awal menghimpun hadis dalam bentuk formal atas intruksi dari seorang Khalifah dan ditulis secara menyeluruh,‭ ‬karena tentunya penghimpunan telah dimulai sejak masa Rasulullah di kalangan para sahabat dan tabi’in namun belum menyeluruh,‭ ‬dan bukan berdasarkan intruksi seorang Khalifah. ‭ ‬Abdul Majid Khon,‭ ‬Ulumul Hadis,‭ (‬Jakarta:‭ ‬Amzah,‭ ‬2009‭)‬,‭ ‬hlm.54. Masa Tabi’in‭ (‬Abad II‭ – ‬Abad III‭) ‬Masa Penyempurnaan Pada masa ini,‭ ‬terdapat banyak perbedaan bila dibanding masa sebelumnya.‭ ‬Ilmu hadis pada abad ini sudah mulai digunakan dengan maksimal,‭ ‬sekalipun dalam batas persyaratan lisan dan belum terbukukan secara sempurna.‭ ‬Kondisi Masyarakat juga mengalami perubahan,‭ ‬khususnya yang mengalami periwayatan hadis.‭ ‬Perubahan itu nampak dalam beberapa hal berikut‭ ‬: Bila zaman sahabat hafalan masih relatif kuat,‭ ‬pada masa ini kekuatan hafalan sudah mulai memudar.‭ ‬Hal itu disebabkan oleh banyaknya para perowi hadis dari kalagan sahabat yang berhijrah keluar jazirah Arabiyah dan menetap diluar hingga kawin dan keturunan disana.‭ ‬Masyarakat diluar jazirah arabiyah tidak memiliki tradisi menghafal layaknya masyarakat Arab.‭ ‬Lambat laun generasi yang muncul tidak mampu memaksimalkan daya hafalanya. Sanad hadis mulai memanjang dan bercabang.‭ ‬Hal itu disebabkan juga oleh berpencarnya para perowi hadis ke daerah-daerah yang berjauhan,‭ ‬sehingga untuk mendapatkan sebuah hadis baru harus memulai periwayatan beberapa perowi yang sekali lagi hal ini menyebabkan sanad menjadi panjang yang pada giliranya berdampak pada kualitas hadis. Banyak sekte yang bermunculan.‭ ‬Bermunculnya banyak sekte dan aliran yang menyimpang dari jalur yang dianut oleh para sahabat berdampak pada keontetikan hadis. ‭ ‬Zeid B.‭ ‬Smeeer,‭ ‬Ulumul hadis Pengantar Studi hadis praktis,‭ (‬Malang:‭ ‬UIN,‭ ‬2008‭)‬,‭ ‬hlm.‭ ‬25  Penghimpunan hadis pada abad ini mah campur dengan perkataan sahabat dan fatwanya.‭ ‬Berbeda dengan penulisan pada abad sebelumnya yangmasih berbentuk lembara-lembaran‭ (‬shuhuf‭) ‬ataushahifah-shahifah‭ ‬(lebaran-lembaran‭) ‬yang hanya dikumpulkan tanpa klasifikasi kedalam beberapa bab secara tertib pada masa ini udah di himpun perbab.‭ ‬Materi hadisnya dihimpun dari shuhuf yang ditulis oleh para sahabat sebelumnya dan diperoleh melalui periwayatan secara lisan baik dari sahabat atau tabi’in. ‭ ‬Maman Abdul Djalil,‭ ‬Ilmu Hadis,‭ (‬Bandung:‭ ‬Pustaka Setia,‭ ‬1999‭)‬,‭ ‬hlm.‭ ‬105.‭ Tabi’in adalah mereka yang bertemu dengan sahabat nabi dalam keadaan beriman dan meninggal dalam keadaan beriman.‭ ‬Tabi’in besar yaitu tabi’in yang banyak bertemu shahabat,‭ ‬belajar dan berguru kepada shahabat.‭ ‬Tabi’in besar diantaranya adalah yang dikenal dengan fukaha tujuh,‭ ‬yaitu:‭ ‬Sa’id Ibn Musayyab,‭ ‬Al-Qosim Ibn Muhammad Abu Bakar,‭ ‬Ueraw bin Zubair,‭ ‬Kharijah Ibn Zaid,‭ ‬Abu Ayyub Sulaiman Hilali,‭ ‬Ubaidullah Ibn Utbah,‭ ‬Abu Salamah Ibn Abdurrahman ibn Auf.‭ ‬Tabi’in kecil yaitu tabi’in yang sedikit bertemu shahabat dan lebih banyak belajar dan mendengar hadist dari tabi’in besar.‭ Wilayah kekuasaan Islam sudah meluas.‭ ‬Syam,‭ ‬Irak,‭ ‬Mesir,‭ ‬Samarkand,‭ ‬bahkan Spanyol.‭ ‬Hingga beberapa sahabat hijrah ke wilayah tersebut demi mengemban tugas. Pada masa ini hingga akhir abad pertama,‭ ‬banyak di antara tabi’in yang menentang penulisan hadis.‭ ‬Di antaranya:‭ ‬Ubaidah bin Amr al-Salmani al-Muradi‭ (‬72‭ ‬H‭)‬,‭ ‬Ibrahim bin Yazid al-Taimi‭ (‬92‭ ‬H‭)‬,‭ ‬Jabir bin Zaid‭ (‬93‭ ‬H‭) ‬dan Ibrahim bin Yazid al-Nakha’i‭ (‬96‭ ‬H‭)‬.‭ ‬Larangan penulisan tersebut karena‭ ‬: Khawatir pendapatnya ditulis bersisian dengan hadis sehingga tercampur. Larangan tersebut hanya pribadi,‭ ‬sementara murid-muridnya dibiarkan mencatat. Pada era tabi’in,‭ ‬keadaan hadist tidak jauh berbeda dari era shahabat.‭ ‬Namun,‭ ‬pada saat ini,‭ ‬tabi’in tidak lagi disibukkan oleh beban yang dipikul shahabat.‭ ‬Sebab.‭ ‬Al-Qur’an telah dikodifikasikan dan disebarluaskan ke seluruh negeri islam.‭ ‬Oleh sebab itu,‭ ‬maka tabi’in dapat lebih fokus untuk mempeajari hadist dari para shahabat. ‭ ‬Hasbi Ash-shidiqie,‭ ‬Pokok-Pokok Ilmu Dirayah Hadist,‭ ‬Bulan Bintang,‭ ‬jakarta,‭ ‬1974,‭ ‬hlm.‭ ‬69 Sejalan dengan pesatnya perluasan wilayah kekuasaan islam,‭ ‬penyebaran para sahabat kedaerah-daerah tersebut terus meningkat,‭ ‬sehingga pada masa ini dikenal dengan masa menyebarnya periwayatan hadis‭ (‬istisydar al-riwayah  ila al-amshdar‭)‬. 1.      Pusat-pusat Pembinaan Hadis Tercatat beberapa kota sebagai pusat pembinaan dalam periwayatan hadis,‭ ‬sebagai tempat tujuan para Tabi’in dalam mencari hadis.‭ ‬Kota-kota tersebut,‭ ‬ialah Madinah,‭ ‬Makkah,‭ ‬Kufah,‭ ‬Basrah,‭ ‬Syam,‭ ‬Mesir,‭ ‬Maghribi,‭ ‬dan Andalaus,‭ ‬Yaman dan Khurusan.‭ ‬Dari sejumlah para sahabat pembina hadis pada kota-kota tersebut,‭ ‬ada beberapa orang yang meriwayatkan hadis cukup banyak,‭ ‬antara lain Abu Hurairah,‭ ‬Abdullah bin Umar,‭ ‬Anas ibn Malik,‭ ‬Aisyah,‭ ‬Abdullah ibn Abbas,‭ ‬Jabir ibn Abdillah dan Abi Sa’id Al-Khudri. ‭ ‬M.‭ ‬Hasbih ash Shiddieqy‭ “‬Sejarah dan pengantar ilmu hadis‭”‬.,‭ (‬Yogyakarta,‭ ‬Bulan Bintang‭ ‬1953‭)‬.‭ ‬Hlm.‭ ‬86 ‭ 2.      Pergolakan Politik dan Pemalsuan Hadis Pergolakan ini sebenarnya terjadi pada msa sahabat,‭ ‬setelah terjadinya perang Jamal  dan perang Siffin,‭ ‬yaitu ketika kekuasaan dipegang oleh Ali ibn Abi Thalib.‭ ‬Akan tetapi akibatnya cukup panjang dan berlarut-larut dengan terpecahnya umat Islam kedalam beberapa kelompok‭ (‬Khawarij,‭ ‬Syi’ah,‭ ‬Mu’awiyah dan golongan mayoritas yang tidak masuk kedalam ketiga kelompok tersebut‭)‬. Langsung atau tidak‭ ‬,dari pergolakan politik seperti di atas,‭ ‬cukup memberikan pengaruh terhadap perkembangan hadis berikutnya.‭ ‬Pengaruh yang langsung dan bersifat negatif,‭ ‬ialah  dengan munculnya hadis-hadis palsu ‭(‬Maudhu‭’‬) untuk mendukung kepentingan politiknya masing-masung kelompok dan untuk menjatuhkan posisi lawan-lawannya. ‭ ‬M.‭ ‬Hasbih ash Shiddieqy‭ “‬Sejarah dan pengantar ilmu hadis‭”‬.,‭ (‬Yogyakarta,‭ ‬Bulan Bintang‭ ‬1953‭)‬.‭ ‬Hlm.‭ ‬88‭ Adapun pengaruh yang bersifat positif,‭ ‬adalah lahirnya rencana dan usaha yangmendorong diadakannya kodifikasi atau tadwin hadis,‭ ‬sebagai upaya penyelematan dari pemusnahan dan pemalsuan,sebagai akibat dari pergolakan politik tersebut Daftar pustaka: Anis,‭ ‬Ibrahim.‭ ‬et.‭ ‬al.,‭ ‬Mu’jam al-Wasith,‭ ‬Juz I.‭ ‬t.t:Dar al-Fikr,‭ ‬t.‭ ‬th. al-Khatib,‭ ‬Muhammad‭ ‘‬Ajjaj.‭ ‬Ushul al-Hadits Ulumuhu wa Musthalahuhu.‭ ‬Cet.III‭ ‬Beirut:‭ ‬Dar al Fikr,‭ ‬t.‭ ‬th. as-Shalih,‭ ‬Subhi.‭ ‬Ulum al-Hadits wa Musthalahuhu.‭ ‬Beirut:‭ ‬Dar al-‭‘‬Ilm li al-Mayalin,‭ ‬1977. at-Thahhan,‭ ‬Mahmud.‭ ‬Tafsir Musthalahah al-Hadits.‭ ‬cet.II,‭ ‬beirut:‭ ‬Dar al-Qur’an al-Karim,‭ ‬1979. An-Nisaburi.‭ ‬Ma’rifat Ulum al-Hadits.‭ ‬Beirut:‭ ‬Dar al-Kutub al-Ilmiyah,‭ ‬1977. Suryadilaga,‭ ‬Alfatih.‭ ‬Ulumul Hadits.‭ ‬Yogyakarta:‭ ‬Teras,‭ ‬2010. 9 Page‭ | 9