MAKALAH ULUMUL HADITS
“PENGERTIAN DAN MACAM-MACAM HADIS”
Dosen Pengampu : H. Abdul Hamid Lc. M.Kom.I, Ph.D.
Disusun Oleh:
NAZWAH NAZIFAH
3120230024
FAKULTAS AGAMA ISLAM
PROGRAM STUDI PENDIDIKAN AGAMA ISLAM
UNIVERSITAS ISLAM AS-SYAFI’IYAH
2024
KATA PENGANTAR
Assalamu’alaikum Wr.Wb
Puji syukur kami panjatkan ke hadirat Allah Subhanahu WaTa’ala Yang Maha Esa , Karena dengan karunianya saya dapat menyelesaikan Makalah individu ini dengan penuh kemudahan, dan tanpa pertolongan Allah Subhanahu WaTa’ala mungkin makalah ini tidak dapat saya selesaikan.
Penulis mengucapkan syukur kepada Allah Subhanahu WaTa’ala atas limpahan nikmat sehatnya, baik itu berupa sehat fisik maupun akal pikiran, sehingga penulis mampu untuk menyelesaikan pembuatan makalah sebagai tugas dari Mata Kuliah Ulumul Hadis.
Shalawat serta salam tidak lupa selalu kita haturkan untuk junjungan nabi besar kita, yaitu Nabi Muhammad SAW yang telah menyampaikan petunjuknya dari Allah SWT untuk kita semua, yang merupakan sebuah petunjuk yang paling benar yakni syari’ah agama islam yang sempurna dan merupakan satu-satunya karunia paling besar bagi seluruh alam semesta.
Tujuan makalah ini adalah untuk menambah pengetahuan dan wawasan serta agar pembaca lebih memahami isi dan maksud makalah ini. Saya juga mengucapkan terimakasih kepada Dosen Pengampu Mata Kuliah Ulumul Hadis, yaitu H. Abdul Hamid Lc. M.Kom.I, Ph.D. yang telah membimbing saya dalam belajar dan juga pembuatan makalah ini. Saya menyadari bahwa makalah ini masih jauh dari sempurna. Oleh karena itu saya mengharapkan kritik dan saran dari semua pihak yang bersifat membangun, untuk selalu saya harapkan demi kesempurnaan makalah saya ini.
Akhir kata, makalah Mata Kuliah Ulumul Hadis ini dapat bermanfaat bagi para pembaca. Semoga Allah SWT Yang Maha Esa selalu meridhoi segala usaha kita semua. Aamiin.
Wassalamu’alaikum Wr.Wb
DAFTAR ISI
BAB I 3
PENDAHULUAN 3
BAB II 5
PEMBAHASAN 5
BAB III 15
PENUTUP 15
DAFTAR PUSTAKA 16
BAB I
PENDAHULUAN
LATAR BELAKANG
Hadis oleh umat islam diyakini sebagai sumber pokok ajaran islam sesudah alqur’an. Dalam tataran aplikasinya, hadis dapat dijadikan hujjah keagamaan dalam kehidupan dan menempati posisi yang sangat penting dalam kajian keislaman. Secara struktural hadis merupakan sumber ajaran islam setelah alqur’an secara global. Artinya jika kita tidak menemukan penjelasan tentang berbagai problematika kehidupan didalam alqur’an, maka kita harus dan wajib merujuk pada hadis. Oleh karena itu hadis merupakan hal terpenting dan memiliki kewenangan dalam menetapkan suatu hukum yang tidak termasuk dalam alqur’an.
Para ulama terutama dizaman klasik Islam (650-1250 M), Berusaha keras melakukan penelitian dan seleksi ketat terhadap hadits-hadits sehingga dapat dipilihkan mana hadits yang benar-benar dari Nabi, dan mana yang bukan. Untuk itu, mereka membuat kaidah-kaidah, ketetuan-ketentuan, pedoman, dan acuan tertentu untuk menilai hadits-hadits tersebut. Kaidah-kaidah dan ketentuan inilah kemudian berkembang menjadi ilmu tersendiri, yang disebut dengan ilmu hadits.
RUMUSAN MASALAH
Apa yang dimaksud dengan hadis?
Bagaimana sejarah dan perkembangan ulumul hadis?
Apa saja macam-macam hadis?
Apa saja hadis yang saling bertentangan?
Apa saja pembagian hadis?
TUJUAN MASALAH
Untuk mengetahui pengertian hadis
Untuk mengetahui Sejarah dan perkembangan ulumul hadis
Untuk mengetahui macam-macam hadis
Untuk mengetahui hadis yang saling bertentangan
Untuk mengetahui apa saja pembagian hadis
BAB II
PEMBAHASAN
PENGERTIAN HADIS
Hadis disebut juga sunnah, perkataan (sabda), perbuatan, ketetapan dan persetujuan dari nabi Muhammad yang dijadikan landasan syariat Islam. Hadis dijadikan sumber hukum Islam selain Al-Quran, dalam hal ini kedudukan hadis merupakan sumber hukum kedua setelah Al-Quran. Dan keduanya tidak dapat dipisahkan karena juga termasuk wahyu dari Allah.
Menurut istilah ulama ahli hadis, hadis yaitu apa yang diriwayatkan dari Nabi Saw. baik berupa perkataan, perbuatan, ketetapannya, sifat jasmani atau sifat akhlak, perjalanan setelah diangkat sebagai Nabi dan terkadang juga sebelumnya, sehingga arti hadis di sini semakna dengan sunnah.
hadits dibedakan menjadi dua jenis: pertama hadits qudsi yang merupakan perkataan tuhan melalui lisan nabi muahammad saw sebagai pelengkap wahyu yang di turunkan kepadanya, kedua hadits syarf ,yakni perbuatan dan perkataan Nabi Muhammad saw itu sendiri, hadits ini menjadi sandaran ajaran islam atau ia penjelasan dari ajaran–ajaran yang disebutkan didalam al-qur’an baik mengenai kehidupan sosial, keagamaan ,dan perbuatan sehari-hari, hadits ini merupakan dasar atau sumber kedua hukum islam setelah al-qur’an
Tajul Arifin, ‘Ulumul Hadits’, Jurnal Ulumul Hadist, 211 (2014), 1–203.
Kalangan syiah menyebutkan hadits sebagai khabar menurut mereka keaslian sesuatu hadits tidak disandarkan pada isnad yang bermula dari penuturan sahabat secara umum,melainkan penuturan tersebut harus disandarkan kepada Ali dan imam-imam syiah
SEJARAH DAN PERKEMBANGAN ULUMUL HADIS
Selama dua puluh tiga tahun Rasulullah SAW mencurahkan segala aktifitasnya untuk mendakwahkan Islam kepada umat manusia sehingga belahan dunia (Arab) tersinari oleh agama yang hanif ini.Perkembangan ilmu hadits selalu beriringan dengan pertumbuhan pembinaan hadits itu sendiri Hanya saja ia belum wujud sebagai suatu disıplın ilmu yang berdiri sendiri. Pada saat Rasulullah SAW masih hidup ditengah-tengah kaum muslımın, ilmu ını masih wujud dalam bentuk prinsip-prinsip dasar, yang merupakan embrio bagi pertumbuhan ilmu hadits dikemudian hari. Misalnya tentang pentingnya pemeriksaan dan tabayyun, terhadap setiap berita yang didengar, atau pentingnya persaksian orang adil dan sebagainya Firman Allah dalam (Al-Hujurat [49]: 6) menyatakan Hai orang-orang yang beriman, jika datang kepadamu orang fasik membawa suatu berita, maka periksalah dengan teliti, agar kamu tidak menimpakan suatu musibah kepada suatu kaum tanpa mengetahui keadaannya yang menyebabkan kamu menyesal atas perbuatanmu itu. Demikian pula dalam (Al-Thalaq [65] 2):
راشينوا ترى على الكم ولأقدموا القندي الملكة ترقط به من كان ومن بيك والكوم الأحمال من يلقَ اللَّه يَخيل الله
“ pesaksikanlah dengan dua orang saksi vang adil di antara kamu dan hendaklah kamu tegakkan kesaksian itu karena Allah. Demikianlah diberi pengajaran dengan itu orang yang beriman kepada Allah dan hari kiamat. Barangsiapa yang bertakwa kepada Allah niscaya Dia akan mengadakan baginya jalan keluar."
Nasrulloh Nasrulloh, ‘Rekonstruksi Definisi Sunnah Sebagai Pijakan Kontekstualitas Pemahaman
Hadits’, ULUL ALBAB Jurnal Studi Islam, 14.3 (2014), 15–28 <https://doi.org/10.18860/ua.v14i3.2659>.
Ayat di atas jelas memberikan perintah kepada kaum muslimin supaya memeriksa, meneliti dan mengkaji berita yang datang khususnya berita yang dibawa oleh orang-orang fasiq. Tidak semua berita yang datang pasti diterima sebelum diperiksa siapa pembawanya dan apa materi isinya Jika pembawanya orang terpercaya dan adil, maka pasti diterima. Tetapi sebaliknya, jika mereka tidak jujur dan fasik, tidak obyektif, maka berita akan ditolak. Sepeninggal Rasulullah SAW, para sahabat Nabı sangat hati-hati dalam periwayatan hadits, karena konsentrasi mereka masih banyak tercurahkan kepada al- Qur'an, yang baru mulai dibukukan pada zaman khalifah Abu Bakar dan disempurnakan pada saat sahabat Utsman bin Affan menjadi Khalifah Selanjutnya ketika mulai terjadi konflik politik, yang memicu munculnya fırqah di kalangan kaum muslimin: Syi'ah, Murjilah dan Jama'ah dan pada gilirannya mendorong timbulnya periwayatan yang dimanipulasi, dipalsukan dan direkayasa, maka para ulama bangkit untuk membendung pemalsuan dan menjaga kemurnian hadits Nabi Dari usaha ini, terbentuklah teori-teori tentang periwayatan Keharusan menyertakan sanad menjadi bagian penting yang dipersyaratakan dalam setiap periwayatın Hal ini telah dilakukan antara lain oleh Ibnu Syihab al-Zuhru ketika menghimpun hadits dari para ulama.
Ketika para ulama hadits membahas tentang kemampuan hafalan daya ingat para perawi (dhabit), membahas bagaimana system penerimaan dan penyampaian yang dipergunakan (tahammul wa ada' al-hadits) bagaimana cara menyelesaikan hadits yang tampak kotradiktif, bagaimana memahami hadits yang musykil dan sebagainya, maka perkembangan ilmu hadits semakin meningkat. Ketika Imam al-Syafi'i (wafat 204 H) menulis kitab al-Risalah, sebenarnya ilmu hadits telah mengalami perkembangan lebih maju, sebab di dalam kitab tersebut telah dibahas kaidah-kaidah tentang periwayatan, hanya saja masih bercampur dengan kaidah ushul fiqih. Demikian pula dalam kitab al- Umm. Di sana telah ditulis pula kaidah yang berkaitan dengan cara menyelesaikan haadits-hadits yang bertentangan, tetapi masih bercampur dengan fiqih. Artinya ilmu hadits pada saat itu sudah mulai tampak bentuknya, tetapi masih belum terpisah dengan ilmu lain, belum menjadi disiplin ilmu yang berdiri sendiri.
Sesudah generasi al-Syafi'i, banyak sekali para ulama yang menulis ilmu hadits, misalnya Alı bın al-Madini menulis kitab Mukhtalif al-Hadits, Ibnu Qutaibah (wafat 276 H) menyusun kitab Ta' wil Mukhtalif al-Hadits. Imam Muslim dalam Muqaddimah kitab shahihnya, Al-Turmudzı menulis al-Asma wa al-Kuna, Muhammad bin Sa'ad menulis al-Thabaqat al-Kubra Demikian pula al-Bukhari menulis tentang rawi-rawi yang lemah dalam kitab al-Dlu afa. Dengan banyaknya ulama väng menulis tentang persoalan yang menyangkut ilmu hadits pada abad III H ini, maka dapat difahami mengapa abad ini disebut sebagai awal kelahiran Ilmu Hadits, walaupun tulisan yang ada belum membahas ilmu hadits secara lengkap dan sempurna. Penulisan ilmu hadits secara lebih lengkap baru terjadi ketika Al-Qadli Abu Muhammad al-Hasan bin Abd. Rahman al-Ramahurmudzi (watat 360 H) menulis buku Al-Muhaddits al-Fashil Baina al-Rawi wa al-Wa’I, Kemudian disusul al-Hakim al- Naisaburi (wafat 405 H) menulis Ma’rifatu Ulum al Hadits, al-Khathib Abu Bakar al Baghdadi menulis kitab Al-Jami’il Adab al-Syekh wa al-Sami al-Kifayah fi ilmi al- Riwayat dan al-Jami’li Akhlaq al-Rawi wa Adab al-Sami’.
M Noor Sulaiman, ‘ISNAD DAN PENGARUHNYA TERHADAP STATUS HADIS Oleh M. Noor Sulaiman PL
STAIN Datokarama Palu, Jurusan Tarbiyah’, Hunafa, 2 (2005), 97.
MACAM-MACAM HADIS
Contoh hadits dalam bentuk perkataan Nabi Muhammad Saw:
Hadits tentang mengingkari kebaikan suami
عَنْ ابْنِ عَبَّاسٍ قَالَ قَالَ النَّبِيُّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ أُرِيتُ النَّارَ فَإِذَا أَكْثَرُ أَهْلِهَا النِّسَاءُ يَكْفُرْنَ قِيلَ أَيَكْفُرْنَ بِاللَّهِ قَالَ يَكْفُرْنَ الْعَشِيرَ وَيَكْفُرْنَ الْإِحْسَانَ لَوْ أَحْسَنْتَ إِلَى إِحْدَاهُنَّ الدَّهْرَ ثُمَّ رَأَتْ مِنْكَ شَيْئًا قَالَتْ مَا رَأَيْتُ مِنْكَ خَيْرًا قَطُّ
Artinya: Dari Ibnu 'Abbas berkata, Nabi shallallahu 'alaihi wasallam bersabda: "Aku diperlihatkan neraka, ternyata kebanyakan penghuninya adalah wanita. Karena mereka sering mengingkari". Ditanyakan: "Apakah mereka mengingkari Allah?" Beliau bersabda: "Mereka mengingkari pemberian suami, mengingkari kebaikan. Seandainya kamu berbuat baik terhadap seseorang dari mereka sepanjang masa, lalu dia melihat satu saja kejelekan darimu maka dia akan berkata: 'aku belum pernah melihat kebaikan sedikitpun darimu". (HR. Bukhari: 28).
Maksud dari hadits di atas bahwa tidak boleh seseorang wanita tidak bersyukur dengan apa yang telah diberikan oleh seorang suami, serta janganlah karena suami memiliki satu kesalahan terhadap seorang istri kemudian perilaku tersebut langsung dianggap salah setiap harinya, contohnya seperti: seorang suami tidak memberikan suatu barang kemauan istri disebabkan suami tidak mempunyai cukup uang untuk membelinya. Dalam konteks ini seorang istri harus memaklumi dan tidak boleh mengungkit kejadian tersebut nantinya, karena jika kejadian tersebut selalu diungkit maka Wanita tersebut termasuk kedalam penjelasan hadits di atas. Jadilah istri yang sholehah yang selalu melayani dan bersyukur terhadap apapun yang diberikan Allah memalui seseorang suami karena suami adalah ladangnya surga bagi para istri yang sholehah terhadap suaminya.
Siti Rohmaturrosyidah Ratnawati Ali Yasmanto, ‘Studi Kritik Matan Hadis: Kajian Teoritis Dan
Aplikatif Untuk Menguji Kesahihan Matan Hadis Ali’, Jurnal Ilmu Hadis, 209.2 (2019), 209–31.
Hadits tentang ciri-ciri seorang anak
Nabi Muhammad saw pernah bersabda: “suatu perbuatan jika anaknya cacat fisik maka itu adalah perbuatan dosa ibunya, dan jika seorang anak itu cacat mentalnya, maka itu dikarenakan dosa bapaknya”.
Maka dalam islam jika ingin mencari jodoh ada syarat-syarat yang harus diperhatikan:
Syarat laki-laki
Lihatlah agamanya
Lihatnya keturunannya
Mampu memberi nafkah
Menjauhi kemaksiatan
Syarat Perempuan
Lihatlah agamanya
Lihatlah keturunannya
Kedermawanannya atau hartanya
Kecantikannya
Contoh hadits dalam bentuk perbuatan Nabi Muhammad Saw (fi'liyah):
عَنْ أَنَسُ بْنُ مَالِكٍ قَالَ كَانَ النَّبِيُّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَدُورُ عَلَى نِسَائِهِ فِي السَّاعَةِ الْوَاحِدَةِ مِنْ اللَّيْلِ وَالنَّهَارِ وَهُنَّ إِحْدَى عَشْرَةَ قَالَ قُلْتُ لِأَنَسٍ أَوَكَانَ يُطِيقُهُ قَالَ كُنَّا نَتَحَدَّثُ أَنَّهُ أُعْطِيَ قُوَّةَ ثَلَاثِينَ.
Artinya : Dari Anas bin Malik radliallahu 'anhu berkata,: "Adalah Nabi shallallahu 'alaihi wasallam. mendatangi isterinya pada waktu yang sama di malam hari atau siang hari, saat itu jumlah isteri-isteri Beliau sebelas orang". Aku bertanya kepada Anas bin Malik radliallahu 'anhu: "Apakah Beliau mampu?". Jawabnya: "Beliau diberikan kekuatan setara tiga puluh lelaki". (HR. Bukhari: 260).
Imam Syafi’ and others, ‘Ketsiqohan Perawi Hadits Dan Pengaruhnya Terhadap Kualitas Hadits’,
FIQHUL HADITS : Jurnal Kajian Hadits Dan Hukum Islam, 1.1 (2023), 1–12
<https://jurnal.mahadalygenggong.ac.id/index.php/jmag/article/view/1>.
Maksud dari hadits di atas bahwasannya Nabi Muhammad selalu memberikan rasa hormat dan perhatian terhadap seluruh istri-istrinya, dan Nabi Muhammad dalam waktu satu hari baginda dapat menggauli semua istrinya dari rumah satu sampai ke rumah istrinya yang lain, Nabi Muhammad tidak merasa lelah dengan perihal itu, karena baginda memiliki kekuatan yang setara dengan tiga puluh laki-laki sekaligus. Dan bahwasanya Nabi Muhammad dapat berperilaku adil terhadap seluruh istrinya tanpa terkecuali.
HADIS YANG SALING BERTENTANGAN
Contoh pertentangan hadis qauliyah
أَنَّ النَّبِيَّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ لَا تَصُومُوا يَوْمَ السَّبْتِ إِلَّا فِي مَا افْتُرِضَ عَلَيْكُمْ قَالَ أَبُو دَاوُد وَهَذَا حَدِيثٌ مَنْسُوخٌ
(ABUDAUD – 2068) : bahwa nabi saw bersabda : “janganlah kalian berpuasa pada hari sabtu kecuali yang diwajibkan atas kalian. Abu daud berkata : hadis ini adalah hadis yang telah di naskh (yang hukumnya telah diganti dengan ayat atau hadis yang lain)”.
قَالَ النَّبِيَّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَقُولُ لَا يَصُومَنَّ أَحَدُكُمْ يَوْمَ الْجُمُعَةِ إِلَّا يَوْمًا قَبْلَهُ أَوْ بَعْدَهُ
(BUKHARI – 1849) : sesungguhnya nabi saw bersabda : ”janganlah seorang dari kalian berpuasa pada hari jum’at kecuali dibarengi dengan satu hari sebelum atau sesudahnya”.
Contoh pertentangan hadis fi’liyah
عَنْ حُذَيْفَةَ أَنَّ النَّبِيَّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ أَتَى سُبَاطَةَ قَوْمٍ فَبَالَ عَلَيْهَا قَائِمًا فَأَتَيْتُهُ بِوَضُوءٍ فَذَهَبْتُ لِأَتَأَخَّرَ عَنْهُ فَدَعَانِي حَتَّى كُنْتُ عِنْدَ عَقِبَيْهِ فَتَوَضَّأَ وَمَسَحَ عَلَى خُفَّيْهِ
dari (Hudzaifah) berkata; "Nabi saw pernah mendatangi tempat pembuangan sampah suatu kaum, lalu beliau kencing sambil berdiri. Aku pergi agar menjauh dari beliau, namun beliau justru memanggilku hingga aku berada di sisinya, kemudian beliau berwudlu dan mengusap khufnya." (HR. Bukhari)
عَنْ عَائِشَةَ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهَا قَالَتْ: مَنْ حَدَّثَكُمْ أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ ﷺ بَالَ قَائِمًا فَلَا تُصَدِّقُوهُ، مَا كَانَ يَبُولُ إلَّا جَالِسًا
Dari (aisyah rah), dia berkata : ”barang siapa yang menceritakan kepadamu bahwa nabi saw pernah kencing sambil berdiri maka janganlah kamu membenarkannya karna aku melihatnya kencing sambil duduk”. (HR. Ibn madjah dan shahih).
HADIS SHAHIH, DHAIF DAN HASAN
Hadis shahih
Para ulama biasa menyebut kata shahih itu sebagai lawan kata dari kata saqim (sakit). Maka hadis shahih menurut bahasa berarti hadis yang sah, hadis yang sehat atau hadis yang selamat. Secara terminologis, Hadis Shahih didefinisikan oleh Ibn ashShalah. “Hadits yang disandarkan kepada Nabi saw, yang sanadnya bersambung, diriwayatkan oleh (pe-rawi) yang ‘adil dan dhabith, diterima para (pe-rawi) yang ‘adil dan dhabith hingga sampai akhir sanad, tidak ada kejanggalan, dan tidak ber’illat.”.
Pembagian Hadis Sahih :
a) Hadits Shahih li-Dzatih Hadits Shahih li-Dzatih, ialah Hadits Shahih dengan sendirinya. Artinya, ialah Hadits Shahih yang memiliki lima syarat atau kriteria, sebagaimana disebutkan pada persyaratan. Dengan demikian, penyebutan Hadits Shahih li-dzatih dalam pemakainnya sehari- hari, pada dasarnya cukup dengan memakai sebutan Hadits Shahih, tanpa harus memberi tambahan kata li-dzatih. Hadits shahih dalam kategori ini telah berhasil dihimpun oleh para mudawwin Hadits, dengan jumlahnya yang sangat banyak seperti oleh Malik, al-Bukhari, Muslim, Ahmad, Abu Daud, at-Turmudzi, dan Ibn Majah dalam kitab-kitab Shahih karya masingmasing.
b) Hadits Shahih li-Gairih Hadits Shahih li-Gairih, ialah Hadits yang ke- Shahih-annya dibantu oleh adanya keterangan lain. Hadits kategori ini pada mulanya, memiliki kelemahan pada aspek ke-dhabith-an perawinya (qalil adh-dhabith). Diantara perawinya ada yang kurang sempurna ke-dhabith- annya, sehingga dianggap tak memenuhi syarat untuk dikategorikan sebagai Hadits Shahih. Baginya semula hanya sampai kepada derajat atau kategori Hadits Hasan li-dzatih. Dengan ditemukannya keterangan lain, baik berupa syahid maupun mutabi’ (matan atau sanad lain) yang bisa menguatkan keterangan atau kandungan matan-nya, Hadits ini derajatnya naik setingkat lebih tinggi, sehingga menjadi Shahih li-gairih.
Moh. Turmudi, ‘AL SUNNAH; Telaah Segi Kedudukan Dan Fungsinya Sebagai Sumber Hukum’, Jurnal
Pemikiran Keislaman, 27.1 (2017), 1–12 <https://doi.org/10.33367/tribakti.v27i1.255>
Hadis dhaif
Pengertian Hadis Dha’if Kata dha’if menurut bahasa, berarti yang lemah, sebagai lawan dari kata qawiy yang kuat. Sebagai laan kata dari Shahih, kata dha’if juga berarti saqim (yang sakit). Maka sebutan hadis dha’if, secara hahasa berarti hadis yang lemah, yang sakit, atau yang tidak kuat. Secara terminologis, para ulama mendefinisikannya dengan redaksi yang berbeda-beda. Akan tetapi, pada dasarnya mengandung maksud yang sama.
Pembagian Hadis Dha’if :
Ke-dha’if-an atau kelemahan suatu hadis bisa terjadi pada sanad atau pada matan. Kelemahan pada sanad bisa terjadi pada persambungan atau ittishal assanad-nya dan bisa pada kualitas ke-tsiqah-annya. Sedang kelemahan pada matan bisa terjadi pada sandaran matan itu sendiri dan bisa pada kejanggalan atau ke-syadz-annya. Kelemahan atau ke-dha’if-an pada berbagai sudutnya yang di antaranya diuraikan secara sederhana, seperti di bawah ini.
a) Dha’if dari Sudut Sandaran Matan-nya Sebagaimana telah disinggung di atas, bahwa hadis dilihat dari sudut sandarannya terbagi kepada tiga, yaitu: pertama, yang marfu’, kedua, yang mauquf, ketiga, yang maqthu’. Yang disebut kedua dan ketiga oleh para ahli hadis dimasukkan kedalam kelompok hadis dha’if, karena disandarkan bukan kepada Rasul saw., melainkan kepada sahabat dan tabi’in.
Ali Yasmanto, Siti Rohmaturrosyidah Ratnawati, ‘Studi Kritik Matan Hadis: Kajian Teoritis
Dan Aplikatif Untuk Menguji Kesahihan Matan Hadis Ali’, Jurnal Ilmu Hadis, 209.2
(2019), 209–31
1) Hadis Mauquf Hadits Mawquf (Al-Asqalani 352 H/1934 M) adalah perkataan, perbuatan, atau taqrir sahabat. Dikatakan mawquf, karena sandarannya kepada sahabat, artinya terhenti pada sahabat, bukan pada Nabi saw.)
2) Hadis Maqthu’ Hadis maqthu’, adalah perkataan, perbuatan, dan taqrir tabi’in. Hadis semacam ini disebut dengan Hadis maqthu’, karena tidak ditemukan adanya qarinah atau kaitan yang menunjukkan bahwa hadis ini disandarkan kepada Nabi saw. Sebagaimana hadis mauquf, Hadits maqthu’ dilihat dari segi sandarannya adalah hadis yang lemah, yang karenanya tidak dapat dijadikan hujah. Bahkan kata az-Zarkasyi, perkataan tabi’in tidak bisa dikatakan hadis, ia sama sekali bukanlah hadis.
b) Dha’if dari Sudut Matan-nya Hadits-Hadits yang termasuk dha’if atau lemah dari sudut matannya saja, ialah Hadits Syadz (Sulaemang 2017). Hadits Syadz ini, sebagaimana telah dijelaskan ialah Hadits yang diriwayatkan oleh para perawi yang tsiqah atau terpercaya, akan tetapi kandungan Haditsnya bertentangan dengan (kandungan Hadits) yang diriwayatkan oleh para perawi yang lebih kuat ke-tsiqah-annya.
c) Dha’if dari Salah Satu Sudutnya, Baik Sanad atau Matan Secara Bergantian Yang dimaksud bergantian di sini ialah ke-dha’if-an tersebut kadangkadang terjadi pada sanad, dan kadang-kadang pada matan. Di antara hadishadis yang termasuk kategori ini ialah hadis maqlub, hadis mudraj, dan hadis mushahhaf.
d) Dha’if dari Sudut Matan dan Sanad-nya Secara Bersama-Sama Hadis-hadis yang termasuk dha’if dari sudut matan dan sanad-nya secara bersama-sama, di antaranya ialah hadis maudhu’ dan hadis mungkar.
1. Hadis Maudhu’ Hadis maudhu’ (Al-Agalni tt)adalah hadis yang disanadkan dari Rasululah SAW secara dibuat-buat dan dusta, padahal beliau tidak mengatakan, melakukan dan menetapkan.
2. Hadis Munkar Hadis munkar didefinisikan oleh para ulama ahli hadis dengan hadis yang diriwayatkan oleh perawi yang dha’if, yang (matan-nya) bertentangan dengan periwayatan perawi yang tsiqah.
e) Dha’if dari sudut Persambungan Sanad-nya
1. Hadis Mursal Hadis Mursal ialah hadis yang gugur sanad-nya setelah tabi’in. Yang dimaksud dengan gugur di sini ialah nama sanad terakhir, yakni nama sanad tidak disebutkan. Pada hal sahabat, adalah orang yang pertama menerima Hadits dari Rasul saw.
2. Hadis Munqathi’ Hadis munqathi’ (ash-Shalah 1972) ialah Hadits yang gugur pada sanadnya seorang perawi, atau pada sanad tersebut disebutkan seorang yang tidak dikenal namanya. Ada juga yang mendefinisikannya dengan hadis yang gugur seorang perawinya sebelum sahabat pada satu tempat, atau gugur dua orang perawinya pada dua tempat, yang tidak berturut-turut.
Kaizal Bay, ‘Metode Penyelesaian Hadis-Hadis Mukhtalif Menurut Al- Syafi’i’, Jurnal
Ushuluddin, XVII.2 (2011), 183–201
Hadis hasan
Pengertian Hadis Hasan At-Turmudzi, sebagai ulama yang mempopulerkan istilah ini mendefinisikan Hadits Hasan sebagai berikut (Isa 1980): “Tiap-tiap hadis yang pada sanad-nya tidak terdapat perawi yang tertuduh dusta, (pada matan-nya) tidak ada kejanggalan (syadz), dan (hadis tersebut) diriwayatkan pula melalui jalan lain”.
Pembagian Hadis Hasan:
Para ulama ahli Hadits membagi hadis hasan menjadi dua bagian, yaitu: pertama, hasan li-dzatih; dan kedua, hasan li-gairih.
a) Hasan Li-Dzatih Hadits hasan li-dzatih (Asy-Syakhawi 1403 H/1987 M) ialah hadis hasan sendirinya, yakni hadis yang telah memenuhi persyaratan hadis hasan yang lima, yang mengacu kepada definisi al-Asqalani di atas. Dengan demikian, maka pengertian hadis hasan li-dzatih sama dengan pengertian hadis hasan menurut al-Asqalani di atas. Menurut Ibn ash-Shalah, pada hadis hasan li-dzatih para perawinya terkenal kebaikannya, akan tetapi daya ingatan atau kekuatan hafalan mereka belum sampai kepada derajat hafalan para perawi yang Shahih. hadis hasan li-dzatih ini bisa naik kualitasnya menjadi Shahih li- gairih, apabila ditemukan adanya hadis lain yang menguatkan kandungan matan-nya atau adanya sanad lain yang juga meriwayatkan hadis yang sama.
b) Hasan Li-Gairih Hasan li-gairih, (Asy-Syakhawi 1403 H/1987 M) ialah hadis hasan bukan dengan sendirinya, artinya hadis yang menduduki kualitas hasan karena dibantu oleh keterangan lain, baik karena adanya syahid maupun mutabi’. Dengan pengertian ini jelas, bahwa hasan li-gairih kualitas asalnya dibawah hadis hasan, yakni hadits dha-‘if. Meskipun hadis dha’if bisa meningkat derajatnya setingkat lebih tinggi menjadi hadis hasan, namun tidak semua hadis dha’if bisa meningkat. Hadis dha’if yang bisa meningkat, hanyalah hadis-hadis yang tidak terlalu lemah, seperti hadis mursal, hadis mu’allal, hadits mubham, dan hadits mastur. Ibn ash-Shalah dalam hal ini juga mengatakan bahwa hadis hasan li- gairih, ialah hadis yang dalam sandaran atau sanad-nya ada seorang yang mastur (yang belum diketahui), bukan pelupa yang banyak kesalahannya, tidak terlihat adanya sebabsebab yang menjadikannya fasiq, dan matan hadisnya diketahui baik berdasarkan hadis lain yang semakna
BAB III
PENUTUP
KESIMPULAN
Hadits adalah sumber hukum kedua dalam agama Islam setelah Al-Qur'an. Hadits dapat berupa perkataan (qauli) atau perbuatan (fi'li) Rasulullah SAW. Hadits qauli berisi tentang perkataan Rasulullah SAW, sedangkan hadits fi'li berisi tentang perbuatan Rasulullah SAW. Kedua jenis hadits ini sangat penting dalam mengetahui apa saja yang telah disabdakan oleh Nabi Muhammad SAW.
Hadits adalah perkataan, perbuatan, dan penetapan yang disandarkan kepada Rasulullah Shallallahu Alaihi wa Sallam setelah kenabiannya. Adapun sebelum kenabian tidak dianggap sebagai hadits, karena yang dimaksud dengan hadits adalah mengerjakan apa yang menjadi setelah kenabian.
Bahasa ilmu hadits terdiri dari dua kata yakni ilmu dan hadits, secara sederhana ilmu artinya pengetahuan, knowledge, dan Science dan hadits artinya segala sesuatu yang disandarkan kepada Nabi Muhammad SAW, baik dari perkataan, perbuatan maupun persetujuannya (taqrir ketetapan).
DAFTAR PUSTAKA
Ali Yasmanto, Siti Rohmaturrosyidah Ratnawati, ‘Studi Kritik Matan Hadis: Kajian Teoritis
Dan Aplikatif Untuk Menguji Kesahihan Matan Hadis Ali’, Jurnal Ilmu Hadis, 209.2
(2019), 209–31
Arifin, Tajul, ‘Ulumul Hadits’, Jurnal Ulumul Hadist, 211 (2014), 1–203
Hamid, Abdul, ‘Islamic Propagation Movement on Nationalist Paradigm’, Al-Risalah, 15.1
(2024), 92–101 <https://doi.org/10.34005/alrisalah.v15i1.3205>
———, Paradigma Dakwah Yusuf Al-Qaradhawi, 1st edn (Medan: Merdeka Kreasi Group,
2023)
Hamid, Abdul, Muhammad Utsman Shalih, and Badrah Uyuni, ‘Christianization as a
Challenge for Islamic Daʿwah in Indonesia’, Millah: Journal of Religious Studies, 22.1
(2023), 19–60 <https://doi.org/10.20885/millah.vol22.iss1.art2>
Kaizal Bay, ‘Metode Penyelesaian Hadis-Hadis Mukhtalif Menurut Al- Syafi’i’, Jurnal
Ushuluddin, XVII.2 (2011), 183–201
Nasrulloh, Nasrulloh, ‘Rekonstruksi Definisi Sunnah Sebagai Pijakan Kontekstualitas
Pemahaman Hadits’, ULUL ALBAB Jurnal Studi Islam, 14.3 (2014), 15–28
<https://doi.org/10.18860/ua.v14i3.2659>
Sulaiman, M Noor, ‘ISNAD DAN PENGARUHNYA TERHADAP STATUS HADIS Oleh
M. Noor Sulaiman PL STAIN Datokarama Palu, Jurusan Tarbiyah’, Hunafa, 2 (2005),
97
Syafi’, Imam, Universitas Islam, Zainul Hasan, Dan Mà, Aly Pp Zainul Hasan, Genggong
Probolinggo, and others, ‘Ketsiqohan Perawi Hadits Dan Pengaruhnya Terhadap
Kualitas Hadits’, FIQHUL HADITS : Jurnal Kajian Hadits Dan Hukum Islam, 1.1
(2023), 1–12 <https://jurnal.mahadalygenggong.ac.id/index.php/jmag/article/view/1>
19