Ulumul Hadis Dan Sejarah Perkembangan Pemikiran Pada Periode Klasik,Pertengahan dan Modern
Dosen Pengampu: Muhammad Rozali, MA, Dr.
Disusun Oleh:
Nurul Afifah Hadi (0305193158)
PENDIDIKAN MATEMATIKA
FAKULTAS ILMU TARBIYAH DAN ILMU KEGURUAN
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI
SUMATERA UTARA
2019
BAB I
PENDAHULUAN
Latar Belakang
Kita ketahui bahwasanya hadits merupakan sumber-sumber ajaran Islam yang kedua setelah Al- Qur’an. Keberadaan hadits disamping telah mewarnai masyarakat kehidupan yang telah menjadi bahasan kajian yang menarik. Hadits mengandung makna dan ajaran serta memperjelas kandungan Al-Qur’an dan lain sebagainya. Para peneliti dan ahli hadits telah berhasil mendokumentasikan hadits baik kepada kalangan masyarakat, akademis, penelitian hadits tersebut telah membuka peluang untuk mewujudkan suatu kajian disiplin Islam, yaitu bidang study Ulumul Hadits.
Hadits yang disebut dengan sunnah, adalah sesuatu yang bersuber atau disandarkan kepada Nabi Muhammad SAW, baik berupa perkataan, perbuatan atau taqrirnya. Sebagai sumber ajaran Islam setelah Al-Qur’an sejarah perjalanan. Hadits tidak terpisahkan dari sejarah perjalanan Islam itu sendiri. Akan tetapi, dalambeberapa hal terdapat cirri-ciri tertentu yang spesifik, sehingga dalam mempelajarinya diperlukan pendekatan khusus.
Hadits dapat disebut sumber hukum Islam ke-dua setelah Al-Qur’an karena, hadits diriwayatkan oleh para perawi dengan sangat hati-hati dan teliti sebagaimana sabda Nabi SAW :
من كذ ب على مثعمد ا فليثبوا من النا
“ Barang siapa berdusta atas namaku dengan sengaja, maka tempatnya dalam neraka disediakan”
Tidak seperti Al-Qur’an dalam penerimaan Hadits dari Nabi Muhammad SAW banyak mengandalkan hafalan para sahabatnya, dan hanya sebagian aja yang ditulis oleh mereka. Penulisan itupun hanya bersifat dan untuk kepentingan pribadi. Dengan demikian Haduts-hadits yang ada pada para sahabat, yang kemudian diterima oleh para tabi’in, memungkinan ditemukan Muhammad SAW, dan ada yang hanya sesuai makna atau maksudnya saja, sedangkan redaksinya tidak sama.
Atas dasar itulah, maka dalam menerima suatu Hadits, langkah yang harus dilakukan adalah dengan meneliti siapa pembawa Hadits itu (disandarkan kepada siapa Hadits itu), untuk mengetahui apakah Hadits itu patut kita ikuti atau ditinggalkan. Oleh karena untuk memahami Hadits secara universal, diantarabeberapa jalan, salah satu diantaranya adalah dengan melihat Hadits dari segi kuantitas atau jumlah banyaknya pembawa Hadits (Sanad).
BAB II
PEMBAHASAN
Definisi Ulumul Hadis
Pengertian Ulumul Hadis
Istilah ilmu Hadis di dalam tradisi Ulama Hadis. ( Arabnya : ‘ Ulum al-Hadits). ‘Ulum al-Hadist terdiri atas dua kata, yaitu ‘ulum dan al- Hadist. Kata ‘ulum dalam bahasa arab adalah bentuk jamak dari ‘ilm, jadi berarti : “ilmu – ilmu”; sedangkan al-Hadits dikalangan ulama hadits berarti “ segala sesuatu yang disandarkan pada Nabi SAW dari perkataan, perbuatan, taqrir, atau sifat. “
Mahmud al-Thahhan, Taisir Mushthalah al-Hadits (Beirut: Dar Al-Qur’an al-Karim,1979), h.14. Dengan demikian, gabungan kata ‘ulum al – Hadits mengandung pengertian “ilmu – ilmu yang membahas atau berkaitan dengan hadits Nabi SAW”.
Ilmu hadist menurut ulama mutaqaddimin adalah :
عِلْمٌ يَبْحَثُ فِيْهِ عَنْ كَيْفِيَّةِ أِتِّصَا لِ الْحَدِ يِثِ بِرَسُوْلِ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ مِنْ حَيْثُ أَ حْوَا لِ رُ وَاتِهِ ضَبْطًا وَعَدَالَةً وَمِنْ حَيْثُ كَيْفِيَّةِ السَّنَدِ إِتِّصَا لاً وَإِنْقِطَا عًا وَغَيْرِذَالِكَ
“ ilmu pengetahuan yang membicarakan cara – cara persambungan hadits sampai kepada Rasul SAW dari segi hal ikhwal para perawihnnya, kedabittan, keadilan, dan dari bersambung tidaknya sanat, dan sebagainya “.
Kata ilmu hadits merupakan kata serapan dari bahasa arab, ‘ilmu al-hadits” , yang terdiri atas dua kata, yaitu “ilmu “ dan “ Hadits “. Jika mengacu kepada pengertian hadis, sebagaimana telah dibahas pada bab 1, maka kata ilmu hadits, berarti ilmu pengetahuan yang mengkaji atau membahas tentang segala yang disandarkan pada Nabi SAW, baik berupa perkataan, perbuatan, taqrir, maupun lainnya.
Secara bahasa kata “ Hadits” atau Al- Hadits berarti suatu yang baru, secara terminology menurut ulama hadits yaitu: “ segala perkataan Nabi SAW, perbuatan dan hal ihwalnya”. Selain hadits terdapat pula istilah sunnah, khabar dan atsar. Hadits yang bermaknakan khabar diisyiqaqkan dari hadits bermakna riwayat atau ikhbar ( mengabarkan ). Apabila dikatakan haddatsanabi haditsin, maka maknanya akhbarana bihi haditsun ( dia mengabarkan sesuatu kabar kepada kami.
Sunnah menurut ahli hadits yaitu : segala sesuatu yang bersumber dari Nabi SAW baik berupa perkataan, perbuatan, taqrir, tabiat, budi pekerti, atau perjalan hidupnya, baik sebelum menjadi rasul, maupun sesudahnya. Khabar menurut bahasa adalah segala warta berita yang disampaikan oleh sesorang kepada yang lain. Atsar menurut sumber ulama hadits yaitu segala yang disandarkan kepada Nabi Muhammad SAW, sahabat, tabi’in dan tabi’tabi’in.
Dari pengertian hadits, sunnah, khabar, dan atsar, sebagaimana diuraikan diatas menurut jumhur ulama hadits, dapat dipergunakan untuk maksud yang sama yaitu hadits sunnah , khabar,atau atsar.
Sejarah Perkembangan Pemikiran Ulumul Hadits Pada Periode Klasik
Pada dasarnnya ulumul hadits telah lahir sejak dimulainnya periwayatan hadits didalam islam, terutama setelah Rasul SAW wafat, ketika umat merasakan perlunnya menghimpun hadits hadits Rasul SAW dikarenakan adannya ke khawatiran hadits – hadits tersebut akan hilang atau lenyap. Para sahabat mulai giat melakukan pencatatan dan periwayatan hadits. Mereka telah mulai mempergunakan kaidah – kaidah dan metode – metode tertentu dalam menerima hadits, namun mereka belum lah menuliskan kaidah – kaidah tersebut.
Ibid., h.10
Didalam surat al hujurat ayat 6, Allah SWT memerintahkan orang orang yang beriman untuk meneliti dia mempertanyakan berita – berita yang datang dari orang - orang yang fasik:
يَاأَيُّهَا الَّذِينَ ءَامَنُوا إِن جَآءَكُمْ فَاسِقُُ بِنَبَإٍ فَتَبَيَّنُوا أَن تُصِيبُوا قَوْمًا بِجَهَالَةٍ فَتُصْبِحُوا عَلَى مَافَعَلْتُمْ نَادِمِينَ
Hai orang-orang yang beriman, jika datang kepadamu orang fasik membawa suatu berita maka periksalah berita tersebut dengan teliti agar kamu tidak menimpakan musibah kepada suatu kaum tanpa mengetahui keadaan (yang sebenarnya) yang menyebabkan kamumenyesal atas perbuatanmu.
Setelah terjadi fitnah di dalam kehidupan umat Islam, Para Sahabat mulai meminta keterangan tentang orang-orang yang menyampaikan Hadis atau Khabar kepada mereka. Mereka menerima atau mengambil Hadis dari orang- orang yang tetap berpegang kepada Sunnah Rasul SAW, dan sebaliknya mereka tidak mengambil Hadis dari mereka para ahli bid’ah.
Mahmud al-Thahan, Taisir Mushthalah al-Hadits, h. 9
Aktivitas para Sahabat terhadap Hadis Nabi SAW dan periwayatannya, maka dapat disimpulkan beberapa ketentuan umum yang diberlakukan dan dipatuhi oleh para Sahabat ,yaitu:
Penyedikitan Periwayatan Hadis (taqlil al-riwayat ) dan pembatasannya untuk hal- hal yang diperlakukan saja. Periwayatan yang banyak dan tanpa batas dapat menyebabkan terjadinya kekeliruan akibat lupa atau lalai; dan hal ini dapat menjerumuskan pelakunya ke dalam perbuatan dusta atas nama Nabi SAW, yang tindakan ini sangat dikecam oleh beliau.
Ketelitian dalam periwiyatan, baik ketika menerima atau menyampaikan riwayat. Ketelitian dalam menerima riwayat juga dicontohkan oleh ‘Umar ibnu al-Khaththab. ‘Umar adalah seorang Sahabat yang menuntut para perawi Hadis untuk bersikap teliti dan hati- hati dalam meriwayatkan Hadis.
Kritik terhadap matan Hadis (naqd al-marwiyyat). Kritik terhadap matan Hadis ini dilakukan oleh para Sahabat dengan cara membandingkannya dengan nash Al-Qur’an atau kaidah-kaidah dasar agama. Ketelitian dan sikap hati-hati para Sahabat tersebut diikuti pula oleh para Ulama Hadis yang datang sesudah mereka; dan sikap tersebut semakin ditingkatkan terutama setelah munculnya Hadis-Hadis palsu, yaitu sekitar tahun 41 H , setelah masa pemerintahan khalifah Ali r.a. Semenjak itu mulailah dilakukan penelitian terhadap sanad Hadis dengan mempraktikkan ilmu al- jarah wa al-ta’dil,dan sekaligus mulai pulalah ilmu al-jarah wa al-ta’dil ini tumbuh dan berkembang.
Setelah munculnya kegiatan pemalsuan Hadis dari pihak- pihak yang tidak bertanggung jawab, maka beberapa aktivitas tertentu dilakukan oleh para Ulama Hadis dalam rangka memelihara kemurnian Hadis,yaitu seperti:
Melakukan pembahasan terhadap sanad Hadis serta penelitian terhadap keadaan setiap para perawi Hadis, hal yang sebelumnya tidak pernah mereka lakukan.
Melakukan perjalanan (rihlah) dalam mencari sumber Hadis agar dapat mendengar langsung dari perawi asalnya dan meneliti kebenaran riwayat tersebut melaluinya.
Melakukan perbandingan antara riwayat seorang perawi dengan riwayat perawi lain yang lebih tsiqat dan terpercaya dalam rangka untuk mengetahui ke dha’if-an atau kepalsuan suatu Hadis.
Hadits Pada Priode Rasul
Rasul hidup ditengah – tengah masyarakat sahabatnnya. Mereka dapat bertemu dan bergaul dengan beliau sevara bebas, tanpa protocol – protcolan, yang tidak dibenarkan, hanyalah mereka langsung masuk kerumah Nabi dikala beliau tidak ada dirumah. Berbicara dengan para istri Nabi tanpa hijab, dilarang.Seluruh perbuatan Nabi,demikian juga seluruh ucapan dan tutur kata beliau menjadi tumpuan dan perhatian para sahabat. Segala gerak gerik beliau, mereka jadikan pedoman hidup.
Berikut ini dikemukakan beberapa cara Nabi menyampaikan haditsnnya:
Secara lisan dimuka orang banyak yang terdiri dari kaum laki laki.
Pengajian rutin dikalangan kaum wanita, setelah kaum wanita memintannya.
Nabi menyampaikan haditsnnya melalui perbuatan seperti: shalat berjamaah pada bulan Ramadhan, dua atau tiga malam.
Nabi menyampaikan hadits melalui “ teguran “ , yaitu terhadap seseorang petugas yang telah melakukan “korupsi” berupa penerimaan hadiah dari masyarakat ketika bertugas mengumpulkan zakat ( amil ).
Untuk hal – hal sensitif, seperti soal keluarga dan kebutuhan biologis, ia sampaikan melalui istri – istrinnya.
Cara lain yang dilakukan Rasul adalah melakukan ceramah atau pidato ditempat terbuka, seperti ketika haji wada’ dan futuh Makkah.
Hadis pada masa Nabi
Sejarah Hadis pada masa Nabi dikenal dengan ‘asr al-wahy wa al-tak-win (masa wahyu dan pembentukan) karena pada masa ini wahyu Al-Qur’an masih turun dan masih banyak Hadis-hadis Nabi yang datang darinya. Ayat-ayat Al-Qur’an dan Hadis-hadis Nabi menjadi penyejuk, sumber kebahagiaan, dan pedoman para sahabat nabi yang tidak pernah mereka temukan pada masa Jahiliyah. Para sahabat sangat mencintai Rasulullah melebihi cinta mereka kepada keluarga bahkan diri mereka sendiri. Mereka selalu berusaha menghafal ajaran-ajaran islam melalui Al-Qur’an, juga selalu rindu bertemu Rasulullah untuk mendapatkan ajaran agama,
‘Abd al-Nasr Tawfiq al-‘Attar, Dustur al-Lammah wa ‘Ulum al-Sunnah (Kairo: Maktabah Wahhab,tth.), hlm.71. termasuk Hadis-hadisnya. Mereka menyadari betapa penting kedudukan Hadis Nabi dalam agama islam, bahwa Sunnah Nabi merupakan pilar kedua setelah Al-Qur’an, orang yang meremahkan dan mengingkarinya akan celaka dan orang yang mengamalkannya akan mendapat kebahagiaan.
Muhammad- Muhammad Abu Zahw, al-Hadits wa al-Muhadditsun (Mesir: Syirkah Sahimah Misriyyah,1987), hlm.48.
Periwayatan segala yang dikatakan atau dilakukan Nabi baik yang terkait dengan masyarakat umum maupun yang khusus berkenaan dengan hal-hal pribadi telah terjadi semenjak awal islam.
Fazlur Rahman,”The Living Sunnah and al-Sunnah wa al-Jama’ah”,dalam P.K. Hoya (ed.), Hadits and Sunnah :Ideals and Realities (Kuala Lumpur: Islamic Book Trust, 1996M.), hlm.150. Kebiasaan menghargai segala yang berasal dari Nabi terlihat pada banyaknya para sahabat, di tengah-tengah kesibukan mereka memenuhi kebutuhan hidup, menghadiri majelis Nabi, sebagian tinggal beberapa saat atau dalam waktu yang lama bersamanya, mendiskusikan dan menelaah secara kritis Hadis-hadis yang mereka terima.
Ibid.,hlm.57-59. Jika terjadi persoalan yang menyangkut kebenaran Hadis yang mereka terima, mereka dapat langsung mengecek kebenarannya kepada Nabi karena beliau berada bersama, bergaul, dan bermuamalah dengan mereka,
Mustafa al-Siba’i, al-Sunnah wa Makanatuha fi al-Tasyri’ al-Islami (Beirut: al-Maktab al-Islami, 1985 M.), hlm.56. sehingga bila terjadi kesalahan penukilan, kekeliruan pengucapan, atau kekurangan- pahaman terhadap makna teks Hadis, dapat dirujuk pada Nabi.
Idri, Studi Hadis (Jakarta: Kencana, 2016), cet.3, hlm.31-32.
Nabi muhammad menyampaikan Hadis-hadisnya dengan cara yang beragam. Cara-cara ini ditempuhnya sesuai keadaan dimana Rasul berada dan berhadapan dengan para sahabatnya.
Nabi menyampaikan sabdanya melalui majelis ilmu, yaitu pusat atau tempat pengajian yang diadakan oleh Nabi untuk membina para jama’ah.
Dalam banyak kesempatan Rasulullah juga menyampaikan hadisnya melalui para sahabat tertentu, yang kemudian oleh para sahabat-sahabat tersebut disampaikannya kepada orang lain.
Nabi menyampaikan melalui isteri-isterinya terutama untuk hal-hal sensitif, seperti yang berkaitan dengan soal keluarga dan kebutuhan biologis, terutama yang menyangkut hubungan suami istri.
Rasulullah menyampaikan Hadis melalui ceramah atau pidato ditempat terbuka, seperti ketika futuh Makkah dan haji wadah.
Mustafa al-Siba’i, al-Sunnah..., hlm.61-62.
Nabi menyampaikan hadis melalui perbuatan langsung yang disaksikan para sahabatnya dengan jalan musyahadah,seperti yang berkaitan dengan praktik-praktik ibadah dan muamalah.
Menurut ‘Abd al-Nasr, Allah telah memberikan keistimewaan kepada para sahabat kekuatan daya ingat dan kemampuan menghafal. Mereka dapat meriwayatkan Al-Qur’an, Hadis, syair, dan lain-lain dengan baik. Seakan mereka membaca dari sebuah buku.
‘Abd al-Nasr Tawfiq al-‘Atta<r, Dustur..., hlm.71. Rasulullah tidak pernah memerintah sahabat tertentu untuk menulis Hadis dan membukukannya sebagaimana Al-Qur’an yang ditulis secara resmi oleh Zayd ibn Tsabit, sekretaris pribadi beliau. Bahkan, dalam suatu kesempatan Nabi pernah melarang menulis Hadis sebagaimana diriwayatkan oleh Abu Sa id al-Khudzri bahwa Nabi bersabda:
لا تكتبوا عني ومن كتب عني غير القران فليمحه وحدثوا عني ولا حرج ومن كذب علي متعمدا فليتبوأ مقعده من النار
“Jangan kalian tulis dariku (selain Al-Qur’an) dan barang siapa yang menulis dariku selain al-Qur’an, maka hapuslah. Riwayatkan Hadis dariku tidak apa-apa. Barang siapa berdusta atas namaku –Himam berkata, aku menyangka beliau bersabda-maka hendaklah ia menempati tempat duduknya di neraka.”
Muhyi al-Din ibn Syarf al-Nawawi, Sahih Muslim bi Syarh al-Nawawi (Indonesia: Maktabah Dahlan, 2001 M.),hlm.298.
Nabi melarang menulis Hadis karena khawatir tercampur dengan Al-Qur’an dan pada kesempatan lain ia membolehkannya.
Hadis yang melarang menulis Hadis dan yang membolehkan dapat dilihat dalam al-Bukhari,Sahih al-Bukhari, Juz I,hlm.32,Muslim ibn al-Hajjaj, Sahih Muslim,Juz II, hlm.988,Abu Dawud al-Sijiztani, Sunan Abi Dawud (Beirut: Dar al-Fikr, 2003 M.), juz III,hlm.318-319,juz IV,hlm.172, Ahmad ibn Hanbal, Musnad Ahmad,, juz III,hlm.12,21,39. Adanya larangan tersebut berakibat banyak hadis yang tidak ditulis dan seandainya Nabi tidak pernah melarang pun tidak mungkin Hadis dapat ditulis. Hal ini disebabkan oleh beberapa faktor sebagaimana dijelaskan oleh M. Syuhudi ismail,yaitu: (a) Hadis disampaikan tidak selalu dihadapan sahabat yang pandai menulis Hadis, (b) Perhatian Nabi dan para sahabat lebih banyak tercurah pada Al-Qur’an , (c) Meskipun Nabi mempunyai beberapa sekretaris tetapi mereka hanya diberi tugas menulis wahyu yang turun dan surat-surat Nabi, (d) Sangat sulit seluruh pernyataan, perbuatan, taqrir,dan hal ihwal orang yang masih hidup dapat langsung dicatat oleh orang lain apalagi dengan peralatan yang sangat sederhana.
M.Syuhudi Ismail,Kaidah Kesahihan Sanad Hadis (Jakarta: Bulan Bintang,1995), hlm.101-102.
Menghadapi dua Hadis yang tampak bertentangan di atas,ada beberapa pendapat berkenaan dengan ini, yaitu: (a) Larangan menulis Hadis terjadi pada periode permulaan,sedangkan izin penulisannya diberikan pada periode akhir kerasulan. (b) Larangan penulisan Hadis itu ditujukan bagi orang yang kuat hafalannya dan tidak dapat menulis dengan baik,serta dikhawatirkan salah dan bercampur dengan Al-Qur’an. (c) Larangan itu ditujukan bagi orang yang kurang pandai menulis dikhawatirkan tulisannya keliru,sementara orang yang pandai menulis tidak dilarang menulis Hadis. (d) Larangan menulis Hadis dicabut (di-mansukh) oleh izin menulis Hadis karena tidak dikhawatirkan tercampurnya catatan Hadis dengan Al-Qur’an. (e) Larangan itu bersifat umum, sedangkan izin menulis Hadis bersifat khusus kepada para sahabat yang dijamin tidak akan mencampurkan catatan Hadis dan catatan Al-Qur’an. (f) Larangan ditujukan untuk kodifikasi formal sedangkan izin ditujukan untuk sekadar dalam bentuk catatanyang dipakai sendiri. (g) Larangan berlaku ketika wahyu masih turun, belum dihafal dan dicatat. Adapun ketika wahyu yang turun sudah dihafal dan dicatat, maka penulis Hadis diizinkan.
Muh. Zuhri,Hadis Nabi: Sejarah dan Metodologinya (Yogyakarta: Tiara Wacana Yogya,1997), hlm.34 juga M. Syuhudi Ismail, Kaidah Kesahihan Sanad Hadis (Jakarta: Bulan Bintang ,1995 M.), hlm.89 (h) Ada sebagian sahabat yang memiliki catatan yang disebut dengan sahifah untuk mencatat sebagian Hadis yang diterima dari Nabi. Di antara sahabat yang memiliki catatan Hadis dari Nabi adalah ‘Abd Allah ibn’Amr ibn al-‘As, dengan catatannya yang diberi nama al-sadiqah.
Mustafa al-Siba’i, al-Sunnah...., hlm.60
Beberapa sahabat yang juga mempunyai catatan Hadis adalah ‘Ali ibn Abi Talib (wafat 40 H./611 M.), Sumrah ibn Jundab (wafat 60 H./680 M.), ‘Abd Allah ibn ‘Amr ibn al-‘As (wafat 65 H./685 M.), ‘Abd Allah ibn ‘Abbas (wafat 69 H./689 M.), Jabir ibn ‘Abd Allah al-Ansari (wafat 78H./697 M.), dan ‘Abd Allah ibn Abi Awfa’ (wafat 86 H.). Catatan-catatan Hadis ini di samping merupakan dokumen bahwa pada masa Nabi telah terjadi aktivitas penulisan hadis juga dapat digunakan sebagai sarana untuk periwayatan Hadis secara tertulis. Meskipun jarang, periwayatan Hadis secara tertulis pada masa ini juga pernah dilakukan. Kebanyakan penyebaran Hadis oleh para sahabat dilakukan secara lisan.
Hadis Pada Masa Sahabat Besar (al-Khulafa’ al-Rasyidun)
Periwayatan Hadis semenjak itu mengalami perkembangan dan melibatkan banyak pihak. Para sahabat tidak ada yang mendustakan Nabi. Mereka orang-orang yang rela mengorbankan jiwa dan raga demi menegakkan agama dan membantu dakwah islam.
Salah al-Din ibn Ahmad al-Adabi, Manhaj Naqd al-Matn’Ind ‘Ulama al-Hadits al-Nabawi (Beirut: Dar al-Aflaq al-Jadidah, 1983 M.), hlm. 47.
Periwayatan Hadis pada masa sahabat terutama masa al-Khulafa’ al-Rasyidun sejak tahun 11 H. Sampai 40 H., yang disebut juga masa sahabat besar,belum begitu berkembang. Pada satu sisi, perhatian para sahabat masih terfokus pada pemeliharaan dan penyebaran Al-Qur’an dan mereka berusaha membatasi periwayatan Hadis tersebut.
Oleh karenanya, para sahabat khususnya al-Khulafa’al-Rasyidun dan sahabat lain seperti al-Zubayr, ibn ‘Abbas, dan Abu Ubaydah berusaha memperketat periwayatannya dan penerimaan Hadis.
Muhammad ‘ Ajjaj al-Khatib, al-Sunnnah....., hlm. 92-93. Mereka menyampaikan dan menjaga Hadis dengan Hati-hati agar tidak terjadi kesalahan dengan cara tidak meriwayatkannya kecuali saat-saat dibutuhkan melalui penelitian yang mendalam.
Muhammad ‘ Ajjaj al-Khatib, Usul al-Hadits....,hlm.84. Mereka sangat hati-hati dalam meriwayatkan Hadis karena khawatir mengalami kekeliruan baikketika menerima maupun menyampaikannya kepada sahabat lain atau pun kepada generasi tabi’in.
Salah satu contoh kehati-hatian Abu Bakar terlihat pada riwayat Ibn Syihab al-Zuhri dari Qabisah ibn Zuayb bahwa seorang nenek bertanya kepada Abu Bakar soal bagian warisan untuk dirinya. Ketika ia menyatakan bahwa hal itu tidak ditemukan hukumnya, baik dalam al-Qur’an maupun Hadis, al-Mughirah menyebutkan bahwa Rasulullah memberinya seperenam. Abu Bakar kemudian meminta supaya al-Mughirah mengajukan saksi lebih dahulu baru kemudian Hadisnya diterima.
Al-Hakim al-Naysaburi, Kitab Ma’rifah ‘Ulum al-Hadits (Kairo: Maktabah al-Matnabi,2000 M.),hlm. 15. Saksi yang diajukan oleh al-Mughirah bernama Muhammad ibn Maslamah.
Muhammad ‘Ajjaj al-khatib, Usul al-Hadits.....,hlm. 89.
Sebagian ahli Hadis mengemukakan bahwa Abu Bakar dan Umar menggariskan bahwa Hadis dapat diterima apabila disertai saksi atau setidaknya periwayat berani disumpah.
Muhammad Muhammad Abu Zahw, al-Hadits..., hlm.69. Pendapat ini menurut al-Siba’i, tidak benar karena ‘Umar menerima beberapa Hadis meskipun hanya diriwayatkan oleh seorang periwayat Hadis.
Mustafa al-Siba’i, al-Sunnah..., hlm. 66. Menurut al-Siba’i ,sampai ‘Umar Wafat,Hadis belum banyak yang tersebar dan masih dalam keadaan terjaga di hati para sahabat. Baru pada masa ‘Utsman ibn’Affan,periwayatan Hadis diperlonggar.
Ibd., hlm. 72.
Kehati-hatian para sahabat tidak berarti bahwa mereka selamanya mensyaratkan bahwa hadis dapat diterima bila diriwayatkan oleh dua orang atau lebih atau periwayatan Hadis harus disertai dengan saksi dan bahkan sumpah, tetapi maksudnya adalah mereka berhati-hati dalam menerima dan meriwayatkan Hadis.
Muhammad ‘Ajjaj al-Khatib, Usul al-Hadits..., hlm. 91. Kehati-hatian dan kecermatan menjadi faktor yang sangat penting untuk menghindari kesalahan periwayatan Hadis.
Dalam sejarah disebutkan, sebagaimana disepakati ulama Hadis, bahwa telah terjadi pemalsuan Hadis (wad’ al-hadits) pada masa Ali ibn Abi Talib (wafat 40 H./661 H.),khalifah yang keempat. Menurut Mustafa al-Siba’I, pihak yang pertama kali membuat Hadis palsu adalah orang-orang Syi’ah,
Mustafa al-Siba’i, al-Sunnah...., hlm.79. ketika mereka merasa yakin bahwa ‘Ali dan keturunannya yang paling berhak memegang jabatan khilafah.
Dengan demikian, sikap kehati-hatian keempat khalifah di atas, pada satu sisi telah menyebabkan para sahabat Nabi menahan diri dari memperbanyak periwayatan Hadis karena takut terjadi kesalahan, tetapi pada sisi yang lain,ketika terjadi perpecahan umat islam masa ‘Ali ibn Abi Talib, terjadi pemalsuan Hadis yang dilatar belakangi oleh faktor politik.
Hadis Pada Masa Sahabat Kecil dan Tabi’in
Sebagaimana para sahabat besar, para sahabat kecil dan tabi’in juga cukup berhati-hati dalam periwayatan Hadis. Cara-cara yang ditempuh di samping sebagaimana yang dilakukan oleh para sahabat besar juga berbagai cara yang sesuai dengan hati nurani mereka dalam rangka untuk menyampaikan Hadis pada generasi berikutnya secara benar dan tidak keliru.
Muhammad ‘Ajjaj al-Khatib, Usul al-Hadits..., hlm.92. Selain itu, pada masa akhir periode al-Khulafa al-Rasyidun (masa khalifah ‘Utsman bin Affan) para sahabat ahli Hadis telah menyebar kebeberapa wilayah kekuasaan islam.
Pada masa ini, daerah kekuasaan Islam semakin luas. Banyak sahabat ataupun tabi’in yang pindah dari Madinah ke daerah-daerah yang baru dikuasai, disamping banyak pula yang masih tinggal di Madinah dan Mekkah. Para sahabat pindah ke daerah baru disertai dengan membawa perbendaharaan Hadis yang ada pada mereka sehingga Hadis-hadis tersebar diberbagai daerah. Kemudian bermunculan sentra-sentra Hadis, sebagaimana dikemukakan Muhammad Abu Zahw, yaitu:
Madinah, dengan tokoh dari kalangan sahabat ‘Aisyah,Abu Hurayrah,Ibn ‘Umar,Abu Sa’id al-Khudzri, dan lain-lain. Tokoh dari kalangan tabi’in antara lain Sa’id ibn Musayyib, ’Urwah ibn Zubayr, dan Nafi’ mawla Ibn’Umar.
Mekkah, dengan tokoh Hadis dari kalangan sahabat adalah Ibn’Abbas,’Abd Allah ibn Sa’id, dan lain-lain. Dari kalangan tabi’in , tokoh Hadis antara lain Mujahid ibn Jabr,’Ikrimah Mawla Ibn ‘Abbas, dan ‘Ata’ibn Abi Rabah.
Kufah, dengan tokoh dari kalangan sahabat antara lain ‘Abd Allah ibn Mas’ud, Sa’ad ibn Abi Waqqas, Salman al-Farisi, dan lain-lain. Tokoh dari kalangan tabi’in antara lain Masruq ibn al-Ajda’, dan Syuraikh ibn al-Harits.
Basrah, dengan tokoh dari kalangan sahabat ‘Utbah ibn Gahzwan,’Imran ibn Husayn, dan lain-lain. Dari kalangan tabi’in dikenal tokoh al-Hasan al-Basri, Abu al-‘Aliyah, dan lain-lain.
Syam, dengan tokoh dari kalangan sahabat Mu’adz ibn Jabal, Abu al-Darda’, ‘Ubbadah ibn Samit, dan lain-lain. Tokoh dari kalangan tabi’in antara lain Abu Idris, Qabisah ibn Dzuayb,dan Makhul ibn Abi Muslim.
Mesir, dengan tokoh dari kalangan sahabat ‘Abd Allah ibn Amr ibn al-‘As,’Uqbah ibn Amir, dan lain-lain. Tokoh dari kalangan tabi’in Yazid ibn Abi Hubayb, Abu Basrah al-Ghifari, dan lain-lain.
Muhammad Muhammad Abu Zahw, al-Hadits...., hlm. 101-107.
Menghadapi terjadinya kekeliruan dan pemalsuan Hadis diatas,para ulama melakukan beberapa langkah:
Melakukan seleksi dan koreksi oleh tentang nilai Hadis atau para periwayatnya.
Hanya menerima riwayat Hadis dari periwayat yang tsiqah saja.
Melakukan penyaringan terhadap Hadis- hadis yang diriwayatkan oleh periwayat yang tsiqah.
Mensyaratkan tidak danya syadz yang berupa penyimpangan periwayat tsiqah terhadap periwayat lain yang lebih tsiqah.
Muhammad ‘Ajjaj al-Khatib, Usul al-Hadits..., hlm. 57-60.
Sejarah Dan Perkembangan Masa Kodifikasi Hadits
Perkembangan Hadits Pada Abad ke II,III, Dan IV Hijriah
Priode ini disebut Ashr Al-Kitabah Wa Al-Tadwin (masa penulisan dan pembukuan). Maksudnya, penulisan dan pembukuan secara resmi, yakni yang diselenggarakan oleh inisiatif pemerintah. Adapun kalau secara perseorang, sebelum abad ke II Hijriah hadits sudah banyak ditulis, baik pada masa tabiin, sahabat kecil, sahabat besar, bahkan Nabi SAW.
Barmawie Umarie. Op.cit.Hal. 78-88
Pada priode ini hadits-hadits Nabi SAW mulai ditulis dan dikumpulkan secara resmi. Umar ibnu ‘ Abd al-Aziz tahun 101 H, Salah seorang khalifah dari dinasti umayah yang mulai memerintah di pengujung abad pertama hijriah, merasa perlu untuk mengambil langkah-langkah bagi penghimpunan dan penulisan hadits Nabi secara resmi, yang selama ini berserakan didalam catatan dan hafalan para sahabat dan tabiin.
Terdapat beberapa faktor-faktor yang mendorong pengumpulan dan pengkodifikasian hadits pada priode ini diantarannya adalah
Tidak adanya lagi penghalang untuk menuliskan dan membukukan hadits, yaitu ke khawatiran bercampurnnya hadits dan al qur’an. Karena la-qur’an ketika itu telah dibukukan dan disebarluaskan.
Munculnnya kekhawatiran akan hilang dan lenyapnnya hadits kaena banyaknnya para sahabat yang meninggal dunia akibat usia lanjut da karena seringnya terjadi peperangan.
Semakin maraknya kegiatan pemalsuan hadits yang dilatarbelakangi oleh perpecahan politik dan perbedaan mahzab dikalangan umat islam.
Semakin luasnya daerah kekuasaan islam disertai dengan semakin banyak banyak dan kompleknya permasalahan yang dihadapi umat islam.
Dengan tersebarnya islam,terpecahnya sahabat dan sebagian wafat, maka mulai terasa perlunya pembukuan hadist. Hal ini menggerakan khalifah Umar Bin Abdul Aziz (menjabat th 99 H-101H) untuk memerintahkan para ulama untuk menghimpun dan mengumpulkan hadis terutama pada Abu Bakar Bin Muhammad Bin Amr Bin Hazm (Qdhi Madinah) dan Muhammad Bin Muslim Bin Ubaidillah Bin Abdullah Bin Syihab az Zuhri al-Madani(tokoh ulama hijaz dan syam 124H).
Setelah kedua tokoh ini maka mulailah banyak yang mengikuti mereka seperti Ibnu Juraij(150-H) dan Ibnu Ishaq(151-H) di Makkah;Ma’mar (153-H) di Yaman;Al-Auza’i(156-H) di Syam; Malik(179-H), Abu Urubah (156-H) dan Hammah Bin Salamah(176-H) di Madinah; Sufyan-ats Tsaurih(161-H) di Kuppah;Abdullah bin Mubarak(181-H) di Khurasan; Husyiam(188-H) di Wasith; Jarir bin abdul Hamid (188-H) di Ray,dan Abdullah ibnWahab (125 H) di Mesir.
Kitab yang mahsyur pada saat itu adalah :
Mushannaf oleh Syu’bah bin al-Hajjaj (160-H)
Mushannaf oleh Al-Laits bin sa’ad (175-H)
Al-Muwaththa’ oleh Malik bin Anas al-Madani, Imam Darul Hijrah (179-H).
Mushannaf oleh Sufyan bin Uyainah (198-H)
Al-Musnad al-Syafi’i oleh Imam asy-Syafi’i (204-H)
Al-Sirat an Nabawiyah oleh Ibn Ishaq.
Pada abad ke-3 di periode ini dikenal dengan periode penyaringan Hadits atau seleksi hadits yang ketika itu pemerintah dipegang oleh Khalifah dari Bani Umayyah. Pada masa ini para ulama bersungguh-sungguh mengadakan penyaringan Hadist, melalui kaidah-kaidah yang ditetapkan, mereka berhasil memisahkan hadits-hadits yang dhaif dari yang shahih, dan hadits-hadits yang mauquf dan maqthu’ dari yang marfu’.
Meskipun begitu berdasarkan penelitian masih ditemukan beberapa hadits dhaif yang terselip di kitab hadits shahih mereka.
Drs. H. Mudasir. Ilmu Hadis. (Surabaya: Pustaka Setia). Hal. 109 Maka pada pertengahan abad ketiga ini, mulai muncul kitab-kitab hadits yang hanya memuat hadits-hadits shahih, dan pada perkembangannya di kenal dengan “al-Kutubu al-Sittah” yaitu:
Shahih al-bukhari atau al-Jami’u al-Shahih. Karya Muhammad bin Ismail al-Bukhari (194-256 H). Menurut penelitian Ibnu Hajar (852 H), seperti yang disebutkan dalam pendahuluan kitabnya “Fathu al-Bari Fi Syarhi al-Bukhari”, kitab shahih itu berisi 9.082 hadits yang terdiri dari 2602 buah hadits yang tidak terulang-ulang ,dan 159 matan hadits marfu’. Namun Ibnu Hajar tidak menghitung hadits marfu’ dan maqthu’ yang terdapat dalam Bukhari. Kitab tersebut merupakan kitab hadits yang shahih (otentik) setelah al-Qur’an. Dan diantara Mukhtashar Bukhari ialah Tajridu al-Sharih dan Mukhtashar Abi Jamrah, Masing-masing karangan Ibnu al-Mubarak dan Ibnu Abi Jamrah.
Shahih al-Muslim,, karya al-Imam Muslim bin Hajjaj bin Muslim al-Qusyairy al-Naisabury (204-261 H).
Sunan Abu dawud, karangan Abu Dawud Sulaiman bin al-‘Asy’as bin Ishaq al-Sajastani (202-275 H )
Sunan al- Tirmidzi, Karangan Abu Isa Muhammad bin Isa bin Surah al- Tirmidzi (200-279 H).
Sunan Nasa’i, karangan Abu Abdu al-Rahman bin Suaid Ibnu Bahr al-Nasa’iy (215-302 H).
Sunan Ibnu Majah, karangan Abu Abdillah Ibnu Yazid Ibnu Majah (207-273 H).
Abad ke empat merupakan abad pemisahan antara ulama Mutaqaddimin, yang dalam menyusun kitab hadits mereka berusaha sendiri menemui para sahabat atau tabi’in atau tabi’in yang menghafal hadits dan kemudian menelitinya sendiri, dengan ulama mutaakhirin yang dalam usahanya menyusun kitab-kitab hadits, mereka hanya menukil dari kitab- kitab yang disusun oleh ulama mutaqaddimin.
Mereka berlomba-lomba untuk menghafal sebanyak-banyaknya hadits yang telah di kodifikasikan, sehingga tidak mustahil sebagian dari mereka sanggup menghafal beratus-ratus ribu hadits. Sejak periode inilah timbul bermacam-macam gelar keahlian dalam ilmu hadits, seperti gelar al-Hakim dan al-Hafidz. Adapun kitab-kitab yang masyhur hasil ulama abad ke-empat, antara lain :
Mu’jamu al-Kabir, M’jamu al-Awsath, Mu’jamu al-Shaghir, karya al-Imam Sulaiman bin Ahmad al-Tabrany (360 H).
Sunan al-Daruquthny, karya al-Imam Abdul Hasan Ali bin Umar bin Ahmad al-Daruquthny (306-385 H).
Shahih bin ‘Auwanah, karya Abu ‘Auwanah Ya’qub bin Ishaq bin Ibrahim al-Asfayainy (354 H).
Shahih Ibnu Khudzaimah, Karya Ibnu Khudzaimah Muhammad bin Ishaq (316 H).
Perkembangan Hadits Pada Abad Ke V Sampai Dengan Sekarang
Usaha ulama ahli pada abad V dan seterusnya adalah ditujukan untuk mengklasifikasikan al-Hadits dengan menghimpun hadits-hadits yang sejenis kandungannya atau sejenis sifat-sifat isinya dalam satu kitab hadits. Disamping itu mereka ada men-syarahkan (menguraikan dengan luas) dan mengikhtishar (meringkaskan) kitab-kitab hadits yang telah disusun oleh ulama yang mendahuluinya. Seperti yang dilakukan oleh Abu ‘abdillah al-Humaidi (448 H.). adapun contoh kitab-kitab hadits pada periode ini antara lain:
Al-Kubra, karya abu Bakar Ahmad bin Husain ‘Ali al-Baihaqy (384-458 H).
Muntaqa al-Akhbar, karya Majduddin al-Harrany (652 H).
Fathu al-Bari Fi Syarhi al-Bukhari, karya Ibnu Hajar al-‘Asqolany (852 H).
Nailu al-Awthar, Syarah kitab Muntaqa al-Akhbar, karya al-Imam Muhammad bin Ali al-Syaukany (1172-1250 H).
Dan muncul pula Kitab-kitab hadits targhib dan tarhib, seperti :
Al-Targhib wa al-Tarhib, karya al-Imam Zakiyuddin Abdul ‘Adzim al-Mundziry (656 H).
Dalailu al-falihin, karya al-Imam Muhammad Ibnu ‘Allan al-Shiddiqy (1057 H). Sebagai kitab syarah Riyadu al-Shalihin, karya al-Imam Muhyiddin abi zakaria al-Nawawawi (676 H).
Pada periode ini para ulama juga menciptakan kamus hadits untuk mencari pentakhrij suatu hadits atau untuk mengetahui dari kitab hadits apa suatu hadits didapatkan,misalnya :
Al-jami’u al-Shaghir fi Ahaditsi al-Basyiri al-Nadzir, karya al-Imam Jalaluddin al-Suyuthy (849-911 H).
Fatchur Rahman. Ikhtishar Musthalahul Hadits. (Bandung: PT. Al Ma’arif. 1974).Hal.57
Dakhairu al-Mawarits fi Dalalati ‘Ala Mawadhi’i al-Ahadits, karya al-Imam al-‘Allamah al-Sayyid Abdul Ghani al-Maqdisy al-Nabulisy.
Ibid.
Al-Mu’jamu al-Mufahras Li al-Alfadzi al-Haditsi al-Nabawy, karya Dr. A.J. Winsinc dan Dr. J.F.Mensing.
Miftahu al-Kunuzi al-Sunnah, Karya Dr. A.J. Winsinc.
Sejarah Perkembangan Pemikiran Ulumul Hadits Pada Periode Pertengahan
Masa Ibn Shalah, disebut Nur Ad- Din its, adalah masa kesempurnaan pertama karena Ibnu Shalah dianggap sebagai tokoh yang menyusun ulumul hadits yang sistematis dan mencakup seluruh pembahasan ulumul hadits.
Untuk mengetahui beberapa jauh pengaruh pemikiran ulumul hadits Ibn Shalah terdapat tokoh-tokoh setelahnya, atara lain : Imam Muhyi Ad-Din bin Syarf An-Nawawi memeili karya ulumul hadits yang menginduk kepada kitab asal karya Ibn Shalah, yaitu Irsyad Thulab Al- Haqqiq ila ma’rifat sunan khair Al-Khaliq. Kemudian kitab beliau ikhtisar kembali yang diberi nama At-Taqrib wa At-Taysyir Li Ma’rifat Sunan Al-BASYIR An-Nadzir, dan ikhtisyarnya lebih masyhur kembali dari Al-Irsyad. Sebagai salah satu bukti bahwa At-Taqrib menjadi lebih masyhur dari pada Al-Irsyadadalah dengan adanya kitab yang menjadi Syarh At-Taqrib, yaitu syarh Taqrib An-Nawawi, karya Al-Iraqi dll.
Manhaj An-Nawawi dalam penyusunanAl-Irsyad, sebagaimana dijelaskan dalam muqaddimahnya bertujuan :
Memberikan penjelasan dengan ungkapan yang sangat mudah dimengerti oleh pembaca.
Meringkas denga menghilangkan ungkapan-ungkapan yang dianggap tidak perlu.
Menjaga tujuan dari kandungan kitab Ibn Shalah sebagaiman tuuan yang diinginkan penyusunan.
Menambah beberapa faedah yang dianggap perlu untuk memebrikan penjelasan, yaitu dengan memberikan submasalah.
Semua yang dilakukan An-Nawawi merupakan keistimewahan karyanya.
Sejarah Perkembangan Pemikiran Ulumul Hadits Pada Periode Modern
Periode pemikiran modern dapat dinyatakan diawali oleh Ibn Taymiyah yang mengumandangkan “Terbukanya pintu ijtihad”, sebagai awal untuk memperbaharui islam. Akan tetap, perkembangan selanjutnya ada pada masa Syah Waliyullah, Ibn Abdul Wahhab, Sayid Jamaluddin Al-Afghani, dan Muhammad ‘Abduh
PENUTUP
Kesimpulan
Secara Bahasa kata’hadits’ atau al-hadis berarti sesuatu yang baru, secara terminology menurut ulama hadits yaitu: “segala perkataan Nabi SAW, perbuatan dan hal ihwalnya.”
Masa Rasulullah SAW sampai masa Khulufaur Rasyidin.
Rasul SAW adalah guru sunnah terbaik. Sejumlah penulis ulumul al-hadist mencatat metode yang dipakai Rasul SAW dalam mengajarkan ilmu (sunnah). Husn at-tarbiyah wa ta’lim.
Tadarruj
Tanwi’ wa taghyir
Tathbiq al-‘amali
Mura’ah al-mustawayat al-mukhtalifah
Taisir wa ‘adam at-tasydid.
Setelah Masa Khulufa Arrasyidin, khususnya pada munculnya kekacauan politik sebelum dan sesudah mas Ali, banyak muncul riwayat maudhu. Usaha penangkalannya adalah dengan melakukan seleksi terhadap setiap informasi yang muncul sebagai usaha kehati-hatian dalam menerimanya, baik dengan cara-cara yang telah dilakukan oleh para sahabat sebelumnya, yaitu metode sumpah, atau dengan melakukan evaluasi terhadap para penyampai riwayat (rawi).
Setelah mengalami stagnasi, yakni dari abad ke sepuluh samapai awal abad keempat belas hijriyah, ulum al-hadits mengalami kebangkitan kembali dengan munculnya karya-karya yang lebih menonjolkan sistematika modern, hal tersebut dilatorbelakangi oleh konflik yang terjadi antara Timur dan Barat yang menyentuh tataran teologis.
DAFTAR PUSTAKA
al-Munawar, Said Agil Husain, Ilmu Hadist, Gaya Media Pratama, Jakarta 1996
Wahid, Ramly Abdul, Studi Ilmu Hadist, Cita Pustaka Media, Bandung 2005
Suparta, Munzier, Ilmu Hadist, Raja Grafindo Media, Jakarta 2010
Dede Rudliyana, Muhammad, Perkembangan Pemikiran Ulumul Hadist dari Klasik sampai modern, Pustaka Setia, Bandung 2004
Ash Shiddieqy, Sejarah dan Pengantar Ilmu Hadist, Semarang 1999
Rahman, Fathur, Ikhtishar Musthalahul Hadits, PT.Al-Ma’arif, Bandung 1974
Mudasir, Ilmu Hadist, Pustaka setia ,Semarang
Ismail, Syuhudi, Kaidah Kesahihan Sanad Hadis, Bulan Bintang, Jakarta 1995
Zuhri, Muhammad, Sejarah dan Metodologinya, Tiara Wacana, Yogyakarta 1997
Al-Thahhan, Mahmud, Taisir Mushtalah al-Hadits, Beirut 1979