MODEL PEMBELAJARAN TARI PENDIDIKAN
PADA SISWA SD/MI SEMARANG
M. Jazuli
Staf Pengajar Sendratasik, FBS, UNNES,
Email:
[email protected]
Abstract
The underlying problem of this study is what learning model of Educational Dance is used for
elementary school students in Semarang. This study employs qualitative approach using library
research, interview, and direct observation as the methods of data collection. The subject of the
study is the learning model of educational dance at elementary schools in Semarang district.
Data analysis was conducted through descriptive analysis method. The study shows that
learning model used for educational dance at elementary school is explorative model using
observation evaluation technique. The learning model includes: first, materials of movement
lesson that covers body realization, mastery of basic movements, and movement development.
Second, movements that reflect thought, feeling, and communication medium. Third, the
direction of dance lesson covers aspects such as delight, creativity, communication, and
aesthetics. Fourth, students’ character development that embeds in the learning process
implicates in students’ attitude, such as the growing self-confidence, concern, tolerance, and
responsibility. It is then concluded that the components of learning model of educational dance
for elementary school, based on regulation number 19 article number 19 year 2005, are met in
the explorative model because it shows the existence of dimensions that are interactive,
inspiring, fun, challenging, motivating students to actively participate, and giving rooms
necessary for initiative, creativity, and autonomy in accordance to students’ talent, interest,
physical and psychological development.
Kata kunci : model pembelajaran, tari pendidikan
PENDAHULUAN
Tari pendidikan merupakan suatu
model
pembelajaran
tari
yang
menekankan
kepada
kebebasan
berekspresi gerak kreatif pribadi siswa
dalam aktivitas belajar menari di
sekolah umum, khususnya di sekolah
dasar (SD). Model ini dicetuskan sekitar
tahun 1938 oleh seorang koreografer
Inggris keturunan Hongaria bernama
Rudolf Laban (1879-1958) dengan nama
Modern Educational Dance atau lebih
dikenal educational dance. Di Indonesia
dipromosikan sejak tahun 1970-an
dengan istilah Tari Pendidikan. Dalam
tari pendidikan mencakup dua hal,
yaitu tari kreatif (creative dance) dan tari
ekspresif (expresive dance).
Tari kreatif, di Amerika dikenal
dengan istilah movement education dan
diterapkan
sebagai
bagian
dari
pendidikan jasmani khususnya di
sekolah dasar. Menurut laporan Kraus
(1977: 325) bahwa movement education
merupakan kegiatan penting dalam
pelajaran pendidikan jasmani. Burton
(dalam Kraus 1977) mengemukakan
pembelajaran movement education dalam
pendidikan
jasmani
merupakan
pelajaran
terpadu
yang
mampu
memberi
kontribusi
berupa
pengembangan respon gerak yang
efektif, efisien, dan ekspresif dalam diri
siswa untuk mengungkapkan pikiran
dan perasaan yang dikomunikasikan
kepada
orang
lain.
Proses
pembelajarannya menekankan pada
kesadaran tubuh dan diri siswa,
penguasaan keterampilan gerak dasar
maupun
pengembangan
geraknya.
Eksplorasi menjadi metode utama
dengan pendekatan berpusat pada
siswa sebagai individu yang secara
spontan mampu untuk menemukan
sendiri (self discovery). Fenomena ini
menunjukkan
betapa
pentingnya
peranan guru dalam memotivasi dan
menggerakkan daya kreasi tari pada
para siswanya. Di sini, guru bukan saja
dituntut pemahaman praktik tari (gerak,
ruang, waktu), melainkan juga memiliki
kompetensi dalam pedagogik.
Menurut Laban (1976: 12)
pembelajaran tari di sekolah umum
(non kejuruan) harus lebih menekankan
pada pembelajaran tari kreatif yang
mampu
menyumbangkan
kepada
perkembangan
kepribadian
siswa.
Pembelajaran
tari
kreatif
tidak
berorientasi pada hasil akhir atau
menghasilkan sebuah pertunjukan yang
bernilai seni tinggi, sebagaimana yang
diciptakan oleh seorang koreografer.
Laban menyatakan seperti berikut ini:
”In school, where are education is
fostered, it is not artistic perfection or
the creation and performance of
sensational dance which is aimed aat,
but the beneficial effect of the creative
activity of dancing upon the
personality of pupil.”
Pernyataan
Laban
tersebut
cukup beralasan, karena setiap anak
memiliki dorongan alamiah untuk
menampilkan
gerakan-gerakan
seperti ’tarian’ dan secara tidak disadari
hal itu merupakan cara yang baik untuk
memperkenalkan tari sejak dini pada
diri anak, serta memberi kesempatan
kepada anak untuk mengembangkan
kemampuan berekspresi secara spontan
melalui gerakannya (free dance). Tugas
sekolah
(guru)
dalam
menyelenggarakan
tari
kreatif
mencakup dua hal, yaitu pertama
membimbing
siswa
untuk
menumbuhkan spontanitas gerak, dan
kedua membimbing siswa belajar
memahami
prinsip-prinsip
untuk
melakukan dan menguasai geraknya.
Autard dalam The Art of Dance
Educational (1994) menegaskan bahwa
tari pendidikan atau tari kreatif
memiliki karakteristik yang sangat
penting bagi proses pembelajaran tari
yang
bermakna
karena
mampu
memberikan
kontribusi
terhadap
perkembangan individu siswa dalam
perasaan dan gerak tarinya. Pernyataan
Autard tersebut juga mengindikasikan,
bahwa dalam pembelajaran tari, hasil
akhir kurang mendapatkan perhatian
yang signifikan, sebaliknya justru
proseslah yang lebih diutamakan,
mengarah
kepada
perkembangan
pribadi siswa. Artinya pendidikan seni
harus
mampu
menunjang
misi
pendidikan
umum,
yaitu
menumbuhkembangkan keparibadian
siswa, memelihara rasa estetik siswa,
dan memperkaya kehidupan siswa
secara kreatif (Jazuli 2008).
Persoalannya adalah konsep tari
pendidikan kurang dipahami oleh
sebagian besar guru tari di Indonesia,
sehingga
para
guru
cenderung
mengajarkan tari bentuk yang sudah
ada baik jenis tradisional, kreasi,
maupun tari modern. Metode yang
digunakan adalah imitatif atau meniru
contoh gerak tari yang diberikan oleh
guru. Beberapa hasil penelitian yang
mengungkap pendidikan tari kreatif di
antaranya adalah penelitian Setyowati,
dkk (2001) tentang ”Alat Peraga sebagai
Sarana Meningkatkan Kreativitas Anak
dalam
Menari”
menginformasikan
bahwa alat peraga tari (property) mampu
menjadi sarana untuk menguasai dan
mengembangkan gerakan anak ke
dalam berbagai aktivitas kreatif dan
variatif dalam belajar. Anak yang
mampu menggunakan jenis permainan
adalah
anak
yang
mampu
mengembangkan alat peraga tari untuk
menguasai gerak yang diekspresikan
serta variasi gerakan yang diciptakan
oleh anak itu sendiri. Penelitian Atip
Nurharini
tahun
2003
menginformasikan bahwa pembelajaran
tari mampu menimbulkan rasa percaya
diri anak yang berupa tumbuhnya
perasaan
bangga,
memiliki
sifat
pemberani, mampu mengendalikan
emosi dan mengasah kehalusan budi,
menumbuhkan rasa bertanggung jawab
dan rasa mandiri, mudah berinteraksi
dengan orang lain, memiliki prestasi
lebih baik, berkembang imajinasinya
dan kreativitasnya. Namun demikian
kedua penelitian tersebut belum
mengulas tentang metode pembelajaran
tari
pendidikan,
dan
lebih
memfokuskan
pada
materi
pembelajaran tari pendidikan. Selain itu
model pembelajaran juga belum jelas.
Oleh karena itu dalam tulisan ini
hendak dibahas model pembelajaran
tari pendidikan di sekolah dasar (SD)
yang dapat mendukung pengembangan
creative thinking siswa dan menciptakan
suasana belajar yang menyenangkan
(joyful learning).
Pembelajaran merupakan proses
usaha
yang
dilakukan
untuk
memperoleh perubahan tingkah laku
sebagai hasil belajar. Pembelajaran
dalam konteks ini terfokus pada siswa,
tidak terbatas di dalam kelas saja, dan
mencakup semua kondisi dan peristiwa
yang mempunyai pengaruh terhadap
proses pembelajaran. Menurut Undang
Undang Sisdiknas No 20 Tahun 2003,
pembelajaran adalah proses interaksi
antara siswa dengan pendidik dan
sumber belajar pada suatu lingkungan
belajar. Pembelajaran terdiri atas
komponen tujuan, materi, pendekatan,
strategi, metode, sarana, sumber belajar,
serta penilaian hasil belajar (evaluasi).
Dalam Standar Proses (PP No. 19 pasal
19 tahun 2005), bahwa
proses
pembelajaran pada satuan pendidikan
diselenggarakan
secara
interaktif,
inspiratif, menyenangkan, menantang,
memotivasi siswa untuk berpartisipasi
aktif, serta memberikan ruang yang
cukup bagi prakarsa, kreativitas, dan
kemandirian sesuai dengan bakat,
minat, dan perkembangan fisik serta
psikologis
siswa.
Dalam
proses
pembelajaran seni di sekolah umum
agar dapat menumbuhkembangkan
potensi
kreatif
perlu
mempertimbangkan tiga prinsip, yaitu:
(1) pembelajaran seni di sekolah harus
memberi kebebasan kepada siswa untuk
mengolah potensi kreatifnya; (2)
pembelajaran seni di sekolah harus
dapat memperluas pergaulan dan
komunikasi
siswa
dengan
lingkungannya; (3) pembelajaran seni di
sekolah harus dilakukan dengan cara
yang menyenangkan (joyfull learning)
(Jazuli 2008).
Pendekatan pembelajaran dapat
dimengerti sebagai titik tolak atau sudut
pandang terhadap proses pembelajaran.
Pendekatan dapat diartikan bagaimana
seseorang
melihat
sesuatu
yang
dipengaruhi oleh pengetahuan dan
pemahaman seseorang terhadap sesuatu
dilihatnya. Pendekatan pembelajaran
tari dalam penelitian ini adalah
pendekatan kreatif dengan metode
eksploratif.
Sebagai
landasan
pendekatan pembelajaran tari adalah
kurikulum KTSP (kurikulum 2006) yang
masih
berlaku
sampai
sekarang.
Pendekatan kreatif adalah pembelajaran
yang berpusat pada siswa, yang
menyakup tentang: persepsi dan
keterbukaan kepada pengalaman baru,
fleksibel (mudah diarahkan), sensitivitas
estetis, energik (berkemuaan keras), dan
imajinatif (banyak idea) (lihat Hawkins,
1988).
Metode
eksploratif
yang
dimaksud adalah cara pembelajaran tari
yang
bersifat
penjajakan
untuk
menemukan suatu (motif) gerak
maupun bentuk tari secara utuh.
Adapun teknik pelaksanaan eksplorasi
melalui pengamatan improvisasi gerak
yang dilakukan oleh para siswa.
Improvisasi adalah penciptaan secara
mendadak tanpa dipikirkan lebih
dahulu, suatu bagian yang esensial dari
setiap
seni
kreatif.
Improvisasi
merupakan bagian utama dari latihan
tari dan menjadi pengalaman berharga
bagi setiap orang untuk memperkaya
pengalaman
dan
mengembangkan
imajinasi (Cheney 1999). Memperkaya
pengalaman
karena
tiada
dua
improvisasi yang sesungguhnya sama,
dan
pengalaman
itu
akan
muncul/tumbuh dalam perasaan. Oleh
karena itu tidak ada formula yang tepat
untuk diikuti, tetapi ada bidang-bidang
tertentu yang menyediakan untuk
pengalaman, perasaan, intuisi, dan
untuk kepentingan memori. Improvisasi
dapat melahirkan sebuah orisinalitas.
Tujuan mengembangkan imajinasi akan
terlihat dari kemampuan merespons
lingkungan di sekitarnya karena dalam
pengalaman dasar manusia akan selalu
bereaksi, merespons, dan beradaptasi
dengan
lingkungannya.
Dengan
improvisasi akan membebaskan siswa
mempunyai pengalaman baru. Dengan
demikian pengetahuan siswa sendiri
merupakan salah satu dari fungsi
improvisasi. Selain itu, improvisasi
adalah penting sebagai perantara untuk
pengembangan
kepekaan.
Hasil
improvisasi
akan
mampu
mengembangkan kepekaan terhadap
gerak, ruang dan waktu, terhadap diri
sendiri maupun orang lain. Menurut
Cheney (1999), improvisasi dapat
mencapai status seni karena akhir dari
improvisasi dapat memiliki tujuan
artistik. Improvisasi adalah suatu
spontanitas
karya
seni
karena
mempunyai perasaan yang benar-benar
utuh.
Improvisasi dibedakan menjadi
dua, yaitu terstruktur dan bebas
(nonstruktur). Improvisasi bebas adalah
tanpa pokok persoalan, tanpa peralatan
yang terlarang, dan tanpa membatasi
ketentuan.
Dalam
improvisasi
terstruktur, guru akan memberikan
komando atau arahan gerak yang harus
dilakukan siswa. Misalnya melalui tema
(seperti
menirukan
binatang,
mengekspresikan gerak orang sedih dan
gembira, dan alam lingkungan), melalui
bagian anggota tubuh yang harus
digerakkan siswa, bisa juga dari
menirukan/mengembangkan
gerak
yang dicontohkan oleh gurunya.
Dengan demikian siswa akan memiliki
pengalaman bagus dalam keterampilan
berimprovisasi dan menirukan, serta
menyadari bahwa dirinya bekerja dalam
keterbatasan-keterbatasan.
Berbeda
dengan improvisasi bebas, siswa
berusaha mengarahkan diri sendiri
bergerak terus menerus tetapi tetap
dalam kesadaran untuk membentuk
gerak menjadi tari. Dalam konteks ini
guru berperan mengarahkan agar siswa
bisa menyusun gerak improvisasinya
menjadi sebuah bentuk tari.
Dalam pembelajaran terdapat
berbagai model dengan pengkategorian
yang
beragam.
Misalnya
pengkategorian model pembelajaran
dengan nama model interaksi sosial,
model pengolahan informasi, model
personal-humanistik,
dan
model
modifikasi tingkah laku. Ada pula yang
mengklasifisikan model pembelajaran
dengan sebutan tidak langsung (nondirective teaching), pelatihan kesadaran
(awareness training), dan pertemuan
kelas (classroom meeting). Sungguhpun
demikian, model pembelajaran pada
dasarnya
merupakan
bentuk
pembelajaran yang tergambar dari awal
sampai akhir yang disajikan secara khas
oleh guru (Uno, 2009). Jadi model
pembelajaran merupakan bungkus atau
bingkai
dari
penerapan
suatu
pendekatan, materi, metode dan teknik,
serta evaluasi pembelajaran.
Laban (1976) mengemukakan 16
tema dalam mencipta gerak tari sebagai
kegiatan kreatif untuk anak, yaitu (1)
tema tentang kesadaran badan (tubuh),
(2) tema tentang kedasaran bobot dan
waktu, bahwa gerak yang dilakukan
dari seluruh bagian tubuh manapun,
seperti kuat dan ringan, (3) tema
kesadaran terhadap ruang, yakni
perbedaan antara gerak yang sempit
dan luas, (4) tema kesadaran tentang
alur dan berat badan dalam ruang dan
waktu, (5) tema menyesuaikan dengan
pasangan,
seperti
respon
satu
individu/kelompok bergerak dengan
pasangan
lawannya,
(6)
tema
penggunaan dan kegunaan anggota
tubuh, (7) tema tentang tindakan sendiri
yang pengembangan kemampuan. Satu
urutan berhenti mendadak, sedangkan
gerak lain terus dijalankan secara
berangkai, (8) tema tentang ritme, yakni
kepekaan irama yang diperkuat dengan
gerak penuh tenaga, (9) tema tentang
bentuk gerakan, seperti membuat polapola yang kecil dan luas, (10) tema
tentang kombinasi delapan tindakan
usaha dasar, yaitu tema yang berisi
antara dua atau beberapa tindakan
dengan tujuan meremas, menekan,
meluncur, mengapung, menyentuh dan
sebagainya, (11) tema dengan orientasi
ruang, misalnya membuat pola bentuk
sudut, lingkaran, segitiga, zigzag, dan
anak diberi arahan, (12) tema tentang
bentuk dan usaha yang menggunakan
bagian tubuh yang berbeda, seperti
kombinasi gerak kaki, lengan, kepala
kemudian berubah dan bervariasi
dalam satu rangkaian tindakan, (13)
tema mengangkat badan dari bawah
(tanah), seperti gerak meloncat tinggi,
melompat jauh sebagai kegiatan tari
melewati udara, (14) tema tentang
merasakan bersama dalam gerak, (15)
tema formasi kelompok, (16) tema
dengan
kualitas
ekspresi
atau
merasakan gerakan. Misalnya ungkapan
gerak dapat dipahami sebagai ekspresi
dari suasana hati, gerak ekspresi
tergantung dari beberapa faktor lokasi
ruang, bentuk, isi, dinamika, dan usaha.
Tari sebagai suatu pengalaman
kreatif adalah ekspresi manusia yang
paling dasar. Manusia berpikir dan
merasakan ketegangan dan ritme alam
sekitarnya melalui tubuh sebagai
instrumennya.
Dorongan
manusia
untuk berkomunikasi lewat gerakan,
tindakannya
dikendalikan
oleh
motivasi-motivasi yang kadangkala
bersifat sosial dan pada saat lain bersifat
ekspresif. Unsur utama dalam tari
adalah dorongan mencipta. Dorongan
untuk
merasakan,
menemukan,
berhubungan, mencapai puncak dalam
kegiatan kreatif. Penari selama proses
mencipta, membutuhkan eksplorasi
dunia inderanya, kognitifnya, dan
afektifnya. Dari eksplorasi itu muncul
ekspresi unik dalam bentuk tari
(Hawkins 1988). Lebih jauh Hawkins
juga berbicara tentang pengembangan
kreativitas,
peningkatan kesadaran
estetis, bergerak dengan kontrol dan
mencipta dengan membentuk. Konsep
dari Hawkins tersebut sangat berguna
untuk pembelajaran tari siswa, terutama
konsep
pembentukan
tari
bagi
konsumsi siswa sekolah dasar.
Berikut ini dikemukakan kerangka
berpikir model pembelajaran tari pendidikan
seperti berikut ini.
MODEL PEMBELAJARAN TARI PENDIDIKAN
Gerak tari yang merefleksikan:
• Pikiran
• Perasaan
• Media komunikasi
Materi Pembelajaran Gerak:
• Kesadaran tubuh
• Penguasaan gerak dasar
• Pengembangan gerak
METODE EKSPLORASI
(IMPROVISASI)
Arah Pembelajaran tari:
• Menyenangkan
• Kreatif
• Komunikatif
• Estetis
Penjelasan diagram di atas adalah :
Kotak
tengah
pembelajaran
tari
pendidikan melalui metode eksploratifimprovisasi. Materi pembelajaran gerak
mencakup: kesadaran tubuh adalah
kesadaran siswa terhadap bagian tubuh
yang bergerak; penguasaan gerak dasar
artinya siswa memahami teknik dalam
bergerak; dan pengembangan gerak
adalah kemampuan siswa membuat
variasi dari gerak yang dikuasainya.
Gerak tari yang merefleksikan maksud
pikiran, perasaan yang dikehendaki
siswa, dan untuk tujuan komunikasi atas
maksud dan kehendaknya. Arah
pembelajaran tari meliputi 4 aspek,
yaitu: menyenangkan artinya ada
kegairahan siswa dalam mengikuti
pelajaran dari awal sampai akhir dan
tidak bosan; kreatif dalam arti terampil
Perkembangan Kepribadian siswa:
• Percaya diri
• Kepedulian
• Toleransi
• Tanggung jawab
melakukan
gerak
dan
variatif,
pengungkapannya ekspresif, memiliki
persepsi,
pengetahuan,
mampu
menganalisis gerak yang ke dalam
bentuk gerak estetis; komunikatif artinya
mudah dipahami/dihayati dan runtut; dan
estetis dalam arti gerakannya menarik
dan indah. Pengembangan kepribadian,
yaitu percaya diri adalah mempunyai
rasa
bangga,
berani,
mampu
mengendalikan emosi, berkembang
imajinasi dan kreativitasnya. Kepedulian
artinya memiliki perhatian terhadap
segala sesuatu (orang, benda) di
sekitarnya dan tidak sombong. Toleransi
yakni memiliki sikap selalu menghargai
orang lain. Tanggung jawab adalah
memiliki kemandirian, konsekuen, dan
mudah berinteraksi. Keempat kotak
dikelola dengan
improvisasi.
metode
eksplorsi-
METODE
Penelitian ini bersifat kualitatif,
yaitu ingin mendeskripsikan berbagai
fenomena yang berhubungan dengan
model pembelajaran tari pendidikan
pada Sekolah Dasar di kabupaten
Semarang. Sumber data penelitian
meliputi: (1) Nara sumber atau orang
yang terlibat langsung maupun tidak
langsung dalam peroses pembelajaran
tari, yaitu guru kelas, guru tari, kepala
sekolah; (2) Proses pembelajaran tari
mencakup materi tari, kemampuan guru,
perilaku siswa, dan sumber daya
lingkungan. Data penelitian diambil dari
hasil studi pustaka, wawancara, dan
pengamatan langsung terhadap proses
pembelajaran tari di sekolah dasar (SD).
Semula penelitian ini akan
dilakukan pada sepuluh SD yakni SD
Isriati Ungaran, SD Leyangan Ungaran,
SD Negeri Karangjati 03 dan 04 Bergas,
SD Negeri 02 dan 04 Ungaran, SD
Negeri Sidomulyo 3 Ungaran, SD
Negeri Sidomulyo 4 Ungaran, SD
Negeri Candirejo Ungaran, SD Negeri
Gedanganak 1, tetapi karena ada
masalah teknis sehingga hanya tiga SD
yang diteliti, yaitu
SD Negeri
Karangjati 03 dan 04 Bergas, dan SD
Negeri Gedanganak. Masalah teknis
yang dimaksud adalah ada beberapa SD
yang guru seni tari sama, artinya bila
guru kelas tidak memiliki kemampuan
mengajar tari meminjam guru tari dari
SD lain.
Sasaran penelitian ini adalah
model pembelajaran tari pendidikan
pada sekolah dasar di kabupaten
Semarang. Model pembelajaran tari
pendidikan
mencakup
materi
pembelajaran gerak (kesadaran tubuh,
penguasaan gerak dasar, pengembangan
gerak);
gerak yang merefleksikan
pikiran,
perasaan,
dan
media
komunikasi; arah pembelajaran tari
(menyenangkan, kreatif, komunikatif,
dan estetis); perkembangan kepribadian
siswa yang muncul dalam proses
pembelajaran (percaya diri, kepedulian,
toleransi, dan tanggung jawab).
Teknik
Pengumpulan
Data
dilakukan melalui studi pustaka,
observasi, dan wawancara. Studi pustaka
difokuskan untuk memperoleh informasi
yang berkait langsung dengan sasaran
dan objek penelitian, terutama konsep
yang dapat dimanfaatkan sebagai
kerangka pemikiran. Studi pustaka
berupa hasil penelitian dan literatur lain
yang berhubungan dengan persoalan
pendidikan seni, seperti jurnal dan
laporan hasil penelitian. Bahan informasi
dari media cetak dicek relevansinya
dengan data primer dan diperiksa
keakuratannya. Pengamatan dilakukan
secara
langsung
pada
proses
pembelajaran tari di sekolah dasar, baik
pengamatan pada siswa belajar maupun
guru
mengajarkan
tari.
Fokus
pengamatan
meliputi
materi
pembelajaran gerak (kesadaran tubuh,
penguasaan gerak dasar, pengembangan
gerak);
gerak yang merefleksikan
pikiran,
perasaan,
dan
media
komunikasi; arah pembelajaran tari
(menyenangkan, kreatif, komunikatif,
dan estetis); perkembangan kepribadian
siswa yang muncul dalam proses
pembelajaran (percaya diri, kepedulian,
toleransi,
dan
tanggung
jawab).
Wawancara dilakukan untuk melengkapi
informasi yang telah diperoleh dari
sumber
tertulis
maupun
hasil
pengamatan. Hal ini dimaksudkan untuk
memperoleh keakuratan data atau bila
ada
informasi
yang
meragukan.
Wawancara dilakukan secara langsung
dan terbuka guna mendapatkan data
primer. Nara sumber yang dipilih adalah
para pengajar tari di sekolah dasar dan
kepala sekolah. Kegiatan wawancara
dilakukan di luar maupun di dalam kelas.
Analisis data dilakukan dengan
menggunakan metode analisis deskriptif
kualitatif. Adapun langkah analisis data
dimulai dari pengumpulan data. Data
yang telah terkumpul dikelompokkan
dan diorganisasikan sesuai sifat dan
kategori data. Untuk mengantisipasi data
yang bias dilakukan pemeriksaan
keabsahan data. Keabsahan data
dilakukan dengan cara menyinkronkan
antara
data
pengamatan
proses
pembelajaran tari di kelas dan data
wawancara. Dengan demikian antara apa
yang diperintahkan oleh guru dengan
apa yang dilakukan siswa harus sesuai
dengan tujuan pembelajaran yang sudah
ditetapkan. Kesesuaian tersebut tentu
telah mengindikasikan model macam
apa yang telah diterapkan oleh guru
dalam pembelajaran tari di kelas.
Selanjutnya dilakukan empat tahapan
analisis, yaitu reduksi data, penyajian
data, penarikan simpulan, dan verifikasi
penelitian secara simultan. Dengan
demikian model analisis yang digunakan
dalam penelitian ini adalah analisis
interaktif (Miles dan Huberman, 1984).
HASIL DAN PEMBAHASAN
Materi Pembelajaran Gerak Tari
Sasaran pembelajaran gerak tari
meliputi kesadaran siswa tentang
eksistensi dan fungsi anggota tubuhnya,
penguasaan
gerak
dasar,
dan
pengembangan gerak yang dilakukan
oleh siswa.
Kesadaran Eksistensi dan Fungsi
Anggota Tubuhnya
Hasil pengamatan menunjukkan
bahwa tari pendidikan yang diajarkan di
SD lebih menekankan pada tari ekspresif
(expresive
dance),
sedangkan
pembelajaran tari kreatif (creative
dance) porsinya hanya sedikit. Jika
dibandingkan, diperkirakan 70% untuk
tari ekspresif (bentuk tari yang sudah
ada) dan 30% untuk tari kreatif (tari
pengembangan kreativitas siswa). Hal
ini tampak dari cara guru dalam
mengajar tari dengan memberikan tari
bentuk baik tari yang sudah ada maupun
tari hasil susunan (koreografi) dari guru,
seperti lagu anak yang diberi gerakan
tertentu. Gerak tari yang diajarkan
memang telah disesuaikan dengan
tingkat perkembangan siswa SD, yaitu
gerak-gerak
sederhana
seperti
melambaikan tangan disertai jalan
kemudian menggelengkan kepala dan
memutarkan badan. Dengan gerakan
yang sederhana seperti itu dimaksudkan
agar siswa mampu menyesuaikan diri
selaras dengan kesadaran terhadap
anggota tubuh yang dimilikinya.
Sebagaimana yang dikemukakan oleh
seorang guru bahwa:
Saya mengajarkan tari untuk anakanak dengan gerak yang sederhana
dan akrab dengan gerakan
permainan yang biasa mereka
lakukan, seperti berlari, memutar,
jongkok,
mengacung-acungkan
tangan, menggelengkan kepala dan
sebagainya. Saya mencari lagulagu anak kemudian saya beri
gerak-gerak tari dan kemudian
saya ajarkan kepada anak-anak.
Mereka menirukan contoh gerakan
yang saya berikan (Wawancara
dengan ibu Ratna, 28 Juni 2010).
Pembelajaran
seperti
itu
menunjukkan respons siswa atas gerak
tari yang dicontohkan oleh guru sangat
baik. Artinya siswa mampu melakukan
gerak yang diberikan oleh guru.
Sebaliknya guru tampak mampu
menyadarkan siswa terhadap potensi
kesadaran dan ekspresi atas anggota
tubuh mereka yang diungkapkan melalui
gerak tari. Ekspresi gerak yang mereka
ungkapkan tentu saja tidak terlepas dari
cara berpikir dan merasakan menurut
tafsir setiap siswa. Kenyataan ini
tampaknya sesuai dengan pendapat
Burton (dalam Kraus 1977) bahwa
proses pembelajaran tari menekankan
pada kesadaran tubuh dan diri siswa,
penguasaan keterampilan gerak dasar
maupun
pengembangan
geraknya
merupakan pelajaran terpadu yang
mampu memberi kontribusi berupa
pengembangan respon gerak yang efektif,
efisien, dan ekspresif dalam diri siswa
untuk mengungkapkan pikiran dan
perasaan yang dikomunikasikan kepada
orang lain. Sungguh pun demikian untuk
mencapai kemampuan keterampilan tari
yang
diharapkan,
siswa
belum
sepenuhnya bisa mencapainya. Hal ini
lebih disebabkan oleh terbatasnya waktu
pelajaran seni tari yang rata-rata hanya
satu sampai dua jam setiap minggu.
Selain itu juga kompetensi guru dalam
memotivasi dan berkomunikasi dengan
para siswa. Kendala terakhir ini terutama
terjadi pada guru kelas yang cenderung
kurang memiliki kompetensi dalam
bidang tari.
Tari kreatif diajarkan guru
melalui cerita-cerita yang menarik dan
kemudian
siswa
diminta
untuk
mengembangkan cerita yang bersumber
dari lingkungan sekitarnya. Contohnya
ketika guru bercerita tentang kehidupan
binatang (menthok, anjing, kucing,
burung) beserta karakteristiknya. Secara
spontan (improvisasi) siswa merespon
dengan cara bertanya, berceloteh,
tertawa, bahkan sedikit ribut dengan
temannya
ketika
seorang
teman
mempunyai pendapat lain. Bentuk
respons siswa tampak dari ungkapan
berikut ini. ”Aman berceletuk, Wulan di
rumahmu apa ada (binatang) menthok?
Gak ada, yang ada bebek”. Tiba-tiba
Linda menyahut dengan berkata ” kalau
di tempatku yang banyak ayam tapi aku
suka kucing”. Inilah salah satu bentuk
respons siswa atas cerita guru. Setelah
guru selesai bercerita kemudian guru
meminta tiga atau empat siswa untuk
berdiri di depan kelas dan mencoba
menirukan gerakan menthok, tentu
dengan gerak improvisasi menurut tafsir
siswa yang sedang maju di depan kelas,
sedangkan siswa lainnya menyanyikan
lagu Menthok-menthok, seperti syair
berikut ini:
Menthok menthok tak kandhani.
Mung rupamu angisin-ngisini.
Mbok ya aja ngetok ana kandhang
wae.
Enak-enak ngorok ora
nyambut
gawe.
Menthok
menthok ......Mung lakumu megalmegol gawe nguyu
Fenomena yang terjadi dalam
proses pembelajaran tari kreatif tersebut
di atas relevan dengan pernyataan Laban
(1976), bahwa pembelajaran tari kreatif
tidak berorientasi pada hasil akhir atau
menghasilkan sebuah pertunjukan yang
bernilai seni tinggi, karena setiap anak
memiliki dorongan alamiah untuk
menampilkan
gerakan-gerakan
seperti ’tarian’ dan secara tidak disadari
hal itu merupakan cara yang baik untuk
memperkenalkan tari sejak dini pada diri
anak, serta memberi kesempatan kepada
anak
untuk
mengembangkan
kemampuan berekspresi secara spontan
melalui gerakannya (free dance). Tugas
sekolah (guru) dalam menyelenggarakan
tari kreatif mencakup dua hal, yaitu (1)
membimbing
siswa
untuk
menumbuhkan spontanitas gerak, dan
(2)
membimbing
siswa
belajar
memahami
prinsip-prinsip
untuk
melakukan dan menguasai geraknya.
Namun demikian, selama penelitian
belum ditemukan data yang mengungkap
tentang bagaimana guru membimbing
siswa belajar memahami prinsip-prinsip
untuk melakukan dan menguasai
geraknya. Guru kurang memperhatikan
secara detail gerakan yang dilakukan
para siswanya yang indikasinya guru
tidak
pernah
mengecek
atau
membenarkan bagaimana sebaiknya
gerakan tertentu itu dilakukan. Ketidak
pedulian ini barangkali menurut guru
yang penting siswa mau mengikuti dan
terlibat
belajar
tari.
Padahal
sesungguhnya model pembelajaran tari
kreatif harus lebih besar prosentasenya
daripada model pembelajaran tari
ekspresif karena lebih sesuai dengan
tujuan pendidikan seni bagi anak
setingkat Taman Kanak-kanak dan
Sekolah Dasar.
Penguasaan Gerak Dasar
Selama pengamatan penelitian
berlangsung, guru hampir tidak pernah
memberikan contoh gerak-gerak dasar
menari,
artinya
guru
langsung
memberikan materi tari yang sudah
tersusun (tari bentuk) maupun yang
disusun dari hasil koreografi sang guru.
Kenyataan ini tentu kurang tepat bila
guru ingin menerapkan jenis maupun
bentuk tari ekspresif, yang sudah ada
koreografinya.
Tari
ekspresif
membutuhkan kepatuhan dan kesesuaian
dengan materi tari yang dibelajarkan.
Misalnya ketika guru mengajarkan tari
Prajuritan, maka siswa dituntut bisa
memeragakan kaidah tari Prajuritan,
seperti tata urutan, sikap dan bentuk
geraknya, kesesuaian iringan, pola lantai
yang telah ditetapkan dalam koreografi
tari Prajuritan. Untuk bisa menarikan tari
Prajuritan dengan baik harus menguasai
dasar
geraknya
terlebih
dahulu,
kemudian mengikuti atau mematuhi
kaidah-kaidah koreografi tari Prajuritan
sebagaimana dituturkan seorang guru
berikut ini:
“saya mengajarkan tari kepada
anak-anak
sesuai
dengan
kurikulum yang berlaku sekarang.
Saya mencoba memahami dan
mempraktikkan sesuai dengan
pemahaman saya. Jadi yang saya
ajarkan ya keterampilan gerak
meskipun saya tidak menuntut
anak mampu (terampil) seperti
gerakan yang saya contohkan, tapi
bila bentuk geraknya sudah jelas
itu sudah cukup” (Wawancara 6
Oktober 2010).
Penguasaaan dasar gerak yang
kurang memadai tentu berdampak pada
bentuk gerakan yang dilakukan siswa.
Boleh jadi siswa secara spontan bergerak
menurut kehendak dirinya sendiri
sehingga bentuk dari gerak siswa tampak
kurang estetis bila dilihat dari keindahan
sikap dan gerak tari. Hal itu bisa
bermasalah untuk jenis materi tari
ekspresif karena tidak sesuai dengan
koreografi tarinya.
Pengembangan Gerak yang dilakukan
oleh siswa
Pengembangan
gerak
yang
dilakukan oleh siswa tampak dari
respons siswa ketika guru selesai
bercerita tentang tema alam, binatang,
dan lingkungan. Sebagai contoh ketika
guru bercerita tentang kehidupan
binatang Menthok. Setelah selesai
bercerita beberapa siswa diminta maju
ke depan kelas untuk mencoba
memeragakan atau mengekspresikan
gerak menthok menurut tafsir masingmasing siswa. Sebagaimana penuturan
seorang guru berikut ini. ”Anak-anak
sudah mendengar cerita ibu, sekarang
coba kalian praktikkan dengan gerakan ...
kepala juga digerakkan jangan hanya
kaki dan tangan saja”.
Dalam pengembangan gerak ini
guru memilih menerapkan metode
bermain dalam pembelajaran tari. Hal ini
terlihat dari perilaku guru yang sering
ikut melibatkan diri ke dalam gerakan
spontan yang dilakukan siswanya. Guru
juga sering mengamati gerakan siswa
seraya melihat dari segi kesadaran
terhadap anggota tubuh siswa, respons
antarsiswa dalam melakukan gerakan
(saling
menyesuaikan
antarteman),
kesadaran ruang, kesadaran ritme,
bentuk geraknya. Bila guru menemukan
gerakan siswa yang kurang sesuai
dengan iringan, irama, guru langsung
berteriak untuk mengingatkan. Misalnya
dengan mengatakan ”ayo anggota tubuh
yang lain juga digerakkan, jangan hanya
kaki dan tangan saja tetapi juga
badannya, kepalanya, coba lihat gerakan
temanmu yang berada di depanmu”.
Pengembangan
gerak
yang
dilakukan oleh para siswa tersebut di
atas bila dianalisis atau dihubungkan
dengan 16 tema yang dikemukakan oleh
Laban (1976) dalam mencipta gerak tari
sebagai kegiatan kreatif untuk anak
sudah bisa dilaksanakan meskipun
belum sepenuhnya. Dari keenam belas
tema dari Laban, guru sekolah dasar
(SD) telah mampu menyadarkan siswa
untuk mengerti dan memahami tentang
kesadaran badan (tubuh). Bagi anak
yang sedang berkembang cenderung
untuk bermain dengan menggunakan
kaki, tangan kepala, dan bagian daerah
tubuh yang lain untuk bergerak dan
menari. Guru juga telah memberikan
arahan tentang ruang, irama, kerja sama
saling menyesuaikan dengan di antara
para siswa ketika bergerak tari.
Mengenai ritme, yakni guru mampu
menumbuhkan kepekaan irama yang
diperkuat dengan gerak penuh tenaga
dan bentuk gerakan, seperti membuat
pola-pola yang kecil dan luas.
Sebaliknya
siswa
telah
mampu
mengembangkan kemampuan melalui
peragaan gerak yang dilakukannya. Satu
urutan berhenti mendadak, sedangkan
gerak lain terus dijalankan secara
berangkai, tentang bentuk dan usaha
yang menggunakan bagian tubuh yang
berbeda. Formasi kelompok dengan
kualitas ekspresi atau merasakan gerakan
tertentu juga telah diterapkan kepada
siswa.
Sungguhpun
belum
bisa
melakukan semua yang diusulkan Laban
tetapi guru telah berupaya untuk
membelajarkan siswa secara kreatif.
Refleksi Isi Gerak
Refleksi isi gerak adalah gerak
yang dilakukan para siswa merefleksikan
alam pikiran, perasaan, dan media
komunikasi
bagi
diri
mereka.
Sebagaimana telah dipaparkan di depan
bahwa siswa mampu menirukan atau
mengikuti gerakan yang dicontohkan
oleh
gurunya
meskipun
bentuk
gerakannya tidak selalu bisa sama persis
dengan apa yang dicontohkan oleh
gurunya. Ini terutama terjadi pada materi
tari ekspresif (bentuk tari yang sudah
ada). Setiap siswa mempunyai bentuk
gerak dan cara bergerak menurut gaya
pribadi masing-masing siswa. Ekspresi
gerak yang mereka ungkapkan tentu saja
tidak terlepas dari cara berpikir dan
merasakan menurut tafsir setiap siswa.
Kegiatan meniru atau mengikuti contoh
juga merupakan aktivitas belajar yang
memerlukan daya pikir, daya rasa, dan
kemampuan persepsi dan apresiasi siswa
atas hasil komunikasinya dengan
gurunya. Hal ini tampak pada diri siswa
yang sangat
menikmati iringan
kemudian merespons dengan gerak. Dari
sini pula komunikasi antarsiswa terlihat
sangat baik karena di antara siswa ada
kepedulian untuk saling mengingatkan.
Sebagaimana celoteh Siti “E Linda
gerakmu tidak sama dengan gerak bu
guru“. Linda yang semula melihat
gerakan
temannya
kemudian
mengalihkan
perhatiannya
kepada
gurunya. Berbeda komentar Maman
yang mengontrol gerakan Aman, “He
Aman ayo geraknya disamakan dengan
gerak kita (Linda, Siti, Maman)”. Aman
segera melihat teman yang lain untuk
menyamakan
gerakannya.
Dalam
konteks komunikasi ini memang ada dua
atau tiga siswa yang kurang peduli
dengan contoh yang diberikan oleh guru.
Boleh jadi mereka lelah, bosan sehingga
asyik bermain sendiri.
Dalam membangun kreativitas
berpikir, kemampuan berkomunikasi,
dan pengenalan gerak estetis kepada
siswa. Guru membelajarkan tari kreatif
melalui cerita-cerita yang menarik dan
kemudian
siswa
diminta
untuk
mengembangkan cerita yang bersumber
dari lingkungan sekitarnya (creative
thinking), ketika guru bercerita tentang
kehidupan binatang (menthok, anjing,
kucing, burung) beserta karakteristiknya.
Setelah guru selesai bercerita kemudian
guru meminta tiga atau empat siswa
untuk berdiri di depan kelas dan
mencoba
memeragakan
gerakan
menthok, sedangkan siswa lainnya
menyanyikan lagu Menthok-menthok.
Fenomena ini jelas menunjukkan ada
proses pembelajaran tari kreatif tersebut
relevan
dengan
upaya
memberi
kesempatan yang luas kepada siswa
untuk mengembangkan kemampuan
berekspresi secara spontan melalui
gerakannya (free dance). Kemampuan
berekspresi inilah merupakan bentuk
refleksi kemampuan siswa dalam hal
berpikir, merasakan, dan berkomunikasi
lewat ekspresi gerak tarinya. Sebab
pembelajaran tari kreatif memang tidak
berorientasi pada hasil akhir atau
menghasilkan sebuah pertunjukan yang
bernilai seni tinggi, melainkan usaha
untuk memperlihatkan dorongan alamiah
para
siswa.
Barangkali
kegiatan
pembelajaran
tari
kreatif
ini
merefleksikan pernyataan Hawkins
(1988) tentang eksplorasi dari para siswa
itu mampu memunculkan ekspresi unik
dalam bentuk tari. Dorongan untuk
merasakan, menemukan, berhubungan,
mencapai puncak dalam kegiatan kreatif.
Penari
selama
proses
mencipta,
membutuhkan
eksplorasi
dunia
inderanya, kognitifnya, dan afektifnya.
Bagi Hawkins pengembangan kreativitas,
peningkatan kesadaran estetis, bergerak
dengan kontrol, dan mencipta dengan
membentuk merupakan hal penting
dalam pembelajaran tari kreatif.
Arah Pembelajaran Tari di Sekolah
Pembelajaran tari adalah proses
pembelajaran tari yang senantiasa
mengutamakan
pembelajaran
yang
menyenangkan, kreatif, komunikatif, dan
estetis. Dengan model pembelajaran
seperti itu mampu mengembangkan
kepribadi siswa terutama berkaitan
dengan nilai-nilai kepercayaan diri,
kepedulian, toleransi, dan nilai tanggung
jawab. Pembelajaran tari di sekolah
dasar
diselenggarakan
secara
intrakurikuler
dan
ekstrakurikuler.
Namun
penelitian
ini
lebih
memfokuskan
pada
kegiatan
intrakurikuler karena lebih berorientasi
kepada pengembangan kepribadian
siswa, sedangkan pembelajaran tari pada
ekstrakurikuler lebih mengutamakan
siswa terampil menari.
Pembelajaran
tari
yang
menyenangkan terlihat dari respons
siswa yang sangat bergairah dan aktif
merespon perintah guru. Berdasarkan
pengamatan, menunjukkan bahwa setiap
ada pelajaran menari, siswa terlihat
sangat antusias mengikuti, bahkan
situasi kelas terlihat hidup dan dinamis
(ramai, rileks, dan menyenangkan).
Siswa seolah-olah merasa seperti
bermain dengan teman ketika belajar
menari. Oleh karena itu mereka terlihat
tidak pernah bosan mengikuti, hanya
beberapa siswa yang kurang bergairah
karena memang sedang merasa lelah dan
tidak suka dengan tari. Seperti kata Andi
yang mengaku “saya tidak suka menari
karena menari hanya cocok untuk
perempuan, laki-laki ya olah raga”.
Pembelajaran kreatif terutama
tampak ketika guru memberi perintah
kepada
siswa
agar
mencoba
mengekspresikan gerak menurut apa
yang mereka pikirkan. Guru hanya
memberikan aba-aba seperti bagaimana
gerak
angin,
gerak
gelombang,
bagaimana gerak pohon yang tertiup
angan, bagaimana katak melompat, dan
sebagainya. Siswa berusaha keras untuk
menggambarkan gerakan berdasarkan
aba-aba dari sang guru. Pembelajaran
motorik seperti itu tentu sangat
bermanfaat
untuk
membangkitkan
kesadaran siswa dalam hal berpikir,
berkehendak, dan merasakan tentang
sesuatu yang menarik perhatian diri
mereka. Pembelajaran komunikatif
tampak dari perhatian siswa terhadap
perintah guru yang kemudian merespons
dengan cara berusaha memahami dan
melakukan gerak tari secara runtut.
Aspek
komunikatif
juga
terjadi
antarsiswa,
indikasinya
bahwa
antarsiswa saling terjadi komunikasi,
seperti saling mengingatkan bila gerakan
tidak sama, mengingatkan ketika salah
menirukan gerak yang dicontohkan
gurunya. Pembelajaran estetis terungkap
ketika para siswa tertarik dengan gerak
yang dicontohkan oleh guru dan
berupaya untuk menirukan sepenuh hati.
Keinginan
untuk
meniru
mengindikasikan adanya ketertarikan
pada gerak yang dicontohkan, bila tidak
ada ketertarikan kiranya tidak mungkin
siswa mau menirukan. Ketertarikan
inilah merupakan aspek estetik dalam
belajar tari, apalagi bila gerakan tari
memiliki kelucuan yang mampu
membangkitkan semangat siswa. Jadi
terdapat indikasi bahwa siswa belajar
tari seolah-olah mereka juga merasa
bermain dengan teman-temannya.
Pengembangan Kepribadian Siswa
Pengembangan
kepribadian
siswa merupakan upaya pembelajaran
yang mengarah kepada perkembangan
kepribadian siswa yang muncul dalam
proses pembelajaran, seperti percaya diri,
kepedulian, toleransi, dan tanggung
jawab. Nilai dan makna percaya diri,
kepedulian, toleransi, dan tanggung
jawab bisa muncul dalam jenis tari
ekspresi maupun jenis tari kreatif.
Rasa percaya diri siswa tampak
dari kondisi pembelajaran yang rileks,
pemberian motivasi dan perasaan bangga,
memberikan peluang yang luas kepada
siswa
untuk
berekspresi
dan
bersosialisasi. Kondisi belajar tari harus
rileks, artinya tidak ada ketegangan
dalam belajar, bahkan perlu selalu
berusaha menghadirkan suasana yang
menyenangkan, seperti bermain. Hal ini
penting agar ada komunikasi yang akrab
antara guru dan siswa, sebagaimana
telah dicontohkan mengenai perilaku
guru yang seakan-akan sebagai teman
bermain para siswa. Apabila seorang
guru tari mengharapkan bahwa dengan
belajar menari siswa akan memperkaya
pengalaman sehingga mampu memacu
kemampuan siswa, maka guru harus
memberikan berbagai rangsangan yang
terkait dengan minat siswa. Jika siswa
telah berminat pada kegiatan menari,
guru harus bisa memberikan gerakan tari
yang menarik beserta iringan yang
membangkitkan selera siswa. Hal ini
telah dilakukan guru dengan memilih
lagu anak untuk mengiringi gerak tari
yang disusunnya, seperti lagu Burung
Kuthilang, Menthok, dan lagu Alamku
yang indah. Sosialisasi dapat muncul
ketika siswa belajar tari secara
berkelompok karena selain di antara
siswa dalam kelompok menari itu harus
saling mengenal, saling menyesuaikan
perasaannya, saling menjaga hubungan
komunikasi yang baik. Bila itu tidak
terjadi dapat dipastikan bahwa mereka
tidak mungkin bisa kompak dalam
menari.
Tindakan
guru
untuk
menumbuhkan rasa percaya diri pada
para siswa seperti itu nampaknya tidak
jauh berbeda dengan hasil penelitian
Nurharini (2003), bahwa percaya diri
dapat dipupuk dengan cara memberikan
anak suasana rileks, memberi peluang
yang luas kepada siswa agar berani dan
mampu
berekspresi,
berkreasi,
bersosialisasi, dan tidak henti-hentinya
memberikan motivasi.
Kepedulian sering tampak ketika
siswa belajar menari secara bersama atau
berkelompok.
Menari
secara
berkelompok (tiga atau empat orang) di
antara teman mereka sering saling
mengingatkan, bahkan siswa yang tidak
sedang menari juga sering menegur
temannya bila ada di antara kelompok
yang menari itu melakukan kesalahan.
Seperti
Aman
dengan
teriak
mengatakan: “hai Siti gerakanmu
disamakan dengan Ani dan Dwi”.
Toleransi terlihat ketika ada siswa
menari yang seharusnya memakai
property tetapi tidak memakainya, tidak
jarang
teman
yang
lain
ikut
mengingatkan, bahkan memberikan
property yang seharusnya dikenakan.
Demikian juga bila ada salah seorang
siswa belum maju ke depan kelas untuk
menari, maka teman yang lain selalu
menyuruh untuk menari, dan kalau tidak
mau ada saja teman lain melaporkan
kepada
gurunya.
Seperti
yang
dinyatakan oleh Maman. “bu guru, Budi
belum maju, itu di belakang”. Sang guru
pun menjawab “ayo Budi maju ke depan
tidak usah takut dan malu karena pasti
kamu bisa”. Contoh tersebut cukup
memberikan petunjuk bahwa belajar
menari
secara
bersama
dapat
menumbuhkan sikap toleransi kepada
siswa melalui pembelajaran tari.
Tanggung jawab merupakan
sikap yang memungkinkan seseorang
memiliki keberanian melakukan sesuatu
yang dinilainya baik, dan berani
menanggung resiko apapun, yang timbul
setelah yang bersangkutan melakukan
suatu perbuatan (Halim 2002). Rasa
tanggung jawab dapat terbentuk melalui
kegiatan menari, seperti ketaatan
terhadap
perintah
guru
dan
keikutsertaannya menari itu sendiri.
Ketaatan yang dimaksud tampak ketika
guru memerintah siswa untuk berbaris,
berjajar, dan menirukan contoh gerak
tari dari Sang guru. Keikutsertaan
menari tampak ketika siswa berusaha
keras agar dapat mengikuti gerak yang
dicontohkan oleh gurunya. Apabila
siswa tidak bertanggung jawab, yang
muncul adalah keributan atau ramai
sendiri di dalam kelas. Jika hal itu terjadi,
guru tidak perlu menghukum dengan
berbagai bentuk kekerasan, tetapi cukup
memberi penjelasan apa saja yang akan
terjadi bila ada anak tidak bertanggung
jawab dalam menciptakan kondisi
belajar yang tertib. Dengan kata lain rasa
tanggung jawab akan tumbuh seiring
dengan tumbuhnya kesadaran terhadap
perilaku yang diekspresikan dalam
menciptakan kondisi belajar yang tenang
dan menghargai sesama teman yang
sedang belajar menari.
Evaluasi
Evaluasi guru terhadap siswa
dalam pembelajaran tari meliputi
observasi
terstruktur
maupun
nonstruktur. Evaluasi terstruktur untuk
mengevaluasi jenis tari ekspresif, sedang
evaluasi nonstruktur untuk mengevaluasi
jenis tari kreatif.
Evaluasi pada tari ekspresif
(observasi terstruktur) dapat dijelaskan
ketika siswa menirukan gerakan gurunya,
dalam hal ini tari yang sudah ada (tari
bentuk). Di antara para siswa banyak
yang mampu mengikutinya meskipun
masih terlihat global, artinya bentuk
gerakan yang ditirukannya tidak selalu
bisa sama persis dengan apa yang
dicontohkan oleh gurunya. Dari praktik
tari ekspresif ini bisa teramati sikap dan
perilaku siswa yang mencerminkan rasa
percaya diri (keberanian tampil di depan
kelas), kepedulian (antarsiswa selalu
mengingatkan teman yang salah gerak
atau tidak menggunakan property),
toleransi (saling membantu bila ada
teman yang kesulitan, meminjami
peralatan),
dan
tanggung
jawab
(keseriusan
dan
kepatuhan
melaksanakan tugas guru). Evaluasi tari
kreatif (observasi nonstruktur) terlihat
ketika guru bercerita tentang kehidupan
binatang dan alam lingkungan kemudian
siswa diminta untuk mengembangkan
cerita yang bersumber dari binatang dan
lingkungan sekitarnya melalui gerak tari.
Hal ini dimaksudkan agar siswa
menyadari
anggota
tubuhnya,
penguasaan gerak, dan pengembangan
gerak. Tentu saja guru tetap menjaga
agar suasana pembelajaran tari tetap
menyenangkan, kreatif, komunikatif, dan
estetis bentuk geraknya. Dari tari kreatif
inilah guru dapat mengamati dan
mengetahui tingkat pemikiran, perasaan,
dan tingkat komunikasi siswa yang
diekspresikan melalui gerak tari yang
ditampilkan.
Dengan demikian guru dalam
mengevaluasi terhadap kemampuan
menari siswa menggunakan teknik
observasi. Kriteria evaluasi bertolak dari
kompetensi yang telah ditentukan dalam
kurikulum (sebagai landasan penilaian),
yaitu berkait dengan kompetensi siswa
dalam hal kesadaran tubuh, penguasaan
gerak,
pengembangan
gerak.
Kompetensi tersebut secara serta merta
merefleksikan pikiran, perasaan, dan
gerak sebagai media komunikasi. Dari
kompetensi itu juga bisa dilihat
perkembangan
kepribadian
siswa
(tingkatan kepercayaan diri, kepedulian,
toleransi,
dan
tingkat
tanggung
jawabnya).
Metode Eksplorasi
Berdasarkan data penelitian
metode eksplorasi yang diterapkan pada
sekolah dasar kabupaten Semarang
terdiri dari bercerita, meniru, bermain,
dan demonstrasi. Bercerita (mendongeng,
bertutur kata) merupakan suatu cara
yang manjur yang dilakukan sejak lama
(nenek moyang) untuk memberikan
petuah atau nasehat dalam mengarahkan
anak untuk berperilaku lebih baik. Cara
mendongeng ternyata siswa lebih mudah
diberi nasehat, diarahkan, dan dapat
mempengaruhi
perasaan
mereka.
Kebiasaan mendongeng tidak hanya
dilakukan oleh orang tua dalam
lingkungan keluarga, tetapi telah
berkembang fungsinya sebagai sebuah
metode yang digunakan guru dalam
kegiatan pembelajaran. Metode bercerita
dilakukan secara lisan yang disertai
dengan gerakan yang melibatkan tangan,
kaki, kepala, badan, dan mimik wajah
sesuai dengan tema ceritanya. Apalagi
bila dalam bercerita atau mendongeng
dibumbui dengan hal-hal yang lucu dan
pesan tertentu. Cara guru bercerita
dimaksudkan
agar
siswa
dapat
mengetahui suatu hal baru yang
sebelumnya tidak diketahui oleh siswa
sehingga bisa menambah pengalaman
siswa.
Jadi
metode
bercerita
mengandung tujuan untuk menambah
pengalaman siswa, menarik perhatian
siswa,
menasehati
siswa,
dan
mempermudah siswa menerima materi
tari yang dibelajarkan.
Pengajaran tari di sekolah yang
dilakukan guru tari dengan cara memberi
contoh gerak dan kemudian ditirukan
oleh para siswanya lazim disebut metode
meniru (Imitation). Artinya guru dapat
mengarahkan siswa untuk melakukan
tiruan gerak tari yang dicontohkan oleh
guru tari. Kemampuan siswa dalam
meniru dapat meningkatkan motivasi
dan menumbuhkan rasa percaya diri
siswa karena merasa bisa mengikuti dan
dapat
melakukan
seperti
yang
dicontohkan (diperagakan) oleh gurunya.
Meniru merupakan metode yang paling
mudah
dilakukan
guru
dalam
pembelajaran dan bersifat informatif
tetapi
sangat
bermanfaat
untuk
memberikan
suatu
pengenalan,
penggambaran,
dan
pemahaman
sehingga memudahkan siswa menerima
materi.
Bermain menurut Dworetzky
(dalam Fowler 1995) harus memenuhi
lima hal, yaitu (1) memotivasi instrinsik,
yaitu tingkah laku anak yang dimotivasi
oleh diri sendiri, (2) pengaruh positif,
artinya tingkah laku itu dapat
menyenangkan dan menggembirakan,
(3) tingkah laku bermain yaitu tingkah
laku berpura-pura atau tidak sebenarnya,
(4) cara bermain lebih diutamakan dari
pada tujuannya, anak lebih suka dengan
tingkah laku itu sendiri daripa hasilnya,
(5) kelenturan, bermain tidak kaku atau
tegang, artinya santai dalam hal bentuk
maupun hubungan yang sesuai dengan
situasi dan kondisi apa pun. Mengacu
pada batasan tersebut, para guru yang
mengajar tari di SD menempatkan diri
sebagai guru dan teman para siswa.
Penjelasan materi tari disampaikan
dengan santai, sabar, dan lentur. Guru
kadangkala terlihat sebagai contoh tarian
dan
kadangkala
sebagai
teman
sepenarian. Pada metode bermain sikap
dan perilaku guru terlihat pada
ekspresinya yang penuh senyum
keakraban mengajak siswa untuk menari
bersama. Guru juga mengajak siswa
untuk tersenyum ketika menari, bahkan
dengan menyanyi bersama sebagaimana
nyanyian lagu Menthok. Selain itu guru
mengajak siswa melakukan gerak tari
yang dikemas dengan suatu permainan
tertentu. Prinsip utama metode bermain
adalah suasana santai dan bergembira.
Oleh karena itu sangat bermanfaat untuk
mengkondisikan siswa agar tidak tegang
(rileks),
menciptakan suasana yang
menyenangkan, dan mempermudah
siswa menerima materi.
Demonstrasi dimaksudkan untuk
memberikan pengalaman belajar melalui
melihat dan mendengarkan yang diikuti
dengan
menirukan
materi
yang
didemonstrasikan atau diperagakan.
Dengan metode demonstrasi dapat
memudahkan siswa menguasai materi
sehingga dapat memupuk motivasi dan
rasa percaya diri siswa dalam mengikuti
kegiatan menari yang dijarkan oleh guru.
Selain itu mampu
memberikan
pengalaman
siswa
(melihat,
mendengarkan,
memeragakan,
merasakan). Perilaku guru dalam
menggunakan
demonstrasi
yakni:
Pertama, ketika hendak memulai
kegiatan menari guru melakukan
demonstrasi
sambil
mengarahkan
siswanya
untuk
duduk
sambil
memperhatikan, dan kemudian meminta
siswa berdiri melakukan gerakan. Kedua
memberi pengertian terhadap masingmasing gerakan, yaitu menjelaskan
gerak tubuh yang terbagi menjadi empat
bagian kepala, badan, tangan, dan kaki.
Masing-masing bagian harus menyatu
dan serasi. Dengan kesatuan dari
gerakan
bagian
tubuh
tersebut
diharapkan tarian yang dimaksudkan
dapat berbentuk indah dan tercapai
dengan baik. Ketiga, untuk menjaga
pemahaman siswa terhadap tarian yang
telah diberikan. Di sini guru memberikan
contoh gerakan per bagian anggota
tubuh, seperti gerak tangan dulu, kaki
dulu, dan sebagainya. Setelah siswa
mengerti gerakan per bagian kemudian
guru menyatukan gerakan sesuai dengan
musik iringannya.
SIMPULAN DAN SARAN
Komponen model pembelajaran
tari pendidikan pada sekolah dasar di
atas menandakan bahwa standar proses
pembelajaran (PP No. 19 pasal 19 tahun
2005) telah terpenuhi karena model
tersebut menunjukkan ada aspek
interaktif, inspiratif, menyenangkan,
menantang, memotivasi siswa untuk
berpartisipasi aktif, serta memberikan
ruang yang cukup bagi prakarsa,
kreativitas, dan kemandirian sesuai
dengan bakat, minat, dan perkembangan
fisik serta psikologis siswa. Ditinjau dari
filosofi
pendidikan
seni,
model
eksplorasi telah mengindikasikan adanya
pemberian pengalaman estetis kepada
para siswa. Penggunaan metode
mengajar para guru tari di SD sudah baik
karena selalu mengkolaborasikan antar
metode, seperti bercerita, bermain,
meniru, dan berdemonstrasi. Selain itu,
ditinjau dari tujuan pembelajaran Seni
Budaya dan Keterampilan di SD model
eksplorasi sekurang-kurangnya telah
memenuhi tiga tujuan, yaitu
siswa
memiliki
kemampuan
untuk
menampilkan sikap apresiasi terhadap
seni
budaya
dan
keterampilan,
menampilkan kreativitas melalui seni
budaya dan keterampilan,
dan
kemampuan menampilkan peran serta
dalam seni budaya dan keterampilan
dalam tingkat lokal dan regional.
Sungguh pun demikian kelemahan
penelitian ini adalah hasilnya tidak bisa
digeneralisir
untuk
kepentingan
pembelajaran tari pendidikan secara
nasional karena objek dan subjek
penelitiannya masih setingkat kabupaten,
apalagi sampelnya relatif belum
proporsional akibat kendala teknis dalam
proses penelitian.
Ada beberapa saran yang perlu
dikemukakan guna menunjang kegiatan
lebih lanjut terutama yang berkait
dengan pembelajaran seni (tari) di
sekolah.
Pertama,
perlunya
keseimbangan antara materi tari
ekspresif dan tari kreatif dalam
pembelajaran seni di sekolah dasar (SD).
Barangkali akan lebih baik kalau tari
kreatif lebih diperbesar proporsinya.
Kedua, mengingat guru SD merupakan
guru kelas tetapi akan lebih proporsional
bila guru tari di SD juga memiliki
keahlian di bidang seni tari. Ketiga,
observasi guru terhadap materi gerak tari
khususnya bentuk gerak maupun gerak
dasar tari perlu dilakukan lebih rinci atau
detail karena menyangkut segi estetis
dan ekspresif gerak yang ditampilkan
oleh setiap siswa.
DAFTAR PUSTAKA
Cheney, Gay. 1999. Basic Concepts in
Modern Dance: A Creative
Approach.
Terjemahan
Y.
Sumandiyo Hadi. Yogyakarta:
Manthili.
Fowler, James W (ed). 1995. Teori
Perkembangan
Kepercayaan.
Alih Bahasa Agus Cremes.
Yogyakarta: Kanisius.
Hawkins, Alma M. 1988. Creating
Through Dance. Princeton, New
Jersey: Princenton Publishers.
Jazuli. 2008. Paradigma Kontekstual
Pendidikan Seni. Surabaya: Unesa
Press.
Kraus, Richard. 1977. History of The
Dance. Englewood, New Jersey:
Prentice, Inc.
Laban,
Rudolf.
1976.
Modern
Educational
Dance.
NY:
McDonald and Evans Ltd.
Miles, Matthew B and Huberman, A
Michael. 1994. Qualilative Data
Analysis.
Thousand
Oaks,
London, New Delhi: SAGE
Publications Inc.
Nurharini, Atip. 2003. “Pembelajaran
Seni Tari sebagai Sarana
Pengembangan Rasa Percaya
Diri Anak di Taman Kanakkanak Pangudi Luhur Bernadus
Semarang”. Tesis Program Studi
Pendidikan Seni Pascasarjana
Universitas Negeri Semarang
Tahun 2003.
Setiawati, dkk. 2001. ”Alat Peraga
sebagai Sarana Meningkatkan
Kreativtas
Anak
Menari.”
Laporan penelitian. Jakarta:
Lembaga Penelitian Universitas
Jakarta.
Smith, Jaqueline. 1994. The art of Dance
in Education. London: Blach
Publisher Limeted.
Uno, Hamzah B. 2009. Model
Pembelajaran:
Menciptakan
Proses Belajar Mengajar yang
Kreatif dan Efektif. Jakarta:
Bumi Aksara.