Academia.eduAcademia.edu

Model Pembelajaran Tari Pendidikan Pada Siswa SD/MI Semarang

2010, Harmonia: Journal of Arts Research and Education

The underlying problem of this study is what learning model of Educational Dance is used for elementary school students in Semarang. This study employs qualitative approach using library research, interview, and direct observation as the methods of data collection. The subject of the study is the learning model of educational dance at elementary schools in Semarang district. Data analysis was conducted through descriptive analysis method. The study shows that learning model used for educational dance at elementary school is explorative model using observation evaluation technique. The learning model includes: first, materials of movement lesson that covers body realization, mastery of basic movements, and movement development. Second, movements that reflect thought, feeling, and communication medium. Third, the direction of dance lesson covers aspects such as delight, creativity, communication, and aesthetics. Fourth, students’ character development that embeds in the learning proce...

MODEL PEMBELAJARAN TARI PENDIDIKAN PADA SISWA SD/MI SEMARANG M. Jazuli Staf Pengajar Sendratasik, FBS, UNNES, Email: [email protected] Abstract The underlying problem of this study is what learning model of Educational Dance is used for elementary school students in Semarang. This study employs qualitative approach using library research, interview, and direct observation as the methods of data collection. The subject of the study is the learning model of educational dance at elementary schools in Semarang district. Data analysis was conducted through descriptive analysis method. The study shows that learning model used for educational dance at elementary school is explorative model using observation evaluation technique. The learning model includes: first, materials of movement lesson that covers body realization, mastery of basic movements, and movement development. Second, movements that reflect thought, feeling, and communication medium. Third, the direction of dance lesson covers aspects such as delight, creativity, communication, and aesthetics. Fourth, students’ character development that embeds in the learning process implicates in students’ attitude, such as the growing self-confidence, concern, tolerance, and responsibility. It is then concluded that the components of learning model of educational dance for elementary school, based on regulation number 19 article number 19 year 2005, are met in the explorative model because it shows the existence of dimensions that are interactive, inspiring, fun, challenging, motivating students to actively participate, and giving rooms necessary for initiative, creativity, and autonomy in accordance to students’ talent, interest, physical and psychological development. Kata kunci : model pembelajaran, tari pendidikan PENDAHULUAN Tari pendidikan merupakan suatu model pembelajaran tari yang menekankan kepada kebebasan berekspresi gerak kreatif pribadi siswa dalam aktivitas belajar menari di sekolah umum, khususnya di sekolah dasar (SD). Model ini dicetuskan sekitar tahun 1938 oleh seorang koreografer Inggris keturunan Hongaria bernama Rudolf Laban (1879-1958) dengan nama Modern Educational Dance atau lebih dikenal educational dance. Di Indonesia dipromosikan sejak tahun 1970-an dengan istilah Tari Pendidikan. Dalam tari pendidikan mencakup dua hal, yaitu tari kreatif (creative dance) dan tari ekspresif (expresive dance). Tari kreatif, di Amerika dikenal dengan istilah movement education dan diterapkan sebagai bagian dari pendidikan jasmani khususnya di sekolah dasar. Menurut laporan Kraus (1977: 325) bahwa movement education merupakan kegiatan penting dalam pelajaran pendidikan jasmani. Burton (dalam Kraus 1977) mengemukakan pembelajaran movement education dalam pendidikan jasmani merupakan pelajaran terpadu yang mampu memberi kontribusi berupa pengembangan respon gerak yang efektif, efisien, dan ekspresif dalam diri siswa untuk mengungkapkan pikiran dan perasaan yang dikomunikasikan kepada orang lain. Proses pembelajarannya menekankan pada kesadaran tubuh dan diri siswa, penguasaan keterampilan gerak dasar maupun pengembangan geraknya. Eksplorasi menjadi metode utama dengan pendekatan berpusat pada siswa sebagai individu yang secara spontan mampu untuk menemukan sendiri (self discovery). Fenomena ini menunjukkan betapa pentingnya peranan guru dalam memotivasi dan menggerakkan daya kreasi tari pada para siswanya. Di sini, guru bukan saja dituntut pemahaman praktik tari (gerak, ruang, waktu), melainkan juga memiliki kompetensi dalam pedagogik. Menurut Laban (1976: 12) pembelajaran tari di sekolah umum (non kejuruan) harus lebih menekankan pada pembelajaran tari kreatif yang mampu menyumbangkan kepada perkembangan kepribadian siswa. Pembelajaran tari kreatif tidak berorientasi pada hasil akhir atau menghasilkan sebuah pertunjukan yang bernilai seni tinggi, sebagaimana yang diciptakan oleh seorang koreografer. Laban menyatakan seperti berikut ini: ”In school, where are education is fostered, it is not artistic perfection or the creation and performance of sensational dance which is aimed aat, but the beneficial effect of the creative activity of dancing upon the personality of pupil.” Pernyataan Laban tersebut cukup beralasan, karena setiap anak memiliki dorongan alamiah untuk menampilkan gerakan-gerakan seperti ’tarian’ dan secara tidak disadari hal itu merupakan cara yang baik untuk memperkenalkan tari sejak dini pada diri anak, serta memberi kesempatan kepada anak untuk mengembangkan kemampuan berekspresi secara spontan melalui gerakannya (free dance). Tugas sekolah (guru) dalam menyelenggarakan tari kreatif mencakup dua hal, yaitu pertama membimbing siswa untuk menumbuhkan spontanitas gerak, dan kedua membimbing siswa belajar memahami prinsip-prinsip untuk melakukan dan menguasai geraknya. Autard dalam The Art of Dance Educational (1994) menegaskan bahwa tari pendidikan atau tari kreatif memiliki karakteristik yang sangat penting bagi proses pembelajaran tari yang bermakna karena mampu memberikan kontribusi terhadap perkembangan individu siswa dalam perasaan dan gerak tarinya. Pernyataan Autard tersebut juga mengindikasikan, bahwa dalam pembelajaran tari, hasil akhir kurang mendapatkan perhatian yang signifikan, sebaliknya justru proseslah yang lebih diutamakan, mengarah kepada perkembangan pribadi siswa. Artinya pendidikan seni harus mampu menunjang misi pendidikan umum, yaitu menumbuhkembangkan keparibadian siswa, memelihara rasa estetik siswa, dan memperkaya kehidupan siswa secara kreatif (Jazuli 2008). Persoalannya adalah konsep tari pendidikan kurang dipahami oleh sebagian besar guru tari di Indonesia, sehingga para guru cenderung mengajarkan tari bentuk yang sudah ada baik jenis tradisional, kreasi, maupun tari modern. Metode yang digunakan adalah imitatif atau meniru contoh gerak tari yang diberikan oleh guru. Beberapa hasil penelitian yang mengungkap pendidikan tari kreatif di antaranya adalah penelitian Setyowati, dkk (2001) tentang ”Alat Peraga sebagai Sarana Meningkatkan Kreativitas Anak dalam Menari” menginformasikan bahwa alat peraga tari (property) mampu menjadi sarana untuk menguasai dan mengembangkan gerakan anak ke dalam berbagai aktivitas kreatif dan variatif dalam belajar. Anak yang mampu menggunakan jenis permainan adalah anak yang mampu mengembangkan alat peraga tari untuk menguasai gerak yang diekspresikan serta variasi gerakan yang diciptakan oleh anak itu sendiri. Penelitian Atip Nurharini tahun 2003 menginformasikan bahwa pembelajaran tari mampu menimbulkan rasa percaya diri anak yang berupa tumbuhnya perasaan bangga, memiliki sifat pemberani, mampu mengendalikan emosi dan mengasah kehalusan budi, menumbuhkan rasa bertanggung jawab dan rasa mandiri, mudah berinteraksi dengan orang lain, memiliki prestasi lebih baik, berkembang imajinasinya dan kreativitasnya. Namun demikian kedua penelitian tersebut belum mengulas tentang metode pembelajaran tari pendidikan, dan lebih memfokuskan pada materi pembelajaran tari pendidikan. Selain itu model pembelajaran juga belum jelas. Oleh karena itu dalam tulisan ini hendak dibahas model pembelajaran tari pendidikan di sekolah dasar (SD) yang dapat mendukung pengembangan creative thinking siswa dan menciptakan suasana belajar yang menyenangkan (joyful learning). Pembelajaran merupakan proses usaha yang dilakukan untuk memperoleh perubahan tingkah laku sebagai hasil belajar. Pembelajaran dalam konteks ini terfokus pada siswa, tidak terbatas di dalam kelas saja, dan mencakup semua kondisi dan peristiwa yang mempunyai pengaruh terhadap proses pembelajaran. Menurut Undang Undang Sisdiknas No 20 Tahun 2003, pembelajaran adalah proses interaksi antara siswa dengan pendidik dan sumber belajar pada suatu lingkungan belajar. Pembelajaran terdiri atas komponen tujuan, materi, pendekatan, strategi, metode, sarana, sumber belajar, serta penilaian hasil belajar (evaluasi). Dalam Standar Proses (PP No. 19 pasal 19 tahun 2005), bahwa proses pembelajaran pada satuan pendidikan diselenggarakan secara interaktif, inspiratif, menyenangkan, menantang, memotivasi siswa untuk berpartisipasi aktif, serta memberikan ruang yang cukup bagi prakarsa, kreativitas, dan kemandirian sesuai dengan bakat, minat, dan perkembangan fisik serta psikologis siswa. Dalam proses pembelajaran seni di sekolah umum agar dapat menumbuhkembangkan potensi kreatif perlu mempertimbangkan tiga prinsip, yaitu: (1) pembelajaran seni di sekolah harus memberi kebebasan kepada siswa untuk mengolah potensi kreatifnya; (2) pembelajaran seni di sekolah harus dapat memperluas pergaulan dan komunikasi siswa dengan lingkungannya; (3) pembelajaran seni di sekolah harus dilakukan dengan cara yang menyenangkan (joyfull learning) (Jazuli 2008). Pendekatan pembelajaran dapat dimengerti sebagai titik tolak atau sudut pandang terhadap proses pembelajaran. Pendekatan dapat diartikan bagaimana seseorang melihat sesuatu yang dipengaruhi oleh pengetahuan dan pemahaman seseorang terhadap sesuatu dilihatnya. Pendekatan pembelajaran tari dalam penelitian ini adalah pendekatan kreatif dengan metode eksploratif. Sebagai landasan pendekatan pembelajaran tari adalah kurikulum KTSP (kurikulum 2006) yang masih berlaku sampai sekarang. Pendekatan kreatif adalah pembelajaran yang berpusat pada siswa, yang menyakup tentang: persepsi dan keterbukaan kepada pengalaman baru, fleksibel (mudah diarahkan), sensitivitas estetis, energik (berkemuaan keras), dan imajinatif (banyak idea) (lihat Hawkins, 1988). Metode eksploratif yang dimaksud adalah cara pembelajaran tari yang bersifat penjajakan untuk menemukan suatu (motif) gerak maupun bentuk tari secara utuh. Adapun teknik pelaksanaan eksplorasi melalui pengamatan improvisasi gerak yang dilakukan oleh para siswa. Improvisasi adalah penciptaan secara mendadak tanpa dipikirkan lebih dahulu, suatu bagian yang esensial dari setiap seni kreatif. Improvisasi merupakan bagian utama dari latihan tari dan menjadi pengalaman berharga bagi setiap orang untuk memperkaya pengalaman dan mengembangkan imajinasi (Cheney 1999). Memperkaya pengalaman karena tiada dua improvisasi yang sesungguhnya sama, dan pengalaman itu akan muncul/tumbuh dalam perasaan. Oleh karena itu tidak ada formula yang tepat untuk diikuti, tetapi ada bidang-bidang tertentu yang menyediakan untuk pengalaman, perasaan, intuisi, dan untuk kepentingan memori. Improvisasi dapat melahirkan sebuah orisinalitas. Tujuan mengembangkan imajinasi akan terlihat dari kemampuan merespons lingkungan di sekitarnya karena dalam pengalaman dasar manusia akan selalu bereaksi, merespons, dan beradaptasi dengan lingkungannya. Dengan improvisasi akan membebaskan siswa mempunyai pengalaman baru. Dengan demikian pengetahuan siswa sendiri merupakan salah satu dari fungsi improvisasi. Selain itu, improvisasi adalah penting sebagai perantara untuk pengembangan kepekaan. Hasil improvisasi akan mampu mengembangkan kepekaan terhadap gerak, ruang dan waktu, terhadap diri sendiri maupun orang lain. Menurut Cheney (1999), improvisasi dapat mencapai status seni karena akhir dari improvisasi dapat memiliki tujuan artistik. Improvisasi adalah suatu spontanitas karya seni karena mempunyai perasaan yang benar-benar utuh. Improvisasi dibedakan menjadi dua, yaitu terstruktur dan bebas (nonstruktur). Improvisasi bebas adalah tanpa pokok persoalan, tanpa peralatan yang terlarang, dan tanpa membatasi ketentuan. Dalam improvisasi terstruktur, guru akan memberikan komando atau arahan gerak yang harus dilakukan siswa. Misalnya melalui tema (seperti menirukan binatang, mengekspresikan gerak orang sedih dan gembira, dan alam lingkungan), melalui bagian anggota tubuh yang harus digerakkan siswa, bisa juga dari menirukan/mengembangkan gerak yang dicontohkan oleh gurunya. Dengan demikian siswa akan memiliki pengalaman bagus dalam keterampilan berimprovisasi dan menirukan, serta menyadari bahwa dirinya bekerja dalam keterbatasan-keterbatasan. Berbeda dengan improvisasi bebas, siswa berusaha mengarahkan diri sendiri bergerak terus menerus tetapi tetap dalam kesadaran untuk membentuk gerak menjadi tari. Dalam konteks ini guru berperan mengarahkan agar siswa bisa menyusun gerak improvisasinya menjadi sebuah bentuk tari. Dalam pembelajaran terdapat berbagai model dengan pengkategorian yang beragam. Misalnya pengkategorian model pembelajaran dengan nama model interaksi sosial, model pengolahan informasi, model personal-humanistik, dan model modifikasi tingkah laku. Ada pula yang mengklasifisikan model pembelajaran dengan sebutan tidak langsung (nondirective teaching), pelatihan kesadaran (awareness training), dan pertemuan kelas (classroom meeting). Sungguhpun demikian, model pembelajaran pada dasarnya merupakan bentuk pembelajaran yang tergambar dari awal sampai akhir yang disajikan secara khas oleh guru (Uno, 2009). Jadi model pembelajaran merupakan bungkus atau bingkai dari penerapan suatu pendekatan, materi, metode dan teknik, serta evaluasi pembelajaran. Laban (1976) mengemukakan 16 tema dalam mencipta gerak tari sebagai kegiatan kreatif untuk anak, yaitu (1) tema tentang kesadaran badan (tubuh), (2) tema tentang kedasaran bobot dan waktu, bahwa gerak yang dilakukan dari seluruh bagian tubuh manapun, seperti kuat dan ringan, (3) tema kesadaran terhadap ruang, yakni perbedaan antara gerak yang sempit dan luas, (4) tema kesadaran tentang alur dan berat badan dalam ruang dan waktu, (5) tema menyesuaikan dengan pasangan, seperti respon satu individu/kelompok bergerak dengan pasangan lawannya, (6) tema penggunaan dan kegunaan anggota tubuh, (7) tema tentang tindakan sendiri yang pengembangan kemampuan. Satu urutan berhenti mendadak, sedangkan gerak lain terus dijalankan secara berangkai, (8) tema tentang ritme, yakni kepekaan irama yang diperkuat dengan gerak penuh tenaga, (9) tema tentang bentuk gerakan, seperti membuat polapola yang kecil dan luas, (10) tema tentang kombinasi delapan tindakan usaha dasar, yaitu tema yang berisi antara dua atau beberapa tindakan dengan tujuan meremas, menekan, meluncur, mengapung, menyentuh dan sebagainya, (11) tema dengan orientasi ruang, misalnya membuat pola bentuk sudut, lingkaran, segitiga, zigzag, dan anak diberi arahan, (12) tema tentang bentuk dan usaha yang menggunakan bagian tubuh yang berbeda, seperti kombinasi gerak kaki, lengan, kepala kemudian berubah dan bervariasi dalam satu rangkaian tindakan, (13) tema mengangkat badan dari bawah (tanah), seperti gerak meloncat tinggi, melompat jauh sebagai kegiatan tari melewati udara, (14) tema tentang merasakan bersama dalam gerak, (15) tema formasi kelompok, (16) tema dengan kualitas ekspresi atau merasakan gerakan. Misalnya ungkapan gerak dapat dipahami sebagai ekspresi dari suasana hati, gerak ekspresi tergantung dari beberapa faktor lokasi ruang, bentuk, isi, dinamika, dan usaha. Tari sebagai suatu pengalaman kreatif adalah ekspresi manusia yang paling dasar. Manusia berpikir dan merasakan ketegangan dan ritme alam sekitarnya melalui tubuh sebagai instrumennya. Dorongan manusia untuk berkomunikasi lewat gerakan, tindakannya dikendalikan oleh motivasi-motivasi yang kadangkala bersifat sosial dan pada saat lain bersifat ekspresif. Unsur utama dalam tari adalah dorongan mencipta. Dorongan untuk merasakan, menemukan, berhubungan, mencapai puncak dalam kegiatan kreatif. Penari selama proses mencipta, membutuhkan eksplorasi dunia inderanya, kognitifnya, dan afektifnya. Dari eksplorasi itu muncul ekspresi unik dalam bentuk tari (Hawkins 1988). Lebih jauh Hawkins juga berbicara tentang pengembangan kreativitas, peningkatan kesadaran estetis, bergerak dengan kontrol dan mencipta dengan membentuk. Konsep dari Hawkins tersebut sangat berguna untuk pembelajaran tari siswa, terutama konsep pembentukan tari bagi konsumsi siswa sekolah dasar. Berikut ini dikemukakan kerangka berpikir model pembelajaran tari pendidikan seperti berikut ini. MODEL PEMBELAJARAN TARI PENDIDIKAN Gerak tari yang merefleksikan: • Pikiran • Perasaan • Media komunikasi Materi Pembelajaran Gerak: • Kesadaran tubuh • Penguasaan gerak dasar • Pengembangan gerak METODE EKSPLORASI (IMPROVISASI) Arah Pembelajaran tari: • Menyenangkan • Kreatif • Komunikatif • Estetis Penjelasan diagram di atas adalah : Kotak tengah pembelajaran tari pendidikan melalui metode eksploratifimprovisasi. Materi pembelajaran gerak mencakup: kesadaran tubuh adalah kesadaran siswa terhadap bagian tubuh yang bergerak; penguasaan gerak dasar artinya siswa memahami teknik dalam bergerak; dan pengembangan gerak adalah kemampuan siswa membuat variasi dari gerak yang dikuasainya. Gerak tari yang merefleksikan maksud pikiran, perasaan yang dikehendaki siswa, dan untuk tujuan komunikasi atas maksud dan kehendaknya. Arah pembelajaran tari meliputi 4 aspek, yaitu: menyenangkan artinya ada kegairahan siswa dalam mengikuti pelajaran dari awal sampai akhir dan tidak bosan; kreatif dalam arti terampil Perkembangan Kepribadian siswa: • Percaya diri • Kepedulian • Toleransi • Tanggung jawab melakukan gerak dan variatif, pengungkapannya ekspresif, memiliki persepsi, pengetahuan, mampu menganalisis gerak yang ke dalam bentuk gerak estetis; komunikatif artinya mudah dipahami/dihayati dan runtut; dan estetis dalam arti gerakannya menarik dan indah. Pengembangan kepribadian, yaitu percaya diri adalah mempunyai rasa bangga, berani, mampu mengendalikan emosi, berkembang imajinasi dan kreativitasnya. Kepedulian artinya memiliki perhatian terhadap segala sesuatu (orang, benda) di sekitarnya dan tidak sombong. Toleransi yakni memiliki sikap selalu menghargai orang lain. Tanggung jawab adalah memiliki kemandirian, konsekuen, dan mudah berinteraksi. Keempat kotak dikelola dengan improvisasi. metode eksplorsi- METODE Penelitian ini bersifat kualitatif, yaitu ingin mendeskripsikan berbagai fenomena yang berhubungan dengan model pembelajaran tari pendidikan pada Sekolah Dasar di kabupaten Semarang. Sumber data penelitian meliputi: (1) Nara sumber atau orang yang terlibat langsung maupun tidak langsung dalam peroses pembelajaran tari, yaitu guru kelas, guru tari, kepala sekolah; (2) Proses pembelajaran tari mencakup materi tari, kemampuan guru, perilaku siswa, dan sumber daya lingkungan. Data penelitian diambil dari hasil studi pustaka, wawancara, dan pengamatan langsung terhadap proses pembelajaran tari di sekolah dasar (SD). Semula penelitian ini akan dilakukan pada sepuluh SD yakni SD Isriati Ungaran, SD Leyangan Ungaran, SD Negeri Karangjati 03 dan 04 Bergas, SD Negeri 02 dan 04 Ungaran, SD Negeri Sidomulyo 3 Ungaran, SD Negeri Sidomulyo 4 Ungaran, SD Negeri Candirejo Ungaran, SD Negeri Gedanganak 1, tetapi karena ada masalah teknis sehingga hanya tiga SD yang diteliti, yaitu SD Negeri Karangjati 03 dan 04 Bergas, dan SD Negeri Gedanganak. Masalah teknis yang dimaksud adalah ada beberapa SD yang guru seni tari sama, artinya bila guru kelas tidak memiliki kemampuan mengajar tari meminjam guru tari dari SD lain. Sasaran penelitian ini adalah model pembelajaran tari pendidikan pada sekolah dasar di kabupaten Semarang. Model pembelajaran tari pendidikan mencakup materi pembelajaran gerak (kesadaran tubuh, penguasaan gerak dasar, pengembangan gerak); gerak yang merefleksikan pikiran, perasaan, dan media komunikasi; arah pembelajaran tari (menyenangkan, kreatif, komunikatif, dan estetis); perkembangan kepribadian siswa yang muncul dalam proses pembelajaran (percaya diri, kepedulian, toleransi, dan tanggung jawab). Teknik Pengumpulan Data dilakukan melalui studi pustaka, observasi, dan wawancara. Studi pustaka difokuskan untuk memperoleh informasi yang berkait langsung dengan sasaran dan objek penelitian, terutama konsep yang dapat dimanfaatkan sebagai kerangka pemikiran. Studi pustaka berupa hasil penelitian dan literatur lain yang berhubungan dengan persoalan pendidikan seni, seperti jurnal dan laporan hasil penelitian. Bahan informasi dari media cetak dicek relevansinya dengan data primer dan diperiksa keakuratannya. Pengamatan dilakukan secara langsung pada proses pembelajaran tari di sekolah dasar, baik pengamatan pada siswa belajar maupun guru mengajarkan tari. Fokus pengamatan meliputi materi pembelajaran gerak (kesadaran tubuh, penguasaan gerak dasar, pengembangan gerak); gerak yang merefleksikan pikiran, perasaan, dan media komunikasi; arah pembelajaran tari (menyenangkan, kreatif, komunikatif, dan estetis); perkembangan kepribadian siswa yang muncul dalam proses pembelajaran (percaya diri, kepedulian, toleransi, dan tanggung jawab). Wawancara dilakukan untuk melengkapi informasi yang telah diperoleh dari sumber tertulis maupun hasil pengamatan. Hal ini dimaksudkan untuk memperoleh keakuratan data atau bila ada informasi yang meragukan. Wawancara dilakukan secara langsung dan terbuka guna mendapatkan data primer. Nara sumber yang dipilih adalah para pengajar tari di sekolah dasar dan kepala sekolah. Kegiatan wawancara dilakukan di luar maupun di dalam kelas. Analisis data dilakukan dengan menggunakan metode analisis deskriptif kualitatif. Adapun langkah analisis data dimulai dari pengumpulan data. Data yang telah terkumpul dikelompokkan dan diorganisasikan sesuai sifat dan kategori data. Untuk mengantisipasi data yang bias dilakukan pemeriksaan keabsahan data. Keabsahan data dilakukan dengan cara menyinkronkan antara data pengamatan proses pembelajaran tari di kelas dan data wawancara. Dengan demikian antara apa yang diperintahkan oleh guru dengan apa yang dilakukan siswa harus sesuai dengan tujuan pembelajaran yang sudah ditetapkan. Kesesuaian tersebut tentu telah mengindikasikan model macam apa yang telah diterapkan oleh guru dalam pembelajaran tari di kelas. Selanjutnya dilakukan empat tahapan analisis, yaitu reduksi data, penyajian data, penarikan simpulan, dan verifikasi penelitian secara simultan. Dengan demikian model analisis yang digunakan dalam penelitian ini adalah analisis interaktif (Miles dan Huberman, 1984). HASIL DAN PEMBAHASAN Materi Pembelajaran Gerak Tari Sasaran pembelajaran gerak tari meliputi kesadaran siswa tentang eksistensi dan fungsi anggota tubuhnya, penguasaan gerak dasar, dan pengembangan gerak yang dilakukan oleh siswa. Kesadaran Eksistensi dan Fungsi Anggota Tubuhnya Hasil pengamatan menunjukkan bahwa tari pendidikan yang diajarkan di SD lebih menekankan pada tari ekspresif (expresive dance), sedangkan pembelajaran tari kreatif (creative dance) porsinya hanya sedikit. Jika dibandingkan, diperkirakan 70% untuk tari ekspresif (bentuk tari yang sudah ada) dan 30% untuk tari kreatif (tari pengembangan kreativitas siswa). Hal ini tampak dari cara guru dalam mengajar tari dengan memberikan tari bentuk baik tari yang sudah ada maupun tari hasil susunan (koreografi) dari guru, seperti lagu anak yang diberi gerakan tertentu. Gerak tari yang diajarkan memang telah disesuaikan dengan tingkat perkembangan siswa SD, yaitu gerak-gerak sederhana seperti melambaikan tangan disertai jalan kemudian menggelengkan kepala dan memutarkan badan. Dengan gerakan yang sederhana seperti itu dimaksudkan agar siswa mampu menyesuaikan diri selaras dengan kesadaran terhadap anggota tubuh yang dimilikinya. Sebagaimana yang dikemukakan oleh seorang guru bahwa: Saya mengajarkan tari untuk anakanak dengan gerak yang sederhana dan akrab dengan gerakan permainan yang biasa mereka lakukan, seperti berlari, memutar, jongkok, mengacung-acungkan tangan, menggelengkan kepala dan sebagainya. Saya mencari lagulagu anak kemudian saya beri gerak-gerak tari dan kemudian saya ajarkan kepada anak-anak. Mereka menirukan contoh gerakan yang saya berikan (Wawancara dengan ibu Ratna, 28 Juni 2010). Pembelajaran seperti itu menunjukkan respons siswa atas gerak tari yang dicontohkan oleh guru sangat baik. Artinya siswa mampu melakukan gerak yang diberikan oleh guru. Sebaliknya guru tampak mampu menyadarkan siswa terhadap potensi kesadaran dan ekspresi atas anggota tubuh mereka yang diungkapkan melalui gerak tari. Ekspresi gerak yang mereka ungkapkan tentu saja tidak terlepas dari cara berpikir dan merasakan menurut tafsir setiap siswa. Kenyataan ini tampaknya sesuai dengan pendapat Burton (dalam Kraus 1977) bahwa proses pembelajaran tari menekankan pada kesadaran tubuh dan diri siswa, penguasaan keterampilan gerak dasar maupun pengembangan geraknya merupakan pelajaran terpadu yang mampu memberi kontribusi berupa pengembangan respon gerak yang efektif, efisien, dan ekspresif dalam diri siswa untuk mengungkapkan pikiran dan perasaan yang dikomunikasikan kepada orang lain. Sungguh pun demikian untuk mencapai kemampuan keterampilan tari yang diharapkan, siswa belum sepenuhnya bisa mencapainya. Hal ini lebih disebabkan oleh terbatasnya waktu pelajaran seni tari yang rata-rata hanya satu sampai dua jam setiap minggu. Selain itu juga kompetensi guru dalam memotivasi dan berkomunikasi dengan para siswa. Kendala terakhir ini terutama terjadi pada guru kelas yang cenderung kurang memiliki kompetensi dalam bidang tari. Tari kreatif diajarkan guru melalui cerita-cerita yang menarik dan kemudian siswa diminta untuk mengembangkan cerita yang bersumber dari lingkungan sekitarnya. Contohnya ketika guru bercerita tentang kehidupan binatang (menthok, anjing, kucing, burung) beserta karakteristiknya. Secara spontan (improvisasi) siswa merespon dengan cara bertanya, berceloteh, tertawa, bahkan sedikit ribut dengan temannya ketika seorang teman mempunyai pendapat lain. Bentuk respons siswa tampak dari ungkapan berikut ini. ”Aman berceletuk, Wulan di rumahmu apa ada (binatang) menthok? Gak ada, yang ada bebek”. Tiba-tiba Linda menyahut dengan berkata ” kalau di tempatku yang banyak ayam tapi aku suka kucing”. Inilah salah satu bentuk respons siswa atas cerita guru. Setelah guru selesai bercerita kemudian guru meminta tiga atau empat siswa untuk berdiri di depan kelas dan mencoba menirukan gerakan menthok, tentu dengan gerak improvisasi menurut tafsir siswa yang sedang maju di depan kelas, sedangkan siswa lainnya menyanyikan lagu Menthok-menthok, seperti syair berikut ini: Menthok menthok tak kandhani. Mung rupamu angisin-ngisini. Mbok ya aja ngetok ana kandhang wae. Enak-enak ngorok ora nyambut gawe. Menthok menthok ......Mung lakumu megalmegol gawe nguyu Fenomena yang terjadi dalam proses pembelajaran tari kreatif tersebut di atas relevan dengan pernyataan Laban (1976), bahwa pembelajaran tari kreatif tidak berorientasi pada hasil akhir atau menghasilkan sebuah pertunjukan yang bernilai seni tinggi, karena setiap anak memiliki dorongan alamiah untuk menampilkan gerakan-gerakan seperti ’tarian’ dan secara tidak disadari hal itu merupakan cara yang baik untuk memperkenalkan tari sejak dini pada diri anak, serta memberi kesempatan kepada anak untuk mengembangkan kemampuan berekspresi secara spontan melalui gerakannya (free dance). Tugas sekolah (guru) dalam menyelenggarakan tari kreatif mencakup dua hal, yaitu (1) membimbing siswa untuk menumbuhkan spontanitas gerak, dan (2) membimbing siswa belajar memahami prinsip-prinsip untuk melakukan dan menguasai geraknya. Namun demikian, selama penelitian belum ditemukan data yang mengungkap tentang bagaimana guru membimbing siswa belajar memahami prinsip-prinsip untuk melakukan dan menguasai geraknya. Guru kurang memperhatikan secara detail gerakan yang dilakukan para siswanya yang indikasinya guru tidak pernah mengecek atau membenarkan bagaimana sebaiknya gerakan tertentu itu dilakukan. Ketidak pedulian ini barangkali menurut guru yang penting siswa mau mengikuti dan terlibat belajar tari. Padahal sesungguhnya model pembelajaran tari kreatif harus lebih besar prosentasenya daripada model pembelajaran tari ekspresif karena lebih sesuai dengan tujuan pendidikan seni bagi anak setingkat Taman Kanak-kanak dan Sekolah Dasar. Penguasaan Gerak Dasar Selama pengamatan penelitian berlangsung, guru hampir tidak pernah memberikan contoh gerak-gerak dasar menari, artinya guru langsung memberikan materi tari yang sudah tersusun (tari bentuk) maupun yang disusun dari hasil koreografi sang guru. Kenyataan ini tentu kurang tepat bila guru ingin menerapkan jenis maupun bentuk tari ekspresif, yang sudah ada koreografinya. Tari ekspresif membutuhkan kepatuhan dan kesesuaian dengan materi tari yang dibelajarkan. Misalnya ketika guru mengajarkan tari Prajuritan, maka siswa dituntut bisa memeragakan kaidah tari Prajuritan, seperti tata urutan, sikap dan bentuk geraknya, kesesuaian iringan, pola lantai yang telah ditetapkan dalam koreografi tari Prajuritan. Untuk bisa menarikan tari Prajuritan dengan baik harus menguasai dasar geraknya terlebih dahulu, kemudian mengikuti atau mematuhi kaidah-kaidah koreografi tari Prajuritan sebagaimana dituturkan seorang guru berikut ini: “saya mengajarkan tari kepada anak-anak sesuai dengan kurikulum yang berlaku sekarang. Saya mencoba memahami dan mempraktikkan sesuai dengan pemahaman saya. Jadi yang saya ajarkan ya keterampilan gerak meskipun saya tidak menuntut anak mampu (terampil) seperti gerakan yang saya contohkan, tapi bila bentuk geraknya sudah jelas itu sudah cukup” (Wawancara 6 Oktober 2010). Penguasaaan dasar gerak yang kurang memadai tentu berdampak pada bentuk gerakan yang dilakukan siswa. Boleh jadi siswa secara spontan bergerak menurut kehendak dirinya sendiri sehingga bentuk dari gerak siswa tampak kurang estetis bila dilihat dari keindahan sikap dan gerak tari. Hal itu bisa bermasalah untuk jenis materi tari ekspresif karena tidak sesuai dengan koreografi tarinya. Pengembangan Gerak yang dilakukan oleh siswa Pengembangan gerak yang dilakukan oleh siswa tampak dari respons siswa ketika guru selesai bercerita tentang tema alam, binatang, dan lingkungan. Sebagai contoh ketika guru bercerita tentang kehidupan binatang Menthok. Setelah selesai bercerita beberapa siswa diminta maju ke depan kelas untuk mencoba memeragakan atau mengekspresikan gerak menthok menurut tafsir masingmasing siswa. Sebagaimana penuturan seorang guru berikut ini. ”Anak-anak sudah mendengar cerita ibu, sekarang coba kalian praktikkan dengan gerakan ... kepala juga digerakkan jangan hanya kaki dan tangan saja”. Dalam pengembangan gerak ini guru memilih menerapkan metode bermain dalam pembelajaran tari. Hal ini terlihat dari perilaku guru yang sering ikut melibatkan diri ke dalam gerakan spontan yang dilakukan siswanya. Guru juga sering mengamati gerakan siswa seraya melihat dari segi kesadaran terhadap anggota tubuh siswa, respons antarsiswa dalam melakukan gerakan (saling menyesuaikan antarteman), kesadaran ruang, kesadaran ritme, bentuk geraknya. Bila guru menemukan gerakan siswa yang kurang sesuai dengan iringan, irama, guru langsung berteriak untuk mengingatkan. Misalnya dengan mengatakan ”ayo anggota tubuh yang lain juga digerakkan, jangan hanya kaki dan tangan saja tetapi juga badannya, kepalanya, coba lihat gerakan temanmu yang berada di depanmu”. Pengembangan gerak yang dilakukan oleh para siswa tersebut di atas bila dianalisis atau dihubungkan dengan 16 tema yang dikemukakan oleh Laban (1976) dalam mencipta gerak tari sebagai kegiatan kreatif untuk anak sudah bisa dilaksanakan meskipun belum sepenuhnya. Dari keenam belas tema dari Laban, guru sekolah dasar (SD) telah mampu menyadarkan siswa untuk mengerti dan memahami tentang kesadaran badan (tubuh). Bagi anak yang sedang berkembang cenderung untuk bermain dengan menggunakan kaki, tangan kepala, dan bagian daerah tubuh yang lain untuk bergerak dan menari. Guru juga telah memberikan arahan tentang ruang, irama, kerja sama saling menyesuaikan dengan di antara para siswa ketika bergerak tari. Mengenai ritme, yakni guru mampu menumbuhkan kepekaan irama yang diperkuat dengan gerak penuh tenaga dan bentuk gerakan, seperti membuat pola-pola yang kecil dan luas. Sebaliknya siswa telah mampu mengembangkan kemampuan melalui peragaan gerak yang dilakukannya. Satu urutan berhenti mendadak, sedangkan gerak lain terus dijalankan secara berangkai, tentang bentuk dan usaha yang menggunakan bagian tubuh yang berbeda. Formasi kelompok dengan kualitas ekspresi atau merasakan gerakan tertentu juga telah diterapkan kepada siswa. Sungguhpun belum bisa melakukan semua yang diusulkan Laban tetapi guru telah berupaya untuk membelajarkan siswa secara kreatif. Refleksi Isi Gerak Refleksi isi gerak adalah gerak yang dilakukan para siswa merefleksikan alam pikiran, perasaan, dan media komunikasi bagi diri mereka. Sebagaimana telah dipaparkan di depan bahwa siswa mampu menirukan atau mengikuti gerakan yang dicontohkan oleh gurunya meskipun bentuk gerakannya tidak selalu bisa sama persis dengan apa yang dicontohkan oleh gurunya. Ini terutama terjadi pada materi tari ekspresif (bentuk tari yang sudah ada). Setiap siswa mempunyai bentuk gerak dan cara bergerak menurut gaya pribadi masing-masing siswa. Ekspresi gerak yang mereka ungkapkan tentu saja tidak terlepas dari cara berpikir dan merasakan menurut tafsir setiap siswa. Kegiatan meniru atau mengikuti contoh juga merupakan aktivitas belajar yang memerlukan daya pikir, daya rasa, dan kemampuan persepsi dan apresiasi siswa atas hasil komunikasinya dengan gurunya. Hal ini tampak pada diri siswa yang sangat menikmati iringan kemudian merespons dengan gerak. Dari sini pula komunikasi antarsiswa terlihat sangat baik karena di antara siswa ada kepedulian untuk saling mengingatkan. Sebagaimana celoteh Siti “E Linda gerakmu tidak sama dengan gerak bu guru“. Linda yang semula melihat gerakan temannya kemudian mengalihkan perhatiannya kepada gurunya. Berbeda komentar Maman yang mengontrol gerakan Aman, “He Aman ayo geraknya disamakan dengan gerak kita (Linda, Siti, Maman)”. Aman segera melihat teman yang lain untuk menyamakan gerakannya. Dalam konteks komunikasi ini memang ada dua atau tiga siswa yang kurang peduli dengan contoh yang diberikan oleh guru. Boleh jadi mereka lelah, bosan sehingga asyik bermain sendiri. Dalam membangun kreativitas berpikir, kemampuan berkomunikasi, dan pengenalan gerak estetis kepada siswa. Guru membelajarkan tari kreatif melalui cerita-cerita yang menarik dan kemudian siswa diminta untuk mengembangkan cerita yang bersumber dari lingkungan sekitarnya (creative thinking), ketika guru bercerita tentang kehidupan binatang (menthok, anjing, kucing, burung) beserta karakteristiknya. Setelah guru selesai bercerita kemudian guru meminta tiga atau empat siswa untuk berdiri di depan kelas dan mencoba memeragakan gerakan menthok, sedangkan siswa lainnya menyanyikan lagu Menthok-menthok. Fenomena ini jelas menunjukkan ada proses pembelajaran tari kreatif tersebut relevan dengan upaya memberi kesempatan yang luas kepada siswa untuk mengembangkan kemampuan berekspresi secara spontan melalui gerakannya (free dance). Kemampuan berekspresi inilah merupakan bentuk refleksi kemampuan siswa dalam hal berpikir, merasakan, dan berkomunikasi lewat ekspresi gerak tarinya. Sebab pembelajaran tari kreatif memang tidak berorientasi pada hasil akhir atau menghasilkan sebuah pertunjukan yang bernilai seni tinggi, melainkan usaha untuk memperlihatkan dorongan alamiah para siswa. Barangkali kegiatan pembelajaran tari kreatif ini merefleksikan pernyataan Hawkins (1988) tentang eksplorasi dari para siswa itu mampu memunculkan ekspresi unik dalam bentuk tari. Dorongan untuk merasakan, menemukan, berhubungan, mencapai puncak dalam kegiatan kreatif. Penari selama proses mencipta, membutuhkan eksplorasi dunia inderanya, kognitifnya, dan afektifnya. Bagi Hawkins pengembangan kreativitas, peningkatan kesadaran estetis, bergerak dengan kontrol, dan mencipta dengan membentuk merupakan hal penting dalam pembelajaran tari kreatif. Arah Pembelajaran Tari di Sekolah Pembelajaran tari adalah proses pembelajaran tari yang senantiasa mengutamakan pembelajaran yang menyenangkan, kreatif, komunikatif, dan estetis. Dengan model pembelajaran seperti itu mampu mengembangkan kepribadi siswa terutama berkaitan dengan nilai-nilai kepercayaan diri, kepedulian, toleransi, dan nilai tanggung jawab. Pembelajaran tari di sekolah dasar diselenggarakan secara intrakurikuler dan ekstrakurikuler. Namun penelitian ini lebih memfokuskan pada kegiatan intrakurikuler karena lebih berorientasi kepada pengembangan kepribadian siswa, sedangkan pembelajaran tari pada ekstrakurikuler lebih mengutamakan siswa terampil menari. Pembelajaran tari yang menyenangkan terlihat dari respons siswa yang sangat bergairah dan aktif merespon perintah guru. Berdasarkan pengamatan, menunjukkan bahwa setiap ada pelajaran menari, siswa terlihat sangat antusias mengikuti, bahkan situasi kelas terlihat hidup dan dinamis (ramai, rileks, dan menyenangkan). Siswa seolah-olah merasa seperti bermain dengan teman ketika belajar menari. Oleh karena itu mereka terlihat tidak pernah bosan mengikuti, hanya beberapa siswa yang kurang bergairah karena memang sedang merasa lelah dan tidak suka dengan tari. Seperti kata Andi yang mengaku “saya tidak suka menari karena menari hanya cocok untuk perempuan, laki-laki ya olah raga”. Pembelajaran kreatif terutama tampak ketika guru memberi perintah kepada siswa agar mencoba mengekspresikan gerak menurut apa yang mereka pikirkan. Guru hanya memberikan aba-aba seperti bagaimana gerak angin, gerak gelombang, bagaimana gerak pohon yang tertiup angan, bagaimana katak melompat, dan sebagainya. Siswa berusaha keras untuk menggambarkan gerakan berdasarkan aba-aba dari sang guru. Pembelajaran motorik seperti itu tentu sangat bermanfaat untuk membangkitkan kesadaran siswa dalam hal berpikir, berkehendak, dan merasakan tentang sesuatu yang menarik perhatian diri mereka. Pembelajaran komunikatif tampak dari perhatian siswa terhadap perintah guru yang kemudian merespons dengan cara berusaha memahami dan melakukan gerak tari secara runtut. Aspek komunikatif juga terjadi antarsiswa, indikasinya bahwa antarsiswa saling terjadi komunikasi, seperti saling mengingatkan bila gerakan tidak sama, mengingatkan ketika salah menirukan gerak yang dicontohkan gurunya. Pembelajaran estetis terungkap ketika para siswa tertarik dengan gerak yang dicontohkan oleh guru dan berupaya untuk menirukan sepenuh hati. Keinginan untuk meniru mengindikasikan adanya ketertarikan pada gerak yang dicontohkan, bila tidak ada ketertarikan kiranya tidak mungkin siswa mau menirukan. Ketertarikan inilah merupakan aspek estetik dalam belajar tari, apalagi bila gerakan tari memiliki kelucuan yang mampu membangkitkan semangat siswa. Jadi terdapat indikasi bahwa siswa belajar tari seolah-olah mereka juga merasa bermain dengan teman-temannya. Pengembangan Kepribadian Siswa Pengembangan kepribadian siswa merupakan upaya pembelajaran yang mengarah kepada perkembangan kepribadian siswa yang muncul dalam proses pembelajaran, seperti percaya diri, kepedulian, toleransi, dan tanggung jawab. Nilai dan makna percaya diri, kepedulian, toleransi, dan tanggung jawab bisa muncul dalam jenis tari ekspresi maupun jenis tari kreatif. Rasa percaya diri siswa tampak dari kondisi pembelajaran yang rileks, pemberian motivasi dan perasaan bangga, memberikan peluang yang luas kepada siswa untuk berekspresi dan bersosialisasi. Kondisi belajar tari harus rileks, artinya tidak ada ketegangan dalam belajar, bahkan perlu selalu berusaha menghadirkan suasana yang menyenangkan, seperti bermain. Hal ini penting agar ada komunikasi yang akrab antara guru dan siswa, sebagaimana telah dicontohkan mengenai perilaku guru yang seakan-akan sebagai teman bermain para siswa. Apabila seorang guru tari mengharapkan bahwa dengan belajar menari siswa akan memperkaya pengalaman sehingga mampu memacu kemampuan siswa, maka guru harus memberikan berbagai rangsangan yang terkait dengan minat siswa. Jika siswa telah berminat pada kegiatan menari, guru harus bisa memberikan gerakan tari yang menarik beserta iringan yang membangkitkan selera siswa. Hal ini telah dilakukan guru dengan memilih lagu anak untuk mengiringi gerak tari yang disusunnya, seperti lagu Burung Kuthilang, Menthok, dan lagu Alamku yang indah. Sosialisasi dapat muncul ketika siswa belajar tari secara berkelompok karena selain di antara siswa dalam kelompok menari itu harus saling mengenal, saling menyesuaikan perasaannya, saling menjaga hubungan komunikasi yang baik. Bila itu tidak terjadi dapat dipastikan bahwa mereka tidak mungkin bisa kompak dalam menari. Tindakan guru untuk menumbuhkan rasa percaya diri pada para siswa seperti itu nampaknya tidak jauh berbeda dengan hasil penelitian Nurharini (2003), bahwa percaya diri dapat dipupuk dengan cara memberikan anak suasana rileks, memberi peluang yang luas kepada siswa agar berani dan mampu berekspresi, berkreasi, bersosialisasi, dan tidak henti-hentinya memberikan motivasi. Kepedulian sering tampak ketika siswa belajar menari secara bersama atau berkelompok. Menari secara berkelompok (tiga atau empat orang) di antara teman mereka sering saling mengingatkan, bahkan siswa yang tidak sedang menari juga sering menegur temannya bila ada di antara kelompok yang menari itu melakukan kesalahan. Seperti Aman dengan teriak mengatakan: “hai Siti gerakanmu disamakan dengan Ani dan Dwi”. Toleransi terlihat ketika ada siswa menari yang seharusnya memakai property tetapi tidak memakainya, tidak jarang teman yang lain ikut mengingatkan, bahkan memberikan property yang seharusnya dikenakan. Demikian juga bila ada salah seorang siswa belum maju ke depan kelas untuk menari, maka teman yang lain selalu menyuruh untuk menari, dan kalau tidak mau ada saja teman lain melaporkan kepada gurunya. Seperti yang dinyatakan oleh Maman. “bu guru, Budi belum maju, itu di belakang”. Sang guru pun menjawab “ayo Budi maju ke depan tidak usah takut dan malu karena pasti kamu bisa”. Contoh tersebut cukup memberikan petunjuk bahwa belajar menari secara bersama dapat menumbuhkan sikap toleransi kepada siswa melalui pembelajaran tari. Tanggung jawab merupakan sikap yang memungkinkan seseorang memiliki keberanian melakukan sesuatu yang dinilainya baik, dan berani menanggung resiko apapun, yang timbul setelah yang bersangkutan melakukan suatu perbuatan (Halim 2002). Rasa tanggung jawab dapat terbentuk melalui kegiatan menari, seperti ketaatan terhadap perintah guru dan keikutsertaannya menari itu sendiri. Ketaatan yang dimaksud tampak ketika guru memerintah siswa untuk berbaris, berjajar, dan menirukan contoh gerak tari dari Sang guru. Keikutsertaan menari tampak ketika siswa berusaha keras agar dapat mengikuti gerak yang dicontohkan oleh gurunya. Apabila siswa tidak bertanggung jawab, yang muncul adalah keributan atau ramai sendiri di dalam kelas. Jika hal itu terjadi, guru tidak perlu menghukum dengan berbagai bentuk kekerasan, tetapi cukup memberi penjelasan apa saja yang akan terjadi bila ada anak tidak bertanggung jawab dalam menciptakan kondisi belajar yang tertib. Dengan kata lain rasa tanggung jawab akan tumbuh seiring dengan tumbuhnya kesadaran terhadap perilaku yang diekspresikan dalam menciptakan kondisi belajar yang tenang dan menghargai sesama teman yang sedang belajar menari. Evaluasi Evaluasi guru terhadap siswa dalam pembelajaran tari meliputi observasi terstruktur maupun nonstruktur. Evaluasi terstruktur untuk mengevaluasi jenis tari ekspresif, sedang evaluasi nonstruktur untuk mengevaluasi jenis tari kreatif. Evaluasi pada tari ekspresif (observasi terstruktur) dapat dijelaskan ketika siswa menirukan gerakan gurunya, dalam hal ini tari yang sudah ada (tari bentuk). Di antara para siswa banyak yang mampu mengikutinya meskipun masih terlihat global, artinya bentuk gerakan yang ditirukannya tidak selalu bisa sama persis dengan apa yang dicontohkan oleh gurunya. Dari praktik tari ekspresif ini bisa teramati sikap dan perilaku siswa yang mencerminkan rasa percaya diri (keberanian tampil di depan kelas), kepedulian (antarsiswa selalu mengingatkan teman yang salah gerak atau tidak menggunakan property), toleransi (saling membantu bila ada teman yang kesulitan, meminjami peralatan), dan tanggung jawab (keseriusan dan kepatuhan melaksanakan tugas guru). Evaluasi tari kreatif (observasi nonstruktur) terlihat ketika guru bercerita tentang kehidupan binatang dan alam lingkungan kemudian siswa diminta untuk mengembangkan cerita yang bersumber dari binatang dan lingkungan sekitarnya melalui gerak tari. Hal ini dimaksudkan agar siswa menyadari anggota tubuhnya, penguasaan gerak, dan pengembangan gerak. Tentu saja guru tetap menjaga agar suasana pembelajaran tari tetap menyenangkan, kreatif, komunikatif, dan estetis bentuk geraknya. Dari tari kreatif inilah guru dapat mengamati dan mengetahui tingkat pemikiran, perasaan, dan tingkat komunikasi siswa yang diekspresikan melalui gerak tari yang ditampilkan. Dengan demikian guru dalam mengevaluasi terhadap kemampuan menari siswa menggunakan teknik observasi. Kriteria evaluasi bertolak dari kompetensi yang telah ditentukan dalam kurikulum (sebagai landasan penilaian), yaitu berkait dengan kompetensi siswa dalam hal kesadaran tubuh, penguasaan gerak, pengembangan gerak. Kompetensi tersebut secara serta merta merefleksikan pikiran, perasaan, dan gerak sebagai media komunikasi. Dari kompetensi itu juga bisa dilihat perkembangan kepribadian siswa (tingkatan kepercayaan diri, kepedulian, toleransi, dan tingkat tanggung jawabnya). Metode Eksplorasi Berdasarkan data penelitian metode eksplorasi yang diterapkan pada sekolah dasar kabupaten Semarang terdiri dari bercerita, meniru, bermain, dan demonstrasi. Bercerita (mendongeng, bertutur kata) merupakan suatu cara yang manjur yang dilakukan sejak lama (nenek moyang) untuk memberikan petuah atau nasehat dalam mengarahkan anak untuk berperilaku lebih baik. Cara mendongeng ternyata siswa lebih mudah diberi nasehat, diarahkan, dan dapat mempengaruhi perasaan mereka. Kebiasaan mendongeng tidak hanya dilakukan oleh orang tua dalam lingkungan keluarga, tetapi telah berkembang fungsinya sebagai sebuah metode yang digunakan guru dalam kegiatan pembelajaran. Metode bercerita dilakukan secara lisan yang disertai dengan gerakan yang melibatkan tangan, kaki, kepala, badan, dan mimik wajah sesuai dengan tema ceritanya. Apalagi bila dalam bercerita atau mendongeng dibumbui dengan hal-hal yang lucu dan pesan tertentu. Cara guru bercerita dimaksudkan agar siswa dapat mengetahui suatu hal baru yang sebelumnya tidak diketahui oleh siswa sehingga bisa menambah pengalaman siswa. Jadi metode bercerita mengandung tujuan untuk menambah pengalaman siswa, menarik perhatian siswa, menasehati siswa, dan mempermudah siswa menerima materi tari yang dibelajarkan. Pengajaran tari di sekolah yang dilakukan guru tari dengan cara memberi contoh gerak dan kemudian ditirukan oleh para siswanya lazim disebut metode meniru (Imitation). Artinya guru dapat mengarahkan siswa untuk melakukan tiruan gerak tari yang dicontohkan oleh guru tari. Kemampuan siswa dalam meniru dapat meningkatkan motivasi dan menumbuhkan rasa percaya diri siswa karena merasa bisa mengikuti dan dapat melakukan seperti yang dicontohkan (diperagakan) oleh gurunya. Meniru merupakan metode yang paling mudah dilakukan guru dalam pembelajaran dan bersifat informatif tetapi sangat bermanfaat untuk memberikan suatu pengenalan, penggambaran, dan pemahaman sehingga memudahkan siswa menerima materi. Bermain menurut Dworetzky (dalam Fowler 1995) harus memenuhi lima hal, yaitu (1) memotivasi instrinsik, yaitu tingkah laku anak yang dimotivasi oleh diri sendiri, (2) pengaruh positif, artinya tingkah laku itu dapat menyenangkan dan menggembirakan, (3) tingkah laku bermain yaitu tingkah laku berpura-pura atau tidak sebenarnya, (4) cara bermain lebih diutamakan dari pada tujuannya, anak lebih suka dengan tingkah laku itu sendiri daripa hasilnya, (5) kelenturan, bermain tidak kaku atau tegang, artinya santai dalam hal bentuk maupun hubungan yang sesuai dengan situasi dan kondisi apa pun. Mengacu pada batasan tersebut, para guru yang mengajar tari di SD menempatkan diri sebagai guru dan teman para siswa. Penjelasan materi tari disampaikan dengan santai, sabar, dan lentur. Guru kadangkala terlihat sebagai contoh tarian dan kadangkala sebagai teman sepenarian. Pada metode bermain sikap dan perilaku guru terlihat pada ekspresinya yang penuh senyum keakraban mengajak siswa untuk menari bersama. Guru juga mengajak siswa untuk tersenyum ketika menari, bahkan dengan menyanyi bersama sebagaimana nyanyian lagu Menthok. Selain itu guru mengajak siswa melakukan gerak tari yang dikemas dengan suatu permainan tertentu. Prinsip utama metode bermain adalah suasana santai dan bergembira. Oleh karena itu sangat bermanfaat untuk mengkondisikan siswa agar tidak tegang (rileks), menciptakan suasana yang menyenangkan, dan mempermudah siswa menerima materi. Demonstrasi dimaksudkan untuk memberikan pengalaman belajar melalui melihat dan mendengarkan yang diikuti dengan menirukan materi yang didemonstrasikan atau diperagakan. Dengan metode demonstrasi dapat memudahkan siswa menguasai materi sehingga dapat memupuk motivasi dan rasa percaya diri siswa dalam mengikuti kegiatan menari yang dijarkan oleh guru. Selain itu mampu memberikan pengalaman siswa (melihat, mendengarkan, memeragakan, merasakan). Perilaku guru dalam menggunakan demonstrasi yakni: Pertama, ketika hendak memulai kegiatan menari guru melakukan demonstrasi sambil mengarahkan siswanya untuk duduk sambil memperhatikan, dan kemudian meminta siswa berdiri melakukan gerakan. Kedua memberi pengertian terhadap masingmasing gerakan, yaitu menjelaskan gerak tubuh yang terbagi menjadi empat bagian kepala, badan, tangan, dan kaki. Masing-masing bagian harus menyatu dan serasi. Dengan kesatuan dari gerakan bagian tubuh tersebut diharapkan tarian yang dimaksudkan dapat berbentuk indah dan tercapai dengan baik. Ketiga, untuk menjaga pemahaman siswa terhadap tarian yang telah diberikan. Di sini guru memberikan contoh gerakan per bagian anggota tubuh, seperti gerak tangan dulu, kaki dulu, dan sebagainya. Setelah siswa mengerti gerakan per bagian kemudian guru menyatukan gerakan sesuai dengan musik iringannya. SIMPULAN DAN SARAN Komponen model pembelajaran tari pendidikan pada sekolah dasar di atas menandakan bahwa standar proses pembelajaran (PP No. 19 pasal 19 tahun 2005) telah terpenuhi karena model tersebut menunjukkan ada aspek interaktif, inspiratif, menyenangkan, menantang, memotivasi siswa untuk berpartisipasi aktif, serta memberikan ruang yang cukup bagi prakarsa, kreativitas, dan kemandirian sesuai dengan bakat, minat, dan perkembangan fisik serta psikologis siswa. Ditinjau dari filosofi pendidikan seni, model eksplorasi telah mengindikasikan adanya pemberian pengalaman estetis kepada para siswa. Penggunaan metode mengajar para guru tari di SD sudah baik karena selalu mengkolaborasikan antar metode, seperti bercerita, bermain, meniru, dan berdemonstrasi. Selain itu, ditinjau dari tujuan pembelajaran Seni Budaya dan Keterampilan di SD model eksplorasi sekurang-kurangnya telah memenuhi tiga tujuan, yaitu siswa memiliki kemampuan untuk menampilkan sikap apresiasi terhadap seni budaya dan keterampilan, menampilkan kreativitas melalui seni budaya dan keterampilan, dan kemampuan menampilkan peran serta dalam seni budaya dan keterampilan dalam tingkat lokal dan regional. Sungguh pun demikian kelemahan penelitian ini adalah hasilnya tidak bisa digeneralisir untuk kepentingan pembelajaran tari pendidikan secara nasional karena objek dan subjek penelitiannya masih setingkat kabupaten, apalagi sampelnya relatif belum proporsional akibat kendala teknis dalam proses penelitian. Ada beberapa saran yang perlu dikemukakan guna menunjang kegiatan lebih lanjut terutama yang berkait dengan pembelajaran seni (tari) di sekolah. Pertama, perlunya keseimbangan antara materi tari ekspresif dan tari kreatif dalam pembelajaran seni di sekolah dasar (SD). Barangkali akan lebih baik kalau tari kreatif lebih diperbesar proporsinya. Kedua, mengingat guru SD merupakan guru kelas tetapi akan lebih proporsional bila guru tari di SD juga memiliki keahlian di bidang seni tari. Ketiga, observasi guru terhadap materi gerak tari khususnya bentuk gerak maupun gerak dasar tari perlu dilakukan lebih rinci atau detail karena menyangkut segi estetis dan ekspresif gerak yang ditampilkan oleh setiap siswa. DAFTAR PUSTAKA Cheney, Gay. 1999. Basic Concepts in Modern Dance: A Creative Approach. Terjemahan Y. Sumandiyo Hadi. Yogyakarta: Manthili. Fowler, James W (ed). 1995. Teori Perkembangan Kepercayaan. Alih Bahasa Agus Cremes. Yogyakarta: Kanisius. Hawkins, Alma M. 1988. Creating Through Dance. Princeton, New Jersey: Princenton Publishers. Jazuli. 2008. Paradigma Kontekstual Pendidikan Seni. Surabaya: Unesa Press. Kraus, Richard. 1977. History of The Dance. Englewood, New Jersey: Prentice, Inc. Laban, Rudolf. 1976. Modern Educational Dance. NY: McDonald and Evans Ltd. Miles, Matthew B and Huberman, A Michael. 1994. Qualilative Data Analysis. Thousand Oaks, London, New Delhi: SAGE Publications Inc. Nurharini, Atip. 2003. “Pembelajaran Seni Tari sebagai Sarana Pengembangan Rasa Percaya Diri Anak di Taman Kanakkanak Pangudi Luhur Bernadus Semarang”. Tesis Program Studi Pendidikan Seni Pascasarjana Universitas Negeri Semarang Tahun 2003. Setiawati, dkk. 2001. ”Alat Peraga sebagai Sarana Meningkatkan Kreativtas Anak Menari.” Laporan penelitian. Jakarta: Lembaga Penelitian Universitas Jakarta. Smith, Jaqueline. 1994. The art of Dance in Education. London: Blach Publisher Limeted. Uno, Hamzah B. 2009. Model Pembelajaran: Menciptakan Proses Belajar Mengajar yang Kreatif dan Efektif. Jakarta: Bumi Aksara.